Anda di halaman 1dari 15

Tata Laksana Singultus/ Hiccups (Cegukan)

Disusun Guna Melengkapi Tugas

Praktik Kerja Profesi Apoteker UMS

Apotek Sondakan Surakarta Periode Januari 2020

Disusun oleh :

SELVI AKLAILIA ROSA

K11019R107

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2020
Tata Laksana Singultus/ Hiccups (Cegukan)

A. PENDAHULUAN
Singultus merupakan keadaan refleks yang melibatkan sistem saraf batang
otak, saraf vagus, dan frenikus. Refleks ini memicu kontraksi otot diafragma,
interkostalis, dan penutupan vocal cord (glotis) secara mendadak, sehingga timbul
suara khas. Singultus dapat terjadi karena stimulasi sistem saraf yang menyebabkan
distensi lambung (faktor mekanis), seperti proses metabolik, infeksi, psikologis, dan
neurologis. Singultus yang menetap atau persisten dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti dehidrasi, aritmia, kelelahan, dan depresi, sehingga memerlukan
evaluasi dan tatalaksana yang tepat. (Wiraputranto et al, 2016)
Singultus dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah cegukan. Singultus
adalah hal yang familiar, namun tidak banyak yang memahaminya. Singultus akut
dapat ditatalaksana dan dilakukan mavuner fisik / non farmakologi. Berbeda dari
singultus akut, singultus persisten dapat berlangsung berhari-hari hingga berbulan-
bulan dan terkadang sulit untuk diatasi. Serangan terpanjang tercatat, terjadi selama 6
dekade. Serangan berkepanjangan merupakan fenomena yang serius dan sering
menjadi dilema diagnosis yang berhubungan dengan morbiditas signifikan dan dapat
berakibat fatal. (Fox et al, 2015; Kumar et al, 2014)
Singultus terjadi akibat spasme involunter diafragma dan otot-otot interkostal
diikuti penutupan glotis secara cepat, sehingga memunculkan suara khas “hik”, suara
hik tersebut dapat muncul 4 hingga 60 kali dalam semenit. Secara umum, singultus
bersifat akut, dapat hilang sendiri dalam hitungan menit, dan tidak memerlukan
penanganan medis. Singultus dibagi berdasarkan durasinya. Singultus akut
berlangsung kurang dari 48 jam sedangkan singultus persisten merupakan singultus
selama 48 jam atau lebih, sementara intractable singultus merupakan singultus selama
1 bulan atau lebih. (Wiraputranto et al, 2016)
Insidensi dan prevalensi singultus persisten tidak diketahui. Namun studi
retrospektif menunjukkan dari 100.000 pasien yang ke rumah sakit daerah terdapat 55
pasien dengan diagnosis singultus.2 Singultus dapat terjadi pada semua kelompok
usia. Seiring pertambahan usia, singultus akut makin jarang, namun singultus
persisten atau intractable lebih banyak dijumpai pada kelompok usia dewasa. Insidens
singultus pada pria sama dengan wanita, namun singultus persisten lebih banyak
terjadi pada pria (80% kasus). (Fox et al, 2015; Kumar et al, 2014)
Apotek merupakan sarana dalam Compounding dan Dispensing sediaan obat,
diharapkan tenaga kefarmasian dapat ikut serta dalam penegakan dan pemberian
rekomendasi obat dalam tata laksana pengobatan singultus. Artikel ini dibuat untuk
tujuan menjelaskan dan memberikan tambahan informasi bagi tenaga kefarmasian di
apotek agar Compounding dan Dispensing pengobatan singultus dapat berjalan
dengan baik.
B. PATOFISIOLOGI SINGULTUS
Singultus terjadi secara spontan, merupakan hasil kontraksi mioklonik
diafragma dan otot-otot interkosta. Refleks singultus terdiri dari 3 komponen yaitu
jaras aferen, midbrain sebagai pusat refleks singultus, serta jaras eferen. Jaras aferen
terdiri dari nervus frenikus dan nervus vagus serta nervus simpatikus yang berasal dari
T6- T12. Pusat refleks singultus diperkirakan tidak hanya berpusat di medula
oblongata, melainkan melibatkan jaras saraf pusat lain yang terletak di antara batang
otak setinggi C3-C5. Jaras eferen terdiri dari jaras motorik yang berjalan sepanjang
