Anda di halaman 1dari 39

BAB 4

PELAYANAN DAN ASUHAN PASIEN (PAP)


 
 
Elemen Penilaian PAP 1
1. Rumah sakit menetapkan regulasi bagi pimpinan unit pelayanan untuk bekerja sama
memberikan proses asuhan seragam dan mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku. (R)
2. Asuhan seragam diberikan sesuai persyaratan sesuai butir a s/d e pada maksud dan tujuan
PAP 1. (D,W)
 Elemen Penilaian PAP 2
1. Ada regulasi yang mengatur pelayanan dan asuhan terintegrasi di dan antar berbagai unit
pelayanan. (R)
2. Rencana asuhan diintegrasikan dan dikoordinasikan di dan antarberbagai unit pelayanan.
(lihat juga ARK 2, EP 3). (D,O,W)
3. Pemberian asuhan diintegrasikan dan dikoordinasikan di dan antar berbagai unit
pelayanan. (D,O,W)
4. Hasil atau simpulan rapat dari tim PPA atau diskusi lain tentang kerjasama
didokumentasikan dalam CPPT. (D,W)
 Elemen Penilaian PAP 2.1
1. Ada regulasi asuhan untuk setiap pasien direncanakan oleh dokter penanggung jawab
pelayanan (DPJP), perawat, dan PPA lainnya dalam waktu 24 jam sesudah pasien masuk
rawat inap. (R)
2. Rencana asuhan dibuat untuk setiap pasien dan dicatat oleh PPA yang memberikan
asuhan di rekam medis pasien. (D,W)
3. Rencana asuhan pasien terintegrasi dibuat dengan sasaran berdasar atas data asesmen
awal dan kebutuhan pasien. (D,W)
4. Rencana asuhan dievaluasi secara berkala sesuai dengan kondisi pasien, dimutakhirkan,
atau direvisi oleh tim PPA berdasar atas asesmen ulang. (D,W)
5. Perkembangan tiap pasien dievaluasi berkala dan dibuat notasi pada CPPT oleh DPJP
sesuai dengan kebutuhan dan diverifikasi harian oleh DPJP. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 2.2
1. Rumah sakit menetapkan regulasi tata cara pemberian instruksi. (R)
2. Instruksi diberikan hanya oleh mereka yang kompeten dan berwenang. (lihat KKS 3).
(D,W)
3. Permintaan untuk pemeriksaan laboratorium dan diagnostik imajing harus disertai
indikasi klinik apabila meminta hasilnya berupa interpretasi. (D,W)
4. Instruksi didokumentasikan di lokasi tertentu di dalam berkas rekam medik pasien.
(D,W)
 Elemen Penilaian PAP 2.3
1. Ada regulasi tentang tindakan klinik dan diagnostik serta pencatatannya di rekam medis.
(R)
2. Staf yang meminta beserta apa alasan dilakukan tindakan dicatat di rekam medis pasien.
(D)
3. Hasil tindakan dicatat di rekam medis pasien. (D)
4. Pada pasien rawat jalan bila dilakukan tindakan diagnostik invasif/berisiko harus
dilakukan asesmen serta pencatatannya dalam rekam medis. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 2.4
1. Pasien dan    keluarga    diberikan   informasi   tentang    hasil   asuhan   dan pengobatan.
(lihat juga HPK 1.1, EP 1). (D,W)
2. Pasien dan    keluarga    diberikan    informasi    tentang hasil    asuhan    dan pengobatan
yg tidak (lihat juga HPK 2.1.1, EP 2). (D,W)
 Elemen Penilaian PAP 3
1. Ada regulasi proses identifikasi pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi sesuai
dengan populasi pasiennya serta penetapan risiko tambahan yang mungkin berpengaruh
pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko tinggi. (R)
2. Staf dilatih untuk pemberian pelayanan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan risiko
tinggi. (lihat MKI 8.1, EP 3). (D,O,W)
3. Ada bukti pelaksanaan pemberian pelayanan pada pasien risiko tinggi dan pelayanan
risiko tinggi. (lihat MKI 8.1, EP 3). (D,O,W)
4. Ada bukti pengembangan pelayanan risiko tinggi dimasukkan ke dalam program
peningkatan mutu rumah sakit. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 3.1
1. Ada regulasi pelaksanaan early warning system (EWS). (R)
2. Ada bukti staf klinis dilatih menggunakan early warning system (EWS). (D,W)
3.  Ada bukti staf klinis mampu melaksanakan early warning system (EWS). (D,W,S)
4. Tersedia pencatatan hasil early warning system (EWS). (D,W)
Elemen Penilaian PAP 3.2
1. Ada regulasi pelayanan resusitasi yang tersedia dan diberikan selama 24 jam setiap hari
di seluruh area rumah sakit, serta peralatan medis untuk resusitasi dan obat untuk bantuan
hidup dasar terstandar sesuai dengan kebutuhan populasi pasien. (lihat PAB 3, EP 3).(R)
2. Di seluruh area rumah sakit bantuan hidup dasar diberikan segera saat dikenali henti
jantung-paru dan tindak lanjut diberikan kurang dari 5 menit. (W,S)
3. Staf diberi pelatihan pelayanan resusitasi. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 3.3
1. Ada regulasi pelayanan darah dan produk darah meliputi butir 1 sampai dengan 6 pada
maksud dan tujuan. (lihat AP5.11 EP 2). (R)
2. Ada bukti pelaksanaan proses meliputi butir 1) sampai dengan 6) pada maksud dan
tujuan. (D,W)
3. Ada bukti staf yang kompeten dan berwenang melaksanakan pelayanan darah dan produk
darah serta melakukan monitoring dan evaluasi. (lihat AP 5.11, EP 1). (D,W)
Elemen Penilaian PAP 3.4
1. Ada regulasi asuhan pasien alat bantu hidup dasar atau pasien koma. (R)
2. Ada bukti pelaksanaan asuhan pasien dengan alat bantu hidup sesuai dengan regulasi.
(D,W).
3. Ada bukti pelaksanaan asuhan pasien koma sesuai dengan regulasi. (D,W).
Elemen Penilaian PAP 3.6
1. Ada regulasi asuhan pasien dialisis. (R)
2. Ada bukti pelaksanaan asuhan pasien dialisis sesuai dengan regulasi. (D,W).
3. Ada bukti dilakukan evaluasi kondisi pasien secara berkala. (D,W)
PELAYANAN PASIEN RESTRAIN
Elemen Penilaian PAP 3.7
1. Ada regulasi pelayanan penggunaan alat penghalang (restraint). (R).
2. Ada bukti pelaksanaan pelayanan penggunaan alat penghalang (restraint) sesuai dengan
regulasi. (D,W)
3. Ada bukti dilakukan evaluasi pasien secara berkala. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 3.8
1. Ada regulasi pelayanan khusus terhadap pasien yang lemah, lanjut usia, anak, dan yang
dengan ketergantungan bantuan, serta populasi yang berisiko disiksa dan risiko tinggi
lainnya termasuk pasien dengan risiko bunuh diri. (R)
2. Ada bukti pelaksanaan asuhan pasien yang lemah dan lanjut usia yang tidak mandiri
menerima asuhan sesuai dengan regulasi. (D,W)
3. Ada bukti pelaksanaan asuhan pasien anak dan anak dengan ketergantungan sesuai
dengan regulasi. (D,W)
4. Ada bukti  pelaksanaan   asuhan   terhadap  populasi  pasien  dengan   risiko kekerasan
dan risiko tinggi lainnya termasuk pasien dengan risiko bunuh diri sesuai dengan
regulasi. (D,W)
 Elemen Penilaian PP 3.9
1. Ada regulasi pelayanan khusus terhadap pasien yang mendapat kemoterapi atau
pelayanan lain yang berisiko tinggi. (R)
2. Ada bukti pelaksanaan pelayanan pasien yang mendapat kemoterapi sesuai dengan
regulasi. (D,W)
3. Ada bukti pelaksanaan pelayanan risiko tinggi lain (misalnya terapi hiperbarik dan
pelayanan radiologi intervensi) sesuai dengan regulasi. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 4
1. Rumah sakit menetapkan regulasi yang berkaitan dengan pelayanan gizi. (R)
2. Rumah sakit menyediakan makanan sesuai dengan kebutuhan pasien. (D,O,W)
3. Ada bukti proses pemesanan makanan pasien sesuai dengan status gizi dan kebutuhan
pasien serta dicatat di rekam medis. (D,W)
4. Makanan disiapkan dan disimpan dengan mengurangi risiko kontaminasi dan
pembusukan. (O,W)
5. Distribusi makanan dilaksanakan tepat waktu sesuai dengan kebutuhan. (D,O,W)
6. Jika keluarga membawa makanan bagi pasien, mereka diberi edukasi tentang pembatasan
diet pasien dan risiko kontaminasi serta pembusukan sesuai dengan regulasi. (D,O,W,S)
7. Makanan yang dibawa keluarga atau orang lain disimpan secara benar untuk mencegah
kontaminasi. (D,O,W)
 Elemen Penilaian PAP 5
1. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk terapi gizi terintegrasi. (R)
2. Ada bukti pemberian terapi gizi terintegrasi pada pasien risiko nutrisi. (D,W)
3. Asuhan gizi terintegrasi mencakup rencana, pemberian, dan monitor terapi (D,W)
4. Evaluasi dan monitoring terapi gizi dicatat di rekam medis pasien. (lihat AP 2 EP 1). (D)
Elemen Penilaian PAP 6
1. Rumah sakit menetapkan regulasi pelayanan pasien untuk mengatasi (R)
2. Pasien nyeri menerima pelayanan untuk mengatasi nyeri sesuai dengan kebutuhan.
(D,W)
3. Pasien dan keluarga diberikan edukasi tentang pelayanan untuk mengatasi nyeri sesuai
dengan latar belakang agama, budaya, nilai-nilai pasien, dan keluarga. (D,W)
4. Pasien dan keluarga diberikan edukasi tentang kemungkinan timbulnya nyeri akibat
tindakan yang terencana, prosedur pemeriksaan, dan pilihan yang tersedia untuk
mengatasi nyeri. (D,W,S)
5. Rumah sakit melaksanakan pelatihan pelayanan mengatasi nyeri untuk staf. (D,W)
Elemen Penilaian PAP 7
1. Ada regulasi asesmen awal dan ulang pasien dalam tahap terminal meliputi butir 1
sampai dengan 9 pada maksud dan tujuan. (R)
2. Ada bukti skrining dilakukan pada pasien yang diputuskan dengan kondisi harapan hidup
yang kecil sesuai dengan regulasi. (D,W)
3. Pasien dalam tahap terminal dilakukan asesmen awal dan asesmen ulang. (D,W)
4. Hasil asesmen menentukan asuhan dan layanan yang diberikan. (D,W)
5. Asuhan dalam tahap terminal memperhatikan rasa nyeri pasien. (lihat juga HPK 2.2).
(D,W)  
Elemen Penilaian PAP 7.1
1. Rumah sakit menetapkan regulasi pelayanan pasien dalam tahap terminal meliputi butir 1
sampai dengan 6 pada maksud dan tujuan. (R)
2. Staf diedukasi tentang kebutuhan unik pasien dalam tahap terminal. (D,W)
3. Pelayanan pasien dalam tahap terminal memperhatikan gejala, kondisi, dan kebutuhan
kesehatan atas hasil asesmen. (lihat PAP 1.7 EP 1). (D, W)
4. Pelayanan pasien dalam tahap terminal memperhaikan upaya mengatasi rasa nyeri
pasien. (lihat juga HPK 2.2). (D,W)
5. Pelayanan pasien dalam tahap terminal memperhatikan kebutuhan biopsiko- sosial,
emosional, budaya, dan spiritual. (D,W)
6. Pasien dan keluarga dilibatkan dalam keputusan asuhan termasuk keputusan do not
resuscitate/DNR. (lihat juga HPK 2). (D,W)
PEDOMAN PELAYANAN TRANSFUSI DARAH :
BAB I PENDAHULUAN
 Latar Belakang
 Ruang Lingkup Pelayanan
1. Administrasi
2. Melayani permintaan darah
3. Menyimpan persediaan darah
4. Uji Cocok Serasi (cross match)
5. Pemeriksaan Serologi Gol.Darah (blood typing)
6. Uji Saring ( blood screening).
 Batasan Operasional
 Landasan Hukum
BAB II STANDAR KETENAGAAN
 Kualifikasi sumber daya manusia
 Distribusi ketenagaan
 Pengaturan jaga
 BAB III STANDAR FASILITAS
 Denah ruang
 Standar fasilitas
 BAB IV TATA LAKSANA PELAYANAN
 Waktu pelayanan
 Pendaftaran dan pencatatan
 Penyimpanan darah dan komponen darah
 Penyerahan darah yang diminta pasien
 Kualitas dan keamanan darah
 Cross matching dan tes kecocokan
 Identifikasi donor dan penerima (jika ada)
 Pengembalian darah yang tidak terpakai
 Screening darah terhadap beberapa penyakit tertentu
 Pencatatan dan pelaporan dari reaksi yang timbul dari transfusi darah
 Pengadaan darah rutin dan darurat.
 Pengelolaan limbah
 Laporan
1. Permintaan rutin dan darurat
 golongan darah
 jenis darah (komponen)
 jumlah (kantong/unit/cc).
2. Stok darah per bulan/minggu.
3. Pengembalian darah yang tidak terpakai
 golongan darah
 jenis darah (komponen)
 jumlah
 nomor kantong/unit.
4. Jumlah darah rusak/expired.
5. Jumlah pemakaian darah
 golongan darah
 jenis darah (komponen)
 jumlah kantong/unit/cc.
6. Jumlah pemeriksaan
 golongan darah
 cross match
 uji saring (screening).
7. Kejadian reaksi transfusi darah
 Jumlah
 nomor kantong/unit darah
 tanggal
8. Response time (penyerahan) permintaan.
BAB V LOGISTIK
 
