net/publication/302901383
CITATIONS READS
0 2,971
2 authors, including:
Andrian Fernandes
Forestry Research and Development Agency
40 PUBLICATIONS 14 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Andrian Fernandes on 11 May 2016.
Abstrak
Selama ini banyak orang beranggapan bahwa tumbuhan pengganggu (gulma) selalu
dianggap merugikan dalam kegiatan penanaman. Namun demikian ada beberapa jenis
gulma yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional, bahkan pada
jenis gulma tertentu sudah dikembangkan dalam bentuk obat skala industry. Penelitian
ini bertujuan untuk memberikan informasi beberapa jenis gulma yang berpotensi
sebagai tumbuhan obat. Eksplorasi gulma dilakukan di beberapa kawasan hutan di
Kalimantan Timur. Dari hasil eksplorasi diperoleh sebanyak enam jenis gulma yang
berpotensi sebagai tumbuhan obat, yaitu yaitu Phyllanthus niruri L., Centela asiatica
(L.) Urb., Imperata cylindrica, Ageratum conyzoides L., Mimosa pudica L., dan
Selaginella doederlinii Hieron.
Pengantar
Thomas dan Packham (2007) menyebutkan bahwa gulma merupakan masalah
serius yang dihadapi dalam pengelolaan hutan, khususnya saat pohon baru ditanam.
Gulma memiliki berbagai jenis tingkatan, mulai yang tidak berbahaya hingga
mematikan pohon yang ditanam.
Kusuma dan Zaki (2005) mendefinisikan gulma secara sederhana sebagai
tumbuhan liar, tumbuhan pengganggu atau tumbuhan yang tidak dikehendaki dan
merugikan. Gulma dianggap merugikan karena bersaing dengan tanaman yang
dibudidayakan dalam memperebutkan ruang tumbuh, unsur hara, air dan udara. Namun
demikian, ada beberapa jenis gulma yang memiliki fungsi positif. Diantaranya dapat
berfungsi sebagai obat.
Pemanfaatan obat dari gulma hutan, sangat sesuai dengan kecenderungan yang
ada di masyarakat. Sudardi (2002) menyebutkan bahwa dewasa ini terjadi
kecenderungan di dalam masyarakat untuk mengurangi atau menghentikan pemakaian
bahan-bahan kimia dalam pengobatan. Pengembangan sistem pengobatan tradisional
mendapat perhatian para pakar di bidang kesehatan karena dapat menjadi alternative
dalam pemulihan kesehatan manusia. Oleh karena itu, merupakan peluang yang besar
untuk mengetahui dan memanfaatkan gulma dari hutan dipterokarpa untuk digunakan
sebagai bahan baku obat herbal.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan tahun 2007 hingga 2011 di areal hutan Dipterokarpa di PT.
Balikpapan Forest Industry (BFI) dan PT. ITCI Kartika Utama (ITCIKU) kabupaten
Penajam Pasir Utara, Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Labanan
kabupaten Berau, KHDTK Samboja kabupaten Kutai Kartanegara.
384
ISBN : 978-602-17629-0-5
Pengamatan diutamakan ke jenis-jenis gulma yang telah dikenal dan dimanfaatkan
sebagai tumbuhan obat di masyarakat. Pengamatan tersebut dilakukan di jalur tanam.
Pada PT. BFI dan PT. ITCIKU pengamatan dibagi menjadi tiga komponen geomorfik,
yaitu posisi punggung, lereng dan lembah. Sedangkan pada KHDTK Semoi, Hutan
Penelitian Sebulu dan KHDTK Labanan tidak dilakukan pembagian komponen
geomorfik.
Phyllanthus niruri L.
385
ISBN : 978-602-17629-0-5
Centella asiatica (L.) Urb.
Centella asiatica (L.) Urb. Dikenal dengan
nama Pegagan, tergolong ke dalam family
Apiaceae. Pegagan ditemukan di PT BFI.
Gulma C. asiatica dapat ditemukan pada
tempat yang lembab dan jenis ini tidak
merugikan. Secara morfologi, Barus (2003)
memasukkan C. asiatica ke dalam
kelompok gulma berdaun lebar atau broad
leaves.
Gambar 2. C. asiatica (L.) Urb.
