Anda di halaman 1dari 9

Sebagai permasalahan yang kompleks, solusi seputar masalah krisis iklim tidak hanya

dengan upaya tanggap terhadap bencana dan penyelamatan saja. Diperlukan juga kesadaran
manusia untuk secara bersama-sama menjaga lingkungan. Oleh karena itu harus segera
dilakukan upaya serius untuk meningkatkan kepedulian manusia terhadap lingkungan agar tidak
memperparah perubahan iklim yang berujung kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan serta
manusia di dalamnya. Kesadaran lingkungan menjadi pendorong yang memungkinkan orang
untuk bertindak secara individu dan kolektif mengatasi masalah lingkungan di masa kini dan
masa depan (Harrison, 2017, hal. 121). Dari perspektif kelestarian lingkungan, penting bagi
individu yang menjadi anggota masyarakat untuk memiliki kesadaran lingkungan mengingat
masih kurangnya kesadaran individu terhadap lingkungan (Chugh dkk, 2016, hal. 435).
Perubahan iklim merupakan isu kompleks yang tidak hanya memerlukan edukasi dan
diseminasi informasi. Gerakan lingkungan perlu membujuk publik untuk terlibat dalam aksi
kolektif menghadapi perubahan iklim. Indonesia sebagai produsen gas rumah kaca terbesar perlu
mengurangi emisi karbon untuk advokasi isu iklim global (Pusparisa, 2021). Pemerintah
Indonesia juga dianggap gagal menegakkan hukum dan menciptakan kebijakan ramah
lingkungan (Jalal, 2021; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2020). Oleh karena itu
masyarakat sipil perlu mengambil inisiatif untuk mendorong kelestarian lingkungan. Namun,
hanya sedikit orang Indonesia yang terlibat dalam aksi kolektif (DDA & C4C, 2022), sementara
partisipasi dalam kegiatan konsumsi ramah lingkungan secara individu lebih tinggi (Nastiti,
2023; Nastiti & Riyanto, 2021)
Dampak perubahan iklim saat ini terlihat di berbagai wilayah di bumi, seperti kebakaran
besar di Amerika Serikat dan banjir besar di Jerman, Belanda, Belgia, dan Tiongkok (Jalal,
2021). Di Indonesia, dampak krisis iklim semakin mengkhawatirkan dengan 2.431 bencana
terjadi, sebagain besar terkait dengan iklim (Mufarida, 2021). IPCC memprediksi kenaikan suhu
bumi sebesar 1,5 ℃ dalam dua dekade mendatang dapat menyebabkan bencana yang lebih
parah. Krisis iklim terjadi akibat peningkatan gas rumah kaca seperti CO 2, NO, dan CFC yang
dihasilkan dari aktivitas manusia seperti penggunaan kendaraan bermotor, batubara, pupuk
pertanian, dan AC. Jika komposisi gas rumah keca melebihi batas normal, dapat menyebabkan
kenaikan suhu bumi (Achmad, 2004, hal. 7).
Meskipun manusia berkontribusi secara signifikan terhadap krisis iklim, liputan media
mengenai masalah lingkungan dan bencana masih jarang. Pada tahun 2010, 97% ilmuan global
setuju bahwa krisis iklim terjadi akibat aktivitas manusia. Namun, hanya 28% media yang
mengangkat isu ini, sementara 72% lainnya menampilkan pandangan skeptis dan menentang
krisis iklim. Tak ayal, hanya 26-50% publik yang percaya bahwa manusia adalah penyebab
utama perubahan iklim (Turton, 2021). Meskipun media memiliki sumber daya yang cukup
untuk meliput masalah lingkungan, liputan ini tidak menguntungkan bisnis mereka karena
minimnya minat dari publik (DDA & C4C, 2022). Apabila media tradisional dan media online
belum mampu mengarusutamakan isu krisis iklim, maka media sosial memiliki peran penting
dalam mengatasi kekurangan tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa dengan mengikuti
organisasi lingkungan di media sosial, individu dapat memperoleh lebih banyak informasi
tentang isu lingkungan dan merasa lebih terhubung dengan orang lain yang peduli pada isu yang
sama (Boulianne & Ohme, 2022). Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan pemberitaan
serta percakapan mengenai mitigasi krisis iklim, mengingat konsekuensi yang serius yang harus
ditanggung manusia dari perubahan iklim.
