MASA REMAJA PENGHARGAAN DIRI, IDENTITAS, DAN • Penghargaan Diri • Identitas
PERKEMBANGAN SPIRITUAL/RELIGI • Perkembangan
Spiritual/Religi PENGHARGAAN DIRI Berdasarkan hasil sebuah studi diketahui bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki penghargaan diri yang tinggi di masa kanak-kanak; meskipun demikian, harga diri mereka cenderung turun secara drastic selama masa remaja (Robins dkk, 2002). Menurut hasil studi ini, di masa remaja, penurunan penghargaan diri pada anak perempuan lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki. Mengapa penghargaan diri remaja perempuan menurun di masa awal remaja? Salah satu alasan yang diberikan adalah bahwa di masa pubertas, remaja perempuan memiliki pencitraan tubuh yang negative. Penjelasan lain menyatakan bahwa para remaja kecil ini memiliki minat yang lebih besar di dalam relasi sosial namun masyarakat tidak dapat mengantisipasi minat mereka tersebut (Impett dkk, 2008) Penghargaan diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan realitasnya (Krueger, Vohns, & Baumeister, 2008). Penghargaan diri seorang remaja dapat mengindikasikan persepsi tentang apakah remaja tersebut pintar dan menarik, misalnya, namun persepsi tersebut mungkin tidak akurat. Dengan demikian, penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi yang akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan pencapaian seseorang, namun juga dapat mengindikasikan kesombongan, berlebihan, dan merasa superior dari yang lain. Narcisme mengacu pada pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri (self centered) dan memikirkan diri sendiri (self-concerned) Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya, selalu menekankan bahwa dirinya sempurna (self-congratulatory), serta memandang keinginan dan harapannya adalah hal terpenting. IDENTITAS Apakah identitas itu? Identitas adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup: ❖Jejak karier dan pekerjaan yang ingin dirintis (identitas pekerjaan/karier) ❖Apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau berada diantara keduanya (identitas politik) ❖Keyakinan spiritual seseorang (identitas spiritual) ❖Apakah seseorang itu lajang, menikah, bercerai, dan seterusnya (identitas relasi) ❖Sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan intelektualitasnya (identitas prestasi, intelektual) ❖Apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual (identitas seksual) ❖Latar belakang negara seseorang dan seberapa kuatkah orang itu beridentifikasi dengan budaya asalnya (identitas budaya/etnik) ❖Hal-hal yang senang dilakukan seseorang, seperti olahraga, hobi, music dan sebagainya (minat) ❖Karakteristik kepribadian individual (seperti introvert atau ekstrovert, bersemangat atau tenang, bersahabat atau kasar, dan seterusnya) (Kpribadian) ❖Citra tubuh individu tersebut (identitas fisik) Pandangan Erikson Tahap identitas Vs kebingungan identitas (identity vs identity confusion), di masa ini, remaja harus memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah yang hendak diraihnya. Pencarian identitas yang berlangsung di masa remaja ini juga disertai oleh berlangsungnya moratorium psikososial (psychosocial moratorium), istilah yang digunakan oleh Erikson untuk merujuk pada kesenjangan antara keamanan kanak- kanak dan otonomi orang dewasa. Selama periode ini, masyarakat secara relative membiarkan remaja bebas dari tanggung jawab dan bebas mencoba berbagai identitas. Remaja bereksperimen dengan berbagai peran dan kepribadian. Perubahan Perkembangan Bagaimana proses pembentukan identitas yang berlangsung di masa remaja itu? Peneliti beraliran Erikson, James Marcia berpendapat bahwa teori perkembangan identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam menyelesaikan krisis identitas: difusi identitas, forclosure identitas, moratorium identitas, dan pencapaian identitas Krisis (crisis) didefinisikan sebagai periode perkembangan identitas di mana individu berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif. Sebagian besar meneliti menggunakan istilah eksplorasi. Komitmen (commitment)adalah investasi pribadi di dalam identitas. Keempat status identitas tersebut adalah: Difusi identitas (identity diffusion), status individu yang belum pernah mengalami krisis ataupun mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap hal-hal