Dalimarta (2000) menyebutkan bahwa herba pegagan rasanya manis, sifatnya sejuk,
berkhasiat tonik, antiinfeksi, antitoksik, antirematik, penghenti perdarahan
(homeostatis), peluruh kencing (diuretic ringan), pembersih darah, memperbanyak
pengeluaran empedu, pereda demam (antipiretik), penenang (sedative), mempercepat
penyembuhan luka, dan melebarkan pembuluh darah tepi (vasodilatator perifer).
Khasiat sedatif terjadi melalui mekanisme kolinergik di susunan saraf pusat.
Ekstrak pegagan larut air tidak hanya memiliki aktivitas antioksidan, juga dapat
mengurangi kerusakan pada jaringan mitokondria (Gnanapragasam, et al. 2007).
Triterpenoid dari ekstrak pegagan dapat berfungsi sebagai zat antidepresan (Chen, et al.
2005). Asiaticosida, sejenis saponin yang diperoleh dari isolasi pegagan dapat berfungsi
untuk mengaktifkan kolagen pada kulit sehingga menghambat proses penuaan kulit
(Lee, et al. 2006).
Dalam skala laboratorium, esktrak pegagan juga diujikan pada hewan uji tikus. Rao, et
al. (2005) menjelaskan bahwa ekstrak pegagan larut air dapat mempengaruhi morfologi
saraf dan meningkatkan fungsi otak pada hewan uji tikus. Ekstrak daun pegagan juga
dapat mempercepat proses penyembuhan luka pada hewan uji tikus (Shetty, et al. 2006).
Imperata cylindrica L
386
ISBN : 978-602-17629-0-5
Secara morfologi, I. cylindrica tergolong dalam jenis gulma berdaun sempit atau
grasses (Barus, 2003). Wibowo (2006) menyebutkan bahwa alang-alang merupakan
jenis gulma tahunan yang akarnya dapat mengeluarkan senyawa beracun. Berkembang
biak secara vegetatif, dengan cara tumbuh tunas baru dari akar. Keberadaan gulma ini
harus diberantas.
Jayalakshmi, et al. (2010) menyebutkan bahwa alang-alang merupakan salah satu bahan
obat yang penting antara lain berfungsi untuk melancarkan kencing, pengobatan
jantung, batuk dan pilek, demam, darah rendah, meremajakan kulit, dan beberapa guna
lainnya. Semua bagian tumbuhan dapat digunakan sebagai makanan hewan, bahan
kertas dan mengobati kurap Sudarsono, et al. (2002).
Ageratum conyzoides L.
Gambar 4. A. conyzoides L.
Pasaribu (2009) menjelaskan bahwa fraksi A. conyzoides larut etanol dan kloroform
mengandung flavonoid, alkaloid, saponin, triterpenoid, fenol dan kumarin. Sedangkan
ekstrak larut air mengandung flavonoid, saponin, fenol dan kumarin. Ekstrak larut
kloroform memiliki aktivitas bioaktif dari fraksi kloroform terhadap larva udang dan
larva nyamuk bila dibandingkan dengan fraksi-fraksi yang lain. Ming (1999)
menyebutkan bahwa selain berfungsi sebagai insektisida, A. conyzoides juga memiliki
aktivitas biologi sebagai nematosida. Ekstrak A. conyzoides larut methanol memiliki
potensi sebagai zat anti racun pada hewan uji tikus (Akah, et al., 2010).
387
ISBN : 978-602-17629-0-5
Mimosa pudica L.
Dalimarta (2000) menyebutkan bahwa herba putri malu memiliki rasa manis, sifatnya
agak dingin, astrigen. Herba ini berkhasiat sebagai penenang (transquilizer), peluruh
dahak (ekspetoran), peluruh kencing (diuretic), obat batuk (antitusif), pereda demam
(antipiretik) dan antiradang. Akar dan biji putri malu berkhasiat sebagai perangsang
muntah.
Sharma dan Sharma (2010) menjelaskan bahwa analisis fitokimia daun M. pudica
menunjukkan adanya tannin, flavonoid, saponin dan alkaloid. Ekstrak M. pudica
dengan pelarut air memberikan efek antibakteri yang lebih baik daripada menggunakan
pelarut petroleum ether, methanol dan atanol. Hasil penelitian Rajendran dan
Krishnakumar (2010) menunjukkan bahwa ekstrak M. pudica dengan pelarut
chloroform menunjukkan adanya senyawa glikosida, alkaloid, flavonoid dan fenolik.
Ekstrak ini memberikan efek yang signifikan sebagai agen hipolipidemik.
