Anda di halaman 1dari 11

Usulan Judul:

 Fridays for Future sebagai bentuk Intergenerational Justice dalam Menangani Perubahan
Iklim
 Anak-anak dan remaja sebagai bentuk Kekuatan Sipil Global baru dalam mengatasi
Perubahan Iklim (Studi kasus: Gerakan mogok sekolah untuk iklim oleh Fridays for
Future)
 Peran Pemuda melalui Fridays for Future sebagai bentuk Intergenerational Justice dalam
Global Climate Governance untuk mengatasi Perubahan Iklim
 SS4C sebagai gerakan sosial baru dalam Global Climate Governance untuk mengatasi
Perubahan Iklim

Peran FFF sebagai bentuk global CG mengatasi perubahan iklim
mengapa kalangan
Mengapa fff bberhasil muncul sebagai gerakan GCG
anak-anak belum sampai ke level tersebut
didorong karena IJ yang dipahami anak-anak tersebut
bagaimana peran pemuda IJ
langsung peran FFF bagaimana anak anak bias menggarakan orang tua
anak-anak sekolah
bagaimana anak-anak bias membuat gerakan
diturunkan adari sustainable development
kenapa anak-anak bias tau IJ
anak-anak atau remaja
siapa yang mepropmote isu tersebut
apakah greta punya inner circle
kemampuan greta dalam mengartikulasi
profile greta sebagai penarik FFF
argument dan narasi yang disampaikan greta sangat kuat yang paling powerful disisi
mana, apakah strateginya atau mengapa kuat di level global menjadi sangat besar
terlalu panjang intronya
langsung masuke FFF
climate change 1 halaman
diminati oleh mereka yang kalangan dewasa
pada tahun 2019 munvul sebuah gerakan yang dikomandani oleh greta
menjadi buah brakethrough
karena ngga pernah anak-anak punya ide sendiri untuk bergerak
inisiasi dan inovasi gerakan sendiri
sehingga sangat penting untuk meneliti peran anak-anak
pengaruh FFF yang besar, nanti dijelaskan
perlu di eksplore bahwa peran fff di eropa
greta di undang ke pbb, di undang ngo, menjual greta fenomena fff
pentingnya SS4C
bentuk baru advokasi climate change di dunia
mengara fff penting : di dominasi anak-anak, inisiasi dari anak-anak, isu tersebut bias
mnejadi kesadaran baru mengenai climate change, pola movement baru,
aktivitas baru menjadi ngo, modal yang out the box
peran global civil society
strateginya civil society
wapner
artikel stratgeinya greenpeace
membagun wacana IJ
semua generasi tanpa terkecuali anak-anak memiliki kontribusi kesana
argument 1. membangun netweork dikalangan aak-anak di eropa, ekspor ke global. 2.
membangun narasi yang kuat terkait IJ mendorong munculnya sentiment yang kuat
capturing strategi fff.
sampai 2019 kenapa dimulai dan kenapa di akhiri
wawancara ke anak-anak sekolah
Kerjaan Landasan Teori

Wapner (1995) menjelaskan bahwa ketika aktivis bekerja untuk mengubah kondisi
tanpa secara langsung menekan negara, kegiatan yang mereka lakukan dalam dimensi sipil
kehidupan kolektif dunia atau apa yang biasa disebut dengan masyarakat sipil global.
Wapner (2000 yang dikutip dalam O’Neill (2009)), memberikan penjelasan sederhana
mengenai masyarakat sipil, dimana masyarakat sipil terdiri dari asosiasi dan gerakan
sukarela, seperti gerakan religius aktivis, dan kelompok kolektif lan yang dipilih oleh
individu untuk bergabung: “the bonds and allegiances that arise through sustained,
voluntary, non-commercial interaction”. Masyarakat sipil dapat menjadi penyeimbang yang
penting, untuk negara yang terlalu kuat. Aktor-aktor masyarakat sipil juga mampu
menyalurkan tuntutan masyarakat kepada negara secara lebih efektif daripada tindakan
individual atau gerakan massa (O’Neill, 2009: 58). Masyarakat sipil global yang self-
organized, tidak berusaha untuk menggunakan kekuatan negara untuk mencapai tujuan
mereka. Mereka merupakan jaringan organisasi non-negara yang aktif secara transnasional,
bertindak secara politis dalam masyarakat sipil global memberikan sumber pelengkap
penting bagi tata kelola lingkungan global. Masyarakat sipil sendiri adalah arena keterlibatan
sosial yang berada di atas individu namun berasa di bawah negara. Disebutkan bahwa
masyarakat sipil merupakan jaringan yang kompleks antara praktik-praktik ekonomi, sosial
dan budaya yang didasarkan pada persahabatan, keluarga, pasar dan afiliasi sukarela. Adanya
intepretasi pasar, pencampuran sistem makna simbolik, dan proliferasi upaya kolektif
transnasional menandakan pembentukan ruang publik yang tipis, namun tetap hadir, dimana
individu dan kelompok swasta berinteraksi untuk tujuan bersama. Apabila kehidupan
asosiasional seperti itu melintasi batas-batas nasional, dengan aktivis transnasional yang
mengarahkan upaya mereka di luar negara, maka mereka disebut dengan masyarakat sipil
global (Wapner, 1995).