Media sosial dapat digunakan sebagai solusi untuk meningkatkan partisipasi publik
dalam menjaga lingkungan, sebagai upaya mitigasi krisis iklim. Media sosial memungkinkan
pesan disampaikan secara langsung kepada banyak orang secara digital, tanpa perlu
mengandalkan liputan media tradisional. Selain itu, media sosial memfasilitasi interaksi antara
pengguna, pertukaran informasi, dan penyatuan ide seputar isu-isu lingkungan (Lovejoy dkk,
2012, hal. 313). Kemampuan media sosial dalam menyebarkan informasi secara cepat dan
mudah juga membantu meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang krisis
iklim dan isu lingkungan. Penelitian menunjukkan bahwa media sosial dapat digunakan untuk
menyebarkan informasi tentang kelestarian lingkungan (Aydin & Hossain, 2012) dan
mempersonalisasi masalah krisis iklim yang sebelumnya dianggap abstrak dan jauh (Anderson,
2017). Kamaruddin dkk (2016) juga menyatakan bahwa bahwa media sosial dapat
mempromosikan informasi untuk meningkatkan kesadaran lingkungan serta berbagai masalah
sosial. Komunikasi online dan berita yang dibagikan secara online juga dapat meningkatkan
kesadaran dan pengetahuan audiens mengenai isu lingkungan (Schäfer, 2012).
Media sosial, khususnya instagram, dapat menjadi alternatif solusi dalam meningkatkan
partisipasi publik dalam memelihara lingkungan melalui konten seputar krisis iklim. Meskipun
kebanyakan studi tentang krisis iklim fokus pada Twitter dan media tradisional, penting untuk
meneliti pengaruh platform gambar seperti instagram karena penggunaannya yang semakin
meningkat, terutama di Indonesia. Pengguna instagram di Indonesia terus bertambah dan
menjadi salah satu media sosial yang paling sering digunakan oleh masyarakat. Representasi
visual dari gerakan sosial dalam media sosial, termasuk instagram, dapat memengaruhi
pemahaman masyarakat terhadap gerakan tersebut. Melalui gambar, individu dapat membingkai
realitas dan memilih apa yang akan disampaikan. Media sosial, termasuk Instagram, memiliki
pengaruh besar pada pemikiran, sikap, dan tindakan penggunanya. Terpaan informasi di media sosial
dapat mempengaruhi kesadaran khalayak terhadap isu tertentu. Dalam konteks krisis iklim, memiliki
pengetahuan kolektif yang tepat melalui media sosial dapat memfasilitasi percakapan dan diskusi yang
bermutu, sehingga informasi dapat menyebar dengan cepat dan akurat. Penting untuk memperbanyak
dialog dan menggunakan pesan yang tepat untuk membangkitkan optimisme dan mendorong partisipasi
masyarakat dalam upaya menjaga lingkungan. media dan pesan adalah satu kesatuan yang saling
terhubung. Pesan menurut Kotler, Philip, dan Amstrong (2006) adalah informasi yang meliputi isi pesan,
struktur pesan, format pesan, dan sumber pesan. Konten atau informasi mengenai krisis iklim di media
dapat membentuk kesadaran khalayak melalui pengaruh terhadap memengaruhi afektif (emosi), kognitif
(pengetahuan), dan aktif (perilaku).
Untuk mengukur sejauh mana efek yang dihasilkan pada khalayak sebagai akibat dari
penggunaan media, peneliti menggunakan teori Stimulus Organisme Respon (S-O-R). Terpaan
media merupakan sebuah proses penerimaan informasi atau pesan oleh individu saat
menggunakan media. Tingginya tingkat paparan dapat memicu timbulnya efek tertentu kepada
khalayak (Liliweri, 1992). Terpaan media dapat memberikan pengaruh kepada pemikiran, sikap,
dan tindakan khalayaknya (Ardianto dkk, 2014).
