Anda di halaman 1dari 40

PERKEMBANGAN SOSIOEMOSI DI

MASA REMAJA
PENGHARGAAN DIRI, IDENTITAS, DAN • Penghargaan Diri
• Identitas

PERKEMBANGAN SPIRITUAL/RELIGI • Perkembangan


Spiritual/Religi
PENGHARGAAN DIRI
Berdasarkan hasil sebuah studi diketahui bahwa baik laki-laki maupun perempuan
memiliki penghargaan diri yang tinggi di masa kanak-kanak; meskipun demikian,
harga diri mereka cenderung turun secara drastic selama masa remaja (Robins dkk,
2002). Menurut hasil studi ini, di masa remaja, penurunan penghargaan diri pada
anak perempuan lebih besar dibandingkan pada anak laki-laki.
Mengapa penghargaan diri remaja perempuan menurun di masa awal remaja?
Salah satu alasan yang diberikan adalah bahwa di masa pubertas, remaja
perempuan memiliki pencitraan tubuh yang negative. Penjelasan lain menyatakan
bahwa para remaja kecil ini memiliki minat yang lebih besar di dalam relasi sosial
namun masyarakat tidak dapat mengantisipasi minat mereka tersebut (Impett dkk,
2008)
Penghargaan diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan
realitasnya (Krueger, Vohns, & Baumeister, 2008). Penghargaan diri seorang remaja
dapat mengindikasikan persepsi tentang apakah remaja tersebut pintar dan
menarik, misalnya, namun persepsi tersebut mungkin tidak akurat.
Dengan demikian, penghargaan diri yang tinggi dapat mengacu pada persepsi
yang akurat mengenai nilai seseorang sebagai manusia serta keberhasilan dan
pencapaian seseorang, namun juga dapat mengindikasikan kesombongan,
berlebihan, dan merasa superior dari yang lain.
Narcisme mengacu pada pendekatan terhadap orang lain yang berpusat pada diri
(self centered) dan memikirkan diri sendiri (self-concerned)
Pelaku narsisme sangat berpusat pada dirinya, selalu menekankan bahwa dirinya
sempurna (self-congratulatory), serta memandang keinginan dan harapannya adalah
hal terpenting.
IDENTITAS
Apakah identitas itu? Identitas adalah potret diri yang tersusun dari berbagai aspek, yang mencakup:
❖Jejak karier dan pekerjaan yang ingin dirintis (identitas pekerjaan/karier)
❖Apakah seseorang itu konservatif, liberal, atau berada diantara keduanya (identitas politik)
❖Keyakinan spiritual seseorang (identitas spiritual)
❖Apakah seseorang itu lajang, menikah, bercerai, dan seterusnya (identitas relasi)
❖Sejauh mana seseorang termotivasi untuk berprestasi dan intelektualitasnya (identitas prestasi,
intelektual)
❖Apakah seseorang itu heteroseksual, homoseksual, atau biseksual (identitas seksual)
❖Latar belakang negara seseorang dan seberapa kuatkah orang itu beridentifikasi dengan budaya
asalnya (identitas budaya/etnik)
❖Hal-hal yang senang dilakukan seseorang, seperti olahraga, hobi, music dan sebagainya (minat)
❖Karakteristik kepribadian individual (seperti introvert atau ekstrovert, bersemangat atau tenang,
bersahabat atau kasar, dan seterusnya) (Kpribadian)
❖Citra tubuh individu tersebut (identitas fisik)
Pandangan Erikson
Tahap identitas Vs kebingungan identitas (identity vs identity confusion), di masa ini,
remaja harus memutuskan siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, tujuan apakah
yang hendak diraihnya.
Pencarian identitas yang berlangsung di masa remaja ini juga disertai oleh
berlangsungnya moratorium psikososial (psychosocial moratorium), istilah yang
digunakan oleh Erikson untuk merujuk pada kesenjangan antara keamanan kanak-
kanak dan otonomi orang dewasa.
Selama periode ini, masyarakat secara relative membiarkan remaja bebas dari
tanggung jawab dan bebas mencoba berbagai identitas. Remaja bereksperimen
dengan berbagai peran dan kepribadian.
Perubahan Perkembangan
Bagaimana proses pembentukan identitas yang berlangsung di masa remaja itu?