BAB VI KESELAMATAN PASIEN
 Pengertian
 Tujuan
 Tata laksana keselamatan pasien
BAB VII KESELAMATAN KERJA
BAB VIII PENGENDALIAN MUTU
Evaluasi terhadap :
 Penyimpanan darah dan komponen darah
 Penyerahan darah yang diminta pasien
 Kualitas dan keamanan darah
 Cross matching dan tes kecocokan
 Identifikasi donor dan penerima (jika ada)
 Pengembalian darah yang tidak terpakai
 Screening darah terhadap beberapa penyakit tertentu
 Pencatatan dan pelaporan dari reaksi yang timbul dari transfusi darah
 Pengadaan darah rutin dan darurat
 Penanganan limbah
BAB IX PENUTUP
BASIC HOSPITAL CASE MANAGEMENT
Definisi & Tujuan Hospital Case Management
The Case Management Society of America (CMSA) mendefinisikannya sebagai berikut.
“Pengelolaan kasus adalah proses kolaborasi penilaian, perencanaan, fasilitasi, koordinasi
perawatan, evaluasi, dan advokasi untuk pilihan dan layanan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan individu dan keluarga secara menyeluruh melalui komunikasi dan sumber daya
yang tersedia untuk mempromosikan hasil yang berkualitas dan hemat biaya.”
Keperawatan CM adalah pendekatan kolaboratif yang dinamis dan sistematis untuk
menyediakan dan mengkoordinasikan layanan kesehatan ke populasi tertentu. Kerangka kerja
mencakup lima komponen: penilaian, perencanaan, implementasi, evaluasi, dan interaksi.
Manajer kasus perawat secara aktif berpartisipasi dengan klien mereka untuk mengidentifikasi
dan memfasilitasi pilihan dan layanan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan individu, dengan
tujuan mengurangi fragmentasi dan duplikasi perawatan dan meningkatkan kualitas, hasil
klinis yang hemat biaya.
American Case Management Association (ACMA) mendefinisikannya dengan cara lain.
“Manajemen Kasus di rumah sakit dan sistem kesehatan adalah model praktik kerja sama
termasuk pasien, perawat, pekerja sosial, dokter, praktisi lain, perawat dan masyarakat. Proses
manajemen kasus mencakup komunikasi dan memfasilitasi perawatan sepanjang kontinum
melalui koordinasi sumber daya yang efektif. Tujuan pengelolaan kasus meliputi pencapaian
kesehatan, akses terhadap perawatan, dan pemanfaatan sumber daya yang optimal, sesuai
dengan hak pasien untuk menentukan nasib sendiri. “
Perawatan kesehatan berubah dan manajer kasus merasakan dampaknya, karena tanggung
jawab mereka mencerminkan perubahan ini. Namun, peran inti manajer kasus tetap berfungsi
sebagai penggerak perawatan berpusat pada pasien. Ini umumnya melibatkan satu atau kedua
hal berikut:
 Melayani sebagai koordinator perawatan untuk pengembangan, implementasi, dan
keterkaitan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan yang diantisipasi saat ini dan yang
akan datang (misal : Medis, Psikososial, sosial ekonomi) pasien dan keluarga mereka saat
mereka bergerak melalui rangkaian perawatan.
 Melayani dalam pengelolaan pemanfaatan untuk berkolaborasi dengan dokter dan pihak
lain untuk memastikan bahwa pasien berada pada tingkat perawatan yang tepat untuk
memastikan penggantian yang benar dan meminimalkan penyangkalan pembayaran.
Melayani sebagai pengemudi berarti memastikan bahwa tim multidisipliner, termasuk dokter,
bekerja sama untuk menghilangkan hambatan terhadap perawatan dan pembuangan tepat
waktu.
Satu ukuran tidak cocok untuk semuanya di Case Management. Rencana bersifat individual,
jadi manajer kasus harus tetap fleksibel dan belajar berpikir diluar kotak. Ini bahkan lebih
penting lagi karena perubahan peran dan rumah sakit berusaha memenuhi permintaan akan
hasil kualitas dan tetap kompetitif di pasar. Akibatnya, manajer kasus dapat mengharapkan
peran dan wewenang mereka untuk melampaui dinding rumah sakit ke dalam masyarakat.
Keterampilan membutuhkan pembaharuan terus-menerus.
Sebagai aturan, Sosial Worker ( SWs ) dan (Registered Nurse / Perawat ) RNs adalah fondasi
Case Managemen (CM) pasien karena berkaitan dengan koordinasi perawatan atau
perencanaan (discharge) atau transisi, keterkaitan dengan sumber daya, intervensi krisis, dan
tinjauan pemanfaatan. Masing-masing peran membawa ke meja perpaduan unik antara
keterampilan dan pengetahuan. Ketika bekerja berdampingan sebagai sebuah tim, mereka
secara sinergis memaksimalkan penggunaan keterampilan, pengetahuan dan bakat dari kedua
disiplin ilmu.
Tujuan Manajer Kasus yang Efektif.
Rumah sakit umumnya menganggap anggota staf yang melakukan koordinasi perawatan,
perencanaan pemulangan pasien, atau manajer pengelola pemanfaatan (utilization
management ). Istilah ini bisa membingungkan, karena tidak selalu mencerminkan perannya
secara akurat. Terlepas dari judul dan settingnya, tujuan CM adalah sama.
Tujuan mereka adalah :
 Memberikan hasil perawatan klinis berkualitas tinggi dan hemat biaya dengan
menggunakan keterkaitan yang efisien dan tepat waktu terhadap sumber perawatan di
seluruh rangkaian.
 Mengandung atau mengurangi biaya dengan menyeimbangkan pemanfaatan sumber daya
yang diperlukan untuk mencapai hasil klinis yang realistis dan mencegah pembacaan
ulang
 Memastikan bahwa pasien berada pada tingkat perawatan yang tepat setiap saat dan lama
tinggal sama efisien dan sesingkat mungkin
 Memastikan pengalaman Case Management yang memuaskan bagi semua orang.
Kompetensi inti Case Management Rumah Sakit.
Pasien, keluarga mereka, dan profesional kesehatan menganggap bahwa manajer kasus dan
dokter memberikan layanan yang kompeten. Ingatlah untuk mengikuti kebijakan dan prosedur
di rumah sakit dan bertindaklah sesuai uraian tugas sesuai standar yang digariskan oleh
Undang-Undang.
Manajer kasus yang kompeten melakukan hal berikut:
 Mengandalkan penilaian yang akurat untuk intervensi (pelayanan).
 Mengembangkan rencana yang mencakup rekomendasi dari tim perawatan multi disiplin.
 Menetapkan tujuan spesifik.
Proses Case Management (CM) untuk perawat adalah proses keperawatan atau metode ilmiah
yang diajarkan selama pendidikan, perencanaan sasaran dengan intervensi, penerapan, dan
evaluasi hasil.
Jumlah total pengetahuan dan nilai yang dimiliki manajer kasus ke pekerjaan mencerminkan
kompetensi mereka. Kinerja yang kompeten membutuhkan pengetahuan, keterampilan, dan
energi yang timbul dari keyakinan, dan kejujuran,  terhadap pekerjaan. Pengetahuan teori atau
teks buku itu penting, tapi begitu juga aplikasi praktis dari pengetahuan itu juga sangat
penting.
Lima kompetensi inti menurut CMSA  (Case Management Society of America) meliputi:
 Kemampuan untuk menilai faktor fisik dan psikologis yang mempengaruhi kasus.
 Kemampuan untuk mengkoordinasikan pemberian layanan.
 Kemampuan untuk memahami ketentuan manfaat dari perusahaan asuransi, berbagai
jenis pembayar, dan juga program pendanaan publik dimana pasien mempunyai hak.
 Pengetahuan tentang konsep praktik keperawatan.
 Pengetahuan tentang sumber daya masyarakat, tingkat perawatan, serta standar
perawatan di dalam sumber daya masyarakat.
Enam komponen inti Case Management menurut CMSA,  mencakup pengetahuan sebagai
berikut:
 Aspek psikososial yang mempengaruhi pasien dan perawatan atau persepsi mereka
tentang penyakit atau cedera.
 Pengembalian biaya kesehatan.
 Rehabilitasi.
 Manajemen Kesehatan selama perawatan dan transver pasien.
 Prinsip atau aturan  praktik kesehatan.
 Konsep Cace Management itu sendiri.
Kompetensi keterampilan serta pengetahuan tambahan yang diperlukan Case Management
adalah :
 Pendidikan.
 Pengalaman dan keahlian dalam setting praktik, termasuk kecerdasan politik.
 Kemampuan untuk melihat pasien dan keluarga secara keseluruhan.
 Pengetahuan tentang protokol, sumber daya, layanan, program pendanaan, dan hak
pasien.
 Keterampilan komunikasi, lisan, tulisan, dan pendengaran.
 Kemampuan pemecahan masalah dan penggunaan keterampilan berpikir kritis.
 Kemampuan kreatif, energi, dan fleksibilitas.
 Kepekaan budaya dan bahasa.
 Kompetensi spesifik usia dan sifat yang menyertainya.
 Kesadaran akan potensi kemampuan bacaan ilmu pengetahuan.
 Manajemen waktu yang baik.
 Mampu menjadi self-directed , percaya diri.
 Keyakinan dalam dan menghormati diri sendiri dan kolega seseorang.
Keterampilan penting lainnya yang digunakan oleh manajer kasus yang sukses adalah sebagai
berikut:
 Pengetahuan klinis (patofisiologi, anatomi, farmakologi, dan kursus umum tentang
pemulihan dan sumber daya yang sesuai untuk tingkat perawatan yang berbeda).
 Tim kerja dan delegasi.
 Pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
 Pengajaran dan pendidikan, termasuk pasien, anggota keluarga, dan anggota tim