Penelitian sebelumnya cenderung berfokus pada variabel individual seperti karakteristik
demografi atau faktor kognitif-psikologis untuk menjelaskan keterlibatan individu dalam aksi
lingkungan, namun kurang mengeksplorasi faktor sosial, termasuk peran media dan komunikasi
(Zhang & Skoric, 2018). Untuk meneliti sejauh mana peran media, penelitian ini berfokus pada
peran media sosial instagram. Hingga saat ini penulis melihat masih kurangnya penelitian yang
memusatkan perhatiannya pada konten krisis iklim di Instagram dan pengaruhnya terhadap
kesadaran lingkungan secara kuantitatif.
Fokus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh isi pesan pada konten tentang krisis iklim di
instagram @krisisiklim terhadap kesadaran lingkungan.
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh struktur pesan pada konten tentang krisis iklim di
instagram @krisisiklim terhadap kesadaran lingkungan.
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh format pesan pada konten tentang krisis iklim di
instagram @krisisiklim terhadap kesadaran lingkungan.
4. Untuk mengetahui besarnya pengaruh sumber pesan pada konten tentang krisis iklim di
instagram @krisisiklim terhadap kesadaran lingkungan.
5. Untuk mengetahui besarnya pengaruh konten krisis iklim di instagram @krisisiklim
terhadap kesadaran lingkungan.

(1) peran kesadaran memelihara lingkungan dalam mengurangi resiko krisis iklim; (2)
permasalahan mitigasi krisis iklim; (3) dampak dan penyebab perubahan iklim; (4) urgensi
pemberitaan krisis iklim di media; (5) media sosial sebagai medium publikasi isu krisis iklim; (6)
peran isu krisis iklim di instagram terkait solusi meningkatkan partisipasi publik terhadap isu
krisis iklim; (7) perkembangan studi komunikasi iklim di instagram; dan (8) alasan pemilihan
tempat penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian.

Akun instagram @krisisiklim merupakan akun yang kerap membagikan konten tentang isu krisis
iklim. Akun ini didirikan berdasarkan inisiasi sekelompok sukarelawan yang bekerja di sektor
lingkungan. Akun ini tidak dibiayai/berafiliasi dengan organisasi manapun yang mana hal ini
akan mencegah potensi bias dalam pemberitaan (Krisis Iklim, 2019). Meskipun terdapat
beberapa akun besar yang juga menyampaikan isu lingkungan termasuk isu krisis iklim seperti
Greenpeace dan WWF, namun akun Instagram @krisisiklim lebih spesifik terhadap konten-
konten krisis iklim (Eden, 2004; Siriwat & Tiedt, 2019).

Konten Krisis Iklim di Intagram


Pesan atau informasi yang disampaikan melalui media sosial disebut konten,
sebagaimana menurut Moens dkk bahwa konten merupakan berbagai bentuk isi pesan di media
yang terbentuk secara daring (2014, hal. 7). Konten di media sosial terdiri dari empat komponen,
yaitu isi pesan, struktur pesan, format pesan, dan sumber pesan (Kotler & Amstrong, 2006).
1. Isi pesan adalah bagaimana komunikator konten membuat pesan sehingga menentukan respon
dari khalayak. Masih menurut Kotler dkk, terdapat tiga jenis daya tarik pesan yang terlihat
dari isi pesan, yaitu daya tarik rasional, emosional, dan moral.
2. Struktur pesan, terkait bagaimana pesan dapat disampaikan dengan logis sehingga pesan
menjadi efektif (Devina, 2016, hal. 5). Ada dua hal yang membuat struktur pesan menjadi
efektif, yaitu bagaimana struktur pesan dapat menciptakan kesimpulan dan argumentasi. 
3. Format pesan, yaitu bagaimana konten menyampaikan pesan secara simbolis. Format pesan
dapat diidentifikasi melalui penggunaan pesan lisan dan tulisan dan penggunaan desain
(Safitri & Andriani, 2018, hal. 97)
4. Sumber pesan, hal ini berpengaruh pada kredibilitas pesan karena menyangkut dari mana
sumber pesan yang disampaikan.
