Anda di halaman 1dari 7

Kontribusi Greenpeace dalam Menangani Kerusakan Laut

Indonesia dengan Analisis Konstruktivisme

Fadillah Dwi Setyorini


NIM: 072011233014
Departemen Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga

Tulisan ini akan membahas bagaimana upaya yang dilakukan oleh Greenpeace dalam
menangani kerusakan laut di Indonesia. Greenpeace merupakan organisasi internasional
non-pemerintah (INGO) yang bergerak di bidang lingkungan dan memiliki cabang lebih dari
empat puluh negara, termasuk Indonesia. Namun, seluruh perwakilan cabang Greenpeace
yang tersebar di seluruh dunia ini tidak hanya berkontribusi untuk regionalnya saja
melainkan juga untuk aksi internasional. Greenpeace mulai hadir di Indonesia sejak tahun
2005 dengan fokus utama kepada kehutanan, energi, dan kelautan. (Greenpeace. t.t.).
Organisasi ini berdiri sendiri tanpa menerima bantuan dana dari pemerintah, perusahaan,
maupun partai politik manapun sejak awal berdiri. Fokus utama yang dibawakan
Greenpeace iniah yang akhirnya menarik perhatiannya pada kasus kerusakan laut di
Indonesia semakin parah dari waktu ke waktu. Tentu hal ini berbahaya bagi kelangsungan
hidup biota laut dan manusia pula dikarenakan luas laut yang hampir tiga kali luas daratan.
Ada berbagai macam penyebab yang menyebabkan kerusakan laut Indonesia, seperti
pencemaran mikroplastik dan tumpahan minyak yang oleh Pertamina pada tahun 2019
(Greenpeace, t.t.). Permasalahan ini tentunya membutuhkan perhatian khusus dalam upaya
penanganannya. Oleh karena itu, dalam tulisan ini berusaha menjelaskan bagaimana upaya
yang dilakukan oleh Greenpeace dalam menangani permasalahan kerusakan laut di
Indonesia.

Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menggunakan kerangka teori dengan
perspektif konstuktivisme dalam Hubungan Internaional. Penulis berargumen bahwa
berdasarkan proposisi kerangka teori dengan dasar asumsi dasar dari perspektif
konstruktivisme ini mampu untuk menjelaskan peran Greenpeace dalam upaya menangani
kerusakan laut di Indonesia ini merupakan salah satu bentuk konstruksi berupa dukungan,
kampanye terhadap masyarakat regional maupun internasional, koorporasi, dan pemerintah
untuk mempengaruhi norma ataupun kebijakan yang dapat melindungi laut Indonesia.
Kampanye yang dilakukan Greenpeace dapat dilihat dari aksi-aksinya dari tahun ke tahun
dan merujuk pada pemahaman bahwa laut juga harus dijaga serta kerusakan laut Indonesia
harus segera ditangani. Dalam tulisan ini, penulis memilih Greenpeace dikarenakan INGO
ini mengkampanyekan tema-tema lingkungan dengan cara melakukan aksi-aksi yang unik
dalam setiap kegiatannya (Greenpeace, t.t). Kemudian, tulisan ini akan dibagi menjadi tiga
bagian. Pertama, bagian mengenai kerangka teori dan pemikiran mengenai perspektif
konstruktivisme. Kedua, merupakan pembahasan yang berisi pejelasan mengenai upaya dan
strategi, serta aksi-aksi yang dilakukan oleh Greenpeace dalam menangani permasalahan
kerusakan laut Indonesia. Ketiga yaitu bagian terakhir atau penutup yang berisikan
kesimpulan.

1
Konstruktivisme dalam Hubungan Internasional

Konstruktivisme merupakan salah satu perspektif klasik dalam Hubungan Internasional.