perawatan profesional.
 Resolusi konflik dan percakapan penting.
 Kemampuan untuk mengatakan “tidak”.
 Komitmen dan motivasi.
Meskipun daftar keterampilan atau karakteristik mungkin tampak panjang, tidak semua akan
dibutuhkan untuk setiap pasien, namun orang harus berasumsi bahwa mereka mungkin
dibutuhkan pada hari tertentu untuk pasien manapun. Keterampilan dapat digunakan dalam
kombinasi apapun jika seseorang ingin menyelesaikan pekerjaan, jadi manajer kasus RN atau
SW harus fleksibel. Kompetensi akan membuat perbedaan dalam bagaimana seorang manajer
kasus dilihat dalam perannya. Kompetensi membuat perbedaan dengan bagaimana seseorang
merasa tentang diri sendiri dan pekerjaan yang dilakukan.
Standar berikut dikembangkan oleh “The Center for Case Management” dan memberikan
panduan manajer kasus untuk perencanaan setiap hari:
1. Dukung hak dan martabat pasien yang diterbitkan secara nasional dan sesuai undang-
undang yang berlaku.
2. Memberikan informasi faktual yang akurat mengenai penerimaan, dikomunikasikan
secara tepat waktu dan akurat kepada semua anggota tim perawatan saat ini dalam
perawatan akut dan tingkat perawatan berikutnya.
3. Empati untuk cerita pasien atau keluarga seputar penerimaan, terlepas dari perusahaan
asuransi atau pembayar pihak ketiga, status sosial ekonomi, keadaan khusus yang
memicu kebutuhan akan perawatan
4. Advokasi dan kerja sama tim yang secara langsung membahas kebutuhan unik dan
individual
5. Koordinasi intervensi tepat waktu dan strategis yang menghasilkan hasil yang penting
bagi pasien atau keluarga dan legal
6. Penilaian dalam waktu 24 jam setelah masuknya demografi, stratifikasi risiko, dan
atribusi jika diterima kembali.
 Apakah Anda memiliki janji dengan dokter yang merawat Anda saat Anda dirawat di
rumah sakit setelah Anda meninggal? Apakah Anda dapat mempertahankan janji
Anda? Jika tidak, mengapa?
 Apakah Anda melihat dokter lain selain yang ada di gawat darurat sebelum kembali
ke rumah sakit? Jika ya, siapa dan kapan? Jika tidak, mengapa? Apakah karena Anda
tidak dapat menjadwalkan janji temu?
 Apakah Anda mengalami kesulitan untuk memahami petunjuk perawatan diri atau
pengobatan setelah Anda masuk sebelumnya? Apakah Anda mampu melakukan
perawatan yang diperlukan? Apakah Anda bisa minum obat Anda seperti yang
diinstruksikan? Jika tidak, apa yang terjadi?
 Apakah Anda dapat meminta resep Anda? Apakah Anda mengalami masalah
membayar obat-obatan Anda? Apotek mana yang biasa Anda gunakan dan apoteker
mengisi resep saat Anda mempresentasikannya, atau apakah Anda harus
meninggalkannya dan kembali lagi nanti karena dosis yang benar tidak tersedia?
 Apakah Anda mengerti obat Anda? Apakah Anda tahu apa masing-masing dan kapan
harus mengambilnya?
 Apakah Anda memiliki bantuan di rumah dan seseorang untuk membantu Anda jika
Anda membutuhkannya? Apakah mereka tidak datang? Apakah ada yang lain
terjadi?
 Apakah Anda menerima layanan CM dari perusahaan asuransi atau program
manajemen penyakit Anda? Jika demikian, apakah seorang perwakilan memanggil
atau melihat Anda setelah keluar?
 Apakah masalah transportasi menghalangi Anda bepergian ke kantor dokter, apotek,
program rawat jalan, atau laboratorium Anda?
7. Pengadaan pendanaan dan pengaturan terperinci untuk pelepasan, transit yang aman,
lancar, dan berkelanjutan ke tingkat perawatan berikutnya yang akan mendorong
pemulihan, pemulihan, tingkat kesehatan tertinggi, atau kematian yang nyaman; Yaitu,
penyediaan pilihan untuk memenuhi aktivitas kehidupan sehari-hari  dan kegiatan
instrumental kehidupan sehari-hari.
8. Akses segera ke layanan SW sesuai kebutuhan atau diminta untuk mendapat dukungan
terampil selama krisis rawat inap, termasuk rapat keluarga dan keputusan mengenai
perawatan kesehatan di masa depan.
9. Penghubung antara tim layanan kesehatan terdekat dan peraturan perusahaan asuransi
atau pihak ketiga dan peraturan pembayar pajak.
10. Akses terhadap perencanaan keuangan jika dibutuhkan atau diminta.
11. Informasi tentang siapa yang harus dihubungi jika diperlukan pemasangan pos dan siapa
yang akan menjadi orang yang bertanggung jawab pada tingkat perawatan berikutnya.
12. Data yang dikumpulkan dari keluarga atau keluarga klinis dan pengalaman dengan
pengelolaan klinis perawatan mereka akan dievaluasi secara rinci dan dalam data yang
trending untuk memperbaiki hasil klinis dan pengalaman rawat inap yang lain.
Penulisan laporan untuk antisipasi Hal-hal yang tidak diinginkan.
Pencacatan secara historis menjadi perhatian yang utama. Rumah sakit secepatnya melakukan
perubahan agar kejadian tidak diinginkan atau semacam itu ditangani dan dihindari.
Akibatnya, ini menempatkan tugas baru (upaya ekstra untuk skrining pasien yang dapat
diterima untuk membantu menentukan akar penyebab penerimaan balik) ke staf rumah sakit,
terutama manajer kasus. Ini juga berarti seorang manajer kasus harus kompeten dengan
mewawancarai pasien, menilai kebutuhan medis mereka, dan mengidentifikasi sumber daya
dan potensi risiko jika rencana yang benar tidak berjalan. Untuk membantu mencegah
kesenjangan atau perawatan terfragmentasi yang berpotensi menempatkan pasien pada risiko
yang lebih tinggi, manajer kasus harus terus memantau pasien dan juga rencana potensial,
membuat perubahan pada rencana saat pasien maju atau mengalami regresi. Discharge dan
rencana transisi tunduk pada pengawasan saat pasien diterima kembali.
Departemen Case Management  harus siap untuk menunjukkan bahwa pendaftaran ulang
diterima karena faktor medis yang tidak terkendali daripada rencana yang tidak memadai
yang gagal memenuhi kebutuhan pasien.
Dengan demikian, keterampilan inti dan kompetensi seorang manajer kasus akan lebih kritis
lagi.
Hal ini diperlukan karena rumah sakit (dan departemen CM) ingin menunjukkan bahwa
penerimaan kembali karena faktor medis yang tidak terkendali dan bukan karena
ketidakmampuan rencana untuk memenuhi kebutuhan pasien.
CMS bermitra dengan Departemen Kesehatan dan Layanan Kesehatan A.S. untuk Riset dan
Mutu Kesehatan untuk mengembangkan dan menguji alat ini. Survei HCAHPS, yang tidak
terbatas pada penerima manfaat Medicare, diberikan pada sampel acak pasien rawat inap
dewasa berusia antara 48 jam dan enam minggu setelah dikeluarkan. Hasil dari rumah sakit
yang menyediakan 300 survei yang dibutuhkan dalam kerangka waktu yang dibutuhkan
muncul di Rumah Sakit Medicare Bandingkan halaman Web.
Sertakan pasien yang dapat diterima kembali dalam perawatan kompleks mingguan di rumah
sakit / rilisan lama. Melakukan hal tersebut memberi kesempatan bagi seluruh tim untuk
melakukan brainstorming dan menentukan apakah layanan atau pendekatan perawatan lainnya
dapat membantu mengurangi risiko penerimaan kembali di masa depan.
DISCHARGE PLANNING PASIEN DI RUMAH SAKIT
Discharge planning adalah suatu proses yang digunakan untuk memutuskan apa yang perlu
pasien lakukan untuk dapat meningkatkan kesehatannya.
Dahulu, disharge planning sebagai suatu layanan untuk membantu pasien dalam mengatur
perawatan yang diperlukan setelah tinggal di rumah sakit. Ini termasuk layanan untuk
perawatan di rumah, perawatan rehabilitatif, perawatan medis rawat jalan, dan bantuan
lainnya.
Saat ini  discharge planning dianggap sebagai proses yang dimulai saat pasien masuk dan
tidak berakhir sampai pasien dipulangkan. Keluar dari rumah sakit tidak berarti bahwa pasien
telah sembuh total. Ini hanya berarti bahwa dokter telah menetapkan bahwa kondisi pasien
cukup stabil untuk melakukan perawatan dirumah.
Discharge planning dapat juga didefinisikan sebagai proses mempersiapkan pasien untuk
meninggalkan satu unit pelayanan kepada unit yang lain di dalam atau di luar suatu agen
pelayanan kesehatan umum. Discharge planning yang efektif seharusnya mencakup
pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang
kebutuhan pasien yang berubah-ubah, pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk
memastikan kebutuhan pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi pelayanan
kesehatan.
Sedangkan definisi discharge planning menurut Bull (2000) merupakan suatu proses
interdisiplin yang menilai perlunya sebuah perawatan tindak lanjut dan seseorang untuk
mengatur perawatan tindak lanjut tersebut kepada pasien, baik perawatan diri yang diberikan
oleh anggota keluarga, perawatan dari tim profesional kesehatan atau kombinasi dari
keduanya untuk meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien.
 