Di Indonesia, konten krisis iklim masih kurang populer dibandingkan topik-topik lain
seperti pemilu, korupsi, dan terorisme (Wahyuni, 2017, hal. 80). Padahal menurut YouGov,
Indonesia adalah negara dengan jumlah penyangkal krisis iklim (climate deniers) paling tinggi di
dunia, yakni sebanyak 18% masyarakat Indonesia tidak percaya bahwa krisis iklim disebabkan
oleh manusia (Oliver & Harvey, 2019). Urgensi pemberitaan krisis iklim di Indonesia juga
didasari oleh peran ganda Indonesia terkait isu krisis iklim, yaitu sebagai salah satu negara yang
paling terdampak dan salah satu negara kontributor pemanasan global (Nastiti & Riyanto, 2021).
Dalam beberapa dekade terakhir telah memperlihatkan peningkatan figur publik dan
produk budaya pop yang berfokus pada upaya meningkatkan kesadaran tentang krisis iklim
melalui kampanye menggunakan kemajuan teknologi. Pada saat yang sama, platform seperti
Instagram, Facebook, dan Twitter juga menawarkan kemudahan kepada masyarakat umum
mendiskusikan isu krisis iklim secara instan dan tanpa batas melalui jaringan internet (Fernandez
dkk, 2016, hal. 88). Artikel ilmiah menggunakan istilah tertentu dan fakta bahwa sejumlah
penelitian akademis dan ilmiah dibatasi dan dibagikan terutama di komunitas ilmiah,
membuatnya lebih sulit bagi masyarakat untuk memiliki pemahaman yang mendalam tentang
isu-isu lingkungan. Media sosial, di sisi lain menggunakan pesan visual yang mudah dipahami
dan mudah menjangkau audiensnya. Semakin banyak orang mencari, mengklik, dan
membagikan informasi tersebut, semakin banyak mesin pencari yang akan menampilkan
informasi tersebut, pada akhirnya semakin banyak orang yang melihat dan ikut mendiskusikan
informasi tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian Segerberg dan Bennheit bahwa media sosial
merupakan saluran yang berguna untuk menyebarkan pengetahuan tentang krisis iklim (2011,
hal. 770).
Pemberitaan tentang isu krisis ikim di media arus utama maupun media sosial seperti
Twitter telah dipelajari secara luas, namun hanya sedikit kajian mengenai isu ini di Instagram.
Hal ini terjadi karena konten di Instagram sebagian besar bersifat apolitis dan berfokus pada
topik seperti mode, perjalanan, makanan, dan kecantikan (Al Nashmi, 2018, hal. 117). Padahal
Instagram kerap dimanfaatkan sebagai media pemasaran atau media kampanye berbagai
kepentingan. Instagram dinilai memiliki engagement rate yang lebih tinggi dibandingkan media
sosial lain (Arora dkk, 2019, hal. 94–99). Menurut hasil riset Forrester Research (dalam Rizki &
Edriana, 2017, hal. 158) bahwa popularitas Instagram bahkan lebih tinggi dari Facebook dan
Twitter. Kelebihan tersebut dapat digunakan untuk menyebarkan informasi terkait krisis iklim.
Sedangkan perubahan iklim dikomunikasikan secara lebih efektif secara visual (Goldberg dkk,
2022, hal. 260).
Informasi berbasis visual telah terbukti membantu orang memproses dan mengingat
informasi dengan lebih baik (Graber, 1996, hal. 87), dan dalam konteks gerakan sosial, informasi
berbasis visual juga memotivasi pemirsa untuk terlibat dalam aksi tersebut (Geise dkk, 2021, hal.
93). Hal inilah yang menjadi keunggulan Instagram sebagai media untuk mengkomunikasikan
krisis iklim. Maka dari itu kaitannya dengan masalah krisis iklim, Instagram menawarkan
kesempatan untuk mendiskusikan isu ini melalui peran gambar dan teks (Moernaut & Mast,
2018, hal. 123).   