Peneliti beraliran Erikson, James Marcia berpendapat bahwa teori perkembangan
identitas Erikson terdiri dari empat status identitas, atau cara yang ditempuh dalam
menyelesaikan krisis identitas: difusi identitas, forclosure identitas, moratorium
identitas, dan pencapaian identitas
Krisis (crisis) didefinisikan sebagai periode perkembangan identitas di mana individu
berusaha melakukan eksplorasi terhadap berbagai alternatif. Sebagian besar
meneliti menggunakan istilah eksplorasi.
Komitmen (commitment)adalah investasi pribadi di dalam identitas.
Keempat status identitas tersebut adalah:
Difusi identitas (identity diffusion), status individu yang belum pernah mengalami
krisis ataupun mereka tidak hanya tidak membuat keputusan yang menyangkut
pilihan pekerjaan atau ideologi, mereka juga cenderung kurang berminat terhadap
hal-hal semacam itu
Penyitaan identitas (identity forclosure), status individu yang telah membuat komitmen
namun tidak pernah mengalami krisis. Status identitas ini seringkali terjadi jika
orangtua menurunkan komitmen pada remajanya, biasanya secara otoriter, sebelum
remaja tersebut memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi berbagai pendekatan,
ideologis, dan pekerjaannya sendiri
Moratorium identitas (identity moratorium), adalah status individu yang berada di
pertengahan krisis namun yang komitmennya tidak ada atau hanya didefinisikan
kabur
Pencapaian identitas (identity achievement), adalah status individu yang telah
mengalami krisis dan membuat komitmen
Identitas Etnik
Di seluruh dunia, kelompok etnik minoritas berjuang untuk mempertahankan identitas
etniknya sambil mencoba membaur dengan budaya yang dominan (Erikson, 1968).
Identitas etnik (ethnic identity) adalah aspek yang menetap dari diri (self) yang
mencakup penghayatan sebagai anggota dari sebuah kelompok etnik, Bersama
dengan berbagai sikap dan perasaan yang berkaitan dengan keanggotaan itu.
Jadi, untuk remaja dari kelompok etnik minoritas, proses pembentukan identitas
memiliki dimensi tambahan: pilihan diantara dua atau lebih sumber identifikasi –
kelompok etnik mereka sendiri dan kelompok arus utamanya.
Banyak remaja yang mengatasinya dengan mengembangkan identitas bikultur
(bicultural identity). Dengan begitu, di satu pihak mereka beridentifikasi dengan
kelompok etnik mereka serta dengan budaya utama di pihak lainnya.
Meskipun anak-anak telah menyadari adanya perbedaan etnik dan budaya, individu
akan terbuka terhadap etnisitasnya pertama kali ketika remaja atau beranjak
dewasa.
Tidak seperti anak-anak, remaja dan dewasa awal mampu menginterpretasikan
informasi etnik dan budaya, merefleksikan kembali masa lalu, dan memperkirakan
masa depan.
PERKEMBANGAN SPIRITUAL DAN RELIGI
Agama dan Perkembangan Identitas
Perkembangan identitas menjadi focus sentral masa remaja dan dewasa awal
(Kroger, Martinussen, & Marcia, 2010). Sebagai bagian dari pencarian identitas
mereka, remaja dan dewasa awal mulai bergulat dengan cara berpikir logis dan
rumit, misalnya dengan pertanyaan “Mengapa saya ada di bumi ini?” “Apakah Tuhan
itu benar-benar ada, ataukah saya hanya mempercayai apa yang ditanamkan oleh
orangtua dan tempat ibadah saya?” “Bagaimanakah sebenarnya pandangan
religious saya?”
Perkembangan Kognitif dan Agama Pada Remaja
Remaja lebih berpikir secara abstrak, idealistic, dan logis dibandingkan anak-anak.
Peningkatan cara berpikir abstrak menjadikan remaja mempertimbangkan berbagai
gagasan tentang konsep religious dan spiritual.
Cara berpikir idealistic remaja yang meningkat ini menjadi dasar pemikiran apakah
agama dapat memberikan jalan terbaik menuju dunia yang lebih ideal dari
sebelumnya.
