STUDI KHUSUS
Pada umumnya intrusi batuan selalu diikuti oleh adanya injeksi larutan
sisa yaitu larutan hidrotermal. Alterasi terjadi apabila larutan hidrotermal
berdifusi, mengisi dan mempengaruhi rekahan – rekahan dinding batuan. Suatu
gejala mineralisasi ditandai oleh hadirnya mineral ubahan tertentu diakibatkan
oleh aktivitas hidrotermal. Hidrotermal merupakan residu dari magma akhir
berupa larutan dengan temperatur tertentu. (Bateman, 1981).
Fokus dari studi adalah memetakan sebaran minerali alterasi pada daerah
penelitian terutama pada Tma dan satuan batuan di sekitarnya. karena
diperkirakan terdapat sebaran zona alterasi dan mineralisasi pada satuan batuan
tersebut dan terdapat pola struktur yang bervariasi pada daerah penlitian.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan sebaran zona mineralisasi ,sifat fisik serta uji
lab.
52
4.3 Daerah Penelitian
Analisa
Laboratorium
53
Gambar 4.2 Flowchart Tahap Penyelesaian Tugas Akhir Studi Khusus
54
4.4.3. Analisa Mineragrafi
55
Mineral primer dilakukan dengan analisis bulk powder, sedangkan
mineral sekunder (clay) biasanya dilakukan dengan analisis oriented clay
mineral aggregates. Analisis bulk powder dilakukan terutama untuk
mengetahui keberadaan mineral primer di dalam batuan ataupun mendeteksi
suatu senyawa tertentu di dalam sampel padatan. Walaupun mineral
lempung juga sering muncul dalam analisis ini dikarenakan sifat analisisnya
random/acak.
Preparasi bulk powder ini dilakukan pada sampel dalam kondisi harus
kering. Analisis oriented clay mineral aggregates dilakukan terutama untuk
mengetahui keberadaan mineral sekunder di dalam batuan ataupun
mendeteksi suatu jenis mineral lempung/clay di dalam suatu sampel
padatan. Preparasi sampel dengan oriented clay mineral aggregates yang
dilakukan meliputi tahapan: air-dried clay (AD), solvating dengan
menggunakan Ethylene Glycol (EG) dan pemanasan pada suhu 550°C
selama 1 jam (Wicaksono dkk., 2017).
1. Suhu
56
klinoptilolit -> mordenit -> stilbite -> laumontit -> wairakit. Suhu juga
mempengaruhi tingkat susunan atau kristalinitas mineral. Suhu yang
lebih tinggi mendukung pembentukan lebih banyak kristal mineral.
Kaolinit dan halloysit yang berbentuk tidak teratur, misalnya, terbentuk
dalam kondisi ambien. Akan tetapi, kaolinit yang berbentuk lebih teratur
terbentuk di bawah suhu hidrotermal yang lebih tinggi. Dickit berkristal
baik berkembang pada kondisi yang lebih panas.
2. Kimia fluida
3. Konsentrasi
57
Mineral Adularia yang merupakan mineral sekunder K-feldspar lebih
sering dijumpai pada host dan/atau source rock kaya kalium (misalnya
riolit atau shoshonit). Paragonit (Na-mika) dalam kondisi tertentu
terbentuk sebagai produk alterasi albit, sedangkan muskovit terbentuk
dari K-feldspar yang teralterasi.
5. Reaksi kinetik
7. Permeabilitas
58
keadaan jenuh, panas, hidrostatik, tekanan secara langsung berhubungan
dengan suhu (Browne, 1978). Tekanan gas dan perbandingan of konsentrasi
unsur dicerminkan pada pH fluida (Henley dkk., 1984). Variabel lain
(dengan pengecualian lokal mungkin seperti komposisi host rock dan
komposisi mutlak fluida) hanya memiliki pengaruh yang kecil pada
mineralogi alterasi. Kisaran stabilitas untuk mineral-mineral hidrotermal
yang biasa ditemui pada Pacific rim active geothermal dan sistem bijih
hidrotermal, diplot berkaitan dengan suhu dan pH fluida pada Gambar 4.3.
Gambar tersebut dihasilkan dari suatu kompilasi data pada sistem
geothermal di Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Islandia, dan Selandia
Baru, serta kombinasi dengan pekerjaan eksperimen termodinamika dan
laboratorium pada fase mineral yang berbeda. Konsentrasi unsur fluida dan
perbandingan, serta tekanan-tekanan (tekanan parsial gas-gas, hidrostatik
dan tekanan litologis) konstan pada Gambar 4.3. Suhu mutlak dan nilai pH
tidak ditunjukkan pada Gambar 4.3 karena pengaruh dari faktor-faktor lain
yang dapat berada di posisi batas antara fase mineral. Selain itu, lebih
penting dalam eksplorasi mineral untuk menentukan, dari pemetaan alterasi,
secara relatif, dibandingkan dengan perubahan mutlak, pada kondisi fluida.
Penjelasan berikut memasukkan perkiraan suhu dan rentang pH untuk
sebagian besar fase mineral tersebut. Kelompok mineral yang berbeda
dicirikan oleh peningkatan pH pembentuk pada Gambar 4.3 seperti:
59
telah dimasukkan ke dalam semua himpunan mineral karena fluida
hidrotermal (dalam sistem geotermal aktif) kebanyakan jenuh dengan
SiO2 (Henley dkk., 1984). Pada kondisi pH fluida yang lebih tinggi,
silika amorf ditemukan pada suhu <100oC. Kuarsa hampir terdapat pada
suhu yang lebih tinggi, sedangkan kalsedon secara lokal terdapat pada
suhu menengah (umumnya dalam kisaran 100-200oC), terutama dalam
kondisi pengendapan cepat. Jenis fasa silika juga dipengaruhi oleh
kinetika pengendapan. Misalnya, silika amorf dapat terbentuk pada suhu
hingga 200oC di lingkungan yang cepat padam (misalnya, skala pada
geothermal surface pipeworks; Brown, 1986).
60
c. Alunit magmatik berasal dari fluida yang didominasi oleh pengaruh
magmatik dan memiliki bentuk kristal yang baik. Alunit magmatik
biasanya memiliki kristal berbutir kasar, berbentuk tabular-bilah,
dan mengisi rekahan semen breksi. Alunit magmatik diendapankan
pada fenokris pseudomorph vugy yang terleaching atau klasik litik.
Alunit tersebut terbentuk pada suhu yang lebih tinggi, di mana alunit
intergrown dengan muskovit dan/atau andalusit berkristal baik.
Alunit magmatik juga dapat terdapat sebagai kristal besar tidak
beraturan yang secara poikilis menutupi kuarsa dan mineral lainnya,
atau sebagai kristal pseudorhombic euhedral.
d. Alunit urat magmatik / alunit breksi terbentuk pada urat dan breksi.
Alunit ini dapat disimpulkan telah terendapkan secara langsung dari
fluida kaya volatil yang naik dari proses mengkristalnya lelehan
(Rye dkk., 1992). Pada lingkungan ini alunit dapat berbentuk kristal
prismatik yang radial.
61
Diaspor dijumpai secara lokal dengan mineral alunit dan/atau
kelompok mineral kaolinit. Diaspor biasanya terdapat pada zona
silisifikasi intens, di mana diaspor tersebut terbentuk dengan mengurai
pirofilit melalui reaksi:
62
Vanadium mika (roskoelit), dan kromium mika (fuchsit), juga secara
lokal dijumpai dan diendapkan dari fluida yang bersumber dari migrasi
melalui batuan vulkanik mafik / intrusi.
63
Epidot terdapat sebagai incipient grain dalam fase kristal yang
buruk pada suhu sekitar 180-220oC, dan fase kristal yang baik pada
suhu >220-250oC (Reyes, 1990b dalam Corbett dan Leach, 1997).
Mineral amfibol sekunder (terutama aktinolit) tampak stabil dalam
sistem hidrotermal aktif pada suhu> 280-300oC (Browne, 1978). Biotit
dominan di bagian dalam atau berbatasan langsung dengan intrusi
porfiri. Dalam sistem geotermal aktif, biotit sekunder berkemang pada
suhu> 300-325oC (Elders dkk., 1979). Lingkungan porfiri aktif
dicirikan oleh himpunan klinopiroksen (> 300oC) dan garnet (>
325350oC) (Elders dkk., 1979).
