Anda di halaman 1dari 12

MENGEJAR ANGKA KEMISKINAN NTB 1 DIGIT

Oleh: Lalu Suryadi S.


Kasubbid Pangan dan Pertanian Bappeda NTB

Kemiskinan merupakan permasalahan yang sangat kompleks, karena tidak hanya berkaitan
dengan rendahnya pendapatan masyarakat maupun ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, tetapi juga berkaitan ketidakberdayaan dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan
politik. Begitu juga halnya yang berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan tidak hanya ketidak
mempuan memenuhi kebutuhan hidup semata, namun lebih jauh lagi kemiskinan juga dapat
mengakibatkan munculnya gejala sosial yang baru pula, seperti pencurian, perampokan, begal,
pembunuhan, penculikan, sengketa hak tanah, perebutan harta warisan, dan lain sebagainya.
Dalam rangka menghindari berbagai permasalahan tersebut, tidak dipungkiri bahwa Provinsi
NTB sudah sangat bekerja keras untuk berupaya menurunkan angka kemiskinan, namun upaya dan
kerja keras tersebut tidak sepenuhnya seperti harapan yang di cita-citakan. Jika di rata-ratakan setiap
tahunnya Provinsi NTB menggelontorkan anggaran 1,2 – 1,5 Trilyun yang langsung mengarah kepada
program-program yang bersentuhan langsung dengan kemiskinan seperti Program JKN, Rumah
Layak Huni, Pembangunan Sarana Air Bersih, Bantuan ekonomi produktif dan berbagai program
lainnya. Angka anggaran tersebut belum menghitung program dan kegiatan yang tidak terkait
langsung dengan penanggulangan kemiskinan tetapi turut berkontribusi pada penurunan angka
kemiskinan, seperti pembangunan jalan tentu tidak terkait langsung dengan kemiskinan tetapi dengan
keberadaan jalan yang baik maka akses masyarakat terutama masyarakat miskin ke sarana kesehatan,
sarana pendidikan atau ke sarana ekonomi seperti pasar tentu akan lebih baik dan murah sehingga
dapat membantu masyarakat miskin untuk bisa mengembangkan usahanya lebih baik.

Besarnya alokasi anggaran dan


banyaknya jenis program yang dilaksanakan
tersebut belum mampu menurunkan angka
kemiskinan secara significant di Provinsi
NTB. Hal ini terlihat dari persen angka
kemiskinan yang mampu kita capai sampai
dengan maret 2021 sebesar 14,14% masih
jauh dari angka rata-rata nasional yang sudah
mencapai 1 digit yaitu sebesar 9,41%, yang
menempatkan NTB pada posisi angka
kemiskinan nomor 8 tertinggi setelah Provinsi
Bengkulu dan Aceh. Dengan posisi angka
kemiskinan tersebut kalau di rata-ratakan
penurunan angka kemiskinan yang mampu
kita turunkan di NTB dalam 10 tahun terakhir dari kemiskinan sebesar 21,55% tahun 2010 sampai
sebesar 14,56% tahun 2019 maka rata-ratanya adalah sebesar 0,699%. Dengan kondisi angka
kemiskinan yang sekarang sebesar 14,56% maka jika sejak tahun 2010 kita hanya mampu
menurunkan angka kemiskinan rata-rata setiap tahun sebesar 0,699 maka kita baru akan mampu
menurunkan angka kemiskinan di Provinsi NTB menjadi 1 digit pada tahun 2026 dengan angka
kemiskinan sebesar 9,67%. Itupun kalau setiap pemangku kepentingan yang ada di NTB ini
mengerahkan segala sumber daya yang ada, tetapi kalau itu tidak kita lakukan, maka sampai tahuh
2030 pun upaya tersebut masih sangat berat untuk kita lakukan. Karena ancaman penduduk yang
berada sedikit di atas garis kemiskinan atau yang biasa kita sebut sebagai penduduk hampir miskin
jumlahnya jauh melebihi penduduk miskin, dan penduduk rentan miskin ini sangat cepat masuk ke
bawah garis kemiskinan, jika terjadi kenaikan inflasi yang berpengaruh pada kenaikan harga
sembako, maka kelompok ini akan jatuh ke bawah garis kemiskinan.

Lalu apa yang harus kita lakukan agar kita tidak perlu menunggu sampai tahun 2026 untuk mengejar
angka kemiskinan turun dibawah 1 digit?. Jawabannya ada pada setiap pelaku pembangunan yang ada
di NTB ini, terutama pada setiap penentu kebijakan. Karena ada banyak sekali kelemahan dari
berbagai program dan kegiatan yang sudah kita laksanakan yang berpeluang menjadi penghambat
dalam mencapai target penurunan angka kemiskinan menjadi 1 digit tersebut diantaranya adalah:

1. Belum sepenuhnya setiap pelaku pembangunan yang melaksanakan program penanggulangan


kemiskinan menggunakan 1 basis data yaitu Basis Data Terpadu, baik OPD di Provinsi
sendiri, Pemerintah Pusat, Kabupaten/Kota, Desa, NGO, BUMN/BUMD dengan CSRnya,
swasta, bahkan masyarakat sendiri.
2. Belum terintegrasinya program/kegiatan antar sektor, antar tingkatan pemerintahan, maupun
antar pelaku pembangunan lainnya. Masing-masing masih melaksanakan
program/kegiatannya sendiri-sendiri sehingga pelaksanaannya tidak efisien dan efektif.
Bayangkan saja jika seorang penduduk miskin hanya diberikan bantuan rumah layak huni tapi
tidak memiliki sarana air bersih atau sarana sanitasi berupa jamban maka tentu tetap saja
penduduk miskin tersebut akan masih tetap terhitung sebagai penduduk miskin karena belum
memiliki sarana yang layak dan sehat di rumahnya.
3. Masih adanya kesalahan diagnose yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada suatu
wilayah. Kesalahan diagnose ini tentu akan menyebabkan terjadinya kesalahan kebijakan
pilihan program/kegiatan yang akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan
kemiskinan pada suatu wilayah. Sebagai contoh kalau di Provinsi NTB karakteristik
penduduk miskinnya hampir 50% bekerja di sector pertanian, sudahkah alokasi belanja
program dalam APBD mengakomodir permasalahan tersebut?. Kalau belanja APBD sudah
mengarah ke sector pertanian lalu sudahkah arah penggunaan dana tersebut di fokuskan
lokusnya ke kantong-kantong kemiskinan yang menjadi tempat bermukimnya petani-petani
miskin tersebut?.
4. Besarnya pengaruh factor kebijakan nasional terhadap angka kemiskinan daerah.
Ada beberapa kebijakan nasional yang sangat berpengaruh significant terhadap peningkatan
jumlah penduduk miskin seperti: kenaikan harga BBM, TDL dan kebijakan moneter.
Kenaikan BBM berpengaruh terhadap kenaikan jumlah penduduk miskin karena berhubungan
langsung dengan kenaikan biaya transportasi untuk sembako sehingga menyebabkan kenaikan
harga sembako di daerah. Kenaikna Tarif Dasar Listrik (TDL) berpengaruh terhadap kenaikan
jumlah penduduk miskin karena kenaikan TDL menyebabkan terjadinya peningkatan biaya
pengeluaran rumah tangga untuk membayar biaya langganan listrik, disamping juga kenaikan
TDL ini juga mempengaruhi biaya produksi UMKM yang menjadi andalan pendapatan
masyarakat miskin sehingga ketika biaya produksi naik, maka akan membawa konsekwensi
kenaikan harga jual yang secara langsung dapat menurunkan jumlah penjualan produk.
Begitu juga halnya yang berkaitan dengan kebijakan moneter di tingkat nasional sudah pasti
akan berpengaruh ke banyak aspek mengingat kebijakan moneter ini sangat berpengaruh
terhadap investasi. Sebagai contoh bila suku bunga naik maka biasanya hal tersebut akan
berpengaruh kepada penurunan jumlah maupun nilai investasi, dan jika jumlah dan nilai
investasi menurun maka secara langsung akan menyebabkan peningkatan angka
pengangguran yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Di
sisi lain kebijakan moneter ini juga dapat berpengaruh langsung kepada peningkatan angka
kemiskinan, karena kebijakan moneter juga dapat berpengaruh kepada peningkatan harga
barang kebutuhan pokok sehingga sudah pasti akan sangat memberatkan bagi penduduk
miskin.

5. Adanya pemahaman bahwa kemiskinan hanya merupakan permasalahan ekonomi semata.


Hal yang masih juga menjadi penyebab belum maksimalnya upaya penanggulangan
kemiskinan terutama di daerah adalah masih adanya stakeholder terutama para penentu
kebijakan yang beranggapan bahwa kemiskinan hanya merupakan permasalahan ekonomi
semata. Konsep berpikir ini menyebabkan kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak
pernah paripurna karena penanganannya hanya dari satu sisi saja yaitu sisi ekonomi semata.
Padahal untuk bisa mengeluarkan penduduk miskin dari garis kemiskinan banyak factor yang
harus di tangani tergantung pada kondisi dan permasalahan yang di hadapi, dan tidak pernah
ada kemiskinan yang memiliki permasalahan tunggal karena selalu disebabkan oleh berbagai
factor yang multidimensi. Sebagai contoh banyak kemiskinan yang terjadi pada daerah yang
kaya akan sumber daya alam karena disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM sehingga tidak
ada kreatifitas untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam yang berlimpah tersebut
menjadi sesuatu yang bernilai ekonomi.

6. Tingginya nuansa politis dalam pengambilan keputusan kebijakan anggaran.


Sebagai Negara berkembang yang masih belajar berdemokrasi, tidak dipungkiri bahwa masih
tingginya intervensi politik dalam penentuan kebijakan anggaran, karena regulasi yang ada
juga masih memberikan ruang yang terbuka lebar untuk adanya intervensi politik dalam
penetapan anggaran, baik di pusat maupun di daerah. Hal ini dapat kita lihat berbagai tahapan
dan proses yang ada dalam tahapan perencanaan maupun penganggaran. Dalam proses
penetapan APBD yang notabene adalah dalam bentuk Perda memberikan ruang interaksi
antara eksekutif dengan legislatif melalui Badan Anggaran. Dalam proses ini tidak bisa
dihindari adanya usulan dari legislatif yang harus mengakomodir konstituen politik dari setiap
anggota dewan, walaupun dari sisi ketepatan sasaran yang harus mengakomodir penduduk
miskin kadang terabaikan, karena kondisi factual yan ada di lapangan, walaupun ada
penduduk miskin yang berhak sebagai sasaran program tetapi karena bukan konstituen politik
bisa jadi tidak mendapatkan bantuan program/kegiatan sehingga menyebabkan terjadinya
penetapan sasaran yang kurang tepat. Begitu juga halnya di eksekutif karena pimpinan daerah
merupakan produk politik yang mau tidak mau dan suka tidak suka berhadapan dengan basis
massa maka sudah tentu akan ada tuntutan pembagian kue karena merasa sudah berkontribusi
pada proses pemenangan, kondisi seperti ini tentu akan berpengaruh dalam proses penentuan
kebijakan, sehingga lagi-lagi akan menjadi sasaran prioritas diantara yang lebih prioritas di
sekitarnya. Kondisi factual intervensi politik tersebut sesungguhnya bukan hal yang tabu
dalam system perencanaan pembangunan, karena dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan dengan jelas
bahwa ada lima pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan pembangunan yaitu:
politik, teknokratik, partisipatif, top down dan bottom up. Namun satu hal yang harus kita
pahami bersama bahwa bukan masalah untuk melakukan pendekatan politik dalam penetapan
sasaran program penanggulangan kemiskinan, namun hendaknya pendekatan politik tersebut
harus dilengkapi dengan dasar pertimbangan yang kuat dan logis melalui penggunaan Basis
Data Terpadu (BDT) untuk memastikan bahwa sasaran program tersebut masuk pada kategori
penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan.