Perspektif ini mulai muncul sejak tahun 1980-an saat Perang Dingin akan berakhir dan
sering kali dikelompokkan menjadi perspektif Hubungan Internasional skala menengah
(middle range theory). Pada tahun 1989, Nicholas Onuf mulai memperkenalkan
konstruktivisme melalui “World of Our Making” yang kemudian dikonseptualisasikan oleh
Alexander Wendt menjadi sebuah proposisi dalam artikelnya yang berjudul “Anarchy is
What States Makes of It” pada tahun 1992 (Wicaksana, 2018). Hal itu yang kemudian
menjadi ciri khas dari paradigma konstruktivisme dalam Hubungan Internasional. Pada saat
itu, terjadi perubahan dalam perkembangan isu Hubungan Internasional dari isu hard
politics menuju isu yang lebih soft politics. Di mana perspektif ini hadir untuk menjawab
beberapa pertanyaan yang muncul seperti perkembangan isu Hubungan Internasional,
peran lembaga ataupun organisasi non-negara dan permasalaham hak asasi manusia.
Kemunculan perspektif in tentunya tidak terlepas dari diskursus kontruktivis yang lebih
dulu berkembang dalam Filsafat. Perspektif ini menyumbangkan cara berpikir yang berbeda
dengan perspektif yang sudah ada dalam Hubungan Internasional, seperti liberalisme,
realisme, dan perspektif neo-neo. Dalam konstruktivis negara sama sekali tidak memiliki
kepentingan bawaan dalam poraktek global karena negara terikat oleh struktur sosial yang
ada. Dalam hal ini, aspek sosial seperti identitas dan norma dianggap lebih efektif dalam
mempengaruhi praktek politik global (Wicaksana, 2018).

Konstruktivisme hadir degan membawa beberapa asumsi dasar. Pertama, Relativisme


merupakan sebuah bentuk pemikiran yang mendukung keterbukaan terhadap konstruksi-
konstruksi baru. Konstruktivisme berpandangan bahwa aspek ideasional dalam perilaku
aktor akan selalu mengalami perubahan sebagai bentuk respon akan proses sosial dan
sosialisasi yang berlangsung (Wicaksana, 2018). Oleh karena itu, konstruktivis selalu
mengadakan proses pencarian konstruksi-kontruksi baru terhadap fakta dan praktek sosial
dalam tatanan dunia internasional. Kedua adalah struktur fundamental politik internasional
ini membentuk identitas dan kepentingan aktor (Rachmawati, 2012). Oleh karena itu, dunia
disusun oleh faktor pengetahuan dan material, menurut konstruktivis hubungan penting
utama adalah antara agen dan struktur. Ketiga, perubahan dalam praktek politik global tidak
hanya dapat dilakukan oleh aktor negara saja melainkan bisa dilakukan juga oleh aktor-
aktor lain seperti organisasi internasional, gerakan sosial, birokrasi, kelompok elit,
korporasi, atau bahkan individu yang berperan dalam hubungan antarnegara (Wicaksana,
2018). Kemudian, pandangan konstruktivis menggunakan asumsi-asumsi yang dibawanya
untuk melihat pengaruh organisasi internasional terhadap negara-negara sebagai
penyebaran ide dan norma yang bermakna dan dianggap mampu mengubah perilaku
negara. Di mana nantinya organisasi internasional ini berfungsi sebagai agen konstruksi
norma dan sosial serta berupaya untuk mengubah pemahaman sosial.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas penulis akan menggunakan asumsi dasar ketiga
dari konstruktivis untuk menjelaskan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan oleh
Greenpeace untuk menangani kerusakan laut di Indonesia. Melalui dua konsep dasar, yaitu
identitas dan norma, yang berarti aktor-aktor internasional bergerak menurut
identifikasinya terhadap aktor lain dan respon terhadap struktur interaksi yang berlaku di
kawasan tertentu (Wicaksana, 2018). Berdasarkan argumen yang dibawakan oleh perspektif
konstruktivisme, Greenpeace menjadi INGO yang merupakan aktor lain di luar negara dan

2
menjadi agen konstruksi norma dan ide untuk mempengaruhi norma ataupun kebijakan
yang dapat melindungi laut Indonesia. Upaya menjadi agen konstruksi ini dilakukan
Greenpeace dengan cara mengkampanyekan tema-tema lingkungan serta melakukan aksi-
aksi yang unik dalam setiap kegiatannya. Upaya-upaya dan strategi yang dilakukan oleh
Greenpeace dalam menangani permasalahan ini akan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu
menyusun peta kerusakan laut, melakukan teguran kepada perusahaan terkait limbah yang
dihasilkan, dan memerangi penggunaan plastik sekali pakai yang berlebihan. Tidak hanya
itu saja, Greenpeace juga ikut mendesak pemerintah RI untuk mendukung Perjajian Laut
Internasional melalui aksi-aksinya.