Tujuan Discharge planning.
Tujuan dari dilakukannya discharge planning sangat baik untuk kesembuhan dan pemulihan
pasien pasca pulang dari rumah sakit. Menurut Nursalam (2011) tujuan discharge
planning/perencanaan pulang antara lain sebagai berikut:
 Menyiapkan pasien dan keluarga secara fisik, psikologis, dan sosial.
 Meningkatkan kemandirian pasien dan keluarga.
 Meningkatkan keperawatan yang berkelanjutan pada pasien.
 Membantu rujukan pasien pada sistem pelayanan yang lain.
 Membantu pasien dan keluarga memiliki pengetahuan dan keterampilan serta sikap
dalam memperbaiki serta mempertahankan status kesehatan pasien.
 Melaksanakan rentang keperawatan antara rumah sakit dan masyarakat.
Di dalam perencanaan pulang, terdapat pemberian edukasi atau discharge teaching dari tim
kesehatan. Menurut William & Wilkins (2009) discharge teaching harus melibatkan keluarga
pasien atau perawat lainnya untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan home care yang
tepat. Discharge teaching bertujuan agar pasien :
 Memahami mengenai penyakitnya.
 Melakukan terapi obat secara efektif.
 Mengikuti aturan diet secara hati-hati.
 Mengatur level aktivitasnya.
 Mengetahui tentang perawatan yang dilakukan.
 Mengenali kebutuhan istirahatnya.
 Mengetahui komplikasi yang mungkin dialami.
 Mengetahui kapan mencari follow up care.
 