4. Mineral-Mineral Lain
64
Adularia terbentuk sebagai jenis kalium feldspar sekunder bersuhu
rendah, sedangkan ortoklas ditemukan pada suhu tinggi di dalam
lingkungan porfiri. Browne (1978) membuktikan bahwa adularia
lebih sering terbentuk dalam kondisi permeabel beraliran fluida
tinggi, dan albit terentuk pada kondisi permeabilitas rendah.
c. Mineral sulfat ditemukan pada sebagian besar keseluruhan rentang
suhu dan pH di dalam sistem hidrotermal. Sebagai contoh seperti
mineral jarosit yang umumnya terbentuk sebagai produk pelapukan
sulfida. Mineral jarosit juga terbentuk pada tingkat yang dangkal di
lingkungan asam pada beberapa sistem geotermal aktif di Filipina
(Leach dkk., 1985).
d. Berbagai fase mineral hidrotermal mengandung unsur halogen
(misalnya, boron dalam turmalin; dan fluor, klorin dan fosfor
dalam apatit), yang dapat disimpulkan untuk menunjukkan bahwa
fluida mengandung komponen volatil magmatik yang signifikan.
Fase ini biasanya terkait dengan serisit / mika yang terbentuk pada
suhu tinggi di bawah kondisi pH yang cukup rendah.
65
selain itu himpunan yang mengandung kelompok mineral alunit and
kaolinit. Menurut Meyer dan Hemley (1967) dalam Corbett dan Leach,
1997 kelompok kaolin bersuhu tinggi (yaitu, dickit dan pirofilit tanpa
kelompok mineral alunit) pada alterasi advanced argillik, dan ketentuan
tersebut telah diikuti pada Gambar 4.3.
2. Alterasi Argilik (intermediate argillic), himpunan mineralnya tersusun
atas mineral yang terbentuk pada suhu relatif rendah (>200-250oC) dan
pH fluida cukup rendah (sekitar 4-5). Jenis alterasi di dominasi
himpunan mineral kaolinit dan smektit. Oleh karena itu, pada Gambar
4.2, kelompok mineral kaolin bersuhu rendah lainnya (halloysit) and illit
(interlayered illit-smektit, illit), yang mana tidak dimasukkan pada zona
filik/serisitik, ditempatkan di dalam jenis alterasi argilik. Himpunan
alterasi argilik dapat juga mengandung kelompok mineral klorit yang
merupakan anggota kelompok mineral illit.
3. Alterasi Filik terbentuk pada kisaran pH yang hampir sama dengan
mineral alterasi argilik, tetapi memiliki suhu yang lebih tinggi (>200-
250oC), dan dicirikan oleh kehadiran mineral serisit (atau muskovit).
Zona filik juga dapat memasukkan anggota mineral kaolin yang bersuhu
lebih tinggi (pirofilitandalusit) dan kelompok mineral klorit yang mana
merupakan anggota dari serisit/muskovit.
4. Alterasi Propilitik terbentuk dibawah keadaan mendekati netral hingga
basa yang dicirikan oleh kehadiran mineral epidot dan/atau klorit (Meyer
dan Hemley, 1967 dalam Corbett dan Leach, 1997). Pada suhu relatif
rendah (<200-250oC), dimana himpunan alterasi didominasi oleh zeolit
yang menggantikan epidot, istilah sub-propilitik dapat diterapkan.
Keterdapatan mineral amfibol sekunder (umumnya aktinolit) pada suhu
tinggi (>280300oC) dapat digunakan untuk mencirikan suatu zona
alterasi an innerpropilitik. Mineral albit sekunder dan/atau K-feldspar
biasanya ditemui pada himpunan alterasi propilitik.
5. Alterasi Potasik terbentuk pada suhu tinggi, di bawah kondisi netral
hingga basa dan dicirikan oleh mineral biotit dan/atau K-feldspar +
magnetit + aktinolit + klinopiroksen. Dimana host rock adalah batuan
66
sedimen karbonatan, mineralogy skarn terbentuk di bawah kondisi yang
hampir sama, serta terdiri atas zona mineral kalk-silikat seperti Ca-
garnet, klinopiroksen, and tremolit
67
Lindgren (1933) mengemukakan suatu istilah “Sistem fosil
geotermal” atau biasa dikenal sebagai sistem epitermal. Berikut akan
didefinisikan mengenai sistem epitermal dan asosiasi endapan bijihnya
yang terbentuk pada suhu rendah hingga sedang (antara 50 -300oC) dan
tekanan (<500 bar atau pada kedalaman setara <1–1, 5 km). Selain itu, akan
dijelaskan juga sistem hidrotermal yang dominan meteorik (tetapi juga
mengandung HCl, CO2 dan H2S, dari turunan magmatik), dan fluida dengan
salinitas rendah (<1 hingga 5–15% berat ekuivalen NaCl).
68
melimpah di sepanjang Lingkar Pasifik. Daftar lengkap endapan emas
epitermal di Pasifik barat daya disajikan oleh White dkk (1995). Endapan
porfiri-epitermal yang ditemukan dalam 30 tahun terakhir di kepulauan
Indonesia disajikan dalam koleksi paper menurut van Leeuwen dkk (1994).
Contoh endapan epitermal di Pegunungan Alpin-Himalaya dapat ditemukan
di Italia, Spanyol, Turki dan daerah Carpathian di Eropa. Selain itu, terdapat
juga endapan epitermal berusia Paleozoikum dan Mesozoikum ditemukan
pada sabuk Orogenik Asia Tengah (Pirajno, 2009).
69
berarti fluida pembentuk bijih mengandung S dalam valensi atau bilangan
oksidasi yang lebih besar atau lebih kecil dari S 2 (n = 0, dengan SO2–4, n = 6
dan H2S, n = 2). Diagram fase yang menentukan keadaan sulfidasi fluida
hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dari diagram pada Gambar 4.4,
lima pita kondisi sulfidasi dapat didefinisikan dari sangat rendah hingga
sangat tinggi. Diagram tersebut juga menggambarkan kondisi transisi
kompleks dari lingkungan porfiri (500–350oC) ke lingkungan sulfidasi
tinggi dan rendah (<350oC).
70
Tabel 4.1 Evolusi skema klasifikasi sistem epitermal (setelah
dimodifikasi dari Simmons dkk., 2005 dan Sillitoe
dan Hedenquist 2003).
71
terjadi pada kedalaman yang dangkal dan menghasilkan uap kaya CO2 dan
H2S. Uap tersebut akhirnya dapat mengembun di dekat permukaan untuk
membentuk air asam sulfat steam-heated (sistem HS). Endapan LS dicirikan
oleh open space vein, breksi dan stockwork. Mineral bijih dan gangue
meliputi: pirit, arsenopirit, spalerit, galena, emas, elektrum, kuarsa,
kalsedon, kalsit, adularia, ilit, barit (lihat juga pada Tabel 4.1). Urat LS
umumnya menunjukkan tekstur berupa colloform, rekahan hidraulik, kalsit
atau kuarsa bertekstur latice bladed. Endapan LS umumnya miskin
kandungan Cu dan base metal lainnya.
72
merupakan zona boiling fluida dengan
pengendapan logam mulia. Diambil dari MJ
Van Kranendonk dan modifikasi dari Henley
dan Ellis (1983).
Mineral bijih dan himpunan alterasi, litologi host rock dan asosiasinya
dengan batuan vulkanik membantu dalam menentukan jenis dan macam
mineralisasi epitermal. Dalam hal ini, model Buchanan (1981) dan Berger
dan Eimon (1982) dalam Pirajno (2009) dianggap penting karena
memberikan klasifikasi yang bisa diterapkan dan karakteristik umum
mengenai mineralisasi epitermal. Jenis epitermal dapat diklasifikasikan
menjadi jenis mata air panas (hot spring) dan jenis open vein. Jenisjenis
epitermal tersebut kemungkinan membentuk suatu kontinuitas dari endapan
kimia permukaan hingga deep vein dan fissure filling. Erosi memainkan
peran penting karena umumnya hanya beberapa urat yang terekspos. Urat-
Urat yang terkespos tersebut merupakan suatu gambaran sisa-sisa sistem
epitermal yang lebih luas. Sebagian besar pembahasan berikut berasal dari
sumber-sumber yang dikutip di atas.