Globalitas sebagai supra teritorialitas melibatkan aktivitas masyarakat sipil global


yang mencakup: (a) mengatasi isu-isu yang transworld; (b) melibatkan komunikasi lintas
batas; (c) memiliki organisasi global; (d) bekerja pada premis solidaritas supra teritorial.
Masyarakat sipil global terlahir ketika terdapat isu-isu yang melampaui geografi territorial,
sebagai contoh: perubahan iklim, berkampanye untuk masalah ekologis seperti hilangnya
keanekaragaman hayati dan menipisnya ozon stratosfer yang memiliki kualitas supra
teritorial yang sama. Kegiatan dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat sipil global, asosiasi
sukarela dimotivasi oleh sentiment solidaritas transworld (Scholte, 1999). Tekanan
globalisasi dianggap telah membatasi kemampuan pemerintah negara untuk membentuk dan
membuat kebijakan mereka sendiri, terutama kebijakan ekonomi. Disebutkan juga bahwa
“center of gravity/ pusat gravitasi” dalam politik internasional bergeser ke aktor non-negara
yang kuat, seperti; masyarakat sipil global, korporasi atau lembaga ekonomi internasional.
Bagi politik lingkungan internasional, pergeseran aktor tersebut memberikan implikasi
bahwa tata kelola lingkungan global akan berada di arena non-negara, termasuk sektor
swasta, masyarakat sipil, dan aktor politik sub-negara, seperti pemerintah daerah (O’Neill,
2009: 53).
O’Neill (2009) menyebutkan, aktivis lingkungan memainkan peran penting dalam
menyoroti masalah lingkungan global, dan mempengaruhi baik secara langsung maupun
tidak langsung, jalannya tata kelola lingkungan global. Kelompok-kelompok aktivis memiliki
berbagai macam jenis, yang juga mewakili kepentingan yang berbeda. Mulai dari NGOs
besar yang professional, hingga kelompok lokal kecil yang membangun jejaring mereka
melalui internet. Meskipun dalam ideologi, strategi, bentuk organisasi dan target mereka
berbeda, keprihatinan yang sama atas keadaan lingkungan global, dan memperjuangkan hak-
hak masyarakat dalam lingkungan, memberikan kebutuhan suara yang berbeda untuk
didengar dalam proses tata kelola global (O’Neill, 2009: 57). Dalam tulisan di tahun 1997,
yang berjudul The Transnational Politics of Environmental NGOs, Wapner menjelaskan
bahwa NGOs sangat mempengaruhi cara sistem internasional dalam mengatasi masalah
lingkungan. Pandangan tersebut didasarkan pada terdapat banyak NGOs di seluruh dunia
yang bekerja untuk perlindungan lingkungan dan bahwa mereka memberikan sumber daya
yang signifikan pada setiap kampanye yang mereka lakukan. Disebutkan bahwa NGOs
merupakan kelompok kepentingan yang melobi pemerintah untuk mempromosikan tujuan
mereka. Jadi NGOs merupakan kelompok penekan yang bekerja untuk mempengaruhi cara
negara dan lembaga internasional menangani masalah lingkungan. NGOs banyak melakukan
upaya untuk melobi negara dan mempengaruhi pembentukan dan implementasi rezim
internasional. Mereka menyadari bahwa praktik manusia yang berbahaya bagi lingkungan
terdapat di semua tingkat kehidupan, mulai dari negara, perusahaan, kelompok, hingga
individu.