Peningkatan penalaran logis remaja memberikan kemampuan untuk mengembangkan
hipotesis dan secara sistematis melihat berbagai jawaban terhadap pertanyaan
spiritual (Good & Willoughby, 2008)
Peran Positif Agama dalam Kehidupan Remaja
Peneliti telah menemukan bahwa berbagai aspek agama terkait dengan hasil positif
bagi remaja (Bridgers & Snarey, 2010; King & Roesser, 2009).
Agama juga berperan dalam Kesehatan remaja dan masalah perilaku mereka
(Cotton dkk, 2006)
• Pengawasan Orangtua
KELUARGA • Otonomi dan kelekatan
• Konflik Orangtua-Remaja
Pengawasan Orangtua
Aspek kunci dari peran manajerial parenting di masa remaja adalah secara efektif
mengawasi perkembangan remaja (Gauvain & Parke, 2010; Smetana dkk., 2010).
Pengawasan mencakup mengawasi pilihan remaja terhadap setting sosial, aktivitas,
dan rekan-rekannya, serta akademis mereka.
Remaja lebih bersedia untuk terbuka kepada orangtua ketika orangtua bertanya
kepada mereka dan ketika reaksi remaja kepada orangtua dicirikan dengan rasa
kepercayaan, penerimaan, dan kualitas yang tinggi
Para peneliti telah menemukan bahwa keterbukaan remaja kepada orangtua
mengenai keberadaan, aktivitas dan teman mereka terkait dengan penyesuaian
positif remaja.
OTONOMI DAN KELEKATAN (ATTACHMENT)
Dorongan untuk Otonomi
Kebanyakan orangtua telah mengantisipasi bahwa remaja akan sulit menyesuaikan dengan
perubahan di masa remaja, namun hanya sedikit orangtua yang dapat membayangkan dan
memprediksi betapa kuatnya keinginan remaja untuk meluangkan waktu dengan kawan
sebaya, atau intensitas remaja untuk menunjukkan bahwa mereka lah – bukan orangtua –
yang bertanggung jawab terhadap kesuksesan dan kegagalannya.
Pada permulaan remaja, rata-rata individu tidak memiliki pengetahuan untuk membuat
keputusan yang tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Ketika remaja di dorong
untuk meraih otonomi, orang dewasa yang bijaksana akan mengurangi kendali dalam
bidang-bidang di mana remaja dapat mengambil keputusan yang masuk akal
Orang dewasa tetap membimbing mereka untuk mengambil keputusan di bidang-bidang
dimana pengetahuan remaja masih terbatas. Secara bertahap, remaja memperoleh
kemampuan untuk mengambil keputusan yang matang secara mandiri
Peran Kelekatan (Attachment)
Para peneliti telah mengeksplorasi apakah secure attachment juga merupakan hal
yang penting untuk menciptakan relasi antara remaja dan orangtuanya (Laursen &
Collins, 2009)
Joseph Allen dkk (2009) menemukan bahwa remaja yang mengalami kelekatan yang
aman pada usia 14 tahun cenderung mengalami relasi yang eksklusif, merasa
nyaman dengan keintiman dalam relasi, dan independensi keuangan yang meningkat
pada usia 21 tahun.
KONFLIK ORANGTUA-REMAJA
Konflik dengan orangtua seringkali meningkat di remaja awal, masih tetap
berlangsung selama masa SMA, kemudian menurun ketika remaja mencapai usia 17
hingga 20 tahun.
Konflik sehari-hari yang merupakan ciri dari relasi orangtua-remaja biasanya
memberikan fungsi perkembangan yang positif. Perselisihan dan negosiasi kecil
dapat mendukung transisi remaja dari sosok yang tergantung pada orangtua
menjadi individu yang otonom.
Orangtua berfungsi sebagai tokoh kelekatan dan system pendukung yang penting
ketika remaja melakukan eksplorasi ke dalam dunia sosial yang lebih luas dan
kompleks.
Model baru ini juga menekankan bahwa pada sebagaian besar keluarga, konflik
orangtua-remaja tergolong moderat.
KAWAN SEBAYA • Persahabatan
• Kelompok Kawan Sebaya
• Pacaran dan Relasi Romantik
PERSAHABATAN
Di awal masa remaja, remaja biasanya memilih untuk memiliki beberapa sahabat yang lebih
intens dan akrab dibandingkan anak-anak kecil.