388
ISBN : 978-602-17629-0-5
Setyawan (2009) menyebutkan bahwa secara tradisional Selaginella digunakan untuk
mengobati luka, pendarahan, gangguan menstruasi dan kandungan, memperlancar
peredaran darah, meningkatkan daya tahan tubuh, memperpanjang usia, mengobati sakit
kepala dan lain-lain. Di samping itu beberapa jenis Selaginella juga digunakan sebagai
sayuran (lalapan), tanaman hias, dan bahan baku kerajinan tangan. Ekstrak kloroform,
etil asetat dan etanol herba cakar ayam (S. doederlinii Hieron) menunjukkan aktivitas
penangkap radikal (Nurwaini, et al., 2006).
Kesimpulan
Daftar Pustaka
389
ISBN : 978-602-17629-0-5
9. Ming, L C, 1999, Ageratum conyzoides : A tropical source of medicinal and
agricultural products, buku : perspectives on new crops and new uses,
editor : J. Janick, ASHS Press, Alexandria, hal. 469-473.
10. Nurwaini, S., Y. R. Sofiana, I. R. Noor, V. Rahayu. 2006. Uji Aktivitas
Antiradikal Herba Cakar Ayam (Selaginella doederleinii Hieron), Herba
Keladi Tikus (Typhonium divaricatum (L) Decne) dan Daun
Dewandaru (Eugenia uniflora Linn.) Sebagai Sumber Alternatif
Pencegahan Penyakit Degeneratif. Fak. Farmasi UMS, PKMI.
11. Pasaribu, S P, 2009, Uji bioaktivitas metabolit sekunder dari daun tumbuhan
babandotan (Ageratum conyzoides L.), Jurnal Kimia Mulawarman, Vol.
6 (2), hal : 23-29
12. Rajendran, R and E Krishnakumar, 2010, Hypolipidemic activity of chloroform
extract of mimosa pudica leaves, Avicenna journal of medical
biotechnology, vol. 2 (4), hal. 215-221.
13. Rao SB, Chetana M, Uma Devi P. 2005. Centella asiatica treatment during
postnatal period enhances learning and memory in mice.Physiology
Behaviour Journal. Nov 15;86(4):449-57. Epub.
14. Sabir, S. M. dan J. B. T. Rocha. 2008. Water-extractable Phytochemicals from
Phyllanthus niruri exhibit distict in vitro antioxidant and in vivo
hepatoprotective activity against paracetamol-induced liver damage in
mice. Food chemistry journal. Vol. 111 : 845-851. Elsevier.
15. Sawadogo, W. R., M Schumacher, M. H. Teiten, M. Dicato dan M. Diederich.
2012. Traditional West African Pharmacopeia, Plants and Derived
Compounds for Cancer Therapy. Biochemical Pharmacology Journal.
Elsevier.
16. Setyawan, A. D., 2009, Traditionally utilization of selaginella; field research and
literature review, Bioscience, vol. 1 (3), hal. 146-158.
17. Sharma, M C dan S Sharma, 2010, Phytochemical and pharmacological
screening of combined mimosa pudica Linn and Tridax procumbens for
in vitro antimicrobial activity, International journal of microbiological
research, vol. 1 (3), hal 171-174.
18. Shetty BS, Udupa SL, Udupa AL, Somayaji SN. 2006. Effect of Centella
asiatica L (Umbelliferae) on normal and dexamethasonesuppressed
wound healing in Wistar Albino rats. International Journal of Low
Extrem Wounds. Sep;5(3):137-43.
19. Sudardi, B. 2002. Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa.
Jurnal Humaniora. Vol XIV (1) : 12-19.
20. Sudarsono, S. Wahyuono, I. A. Donatus, D. Gunawan, dan Purnomo. 2002.
Tumbuhan Obat II : Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan. Pusat
Studi Obat Tradisional UGM. Yogyakarta.
21. Thomas, P. A. dan J. R. Packham. 2007. Ecology of Woodlands and Forests,
Description, Dynamics and Diversity. Cambridge University Press.
Cambridge.
22. Wibowo, A. 2006. Gulma di Hutan Tanaman dan Upaya Pengendaliannya.
Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
23. Wright, C. I., L. V. Buren, C. I. Kroner dan M. M. G. Koning. 2007. Herbal
medicines as diuretics : a review of the scientific evidence. Journal of
ethnopharmacology. Vol. 114 : 1-31. Elsevier.
390
ISBN : 978-602-17629-0-5
View publication stats