Kepedulian pada lingkungan pada dasarnya melibatkan politik, karena perlindungan


lingkungan harus diseimbangkan dengan tujuan sosial lainnya, seperti kesejahteraan ekonomi
dengan langkah-langkah yang berwawasan lingkungan. Untuk dapat mengorientasikan
kembali aktivitas manusia dalam skala dan urutan yang kompleks, maka diperlukan
governance (tata kelola) yang benar-benar dapat mempengaruhi banyak orang. Hal tersebut
diperlukan guna menemukan cara untuk membatasi dan mengarahkan kegiatan manusia
dengan cara yang layak, dan lepas dari praktik-praktik yang merusak lingkungan. Masalah
lingkungan yang global dan melewati lintas batas negara, menjadikan berbagai kelompok
lingkungan transnasional terlibat dalam praktik-praktik kolektif yang disebut oleh Wapner
sebagai world civic politics. Wapner memiliki klaim bahwa catatan politik lingkungan global
yang state-centric dan politik dunia secara lebih umum, tidak lengkap karena informasi yang
didapat terbatas pada pemahaman tentang politik yang terjadi dalam ranah domestik dan di
antara lembaga-lembaga pemerintah formal. Kesimpulan lain yang disebutkan oleh Wapner
adalah bahwa rezim internasional yang didukung pemerintah bukan satu-satunya cara untuk
mengatasi masalah lingkungan global, namun world civic politics juga penting.

Paul Wapner (1995) mendefinisikan aktivis transnasional sebagai kelompok penekan


global yang berusaha mengubah kebijakan negara atau menciptakan kondisi dalam sistem
internasional yang meningkatkan atau mengurangi kerja sama antar negara. Upaya-upaya
yang dilakukan kepada masyarakat, pada umumnya diabaikan atau didevaluasi karena
mereka tidak dianggap benar-benar memiliki keterkaitan dengan politik.

Salah satu sektor yang relatif baru dalam aktivitas transnasional adalah transnational
environmental activist groups (TEAGs). TEAGs mulai berkembang disekitar tahun 1970-an.
Hal tersebut dikarenakan bahaya lingkungan telah menjadi ancaman bagi kehidupan manusia
dan semakin banyak masyarakat mulai sadar akan pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak perhatian telah diarahkan pada isu-isu
seperti degradasi yang lintas batas dan global, seperti: penipisan ozon, pemanasan global,
perubahan iklim, serta kepunahan spesies. Untuk menanggapi semakin meningkatnya
pengetahuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, kelompok-kelompok aktivitis
aktivis transnasional muncul dengan dedikasi untuk “saving the planet”. Contohnya adalah
World Wildlife Fund, Friends of the Earth, Greenpeace, Conservation International, dan
Earth Island Institute, yang merupakan asosiasi sukarela dimana organisasinya melintasi
batas negara dan bekerja dalam perlindungan lingkungan di tingkat global. Terlepas dari
fokus mereka yang berbeda-beda, Wapner berpendapat aktivisme yang dilakukan berusaha
untuk mempolitisasi masyarakat sipil global, dibandingkan dengan mempengaruhi perilaku
negara. Meskipun negara tetap menjadi aktor penting dalam politik dunia, dijelaskan bahwa
civic dimension dari politik dunia memiliki sumber tata kelola lingkungan dengan haknya
sendiri, yang secara langsung maupun tidak langsung mengubah asumsi dan tindakan
masyarakat di seluruh dunia.

Masyarakat sipil global terdiri dari struktur yang menentukan dan membentuk public
affairs (urusan publik), misalnya; kekuatan pasar akan membentuk cara bagi banyak orang di
berbagai negara untuk bertindak dengan mengacu pada masalah yang menjadi perhatian
publik. Aktivis akan menggunakan ranah kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi
transnasional untuk mempengaruhi urusan publik dunia (Wapner, 1995).

Intergenerational Justice

Barry (1997) memberikan penjelasan bahwa intergenerational justice dengan mengatakan


‘keadilan antara generasi sekarang dan generasi mendatang’.