Harry Stack Sullivan (1953) berpendapat bahwa sahabat menjadi sangat penting untuk
memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan menyatakan bahwa kebutuhan akan
intimasi meningkat di masa remaja awal, dan memotivasi remaja untuk mencari sahabat. Jika
remaja gagal untuk menempa persahabatan yang akrab, mereka akan mengalami kesepian
dan penghayatan akan martabat dirinya (self-worth) juga akan menurun.
Dibandingkan anak-anak yang lebih muda, remaja lebih terbuka mengenai hal-hal yang intim
dan informasi yang bersifat pribadi kepada kawan-kawannya (Buhrmester, 1998). Remaja
juga mengatakan bahwa mereka lebih banyak tergantung pada kawan-kawan daripada
orangtua untuk memenuhi kebutuhan mereka atas kebersamaan, ketentraman hati, dan
intimasi. Pengalaman naik turun dengan kawan-kawan ini membentuk keberadaan remaja
(Bukowski, Motzoi, & Meyer, 2009; Laursen & Pursell, 2009)
KELOMPOK KAWAN SEBAYA
Tekanan dari kawan Sebaya
Dibandingkan anak-anak, remaja awal lebih banyak menyesuaikan diri terhadap
standar kawan sebayanya. Pada kelas delapan dan Sembilan, konformitas terhadap
kawan sebaya – khususnya terhadap standar antisosial – mencapai puncaknya
(Brown & Larson, 2009; Brown dkk, 2008)
Remaja mana cenderung berkonformasi dengan kawan sebayanya? Mitchell Prinstein
dan koleganya telah melakukan riset yang mengungkapkan bahwa remaja yang
tidak yakin akan identitas sosialnya, cenderung lebih menyesuaikan diri dengan
kawan sebayanya.
Klik dan Crowds
Klik dan crowds memainkan peran penting di dalam kehidupan remaja dibandingkan
anak-anak (Brown & Dietz, 2009; Brown dkk, 2008)
Klik (clique) adalah kelompok kecil yang jumlah anggotanya berkisar dari 2 hingga
12 individu dan rata-rata 5 hingga 6 individu. Anggota klik biasanya memiliki
kesamaan gender dan usia.
Klik dapat terbentuk karena remaja terlibat dalam aktivitas yang sama, seperti
dalam sebuah klub atau tim olahraga yang sama. Beberapa klik juga terbentuk
karena persahabatan.
Crowds bersifat lebih besar dari klik dan kurang personal. Keanggotaan remaja
dalam sebuah crowds biasanya didasarkan pada reputasi; mereka bisa meluangkan
banyak waktu Bersama-sama, namun bisa juga tidak.
Banyak crowds yang diidentifikasi sesuai dengan aktivitas yang dilakukan oleh
remaja (seperti “jocks”, remaja yang mahir dalam olahraga, atau “druggies” remaja
yang menggunakan obat-obatan terlarang)
PACARAN DAN RELASI ROMANTIS
Perubahan Perkembangan dalam Pacaran dan Relasi
Romantis
Tiga tahapan mencirikan perkembangan relasi romantic di masa remaja (Connolly &
McIsaac, 2009):
1. Mulai memasuki afiliasi dan atraksi romantic pada usia sekitar 11 hingga 13
tahun. Tahap awal ini dipicu oleh pubertas. Dari 11 hingga 13 tahun, remaja
menjadi sangat tertarik pada keromantisan dan hal itu mendominasi banyak
percakapan dengan kawan sesame gender. Perasaan tertarik pada seseorang
umum terjadi dan ketertarikan itu diceritakan kepada kawan sesame gendernya.
Remaja muda mungkin atau mungkin tidak berinteraksi dengan indivdu yang
disukainya tersebut. Namun ketika kencan terjadi, biasanya berlangsung dalam
setting kelompok.
2. Mengeksplorasi relasi romantic pada usia sekitar 14 hingga 16 tahun. Pada
tahap ini terjadi dua jenis keterlibatan romantisme pada remaja:
(a) pacarana biasa (casual dating), terjadi di antara individu yang saling tertarik.
Pengalaman pacarana seperti ini berjangka pendek, mungkin hanya berlangsung
beberapa bulan, dan biasanya hanya bertahan beberapa minggu saja
(b) Pacaran secara berkelompok (dating in groups), biasanya terjadi dan
mencerminkan keterkaitan dalam konteks kawan sebaya. Sahabat seringkali
berperan sebagai fasilitator dari sebuah relasi pacarana dengan mengkomunikasikan
ketertarikan romantic rekannya dan mengkonfirmasi bahwa ketertarikan tersebut
berbalas.