Konten Krisis Iklim dan Kesadaran Lingkungan

Riset komunikasi iklim secara konsisten menemukan bahwa konsumsi media secara
signifikan dapat membentuk pandangan dan perilaku individu tentang krisis iklim (Arlt dkk,
2011; Awan dkk, 2022; Taddicken, 2013). Secara psikologis, kesadaran muncul dari paparan
informasi yang diolah individu berdasarkan norma subjektifnya dan respon emosinya, yang
kemudian memungkinkan individu menilai resiko dan memikirkan tindakan yang bisa dilakukan
(Luhmann, 1989). Di sisi lain, isu krisis iklim merupakan permasalahan besar yang tidak dapat
langsung diketahui dan dirasakan individu dari kejadian kasat mata seperti halnya fenomena
cuaca biasa. Oleh karena itu individu memerlukan referensi informasi untuk menginterpretasikan
apa itu perubahan iklim, resikonya, dan mengembangkan tindakan yang bisa dilakukan. Di sini
media berperan penting sebagai sumber informasi dan inspirasi tindakan. Banyak riset
komunikasi iklim yang menemukan bahwa media adalah sumber informasi utama isu krisis iklim
bagi publik dan menjadi referensi publik untuk memahami apa itu krisis iklim (Holbert dkk,
2003; Mavrodieva dkk, 2019; Zhao, 2009). Kerangka nilai media juga sesuai dengan kerangka
sikap yang diadopsi individu terkait krisis iklim (Carvalho, 2010).
Jenis platform media juga memengaruhi tingkat paparan dan kepercayaan. Riset
Taddicken (2013) menemukan bahwa konsumsi berita dari internet dan televisi berpengaruh
secara signifikan dalam pembentukan sikap pro-lingkungan. Sementara konten di media cetak
tidak berpengaruh signifikan karena konten di internet dan televisi lebih menstimulasi individu
untuk mencari lebih lanjut yang kemudian dapat membentuk rasa percaya. Menurut penelitian
Zhao (2009) dan European Commission (2011), paparan informasi melalui media atau diskusi
daring terbukti memberikan pengaruh yang positif terhadap peningkatan kesadaran masyarakat
terhadap perubahan iklim serta pengetahuan mengenai cara mitigasinya. Survei dari Oxford
Reuters pada 2022 juga menunjukkan bahwa media daring dan media sosial adalah sumber
informasi dari mana individu paling sering mendapatkan informasi seputar krisis iklim (Ejaz
dkk, 2022). Menurut penelitian Zhang dan Skoric (2018) bahwa media sosial lebih berpengaruh
dibandingkan media konvensional. Contohnya dalam aktivisme iklim Fridays for Future dimana
aktivisnya sangat bergantung pada media sosial sebagai sarana mobilisasi dan komunikasi
(Belotti dkk, 2022; Boulianne & Ohme, 2022). Dari hal tersebut, dapat dipahami bahwa media
sosial memiliki peran besar dalam membantu menggugah partisipasi massa dalam aksi-aksi
lingkungan serta memperluas jangkauannya.
Kesadaran lingkungan (environmental consciousness) menurut Zelezny dan
Schultz adalah faktor psikologis dimana terdapat kecenderungan individu untuk terlibat dalam
perilaku pro-lingkungan (Zelezny & Schultz, 2000, hal. 365). Sementara yang dimaksud dengan
individu yang sadar secara ekologis atau pro-lingkungan merupakan seseorang yang terlibat
dalam berbagai perilaku pro lingkungan serta memegang nilai-nilai dan sikap tertentu (Sánchez
& Lafuente, 2010, hal. 371). Perilaku pro lingkungan adalah dengan sengaja mengurangi dampak
dari suatu tindakan pada lingkungan (Kollmus & Agyeman, 2015, hal. 239).