Manfaat Discharge planning.
Perencanaan pulang mempunyai manfaat antara lain sebagai berikut (Nursalam, 2011) :
 Memberi kesempatan kepada pasien untuk mendapat panjaran selama di rumah sakit
sehingga bisa dimanfaatkan sewaktu di rumah.
 Tindak lanjut yang sistematis yang digunakan untuk menjamin kontinutas keperawatan
pasien.
 Mengevaluasi pengaruh dari intervensi yang terencana pada penyembuhan pasien dan
mengidentifikasi kekambuhan atau kebutuhan keperawatan baru.
 Membantu kemandirian pasien dalam kesiapan melakukan keperawatan rumah.
PEDOMAN PELAYANAN KAMAR STERIL DI RUMAH SAKIT
BAB 1 –  PENDAHULUAN.
Rumah sakit sebagai institusi penyedia pelayanan kesehatan berupaya untuk mencegah resiko
terjadinya infeksi bagi pasien dan petugas rumah sakit. salah satu indicator keberhasilan
dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit.
untuk mencapai keberhasilan tersebut maka perlu dilakukan pengendalian infeksi di rumah
sakit.
Instalasi pusat sterilisasi merupakan salah satu mata rantai yang panting untuk mengendalikan
infeksi dan berperan dalam upaya menekan kejadian infeksi. Untuk melaksanakan tugas dan
fungsi tersebut, pusat sterilisasi sangat bergantung pada unit penunjang lainnya yang ada
dirumah sakit. apabila terjadi hambatan pada salah satu unit tersebut maka pada akhirnya akan
mengganggu proses dan hasil sterilisasi.
Bila ditinjau dari volume alat dan bahan yang harus disterilkan dirumah sakit sedemikian
besar, maka rumah sakit dianjurkan untuk mempunyai suatu instalasi pusat sterilisasi
tersendiri dan mandiri. Instalasi pusat sterilisasi bertugas untuk memberikan pelayanan
terhadap semua kebutuhan kondisi steril atau bebas dari semua mikroorganisme termask
endospora secara tepat dan cepat.
Tujuan Pedoman.
Tujuan pedoman ini dibuat sebagai acuan/ standar bagi kamar steril dalam memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya untuk melayani dan membantu semua unit di rumah sakit
yang membutuhkan barang dan alat medic dalam kondisi steril.
Ruang Lingkup Pelayanan.
Instalasi pusat sterilisasi atau kamar steril memberikan pelayanan untuk melayani dan
membantu semua unit di rumah sakit yang membutuhkan barang dan alat medic dalam
kondisi steril.
Batasan Operasional.
Pengelolaan peralatan di instalasi pusat sterilisasi rumah sakit meliputi:
1. Pembilasan: pembilasan alat-alat yang telah digunakan tidak dilakukan diruang
perawatan.
2. Pembersihan: semua peralatan pakai ulang harus dibersihkan secara baik sebelum
dilakukan proses desinfeksi dan sterilisasi.
3. Pengeringan: dilakukan sampai kering.
4. Inspeksi dan pengemasan: setiap alat bongkar pasang harus diperiksa kelengkapannya,
sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas maksimumnya.
5. Member label: setiap kemasan harus mempunyai label yang menjelaskan isi dari
kemasan , cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses sterilisasi.
6. Sterilisasi: sebaiknya diberikan kepada staf yang terlatih.
7. Penyimpanan: harus diatur secara baik dengan memperhatikan kondisi penyimpanan
yang baik.
8. Distribusi: dapat dilakukan berbagai system distribusi sesuai dengan rumah sakit masing-
masing.
5. Landasan Hukum.
 Undang – undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
 Pedoman Manajemen Linen di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI tahun 2004
 Pedoman Teknis Sarana Dan Prasarana Rumah Sakit Kelas C, Departemen Kesehatan RI
Tahun 2007.
BAB 3 -STANDAR FASILITAS.
3.1. Denah Ruang. (Ada pada lampiran).
3.2. Pembagian Ruang Kamar Steril Dan Sediaan Fasilitas.
Lokasi instalasi pusat sterilisasi sebaiknya berdekatan dengan ruangan pemakai alat atau
bahan steril terbesar dirumah sakit. penetapan atau pemilihan lokasi yang tepat berdampak
pada efisiensi kerja dan meningkatkan pengendalian infeksi yaitu dengan meminimumkan
resiko terjadinya kontaminasi silang serta mengurangi lalu lintas transportasi alat steril. Untuk
rumah sakit yang berukuran kecil, lokasi pusat sterilisasi sebaiknya berada didekat wilayah
kamar operasi dan diupayakan lokasinya dekat dengan laundry.
1. Ruang dekontaminasi:
Pada ruang ini terjadi proses penerimaan alat kotor, dekontaminasi dan pembersihan.
Ruang dekontaminasi harus direncanakan, dipelihara dan dikontrol untuk mendukung
efisiensi proses dkontaminasi dan untuk melindungi pekerja dari benda-benda yang dapat
menyebabkan infeksi, racun, dan hal berbahaya lainnya.
a. Ventilasi: System ventilasi harus didesain sedemikian rupa sehingga udara di ruang
dekontaminasi harus
– Dihisap keluar atau ke system sirkulasi udara yang mempunyai filter.
– Tekanan udara harus negative tidak mengkontaminasi udara ruangan lainnya.
– Pada ruang dekontaminasi tidak dianjurkan menggunakan kipas angin.
b. Suhu dan kelembaban yang direkomendasikan adalah:
– Suhu udara antara 18-22 derajat celcius.
– Kelembaban udara antara 35% – 75%.
c. Lokasi ruang dekontaminasi harus:
– Terletak diluar lalu lintas utama rumah sakit.
– Dirancang sebagai area tertutup, secara fungsional terpisah dari area di sebelahnya dengan
ijin masuk terbatas.
– Dirancang secara fungsional terpisah dari area lainnya sehingga benda-benda kotor
langsung dating atau masuk ke ruang dekontaminasi, kemudian dibersihkan atau didesinfeksi
sebelum dipindahkan ke area yang bersih atau kearea proses sterilisasi.
– Disediakan peralatan yang memadai dari segi desain, ukuran, dan tipenya untuk
pembersihan dan atau desinfeksi alat-alat kesehatan.
2. Ruang pengemasan alat.
Di ruang ini dilakukan proses pengemasan alat untuk alat bongkar pasang maupun
pengemasan dan penyimpanan barang bersih. Pada ruang ini dianjurkan ada tempat
penyimpanan barang tertutup.
3. Ruang produksi dan prosesing.
Di ruang ini dilakukan pemeriksaan linen, dilipat dan dikemas untuk persiapan sterilisasi.
Pada daerah ini sebaiknya ada tempat untuk penyimpanan barang tertutup. Selain linen, pada
ruang ini juga dilakukan pula persiapan untuk bahan seperti kassa, kapas, dll.
4. Ruang sterilisasi.
Di ruang ini dilakukan proses sterilisasi alat atau bahan.
5. Ruang penyimpanan bahan steril.
Ruang ini sebaiknya berada dekat dengan ruang sterilisasi. Penerangan diruangan ini harus
memadai, suhu antara 18-22 derajat celcius dan kelembaban antara 35% – 75%, ventilasi
menggunakan tekanan positif.
Dinding dan lantai ruangan terbuat dari bahan yang halus, kuat sehingga mudah dibersihkan.
Alat steril disimpan pada jarak 19-24 cm dari lantai dan minimum 43 cm dari langit-langit
dan 5cm dari dinding serta diupayakan untuk menghindari terjadinya penumpukan debu pada
kemasan, serta alat steril tidak disimpan dekat wastafel atau saluran pipa lainnya.
3.3. Lingkup Sarana Pelayanan.
Tahapan sterilisasi alat atau bahan medis :
1. Dekontaminasi.
a. Pengumpulan alat kotor.
Alat-alat kesehatan pakai ulang yang sudah terkontaminasi, harus ditangani, dikumpulkan dan
dibawa ke ruang dekontaminasi sehingga menghindarikontaminasi terhadap pasien, pekerja
dan fasilitas lainnya.
b. Merendam.
Jika alat dirakit lebih dari satu komponen, semua sambungan harus dibuka atau dibongkar
untuk memastikan semua permukaan tercuci bersih ( disassemble).
Mulai perendaman dalam air pada suhu 20-43 derajat celcius selama 15-20 menit dalam
produk enzymatic.
c. Pencucian.
Semua alat pakai ulang harus dicuci hingga bersih sebelum dilakukan desinfektan ataupun
sterilisasi. Pencucian dapat dilakukan secara manual atau mekanis menggunakan mesin cuci.
Penggunaan cairan desinfektan harus disesuaikan denganalat yang dipakai dan tingkat
desinfektan yang diperlukan .
2. Pengemasan.
a. Prinsip dasar pengemasan:
– Sterilan harus dapat diserap dengan baik menjangkau seluruh permukaan kemasan dan
isinya.
– Harus dapat menjaga sterilitas isinya hingga kemasan dibuka.
– Harus mudah dibuka dan isinya mudah diambil tanpa menyebabkan kontaminasi.
b. Syarat bahan pengemas:
– Dapat menahan mikroorganisme dan bakteri.
– Kuat dan tahan lama.
– Mudah digunakan.
– Tidak mengandung racun.
– Segel yang baik.
– Dapat dibuka dengan mudah dan aman.
– Punya masa kadaluarsa.
3. Metode sterilisasi.
a. Metode Sterilisasi panas kering.
Proses sterilisasi panas kering terjadi melalui mekanisme konduksi panas, dimana panas akan
diabsorbsi oleh permukaan luar dari alat yang disterilkan lalu merambat ke bagian dalam
permukaan sampai akhirnya suhu untuk sterilisasi tercapai. Proses sterilisasi tipe ini biasanya
digunakan untuk alat atau bahan dimana steam tidak dapat berpenetrasi secara mudah atau
untuk peralatan terbuat dari kaca.
b. Metode Sterilisasi etilen oksida ( eto).
Metode sterilisasi ini merupakan metode sterilisasi suhu rendah. Metode ini dapat membunuh
mikroorganisme dengan cara bereaksi terhadap DNA mikroorganisme melalui mekanisme
alkilasi. Metode ini hanya dapat digunakan untuk alat yang tidak dapat disterilkan dengan
metode sterilisasi suhu tinggi.
c. Metode Sterilisasi uap.
Merupakan salah satu metode sterilisasi yang paling efisien dan efktif. Dapat membunuh
mikroorganisme melalui denaturasi dan koagulasi sel protein secara ireversibel.
Ada dua tipe mesin sterilisasi uap:
a. Mesin sterilisasi uap tipr gravitasi, dimana udara dikelurkan dari camber berdasarkan
gravitasi.
b. Mesin sterilisasi uap tipe pre vakum, dimana udara dikeluarkan dari chamber oleh suatu
pompa vakum.
c. Sterilisasi dengan plasma.
d. Sterilisasi suhu rendah uap formaldehyde
3.4. Fasilitas Alat Dan Zat Kimia.
1) Peralatan medic.
– Mesin cuci mekanik.
– Troli autoclave.
– Mesin sterilisator suhu tinggi.
– Mesin sterilisator suhu rendah.
– Troli pengangkut.
– Lemari penyimpanan alat steril.
2) Bahan pencuci
– Detergent.
– Desinfektan.
– Larutan enzymatic.
– Air deionisasi.
– Kapas, kassa.
– Pembersih untuk ruangan ( lantai, dinding).
3. Peralatan non medic.
– Computer.
– Telepon.
– Filling cabinet.
– Meja.
– Kursi.
– Lemari.
– Alat pelindung diri.
– Ember.
– Tromol.
– Keranjang.
– Mesin sealer.
– Alat penguji ketajaman alat.
– Bahan pengemas.
– Alat pencuci dan pengering.
– Thermometer dan hygrometer.
BAB 4 -TATA LAKSANA PELAYANAN.
4.1. Menejemen kamar steril.
4.1.1. Administrasi Dan Pengelolaan.
a. Rumah sakit menetapkan Instalasi pusat sterilisasi sebagai koordinator pelayanan kamr
steril sesuai dengan struktur organisasi kamar steril.
b. Pengorganisasian selengkapnya diatur dalam pedoman organisasi instalasi pusat sterilisasi.
c. Tindakan pengelolaan alat steril dilaksanakan kerjasama antara kamar steril dan unit terkait
yang membutuhkan alat steril.
d. Peyananan pensterilan alat dilakukan oleh petugas / pekerja kamar steril sesuai dengan
tugasnya.
4.1.2. Pelayanan Laundry.
a. Pelayanan kamar steril berada dibawah koordinasi instalasi pusat sterilisasi.
b. Kepala kamar steril bertanggung jawab terhadap pengembangan implementasi dan
memelihara atau menegakkan kebijakan serta prosedur yang ditetapkan dan dilaksanakan
c. Kepala kamar steril mempunyai tanggung jawab untuk memelihara atau mempertahankan
program pengendalian mutu yang telah ditetapkan dan dilaksanakan.
d. Bilamana kepala instalasi berhalangan maka ditunjuk koordinator dari petugas kamar steril.
1) Tugas Kepala Instalasi sterilisasi :
(a). Mengkoordinasi kegiatan pelayanan kamar steril sesuai dengan sumber daya manusia,
sarana, prasarana dan peralatan yang tersedia
(b) Melakukan koordinasi dengan bagian/ instalasi terkait.
(c) Mengawasi pelaksanaan pelayanan kamar steril setiap hari.
(d) Mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelayanan kamar steril.
(e) Mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan membuat laporan kegiatan berkala.
2) Tanggung Jawab Kepala Instalasi sterilisasi.
(a) Menjamin kompetensi sumber daya manusia yang melaksanakan pelayanan kamar steril.
(b) Menjamin sarana, prasarana dan peralatan sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan
standar.
(c) Menjamin dapat terlaksananya pelayanan kamar steril yang bermutu dengan
mengutamakan keselamatan pasien.
(d) Meningkatkan dan mengembangkan kompetensi sumber daya manusia pelayanan kamar
steril secara berkesinambungan.
(e) Pelaksanaan pencatatan, evaluasi dan pembuatan laporan kegiatan di dalam rumah sakit.
(f) Pelaksanaan program menjaga mutu pelayanan kamar steril dan keselamatan pasien di
dalam rumah sakit.
4.1.3. Staf Kamar Steril.
a. Untuk semua staf kamar steril harus disiplin tinggi terhadap ketaatan peraturan yang ada di
kamar steril.
b. Menjaga kesehatan dan kebersihan diri.
c. Petugas kamar steril harus bebas dari kuman-kuman yang mudah ditularkan ( karena sangat
sulit ditentukan).
d. Perlengkapan petugas kamar steril ( baju kerja dan APD lengkap).