Upaya Greenpeace dalam Menangani Kerusakan Laut Indonesia

Dalam bagian ini penulis akan menjelaskan dan membuktikan bahwa adanya upaya yang
dilakukan oleh Greenpeace ini sebagai bentuk agen kosntruksi yang menyebarkan ide dan
norma dan dapat mempengaruhi aktor negara. Dalam pembahasan ini,penulis akan
membagi ke dalam tiga bagian besar. Pertama, melakukan kampanye #Pantang Plastik dan
peneguran kepada perusahaan terkait limbah yang dihasilkan. Kedua, melakukan kampanye
yang bertujuan mendesak pemerintah RI agar mendukung Perjanjian Laut Internasional.
Terakhir, meluncurkan laporan global. Upaya-upaya yang dilakukan Greenpeace ini
bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah RI dan kebijakan yang akan dibuatnya agar
semakin peduli dengan ekosistem laut Indonesia. Dalam proses ini lah, ide dan norma yang
dibawakan Greenpeace sebagai INGO dapat mengubah pemahaman sosial dan praktek
politik global. Hal ini disebabkan karena tingkat kerusakan laut Indonesia sangat parah yang
menyebabkan biota laut terancam.

Kampanye #Pantang Plastik dan Teguran Terhadap Perusahaan

Kampanye #Pantang Plastik yang dilakukan oleh Greenpeace ini merupakan respon dari
tercemarnya laut Indonesia dari plastik-plastik sekali pakai yang akhirnya dapat berdampak
negatif bagi ekosistem laut. Dalam kampanye ini, Greenpeace mengajak seluruh aspek
masyarakat sebagai produsen maupun konsumen untuk berkomitmen dalam pengurangan,
pengendalian, dan penanganan sampah plastik dengan berbagai macam cara, seperti lebih
menggunakan kantong belanja guna ulang, memilah sampah, bahkan hingga melakukan
kegiatan bersih sungai dan pantai (Greenpeace, t.t.). Selain itu, Greenpeace juga mengusung
kampanye “Katakan pada para petinggi ASEAN: TIDAK ADA TEMPAT UNTUK SAMPAH!”.
Hal ini karena beberapa saat lalu adanya sampah plastik impor dari negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Jepang. Serta, pada saat petinggi ASEAN
melakukann pertemuan membahas masalah besar di kawasan ASEAN, tidak ada agenda
yang membahas impor sampah ini padahal dari 2016 hingga 2018, impor sampah plastik
meningkat sebanyak 171% (Greenpeace, t.t.). Dalam melakukan kampanye ini biasanya
melalui aksi-aksi langsung, sosial media Greenpeace, kegiatan World CleanUp Day, dan
petisi untuk menegur perusahaan-perusahaan yang dianggap menjadi penyebab
permasalahan kerusakan laut ini baik itu terkait limbah plastik, minyak, dan lain sebagainya,
serta berdialog langsung dengan para petinggi perusahaan.

Tindakan peneguran ini merupakan aksi lanjutan terhadap kampanye #Pantang Plastik yang
dilakukan oleh Greenpeace dalam usaha mempengaruhi kebijakan aktor lain terkait
lingkungan terutama limbahnya agar tidak mencemari laut Indonesia. Ada beberapa
perusahaan yang difokuskan oleh Greeanpeace dalam permasalahan ini, seperti Nestle,
Unilever, Pertamina. Dalam hal ini Greenpeace melakukan labelisasi perusahaan dengan

3
tujuan agar dapat membentuk sebuah persepsi bagi masyarakat dan pemerintah apa yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut dapat menimbulkan dampak yang negatif
bagi kelangsungan ekosistem laut Indonesia ke depannya. Tindakan melabelisasi
perusahaan ini tentunya akan berdampak pada citra perusahaan yang dituju dan akan
membuat citra negatif terhadap perusahaan yang dituju (Zuhdi, 2016). Diketahui bahwa
Nestle dan Unilever merupakan perusahaan penghasil plastik sekali pakai terbesar di dunia.
Setiap tahunnya, diperkirakan Nestle memproduksi 1,7 ton plastik kemasan prosuk dan
persentase terbesarnya merupakan plastik sekali pakai (Azanella, 2019).