7. Semakin terbatasnya daya dukung dan daya tampung lingkungan.


Jumlah penduduk yang semakin tinggi menuntut ketersediaan kebutuhan pokok manusia terus
bertambah, namun kondisi yang terjadi menunjukkan kecenderungan terjadinya penurunan
jumlah ketersediaan karena berbagai hal seperti: alih fungsi lahan ke perumahan dan
permukiman, terjadinya degradasi lahan yang menyebabkan terjadinya penurunan
produktifitas. Kondisi ini memberikan tekanan yang sangat ekstrim bagi penduduk miskin
karena kepemilikan lahan penduduk miskin yang rata-rata sangat sempit juga dihadapkan
pada penurunan produktifitas lahan sehingga hasil yang diperoleh secara terus-menerus
semakin berkurang, sementara jumlah anggota keluarga semakin banyak. Akibatnya
penduduk miskin yang bekerja di sector pertanian ini semakin tenggelam dibawah garis
kemiskinan.

8. Lemahnya daya juang dan karakter penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan
Dari beberapa interaksi dan komunikasi dalam berbagai kesempatan dengan bebarapa
penduduk yang kehidupannya masuk pada kategori dibawah garis kemiskinan, ada beberapa
karakter dan kebiasaan yang kami anggap sebagai penghambat untuk keluar dari garis
kemiskinan adalah sebagai berikut:
 Umumnya masyarakat miskin memiliki karakter yang bersifat pemalu dan susah
bicara jika berkumpul dalam satu kelompok dengan masyarakat yg lebih maju,
apalagi kalau dalam forum tersebut ada pejabat atau tokoh yang disegani maka sangat
susah untuk disuruh bicara menyuarakan aspirasi, harapan dan kebutuhannya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya.
 Karakter lain yang juga menjadi penghambat dalam upaya mengelurkan penduduk
miskin dari kemiskinannya adalah karakter yang pasrah dan merasa cepat puas
dengan kondisi yang ada sehingga tidak ada semangat dan gerakan untuk keluar dari
kondisi yang ada.
 Penduduk miskin dalam kesehariannya juga miskin dengan ide dan gagasan sehingga
sangat minim dengan peluang dan terobosan dalam rangka memulai sebuah usaha
yang memungkinkannya keluar dari kungkungan kemiskinan.
 Dalam hubungan sosial kemasyarakatan penduduk miskin dihadapkan pada
permasalahan kurangnya wawasan dan pergaulan dengan dunia luar sehingga lemah
terhadap akses informasi yang sesungguhnya memberikan banyak peluang untuk
meningkatkan kesejahteraannya.

9. Semakin beratnya tantangan untuk menghindari pola hidup konsumtif.


Kondisi zaman milenial ini memberikan beban yang semakin berat bagi penduduk miskin,
karena sesungguhnya penduduk miskin adalah kelompok yang kurang mendapatkan insentif
dari berbagai kemudahan sebagai akibat maju pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
justru sebaliknya kemajuan teknologi yang ada membuat beban penduduk miskin semakin
berat karena sebagian besar masyarakat miskin justru larut dalam pola hidup konsumtif dalam
rangka menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar sehingga tidak disebut sebagai generasi
gaptek (gagap teknologi) dan ketinggalan zaman. Kondisi pergaulan dengan lingkungan
sekitar juga menyebabkan masyarakat miskin cenderung ingin menyesuaikan diri dengan
mengikuti trend pergaulan yang umumnya lebih mengarah kepada gaya hidup modern yang
tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit.Kondisi ini sehari-hari dapat kita lihat disekitar
kita dimana semiskin apapun sebuah rumah tangga akan tetap mengupayakan agar si anak
bisa memiliki HP minimal untuk dapat eksis di media sosial. Sehingga banyak kasus pada
saat BLT dicairkan penerima bukan menggunakan untuk kebutuhan hidup maupun kebutuhan
pendidikan si anak tetapi dibawa ke toko HP untuk beli HP merek terbaru atau membeli paket
pulsa. Contoh kasus lainnya juga, jika seorang anak dari keluarga miskin melihat temannya
memiliki HP maka ia akan meminta kepada orang tuanya untuk dapat dibelikan HP tanpa
memikirkan apakah si orang tua mampu atau tidak untuk membelikanya HP. Dan permintaan
tersebut umumnya tidak akan mampu di tolak oleh orang tuanya dan akan di upayakan sebisa
mungkin dengan berbagai cara untuk dibelikan, padahal masih banyak kebutuhan lain yang
lebih mendesak untuk dibeli seperti kebutuhan akan makanan dan kebutuhan mendesak
lainnya. Atau bisa saja seharusnya dana tersebut akan lebih bermanfaat kalau digunakan
sebagai modal usaha sehingga lebih produktif dan bisa menghasilkan. Yang lebih
memprihatinkan lagi, umumnya untuk mendapatkan dana tersebut diperoleh melalui pinjaman
dari fihak lain, apalagi satu-satunya sumber pinjaman di sekitar mereka yang cepat didapat
dengan syarat-syarat yang gampang adalah dari rentenir sehingga menjadi beban baru bagi
keluarga miskin tersebut yang menyebabkannya semakin jauh tenggelam dibawah garis
kemiskinan.
10. Tingkat Pendidikan yang Rendah dan Kurangnya Keterampilan Individu
Salah satu hambatan untuk mendorong penduduk miskin ke pasar kerja dalam rangka
meningkatkan pendapatannya adalah masalah kurangnya keterampilan individu sebagai akibat
dari rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki. Sebagai gambaran di Provinsi NTB
permasalahan ini tercermin dari karakteristik pendidikan penduduk miskin menunjukkan
bahwa jumlah penduduk miskin yang berpendidikan SD kebawah sebesar 41,20% dari total
penduduk miskin yang ada di NTB. Kondisi ini menyebabkan pasar kerja yang ada di
Provinsi NTB ini lebih banyak di serap oleh masyarakat kelas menengah ke atas, bahkan
banyak juga peluang kerja yang justru diserap oleh penduduk dari luar NTB.
11. Pengangguran
Angka pengangguran di NTB berdasarkan data BPS terakhir (2019) menunjukkan angka
sebesar 3,27% artinya masih cukup aman, namun angka ini bisa saja setiap saat melonjak
karena kondisi investasi di NTB yang belum normal sebagai akibat dampak bencana alam
gempa bumi beberapa saat yang lalu, dan pertumbuhan angkatan kerja usia produktif terus
meningkat yang artinya kalau kelompok penduduk ini tidak segera disiapkan SDM dan
lapangan kerjanya maka setiap saat angka pengangguran ini juga bisa meningkat drastis. Dan
jika angka pengangguran meningkat maka hal tersebut dapat meningkatkan jumlah penduduk
miskin.

