Anda di halaman 1dari 26

BAB IV

STUDI KHUSUS

4.1 Latar Belakang

Hampir semua pulau yang ada di Indonesia terpengaruh oleh Zona


Subduksi. Salah satu pulau yang terpengaruh oleh adanya Zona Subduksi adalah
Pulau Jawa. Zona Subduksi yang dekat dengan Pulau Jawa yaitu berada pada
bagian selatan pulau tersebut yang membentang dari barat ke timur. Zona
Subduksi ini mempengaruhi adanya aktivitas vulkanisme dan magmatisme di
Pulau Jawa. Aktivitas dari magmatisme sangat berkaitan dengan zona alterasi dan
endapan hidrotermal yang membentuk suatu mineral bijih.

Pada umumnya intrusi batuan selalu diikuti oleh adanya injeksi larutan
sisa yaitu larutan hidrotermal. Alterasi terjadi apabila larutan hidrotermal
berdifusi, mengisi dan mempengaruhi rekahan – rekahan dinding batuan. Suatu
gejala mineralisasi ditandai oleh hadirnya mineral ubahan tertentu diakibatkan
oleh aktivitas hidrotermal. Hidrotermal merupakan residu dari magma akhir
berupa larutan dengan temperatur tertentu. (Bateman, 1981).

Fokus dari studi adalah memetakan sebaran minerali alterasi pada daerah
penelitian terutama pada Tma dan satuan batuan di sekitarnya. karena
diperkirakan terdapat sebaran zona alterasi dan mineralisasi pada satuan batuan
tersebut dan terdapat pola struktur yang bervariasi pada daerah penlitian.
Penelitian ini dilakukan berdasarkan sebaran zona mineralisasi ,sifat fisik serta uji
lab.

4.2 Rumusan Masalah


a. Jenis alterasi dan mineralisasi di daerah penelitian ?.
b. Sebaran daerah alteasi dan mineralisasi di daerah penelitian ?.
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses alterasi dan mineralisasi di
daerah penelitian ?.
d. Potensi pada daerah penelitian ?.
e. Keterdapatan mineral bijih pada daerah penelitian ?.

52
4.3 Daerah Penelitian

Penelitian dilakukan di daerah Cirinten dan sekitarnya Kabupaten Lebak


Provinsi Banten.

Gambar 4.1 peta kerja daerah penelitian.

4.4 Metode Penelitian

Studi Literatur Pengambilan Data Lapangan

Analisa
Laboratorium

Analisa Mineralgrafi Analisa Petrografi Analisa XRD

Peta Sebaran Zona Alterasi


Dan Mineralisasi

53
Gambar 4.2 Flowchart Tahap Penyelesaian Tugas Akhir Studi Khusus

Tahap Analisa data dilakukan untuk mengetahui sebaran dan kandungan


mineralisasi pada daerah penelitian dilakukan pemerian pada objek geologi yang
diambil secara detail. Pemerian data tersebut untuk mengidentifikasi tekstur,
struktur, dan komposisi mineral penyusun batuan serta untuk menentukan jenis
mineral ubahannya dan kandungan mineral bijihnya. Tahap analisa data yang
perlu dilakukan diantaranya:

4.4.1. Analisa Struktur Geologi

Analisa Struktur Geologi merupakan suatu kegiatan yang bertujuan


untuk mengetahui pergerakan, arah tegasan, serta pemerian nama dari suatu
struktur geologi yang mendeformasi suatu batuan. Analisis struktur geologi
ini dilakukan dengan menggunakan teknik stereografis. Teknik stereografis
menggunakan teknik proyeksi setengah bola.

Proyeksi setengah bola merupakan metode grafis dimana data yang


menampakkan bentuk tiga dimensi dari bidang planar dan linier serta
disajikan dan dianalisis dalam bentuk dua dimensi pada suatu lemabaran
kertas. Teknik stereografis banyak digunakan dalam studi mekanika batuan
untuk menganalisis diskontinuitas bidang planar batuan, seperti fracture.
sesar, fissure dan bidang perlapisan yang terdapat pada berbagai orientasi
dalam massa batuan (Priest, 1985).

4.4.2. Analisa Petrografi.

Analisis Petrografi merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi


tekstur batuan, struktur batuan, dan komposisi mineral batuan. Batuan yang
akan dianalisa terlebih dahulu harus dibuat sayatan tipis (thin section)
dengan ketebalan ≤0,03 mm untuk dapat diamati dibawah mikroskop
polarisasi refraksi. Pada contoh batuan yang sudah teralterasi (altered
rocks), analisis petrografi lebih digunakan untuk memberikan gambaran
litologi primer dan intensitas ubahan batuan, serta himpunan mineral
sekunder/ubahan sebagai dasar untuk menentuan jenis ubahan batuan.

54
4.4.3. Analisa Mineragrafi

Analisa Mineragrafi merupakan suatu analisa yang bertujuan untuk


mendeskripsi tekstur dan kumpulan mineral bijih (ore minerals) dengan
menggunakan media mikroskop refleksi. Menurut Lawrence L.J. (1981)
Analisis Mineragrafi juga digunakan untuk menilai urutan pengendapan
mineral bijih, kejadian periode deformasi bijih, derajat oksidasi, suhu relatif
pembentukan bijih, dan analisis bentuk dan ukuran mineral penyusun.
Analisa Mineragrafi dapat dilakukan pada batuan samping maupun urat
kuarsa yang mengandung mineral opak (sulfida/oksida).

Dalam analisis mineragrafi conto batuan perlu dibuat preparat yang


sesuai agar analisis dapat dilaksanakan mendekati sempurna. Preparat yang
digunakan dalam analisis mineragrafi adalah sayatan poles. Sayatan poles
adalah conto batuan yang diratakan salah satu permukaannya atau lebih,
kemudian dibuat cetakan dengan menggunakan Transoptic Powder
(Salaamah dkk., 2014).

4.4.4. Analisa XRD.

XRD (X-Ray Diffraction) merupakan salah satu metode analisis yang


efektif dalam mendeskripsikan batuan dan suatu senyawa kimia tertentu
dalam wujud padat dengan menggunakan difraksi/pantulan sinar X. Sinar X
merupakan radias elektromagnetik yang dihasilkan oleh deselerasi partikel
dengan kecepatan tinggi secara tiba-tiba (Moore dan Reynold, 1997).
Analisis mineralogi dengan XRD mempunyai keunggulan dibandingkan
analisis petrografi karena dapat mengidentifikasi dengan jelas mengenai
jenis mineral lempung (clay) serta menentukan kandungan mineral lempung
tersebut (Wicaksono dkk., 2017; Renpu, 2011). Teknik preparasi sampel
XRD didasarkan pada jenis analisisnya dan tujuan mineral apayang
diharapkan muncul dalam grafik XRD, yaitu mineral primer atau mineral
sekunder.