73
dengan sedikit Cu – Pb – Zn pada kedalaman yang lebih dalam.
Mineralisasi ini memiliki kadar yang rendah dan dalam bentuk
diseminasi serta stockwork pada bawah lapisan penutup silisifikasi.
Meskipun mineralisasi dapat mencapai kadar yang tinggi dalam sistem
breksi hidrotermal dan sistem urat yang sebagai akibat zona boiling.
Bagian atas lapisan penutup silika umumnya barren, tetapi terdapat
beberapa native sulfur, dan mineralisasi Au dan sinabar juga mungkin
dijumpai. Di bagian bawah zona silisifikasi merupakan alterasi
hidrotermal berjenis argilik. Au bebas terdapat dengan kuarsa dan
adularia di urat, stockworks dan diseminasi pada host rock permeabel.
74
rendah. Asosiasi unsur dominan adalah Au – Ag – As dengan jumlah Se,
Te, Cu, Pb dan Zn yang bervariasi. Gambar 4.6B mengilustrasikan
model sistem urat epitermal dengan dua tingkat mineralisasi. Gambar
4.6C menggambarkan gabungan endapan epitermal jenis urat mata air
panas dengan jenis Open vein. Secara umum urat dikategorikan secara
vertikal. Sebuah urat khas dapat terdiri atas dari batuan agat dan
lempung di dekat permukaan, yang mengalir ke arah bawah menjadi
kuarsa, kalsit, adularia dan logam mulia. Zona bijih logam mulia
memiliki interval vertikal terbatas, biasanya antara 100 dan 350 m.
Pada bagian dasar, kadar bijih menurun sementara kandungan
logam mulia tidak meningkat. Untuk mineral seperti galena, spalerit dan
terkadang kalkopirit dan/atau pirhotite menjadi fase mineral penting
pada suatu kedalaman. Kuarsa terus ada sementara kalsit terus berkurang
volumenya. Dalam sistem epitermal alkalik, urat di dalam zona logam
mulia biasanya terdiri atas kuarsa, kalsit dan adularia, serta mungkin
mengandung mineral bijih seperti pirit, arsenopirit, emas asli, argentit,
elektrum dan telurida. Mineral lain mungkin ada dalam berbagai jumlah
seperti: tetrahedrit, fluorit, barit, stibnite, realgar, rodokrosit, serta
sulfida base metal yang disebutkan di atas. Emas asli merupakan mineral
bijih yang paling penting diikuti oleh telurida, sedangkan mineral
kompleks Au lainnya dinilai kurang penting. Mineral sulfida, khususnya
pirit dan arsenopirit, mungkin mengandung sejumlah besar Au yang
cenderung meningkat ke permukaan. Dalam sistem epitermal open vein,
sebagian besar mineralisasi terbatas pada urat mayor, dengan stockwork
tingkat rendah dan zona diseminasi. Zona diseminasi umumnya
ditemukan di sektor bagian atas sistem, atau di mana terdapat perubahan
besar pada sifat urat. Ore shoot jarang mengisi seluruh struktur urat dan
biasanya membentuk zona terisolasi di dalam urat (Buchanan, 1981)
dalam Pirajno (2009).
75
Gambar 4.6 Macam-macam model epitermal; (A) jenis mata
air panas (hot spring); (B) jenis open vein dengan
dua tingkat mineralisasi; (C) model pengendapan
jenis mata air panas (hot spring) yang bergradasi
ke bawah menjadi jenis open vein. Model A dan
B Menurut Berger dan Eimon (1982), Model C
Menurut Buchanan (1981) Modifikasi oleh
Pirajno (2009).
4.6 Hasil
76
singkapan batuan. Kemudian data tersebut dibuat peta sebaran zona mineralisai
berdasarkan pengelompokan mineral ubahan yang terdapat pada masing-masing
lokasi pengamatan. Dasar pengelompoanya dapat dilihat pada tabel 4.2.
Selain itu dari data analisa laboratorium juga di peroleh data mineral bijih
jika pada sampel batuan yang diamati terdapat mineral bijih dimana pada dasarnya
zona mineralisasi merupakan proses pembentukan mineral atau pengisian batuan
mengandung endapan yang bersifat ekonomis.
77