3. Mengonsolidasi keterikatan romantic dyadic pada usia sekitar 17 hingga 19
tahun. Pada akhir masa sekolah menengah atas, terbentuk relasi romantic yang
semakin serius. Relasi ini dicirikan dengan ikatan emosi yang kuat, seperti pada
relasi romantic orang dewasa. Ikatan emosi ini lebih stabil dan tahan lama
disbanding ikatan sebelumnya, dan biasanya bertahan satu tahun atau lebih.
Konteks Sosial-Budaya dan Pacaran
Konteks sosiobudaya memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap pola
berpacaran remaja (Crissey, 2009)
Nilai-nilai, keyakinan religious dan tradisi seringkali menentukan usia yang tepat
untuk berpacaran, besarnya kebebasan yang diberikan dalam berpacaran, apakah
proses pacarana harus dikawal oleh orang dewasa atau orangtua, dan
bagaimanakah peran pria dan wanita dalam berpacaran.
MEDIA DAN REMAJA
Penggunaan Media
Remaja zaman sekarang dikelilingi oleh media, rata-rata remaja menghabiskan 6.5
jam sehari (44.5 jam seminggu) bersama media dan hanya menghabiskan 2.25 jam
sehari Bersama orang tua, serta hanya 50 menit sehari untuk mengerjakan pekerjaan
rumah.
Tren utama dalam penggunaan teknologi adalah peningkatan dramatis pada media
multitugas (Roberts, Henriksen, & Foehr, 2009).
Kehidupan Online Remaja
Remaja di seluruh dunia semakin bergantung pada internet, meskipun terdapat
perbedaan substansial dalam penggunaannya di berbagai negara di seluruh dunia
dan oleh berbagai kelompok sosio-ekonomi
Penelitian telah menemukan bahwa sekitar satu dari tiga remaja lebih membuka diri
secara online dibandingkan langsung; dalam penelitian ini, remaja laki-laki merasa
lebih nyaman membuka diri secara online dibandingkan remaja perempuan.
Sebaliknya, remaja perempuan lebih merasa nyaman secara langsung daripada
laki-laki. Sehingga keterbukaan diri remaja laki-laki diuntungkan dengan
berkomunikasi secara online kepada teman-temannya (Valkenburg & Peter, 2009)
Perhatian khusus diberikan terhadap akses informasi internet yang belum diatur
pada anak-anak dan remaja (Pujazon-Zazik & Park, 2010)
Sebuah survey mengindikasikan bahwa 42 persen remaja usia 10 hingga 17 tahun
telah terekspos pornografi melalui internet beberapa tahun terakhir, dengan 66
persen dari eksposur tersebut adalah tidak diinginkan (Wolak, Mitchell, & Finkelhor,
2007). Juga, terdapat peningkatan substansial pelecehan pada remaja dan
cyberbullying melalui internet (Subrahmanyam & Greenfield, 2008)
MASALAH-MASALAH REMAJA • Kenakalan Remaja
• Depresi dan Bunuh Diri
KENAKALAN REMAJA
Kenakalan remaja (juvenile delinquent) diterapkan pada remaja yang melanggar
hukum atau terlibat dalam perilaku yang dianggap illegal
Remaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam kenakalan remaja dibanding
perempuan.
Terdapat perbedaan antara perilaku antisosial awal, yaitu sebelum usia 11 tahun
dan perilaku antisosial akhir, yaitu setelah usia 11 tahun. Perilaku antisosial awal
terkait dengan hasil perkembangan negative daripada perilaku antisosial akhir
(Schulenberg & Zarret, 2006). Tidak hanya hal tersebut bertahan hingga menuju
dewasa, tapi juga terkait dengan Kesehatan mental serta masalah relasi (Loeber,
Burke & Pardini, 2009)
Penyebab Kenakalan Remaja
Meskipun kenakalan remaja bukanlah gejala yang secara eksklusif hanya dijumpai
pada remaja yang berasal dari status sosial ekonomi rendah seperti dulu, terdapat
beberapa karakteristik budaya kelas sosial rendah yang mendukung kenakalan
remaja (Thio, 2010).