55
Mineral primer dilakukan dengan analisis bulk powder, sedangkan
mineral sekunder (clay) biasanya dilakukan dengan analisis oriented clay
mineral aggregates. Analisis bulk powder dilakukan terutama untuk
mengetahui keberadaan mineral primer di dalam batuan ataupun mendeteksi
suatu senyawa tertentu di dalam sampel padatan. Walaupun mineral
lempung juga sering muncul dalam analisis ini dikarenakan sifat analisisnya
random/acak.

Preparasi bulk powder ini dilakukan pada sampel dalam kondisi harus
kering. Analisis oriented clay mineral aggregates dilakukan terutama untuk
mengetahui keberadaan mineral sekunder di dalam batuan ataupun
mendeteksi suatu jenis mineral lempung/clay di dalam suatu sampel
padatan. Preparasi sampel dengan oriented clay mineral aggregates yang
dilakukan meliputi tahapan: air-dried clay (AD), solvating dengan
menggunakan Ethylene Glycol (EG) dan pemanasan pada suhu 550°C
selama 1 jam (Wicaksono dkk., 2017).

4.5. Tahap Analisis dan Interpretasi Data

4.5.1 Faktor Pengontrol Alterasi dan Mineralisasi Hidrotermal.

Beberapa faktor dapat mempengaruhi pembentukan mineral alterasi


pada sistem hidrotermal. Menurut Browne (1978), faktor-faktor tersebut
dikelompokkan menjadi tujuh yaitu:

1. Suhu

Peningkatan suhu mendukung stabilitas jenis mineral yang


semakin mengalami dehidrasi. Hal tersebut khususnya terlihat dalam
mineralogi silikat clay / sheet di mana suhu semakin tinggi menghasilkan
pembentukan sequence mineral: smektit -> interlayer smektit-ilit
(dengan kandungan smektit yang secara bertahap menurun) -> ilit ->
mika putih. Demikian juga, zeolit yang menjadi lebih terhidrasi dalam
kondisi yang lebih panas, seperti yang diilustrasikan oleh sequence

56
klinoptilolit -> mordenit -> stilbite -> laumontit -> wairakit. Suhu juga
mempengaruhi tingkat susunan atau kristalinitas mineral. Suhu yang
lebih tinggi mendukung pembentukan lebih banyak kristal mineral.
Kaolinit dan halloysit yang berbentuk tidak teratur, misalnya, terbentuk
dalam kondisi ambien. Akan tetapi, kaolinit yang berbentuk lebih teratur
terbentuk di bawah suhu hidrotermal yang lebih tinggi. Dickit berkristal
baik berkembang pada kondisi yang lebih panas.

2. Kimia fluida

Dapat dilihat dari diagram aktivitas bahwa komposisi fluida juga


memiliki pengaruh yang kuat terhadap mineralogi alterasi. Akan tetapi,
suhu memiliki pengaruh yang nyata pada posisi batas fasa pada suatu
mineral. Perbandingan unsur-unsur aNa + / aH +, aK + / aH + di nilai
lebih penting dibandingkan konsentrasi mutlak. Misalnya, dalam sistem
hidrotermal aktif, air garam bersalinitas tinggi pada lapangan geotermal
Salton Sea (sekitar 250.000 ppm total padatan terlarut). Lapangan
tersebut menghasilkan himpunan alterasi yang sama dengan sebagian
besar rentang suhu pada fluida yang sangat encer (sekitar 3.000 ppm
total padatan terlarut) di Selandia Baru, dan beberapa lapangan
geotermal Islandia (Weissberg dkk., 1979).

3. Konsentrasi

Komponen konsentrasi mutlak dalam fluida hidrotermal memiliki


pengaruh terhadap sifat mineral alterasi yang dihasilkan. Hal tersebut
mempengaruhi derajat kejenuhan fluida terhadap mineral tertentu.
Misalnya, sulfur, sulfida, dan/atau sulfat berasosiasi dengan solfatara.
Contoh lainnya seperti lepidolit yang ditemukan di lapangan geotermal
Yellowstone di mana fluida memiliki konsentrasi litium yang tinggi
(Browne, 1978).

4. Komposisi host rock

Komposisi host rock sampai batas tertentu mengontrol himpunan


mineral alterasi. Mineralogi skarn terbentuk dalam host rock karbonat.

57
Mineral Adularia yang merupakan mineral sekunder K-feldspar lebih
sering dijumpai pada host dan/atau source rock kaya kalium (misalnya
riolit atau shoshonit). Paragonit (Na-mika) dalam kondisi tertentu
terbentuk sebagai produk alterasi albit, sedangkan muskovit terbentuk
dari K-feldspar yang teralterasi.

5. Reaksi kinetik

Kinetik atau laju alterasi/ laju pengendapan mineral umumnya


sangat mempengaruhi kristalinitas mineral dibandingkan jenis mineral
yang terbentuk. Silika amorf dapat terbentuk pada suhu yang cukup
tinggi di mana fluida jenuh silika lebih cepat membeku (contohnya,
geothermal surface pipework). Kuarsa berkristal kasar terbentuk pada
suhu yang sama tetapi dalam kondisi statis, yang memungkinkan
pertumbuhan kristalnya lambat.

6. Durasi atau derajat kesetimbangan.

Durasi sistem hidrotermal atau periode di mana permeabilitas tetap


terbuka dapat menentukan apakah kesetimbangan telah terbentuk antara
fluida yang bersirkulasi dengan host rock yang dilaluinya. Mineral dapat
terbentuk dalam kondisi metastabil jika kesetimbangan belum tercapai.

7. Permeabilitas

Permeabilitas biasanya berupa sistem rekahan dilasional dan secara


lokal berupa litologi permeabel menyebabkan host rock berhubungan
dengan fluida hidrotermal. Alterasi filik dan argilik umumnya ditemukan
berdekatan dengan struktur utama atau sistem urat di mana cairan berada
pada pH kurang dari netral. Alterasi propilitik biasanya dijumpai pada
host rock dengan kondisi permeabilitas yang menurun jauh dari channel
way fluida utama.