nervus frenikus di diafragma sampai dengan nervus asesorius yang terletak di otot
interkostalis. Rangsangan pada jaras singultus akan menyebabkan aktivasi nervus
laringeal rekurens yang akan menstimulasi penutupan glotis sehingga menimbulkan
bunyi “hik”. Iritasi komponen refleks singultus menyebabkan terlepasnya
neurotransmiter dopamin dan gammaaminobutyric acid (GABA). Iritasi salah satu
atau lebih komponen refleks singultus baik oleh keganasan, infeksi, maupun kelainan
metabolik dapat mencetuskan singultus, sehingga penentuan dengan tepat lokasi
komponen refleks yang teriritasi sangat sulit. (Wiraputranto et al, 2016)
Banyak keadaan diduga sebagai penyebab singultus, antara lain distensi
lambung akibat makan terlalu banyak dan cepat, terutama makanan berlemak dan
minuman berkarbonasi. Refleks yang bisa memicu berupa cabai, lada, alkohol, rokok,
dan bahan iritan lain terhadap saluran pencernaan dan pernapasan. Penyebab lain
dapat berasal dari faringitis, benda asing di orofaring atau telinga. Kelainan
psikogenik yang diduga berhubungan dengan singultus antara lain histeria, gangguan
kepribadian, gangguan konversi, dan malingering. Secara sederhana penyebab
singultus dapat dibagi ke dalam kategori berikut:
1) penyakit dengan stimulasi saraf vagus seperti faringitis, pneumonia, pleuritis, ulkus
peptikum, distensi abdomen.
2) iritasi diafragma seperti peregangan dinding lambung, operasi abdominal, hernia
abdominal, hepatosplenomegali, abses subfrenic.
3) penyebab sentral seperti tumor otak, ensefalitis, meningoensefalitis, infark serebral,
pendarahan otak, multiple sclerosis.
4) singultus psikogenik.
5) intoksikasi seperti keracunan alkohol, uraemia, asidosis metabolik, gangguan
elektrolit pada gagal ginjal, obat-obatan tertentu berupa beberapa antibiotik, agen
antineoplastik, benzodiazepin, opioid (morfin), deksametason, metoheksital, agonis
dopamin pada pengobatan Parkinson, steroid inhalasi, dan
6) penyebab yang berkaitan dengan anestesi umum seperti intubasi (iritasi mekanis),
bronkoskopi atau intervensi lain di dalam tenggorokan. (Wiraputranto et al, 2016; Fox
et al, 2015; Kumar et al, 2014; Milanowski J, 2017)
Hingga saat ini masih belum jelas diketahui fungsi fisiologis cegukan pada
manusia ataupun mamalia lainnya. Cegukan dapat terjadi pada janin, anak-anak, dan
dewasa dengan frekuensi 4-60 kali per menit. Menurut Hippocrates dan Celsus,
cegukan berhubungan dengan inflamasi dan kondisi lain di hati. Galen percaya bahwa
cegukan karena peningkatan emosi yang kemudian merangsang lambung. Pada tahun
1833, Shortt pertama kali menemukan adanya hubungan antara cegukan dan iritasi
nervus frenikus. Refleks cegukan sendiri pertama kali dijabarkan oleh Bailey pada
tahun 1943, yang meliputi:
 Jaras aferen: nervus frenikus dan vagus serta rantai simpatis yang keluar dari
T6-12
 Pusat cegukan (hiccup center): lokasi nonspesifik yang berada antara C3 dan
C5
 Hubungan ke pusat pernapasan (respiratory center), nukleus nervus frenikus,
medullary reticular formation, dan hipotalamus. „
 Jaras eferen: nervus frenikus (C3-5), muskulus skalenius anterior (C5-7),
interkostalis eksternal (T1-11), glotis (nervus vagus cabang laringeal rekuren),
proses inhibisi autonom, penurunan tonus kontraksi esofagus dan tonus
sfinkter esofagus bagian bawah. Penyebab paling sering cegukan adalah
distensi lambung (misalnya dari makanan, alkohol, atau udara), perubahan
tiba-tiba suhu ruangan ataupun suhu lambung serta konsumsi alkohol dan
rokok yang berlebihan.1 Pada persistent hiccups, penyebab cenderung berasal
dari proses patologis yang mempengaruhi komponen-komponen refleks
cegukan. Penyebab organik ditemukan pada 80% kasus, sedangkan 20%
sisanya adalah psikogenik.

Singultus merupakan suatu gerakan involunter berulang diafragma diikuti


penutupan glotis secara tiba-tiba. Mekanisme singultus sampai saat ini tidak diketahui
pasti, diperkirakan didasari iritasi pada refleks singultus. Refleks singultus terdiri dari 3
komponen yaitu jaras aferen, midbrain sebagai pusat refleks singultus, serta jaras eferen.
Jaras aferen terdiri dari nervus frenikus dan nervus vagus serta nervus simpatikus yang
berasal dari T6-T12. Pusat refleks singultus diperkirakan tidak hanya berpusat di medula
oblongata, melainkan melibatkan jaras saraf pusat lain yang terletak di antara batang otak
sampai dengan C3- C5. Jaras eferen terdiri dari jaras motorik yang berjalan sepanjang
nervus frenikus di diafragma sampai dengan nervus asesorius yang terletak di otot
interkostalis. Rangsangan pada jaras singultus akan menyebabkan aktivasi nervus
laringeal rekurens yang akan menstimulasi penutupan glotis sehingga menimbulkan bunyi
“hik”. Iritasi komponen refleks singultus menyebabkan terlepasnya neurotransmiter
dopamin dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Iritasi salah satu atau lebih komponen
refleks singultus baik oleh keganasan, infeksi, maupun kelainan metabolik dapat
mencetuskan singultus, sehingga penentuan dengan tepat lokasi komponen refleks yang
teriritasi sangat sulit. Sebanyak 80% kasus singultus diduga akibat spasme diafragma kiri
saja. Frekuensi singultus berkisar antara 4-60 kali per menit, dengan sedikit variasi antar
individu. (Eisenäche, 2011; Marinella MA, 2009)

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI SINGULTUS


Gambar 1. Penyebab dan distribusi saraf frenikus. Saraf frenikus diserang secara
pembedahan/ rangsangan karena terletak di depan otot skalenus anterior, di bawah
prevertebra fascia. Di sisi kanan, saraf frenik aksesori muncul dari N.X dari subclavius,
ia bergabung dengan saraf frenikus. Saraf aksesori ini mungkin bertanggung jawab
atas kegagalan yang terjadi, sehingga terjadi kelumpuhan diafragmatik setelah
serangan saraf frenik.

Gambar 2. Penyebab yang luas dan distribusi vagus treme memungkinkan


untuk digunakan dalam banyak perbaikan secara non farmakologi dalam
cegukan, dengan menstimulasi cabang-cabang saraf di lokasi yang berbeda
(lihat panah: faring, sinus, auricular dan lambung).
D. GAMBARAN KLINIS SINGULTUS

Secara klinis cegukan sangat mudah dikenali. Kasus persisten dan intractable
sering berhubungan dengan kondisi patologis tertentu. Pada anamnesis perlu ditanyakan
riwayat pembedahan, penggunaan obatobatan, riwayat psikiatri, riwayat arrhythmia
induced syncope, GERD, penurunan berat badan, insomnia, stres emosional, serta
konsumsi alkohol. (Wilkes G and Dronen SC, 2016)