4.2. Alur Masuk Dan Keluar Kamar Steril.


1. Alur Masuk untuk Petugas
a. Petugas kamar steril masuk lewat pintu bersih.
b. Masuk ruang ganti sesuai dengan jenis kelamin (ruang ganti pria dan perempuan) .
c. Petugas mengganti baju luar dengan baju khusus kamar steril.
d. Mengenakan topi / penutup kepala
2. Alur Keluar untuk Petugas
a. Untuk alur keluar petugas kamar steril sesuai dengan alur masuk.. b.
b. Sandal disimpan di rak sepatu yang telah disediakan di ruang ganti dan tidak boleh dipakai
keluar.
c. Alur masuk untuk pengantar alat kotor : masuk lewat pintu penerimaan alat kotor.
d. Alur masuk pengambil alat bersih : masuk lewat pintu ruang pengambilan alat bersih atau
steril.
 
4.3. Pembersihan Kamar Steril RS.
1. Pembersihan rutin/harian. Pembersihan rutin yaitu pembersihan sebelum dan sesudah
penggunaan mesin atau alat agar siap pakai
2. Pembersihan sewaktu. Pembersihan bila ada kotoran, tumpahan dari alat infeksius,
pembersihan mesin setelah proses sterilisasi, pembersihan setelah pemakaian ruang
pengemasan selesai
 
4.4. Pengolahan Alat.
Pensterilan menggunakan mesin autoclave steam. Pensterilan menggunakan metode desifeksi
tingkat tinggi.
 
4.5. Pemakaian Mesin.
Mesin ada 2 : mesin sterilisator jenis autoclave steam.
4.6. Pelaporan.
Pelaporan hasil kamar steril dalam bentuk hard copy dan soft copy. Dibuat dalam laporan
kinerja dan laporan bulanan.
 
4.7. Perawatan Alat Dan Mesin.
Perawatan dan perbaikan dilakukan oleh BPS bila tidak memungkinkan dilakukan perbaikan
sendiri maka memanggil tekhnisi dari luar.
4.8. Pelayanan Laundry.
Melayani kebutuhan alat dan bahan steril untuk unit Rumah Sakit.

 
BAB 5 – LOGISTIK.
5.1. Pengadaan Alat Dan Bahan Di Kamar Steril.
5.1.1. Pengadaan Barang Medis sesuai SOP.
5.1.2. Pengadaan Barang Non Medis sesuai SOP.
5.2. Persediaan Barang.
1. Bahan pencuci dan desinfektan.
2. Bahan pengemas sesuai kebutuhan.
3. Perlengkapan alat tulis, dan rumah tangga.

BAB 6 -KESELAMATAN PASIEN.


6.1. Pengertian
Keselamatan Pasien / Patient Safety adalah keadaan dimana pasien bebas dari harm atau
cedera, yang dapat meliputi penyakit, cedera fisik, psikologis, sosial, penderitaan, cacat,
kematian dan lainnya, yang seharusnya tidak terjadi.
Di kamar steril , Keselamatan Pasien bertarti semua standar prosedur operasional yang sudah
dibuat untuk kegiatan pelayanan kamar steril harus ditaati, tidak ada kesalahan pemberian
bahan desinfektan, pencucian yang bersih sehingga pasien merasa nyaman dan bebas dari efek
samping yang ditimbulkan dari pengelolaan alat yang tidak benar.
6.2. Tujuan
Memenuhi standar keselamatan pasien melalui pemakaian alat steril oleh pasien tanpa
menimbulkan efek samping yang ditimbulkan dari pengelolaan alatyang tidak benar.
6.3. Tata Laksana Keselamatan Pasien.
Langkah-langkah penerapan keselamatan pasien rumah sakit :
a. Mulai dengan membuat standar prosedur operasional (SPO).
b. Melakukan SPO di semua segi pelayanan kamar steril.
c. Mencatat dan menuliskan laporan kejadian bila terjadi kejadian yang tidak diharapkan
(KTD).
d. Kepala Instalasi bersama pihak yang terkait melakukan penyelidikan terhadap KTD,
mencari jalan keluar bila perlu merubah system sehingga lebih baik dan lebih aman untuk
pasien, membuat tindak lanjut dan mensosialisasikan tindak lanjut untuk dilakukan bersama
dan mengevaluasi system yang baru tersebut.
e. Melaporkan Indikator keselamatan pasien setiap bulan dalam rapat kerja bulanan dengan
direksi yaitu : Kejadian yang berhubungan dengan efek samping yang ditimbulkan dari
pengelolaan alat.
f. Kejadian yang berhubungan dengan standart pengendalian infeksi .
g. Melakukan semua standar pengendalian infeksi ( cuci tangan dan pemakaian APD).
h. Memilih bahan enzymatic dan desinfektan yang bermutu dan aman bagi alat yang dipakai
pasien.

 
BAB VII KESELAMATAN KERJA
7.1 Pengertian.
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman , sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktifitas kerja .
Penyakit Akibat Kerja ( PAK ) dan Kecelakaan Kerja ( KK ) di kalangan petugas kesehatan
belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja
dibeberapa negara maju dari beberapa pengamatan menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi.Sebagai factor penyebab adalah kurangnya kesadaran pekerja, serta kualitas
ketrampilan pekerja yang kurang memadai, sehingga meremehkan resiko kerja, contohnya
tidak menggunakan APD pada saat pengambilan cairan enzymatic dan desinfektan serta
pengelolaan alat.
7.2 Tujuan.
Tujuan dari Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah supaya setiap pekerja
kamar steril aman dari kecelakaan akibat kerja, termasuk aman dari paparan cairan tubuh
yang infeksius dan zat-sat kimia lainnya.
7.3 Tata Laksana.
1. Gedung.
a. Kamar steril harus memiliki system ventilasi yang memadai dengan sirkulasi udara yang
adekuat.
b. Kamar steril harus mempunyai alat pemadam api yang tepat bahan kimia berbahaya.
c. Dua pintu / jalan harus disediakan untuk keluar dari kebakaran dan terpisah sejauh
mungkin.
d. Tempat penyimpanan chemical didesign untuk mengurangi resiko sampai sekecil mungkin.
e. Harus tersedia alat Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan ( P3K ).
f. Sistem pembuangan limbah yang aman.
2. Peralatan kamar steril
a. Semua alat di kamar steril memiliki kemanan sedemikian rupa sehingga pekerja tidak
terpapar aliran listrik
3. Alat Pengaman Diri.
a. Cuci tangan harus dijadikan budaya dalam setiap melakukann pekerjaan di kamar steril.
b. Penggunaan Alat pengaman wajib dilakukan.
4. Monitoring Kesehatan
a. Monitoring Kesehatan pekerja laundry dilakukan setiap 1 tahun sekali
b. Bila terjadi luka tusuk, akibat tertinggalnya benda tajam di alat maka setiap pekerja wajib
melakukan pemeriksaan / tes Panel Hepatitis dan HIV.