4.5.2. Kontrol Suhu dan pH pada Mineralogi Alterasi


Suhu dan pH fluida merupakan faktor paling penting dari banyak
faktor yang mempengaruhi mineralogi sistem hidrotermal. Di bawah

58
keadaan jenuh, panas, hidrostatik, tekanan secara langsung berhubungan
dengan suhu (Browne, 1978). Tekanan gas dan perbandingan of konsentrasi
unsur dicerminkan pada pH fluida (Henley dkk., 1984). Variabel lain
(dengan pengecualian lokal mungkin seperti komposisi host rock dan
komposisi mutlak fluida) hanya memiliki pengaruh yang kecil pada
mineralogi alterasi. Kisaran stabilitas untuk mineral-mineral hidrotermal
yang biasa ditemui pada Pacific rim active geothermal dan sistem bijih
hidrotermal, diplot berkaitan dengan suhu dan pH fluida pada Gambar 4.3.
Gambar tersebut dihasilkan dari suatu kompilasi data pada sistem
geothermal di Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Islandia, dan Selandia
Baru, serta kombinasi dengan pekerjaan eksperimen termodinamika dan
laboratorium pada fase mineral yang berbeda. Konsentrasi unsur fluida dan
perbandingan, serta tekanan-tekanan (tekanan parsial gas-gas, hidrostatik
dan tekanan litologis) konstan pada Gambar 4.3. Suhu mutlak dan nilai pH
tidak ditunjukkan pada Gambar 4.3 karena pengaruh dari faktor-faktor lain
yang dapat berada di posisi batas antara fase mineral. Selain itu, lebih
penting dalam eksplorasi mineral untuk menentukan, dari pemetaan alterasi,
secara relatif, dibandingkan dengan perubahan mutlak, pada kondisi fluida.
Penjelasan berikut memasukkan perkiraan suhu dan rentang pH untuk
sebagian besar fase mineral tersebut. Kelompok mineral yang berbeda
dicirikan oleh peningkatan pH pembentuk pada Gambar 4.3 seperti:

1. Kelompok mineral Silika

Mineral silika merupakan satu-satunya mineral alterasi stabil


yang dalam jumlah banyak terdapat pada pH fluida yang sangat rendah
(umumnya di bawah pH 2, Stoffregen, 1987), di mana mereka biasanya
berhubungan dengan sejumlah kecil fase titanium-besi seperti rutil. Di
bawah kondisi yang sangat asam ini, silika opaline , kristobalit, dan
tridymit ditemukan di dalam lingkungan permukaan di atas sistem
hidrotermal klorida bagian atas, biasanya pada suhu <100oC (Leach
dkk., 1985). Kuarsa adalah mineral silika utama pada suhu tinggi. Pada
Gambar 4.3, kuarsa atau silika (kristobalit, tridimit atau silika amorf)

59
telah dimasukkan ke dalam semua himpunan mineral karena fluida
hidrotermal (dalam sistem geotermal aktif) kebanyakan jenuh dengan
SiO2 (Henley dkk., 1984). Pada kondisi pH fluida yang lebih tinggi,
silika amorf ditemukan pada suhu <100oC. Kuarsa hampir terdapat pada
suhu yang lebih tinggi, sedangkan kalsedon secara lokal terdapat pada
suhu menengah (umumnya dalam kisaran 100-200oC), terutama dalam
kondisi pengendapan cepat. Jenis fasa silika juga dipengaruhi oleh
kinetika pengendapan. Misalnya, silika amorf dapat terbentuk pada suhu
hingga 200oC di lingkungan yang cepat padam (misalnya, skala pada
geothermal surface pipeworks; Brown, 1986).

2. Kelompok Mineral Alunit

Pada pH fluida kurang lebih 2, alunit terbentuk bersamaan dengan


mineral silika pada rentang suhu yang luas (Stoffregen, 1987).
Keterdapatannya berasosiasi dengan andalusit pada suhu tinggi
(khususnya >350-400oC; Sverjensky dkk., 1991) dan dengan korundum
pada suhu yang lebih tinggi (>400-450oC; Hemley dkk., 1980). Empat
lingkungan pembentukan alunit telah diidentifikasi oleh Rye dkk (1992)
menggunakan data isotop sulfur dan oksigen. Kondisi pembentukan
alunit pada lingkungan tersebut dapat diketahui dari bentuk kristal,
tatanan geologi, dan paragenesis mineral.

a. Alunit steam-heated terentuk pada lingkungan bawah permukaan


melalui oksidasi fluida asam sulfat dari gas H 2S yang berevolusi
pada suatu kedalaman sistem boiling hidrotermal. Alunit yang
terendapkan pada kondisi steam-heated memiliki pH air yang
rendah dan biasanya muncul sebagai kristal pseudokubik berbutir
sangat halus.
b. Alunit supergen terbentuk dari produksi asam sulfat oleh pelapukan
endapan sulfida masif. Alunit supergen juga menunjukkan
kenampakan kristal pseudoacicular yang sangat halus dan bentuk
kristal yang buruk.

60
c. Alunit magmatik berasal dari fluida yang didominasi oleh pengaruh
magmatik dan memiliki bentuk kristal yang baik. Alunit magmatik
biasanya memiliki kristal berbutir kasar, berbentuk tabular-bilah,
dan mengisi rekahan semen breksi. Alunit magmatik diendapankan
pada fenokris pseudomorph vugy yang terleaching atau klasik litik.
Alunit tersebut terbentuk pada suhu yang lebih tinggi, di mana alunit
intergrown dengan muskovit dan/atau andalusit berkristal baik.
Alunit magmatik juga dapat terdapat sebagai kristal besar tidak
beraturan yang secara poikilis menutupi kuarsa dan mineral lainnya,
atau sebagai kristal pseudorhombic euhedral.
d. Alunit urat magmatik / alunit breksi terbentuk pada urat dan breksi.
Alunit ini dapat disimpulkan telah terendapkan secara langsung dari
fluida kaya volatil yang naik dari proses mengkristalnya lelehan
(Rye dkk., 1992). Pada lingkungan ini alunit dapat berbentuk kristal
prismatik yang radial.

3. Kelompok Mineral Kaolin

Kelompok mineral kaolin (Gambar. 4.3) dihasilkan dari fluida


dengan pH cukup rendah (kira-kira pH 4; Reyes, 1990b dalam Corbett
dan Leach, 1997). Mineral kaolin berdampingan dengan kelompok
mineral alunit pada kondisi pH fluida transisi antara 3-4 (Stoffregen,
1987). Halloysit terbentuk sebagai produk pelapukan supergen,
meskipun terdapat beberapa bukti (Harvey dan Browne, 1991) bahwa
halloysite terbentuk pada kondisi hidrotermal bersuhu sangat rendah.
Zonasi kelompok mineral hidrotermal kaolin terhadap peningkatan
kedalaman dan suhu telah diidentifikasi pada sistem geotermal di
Filipina oleh Reyes (1990b) dalam Corbett dan Leach (1997), dan Leach
dkk (1985). Kaolinit terbentuk pada kedalaman dangkal dan pada suhu
rendah (<150-200oC). Pirofilit terbentuk pada kedalaman kerak yang
lebih dalam dengan suhu yang lebih tinggi (<200-250oC). Dickit
terbentuk pada tatanan transisi antara dua tingkat kerak dan kisaran suhu
tersebut.

61
Diaspor dijumpai secara lokal dengan mineral alunit dan/atau
kelompok mineral kaolinit. Diaspor biasanya terdapat pada zona
silisifikasi intens, di mana diaspor tersebut terbentuk dengan mengurai
pirofilit melalui reaksi:

Kuarsa + Diaspor <--> Pirofilit (Hemley dkk., 1980).

1. Kelompok Mineral Ilit

Kelompok mineral ilit mendominasi saat fluida berada pada pH


berkisar 4-6 (Gambar 4.3). Kelompok mineral ilit berdampingan
dengan mineral kelompok kaolin pada pH fluida 4-5, tergantung pada
suhu dan salinitas fluida (Hemley dkk., 1980). Hubungan antara
kedalaman dengan suhu dari mineral kelompok ilit dibuktikan
kebenarannya baik dari cekungan sedimen hingga sistem geotermal
aktif (Harvey dan Browne, 1991). Smektit terbentuk pada suhu rendah
(<100-150oC), smektit-ilit membentuk interlayer pada suhu sekitar 100-
200oC, illit pada suhu sekitar 200-250oC, dan muskovit pada suhu>
250oC. Serisit merupakan muskovit berbutir halus yang mungkin
mengandung ilit serta dijumpai pada tingkat transisi antara muskovit
berkristalin kasar dengan ilit.

Kandungan smektit dalam lempung smektit-ilit berbentuk


interlayer semakin menurun dengan meningkatnya suhu selama rentang
100-200oC (Harvey dan Browne, 1991). Kristalinitas ilit dan serisit
meningkat terhadap peningkatan suhu, dan dapat diamati dengan
analisis XRD dari lebar puncak, pada setengah tinggi puncak, dari
refleksi {001}, (yaitu, Indeks Kubler; Dunoyer de Segonzac, 1968).
Perubahan kristalinitas muskovit juga dapat diamati dengan analisis
XRD. Dengan meningkatnya suhu, ada perubahan progresif dari mika
1M yang tidak teratur menjadi muskovit 2M yang memiliki kristal
baik. Meskipun muskovit merupakan mineral mika umum yang ada
dalam sistem hidrotermal tembaga-emas, paragonit fase mineral
natrium dijumpai pada beberapa sistem di mana host rock memiliki
rasio Na: K yang tinggi (misalnya albit sebagai mineral plagioklas).

62
Vanadium mika (roskoelit), dan kromium mika (fuchsit), juga secara
lokal dijumpai dan diendapkan dari fluida yang bersumber dari migrasi
melalui batuan vulkanik mafik / intrusi.

2. Kelompok Mineral Klorit

Pada kondisi pH agak asam hingga mendekati netral, mineral


kloritkarbonat (Gambar. 4.3) menjadi dominan, berdampingan dengan
kelompok mineral ilit pada lingkungan di mana pH fluida berkisar 5-6
(Leach dan Muchemi, 1987). Mineral klorit-smektit mementuk
interlayered pada suhu rendah, dan gradasi menjadi klorit pada suhu
yang lebih tinggi (Kristmannsdotter, 1984 dalam Corbett dan Leach,
1997). Pada sistem geotermal aktif, transisi ini terjadi pada suhu yang
jauh lebih rendah di lingkungan rifting (misalnya Islandia,
Kristmannsdotter, 1984 dalam Corbett dan Leach, 1997) daripada di
daerah pulau vulkanik (misalnya, Filipina, Reyes, 1990a), serta
mungkin mencerminkan reaksi terhadap fluida atau kimia dari host
rock.

3. Kelompok Mineral Kalk-silikat

Kelompok mineral kalk-silikat (Gambar. 4.3) terbentuk pada


kondisi pH netral hingga basa. Mineral karbonat zeolit-klorit terbentuk
dalam kondisi dingin. Epidot diikuti oleh mineral amfibol sekunder
(terutama aktinolit) yang secara progresif berkembang pada suhu yang
lebih tinggi. Mineral zeolit sangat sensitif terhadap suhu. Zeolit hidros
(natrolit, chabazit, mesolit, mordenit, stilbit, heulandit) mendominasi
dalam kondisi suhu dingin (<150-200oC). Zeolit hidrasi rendah seperti
laumontit (150-200oC) dan wairakit (200-300oC) terbentuk secara
progresif pada kedalaman yang lebih dalam serta dengan suhu yang
lebih panas pada sistem hidrotermal (Steiner, 1977 dalam Corbett dan
Leach, 1997). Dalam beberapa sistem, prehnit dan / atau pumpelit
ditemukan pada suhu sekitar 250-300oC (Elders dkk., 1979) berasosiasi
dengan, atau sebagai pengganti mineral epidot.

63
Epidot terdapat sebagai incipient grain dalam fase kristal yang
buruk pada suhu sekitar 180-220oC, dan fase kristal yang baik pada
suhu >220-250oC (Reyes, 1990b dalam Corbett dan Leach, 1997).
Mineral amfibol sekunder (terutama aktinolit) tampak stabil dalam
sistem hidrotermal aktif pada suhu> 280-300oC (Browne, 1978). Biotit
dominan di bagian dalam atau berbatasan langsung dengan intrusi
porfiri. Dalam sistem geotermal aktif, biotit sekunder berkemang pada
suhu> 300-325oC (Elders dkk., 1979). Lingkungan porfiri aktif
dicirikan oleh himpunan klinopiroksen (> 300oC) dan garnet (>
325350oC) (Elders dkk., 1979).