Norma-norma yang dianut kelompok dan geng yang berasal dari SES rendah
dianggap antisosial dan kontraproduktif terhadap tujuan dan norma masyarakat
pada umumnya.
Beberapa karakteristik dari system dukungan keluarga juga berkaitan dengan
kenakalan remaja (Farrington, 2009). Orangtua dari remaja-remaja yang terlibat
dalam kenakalan ini kurang mampu mengurangi perilaku anti sosial dan
mengembangkan sejumlah keterampilan dibandingkan dengan orangtua lainnya.
Pengawasan dari orangtua terhadap remaja adalah hal yang penting untuk
menentukan apakah seorang remaja akan terlibat dalam kenakalan atau tidak
(Laird dkk, 2008)
Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa disiplin yang keras menjadi salah satu
faktor yang dapat memprediksi bahwa individu usia 8 hingga 10 tahun yang terlibat
dalam kenakalan remaja, akan melakukan Tindakan criminal setelah berusia 21
tahun (Farrington, Ttofi, & Coid, 2009)
DEPRESI DAN BUNUH DIRI
Depresi
Tingkat remaja yang pernah mengalami depresi berkisar dari 15 hingga 20 persen
(Graber & Sontag, 2009).
Pada sekitar usia 15 tahun, tingkat depresi remaja perempuan dua kali lebih besar
dari remaja laki-laki. Beberapa alasan adanya perbedaan gender ini adalah
perempuan cenderung untuk memikirkan suasana hati depresi yang dialami dan
membesar-besarkannya; citra diri remaja perempuan, khususnya yang menyangkut
citra tubuh, lebih buruk dibandingkan remaja laki-laki; remaja perempuan lebih
sering menghadapi diskriminasi daripada laki-laki; pubertas muncul lebih awal pada
anak-anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki (Nolen-Hoeksema, 2010)
Ada beberapa faktor tertentu di dalam keluarga yang dapat membuat remaja
berisiko mengalami depresi, yaitu: orangtua yang menderita depresi, orangtua yang
tidak terikat secara emosi, orangtua yang mengalami konflik perkawinan, dan
orangtua yang mengalami masalah finansial
Relasi dengan kawan sebaya yang buruk juga berkaitan dengan depresi remaja
(Kisner dkk, 2006). Beberapa hal lain yang dapat meningkatkan tendensi depresi
pada remaja adalah tidak memiliki sahabat dekat, kurang kontak dengan kawan-
kawan, mengalami penolakan dari kawan sebaya, dan masalah dalam relasi
romantic.
Bunuh Diri
Remaja perempuan cenderung lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri
daripada laki-laki, tapi lebih banyak laki-laki yang benar-benar melakukannya.
Dalam percobaan bunuh diri itu, remaja laki-laki menggunakan senjata mematikan
seperti senjata api, sementara perempuan cenderung mengiris pergelangan tangan
atau meminum banyak obat tidur – cara-cara yang tidak berujung kematian.
Pengalaman di awal maupun di kemudian hari, dapat mempengaruhi usaha bunuh
diri. Remaja itu mungkin memiliki sejarah pengalaman yang Panjang tinggal di dalam
keluarga yang tidak stabil dan tidak bahagia (Wan & Leung, 2010). Sebagaimana
halnya dengan kurangnya afeksi dan dukungan emosional, kontrol yang tinggi dan
tekanan untuk berprestasi yang diterapkan orangtua di masa kanak-kanak juga
dapat menjadi faktor yang menyebabkan usaha bunuh diri.
Relasi dengan kawan sebaya juga terkait dengan percobaan bunuh diri. Remaja
tersebut mungkin tidak memiliki sahabat yang mendukung.
Bagaimana profil psikologis remaja yang bunuh diri? Mereka sering memiliki gejala
depresif (Woolgar & Tranah, 2010). Meskipun tidak semua remaja depresi berusaha
bunuh diri, depresi adalah faktor yang paling sering berkaitsn dengan bunuh diri
remaja.
Program yang telah berhasil mencegah atau mengurangi masalah remaja memiliki
tiga komponen sebagai berikut (Dryfoos, 1990; Dryfoos & Barkin, 2006):
1. memberikan atensi yang intensif secara individual
2. Pendekatan kolaborasi multiagen dari komunitas luas
3. identifikasi awal dan intervensi

Anda mungkin juga menyukai