12. Tingginya beban hidup keluarga akibat banyaknya anggota keluarga


Rata-rata penduduk yang hidupnya dibawah garis kemiskinan di Provinsi NTB memiliki
jumlah anggota keluarga yang lebih banyak jika dibandingkan penduduk yang hidupnya lebih
sejahtera. Kondisi ini umumnya disebabkan oleh prinsip yang banyak di anut oleh masyarakat
di NTB yaitu “banyak anak banyak rezeki”. Dan prinsip tersebut justru sangat diyakini oleh
penduduk yang hidupnya dibawah garis kemiskinan, sehingga berupaya untuk bisa lebih
banyak lagi jumlah anaknya sehingga rezekinya akan lebih banyak lagi, padahal yang terjadi
justru sebaliknya yaitu beban keluarga akan semakin berat karena lebih banyak lagi
kebutuhan hidupnya.
13. Masih rendahnya komitmen pimpinan dalam penetapan kebijakan penanggulangan
kemiskinan.
Komitmen pimpinan tentu adalah merupakan motor penggerak utama dalam upaya
penanggulangan kemiskinan, karena setiap kebijakan yang ditetapkan sangat ditentukan oleh
ide, gagasan, dan dukungan dari setiap pimpinan baik pimpinan wilayah maupun pimpinan
OPD. Sebaik apapun konsep dan gagasan yang dilahirkan dari pemikiran seorang staf tidak
akan pernah bisa dilaksanakan jika pimpinan tidak setuju dengan konsep dan gagasan
tersebut, karena konsep dan gagasan baru dapat dilaksanakan apabila sudah masuk pada
dokumen perencanaan dan penganggaran yang merupakan ranah kebijakan yang wajib
disetujui dan mendapatkan dukungan pimpinan. Disamping itu pimpinan juga memegang
peranan penting dalam rangka melakukan advokasi dan sosialisasi kepada stakeholder
lainnya, karena posisi pimpinan sebagai penentu kebijakan akan lebih tinggi marwahnya
ketika menyampaikan informasi tentang kebijakan sehingga lebih di dengar, lebih mudah
sampai dan lebih cepat ditindaklanjuti. Dengan kondisi ini maka upaya untuk menyebarkan
virus-virus penanggulangan kemiskinan pada setiap stakeholder akan lebih mudah dilakukan.

Melihat banyaknya kendala dan permasalahan yang masih menjadi penghambat dalam rangka
mewujudkan “angka kemiskinan 1 digit” dibutuhkan upaya yang ekstra keras dengan terobosan-
terobosan program yang inovatif dan mampu memberikan daya ungkit terhadap penurunan angka
kemiskinan. Beberapa upaya yang dilakukan oleh NTB adalah sebagai berikut:

1. Menggunakan 1 basis data yaitu Basis Data Terpadu (BDT) untuk semua program
penanggulangan kemiskinan di Provinsi NTB. Penggunaan satu basis data ini diterapkan bagi
program kegiatan yang dilaksanakan di Provinsi NTB oleh Kementerian/ Lembaga, OPD
Provinsi NTB, Kabupaten/Kota, Desa/Kelurahan, BUMN/BUMD, NGO, Swasta dan
masyarakat. Implementasi dari upaya ini diwujudkan melalui Program NTB Satu Data dan
NTB Satu Peta. Disamping itu untuk memudahkan setiap pengguna data BDT ini, Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) NTB mengembangkan BDT ini
dalam berbagai bentuk data yang praktis digunakan diantaranya: BDT yang sudah dipilah
berdasarkan karakteristik kemiskinannya seperti: karakteristik ber mata pencaharian sebagai
petani, nelayan, pemulung, peternak, industry pengolahan dll. Disamping itu ada juga BDT
yang sudah dikembangkan menjadi aplikasi SDGs dan Kemiskinan, serta peta kemiskinan
untuk 500 desa paling miskin yang sudah ditetapkan dengan Keputusan Gubernur NTB.
Dalam rangka mengakomodir kebutuhan anggota DPRD pada wilayah Dapil masing-masing,
TKPKD juga mengembangkan BDT yang sudah dipilah berdasarkan Dapil yang disebut
sebagai “BDT berbasis Dapil”.
2. Dalam rangka mengatasi permasalahan belum terintegrasinya program dan kegiatan
penanggulangan kemiskinan di NTB, Pemerintah Provinsi menetapkan 500 Desa yang paling
banyak penduduk miskinnya di NTB untuk menjadi lokus dari setiap program/kegiatan
penanggulangan kemiskinan di NTB. Dari 500 desa tersebut, 100 desa menjadi
tanggungjawab Provinsi dan 400 desa menjadi tanggungjawab Kabupaten/Kota dan Desa.
Integrasi Program/Kegiatan juga di upayakan dengan menetapkan 13 Program prioritas
penanggulangan kemiskinan di NTB yang terdiri dari Program Kawasan Rumah Pangan
Lestari (KRPL), Program Jamban Keluarga, Program Rumah Layak Huni (RLH), Badan
Usaha Milik Desa (Bumdes), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Air Bersih, Pengembangan
Desa Wisata, Sambungan Listrik Murah, Bank Sampah, Desa Berdaya Mandiri Pangan,
Budidaya Udang Vaname, Revitalisasi Posyandu, dan Pertanian Konserfasi.
Integrasi program dalam 13 program prioritas ini diwujudkan melalui beberapa model
integrasi diantaranya dengan :

 Satu program dikerjakan secara bersama-sama, contohnya KRPL yang dilaksanakan oleh
Dinas Ketahanan Pangan bekerja sama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
melalui penyediaan Unggas dan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan untuk penyediaan
bibit ikan. Demikian juga pembangunan Rumah Layak Huni yang dilaksanakan oleh
Dinas Permukiman bisa bekerjasama dengan Dinas Kesehatan untuk penyediaan jamban
dan dengan Dinas PUPR untuk penyediaan air bersih, rabat gang dan drainasenya.
 Model integrasi lainnya adalah dengan pembagian lokus kegiatan, misalnya KRPL yang
bersumber dari dana APBD berbagi wilayah dengan yang bersumber dari APBN. Begitu
juga halnya dengan Rumah Layak Huni berbagi wilayah antara yang dibiayai dari APBD
dengan yang dibiayai dari dana CSR BUMN/BUMD/Swasta/BAZNASDA dan lain-lain.