Berdasarkan konsep yang dibangun oleh Sanchez dan Lafuete, environmental
consciousness dibagi ke dalam tiga dimensi, yakni dimensi afektif, kognitif, dan aktif. Ketiga
dimensi ini sejalan dengan pengukuran Skala Kesadaran Ekologi yang awalnya dikembangkan
oleh Maloney dan Edward (1973) yang kemudian diadopsi dalam riset komunikasi iklim terkini
(Awan dkk, 2022; Elias dkk, 2019; Maran & Begotti, 2021)
1. Dimensi afektif mencoba untuk mengukur sejauh mana dukungan suatu individu terhadap
gagasan pro-lingkungan tertentu dan bagaimana persepsi individu terhadap ancaman yang
dihadapi oleh lingkungan saat ini. Sikap dalam dimensi afektif dilihat dari respon emosi,
tingkat kekhawatiran, serta tingkat efikasi individu mengenai isu krisis iklim.
2. Dimensi kognitif. Dimensi ini mencoba mengukur tingkat informasi dan pengetahuan
individu dalam perilaku ramah lingkungan maupun aktivitas pro-lingkungan. Sikap dalam
dimensi kognitif, misalnya terkait pengetahuan atau tingkat kepercayaan individu pada bukti
perubahan iklim
3. Dimensi aktif mencoba untuk mengukur sejauh mana keterlibatan individu dalam perilaku
ramah lingkungan maupun aktivitas pro-lingkungan. Dimensi aktif atau perilaku meliputi
tindakan yang dilakukan untuk lingkungan (environmentally conscious acts)

Teori Stimulus Organisme Respon


Pengguna media sosial yang mengikuti akun organisasi lingkungan akan terpapar
informasi tentang isu lingkungan dengan lebih banyak. Hal ini akan memungkinkan mereka
untuk memiliki hubungan sosial yang lebih erat dengan orang lain yang juga peduli pada isu
lingkungan (Boulianne & Ohme, 2022). Maka, paparan informasi di media sosial memudahkan
seseorang untuk terlibat dalam aktivisme lingkungan. Tingginya tingkat paparan dapat memicu
timbulnya efek tertentu kepada khalayak (Liliweri, 1992, hal. 73–76). Hal ini sebagaimana yang
dijelaskan oleh McQuail dan Windahl (1993, hal. 430) bahwa terpaan media merupakan proses
penggunaan media yang pada tahap tertentu dapat menimbulkan suatu efek bagi khalayak yang
terpapar. Lebih lanjut, terpaan media dapat memberikan pengaruh kepada pemikiran, sikap, dan
tindakan khalayaknya (Ardianto dkk, 2014).
Menurut Kriyantono (2014, hal. 209) terpaan media meliputi aktivitas mendengar,
memandang, dan membaca informasi atau pesan di media. Persoalan terpaan media tidak hanya
sebatas kedekatan fisik antara pengguna dengan media, namun termasuk pula apakah pesannya
cukup diperhatikan sehingga diingat atau tidak. Sedangkan pembahasan mengenai efek paparan
pesan di media dijelaskan oleh de Vreese dan Neijens bahwa konsumsi pesan di media dapat
meninggalkan efek afektif dan kognitif (2016, hal. 70).
Untuk mengukur sejauh mana efek yang dihasilkan pada khalayak sebagai akibat dari
penggunaan media, peneliti menggunakan teori Stimulus Organisme Respon (S-O-R). Pada
awalnya, teori ini didasarkan pada teori S-R atau Stimulus-Respons yang memandang aktivitas
komunikasi sebagai proses yang sangat sederhana berupa aksi-reaksi. Sementara teori S-O-R
lahir karena pengaruh kajian psikologi dan komunikasi yang sama, dalam jiwa manusia terdapat
perilaku, gagasan, sikap, kognisi, afeksi, serta konasi (Effendy, 2003, hal. 225).
         Terdapat beberapa komponen dalam teori ini diantaranya stimulus, organisme,
dan respons (Effendy, 2003, hal. 254). Stimulus, adalah berbentuk rangsangan yang didalamnya
terkandung pesan atau informasi. Organisme, adalah komunikan yang akan menjadi objek dari
suatu proses komunikasi. Sementara respon, adalah berbentuk dampak dari rangsangan.
Penelitian ini menggunakan teori S-O-R untuk memahami bagaimana stimulus atau rangsangan,
yaitu konten krisis iklim di instagram, dapat berpengaruh terhadap pengikut akun instagram
@krisisiklim dalam hal kesadaran memelihara lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai