Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PELAKSANAAN TEKNOLOGI KONSTRUKSI DENGAN


LANGKAH MENGATASI KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN
YANG KUAT DAN AWET DENGAN MEMANFAATKAN
SUMBER MATERIAL DI SUMATERA UTARA

Oleh:

Aulia Azam
NIM: 21360005

MAGISTER TEKNIK SIPIL – FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS JANABADRA YOGYAKARTA
JANUARI 2023
DAFTAR ISI

Cover...…………………………………………………………………………….….1

Daftar isi ………………………………………….…….………………….…….…...2

BAB I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang …...…………………………...……………………………….….3

I.2 Tujuan Penelitian …………………………………………………………………4

I.3 Batasan Masalah ………………………………………...………….…………….4

BAB II Studi Literatur

II.1 Dasar Teori ……………………………………………………...….……………5

II.2 Bahan yang Digunakan ………………………………………………...….…….7

BAB III Metode Penelitian

III.1. Permasalahan DiLapangan …………………………………..…………..…….9

III.2 Dasar Penelitian ……………………………………….………………..……..10

BAB IV Hasil Dan Pembahasan

IV.1. Analisis Kerusakan Perkerasan Jalan & Alternatif Penyelesaian


Retak……………………………………………….……………………………….11

IV.2 Ambles ………………………………………….…………………….………12

IV.3 Rutting …………………………………………….………………………….13

IV.4 Lubang (Photole) ……………………………….…………………………….14

BAB V. Kesimpulan & Saran

V.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………18

V.2 Saran …………………………………………………………………………..18

Daftar Isi …………………………………………………………………………...20


BAB 1. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Masih maraknya terjadi kerusakan pada konstruksi perkerasan jalan sebelum masa
pelayanan terpenuhi, atau dengan kata lain terjadi kerusakan dini. Kondisi ini terjadi pada
semua program penanganan jalan, mulai dari pemeliharaan rutin, berkala, peningkatan, dan
pembangunan jalan. Dengan kata lain bahwa kerusakan konstruksi jalan dapat terjadi mulai
dari subgrade, lapis pondasinya, juga lapis permukaannya, bahkan bekas tambalanpun dapat
terjadi berulang.
Secara teknik hanya 2 (dua) hal saja yang dapat mempercepat terjadinya kerusakan
struktur konstruksi perkerasan jalan, yaitu komulatif beban axle dan cuaca, yang mana
kedua-duanya terjadi di atas perkiraan perencanaan. Itupun seharusnya kerusakan akan
terjadi kurang lebih 3 (tiga) sampai dengan 4 (empat) tahun masa pelayanan. Sedangkan
kondisi yang ada saat ini terjadi kerusakan rata-rata kurang dari 1 (satu) sampai 2(dua) tahun
setelah pelaksanaan kegiatan. Dengan perhitungan kasar, bahwa apabila terjadi muatan
beban sumbu
berlebih sampai 50% dari beban sumbu standar, dan jumlah kendaraan yang melakukan
pelanggaran 50%, akumulasi beban sumbu standar pada periode waktu tertentu akan menjadi
5 (lima) kali lipat beban sumbu standar. Akumulasi beban tersebut akan mengurangi umur
pelayanan hampir 40%-60%. (Hasil perhitungan balik nilai ITP).
Apabila dilihat dari sisi ketersediaan bahan/ material untuk masing-masing lapis
perkerasan memang sangat terbatas dan cenderung berkurang, baik dari sisi jumlah maupun
kualitasnya. Sebagai contoh bahwa batu belah di era tahun 80-an berasal dari sungai, yang
bersih dan keras, sedangkan saat batu belah yang diperoleh saat ini rata-rata berasal dari
gempuran gunung atau hasil galian dari sawah. Sehingga batu pecah/ agregat yang dihasilkan
cenderung kotor/ berdebu (lempung), sementara debu lempung sangat kuat daya lengketnya
terhadap material batu pecah, bisa hilang hanya dengan dilakukan pencucian system
mekanis. Dan yang lebih berbahaya lagi bahwa gumpalan lempung padat dapat membentuk
butiran halus hingga kasar, setelah melewati mesin pemecah batu. Butiran inilah yang lebih
cepat merusak perkerasan campuran aspal, terjadi lubang pada permukaan perkerasan
dengan diameter 20-30 cm dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan stelah penghamparan,
terutama pada musim hujan.
Terjadi penurunan permanen (rutting) pada lokasi jejak roda kendaraan, dimana
terjadinya karena aspal memiliki perlemahan pada temperature tertentu (di atas titik
lembeknya). Sehingga pada aspal superpave, mensyaratkan adanya aspal dengan criteria

1
tertentu (performace grade, PG). Artinya aspal memiliki ketahanan terhadap rutting pada
temperature tertinggi, dan tahan retak pada temperature di bawah 0ᵒC. Indonesia menerapkan
aspal modifikasi untuk mengantisipasi adanya rutting. Permasalahan rutting terjadi
disebabkan oleh beberapa hal antara lain : interlocking agregat kurang memadai, kelebihan
tebal selimut aspal, kepadatan/ kerapatan kurang, mutu agregat (pipih-lonjong, bulat, dll).
Dengan mengetahui beberapa faktor penyebab rutting, maka penyelesaiannya juga cukup
bervariasi sesuai dengan faktor penyebabnya.
Jalan bergelombang arah memanjang maupun melintang, sehingga kenyamanan
pengguna jalan cukup terganggu. Terjadinya gelombang ini disebabkan karena ketidak
rataan tingkat kekakuan (stiffness) masing-masing susunan lapis perkerasan. Kerataan atau
homogenitas kekakuan masing-masing susunan lapis perkerasan disebabkan oleh segregasi
butiran kasar. Merancang agar tidak terjadi segregasi butiran kasar adalah dengan cara
mengatur porsi masing-masing fraksi agregat, terutama agregat kasar. Semakin kecil porsi
fraksi agregat kasar (yang memiliki ukuran butir maksimum), semakin mudah untuk
mencapai tingkat keseragaman campuran. Hal ini berlaku pada lapis pondasi agregat maupun
pada campuran aspal panas.
Terjadi retak-retak merata pada permukaan perkerasan aspal, dalam kurun waktu tidak
lebih dari 6 (enam) bulan setelah penghamparan. Banyak penyebabnya, namun penyebab
utamanya adalah kurang aspal. Kurang aspal dapat terjadi akibat pemanasan berlebih, dan
atau memang kurang jumlahnya sehingga tebal penyelimutan terhadap agregat kurang dari
syarat minimumnya. Pemicunya terjadinya kerusakan adalah terjadi lendutan tinggi berulang
akibat lapis pondasi tidak cukup kokoh/ kuat, atau bahkan lapis tanah dasar yang lunak sekali
tanpa ada sistem perbaikan sebelumnya. Apapun penyebabnya, aspal sudah tidak bekerja
sebagai bahan perekat/ pengikat, atau aspal sudah menua, sehingga muda terjadi retak-retak
dan tidak tertutup kembali pada saat kondisi panas (siang hari).
Pada umunya susunan lapis pondasi agregat di Indonesia cenderung lemah, karena
budaya percepatan-percepatan penyelesaian kegiatan masih sering terjadi. Sehingga
pengendalian terhadap pemasokan/ pengiriman bahan, penghamparan, dan pemadatan masih
kurang dari yang disyaratkan. Hasil kegiatan yang dipaksakan cepat selesai umumnya tidak
rata, baik dari sisi keseragaman campuran, dan keseragaman tingkat kepadatan, sehingga
terjadi pemampatan tamabahan pada beberapa titik/ tempat yang ditandai dengan adanya
gelombang baik arah memanjang maupun melintang.
Ketidak seragaman kegiatan pelaksanaan lapis pondasi di atas berdampak pada nilai
elastistas susunan lapis perkerasan juga tidak seragam, sehingga terjadi lendutan yang lebih
dari yang disyaratkan pada beberapa segmen ruas jalan. Kondisi demikian ini terjadi hampir

2
di semua kegiatan baik skala besar maupun skala kecil. Sehingga pola kerusakan hampir
sama pada semua ruas jalan baik jalan nasional, propinsi maupun jalan kabupaten/kota. Oleh
karenanya perlu ada pemasok khusus lapis pondasi agregat, mulai dari urugan pilih, agregat
klas B dan agregat klas A, sehingga keseragaman butiran, kadar air saat dihampar dapat
terkendali dengan baik. Karena kepadatan akan maksimum apabila dilaksanakan pada kadar
optimum, saat ini kondisi optimum tidak pernah ditemukan di lapangan, sehingga wajar
kalau di lapangan terjadi tingkat kepadatan yang bervariasi untuk satu segmen ruas jalan.
Sebagai contoh pada pelaksanaan urugan pilihan (selected materials), terkadang
terkirim batu belah dengan ukuran 15/20 cm diameternya, oleh pelaksana batu tersebut
langsung ditanam saja mengingat batu memiliki nilai kekuatan dan harga, sayang apabila
dibuang. Namun pada titik dimana ada batu belah tersebut akan terjadi kepadatan
maksimum, sementara material standar yang berada di sekitar batu belah tidak tersentuh
pemadat, karena
terhalang oleh batu belah tersebut. Sehingga pada masa pelayanan lalu-lintas akan terjadi
pemampatan tambahan pada beberapa titik dan membentuk gelombang arah memanjang
maupun melintang. Semakin hari akan semakin dalam karena ada gaya kejut dari roda
kendaraan. Dan apabila terdapat kendaraan berat tiga sumbu, dimana hanya satu sumbu saja
yang diterima oleh titik puncak, maka akan terjadi beban terpusat yang cukup berat pada titik
yang menonjol tersebut, hal ini bisa menyebabkan ban pecah atau ambles, yang pada
gilirannya akan merusak perkerasan secara menyeluruh.
Dari sisi pelaksanaan, lebih bagus apabila semua bahan olahan/ campuran mulai dari
lapisan tanah pilihan, pondasi agregat bawah (agregat klas B) dan lapis pondasi atas (agregat
klas A) semuanya berasal dari pemasok/ leveransir, yang merupakan hasil komposisi
sebagaimana dipersyaratkan pada spesifikasi. Dengan bahan seperti ini, maka diharapkan
campuran akan seragam baik dari sisi komposisi agregat kasar, medium dan halus, maupun
dari keseragaman kadar air optimum. Bahan yang keluar dari instalasi pencampur sudah
dilengkapai dengan kadar air yang tepat sehingga pelaksanaan akan cepat, tepat dan teratur
dengan hasil yang maksimal.
Tinjauan beberapa jenis kerusakan yang lazim terjadi pada era saat ini (mulai dari
kerusakan dini sampai pada permukaan kondisi perkerasan yang sangat tidak nyaman bagi
pengguna jalan, karena keriting, retak-retak gelombang, bleeding, rutting, shoving dll), dan
beberapa faktor peyebabnya akan menjadi pokok bahasan pada makalah ini. Selanjutnya
akan dibahas detail penyelesaian permasalahan dengan segala alternative sesuai dengan
ketersediaan bahan/ material setempat yang lebih efektif dan efesien, baik dari sisi biaya
maupun kemudahan pelaksanaannya.

3
I.2 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini bermaksud untuk dapat mengantisipasi terjadinya kerusakan dini
dan mencegah terjadinya kerusakan-kerusakan yang lazim terjadi pada masa pelayanan
konstruksi (service life).
I.3 Batasan Masalah
Meninjau dari menerapkan langkah mengatasi konstruksi perkerasan jalan yang kuat
dan awet terhadap campuran bahan-bahan lokal yang tersedia, sehingga tidak terjadi:
A. Segregasi dalam campuran, baik pada lapis pondasi agregat maupun pada lapis
permukaan (aspal dan beton), juga akan terjadi interlocking yang bagus antar butiran pokok,
sehingga terjadi penyebaran beban yang merata pada lapis pondasi agregat.
B. Tahan terhadap rutting dan tidak muda retak, serta tidak terjadi bleeding pada campuran
beraspal.

4
BAB II. STUDI LITERATUR

II.1. Dasar Teori


Perkerasan dirancang berdasarkan beberapa variable yang dapat meyebabkan
kerusakan pada perkerasan jalan. Kerusakan dimaksud di sini adalah terjadinya retak dan
atau lendutan yang melebihi persyaratan yang ditentukan. Sedangkan variabelnya adalah
daya dukung tanah dasar, akumulasi beban kendaraan, keberadaan air pada daerah/ wilayah
perkerasan dan prilaku tanah dasar mengalami perubahan kadar air (terutama tanah
kembang-susut tinggi). Apabila struktur perkerasan sudah mengalami retak sampai ke lapis
pondasi tanah dasar, maka sudah disebut rusak, namun apabila keretakan hanya terjadi pada
lapis permukaan, maka disebut rusak fungsional, bukan structural, hal ini dapat disebabkan
karena cacat produksi atau cacat pelaksanaan. Untuk membedakan retak structural dan retak
fungsional dilakukan uji lendutan pada segmen ruas yang mengalami keretakan tersebut.
Apabila lendutan yang terjadi lebih besar dari yang disyaratkan maka sudah pasti disebut
sebagai kerusakan structural atau disebut gagal konstruksi. Hal tersebut ditunjukkan pada
Gambar 1 dan Gambar 2 contoh Retak structural dan retak fungsional.

Gambar 1. Retak Struktural.

5
Gambar 2. Retak Fungsional

Ciri-ciri retak structural adalah bentuk keretakannya berupa kulit buaya/ gambar peta,
dan pada celah retak berwarna putih kekuningan sebagai akibat naiknya lempung ke
permukaan karena terpompa (pumping) oleh beban roda kendaraan. Atau dengan kata lain
terjadi pumping karena adanya lendutan yang tinggi pada saat beban kendaraan melintas
pada titik atau segmen tersebut. Penyebab kondisi ini ada bermacam-macam, namun pada
prinsipnya tegagan/ daya dukung tanah dasar terlampaui oleh beban kerja (beban lalu-lintas).
Terlampauinya daya dukung disebabkan oleh kekakuan struktur lapis perkerasan kurang,
sementara kekakuan struktur dipengaruhi oleh mutu bahan dan ketebalannya. Mutu bahan
ditentukan oleh masing-masing bahan pembentuk konstruksi dan mekanisme
pelaksanaannya.
Mutu bahan yang bagus dilaksanakan dengan mekanisme yang benar dengan tebal
yang cukup sesuai ketentuan, maka apabila terjadi kerusakan itu pasti disebabkan oleh
variable dari luar, yaitu beban kendaraan dan adanya daya dukung tanah yang terabaikan saat
perencanaan. Sebagai contoh dalam perencanaan disebutkan nilai CBR desain adalah 90%,
maka 10% terdapat beberapa segmen ruas atau titik-titik yang memiliki nilai CBR lebih
rendah dari CBR desain. Kerusakan pada titik titik dimana nilai CBR dibawah nilai CBR
desain masih ditoleransi terjadinya. Sementara muatan beban sumbu berlebih juga akan
mempercepat terjadinya kerusakan pada struktur perkerasan, karena pola pembebanan
bersifat exponansial tidak bersifat linear. Sehingga akumulasi jumlah beban semakin besar
saat terjadi kelebihan beban muatan sumbu.Tidak jarang kerusakan struktur perkerasan jalan
disebabkan oleh lemahmya lapis pondasi agregat. Lapis pondasi agregat mulai dari urugan
pilih (selected materials), agregat klas B, maupun agregat klas A, semua saling
berkonstribusi untuk merusak
perkerasan, baik secara individu maupun secara kolektif. Oleh karenanya meknisme
pelaksanaan yang benar harus dimulai dari lapisan paling bawah, yang dilakukan secara tepat
dan akurat, jangan melaksanakan lapisan di atasnya apabila diyakini lapisan bawah masih
lemah. Lakukan pengujian fisik secara detail atau merata pada setiap permukaan
(proofrolling), disamping melakukan pengujian rutin pada jarak tertentu sesuai ketentuan
teknis. Oleh karenanya sebelum menghampar lapis pondasi agregat bawah (agregat klas B),
harus yakin bahwa setiap jengkal permukaan selected material harus dalam kondisi padat
semuanya. Hal yang sama harus dilakukan terhadap lapis perkerasan di atasnya.
Selected material adalah lapisan agregat berbutir yang letaknya di bawah lapis
pondasi bawah, namun apabila salah memilih akan terjadi perlemahan yang sangat besar dan

6
fatal akibatnya. Selected adalah material terpilih dimana mutu dan gradasinya harus sesuai
dengan ketentuan, sementara masih ada pelaksana lapangan yang menganggap bahwa
selected adalah bahan paling bawah, sehingga mereka mengabaikan gradasi dan dimensi
butirannya
karena tidak banyak berpengaruh, akibatnya akan memiliki tingkat kepadatan yang
bervariasi. Sebagai contoh, masih diijinkan batu belah besar yang tetap dihampar pada
pelaksanaan selected material. Hal ini dapat menyebabkan tingkat keseragaman kepadatan
yang berbeda-beda antar titik/ segmen ruas jalan, sehingga terjadi perlemahan dan perkuatan
yang berdampingan, yang pada akhirnya menyebabkan terjadi gelombang baik arah
memanjang maupun melintang jalan.
II.2. Bahan Yang Digunakan
Bahan yang dipilihpun terkadang berupa agregat batu paras (batuan muda warna
coklat muda atau coklat tua, yang bersifat getas), atau batu pedel (batu warna putih yang
relative lunak dan mudah hancur, bahkan menjadi bubur saat terndam air), pada saat kering
berupa batuan namun mudah pecah. Apabila batuan jenis seperti ini tetap digunakan, maka
mekanisme pelaksanaan harus menggunakan alat pemadat vibro roller yang beratnya di
atas 16 ton dan roda bajanya menggunakan tonjolan-tonjolan baja (kaki kambing) agar bahan
dapat diremas seseragam mungkin, agar diperoleh tingkat keseragaman kepadatan yang
merata. Yang perlu diwaspadai bahwa pada umumnya batu kapur/ batu putih yang muda
memiliki selisih cukup tinggi pada nilai CBR sebelum dan sesuadh direndam. Kondisi ini
rawan terjadi perlemahan konstruksi pada musim hujan, harus ditambahkan semen 0,5 s/d
1% dari berat campuran untuk menjamin kekokohan konstruksi.
Hal yang sama juga harus diberlakukan di lapis pondasi agregat klas B, dimana
material yang dipilih adalah dengan komposisi porsi antara agregat kasar, medium dan
agregat halus. Pelaksanaannya perlu dipantau setiap saat terutama penghamparan dan
pemadatannya. Pada umumnya agregat klas B yang berasal dari leveransir langsung akan
memiliki mutu yang kurang bagus, baik dari sisi komposisi gradasi maupun kadar air rata-
ratanya pada saat pengiriman. Kadar air menentukan tingkat kepadatan maksimum yang
akan terjadi di lapangan. Oleh karenanya apabila akan melaksanakan hamparan agregat klas
B yang pertama kali dilihat adalah kadar air saat terkirim, sehingga pada saat pemadatan
tinggal menambah prosen kadar air yang kurang dari optimumnya. Pelaksanaan penyiraman
harus dilakukan dengan perhitungan yang tepat sesuai volume yang akan dihampar dan
dipadatkan.
Pada umumnya, meskipun mereka sudah pegang rumus campuran kerja (JMF),
pelaksanaan penyiraman air dilaksanakan bukan berdasarkan kebutuhan air optimum,