4. Mineral-Mineral Lain

a. Mineral karbonat ditemukan pada berbagai macam pH dan suhu,


serta berasosiasi dengan mineral kaolin, ilit, klorit, dan kalk-silikat.
Zonasi pada jenis mineral karbonat dengan peningkatan pH fluida
ditemukan di banyak sistem hidrotermal (Leach dan Corbett, 1993,
1994, 1995). Mineral Karbonat Fe-Mn (siderit-rodokrosit)
berdampingan dengan mineral kaolin dan lempung ilitik,
sedangkan mineral karbonat campuran Ca-Mn-Mg-Fe (rodokrosit-
ankerit-kutnahorit-dolomit) berdampingan dengan lempung ilitik
dan kloritik, dan mineral karbonat Ca-Mg (dolomit- kalsit)
berdampingan dengan mineralogi klorit-kalksilikat. Zonasi ini
diintepretasi merupakan cerminan penurunan mobilitas Fe, Mn dan
Mg pada pH fluida yang semakin meningkat (Leach dkk., 1985).
Mineral karbonat biasanya meluas pada semua tingkat di dalam
sistem hidrotermal, dari permukaan hingga lingkungan skarn yang
berhubungan dengan porfiri.
b. Mineral feldspar berasosiasi dengan fase mineral klorit dan kalk-
silikat. Mineral feldspar sekunder umumnya stabil di bawah
kondisi pH yang mendekati netral hingga basa. Albit terbentuk
ketika fluida memiliki rasio aNa + / aK + yang tinggi dan kalium
feldspar dengan rasio aNa + / aK + yang rendah (Browne, 1978).

64
Adularia terbentuk sebagai jenis kalium feldspar sekunder bersuhu
rendah, sedangkan ortoklas ditemukan pada suhu tinggi di dalam
lingkungan porfiri. Browne (1978) membuktikan bahwa adularia
lebih sering terbentuk dalam kondisi permeabel beraliran fluida
tinggi, dan albit terentuk pada kondisi permeabilitas rendah.
c. Mineral sulfat ditemukan pada sebagian besar keseluruhan rentang
suhu dan pH di dalam sistem hidrotermal. Sebagai contoh seperti
mineral jarosit yang umumnya terbentuk sebagai produk pelapukan
sulfida. Mineral jarosit juga terbentuk pada tingkat yang dangkal di
lingkungan asam pada beberapa sistem geotermal aktif di Filipina
(Leach dkk., 1985).
d. Berbagai fase mineral hidrotermal mengandung unsur halogen
(misalnya, boron dalam turmalin; dan fluor, klorin dan fosfor
dalam apatit), yang dapat disimpulkan untuk menunjukkan bahwa
fluida mengandung komponen volatil magmatik yang signifikan.
Fase ini biasanya terkait dengan serisit / mika yang terbentuk pada
suhu tinggi di bawah kondisi pH yang cukup rendah.

4.5.3. Asosiasi Zona Alterasi dengan Sistem Bijih

Meskipun dianggap lebih baik untuk menggunakan himpunan


mineral alterasi itu sendiri untuk menentukan ragam alterasi, klasifikasi
jenis alterasi secara luas dapat bermanfaat untuk mengambarkan
karakteristik keseluruhan sistem alterasi yang dikategorikan. Jenis alterasi
pada sebagian besar batuan alumino-silikat telah diklasifikasikan oleh
Meyer dan Hemley (1967) dalam Corbett dan Leach, 1997 seperti: jenis
propilitik, intermediate argilik, advance argilik, serisitik, dan potasik. Jenis
alterasi serisitik sama dengan alterasi filik menurut Lowell dan Guilbert
(1970). Istilah argilik, yang sekarang biasa digunakan, merupakan sinonim
dengan intermediate argilik. Himpunan mineral dari lima jenis zona alterasi
tersebut ditampilkan pada Gambar 4.3 dan dapat diringkas sebagai berikut:

1. Alterasi Advanced Argilik meliputi bentuk mineral yang terbentuk pada


kondisi pH rendah (<4) (yaitu, kelompok mineral silika dan alunit)

65
selain itu himpunan yang mengandung kelompok mineral alunit and
kaolinit. Menurut Meyer dan Hemley (1967) dalam Corbett dan Leach,
1997 kelompok kaolin bersuhu tinggi (yaitu, dickit dan pirofilit tanpa
kelompok mineral alunit) pada alterasi advanced argillik, dan ketentuan
tersebut telah diikuti pada Gambar 4.3.
2. Alterasi Argilik (intermediate argillic), himpunan mineralnya tersusun
atas mineral yang terbentuk pada suhu relatif rendah (>200-250oC) dan
pH fluida cukup rendah (sekitar 4-5). Jenis alterasi di dominasi
himpunan mineral kaolinit dan smektit. Oleh karena itu, pada Gambar
4.2, kelompok mineral kaolin bersuhu rendah lainnya (halloysit) and illit
(interlayered illit-smektit, illit), yang mana tidak dimasukkan pada zona
filik/serisitik, ditempatkan di dalam jenis alterasi argilik. Himpunan
alterasi argilik dapat juga mengandung kelompok mineral klorit yang
merupakan anggota kelompok mineral illit.
3. Alterasi Filik terbentuk pada kisaran pH yang hampir sama dengan
mineral alterasi argilik, tetapi memiliki suhu yang lebih tinggi (>200-
250oC), dan dicirikan oleh kehadiran mineral serisit (atau muskovit).
Zona filik juga dapat memasukkan anggota mineral kaolin yang bersuhu
lebih tinggi (pirofilitandalusit) dan kelompok mineral klorit yang mana
merupakan anggota dari serisit/muskovit.
4. Alterasi Propilitik terbentuk dibawah keadaan mendekati netral hingga
basa yang dicirikan oleh kehadiran mineral epidot dan/atau klorit (Meyer
dan Hemley, 1967 dalam Corbett dan Leach, 1997). Pada suhu relatif
rendah (<200-250oC), dimana himpunan alterasi didominasi oleh zeolit
yang menggantikan epidot, istilah sub-propilitik dapat diterapkan.
Keterdapatan mineral amfibol sekunder (umumnya aktinolit) pada suhu
tinggi (>280300oC) dapat digunakan untuk mencirikan suatu zona
alterasi an innerpropilitik. Mineral albit sekunder dan/atau K-feldspar
biasanya ditemui pada himpunan alterasi propilitik.
5. Alterasi Potasik terbentuk pada suhu tinggi, di bawah kondisi netral
hingga basa dan dicirikan oleh mineral biotit dan/atau K-feldspar +
magnetit + aktinolit + klinopiroksen. Dimana host rock adalah batuan

66
sedimen karbonatan, mineralogy skarn terbentuk di bawah kondisi yang
hampir sama, serta terdiri atas zona mineral kalk-silikat seperti Ca-
garnet, klinopiroksen, and tremolit

Gambar 4.3 Mineralogi Alterasi pada sistem Hidrotermal (Corbet dan


Leach, 1997)

4.5.4. Sistem Mineralisasi Epitermal

67
Lindgren (1933) mengemukakan suatu istilah “Sistem fosil
geotermal” atau biasa dikenal sebagai sistem epitermal. Berikut akan
didefinisikan mengenai sistem epitermal dan asosiasi endapan bijihnya
yang terbentuk pada suhu rendah hingga sedang (antara 50 -300oC) dan
tekanan (<500 bar atau pada kedalaman setara <1–1, 5 km). Selain itu, akan
dijelaskan juga sistem hidrotermal yang dominan meteorik (tetapi juga
mengandung HCl, CO2 dan H2S, dari turunan magmatik), dan fluida dengan
salinitas rendah (<1 hingga 5–15% berat ekuivalen NaCl).

Meskipun endapan epitermal sebagian besar memiliki host rock


vulkanik dan secara jelas berhubungan dengan aktivitas gunung berapi-
plutonik, namun terdapat kelompok endapan epitermal yang dihosting
batuan sedimen dan tampak tidak memiliki hubungan yang jelas dengan
aktivitas beku. Mineralisasi epitermal memiliki sejumlah ciri umum dan
khas, seperti adanya kuarsa kalsedonik berbutir halus, kalsit, pseudomorf
kuarsa setelah kalsit (indikasi boiling fluida), dan breksi hidrotermal.
Asosiasi unsur juga merupakan karakteristik, dengan unsur bijih seperti Au,
Ag, As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn dan Cu. Tekstur bijih meliputi open-space
filling (karakteristik lingkungan bertekanan rendah) seperti Crustiform,
Colloform banding, dan struktur Comb. Endapan epitermal terbentuk dari
permukaan hingga sekitar 1,5 km di bawah permukaan, dicirikan oleh urat,
stockwork, dan diseminasi. Ciri-ciri tersebut dapat terdapat secara bersama-
sama atau sebagai kesatuan tunggal. Endapan epitermal merupakan endapan
yang umumnya mudah ditambang sebagai operasi open cast atau operasi
tambang bawah tanah dangkal, dengan tonase yang relatif besar dan kadar
Au + Ag yang rendah, atau tonase kecil dan kadar Au + Ag yang tinggi.
Karena mineralisasi pada lingkungan permukaan dan dekat permukaan ini,
menghasilkan relief busur vulkanik yang tinggi dengan pengangkatan
tektonik yang berkelanjutan. Proses tersebut diikuti oleh erosi secara cepat,
potensi preservasi sistem epitermal pada catatan geologi kuno umumnya
buruk, meskipun ada pengecualian (lihat di bawah). Untuk alasan ini,
sistem epitermal yang paling terekspos dan dikenal berasal dari zaman
Kenozoikum dan berupa endapan porfiri. Endapan tersebut sangat

68
melimpah di sepanjang Lingkar Pasifik. Daftar lengkap endapan emas
epitermal di Pasifik barat daya disajikan oleh White dkk (1995). Endapan
porfiri-epitermal yang ditemukan dalam 30 tahun terakhir di kepulauan
Indonesia disajikan dalam koleksi paper menurut van Leeuwen dkk (1994).
Contoh endapan epitermal di Pegunungan Alpin-Himalaya dapat ditemukan
di Italia, Spanyol, Turki dan daerah Carpathian di Eropa. Selain itu, terdapat
juga endapan epitermal berusia Paleozoikum dan Mesozoikum ditemukan
pada sabuk Orogenik Asia Tengah (Pirajno, 2009).

Skema klasifikasi sistem epitermal sangat banyak, tetapi skema yang


lebih baru didasarkan pada mineral alterasi, oksidasi dan kondisi sulfidasi.
Tabel 4.1 memberikan daftar skema klasifikasi yang lebih baru dan
digunakan serta jenis-jenis mineral diagnostik terkait yang dapat
mendiagnosis sistem bijih epitermal.

Einaudi dkk. (2003) telah menarik perhatian pada terminologi ''


sulfidasi'', mengingat penggunaannya yang umum sebagai berbagai sinonim
(misalnya sulfida sulfur tinggi, sulfidasi, fugasitas sulfur, dan kondisi
sulfidasi). Mereka menekankan bahwa keadaan sulfidasi bukanlah fungsi
dari kandungan S dari mineral sulfida, tetapi dianggap sebagai 'keadaan
sulfidasi' di dalam kerangka acuan suhu dan fugasitas S2, seperti pada kasus
O2. Fugasitas sulfur (atau oksigen) suatu sistem pada suhu berapa pun
dibandingkan dengan reaksi pirhotit menjadi pirit dan magnetit menjadi
hematit, masing-masing sebagai berikut:

Pada dasarnya S dapat terbentuk dalam kondisi teroksidasi (SO 2–4,


pada suhu lebih tinggi) atau dalam keadaan tereduksi (H 2S, pada suhu lebih
rendah). Mineral sulfida dan sulfat diendapkan masing-masing dari S yang
tereduksi dan dari S yang teroksidasi. Oleh karena itu, kondisi sulfidasi
mengontrol pengendapan mineral bijih (Seedorff dkk., 2005). Hal tersebut

69
berarti fluida pembentuk bijih mengandung S dalam valensi atau bilangan
oksidasi yang lebih besar atau lebih kecil dari S 2 (n = 0, dengan SO2–4, n = 6
dan H2S, n = 2). Diagram fase yang menentukan keadaan sulfidasi fluida
hidrotermal ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dari diagram pada Gambar 4.4,
lima pita kondisi sulfidasi dapat didefinisikan dari sangat rendah hingga
sangat tinggi. Diagram tersebut juga menggambarkan kondisi transisi
kompleks dari lingkungan porfiri (500–350oC) ke lingkungan sulfidasi
tinggi dan rendah (<350oC).