3. Untuk mengatasi adanya kesalahan diagnose dalam penetapan program yang tepat dan sesuai
dengan permasalahan daerah maka sebelum penetapan program intervensi terlebih dahulu
dilakukan analisis Basis Data Terpadu untuk melihat karakteristik kemiskinan pada suatu
wilayah. Disamping itu juga harus dilakukan Analisis Belanja Publik untuk melihat berbagai
hal yang menjadi pertimbangan dalam menetapkan alternative intervensi program yang tepat
untuk penanggulangan kemiskinan pada suatu wilayah. Beberapa alat analisis yang digunakan
adalah:
 Analisis Perkembangan Antar Waktu
 Analisis efektifitas Program
 Analisis Relefansi Program
 Analisis Keterkaitan Program
 Analisis Prioritas Intervensi Wilayah dan beberapa alat analisis lainnya.
4. Berkaitan dengan kebijakan nasional di NTB seperti kenaikan BBM, TDL dan kebijakan
lainnya yang berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin di NTB, untuk
mengatasi permasalahan ini tidak banyak hal yang dapat kita lakukan karena penetapan
kebijakan di tingkat pusat tentunya sudah ada pertimbangan oleh para pakar yang
berkompeten, namun Pemerintah Provinsi tentu tidak tinggal diam tetapi tetap mengambil
langkah-langkah diantaranya dengan memberikan masukan kepada Pemerintah Pusat untuk
dapat menunda dulu kebijakannya atau langkah-langkah lain berupa tindakan mempersiapkan
masyarakat dengan sosialisasi dan langkah-langkah antisipasi tingkat lokal seperti “Operasi
Pasar Murah” agar dampak yang ditimbulkan tidah terlalu dirasakan oleh masyarakat miskin.
5. Yang berkaitan dengan masih adanya kesalahan pemahaman tentang kemiskinan yang di
anggap hanya merupakan aspek ekonomi semata perlu dilakukan advokasi yang lebih intens
terutama di kalangan internal birokrasi sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penetapan
kebijakan penanggulangan kemiskinan. Disamping itu upaya untuk menggiring dalam rangka
memperbaiki pola pikir yang kurang tepat tersebut juga dilakukan dengan melibatkan
akademisi dari perguruan tinggi yang ada di NTB untuk turut berkontribusi memberikan
sumbangan pikiran sebagai tim pakar dalam penanggulangan kemiskinan, sehingga dalam
berbagai kesempatan para pakar ini memberikan pencerahan kepada stakeholder yang terlibat
dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTB.
6. Tingginya nuansa politik dalam penetapan kebijakan anggaran perlu dibenahi dengan
meningkatkan ketersediaan data sasaran yang up to date dan akuntabel sehingga dapat
menjadi pertimbangan yang lebih jelas dalam pengambilan keputusan. Disamping itu
penggunaan sistim aplikasi e-planning dalam penyusunan perencanaan dan penganggaran
diharapkan dapat lebih mengarahkan program/kegiatan ke sasaran yang tepat dan
meminimalisir intervensi politik yang terlalu dominan. Dan untuk membekali DPRD dengan
data yang lengkap TKPKD telah menyiapkan data BDT berbasis Dapil sebagai dasar
pertimbangan utama untuk menetapkan sasaran program/kegiatan.
7. Semakin terbatasnya daya dukung dan daya tampung lahan bagi penduduk miskin yang
berprofesi sebagai petani dapat di atasi dengan mengembangkan pertanian yang lebih modern
dengan bantuan input teknologi yang lebih modern kepada petani. Input teknologi yang lebih
modern tersebut bisa berupa bantuan peralatan mekanisasi yang dapat mempermudah dalam
bertani dan bisa meningkatkan produktifitas pada lahan yang terbatas. Bantuan teknologi juga
dapat dalam bentuk bantuan Drip Irrigation (irigasi tetes) yang bisa meningkatkan pertanaman
dalam suatu lahan sehingga yang semula hanya panen sekali dapat menjadi 3 atau 4 kali
panen. Yang berkaitan dengan terjadinya degradasi lahan sebagai akibat dari penggunaan
sumber daya alam yang berlebihan dengan mengabaikan kelestarian lingkungan dapat di atasi
dengan menerapkan sistim pertanian konservasi dalam budidaya pertanian pada lahan-lahan
yang sudah kritis. Dalam rangka meningkatkan hasil dari lahan yang terbatas juga di atasi
dengan meningkatkan nilai tambah dari produk hasil pertanian yang ada dengan melakukan
pengolahan hasil pertanian tersebut terlebih dahulu sebelum di pasarkan. Disamping itu
keterbatasan kepemilikan lahan juga harus disikapi dengan pemilihan jenis komoditi yang
memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi seperti komoditi hortikultura atau jenis komoditi
lainnya, sehingga dengan luasan lahan yang sempit mendapatkan hasil produksi yang lebih
tinggi nilai ekonomisnya.
8. Untuk mengatasi lemahnya daya juang dan karakter penduduk miskin bukan merupakan
pekerjaan yang ringan, karena hal tersebut sudah mendarah daging dan membudaya dalam
hidup dan kehidupannya. Sehingga upaya untuk mengatasi permasalahan ini harus dibagi
dalam dua skenario yaitu skenario jangka pendek dan jangka panjang seuai kondisi dan
permasalahan yang ada.
 Untuk mengatasi karakter masyarakat miskin yang bersifat pemalu dan susah bicara jika
berkumpul dalam satu kelompok dengan masyarakat yg lebih maju apalagi kalau dalam
forum tersebut ada pejabat atau tokoh yang disegani, maka upaya jangka pendek yang
bisa dilakukan adalah dengan mengelompokkan dalam satu kelompok yang homogen
atau setara sehingga setiap individu yang ada dalam forum tersebut tidak segan untuk
bicara mengeluarkan unek-uneknya, disamping itu kelompok-kelompok masyarakat
seperti ini harus lebih sering di ajak bicara dan dilibatkan dalam berbagai forum sehingga
lambat laun menjadi terbiasa untuk berbicara dalam forum. Sedangkan upaya jangka
panjang membutuhkan satu generasi lagi dengan meningkatkan kapasitas SDM
masyarakat miskin sejak dini melalui dunia pendidikan karena apabila berbagai upaya
jangka pendek tersebut diatas tidak bisa mengatasi permasalahan tersebut karena kondisi
karakter individu yang sudah susah dirubah, maka alternatif generasi penerusnyalah yang
harus dibina dan difasilitasi sehingga tidak terjadi proses pewarisan kemiskinan pada
generasi berikutnya akibat karakter yang tidak mendukung untuk membentuk masyarakat
sejahtera.
 Kondisi masyarakat miskin yang mudah pasrah dan merasa cepat puas dengan kondisi
yang ada harus ditangani dengan komprehensif, yang dimulai dengan upaya
pemberdayaan masyarakat miskin dengan menggerakkan semangat yang pantang
menyerah baik melalui komunikasi verbal maupun study komparasi, dan pilot project
yang memberikan contoh kongkrit bahwa masih ada masyarakat yang kondisinya jauh
lebih parah diluar sana tapi mampu bangkit dan keluar dari lembah kemiskinan karena
memiliki semangat dan keinginan yang kuat untuk maju dan berubah. Setelah langkah
pemberdayaan harus dilanjutkan dengan memberikan input fisik berupa bantuan sarana
usaha atau input fisik lainnya sesuai potensi yang dimiliki, sehingga setelah yang
bersangkutan menerima pembekalan melalui pemberdayaan dapat mereka lanjutkan
dengan memulai aktifitas usaha/kegiatan yang dapat memberikan sumber penghasilan
untuk hidup lebih layak. Tidak cukup dengan itu, upaya untuk menjamin adanya
keberlanjutan terhadap berbagai bantuan yang sudah diberikan harus tetap di pantau, di
monitoring dan di evaluasi sehingga dapat dipastikan bahwa penduduk miskin tersebut
meningkat status kesejahteraannya.
 Kondisi yang paling banyak terjadi pada masyarakat miskin adalah miskin ide dan
gagasan. Dan untuk membuat masyarakat miskin kaya akan ide dan gagasan maka
kapasitas SDMnya harus terus di asah, baik melalui pelatihan maupun memberikan