BAB 9 – PENUTUP.
Pedoman pelayanan kamar steril mempunyai peranan penting untuk pedoman kerja bagi
kamar steril dalam memberikan pelayanan pengelolaan dan pensterilan alat untuk memenuhi
kebutuhan pasien, sehingga mutu dan keselamatan pasien yang memakai alat RS dapat
terjamin. Pedoman ini dapat digunakan juga sebagai acuan kerja bagi tenaga kamar steril.
Penyusunan pedoman pelayanan kamar steril ini adalah merupakan langkah awal sebagai
suatu proses yang panjang sehingga memerlukan dukungan dan kerja sama dari berbagai
pihak dalam penerapannya untuk mencapai tujuan kamar steril dan tujuan rumah sakit.
Tata Laksana Pelayanan di Instalasi Gawat Darurat
PELAYANAN PENDAFTARAN PASIEN.
Pasien datang ketempat penerimaan gawat darurat. Tempat pendaftaran pasien sebelum jam
07.00-14.00 di loket 1 Poliklinik, sedangkan jam 14.00-07.00 pendaftaran pasien di IGD.
Pasien ditolong terlebih dulu, baru kemudian dilakukan penyelesaian administrasinya.
Setelah mendapat pelayanan yang cukup, ada beberapa kemungkinan dari setiap pasien :
– Pasien boleh langsung pulang
– Pasien dirujuk/dikirm ke rumah sakit lain
– Pasien harus dirawat
1. Pasien yang sudah diseleksi dan membawa surat pengantar untuk dirawat dapat langsung
dibawa ke ruangan perawatan sambil menunggu tempat tidur kosong dari ruang
perawatan.
2. Jika pasien sudah sadar dan dapat diwawancarai, Petugas pendaftaran mendatangi
pasien/keluarga untuk mendapatkan identitas selengkapnya.
3. Bagian pendaftaran mengecek data identitas kebagian rekam medis untuk mengetahui
apakah pasien pernah dirawat/berobat ke rumah sakit.
4. Bagi pasien yang pernah berobat/dirawat maka rekam medisnya segera dikirim ke ruang
perawatan yang bersangkutan dan tetap memakai nomor yang dimilikinya.
5. Bagi pasien yang pernah dirawat/berobat ke rumah sakit maka diberikan nomor rekam
medis.
6. Petugas pendaftaran harus selalu memberitahukan ruang perawatan sementara mengenai
situasi tempat tidur di ruang perawatan.
SISTEM KOMUNIKASI.
Komunikasi sangat berperan penting dalam penaggulangan penderita gawat darurat ”time
saving is life limb saving”. Selain itu kondisi kegawat daruratan yang mungkin terjadi sehari
– hari atau bencana tertentu dapat menimbulkan korban individu atau korban massal.
Komunikasi sebagai subsitem penunjang penaggulangan penderita gawat darurat perlu untuk
menjamin kelancaran dan kecepatan. Komunikasi Instalasi Gawat Darurat RS. …. siap 24 jam
menggunakan sarana komunikasi intern dan extern.
– Intern dengan ext. xxx
– Extern dengan hotline xxxxxxxxx.
PELAYANAN TRIASE.
Triase adalah sistem seleksi pasien untuk pengelompokkan korban dalam menentukan tingkat
kegawatan serta prioritas dan kecepatan penanganan serta pemindahan. Pasien diseleksi
berdasarkan tingkat kegawatdaruratannya dengan kategori :

1. Pasien gawat darurat.


Pasien yang tiba – tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi gawat dan terancam
nyawanya serta anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat pertolongan
secepatnya.

2. Pasien gawat tidak darurat.


Pasien berada dalam keadaan gawat tetapi tidak memerlukan tindakan darurat, misalnya
penyakit kanker stadium lanjut.

3. Pasien darurat tidak gawat.


Pasien akibat musibah yang datang tiba – tiba, tetapi tidak mengancam nyawa dan anggota
badannya, misalnya luka sayat dangkal.

4. Pasien tidak gawat tidak darurat.


Misalnya pasien dengan ulcus tropium, TBC kulit, dll.

5. Kecelakaan.
Suatu kejadian dimana terjadi interaksi berbagai faktor yang datangnya mendadak, tidak
dikehendaki sehingga menimbulkna cidera (fisik, mental, sosial).

6. Cidera.
Masalah kesehatan yang didapat / dialami sebagai akibat kecelakaan.
7. Bencana.
Peristiwa / rangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam dan atau manusia yang
mengakibatkan korban dan penderitaan manusia, kerugian, harta benda, kerusakan
lingkungan, kerusakan sarana dan prasarana umum, serta menimbulkan gangguan terhadap
tata kehidupan dan penghidupan masyarakat serta pembangunan nasional yang memerlukan
pertolongan dan bantuan.

Dalam pelaksanaan pelayanan di IGD diberlakukan kategori kasus emergency dan false
emergency. Dalam hal ini yang termasuk pasien emergency adalah : kasus Prioritas 1 (P1)
yaitu pasien gawat darurat, prioritas 2 (P20 yaitu pasien gawat tidak darurat dan/atau pasien
darurat tidak gawat. Sedangkan yang termasuk pasien false emergency adalah kasus Prioritas
3 (P3) yaitu pasien tidak gawat tidak darurat dan kasus prioritas 0 (P0) yaitu pasien yang
datang dalam keadaan sudah meninggal dunia (death on arrival)

Kartu kode warna triase dapat digunakan sebagai cara pengklasifikasian dalam triase setelah
diperoleh informasi akurat tentang keadaan pasien.

Kartu warna yang digunakan adalah :


1. MERAH : Korban yang membutuhkan stabilisasi, misalnya :
– Syok oleh berbagai kausa
– Gangguan pernafasan
– Trauma kepala dengan pupil anisokor
– Perdarahan eksternal masif
– Gangguan jantung yang mengacam
– Luka bakar >50% atau luka bakar di daerah terbakar
Semua pasien tersebut diatas disalurkan ke ruang resusitasi.

2. KUNING : Korban yang memerlukan pengawasan ketat tetapi perawatan dapat ditunda
sementara, misalnya :
– Korban dengan risiko syok (korban dengan gangguan jantung, trauma abdomen berat)
– Fraktur multiple
– Fraktur femur / pelvis
– Luka bakar luas
– Gangguan kesadaran / trauma kepala
– Korban dengan status tidak jelas
Semua pasien tersebut diatas disalurkan ke ruang tindakan bedah.
3. HIJAU : Kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau pemberian
pengobatan dapat ditunda, misalnya :
– Fraktur minor
– Luka minor, luka bakar minor, atau tanpa luka
Pasien dengan kecelakaan disalurkan ke ruang tindakan bedah.

4. HITAM : Korban yang telah meninggal dunia


Pasien yang meninggal dunia disalurkan ke kamar jenazah.
TRANSPORTASI PASIEN.
Transportasi merupakan salah satu bagian penting dalam pelayanan gawat darurat. Melalui
transportasi kita dapat membantu penanganan penderita gawat darurat. Dalam memberikan
pelayanan transpotasi kepada penderita gawat darurat, perlu diperhatikan beberapa petujuk
dibawah ini :
1. Persiapan alat
    a. Ambulans
    b. Kursi roda.
    c. Brankard.
    d. Alat – alat penunjang hidup yang diperlukan.

2. Cara kerja
a. Ketempat pemeriksaan x – ray, diantar minimal 1 orang perawat.
b. Ke ruang perawatan, diantar minimal oleh 1 orang perawat.
c. Ke ICU / Kamar Bedah. Bila ada masalah ABC (gangguan jalan nafas dan sirkulasi), pasien
diantar minimal 2 orang petugas termasuk dokter dan ventilasi harus tetap diperthankan dalam
perjalanan.
d. Ke Rumah Sakit lain :
– Bila tidak ada masalah ABC, pasien boleh tidak diantar petugas dan membawa surat
rujukan.
– Bila ada masalah ABC, pasien harus diantar 1 orang perawat dengan membawa surat
rujukan dan memakai ambulans.
PELAYANAN FALSE EMERGENCY.
Pasien tidak akut dan gawat adalah pasien yang mengalami sakit lama, tidak mengancam
nyawa (false emergency). Langkah – langkah dalam memberikan pelayanan false emergency
adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan diberikan terlebih dahulu kepada pasien yang mengalami penyakit akut dan
gawat ”True Emergency” bukan berdasarkan urutan kedatangan pasien.
2. Kasus-kasus yang tidak tergolong akut dan gawat ”False Emergency” akan mendapatkan
pelayanan setelah kasus gawat darurat terlayani.
3. Pada jam kerja (07.00-14.00) setiap hari Senin – Jumat, kasus-kasus
false emergency akan dialihkan ke poliklinik, atau
4. Dokter poliklinik dimintakan bantuannya untuk melayani pasien false emergency di IGD
bila Dokter IGD sedang menangani pasien true emergency.
PELAYANAN VISUM ET REPERTUM.
Visum Et Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter atau permintaan tertulis
dari pihak yang berwajib mengenai apa yang dilihat / diperiksa berdasarkan keilmuan dan
sumpah dokter untuk kepentingan peradilan.
Langkah – langkah dalam memberikan pelayanan visum et repertum
adalah sebagai berikut :
1. Penyidik (Polisi) membawa Surat Permintaan tertulis dari pihak yang berwajib (Kepolisian)
untuk pembuatan Visum Et Repertum.
2. Identifikasi identitas pasien, apakah sesuai dengan subyek pada permintaan Visum Et
Repertum.
3. Dokter membuat Visum Et Repertum secara objektif berdasarkan pemeriksaan saat ini atau
dari catatan pada Rekam Medik jika kejadiaannya sudah lampau.
4. Visum Et Repertum diserahkan kepada penyidik (Polisi) yang memintanya. Pasien atau
keluarga pasien tidak berhak meminta atau melihatnya.
Pelayanan DOA (Death on arrival).
DOA (Death on arrival) merupakan kejadian kematian pada saat pasien sampai di IGD. Pasien
yang datang dalam keadaan DOA langsung disalurkan / ditempatkan di kamar jenazah.
Syarat pengambilan jenazah :
1. Pengambil jenazah menyerahkan foto copy bukti diri yang syah kepada petugas.
2. Pengambil jenazah menyerahkan Surat Pengambilan Jenazah kepada petugas.
Jika jenazah berada di kamar jenazah maksimal 4 jam, lebih dari itu jenazah langsung dikirim
ke RSUD ….
Sistem Informasi Pelayanan Pra Rumah Sakit.
IGD RS. …. diklasifikasikan sebagai Instalasi Pelayanan Gawat Darurat kelas II, karena telah
memiliki dokter spesialis empat besar yang siap dipanggil (on – call), dokter umum yang
siaga ditempat (on – site) 24 jam yang memiliki kualifikasi pelayanan GELS (General
Emergency Life Support) dan mampu memberikan resusitasi dan stabilisasi ABC serta
memiliki alat transportasi untuk rujukan dan komunikasi yang siap 24 jam.