Konsep keadilan generasi (generational justice) dianggap akan memainkan peran yang lebih
besar dalam filsafat masa depan. Semakin banyak social actors (aktor sosial) yang menuntut
sebuah etika baru tentang tanggung jawab di masa depan. Sejak awal munculnya gerakan ekologi
global, argument yang ditonjolkan adalah mengenai kepentingan generasi mendatang. Avner de-
Shalit (1995) yang dikutip oleh Tremmel (2009) mengatakan “In fact, the most important
element in the question of intergenerational justice is the environmental issue, to which almost
every aspect of intergenerational justice is related”. Keadilan generasi dianggap sebagai alasan
terpenting untuk melindungi lingkungan dan alam.

Tuntutan untuk keadilan antargenerasi mengarah pada dua isu: ekologi dan keuangan
(‘ecological’ and ‘financial’ sustainability).

Keadilan generasi dapat dipahami sebagai keadilan antara generasi sekarang dan generasi masa
depan (intertemporal generations), dan juga sebagai keadilan antara yang muda dan yang tua
(temporal generations), serta antar generasi keluarga (Tremmel, 2009).

Hiskes (2005) mengatakan bahwa environmental rights (hak lingkungan) itu unik, mengenai
hubungannya dengan waktu. Environmental rights sendiri, hanya akan muncul sebagai hak
ketika dampak sosial terhadap lingkungan mencapai tingkat tertentu. Seperti; ketika sumber
energi terancam habis, degradasi tanah, air dan pasokan udara menipis menjadi hal yang tidak
mungkin untuk diabaikan. Penjelasan lebih lanjut oleh Barry (1989) yang dikutip Hiskes (2005)
adalah arah waktu akan menjamin, bahwa mereka yang hidup di masa sekarang dapat membuat
penerus mereka menjadi lebih baik atau lebih buruk, sementara penerus tersebut tidak dapat
melakukan apapun untuk membantu atau bahkan merugikan generasi saat ini. Apa yang disebut
dengan “planetary rights/ hak atas planet” merupakan sesuatu yang seharusnya didapatkan oleh
generasi penerus, maka generasi saat ini harus mengakui kewajiban kolektif terhadap hak
generasi mendatang. Hal tersebut hanya dapat terpenuhi melalui instrument kolektif, yaitu
pemerintah, karena hak atas planet memiliki sifat dasar yang sama dengan semua hak asasi
manusia yang diakui saat ini, serta memiliki tujuan untuk kesejahteraan dan martabat manusia
(Hiskes, 2005: 185).

Satu teori yang secara khusus dibahas oleh Brian Barry (1989) mengenai intergenerational
justice adalah indirect reciprocity theory (teori timbal balik tidak langsung). Pemahaman umum
mengenai timbal balik adalah apabila mampu, seseorang berkewajiban untuk mengembalikan
pada orang lain apa yang telah mereka terima. Sementara “descending reciprocity”, dibagi
menjadi dua maksim, dimana yang pertama, berusaha menjelaskan mengapa generasi saat ini
memiliki kewajiban kepada generasi selanjutnya. Dalam hal ini, ketika menerima sesuatu dari
orang tua, maka sebagai balasan, kita harus memberikan sesuatu kepada generasi anak-anak kita.
Atau gagasan berbeda yang dikemukakan adalah bahwa generasi sekarang memiliki utang
kepada generasi mendatang, karena sebenarnya kita hanya meminjam apa yang sudah menjadi
milik generasi masa depan. Maksim yang kedua memberikan definisi kewajiban kepada generasi
berikutnya, dimana descending reciprocity, terbagi menjadi justificatory maxim dan substantive
maxim. Justificatory maxim adalah generasi saat ini memiliki sesuatu untuk generasi berikutnya,
karena menerima sesuatu dari generasi sebelumnya. Sementara substantive maxim adalah
generasi saat ini harus meneruskan ‘modal’ ke generasi berikutnya setidaknya setara dengan apa
yang telah diwariskan pada kita (Gosseries, 2008).

Pemikiran tentang kewajiban generasi sekarang kepada generasi masa depan, telah ada
setidaknya pada jaman filsuf Kant tahun 1785. Namun pernyataan mengenai keadilan bagi
generasi masa depan, mulai menjadi sorotan secara internasional pada Konferensi Stockholm
tahun 1972 tentang Human Environment. Selema periode tahun 1980-an filsuf seperti Brian
Barry, Derek Parfit, dan Ernest Partridge, mengembangkan gagasan tersebut dan menambahkan
kritik mereka sendiri. Edith Brown Weiss pada tahun 2001, menyoroti hubungan awal konsep
keadilan antargenerasi dengan wacana hukum internasional. Referensi tentang keadilan
antargenerasi yang semakin meningkat di media global, mendorong konsep tersebut ke dalam
kesadaran publik (Hepburn, 2013).