informasi tentang contoh ide dan gagasan di tempat lain yang memiliki potensi untuk
mereka juga lakukan. Contoh ide dan gagasan tersebut harus diberikan dalam berbagai
pilihan dan alternatif sehingga dapat disesuaikan dengan keahlian,potensi dan daya
dukung lingkungan serta peluang pasar yang menguntungkan bagi mereka.
 Permasalahan kurangnya wawasan dan pergaulan dengan dunia luar memang menjadi
salah satu penghambat untuk maju, dan untuk mengatasi hal tersebut penduduk miskin
harus diberikan peningkatan kapasitas SDM dan sosialisasi tentang bagaimana membuka
wawasan berpikir agar lebih luas dan memfasilitasi masyarakat miskin untuk dapat
berkomunikasi dengan dunia luar, baik dengan menghadirkan orang-orang potensial dari
luar yang dapat membantu perluasan jaringan pergaulan, maupun dengan membantu
akses masyarakat miskin terhadap informasi dari luar melalui dunia maya, sehingga dari
interaksi tersebut diharapkan ada peluang yang bisa dikerjasamakan dalam rangka
perbaikan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat miskin.
 Lemahnya etos kerja juga merupakan permasaahan yang cukup pelik untuk ditangani
karena walaupun sudah banyak bantuan dan fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah
untuk mendorong penduduk miskin keluar dari garis kemiskinan tetapi yang
bersangkutan memiliki etos kerja yang lemah, maka berbagai upaya tersebut akan sulit
untuk dijamin keberlanjutannya. Lemahnya etos kerja umumnya disebabkan oleh 2 hal
yaitu pertama karena karakter individual masyarakat yang malas, dan yang kedua
disebabkan oleh kondisi masyarakat yang frustasi karena berbagai upaya yang sudah
dilakukan belum memberikan hasil yang memuaskan, atau bisa juga rasa malas situ
muncul sebagai bentuk kekecewaan akibat adanya kondisi yang termarginalkan karena
tidak adanya akses secara social dan politik untuk mendapatkan bantuan dan perhatian
dari pemerintah. Untuk mengatasi hal tersebut maka bagi masyarakat yang karakternya
memang malas maka langkah yang harus di ambil adalah terus menggugah masyarakat
tersebut untuk ikut serta dalam berbagai program penanggulangan kemiskinan tentu
dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda. Misalnya kalau selama ini rasa malas itu
muncul mungkin karena pendekatannya individual, maka dapat dirubah dengan
pendekatan kelompok sehingga dalam kelompok tersebut ada motivasi dari rekan lainnya
yang ada dalam kelompok tersebut untuk bersama-sama keluar dari belenggu
kemiskinan.
9. Semakin beratnya tantangan untuk menghindari pola hidup konsumtif.
Untuk mengatasi beratnya tantangan mengatasi pola hidup konsumtif dari penduduk miskin
berbagai upaya harus dilakukan mulai dari pembenahan sistim penyaluran bantuan agar
bantuan digunakan sesuai peruntukannya, dan peningkatan pengendalian, pengawasan dan
monev terhadap berbagai program penanggulangan kemiskinan yang lebih intensif agar
sesuai dengan target kinerja yang sudah ditetapkan. Pola hidup konsumtif dapat di minimalisir
dengan berbagai cara diantaranya dengan memberikan penyadaran dan pembinaan dengan
melibatkan tokoh agama melalui pendekatan keagamaan, disamping itu cara lain yang dapat
dilakukan adalah dengan memberikan kesibukan dengan kegiatan yang lebih produktif
sehingga tidak ada waktu untuk mengerjakan hal-hal yang bersifat konsumtif.
10. Tingkat Pendidikan yang Rendah dan Kurangnya Keterampilan Individu
Berdasarkan data karakteristik penduduk miskin yang dikeluarkan oleh BPS tahun 2019, rata-
rata sebanyak 41,20% penduduk miskin di NTB pendidikannya SD ke bawah. Hal ini
menunjukkan bahwa salah satu penyebab dari kemiskinan di Provinsi NTB ini adalah
rendahnya tingkat pendidikan. Dengan kondisi tingkat pendidikan yang sangat rendah
tersebut tentunya akan berpengaruh langsung pada kurangnya keterampilan sehingga tidak
banyak ide dan gagasan untuk melakukan aktifitas ekonomi yang dapat menghasilkan
pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Rendahnya tingkat pendidikan
ini juga menyebabkan sangat minimnya peluang kerja bagi masyarakat miskin, karena pasar
kerja tentu akan lebih mengakomodir tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi
karena lebih identik dengan tingkat keterampilan yang lebih baik.
11. Pengangguran.
Masih adanya masyarakat NTB yang berstatus sebagai pengangguran perlu ditangani secara
lebih serius, karena jika angka pengangguran ini meningkat secara langsung dapat
berpengaruh pada meningkatnya jumlah penduduk miskin. Untuk mengatasi masalah
pengangguran ini dapat dilakukan melalui upaya jangka pendek maupun upaya jangka
panjang. Upaya jangka pendek yang dapat dilakukan adalah melalui penyiapan tenaga kerja
yang ada melalui pelatihan-pelatihan singkat (short course) sehingga siap untuk diserap oleh
pasar kerja. Sedangkan upaya jangka panjang yang dapat dilakukan adalah melalui
penyediaan pendidikan formal baik jenjang pendidikan menengah maupun sarjana yang
sesuai dengan kebutuhan investasi di daerah. Disamping itu upaya jangka panjang yang juga
dapat dilakukan melalui perbaikan iklim investasi sehingga memancing investor untuk
menanamkan modalnya di Provinsi NTB sehingga dapat menciptakan peluang kerja bagi
masyarakat.
12. Tingginya beban hidup keluarga miskin akibat banyaknya anggota keluarga yang diakibatkan
oleh adanya prinsip banyak anak banyak rezeki harus diatasi dengan melakukan penyadaran
melalui advokasi dan sosialisasi dengan bekerjasama dengan berbagai pelaku pembangunan
lainnya yang terkait dengan kependudukan diantaranya BKKBN untuk dapat memberikan
pencerahan dengan melakukan pendekatan-pendekatan yang lebih intensif. Disamping itu
upaya lainnya yang juga dapat ditempuh adalah melalui bekerjasama dengan tokoh agama
yang dapat memberikan ceramah dari sisi keagamaan bahwa prinsip banyak anak banyak
rezeki adalah bukan prinsip yang baik jika tidak mampu memberikan nafkah yang cukup
untuk kehidupan yang layak.
13. Khusus untuk masih lemahnya komitmen pimpinan dalam rangka penetapan kebijakan yang
pro poor memang dibutuhkan upaya yang terus menerus untuk melakukan advokasi dengan
melibatkan TNP2K selaku Unit kerja penanggulangan kemiskinan di tingkat Nasional
sehingga setiap pimpinan baik di pusat maupun di daerah memiliki pemahaman, kepedulian
dan keinginan yang kuat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan
yang lebih Pro Poor di daerah. Pimpinan yang dimaksudkan disini adalah pada semua level
dan jenjang pemerintahan baik di pusat yang dimulai dari pimpinan Negara, pimpinan
kementerian/lembaga sampai ke pimpinan unit kerja. Demikian juga di daerah yang
dimaksudkan sebagai pimpinan adalah mulai dari pimpinan daerah, pinpinan OPD, sampai
pada pimpinan unit kerja terkecil yang ada di daerah. Setiap pimpinan dari pusat sampai
daerah tentunya berkontribusi untuk penanggulangan kemiskinan sesuai kewenangan dan
tanggungjawab yang melekat pada jabatannya.
Peran pimpinan dalam upaya percepatan penurunan angka kemiskinan ini ibarat dirigen pada
sebuah orchestra yang sangat menentukan apakah sebuah lagu yang akan dimainkan iramanya
mendayu ataukah berirama dinamis, atau apakah orkestranya mulai memainkan alat music
ataukah berhenti, jadi begitu strategisnya peran pimpinan dalam menentukan irama
percepatan penurunan angka kemiskinan sehingga setiap pimpinan harus memiliki konsep,
strategi, dan komitmen yang luar biasa untuk bisa mewujudkan penurunan angka kemiskinan
yang significant.