Pada pemeriksaan fisik lengkap dan terfokus bisa didapatkan: (Wilkes G,


Dronen SC, 2016)
a. Kepala: korpus alienum ataupun rambut aberans di dekat membran timpani,
glaukoma„„
b. Mulut: faringitis
c. Leher: tanda inflamasi, massa, goiter, abnormalitas suara, kekakuan leher
d. Toraks: tumor, pneumonia, asma bronkiale
e. Kardiovaskular: aritmia, infark miokardium, perikarditis
f. Abdomen: atonia gaster, organomegali, abses subfrenikus, kolesistitis, appendisitis,
aneurisma aorta abdominalis, pankreatitis, peritonitis
g. Rektum: massa/lesi
h. Sistem saraf: lesi fokal, kelainan fungsi
i. mental, multiple sclerosis

Gambar 3. Anatomi refleks cegukan (berdasarkan Bailey, 1943) (Fox et al, 2015)
Tabel 1 . Penyebab singultus (Wilkes G and Dronen SC, 2016)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG SINGULTUS


Pemeriksaan Penunjang (Wilkes G, Dronen SC, 2016)
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Darah Rutin: infeksi adalah salah satu penyebab cegukan, yang ditandai
dengan leukositosis ataupun leukopenia. Bila dicurigai infeksi, perlu dilakukan
pemeriksaan tambahan seperti urin, sputum, dan cairan serebrospinalis untuk
mencari sumber infeksi.
b. Elektrolit: hiponatremia (Addison disease), hipokalemia, hipokalsemia, dan
hiperglikemia dapat menjadi penyebab dari cegukan.
c. Fungsi Ginjal: cegukan sering dijumpai pada pasien dengan uremia.
d. Fungsi Hati: peningkatan SGOT/SGPT pada pasien hepatitis dengan cegukan.
e. Kadar Amilase dan Lipase: pasien pankreatitis dapat menunjukkan gejala
cegukan.
2. Pencitraan/imaging
a. Rontgen Toraks: untuk mencari adanya tumor, infeksi, serta kelainan di aorta
torakalis.
b. Fluoroskopi diafragma: untuk melihat abnormalitas pergerakan diafragma.
c. CT scan kepala, toraks, dan abdomen: untuk mencari tumor, infeksi, ataupun
lesi struktural
d. MRI: untuk deteksi multiple sclerosis atau evaluasi hubungan vaskular dengan
nervus vagus dan frenikus.
3. Pemeriksaan lain
a. Elektrokardiografi: untuk deteksi infark miokardium, perikarditis, atau aritmia.
b. Pemeriksaan konduksi saraf: biasanya dilakukan sebelum terapi invasif untuk
memastikan diagnosis dan melihat adanya keterlibatan unilateral atau bilateral
c. Esophageal acid perfusion test: dilakukan sebelum pembedahan, untuk deteksi
GERD sebagai penyebabnya.
d. Endoskopi dan bronkoskopi: untuk melihat kelainan saluran pencernaan dan
pernapasan bagian atas.
F. TATA LAKSANA SINGULTUS

Terapi suportif, seperti oksigen, pada pasien cegukan dengan gangguan


pernapasan atau cegukan sekunder akibat pneumonia. Penanganan penyebab jika bisa
diidentifikasi; terapi empiris untuk menghentikan cegukan. Penanganan cegukan dapat
secara farmakologis ataupun non-farmakologis. (Wilkes G, Dronen SC, 2016)