International Law Association’s 2002 New Delhi Principles, memberikan definisi keadilan
antargenerasi sebagai ‘hak generasi mendatang untuk menikmati warisan bersama dalam tingkat
yang adil’. Definisi lain disebutkan sebagai prinsip tata tertib umat manusia yang akan
memungkinkan setiap generasi, berdasarkan usaha dan tanggung jawabnya, untuk mengamankan
bagian yang proporsional dalam kesejahteraan umum spesies manusia.

Keadilan antargenerasi secara konseptual sangat terkait dengan pembangunan berkelanjutan,


dimana sifat dasar dari pembangunan berkelanjutan sendiri adalah bahwa sumber daya alam
yang ada di bumi merupakan milik semua generasi. Sumber daya yang ada pada saat ini, telah
diberikan oleh generasi sebelumnya, maka dari itu generasi saat ini memiliki kewajiban untuk
memberikannya dalam kondisi yang baik atau bahkan lebih baik dari apa yang telah mereka
terima, kepada generasi selanjutnya. Dalam intrumen internasional saat ini, seruan kepada
negara-negara untuk memastikan alokasi yang adil dalam pemanfaatan sumber daya antara
generasi masa lalu, sekarang dan masa depan banyak dilakukan. Hal tersebut membutuhkan
keseimbangan dalam memenuhi tuntutan konsumtif dari masyarakat dan memastikan sumber
daya yang memadai untuk mengakomodasi kebutuhan generasi mendatang (Hepburn, 2013).

Konsep masyarakat sipil mengacu pada ciri-ciri asosiasi di ranah atau arena publik dan perannya
dalam politik dan masyarakat. Konsep gerakan sosial mengacu pada proses mobilisasi dan aksi.

Edwards (2009) mengutip pernyataan Anthony Giddens dan Benjamin Barber mengenai
masyarakat sipil sebagai pemikir jalan ketiga (third way). Karena mengkoreksi negara dan pasar
yang gagal, dan juga bisa menjadi “missing link” di keberhasilan demokrasi sosial.
O’Neill, Kate, 2009. “The Environment andInternational Relations”. New York: Cambridge
University Press.

Scholte, Jan Aart. 1999. “Global Civil Society: Changing the World?”. Centre for the Study of
Globalisation and Regionalisation (CSGR). Working Paper Number 31/99. University of
Warwick, Coventry CV4 7AL, United-Kingdom.

Wapner, Paul. 1995. “Politics beyond the State Environmental Activism and World Civic Politics”.
World Politics. Volume 47. Nomor 03. hal. 311-340. DOI: 10.1017/S0043887100016415.

Wapner, Paul. 2002. “Horizontal Politics: Transnational Environmental Activism and Global Cultural
Change”. Global Environmental Politics. Volume 2. Nomor 2. hal. 37-62.

Wapner, Paul. 1997. “The Transnational Politics of Environmental NGOs”. United Nations
University Symposium on The United Nations and the Global Environment. New York City.

Tremmel, Joerg Che, 2009. “A Theory of Intergenerational Justice”. Earthscan: London • Sterling,
VA.

Barry, Brian, 1997. “Sustainability and Intergenerational Justice”. Theoria, June 1997. DOI:
10.2307/41802067.

Hepburn, Jarrod, 2013. “Intergenerational Equity and Rights andInternational Criminal Law”. In S.
Jodoin & M. Cordonier Segger (Eds.), Sustainable Development, International Criminal
Justice, and Treaty Implementation (Treaty Implementation for Sustainable Development, pp.
171-189). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139507561.013.

Hiskes, Richard P., (2005). “ENVIRONMENTAL RIGHTS, INTERGENERATIONAL JUSTICE,


AND RECIPROCITY WITH THE FUTURE”. Public Affairs Quarterly. Volume 19, Number
3. hal. 177-194. DOI: 10.2307/40441410.
Gosseries, A., 2008. “Theories of intergenerational justice: a synopsis”. Surv. Perspect. Integr.
Environ. Soc., 1, 39–49, www.surv-perspect-integr-environ-soc.net/1/39/2008/.

Anda mungkin juga menyukai