Dua sistem epitermal, yaitu epitermal sulfidasi tinggi dan epitermal


sulfidasi rendah menunjukkan persamaan dan perbedaan. Terdapat hal
penting untuk membedakan keduanya agar dapat menilai secara akurat
potensi ekonomi dari suatu sistem bijih. Salah satu aspek terpenting dari
endapan epitermal adalah mineralogi alterasi dan zonasi alterasi.

70
Tabel 4.1 Evolusi skema klasifikasi sistem epitermal (setelah
dimodifikasi dari Simmons dkk., 2005 dan Sillitoe
dan Hedenquist 2003).

Gambar 4.4 Diagram fase Log f S2 versus suhu, menentukan kondisi


sulfidasi fluida hidrotermal dan evolusi serta jalur
pendinginan porfiri (500–350oC) --> urat base metal
(<350oC) --> Sistem epitermal sulfidasi rendah (LS) dan
epitermal sulfidasi tinggi (HS) (<300oC); perhatikan
bahwa HS memiliki himpunan mineral sulfidasi tinggi
yang awalnya kaya Cu, kemudian diikuti oleh himpunan
mineral sulfidasi menengah yang kaya Au. Keterangan: po
(pyrrhotite), lo (loellingite), aspy (arsenopirit), py (pirit),
cpy (kalkopirit), cv (kovelit), dg (digenit), HS (sulfidasi
tinggi), LS (sulfidasi rendah), BM (base metal). Diagram
ini mengikuti Einaudi dkk (2003) dan Barton (1970).

4.5.5. Sistem Epitermal Sulfidasi Rendah (LS)

Sistem ini umumnya dalam jumlah sedikit dan memiliki pH


mendekati netral. Lingkungan LS didominasi oleh air meteorik, meskipun
mungkin terdapat gas magmatik, terutama CO2, SO2, dan HCl. Boiling dapat

71
terjadi pada kedalaman yang dangkal dan menghasilkan uap kaya CO2 dan
H2S. Uap tersebut akhirnya dapat mengembun di dekat permukaan untuk
membentuk air asam sulfat steam-heated (sistem HS). Endapan LS dicirikan
oleh open space vein, breksi dan stockwork. Mineral bijih dan gangue
meliputi: pirit, arsenopirit, spalerit, galena, emas, elektrum, kuarsa,
kalsedon, kalsit, adularia, ilit, barit (lihat juga pada Tabel 4.1). Urat LS
umumnya menunjukkan tekstur berupa colloform, rekahan hidraulik, kalsit
atau kuarsa bertekstur latice bladed. Endapan LS umumnya miskin
kandungan Cu dan base metal lainnya.

Mineralisasi LS terbentuk pada fasies distal dari sumber panas


(magma) dan fluida memiliki suhu 200–300oC serta tekanan hidrostatis.
Terdapat sistem yang kaya Au dan kaya Ag. Masing-masing sistem tersebut
memiliki karakteristik fluida yang berbeda. Sistem kaya Au miskin base
metal dan dicirikan oleh fluida dengan salinitas rendah (setara 1–2% berat
NaCl), fluida kaya gas (terutama CO2 dan H2S), dan rasio Ag / Au berkisar
dari 1 hingga 10. Sistem kaya Ag Sebaliknya, memiliki fluida bersalinitas
tinggi (setara 10–15% berat NaCl), rasio Ag / Ag tinggi (100) dan karena
salinitas tinggi, mengandung asosiasi base metal. Model yang menunjukkan
sistem LS ditunjukkan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5. Model sistem epitermal sulfidasi rendah pada


tatanan kaldera, dengan fumarol, mata air
panas dan endapan sinter, di bawahnya

72
merupakan zona boiling fluida dengan
pengendapan logam mulia. Diambil dari MJ
Van Kranendonk dan modifikasi dari Henley
dan Ellis (1983).

4.5.6. Macam-macam Model Epitermal

Mineral bijih dan himpunan alterasi, litologi host rock dan asosiasinya
dengan batuan vulkanik membantu dalam menentukan jenis dan macam
mineralisasi epitermal. Dalam hal ini, model Buchanan (1981) dan Berger
dan Eimon (1982) dalam Pirajno (2009) dianggap penting karena
memberikan klasifikasi yang bisa diterapkan dan karakteristik umum
mengenai mineralisasi epitermal. Jenis epitermal dapat diklasifikasikan
menjadi jenis mata air panas (hot spring) dan jenis open vein. Jenisjenis
epitermal tersebut kemungkinan membentuk suatu kontinuitas dari endapan
kimia permukaan hingga deep vein dan fissure filling. Erosi memainkan
peran penting karena umumnya hanya beberapa urat yang terekspos. Urat-
Urat yang terkespos tersebut merupakan suatu gambaran sisa-sisa sistem
epitermal yang lebih luas. Sebagian besar pembahasan berikut berasal dari
sumber-sumber yang dikutip di atas.

1. Jenis Mata Air Panas (Hot spring)


Jenis epitermal mata air panas terbentuk di permukaan atau dekat
permukaan. Jenis epitermal ini dicirikan oleh lapisan penutup silika
(Sinter). Lapisan penutup silika ini mengalir ke bawah zona material
silisifikasi dan urat stockwork, serta zona breksi hidrotermal. Breksi
hidrotermal terbentuk sebagai hasil dari boiling atau erupsi hidrotermal.
Lapisan penutup silika biasanya merupakan breksi dan di beberapa
tempat terdapat kawah letusan atau maar. Maar tersebut berasosiasi
dengan jatuhan sedimen aprons. Gambar 3.4A menunjukkan
penampang melintang skematis dari endapan epitermal jenis mata air
panas. Asosiasi unsur dominan antara lain, Au – Ag – As – Sb – Hg – Tl

73
dengan sedikit Cu – Pb – Zn pada kedalaman yang lebih dalam.
Mineralisasi ini memiliki kadar yang rendah dan dalam bentuk
diseminasi serta stockwork pada bawah lapisan penutup silisifikasi.
Meskipun mineralisasi dapat mencapai kadar yang tinggi dalam sistem
breksi hidrotermal dan sistem urat yang sebagai akibat zona boiling.
Bagian atas lapisan penutup silika umumnya barren, tetapi terdapat
beberapa native sulfur, dan mineralisasi Au dan sinabar juga mungkin
dijumpai. Di bagian bawah zona silisifikasi merupakan alterasi
hidrotermal berjenis argilik. Au bebas terdapat dengan kuarsa dan
adularia di urat, stockworks dan diseminasi pada host rock permeabel.