Oleh karena itu, Greenpeace menekan perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengurangi


plastik sekali pakai dan ikut bertanggungjawab atas permasalahan ini. Greenpeace
melakukan aksi di depan gedung perusahaan dengan membuat instalasi berbentuk monster
dengan ukuran raksasa yang terbuat dari sampah plastik yang ditemukan di laut. Dalam
mengatasi permasalahan plastik, Greenpeace mengadakan aksi dengan mengumpulkan
dukungan publik untuk petisi yang akan disampaikan kepada beberapa perusahaan besar.
Petisi tersebut bertujuan untuk perusahaan-perusahaaan besar penghasil plastik, seperti
Nestlé, Unilever, Coca-Cola, Johnson & Johnson, dan lain sebagainya untuk lebih terbuka
mengenai berapa banyak kemasan plastik yang mereka produksi dan membuat rencana yang
nyata untuk mengurangi jumlah kemasan tersebut (Greenpeace Indonesia, t.t.). Begitu pula
dengan Pertamina, dalam kasus tumpahan minyak karena kegiatan operasi PT Pertamina
Hulu Energi (PHE) di Offshore North West Java (ONWJ) yang menyebabkan pantai di
sekitar Karawang di tutup (Greenpeace, t.t.).

Tumpahan minyak seperti ini sudah terjadi selama dua tahun berturut-turut. Sebelumnya,
telah terjadi tumpahan minyak di kawasan perairan Teluk Balikpapan. Sekitar 54.670 hektar
laut Karawang dan 77.713 pohon mangrove di zona pasang surut saat ini tercemar
(Greenpeace Indonesia, 2019). Dalam menangani permasalahan ini, Greenpeace bekerja
sama dengan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (KORMAS) yang terdiri dari forkadasC+,
ICEL, JATAM, KIARA, Trend Asia, WALHI Nasional, WALHI Jabar, Walhi Jakarta, YLBHI,
KNTI melakukan aksi damai di depan Kantor Pusat Pertamina (Persero) untuk meminta
Pertamina jujur dan segera membuka informasi mengenai kondisi sumur-sumur lain dan
kelayakan operasional yang dijalankan Pertamina Hulu Energi (PHE) di Blok ONWJ.

Kampanye Pendesakan Terhadap Pemerintah Indonesia

Kampanye ini dilakukan bertujuan agar pemerintah Indonesia dan publik untuk mendukung
Perjanjian Laut Indonesia yang dibahas di Kantor PBB, tahun 2020. Di mana nantinya akan
berisi hukum untuk melindungi perairan internasional (CNN Indonesia, 2020). Aksi
kampanye ini tidak hanya dilakukan di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain. Dengan
menempatkan pahatan es berbentuk pinguin sebagai pesan kepada pemerintah tentang
dampak negatif kerusakan laut terhadap biota laut. Serta, melakukan dialog dengan
pemerintahan secara langsung dibantu dengan adanya petisi-petisi yang ditandatangani oleh
masyarakat.

Meluncurkan Laporan Tahunan

Setiap tahunnya, Greenpeace mengeluarkan laporan tahunan yang diunggahnya ke situs


resmi Greenpeace. Laporan ini diberi judul Laporan Auditor Independen setiap tahunnya
(Greenpeace, t.t.). Laporan tersebut berisikan data mengenai aksi yang sudah dilakukan
beserta penjelasan. Selain itu, Greenpeace juga mengeluarkan laporan berjudul “Laut
Indonesia dalam Krisis” yang berisikan data-data dan penjelasan mengenai permasalahan

4
laut Indonesia. Laporan ini dapat digunakan oleh pemerintah dan masyarakat luas sebagai
bahan informasi yang patut dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan atau cara
pandang masyarakat Indonesia akan kondisi laut Indonesia sekarang. Selain itu, laporan
yang berisikan aksi-aksi yang sudah dilakukan Greenpeace ini membentuk opini masyarakat
bukan hanya Indonesia saja, melainkan juga masyarakat Internasional untuk lebih peduli
terhadap laut, termasuk laut Indonesia.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas maka terbukti bahwa Greenpeace sebagai INGO berupaya untuk
menjadi agen konstruksi berupaya untuk mengubah pemahaman sosial yang dapat dilihat
dari aksi-aksi serta upaya yang dilakukannya dalam menangani kerusakan laut di Indonesia.
Upaya-upaya ini dilakukan Greenpeace dari tahun ke tahun mengingat bahwa tingkat
kerusakan laut Indonesia semakin memprihatinkan dan tentunya menganggu eksosistem
laut serta mengancam manusia. Greenpeace sebagai INGO memiliki peranan penting dalam
mengupayakan penanganan permasalahan yang terkait dengan lingkungan hidup. Dengan
Greenpeace masuk ke negara-negara yang memiliki permasalahan yang berkaitan dengan
lingkungan hidup dapat dilihat melalui konstruktivis bahwa negara bukanlah merupakan
satu-satunya aktor dalam Hubungan Internasional karena terdapat aktor-aktor lain yang
berpengaruh juga. Tentunya dengan upaya yang dilakukan oleh Greenpeace ini dapat
menciptakan identitas, ide dan norma baru, namun tidak mengubah negara melainkan
hanya memodifikasi karakter negaranya saja. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis telah
membuktikan bahwa analisis perspektif konstruktivisme dapat digunakan untuk
menjelaskan bahwa aktor lain selain negara dapat menjadi agen konstruksi dan berpengaruh
dalam praktek Hubungan Internasional. Namun, karena keterbatasan kata, penulis tidak
bisa memasukkan bukti dan penjelasannya lebih detail dan lengkap dalam tulisan ini.

5
Referensi

Artikel Daring:

Azanella, L. Ayu, 2019. “Monster Plastik, Bentuk Protes Greenpeace kepada Nestle” [daring].
Tersedia dalam
https://internasional.kompas.com/read/2019/03/27/14170361/monster-plastik-
bentuk-protes-greenpeace-kepada-unilever-dan-nestl?page=all [diakses pada 25
Juni 2021].

CNN Indonesia, 2020. “Greenpeace Desak RI Dukung Perjanjian Laut Internasional”


[daring]. Tersedia dalam
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200209165224-20-473054/greenpeace-
desak-ri-dukung-perjanjian-laut-internasional [diakses pada 25 Juni 2021].

Artikel Jurnal:

Rachmawati, Iva, 2012. “Konstruktivisme sebagai Pendekatan Alternatif dalam Hubungan


Internasional”, Jurnal Pena Wijaya, 16(1): 25-34.

Zuhdi, Andri, 2016. “Upaya Greenpeace Menyelamatkan Arktik dari Kepentingan


Pengeboran Minyak dan Gas Rusia”, Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Riau, 3(2): 1-15.

Edited Book:

Wicaksana, I G. Wahyu., 2018. “Konstuktivisme”, dalam Dugis, Vinsensio. (eds.), Teori


Hubungan Internasional (Perspektif-Perspektif Klasik) Edisi Revisi. Surabaya:
Airlangga University Press, pp 157-178.

Situs Resmi:

Greenpeace, t.t. “Basmi Monster Plastik” [daring]. Tersedia dalam


https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/basmi-monster-plastik/ [diakses 25 Juni
2021].

Greenpeace, t.t. “Kurangi Produksi Sampah Plastik” [daring]. Tersedia dalam


https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/kurangi-produksi-sampah-plastik/
[diakses 25 Juni 2021].

Greenpeace, t.t. “Laporan Tahunan” [daring]. Tersedia dalam


https://www.greenpeace.org/indonesia/tentangkami/laporan-tahunan/ [diakses
dalam 26 Juni 2021].

Greenpeace, t.t. “Pulihkan Perairan Karawang dari Minyak” [daring]. Tersedia dalam
https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/pulihkan-perairan-karawang-dari-
minyak/ [diakses pada 24 Juni 2021].

Greenpeace, t.t. “Sejarah Greenpeace” [daring]. Tersedia dalam


https://www.greenpeace.org/indonesia/sejarah-greenpeace/ [diakses pada 24 Juni
2021].

6
Greenpeace, t.t. “Tentang Kami” [daring]. Tersedia dalam
https://www.greenpeace.org/indonesia/tentang-kami/ [diakses pada 24 Juni 2021].

Greenpeace, t.t. “Tidak Ada Tempat Untuk Sampah” [daring]. Tersedia dalam
https://www.greenpeace.org/indonesia/aksi/tidak-ada-tempat-untuk-sampah/
[diakses pada 25 Juni 2021].

Greenpeace Indonesia, 2019. “Pertamina Harus Mengungkapkan Penyebab Terjadinya


Semburan dan Tumpahan Minyak di Karawang” [daring]. Tersedia dalam
https://www.greenpeace.org/indonesia/siaran-pers/3536/pertamina-harus-
mengungkapkan-penyebab-terjadinya-semburan-dan-tumpahan-minyak-di-
karawang/ [diakses 25 Juni 2021].

Anda mungkin juga menyukai