Singultus akut biasanya sembuh sendiri atau self limiting dan tidak memerlukan
evaluasi lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan singultus persisten atau intractable yang
memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari penyebab yang mendasarinya. Perlu
diperhatikan onset, durasi, faktor-faktor pencetus, serta komorbiditas lain seperti
keganasan atau penyakit sistemik, dan riwayat penggunaan obat-obatan. Pemeriksaan
fisik diutamakan untuk mencari gangguan yang mungkin mengancam nyawa seperti
infark miokard, diseksi vaskular, akut abdomen, kelainan sistem saraf pusat, serta
keganasan. Pemeriksaan daerah kepala-leher harus dilakukan secara seksama untuk
mencari tanda-tanda trauma serta infeksi. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan
elektrolit, elektrokardiografi (EKG), serta pencitraan seperti X-Ray atau CT scan.
Pemeriksaan elektrolit serta fungsi ginjal dilakukan untuk mencari kemungkinan
gangguan metabolik yang mencetuskan singultus seperti uremia, hipokalsemia, ataupun
hiponatremia. Elektrokardiografi terutama dilakukan pada pasien komorbid atau dicurigai
gangguan jantung. Pencitraan X-Ray ataupun CT scan umumnya dilakukan pada daerah
toraks dan abdomen yang bertujuan untuk mengeksklusi kemungkinan keganasan yang
dapat mengiritasi persarafan refleks singultus. Singultus akut biasanya sembuh sendiri
atau self limiting dan tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut. Hal ini berbeda dengan
singultus persisten atau intractable yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk mencari
penyebab yang mendasarinya. Perlu diperhatikan onset, durasi, faktor-faktor pencetus,
serta komorbiditas lain seperti keganasan atau penyakit sistemik, dan riwayat penggunaan
obat-obatan. Pemeriksaan fisik diutamakan untuk mencari gangguan yang mungkin
mengancam nyawa seperti infark miokard, diseksi vaskular, akut abdomen, kelainan
sistem saraf pusat, serta keganasan. Pemeriksaan daerah kepala-leher harus dilakukan
secara seksama untuk mencari tanda-tanda trauma serta infeksi. Pemeriksaan penunjang
meliputi pemeriksaan elektrolit, elektrokardiografi (EKG), serta pencitraan seperti X-Ray
atau CT scan. Pemeriksaan elektrolit serta fungsi ginjal dilakukan untuk mencari
kemungkinan gangguan metabolik yang mencetuskan singultus seperti uremia,
hipokalsemia, ataupun hiponatremia. Elektrokardiografi terutama dilakukan pada pasien
komorbid atau dicurigai gangguan jantung. Pencitraan X-Ray ataupun CT scan umumnya
dilakukan pada daerah toraks dan abdomen yang bertujuan untuk mengeksklusi
kemungkinan keganasan yang dapat mengiritasi persarafan refleks singultus. Singultus
yang terjadi sesekali dan berlangsung singkat pada dasarnya tidak memerlukan
penanganan khusus. Singultus persisten dan intractable merupakan indikasi terapi.
Tatalaksana singultus dapat dilakukan secara terapi fisik, non-farmakologi, dan
farmakologi. Pada prinsipnya tatalaksana singultus adalah sebisa mungkin mencari faktor
penyebab penyakit, dan terapi simptomatik diberikan apabila penyebab dasarnya belum
atau tidak diketahui pasti. (Wiraputranto MC, 2016; M. Fox, 2016).

Tabel 2. Terapi non farmakologi (M Fox, 2016; Wilkes 2018; Basturk A)