7
bahkan kucuran air tidak seragam pada semua permukaan perkerasan. Sehingga pencapaian
kepadatan tidak akan seragam pada setiap titik atau permukaan segmen ruas jalan. Hal ini
menyebabkan pada masa pelayanan akan terjadi pemampatan tambahan, sehingga terjadi
rutting, gelombang dan retak-retak. Kondisi demikian terjadi dimana-mana sehingga kondisi
permukaan perkerasan jalan umumnya rata-rata tampak bergelombang baik arah memanjang
maupun melintang.
Segregasi butiran berperan cukup besar terhadap kerataan kekakuan lapis pondasi
maupun lapis permukaan aspal. Susunan atau lintasan gradasi agregat yang terdiri dari porsi
masing-masing fraksi agregat, halus, medium dan kasar, serta bahan pengisi, secara teory
dapat dicapai dalam perhitungan di atas kertas (JMF). Namun di lapangan akan lain yang
terjadi, pada umumnya agregat akan mengelompok dengan yang sejenisnya, kasar ngumpul
kasar, halus ngumpul halus, termasuk mediumnya. Hal ini terbukti pada saat dilakukan
pengambilan benda uji inti (core drill), dimana masih banyak pengelompokan-
pengelompokan antara yang halus, medium dan kasar. Agar tidak terjadi pengelompokan
tersendiri, maka pada saat menyusun lintasan sudah diarahkan lebih dulu agar tidak akan
terjadi pengelompokan degan sendirinya.
Adapun cara menyusun lintasan gradasi harus ditentukan berdasarkan ukuran butir
maksimum yang akan digunakan. Umumnya ukuran butir maksimum diijinkan setinggi-
tingginya 10% tertahan saringan dibawahnya, untuk menghindari segregasi butiran tentukan
2-4% saja butir maksimum pada campuran. Selanjutnya agregat pokok perkerasan, satu
tingkat di bawah butir maksimum sampai pada batas satu tingkat di atas ukuran agregat halus
ditentukan sebesar 60-70%, sedangkan sisanya untuk agregat halus dan bahan pengisi
(filler). Ke depan dapat diperbesarlagi porsi agregat pokoknya, yaitu 75-85%, sehingga
keseragaman campuran mendekati sempurna. Sesuai NAPA 1996, menyebutkan bahwa
kekakuan campuran aspal sangat dipengaruhi oleh interlocking antar butiran kasar, sehingga
aspal berfungsi minoritas.
Pada beberapa penelitian di laboratorium dan pengamatan di lapangan, terdapat fakta
bahwa hasil pengambilan benda uji campuran aspal (core drill) rata-rata tampak terjadi
pengelompokan butiran. Meskipun pada pelaksanaannya menggunakan JMF bergradasi
padat, dan dilaksanakan dengan finisher yang dilengkapi auger (pengatur keseragaman
butiran) yang bekerja dengan maksimal. Dengan kesimpulan sementara bahwa lintasan
gradasi tidak hanya
sekedar masuk dalam amplop gradasi (rentang spesifikasi), namun harus dibuat sedemikian
rupa agar bahan pengisi rongga antar butiran kasar tidak berlebih, karena akan menghalangi
mekanisme interlock antar butiran kasar atau body campuran.

8
BAB III. METODE PENELITIAN

III.1. Permasalahan dilapangan


Masih terdapat ketentuan yang saling bertentangan pada spesifikasi teknis, sebagai
contoh, pada pekerjaan campuran aspal panas, syarat agregat harus bersih, namun di bagian
lain menyebutkan bahwa kadar lempung dijinkan maksimal 1% dari total porsi agregat halus.
Sehingga yang terjadi di lapangan adalah masih tersedia debu atau butiran lempung yang
menggumpal sekitar 0,4% terhadap total campuran. Dalam 1 ton pekerjaan campuran aspal
panas terdapat ± 4 kg debu lempung yang menempel pada agregat kasar dan medium. Debu
lempung sangat kuat daya lekatnya, sehingga pengumpul dan penghisap debu (dustcollector)
tidak mampu memisahnya. Yang lebih bahaya adalah terdapat gumpalan lempung berbentuk
butiran dan masuk pada campuran aspal, maka perlemahan pasti terjadi. Sehingga terjadi
lubang dalam waktu yang relative singkat, terutama pada musim hujan.

III.2. Dasar Penelitian


Di lapangan belum diterapkan mekanisme pemadatan lapis pondasi agregat dengan
benar sesuai ketentuan. Sebagai contoh, disebutkan pada JMF bahwa kadar air awal pada
material urugan pilih adalah 6%, dan kadar air optimum adalah 10%. Sehingga pada saat
pelaksanaan seharusnya menambah kadar air 2-5% pada timbunan yang dihampar dengan
ketebalan gembur tertentu. Umumnya mereka tidak menghitung kebutuhan air sesuai
kebutuhan,mereka hanya langsung menyiram permukaan dengan air tanpa menghitung
jumlahnya. Dan tidak rata penyiramnannya karena menggunakan selang.yang digerakkan
oleh tangan, sebagian ada yang belum terkena air, bahkan belum sempat air mengendap
sampai bawah sudah dipadatkan. Sehingga tidak diperoleh kepadatan maksimal, dan tidak
merata kepadatannya. Hal inilah yang menyebabkan perkerasan menjadi gelombang, karena
terjadi pemampatan tambahan pada beberapa titik selama pelayanan.
Akumulasi tingkat kepadatan yang tidak seragam pada sejumlah lapis perkerasan
mulai dari urugan pilih sampai pada lapis penutup (aspal) akan menyebabkan nilai kekakuan
lapis perkerasan yang bervariasi, selanjutnya pada bagian yang paling lemah akan
mengalami kerusakan lebih awal dan berlanjut yang dimulai dari ambles, gelombang, retak-

9
retak dan akhirnya lubang. Setiap kendaraan berat bermuatan lewat pada segmen atau titik
yang lemah tersebut, akan memperparah terjadinya ambles, sehingga titik/ lokasi sebelahnya
akan terdesak ke samping membentuk gundukan, semakin berkembang terus membentuk
gelombang dengan
amplitudu besar, akhirnya terjadi retak-retak akibat tarik. Kondisi ini akan diperparah oleh
air hujan, maka berkembanglah menjadi lubang dan semakin parah apabila tidak segera
dilakukan perbaikan.
Sebagaian besar pembuatan rancangan campuran kerja (JMF) masih menggunakan metoda
grafis dan analisis, sehingga berapun hasil komposisi masing-masing fraksi agregat
berdasarkan nilai yang diperoleh dari perhitungan tersebut. Sehingga lintasan gradasi yang
terjadi bisa bervariasi atau berbelok-belok (tidak smooth). Hal ini dapat menyebabkan butir
kasar sulit saling mengunci karena terhalang (terganjal) oleh butiran yang lebih kecil satu
tingkat di bawahnya. Oleh karenanya membentuk lintasan yang smooth akan membantu
memperbesar peluang terjadinya interlocking.
Tidak cukup hanya lintasan yang smooth untuk membuat proses interlock yang
bagus, masih diperlukan strategi khusus agar terjadi interlock secara maksimal. Dengan jenis
gradasi padat (AC WC dan AC BC) yang digunakan saat ini, masih belum dapat diperoleh
tingkat interlock yang maksimal, karena masih terjadi segregasi butiran. Oleh karenanya
pada pembuatan JMF AC-WC maupun AC BC harus memperhatikan lintasan gradasi yang
tepat, agar terjadinya segregasi dapat dihindari. Adapun strategi yang diterapkan adalah
sesuai yang diuraikan lebih detail pada pembahasan permasalahan bab berikut ini. Namun
intinya adalah memperbesar porsi agregat kasar 5-10 dan 10-15 dengan memperkecil porsi
agregat halus.

10
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. 1. Analisis Kerusakan Perkerasan Jalan dan Alaternatif Penyelesaian Retak


Retak adalah salah satu kriteria kegagalan konstruksi. Karena pada titik tersebut pasti
terjadi perlemahan, retak bisa bersifat struktural maupun bersifat fungsional. Pada
perkerasan jalan, retak yang dibarengi dengan lendutan yang cukup tinggi (melampaui
lendutan ijin berarti bersifat structural), sedangkan yang tidak diikuti dengan lendutan berarti
retak padat permukaan saja atau kerusakan bersifat fungsional. Namun demikian keduanya
harus segera ditutup agar kerusakan lebih parah tidak terjadi, terutama pada saat musim
hujan.
Retak terjadi karena kadar aspal kurang, kurangnya kadar aspal disebabkan oleh
beberapa hal antara lain proses pemanasan aspal dan agregat (over heating), penyerapan
agregat tinggi, serta komposisi fraksi agregat halus sangat tinggi. Kurangnya kadar aspal
menyebabkan tebal selimut aspal relatif kecil (tipis), atau dengan kata lain kadar aspal efektif
relatif kecil, tebal selimut kurang dari 7 mikron. Semakin kecil tebal selimut aspal semakin
rawan lelah dan mudah patah yang selanjutnya akan terjadi retak-retak.
Over heating sering terjadi di lapangan namun jarang terdeteksi oleh pengawas,
karena panas masih dianggap sepele. Padahal kelebihan panas berkontribusi sangat besar
pada jumlah kadar aspal efektif. Aspal yang tersentuh panas hingga 163ᵒC selama lebih dari
5 jam, nilai kelekatan atau daya lekat aspal tinggal 67%, sementara di lapangan apabila tidak
tersedia automatic thermometer control, panas agregat bisa mencapai 200ᵒC (akibat kelalaian
operator), atau ada kesengajaan operator karena tuntutan jarak lokasi hamparan terlalu jauh,
sehingga panas awal ditinggikan agar suhu hamparan di lapangan masih terpenuhi. Hal ini
sama sekali tidak diijinkan, karena sudah pasti bagian minyak ringan yang ada pada aspal
akan terbakar. Dan campuran aspal akan menjadi kaku dan mudah patah (retak-retak). Untuk
menghindari hal ini, operator AMP harus dibantu seorang petugas yang membantu operator
untuk memonitor temperature pemanasan pada drayer dan ketel aspal, dimana pada ketel
aspal harus dijaga suhu berkisar 140-145 ᵒC, sedangkan pada drayer berkisar antara 160-
165ᵒC, sehingga campuran keluar dari mixer 155ᵒC.

11
Terkadang di lapangan tampak basah sekali saat dihampar, kondisi ini bukan berarti
kelebihan kadar aspal, harus dilakukan cek gradasi dan tebal selimut aspal yang terjadi.
Apabila tebal selimut masih dibawah 12 mikron, maka kondisi basah tidak akan bermasalah
(bleeding), hal ini terjadi karena proses penyerapan agregat berjalan lambat. Kondisi ini
tidak boleh disikapi dengan pengurangan kadar aspal, karena sebagian aspal akan terserap ke
dalam agregat pada masa pelayanan, sisanya disebut se bagai aspal efektif. Semakin kecil
porsi aspal efektif berarti senakin tipis tebal selimut aspal terhadap agregat, sehingga aspal
akan mudah lelah dan cepat mengalami retak-retak.
Retak structural ada dua penyebab, yaitu dari lapis tanah dasar yang jelek (umumnya
lapisan tanah organic) dan dari muatan beban kendaraan yang tidak standar, terutama beban
sumbu kendaraan dengan ESAL lebih dari 8,16 ton. Pada saat beban sumbu roda melampaui
beban sumbu standar sebenarnya tidak hanya sekedar dikonversikan menjadi kelipatan beban
standar, namun saat lendutan ijin terlampaui maka struktur sudah gagal, karena daya dukung
tanah dasar sudah terganggu oleh lendutan tersebut. Oleh karenanya harus ada pembatasan
khusus pada peraturan muatan yang mengatur tentang beban berlebih. Dan tidak hanya
didenda akan tetapi harus diturunkan muatannya, karena antara jumlah denda dengan
terjadinya kerusakan jalan sangat tidak relefan.
Mengapa tidak semua segmen ruas jalan menjadi retak saat terjadi beban muatan
berlebih? Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada saat desain tebal didasarkan pada nilai CBR
desain 90-95%. Artinya bahwa terdapat 5 -10% tanah dasar yang memiliki daya dukung
kurang dari daya dukung desain, oleh karenanya pada titik–titik tersebut akan terjadi
lendutan yang signifikan saat terjadi beban muatan sumbu berlebih. Oleh karenanya apabila
yang mengalami kerusakan retak-retak masih kurang dari 10% maka kerusakan tersebut
bukan disebut sebagai kerusakan dini atau kegagalan, karena sudah diatur pada ketentuan
perencanaan.
IV.2. Ambles
Sama halnya dengan retak, fenommena ambles dapat terjadi karena kondisi tanah
dasar yang jelek (nilai CBR di bawah nilai CBR desain), dan tingkat kepadatan masing-
masing susunan lapis konstruksi perkerasan kurang dari persyaratan, serta akibat segregasi
butiran. Pada lokasi tanah dasar CBR terendah tingkat kepadatan lapisan di atasnya akan
lebih rendah dari lainnya, sehingga lebih mudah mengalami pemampatan, akhirnya terjadi
ambles. Segregasi butiran juga dapat menyebabkan adanya tingkat kerapatan/ kepadatan
yang berbeda. Fraksi kasar yang mengumpul akan cukup kokoh menerima beban pemadat
maupun beban kendaraan yang lewat, sehingga fraksi butir halus tidak tersentuh alat
pemadat, sehingga tingkat kerapatan fraksi halus lebih rendah dari lainnya dan akhirnya

12
mengalamipemampatan dengan berjalannya waktu (masa pelayanan lalu-lintas). Kondisi ini
diperparah dengan beban kendaraan berat karena terjadi kejut, sehingga semakin lama
semakin dalam amblesnya.
Ambles yang berdampingan antara titik satu dengan lainnya membentuk gelombang
dengan amplitude yang meningkat terus. Apabila tidak segera dilakukan perbaikan maka
titik-titik puncak gelom bang akan menerima beban paling besar pada saat beban sumbu
kendaraan lebih dari 2 buah. Dalam kondisi demikian ban roda dapat meletus, atau justru
sebagian butir kasar akan pecah, dan akan terjadi retak-retak pada titik-titik tersebut. Air
hujan akan masuk ke celah-celah retak, dan akhirnya perkerasan aspal akan terkelupas
sedikit demi sedikit membentuk lubang yang lebar dan semakin dalam. Sebaliknya yang
kondisi cekung akan menampung air hujan lebih lama dan rawan terjadi penetrasi air hujan,
sehingga permukaan perkerasan akan rapuh dan rusak juga.
IV.3. Rutting
Rutting adalah fenomena kerusakan permukaan perkerasan sebagai akibat dari
lemahnya ikatan aspal terhadap agregat, dan kurangnya interlocking antar butiran kasar, serta
terlalu besarnya porsi agregat berbentuk lonjong dan pipih. Dan hal yang paling mendukung
atau mempercepat terjadinya rutting adalah lebar perkerasan jalan. Semakin lebar lebar,
semakin kecil terjadinya rutting, semakin sempit lebar lajurnya maka terjadinya rutting
relative sangat cepat. Jejak roda kendaraan akan cenderung lewat pada bagian 25-50 cm dari
tepi median (untuk 4 lajur bermedian). Dan 25-50 cm dari tepi perkerasan kendaraan berat
cenderung lewat. Namun apabila lebar lajur relative besar, dan jumlah lajur lebih dari 2 buah
setiap jalurnya, maka terjadinya rutting sangat jarang.
Lemahnya ikatan aspal, terjadi pelunakan pada saat temperature campuran beraspal di
atas titik lembeknya. Oleh karenanya Superpave menentukan bahwa aspal yang dapat
digunakan adalah aspal “performance grade (PG)”, artinya aspal harus memiliki titik lembek
di atas suhu tertinggi lapangan rata-rata, dan aspal mampu bertahan terhadap retak pada
temperature negative (di bawah 0). Pada penulisan
PG 76-22, berarti campuran beraspal tidak mengalami rutting sampai pada
temperature 76 ᵒC, dan campuran beraspal tidak mengalami retak sampai pada temperature -
22 ᵒC. di Indonesia karena tidak ada temperature di bawah 0, maka aspal yang dipilih adalah
aspal modifikasi dimana titik lembek aspal ditingkatkan sampai pada temperature 55ᵒC,
diharapkan di lapangan tidak mengalami perlemahan ikatannya, sehingga tidak terjadi rutting
Interlocking adalah bagian paling dominan dalam campuran. Untuk mencapai interlock yang
bagus maka batu harus memiliki kekasaran permukaan yang cukup, atau dengan kata lain
semua sisi merupakan bidang pecah, dan sama sekali tidak ada butiran yang berbentuk bulat

13
(alami). Dan supaya terjadi interlock yang kokoh bentuk batuan harus kubikal. Untuk
menjamin semua batu pecah khususnya fraksi agregat kasar (lolos ¾” tertahan saringan # 4
(4,75 mm) saling bertemu, diperlukan susunan gradasi yang bagus, yang terdiri dari semua
fraksi agregat, namun dengan porsi yang tepat. Sementara fraksi agregat halus yang
berfungsi sebagai bahan pengisi, volumenya tidak boleh melebihi dari ruang kosong yang
tersedia diantara agregat kasar yang saling intrerlock.
Apabila porsi masing-masing agregat benar-benar tepat dapat diikuti, maka susunan
gradasi akan kokoh dan fungsi aspal sebagai bahan perekat menjadi minimal. Sebaliknya
apabila fraksi halus yang dominan jumlahnya dalam campuran maka kekokohan struktur
campuran diperoleh dari mutu atau kekakuan bahan aspal, artinya nilai viskositas aspal harus
tinggi agar dia sendiri mampu memberikan dukungan terhadap beban yang terjadi pada
temperature tinggi.
Yang menjadi permasalahan untuk memenuhi konsep interlock adalah terjadinya
segregasi butiran halus. Oleh karenanya kebutuhan fraksi halus harus seminim mungkin,
agar pengelompokan diantara dirinya adalah minimal. Sebagaimana di bagian depan
dijelaskan bahwa untuk menghindari sgregasi adalah dengan membuat porsi agregat kasar
yang mengandung ukuran butir maksimal adalah setinggi-tingginya 5%, sedangkan fraksi
yang mengandung ukuran di bawah fraksi ukuran butir maksimum sampai tertahan saringan
# 4 lebih dari 70%, sedang sisanya yang merupakan butir pengisi adalah maksimum 25%.
Namun karena batasan spesifikasi teknis saat ini masih menggunakan gradasi padat, maka
batasan tersebut belum dapat dipenuhi, karena bagian fraksi halus akan keluar dari batasan
terendah. Oleh karenanya untuk dapat memenuhi maksud di atas batasan agregat kasar
adalah mendekati batas paling atas, sedangkan pada fraksi halus diupayakan mendekati batas
paling bawah, sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 3.

14
Gambar 3. Contoh lintasan gradasi yang dibentuk untuk meminimalkan terjadinya
segregasi dan memperkecil bahan pengisi
Batu pecah yang ada saat ini umumnya juga merupakan batu pipih dan lonjong,
meskipun dalam spesifikasi tercantum maksimal 10%, namun jumlah itu relative besar, dan
akan berpengaruh besar pada aspal tersebut.

Tabel 1. Deskripsi gradasi campuran beraspal

IV.4. Lubang (Photole)


Lubang yang terjadi di lapangan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain
kebersihan material terhadap debu lempung/ lumpur, kurang kadar aspal dan terjebaknya air
pada lapis perkerasan beraspal. Debu lempung berbeda dengan debu hasil olahan batu pecah,
debu lempung bersifat reaktif dan sulit dipisahkan kecuali dicuci dengan air. Kekuatan daya
hisap dust collector tidak cukup untuk menghingkan debu yang menempel pada batuan kasar
dan medium, sehingga akan menghalangi ikatan antara aspal dan agregat. Apabila terdapat
lempung yang menggumpal membentuk butiran padat saat masuk mesin pemecah batu
mereka akan pecah menjadi butiran kasar, sedang dan halus. Dan butiran dari lempung inilah
yang sangat bahaya, karena pasti akan pecah saat menerima beban pemadat maupun beban
saat masa pelayanan. Semakin banyak butiran-butiran ini semakin cepat terjadi lubang di
lapangan terutama pada musim hujan. Gambar 4 menunjukkan material dasar yang kotor
berlempung.

15
Gambar 4. Kondisi material dasar yang kotor (berlempung)
Untuk menghindari hal di atas maka setiap pemilik mesin pemecah batu harus
menyediakan alat pencuci mekanis, yang ditempatkan di depan hoper mesin pemecah batu,
Gambar 3 menunjukkan mesin pencuci material dasar cara mekanis. Hal ini sangat
membantu menghilangkan debu lempung atau lempung yang menggumpal yang akan
menjadi butiran lempung yang sangat berbahaya bagi konstruksi perkerasan campuran
beraspal. Apabila di lapangan ditemukan lubang dengan diameter antara 20-30 cm dengan
bentuk lingkaran dalam kurum waktu kurang dari 6 (enam) bulan setelah penghamparan,
dapat dipastikan kerusakan tersebut karena material dasar sangat kotor.
Sebagaimana pada kerusakan retak di atas, bahwa kurangnya kadar aspal sebagai
akibat dari kelebihan panas (over heating) juga dapat terjadi pada lubang.
Dan semua kejadian lubang pasti diawali dengan retak. Karena over heating aspal menjadi
kaku dan mudah retak saat terjadi lendutan. Akumulasi retak pada satu lokasi akan
memperlemah struktur perkerasan, hingga lendutan semakin besar. Air hujan yang masuk
melalui celah retak dan tersimpan pada perkerasan aspal akan mendesak butiran yang lepas
saat beban kendaraan berat melintas. Sedikit demi sedikit butiran lepas dari ikatan yang
sudah rapuh tersebut, maka terbentuklah lubang yang semakin hari semakin luas dan dalam.
Ingat perkerasan jalan menerima akumulasi beban kendaraan setiap saat, sehingga semakin
cepat melemah pada titik atau lokasi yang cacat tersebut.

16
Gambar 5 Sket mesin pencuci material dasar dengan cara mekanis
Pada prinsipnya keawetan konstruksi perkerasan jalan khususnya lapis permukaan
beraspal dipengaruhi oleh kondisi lapis pondasi yang kokoh dan seragam, mulai dari urugan
pilih (bila diperlukan), lapis pondasi abawah dan lapis pondasi atas. Mutu batuan dan mutu
agregat halus, serta susunan atau komposisi gradasi yang seragam pada setiap titiknya.
Namun hal ini sulit ditemukan di lapangan karena keterbatasan lokasi material dasar.
Material dasar bersifat sporadic, artinya terjadi perbedaan mutu meskipun pada satu lokasi,
sementara oleh tim lapangan dianggap satu lokasi satu nilai keseragaman. Oleh karenanya
untuk mengantisipasi hal ini, setiap produksi masing-masing susunan lapis pondasi
perkerasan merupakan hasil komposisi gabungan agregat. Atau tersedia produsen/ leveransir
yang bersrtifikat untuk masing-masing jenis lapis pondasi tertentu.
Campuran aspal yang duduk pada susunan lapis pondasi yang kokoh tidak akan
mengalami lendutan sama sekali, sehingga tidak akan terjadi retak-retak atau pecah dalam
waktu yang lama (usia pelayanan). Retak yang disebabkan oleh usia aspal, tidak berdampak
pada kerusakan yang lebih parah. Selama tidak terjadi lendutan yang besar kondisi
perkeraan akan tetap utuh meskipun banyak retakmretak, juga tidak akan berkembang
menjadi lubang. Oleh karena itu memilih bahan/ material yang tepat, mutu dan gradasinya,
serta merancang tebal masing-masing lapis pondasi merupakan hal yang paling tepat, efektif
dan efesien pada pelaksanaan pembangunan konstruksi perkerasan jalan. Tidak cukup hanya