Disamping upaya-upaya tersebut di atas yang dirancang khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan
dalam percepatan penurunan angka kemiskinan menjadi 1 digit dibutuhkan juga komitmen lintas
sector untuk melaksanakan program/kegiatan lainnya dalam rangka mendukung program/kegiatan
penanggulangan kemiskinan seperti:

 Sudahkah program/kegiatan pembangunan jalan dan jembatan perencanaan pembangunannya


mengarah kepada desa-desa atau wilayah yang penduduk miskinnya banyak dan terisolir
sehingga arus barang dan jasa ke wilayah tersebut berjalan lancar agar memudahkan
penduduk miskin pada wilayah tersebut melaksanakan aktifitas ekonominya yang dapat
mendorong mereka untuk keluar dari garis kemiskinan.
 Sudahkah program/kegiatan pembangunan sarana pelayanan public seperti sarana kesehatan
dan pendidikan mempertimbangkan desa-desa yang banyak penduduk miskinya?, karena
salah satu beban yang berat bagi penduduk miskin adalah meningkatkan akses mereka ke
sarana kesehatan dan pendidikan. Semakin jauh lokasi sarana kesehatan dan pendidikan dari
rumah penduduk miskin maka akan semakin berat beban akses mereka ke sarana tersebut dan
membutuhkan biaya transportasi yang semakin besar.
 Sudahkah program/kegiatan pembangunan sarana ekonomi seperti pasar dan perbankkan
mengarah kepada desa-desa atau wilayah yang penduduk miskinnya banyak, karena
keberadaan sarana tersebut yang lebih dekat dari permukiman penduduk miskin dan lebih
mudah di akses akan sangat membantu mereka untuk menjalankan aktifitas ekonominya
seperti kemudahan untuk mendapatkan modal dari perbankkan, maupun kemudahan untuk
menjual hasil produksi mereka ke pasar. Jika kemudahan-kemudahan tersebut mereka
dapatkan, maka akan mempermudah penduduk miskin untuk meningkatkan pendapatannya
yang berdampak langsung pada keluarnya penduduk miskin tersebut dari garis kemiskinan.
 Disamping pembangunan infrastruktur pendukung, hal lain juga yang harus digerakkan
dalam rangka menurunkan angka kemiskinan yaitu mendorong berkembangnya investasi
pada suatu wilayah. Untuk berkembangnya investasi banyak hal yang harus dipersiapkan
diantaranya kejelasan dan kemudahan investor untuk mendapatkan perizinan dalam investasi,
kepastian tentang arah penggunaan ruang wilayah baik melalui RTRW maupun RDTR,
kejelasan tentang potensi SDA dan SDM yang mendukung investasi, keamanan dan
ketertiban wilayah yang terjaga serta berbagai kebutuhan investasi lainnya. Berkembangnya
investasi ini pada akhirnya akan dapat berkontribusi pada penanggulangan kemiskinan
karena akan memberikan peluang kerja bagi masyarakat sekitar sehingga memberikan
penghasilan yang pasti bagi peningkatan pendapatan masyarakat untuk meningkatkan
kesejahteraannya.

Demikianlah sekilas tentang kondisi, peluang dan tantangan dalam rangka mengejar angka
kemiskinan 1 digit yang menjadi ikhtiar Provinsi Nusa Tenggara Barat agar bisa minimal sejajar
dengan angka rata-rata kemiskinan di tingkat Nasional yang sudah lebih dulu turun menjadi 1 digit.

“If poverty is a disease that infects the entire community in the form of unemployment and violence,
failing schools and broken homes, then we can’t just treat those symptoms in isolation. We have to heal that
entire community.”

( Barack Obama)

(Jika kemiskinan adalah penyakit yang menginfeksi seluruh komunitas dalam bentuk pengangguran dan
kekerasan, kegagalan sekolah dan rumah yang berantakan, maka kita tidak bisa hanya memperlakukan gejala-
gejala itu secara terpisah. Kita harus menyembuhkan keseluruhan himpunan itu.)

( Barack Obama)

Anda mungkin juga menyukai