Sarana Penunjang pelayanan :


1. Penunjang medis : Pelayanan Radiologi, laboratorium, farmasi
2. Penunjang non medis : Telepon dan ambulans.

Ada 4 hal yang wajib diinformasikan ketika petugas IGD melayani pasien gawat darurat via
telepon :
1. Nama pasien
2. Alamat pasien
3. Kondisi saat itu
4. Nomor telepon
Sebelum petugas IGD menjemput pasien yang meminta ambulans, petugas IGD wajib
memberitahukan keadaan pasien saat itu. Adapun informasi pelayanan pra rumah sakit
diberikan adalah dengan tata laksana sebagai berikut :
1. Jika keadaan pasien baik, petugas yang berada di mobil ambulans tidak menginformasikan
apapun kepada petugas IGD di rumah sakit.
2. Jika keadaan pasien darurat, petugas yang berada di mobil ambulans menginformasikan
keadaan pasien saat itu kepada petugas IGD di rumah sakit dengan menggunakan sarana
telekomunikasi handphone.
Sistem Rujukan.
Rujukan pasien dari RS …. hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis yang kompeten atau
setidaknya atas persetujuan salah satu dokter spesialis 4 besar (bedah, penyakit dalam, anak,
dan kebidanan). Dokter jaga IGD sebelum melakukan rujukan pasien harus
mengkorfirmasikan pasien tsb kepada dokter spesialis yang sesuai dengan penyakit pasien.
Adapun bentuk rujukan yaitu :
1. Alih Rawat.
Alih rawat dapat dilakukan pada keadaan :
– Tidak ada dokter spesialis yang kompeten
– Trauma kapitis dengan kemungkinan perdarahan intra kapitis
– Permintaan pasien
– Dugaan kasus SARS, flu burung,flu babi
2. Pemeriksaan Diagnostik.
a. CT scan
b. Pemeriksaan penunjang lain yang dianggap perlu, yang tidak dapat dilakukan di RS ….
3. Spesimen.
a. Darah
b. Urin
c. Jaringan
d. Mukus / sekret.
PELAYANAN OBSTETRI NEONATAL EMERGENSI KOMPREHENSIF (PONEK) –
PEDOMAN PELAYANAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1. LATARBELAKANG.
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) yang menjadi indikator
kualitas kesehatan masyarakat di suatu negara,masih tergolong tinggi di Indonesia yaitu
AKI:307/100.000 KH (SDKI 2002/2003) dan AKB : 35/10000 KH (SDKI2002/2003).
Angka Kematian Ibu di Indonesia masih menempati peringkat teratas diantara negara-negara
Asia Tenggara.Penyebab kematian ibu terbanyak adalah perdarahan 28%,Eklampsia
24%,Infeksi 11%,partus macet/lama 8% dan aborsi 5% (SKRT2001).
Di dalam Angka Kematian Bayi tercakup Angka Kematian Perinatal,dimana kematian karena
gangguan perinatal menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga 1986 adalah 42,3% dari
kematian bayi pada usia 0-1 bulan.Mengingat kematian bayi khususnya dalam periode
perinatal berkaitan erat dengan kesehatan ibu dimana AKI masih tinggi maka betapa
pentingnya pelayanan Maternal dan Perinatal sebagai kegiatan integrative di Rumah Sakit
untuk terus ditingkatkan dalam upaya menurunkan AKI dan AKB.
Penyebab kematian pada masa prenatal/neonatal pada umumnya berkaitan dengan kesehatan
ibu selama kehamilan,kesehatan janin selama didalam kandungan dan proses pertolongan
persalinan yang bermasalah.
Komplikasi obstetric tidak selalu dapat diramalkan sebelumnya dan mungkin saja terjadi pada
ibu hamil yang diidentifikasi normal.Oleh karena itu perlu strategi penurunan
kematian/kesakitan maternal perinatal dengan meningkatkan kualitas pelayanan serta kualitas
dan kuantitas sumber daya manusia dengan pembekalan pelatihan secara berkala. Pelayanan
obstetri dan neonatal regional merupakan upaya penyediaan pelayanan bagi ibu dan bayi
baru lahir secara terpadu dalam bentuk Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif
(PONEK) di Rumah Sakit dan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar (PONED) di
tingkat Puskesmas.
Rumah Sakit PONEK 24 Jam merupakan bagian dari sistem rujukan dalam pelayanan
kedaruratan dalam maternal dan neonatal, yang sangat berperan dalam menurunkan angka
kematian ibu dan bayi baru lahir. Kunci keberhasilan PONEK adalah ketersediaan tenaga
kesehatan yang sesuai kompetensi, prasarana,sarana dan manajemen yang handal.
Untuk mencapai kompetensi dalam bidang tertentu, tenaga kesehatan memerlukan pelatihan-
pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan perubahan perilaku dalam
pelayanan kepada pasien.
 
1.2. TUJUAN PEDOMAN.
a. Umum
Meningkatkan Pelayanan Maternal dan Perinatal yang bermutu dalam upaya penurunan
Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi di Indonesia
b. Khusus
1. Terlaksananya manajemen pelayanan maternal dan perinatal dari aspek administrasi &
manajemen,kompetensi SDM, fasilitas dan sarana serta prosedur pelayanan di RS.
2. Terklaksananya system rujukan pelayanan maternal dan perinatal.
3. Pembinaan dan pengawasan pelayanan maternal dan perinatal di RS.
 
1.3. RUANG LINGKUP PELAYANAN.
Upaya Pelayanan PONEK:
1. Stabilisasi di UGD dan persiapan untuk pengobatan definitif.
2. Penanganan kasus gawat darurat oleh tim PONEK RS di ruang tindakan.
3. Penanganan operatif cepat dan tepat meliputi laparotomi, dan sectio caesaria.
4. Perawatan intensif ibu dan bayi.
5. Pelayanan Asuhan Ante Natal Risiko Tinggi.
 
1.4. PONEK RUMAH SAKIT KELAS C.
1. Pelayanan Kesehatan Maternal dan NeonatalFisiologis.
 a. Pelayanan Kehamilan.
 b. Pelayanan Persalinan.
 c. Pelayanan Nifas.
 d. Asuhan Bayi Baru Lahir (Level1).
 e. Immunisasi dan Stimulasi, Deteksi, Intervensi Dini Tumbuh Kembang(SDIDTK)
2. Pelayanan kesehatan Maternal dan Neonatal dengan risiko tinggi:
 Masa antenatal :
 Perdarahan pada kehamilan muda.
 Nyeri perut dalam kehamilan muda dan lanjut.
 Gerak janin tidak dirasakan.
 Demam dalam kehamilan dan persalinan.
 Kehamilan ektopik (KE) & Kehamilan EktopikTerganggu (KET).
 Kehamilan dengan Nyeri kepala, gangguan penglihatan, kejang dan/koma, tekanan
darah tinggi.
 Masa intranatal : 
 Persalinan dengan parututerus
 Persalinan dengan distensi uterus
 Gawat janin dalam persalinan
 Pelayanan terhadap syok
 Ketuban pecah dini
 Persalinan lama
 Induksi dan akselerasi persalinan
 Aspirasi vakummanual
 Seksiosesarea
 Epiotomi
 Malpresentasi danmalposisi
 Distosiabahu
 Prolapsus talipusat
 Plasenta manual
 Perbaikan robekanserviks
 Perbaikan robekan vagina dan perineum
 Perbaikan robekan dindinguterus
 Histerektomi
 Sukarbernapas
 Kompresi bimanual danaorta
 Dilatasi dankuretase
 Ligase arteriuterina
 Bayi baru lahir denganasfiksia
 BBLR
 Resusitasi bayi barulahir
 Anestesia umum dan lokal untuk seksiosesaria
 Anestesia spinal (bila memerlukan pemeriksaan spesialistik, dirujuk ke RSIA/ RSU)
 Masa Post Natal Masanifas

 Demam pascapersalinan :
 Perdarahan pascapersalinan.
 Nyeri perut pascapersalinan.
 Keluarga Berencana.
 Asuhan bayi baru lahir sakit (level2).
3. Pelayanan Kesehatan Neonatal
 hiperbilirubinemi,
 asfiksia,
 traumakelahiran,
 hipoglikemi
 kejang,
 sepsis neonatal
 gangguan keseimbangan cairan danelektrolit.
 gangguanpernapasan,
 kelainan jantung (payah jantung, payah jantung bawaan, PDA),
 gangguan pendarahan,
 renjatan (shock),
 aspirasi mekonium,
 koma,
 Inisiasi dini ASI (BreastFeeding),
 Kangaroo MotherCare,
 Resusitasi Neonatus,
 Penyakit Membran Hyalin,
 Pemberian minum pada bayi risiko tinggi,
4. Pelayanan Ginekologis
 Kehamilanektopik
 Perdarahan uterusdisfungsi
 Perdarahan menoragia
 Kista ovariumakut
 Radang Pelvikakut
 AbsesPelvik
 Infeksi SaluranGenitalia
5. Perawatan Khusus / High Care Unit dan Transfusi Darah.

Anda mungkin juga menyukai