semacam itu Penyitaan identitas (identity forclosure), status individu yang telah membuat komitmen namun tidak pernah mengalami krisis. Status identitas ini seringkali terjadi jika orangtua menurunkan komitmen pada remajanya, biasanya secara otoriter, sebelum remaja tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan, ideologis, dan pekerjaannya sendiri Moratorium identitas (identity moratorium), adalah status individu yang berada di pertengahan krisis namun yang komitmennya tidak ada atau hanya didefinisikan kabur Pencapaian identitas (identity achievement), adalah status individu yang telah mengalami krisis dan membuat komitmen Identitas Etnik Di seluruh dunia, kelompok etnik minoritas berjuang untuk mempertahankan identitas etniknya sambil mencoba membaur dengan budaya yang dominan (Erikson, 1968). Identitas etnik (ethnic identity) adalah aspek yang menetap dari diri (self) yang mencakup penghayatan sebagai anggota dari sebuah kelompok etnik, Bersama dengan berbagai sikap dan perasaan yang berkaitan dengan keanggotaan itu. Jadi, untuk remaja dari kelompok etnik minoritas, proses pembentukan identitas memiliki dimensi tambahan: pilihan diantara dua atau lebih sumber identifikasi – kelompok etnik mereka sendiri dan kelompok arus utamanya. Banyak remaja yang mengatasinya dengan mengembangkan identitas bikultur (bicultural identity). Dengan begitu, di satu pihak mereka beridentifikasi dengan kelompok etnik mereka serta dengan budaya utama di pihak lainnya. Meskipun anak-anak telah menyadari adanya perbedaan etnik dan budaya, individu akan terbuka terhadap etnisitasnya pertama kali ketika remaja atau beranjak dewasa. Tidak seperti anak-anak, remaja dan dewasa awal mampu menginterpretasikan informasi etnik dan budaya, merefleksikan kembali masa lalu, dan memperkirakan masa depan. PERKEMBANGAN SPIRITUAL DAN RELIGI Agama dan Perkembangan Identitas Perkembangan identitas menjadi focus sentral masa remaja dan dewasa awal (Kroger, Martinussen, & Marcia, 2010). Sebagai bagian dari pencarian identitas mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara berpikir logis dan rumit, misalnya dengan pertanyaan “Mengapa saya ada di bumi ini?” “Apakah Tuhan itu benar-benar ada, ataukah saya hanya mempercayai apa yang ditanamkan oleh orangtua dan tempat ibadah saya?” “Bagaimanakah sebenarnya pandangan religious saya?” Perkembangan Kognitif dan Agama Pada Remaja Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistic, dan logis dibandingkan anak-anak. Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja mempertimbangkan berbagai gagasan tentang konsep religious dan spiritual. Cara berpikir idealistic remaja yang meningkat ini menjadi dasar pemikiran apakah agama dapat memberikan jalan terbaik menuju dunia yang lebih ideal dari sebelumnya. Peningkatan penalaran logis remaja memberikan kemampuan untuk mengembangkan hipotesis dan secara sistematis melihat berbagai jawaban terhadap pertanyaan spiritual (Good & Willoughby, 2008) Peran Positif Agama dalam Kehidupan Remaja Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil positif bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser, 2009). Agama juga berperan dalam Kesehatan remaja dan masalah perilaku mereka (Cotton dkk, 2006) • Pengawasan Orangtua KELUARGA • Otonomi dan kelekatan • Konflik Orangtua-Remaja Pengawasan Orangtua Aspek kunci dari peran manajerial parenting di masa remaja adalah secara efektif mengawasi perkembangan remaja (Gauvain & Parke, 2010; Smetana dkk., 2010). Pengawasan mencakup mengawasi pilihan remaja terhadap setting sosial, aktivitas, dan rekan-rekannya, serta akademis mereka. Remaja lebih bersedia untuk terbuka kepada orangtua ketika orangtua bertanya kepada mereka dan ketika reaksi remaja kepada orangtua dicirikan dengan rasa kepercayaan, penerimaan, dan kualitas yang tinggi Para peneliti telah menemukan bahwa keterbukaan remaja kepada orangtua mengenai keberadaan, aktivitas dan teman mereka terkait dengan penyesuaian positif remaja. OTONOMI DAN KELEKATAN (ATTACHMENT) Dorongan untuk Otonomi Kebanyakan orangtua telah mengantisipasi bahwa remaja akan sulit menyesuaikan dengan perubahan di masa remaja, namun hanya sedikit orangtua yang dapat membayangkan dan memprediksi betapa kuatnya keinginan remaja untuk meluangkan waktu dengan kawan sebaya, atau intensitas remaja untuk