17
menentukan mutu dan gradasi bahan, metode pelaksanaan juga merupakan bagian yang tidak
kalah penting pada pelaksanaan.
konstruksi lapis pondasi agregat. Sebagai contoh, untuk memperoleh tingkat
keseragaman pemadatan maksimum setiap titik, maka pengendalian kadar optimum harus di
perhatikan, dan cara pemberian air sampai mencapai optimum harus dijaga secara khusus.
Antara lain dengan menghitung kebutuhan jumlah air untuk tebal, lebar dan panjang
pelaksanaan hamparan, pemasangan patok pada jarak tertentu saat penyiraman air agar
volume air terkendali, membiarkan hasil siraman dalam periode waktu tertentu hingga mulai
awal pemadatan dimualai. Melakukan proofrolling setelah pemadatan berakhir pada setiap
titik, disamping melakukan uji kepadatan dengan sand cone pada jarak tertentu sesuai
spesifikasi.
Dengan tersedianya konstruksi lapis pondasi yang kokoh dan seragam tingkat
kekakuannya pada setiap titik/ lokasi, maka aspal jenis apapun yang diletakkan di atasnya
tidak akan terganggu, termasuk aspal local (pertamina murni). Apabila aspal pertamina yang
digunakan pada lapis penutup permukaan perkerasan, maka gradasi yang dipilih adalah
gradasi yang memiliki interlock yang bagus sebagaimana dijelaskan di depan. Juga
kepipihan
dan kelonjongan harus di batasai kurang dari 10%.

BAB V. KESIMPULAN & SARAN

V. 1. Kesimpulan
Pada prinsipnya perancangan gradasi agregat untuk pekerjaan urugan pilihan, lapis
pondasi bawah (agregat Klas B), lapis pondasi Atas (agregat klas A), CTB dan lapis
permukaan campuran beraspal, adalah hal paling penting untuk mewujudkan struktur
perkerasan yang kokoh, awet, dan nyaman. Saat ini masih dianggap sepele, karena belum
sadar bahwa interlocking dan segregasi butiran adalah biang kerusakan struktur. Dalam arti
bahwa susunan gradasi benar saja belum cukup untuk mengakomodasi terjadinya interlock
yang bagus, juga dengan memilih lintasan gradasi yang sembarangan maka rawan terjadi
segregasi. Sedangkan segregasi butiran dan kurang bagusnya interlock antar butiran
merupakan perlemahan-perlemahan dalam semua jenis campuran agregat termasuk
campuran beraspal.
Sedangkan keawetan struktur didukung oleh kekokohan konstruksi, pada lapis
pondasi yang kokoh, yaitu lapis pondasi yang memiliki keseragaman kekakuan (stiffness)
tinggi, maka campuran aspal bentuk apapun akan awet, bahkan aspal yang katagori

18
keringpun masih cukup awet. Sebaliknya apabila lapis pondasi agregat tidak stabil (terjadi
lendutan, atau bergelombang akibat kekakuab tidak seragam), maka aspal dalam campuran
harus yang memiliki flexibiltas tinggi, aspal kaku/ getas akan kuat dan awet. Sehingga bahan
anti penglupasan (anti stripping agent) jenis apapun dapat digunakan sebagai penopang
tambahan saja, atau semua jenis aspal modifikasi dapat digunakan, tergantung mana yang
lebih mudah dan siap volumenya untuk diterapkan di lapangan, karena fungsi aspal adalah
minoritas. Bahkan untuk lalu-lintas volume sedang, tidak diperlukan bahan anti penglupasan
maupun aspal modifikasi.
V. 2. Kesimpulan
Untuk mencapai interlocking yang maksimal dan menghindari terjadinya segregasi adalah
dengan membentuk lintasan gradasi semi senjang, namun fraksi agregat kasar yang dominan
adalah agregat dengan butiran lolos saringan ½” tertahan saringan # 4. Sedangkan porsi
fraksi agregat halus harus setinggi-tingginya 20% saja. Dengan demikian semua butir
agregat kasar akan saling ketemu (terjadi interlock), sementara fraksi halus hanya sebagai
bahan pengisi ruang sisa saja. Oleh karenanya bahan pengisi ruang tidak boleh lebih banya
dari kebutuhan semua ruang yang tersedia. Lebih baik kurang dari pada lebih, karena
kelebihan akan menghalangi interlock dan juga kelebihan cenderung membentuk kelompok
tersendiri antar mereka, yang lazim disebut sebagai segregasi butiran, Gambar 6
menunjukkan usulan gradasi yang memiliki interlock maksimal dan bebas segregasi. Perlu
diskusi lebih lanjut untuk membahas jenis lintasan gradasi yang kami usulkan ini.

Gambar 6. Contoh lintasan gradasi yang memiliki interlock maksimal dan bebas segregasi
mudah mengalami retak-retak. Atau dapat juga dilakukan dengan menetapkan tebal
selimut aspal diperbesar agar factor lelah aspal dapat diperpanjang.Pada pelaksanaan
konstruksi, khususnya campuran aspal, dengan adanya interlock yang bagus dan bebas dari

19
segregasi, karena hasil perancangan yang bagus sebagaimana dijelaskan di depan, maka
aspal jenis apapun yang digunakan dalam campuran akan selalu menghasilkan campuran
yang bagus,

DAFTAR PUSTAKA

Amirican Association of State Highway and Tranportation Officials (AASHTO)


1993,
Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, 2010 Spesifikasi
teknis (Revisi 2), Jakarta
Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, 2014 Spesifikasi
Umum 2010 (Revisi 3), Jakarta
Lanham Maryland, second edition (1996), Hot mix asphalt materials, mixture design
and construction, NAPA, Education Foundation
Pinardi Koestalam dan Sutoyo,(2008). Perencanaan Tebal Perkerasan Jalan Lentur
dan Kaku, (Sesuai ASSTHO, 1993)
SNI-03-2417-2008. Cara Uji Keawetan Agregat dengan Mesin Abrasi Los Angeles.
BS
Nugraha, Paul & Antoni.(2007). Tenologi Beton dari material, Pembuatan, ke Beton
Kinerja Tinggi.

20

Anda mungkin juga menyukai