Mineralisasi ini juga dicirikan oleh ukurannya yang berbutir halus


dan kandungan sulfida keseluruhan yang rendah. Oleh karena itu,
keterdapatan base metal jarang. Episode breksiasi penting dalam
endapan mata air panas karena dapat berhubungan dengan pembentukan
endapan logam mulia. Breksiasi eksplosif terbentuk di mana lapisan
penutup silika berperan sebagai lapisan penyekat (seal). Hal ini
memungkinkan fluida untuk mencapai tekanan yang cukup sehingga
memecahkan lapisan penutup. Kemudian hal itu diikuti oleh pelepasan
tekanan secara tiba-tiba yang menyebabkan fluida mengalami boiling.
Setelah itu, terjadi pengendapan mineral berikutnya dan terjadi kembali
penyekatan pada lapisan penutup, sehingga proses dapat dimulai lagi.
Karena alasan ini, sering kali sulit untuk mencoba menghitung jumlah
episode breksiasi yang telah terjadi pada endapan mata air panas (hot
spring).

2. Jenis Open vein dan Breksi


Semakin ke arah bawah dari endapan mata air panas (hot spring),
atau semakin menuju zona feeder, merupakan contoh endapan epitermal
jenis open vein. Jenis Open vein berbeda dari jenis mata air panas di
mana pengendapan mineral terjadi pada tingkat yang lebih dalam. Jenis
Open vein memiliki kandungan sulfida dan base metal yang lebih tinggi,
lebar urat yang besar, kadar yang lebih tinggi tetapi tonase yang lebih

74
rendah. Asosiasi unsur dominan adalah Au – Ag – As dengan jumlah Se,
Te, Cu, Pb dan Zn yang bervariasi. Gambar 4.6B mengilustrasikan
model sistem urat epitermal dengan dua tingkat mineralisasi. Gambar
4.6C menggambarkan gabungan endapan epitermal jenis urat mata air
panas dengan jenis Open vein. Secara umum urat dikategorikan secara
vertikal. Sebuah urat khas dapat terdiri atas dari batuan agat dan
lempung di dekat permukaan, yang mengalir ke arah bawah menjadi
kuarsa, kalsit, adularia dan logam mulia. Zona bijih logam mulia
memiliki interval vertikal terbatas, biasanya antara 100 dan 350 m.
Pada bagian dasar, kadar bijih menurun sementara kandungan
logam mulia tidak meningkat. Untuk mineral seperti galena, spalerit dan
terkadang kalkopirit dan/atau pirhotite menjadi fase mineral penting
pada suatu kedalaman. Kuarsa terus ada sementara kalsit terus berkurang
volumenya. Dalam sistem epitermal alkalik, urat di dalam zona logam
mulia biasanya terdiri atas kuarsa, kalsit dan adularia, serta mungkin
mengandung mineral bijih seperti pirit, arsenopirit, emas asli, argentit,
elektrum dan telurida. Mineral lain mungkin ada dalam berbagai jumlah
seperti: tetrahedrit, fluorit, barit, stibnite, realgar, rodokrosit, serta
sulfida base metal yang disebutkan di atas. Emas asli merupakan mineral
bijih yang paling penting diikuti oleh telurida, sedangkan mineral
kompleks Au lainnya dinilai kurang penting. Mineral sulfida, khususnya
pirit dan arsenopirit, mungkin mengandung sejumlah besar Au yang
cenderung meningkat ke permukaan. Dalam sistem epitermal open vein,
sebagian besar mineralisasi terbatas pada urat mayor, dengan stockwork
tingkat rendah dan zona diseminasi. Zona diseminasi umumnya
ditemukan di sektor bagian atas sistem, atau di mana terdapat perubahan
besar pada sifat urat. Ore shoot jarang mengisi seluruh struktur urat dan
biasanya membentuk zona terisolasi di dalam urat (Buchanan, 1981)
dalam Pirajno (2009).

75
Gambar 4.6 Macam-macam model epitermal; (A) jenis mata
air panas (hot spring); (B) jenis open vein dengan
dua tingkat mineralisasi; (C) model pengendapan
jenis mata air panas (hot spring) yang bergradasi
ke bawah menjadi jenis open vein. Model A dan
B Menurut Berger dan Eimon (1982), Model C
Menurut Buchanan (1981) Modifikasi oleh
Pirajno (2009).

4.6 Hasil

Hasil yang diperoleh setelah data diolah dan dianalisis di Labroratorium


adalah sebaran mineral ubahan pada masing – masing lokasi pengamatan

76
singkapan batuan. Kemudian data tersebut dibuat peta sebaran zona mineralisai
berdasarkan pengelompokan mineral ubahan yang terdapat pada masing-masing
lokasi pengamatan. Dasar pengelompoanya dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 key mineral of altertion zone


ALTERATION KEY MAP
CODE MINERAL ASSEMBLAGE
STYLE MINERAL (S) COLOUR
Epidote Chorite + illite, illite- Chlorite,
PROPYLITIC Prop smectite, carbonate anthydrite, clay, epidote Dark green
quartz, phyrite.
K-spar/albite, biotite+magnetite, k-spar, biotite
POTASSIC Pot Red
chrorite, anhydrite.
Sercite illite+quartz, adularia, sericite+illite
PHYLLIC/SERICITIC Phy Pale blue
smectite, anhydrite, phyrite.
Clay's : kaolinite, dickite, Kaolinite+pyrite
ARGILLIC Arg Tan
smectite+pyrite,gypsum.
PORPHYRY- Kaolinite-
RELATED Kaolinite, dickite, alunite, dickite, alunite,
Adarg Yellow
ADVANCED pyrophyllite, vuggy silica, pyrite, vuggy silica
ARGILLIC gypsum
SILICIFICATION Sil Quartz (>30%, Vol). Quartz Pink

Selain itu dari data analisa laboratorium juga di peroleh data mineral bijih
jika pada sampel batuan yang diamati terdapat mineral bijih dimana pada dasarnya
zona mineralisasi merupakan proses pembentukan mineral atau pengisian batuan
mengandung endapan yang bersifat ekonomis.

77

Anda mungkin juga menyukai