menunjukkan bahwa mereka lah – bukan orangtua – yang bertanggung jawab terhadap kesuksesan dan kegagalannya. Pada permulaan remaja, rata-rata individu tidak memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Ketika remaja di dorong untuk meraih otonomi, orang dewasa yang bijaksana akan mengurangi kendali dalam bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan yang masuk akal Orang dewasa tetap membimbing mereka untuk mengambil keputusan di bidang-bidang dimana pengetahuan remaja masih terbatas. Secara bertahap, remaja memperoleh kemampuan untuk mengambil keputusan yang matang secara mandiri Peran Kelekatan (Attachment) Para peneliti telah mengeksplorasi apakah secure attachment juga merupakan hal yang penting untuk menciptakan relasi antara remaja dan orangtuanya (Laursen & Collins, 2009) Joseph Allen dkk (2009) menemukan bahwa remaja yang mengalami kelekatan yang aman pada usia 14 tahun cenderung mengalami relasi yang eksklusif, merasa nyaman dengan keintiman dalam relasi, dan independensi keuangan yang meningkat pada usia 21 tahun. KONFLIK ORANGTUA-REMAJA Konflik dengan orangtua seringkali meningkat di remaja awal, masih tetap berlangsung selama masa SMA, kemudian menurun ketika remaja mencapai usia 17 hingga 20 tahun. Konflik sehari-hari yang merupakan ciri dari relasi orangtua-remaja biasanya memberikan fungsi perkembangan yang positif. Perselisihan dan negosiasi kecil dapat mendukung transisi remaja dari sosok yang tergantung pada orangtua menjadi individu yang otonom. Orangtua berfungsi sebagai tokoh kelekatan dan system pendukung yang penting ketika remaja melakukan eksplorasi ke dalam dunia sosial yang lebih luas dan kompleks. Model baru ini juga menekankan bahwa pada sebagaian besar keluarga, konflik orangtua-remaja tergolong moderat. KAWAN SEBAYA • Persahabatan • Kelompok Kawan Sebaya • Pacaran dan Relasi Romantik PERSAHABATAN Di awal masa remaja, remaja biasanya memilih untuk memiliki beberapa sahabat yang lebih intens dan akrab dibandingkan anak-anak kecil. Harry Stack Sullivan (1953) berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan bahwa kebutuhan akan intimasi meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Jika remaja gagal untuk menempa persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami kesepian dan penghayatan akan martabat dirinya (self-worth) juga akan menurun. Dibandingkan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih terbuka mengenai hal-hal yang intim dan informasi yang bersifat pribadi kepada kawan-kawannya (Buhrmester, 1998). Remaja juga mengatakan bahwa mereka lebih banyak tergantung pada kawan-kawan daripada orangtua untuk memenuhi kebutuhan mereka atas kebersamaan, ketentraman hati, dan intimasi. Pengalaman naik turun dengan kawan-kawan ini membentuk keberadaan remaja (Bukowski, Motzoi, & Meyer, 2009; Laursen & Pursell, 2009) KELOMPOK KAWAN SEBAYA Tekanan dari kawan Sebaya Dibandingkan anak-anak, remaja awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap standar kawan sebayanya. Pada kelas delapan dan Sembilan, konformitas terhadap kawan sebaya – khususnya terhadap standar antisosial – mencapai puncaknya (Brown & Larson, 2009; Brown dkk, 2008) Remaja mana cenderung berkonformasi dengan kawan sebayanya? Mitchell Prinstein dan koleganya telah melakukan riset yang mengungkapkan bahwa remaja yang tidak yakin akan identitas sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri dengan kawan sebayanya. Klik dan Crowds Klik dan crowds memainkan peran penting di dalam kehidupan remaja dibandingkan anak-anak (Brown & Dietz, 2009; Brown dkk, 2008) Klik (clique) adalah kelompok kecil yang jumlah anggotanya berkisar dari 2 hingga 12 individu dan rata-rata 5 hingga 6 individu. Anggota klik biasanya memiliki kesamaan gender dan usia. Klik dapat terbentuk karena remaja terlibat dalam aktivitas yang sama, seperti dalam sebuah klub atau tim olahraga yang sama. Beberapa klik juga terbentuk karena persahabatan. Crowds bersifat lebih besar dari klik dan kurang personal. Keanggotaan remaja dalam sebuah crowds biasanya didasarkan pada reputasi; mereka bisa meluangkan banyak waktu Bersama-sama, namun bisa juga tidak. Banyak crowds yang diidentifikasi sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh remaja (seperti “jocks”, remaja yang mahir dalam olahraga, atau “druggies” remaja yang menggunakan obat-obatan terlarang) PACARAN DAN RELASI ROMANTIS Perubahan Perkembangan dalam Pacaran dan Relasi Romantis Tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantic di masa remaja (Connolly & McIsaac, 2009): 1. Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantic pada usia sekitar 11 hingga 13 tahun. Tahap awal ini dipicu oleh pubertas. Dari 11 hingga 13 tahun, remaja menjadi sangat tertarik pada keromantisan dan hal itu mendominasi banyak percakapan dengan kawan sesame gender. Perasaan tertarik pada seseorang umum terjadi dan ketertarikan itu diceritakan kepada kawan sesame gendernya. Remaja muda mungkin atau mungkin tidak berinteraksi dengan indivdu yang disukainya tersebut. Namun ketika kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam setting kelompok. 2. Mengeksplorasi relasi romantic pada usia sekitar 14 hingga 16 tahun. Pada tahap ini terjadi dua jenis keterlibatan romantisme pada remaja: (a) pacarana biasa (casual dating), terjadi di antara individu yang saling tertarik. Pengalaman pacarana seperti ini berjangka pendek, mungkin hanya berlangsung beberapa bulan, dan biasanya hanya bertahan beberapa minggu saja (b) Pacaran secara berkelompok (dating in groups), biasanya terjadi dan mencerminkan keterkaitan dalam konteks kawan sebaya. Sahabat seringkali berperan sebagai fasilitator dari sebuah relasi pacarana dengan mengkomunikasikan ketertarikan romantic rekannya dan mengkonfirmasi bahwa ketertarikan tersebut berbalas. 3. Mengonsolidasi keterikatan romantic dyadic pada usia sekitar 17 hingga 19 tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi romantic yang semakin serius. Relasi ini dicirikan dengan ikatan emosi yang kuat, seperti pada relasi romantic orang dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan tahan lama disbanding ikatan sebelumnya, dan biasanya bertahan satu tahun atau lebih. Konteks Sosial-Budaya dan Pacaran Konteks sosiobudaya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pola berpacaran remaja (Crissey, 2009) Nilai-nilai, keyakinan religious dan tradisi seringkali menentukan usia yang tepat untuk berpacaran, besarnya kebebasan yang diberikan dalam berpacaran, apakah proses pacarana harus dikawal oleh orang dewasa atau orangtua, dan bagaimanakah peran pria dan wanita dalam berpacaran. MEDIA DAN REMAJA Penggunaan Media Remaja zaman sekarang dikelilingi oleh media, rata-rata remaja menghabiskan 6.5 jam sehari (44.5 jam seminggu) bersama media dan hanya menghabiskan 2.25 jam sehari Bersama orang tua, serta hanya 50 menit sehari untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tren utama dalam penggunaan teknologi adalah peningkatan dramatis pada media multitugas (Roberts, Henriksen, & Foehr, 2009). Kehidupan Online Remaja Remaja di seluruh dunia semakin bergantung pada internet, meskipun terdapat perbedaan substansial dalam penggunaannya di berbagai negara di seluruh dunia dan oleh berbagai kelompok sosio-ekonomi Penelitian telah menemukan bahwa sekitar satu dari tiga remaja lebih membuka diri secara online dibandingkan langsung; dalam penelitian ini, remaja laki-laki merasa lebih nyaman membuka diri secara online dibandingkan remaja perempuan. Sebaliknya, remaja perempuan lebih merasa nyaman secara langsung daripada laki-laki. Sehingga keterbukaan diri remaja laki-laki diuntungkan dengan berkomunikasi secara online kepada teman-temannya (Valkenburg & Peter, 2009) Perhatian khusus diberikan terhadap akses informasi internet yang belum diatur pada anak-anak dan remaja (Pujazon-Zazik & Park, 2010) Sebuah survey mengindikasikan bahwa 42 persen remaja usia 10 hingga 17 tahun telah terekspos pornografi melalui internet beberapa tahun terakhir, dengan 66 persen dari eksposur tersebut adalah tidak diinginkan (Wolak, Mitchell, & Finkelhor, 2007). Juga, terdapat peningkatan substansial pelecehan pada remaja dan cyberbullying melalui internet (Subrahmanyam & Greenfield, 2008) MASALAH-MASALAH REMAJA • Kenakalan Remaja • Depresi dan Bunuh Diri KENAKALAN REMAJA Kenakalan remaja (juvenile delinquent) diterapkan pada remaja yang melanggar hukum atau terlibat dalam perilaku yang dianggap illegal Remaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam kenakalan remaja dibanding perempuan. Terdapat perbedaan antara perilaku antisosial awal, yaitu sebelum usia 11 tahun dan perilaku antisosial akhir, yaitu setelah usia 11 tahun. Perilaku antisosial awal terkait dengan hasil perkembangan negative daripada perilaku antisosial akhir (Schulenberg & Zarret, 2006). Tidak hanya hal tersebut bertahan hingga menuju dewasa, tapi juga terkait dengan Kesehatan mental serta masalah relasi (Loeber, Burke & Pardini, 2009) Penyebab Kenakalan Remaja Meskipun kenakalan remaja bukanlah gejala yang secara eksklusif hanya dijumpai pada remaja yang berasal dari status sosial ekonomi rendah seperti dulu, terdapat beberapa karakteristik budaya kelas sosial rendah yang mendukung kenakalan remaja (Thio, 2010). Norma-norma yang dianut kelompok dan geng yang berasal dari SES rendah dianggap antisosial dan kontraproduktif terhadap tujuan dan norma masyarakat pada umumnya. Beberapa karakteristik dari system dukungan keluarga juga berkaitan dengan kenakalan remaja (Farrington, 2009). Orangtua dari remaja-remaja yang terlibat dalam kenakalan ini kurang mampu mengurangi perilaku anti sosial dan mengembangkan sejumlah keterampilan dibandingkan dengan orangtua lainnya. Pengawasan dari orangtua terhadap remaja adalah hal yang penting untuk menentukan apakah seorang remaja akan terlibat dalam kenakalan atau tidak (Laird dkk, 2008) Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa disiplin yang keras menjadi salah satu faktor yang dapat memprediksi bahwa individu usia 8 hingga 10 tahun yang terlibat dalam kenakalan remaja, akan melakukan Tindakan criminal setelah berusia 21 tahun (Farrington, Ttofi, & Coid, 2009) DEPRESI DAN BUNUH DIRI Depresi Tingkat remaja yang pernah mengalami depresi berkisar dari 15 hingga 20 persen (Graber & Sontag, 2009). Pada sekitar usia 15 tahun, tingkat depresi remaja perempuan dua kali lebih besar dari remaja laki-laki. Beberapa alasan adanya perbedaan gender ini adalah perempuan cenderung untuk memikirkan suasana hati depresi yang dialami dan membesar-besarkannya; citra diri remaja perempuan, khususnya yang menyangkut citra tubuh, lebih buruk dibandingkan remaja laki-laki; remaja perempuan lebih sering menghadapi diskriminasi daripada laki-laki; pubertas muncul lebih awal pada anak-anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki (Nolen-Hoeksema, 2010) Ada beberapa faktor tertentu di dalam keluarga yang dapat membuat remaja berisiko mengalami depresi, yaitu: orangtua yang menderita depresi, orangtua yang tidak terikat secara emosi, orangtua yang mengalami konflik perkawinan, dan orangtua yang mengalami masalah finansial Relasi dengan kawan sebaya yang buruk juga berkaitan dengan depresi remaja (Kisner dkk, 2006). Beberapa hal lain yang dapat meningkatkan tendensi depresi pada remaja adalah tidak memiliki sahabat dekat, kurang kontak dengan kawan- kawan, mengalami penolakan dari kawan sebaya, dan masalah dalam relasi romantic. Bunuh Diri Remaja perempuan cenderung lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri daripada laki-laki, tapi lebih banyak laki-laki yang benar-benar melakukannya. Dalam percobaan bunuh diri itu, remaja laki-laki menggunakan senjata mematikan seperti senjata api, sementara perempuan cenderung mengiris pergelangan tangan atau meminum banyak obat tidur – cara-cara yang tidak berujung kematian. Pengalaman di awal maupun di kemudian hari, dapat mempengaruhi usaha bunuh diri. Remaja itu mungkin memiliki sejarah pengalaman yang Panjang tinggal di dalam keluarga yang tidak stabil dan tidak bahagia (Wan & Leung, 2010). Sebagaimana halnya dengan kurangnya afeksi dan dukungan emosional, kontrol yang tinggi dan tekanan untuk berprestasi yang diterapkan orangtua di masa kanak-kanak juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri. Relasi dengan kawan sebaya juga terkait dengan percobaan bunuh diri. Remaja tersebut mungkin tidak memiliki sahabat yang mendukung. Bagaimana profil psikologis remaja yang bunuh diri? Mereka sering memiliki gejala depresif (Woolgar & Tranah, 2010). Meskipun tidak semua remaja depresi berusaha bunuh diri, depresi adalah faktor yang paling sering berkaitsn dengan bunuh diri remaja. Program yang telah berhasil mencegah atau mengurangi masalah remaja memiliki tiga komponen sebagai berikut (Dryfoos, 1990; Dryfoos & Barkin, 2006): 1. memberikan atensi yang intensif secara individual 2. Pendekatan kolaborasi multiagen dari komunitas luas 3. identifikasi awal dan intervensi