Tabel 3. Terapi fisik singultus pada singultus akut (tingkat kepercayaan IV, tingkat
rekomendasi C) (Fox et al, 2015; Derenne J, 1993)
Tatalaksana non-farmakologi dapat dilakukan bila singultus sudah dirasa
mengganggu. Tatalaksana awal dapat dengan mengganggu respirasi normal (menahan napas,
bernapas pada kantong kertas), minum air dingin, menelan ludah, menghisap lemon, atau
menghirup zat yang merangsang bersin (seperti merica). Semua tindakan tersebut bertujuan
untuk menstimulasi nasofaring dan glotis serta menginhibisi komponen refleks penyebab
singultus. Selain itu, bagian belakang leher dapat dipijat untuk menginhibisi refleks singultus
yang timbul dari dermatom jaras C3-C5.5 Tatalaksana non farmakologi terbukti efektif dan
tidak menyebabkan efek samping. (Wiraputranto MC, 2016). Pada tingkat layanan primer,
tatalaksana yang dapat dilakukan berupa stimulasi vagal berupa Valsava maneuver, pijat
karotis, dan digital rectal massage (pemijatan daerah anus). Maneuver pijat karotis dilakukan
jika kedua maneuver sebelumnya tidak berhasil dan tidak ada kontraindikasi pijat karotis,
yaitu riwayat infark miokard atau stroke dalam 3 bulan terakhir, takikardia, atau fibrilasi
ventrikel. Pijat karotis memiliki mekanisme meringankan singultus yang sama dengan cara-
cara sebelumnya. ((Wilkes G, Dronen SC, 2016)

Suboccipital release merupakan tatalaksana ideal pada singultus. Berisfat noninvasif,


sederhana, dan tidak memiliki efek samping. Dilakukan dengan melakukan traksi dan
tekanan pada posterior leher, meregangkan otot dan fasia suboksipital.

Gambar 4. Management singultus persisten

Terapi medikamentosa diberikan untuk mengobati penyebab spesifik singultus seperti


infeksi atau lesi batang otak, namun karena kebanyakan singultus persisten bersifat idiopatik,
terapi medikamentosa dapat diberikan untuk memberikan kenyamanan dan kualitas hidup
lebih baik. Chlorpromazine merupakan obat golongan antipsikotik yang direkomendasikan
oleh US Food and Drug Administration (FDA) sebagai obat pilihan untuk meringankan
singultus, dapat diberikan melalui suntikan intramuskuler atau intravena sebanyak 25-50 mg,
efektif pada 80% kasus. (Wilkes G, 2018) Chlorpromazine bekerja sentral menghambat
dopamine di hipotalamus. Obat ini memiliki efek samping cukup serius seperti hipotensi dan
delirium, sehingga saat ini jarang digunakan sebagai terapi lini pertama. Obat-obatan yang
biasa digunakan sebagai pilihan untuk mengobati singultus adalah klorpromazin, haloperidol,
metoclopramide, baclofen, dan gabapentin. (Johnson MJ et al, 2009)

Haloperidol bekerja dengan cara yang sama seperti chlorpromazine dan memiliki efek
samping yang dapat ditoleransi lebih baik; dapat diberikan dosis efektif 2-5 mg. (Wilkes,
2016)

Selain golongan antipsikotik, obat lain yang banyak diteliti adalah gabapentin yang
merupakan obat untuk terapi nyeri neuropatik. Risperidone, antipsikotik generasi kedua
sebagai antagonis dopamin-serotonin dapat mengatasi singultus setelah 6 jam pemberian,
namun belum banyak kasus yang menggunakannya. (Wiraputranto MC, 2016; Fox, 2015)

Penggunaan gabapentin dalam pengobatan singultus persisten dalam kasus sindrom


medula lateral telah dilaporkan, tetapi tidak ada studi kasus terkontrol yang telah dilakukan.
(Hsu MC et al, 2005) Gabapentin bekerja dengan cara menghambat channel kalsium,
sehingga menurunkan pelepasan beberapa neurotransmiter untuk memodulasi aktivitas
diafragma, dapat diberikan sampai dengan 900 mg per hari. Gabapentin relatif aman dan
tidak menimbulkan efek samping berarti. Pada pasien keganasan ataupun kemoterapi,
gabapentin merupakan obat pilihan untuk meringankan singultus sekaligus nyeri neuropati.
(Wiraputranto MC, 2016)
Muscle relaxant yang bekerja secara sentral seperti baclofen, dengan
penggunaan 10 mg per oral setiap 6 jam, berguna pada pasien yang memiliki kontraindikasi
dengan agen lainnya (seperti kerusakan ginjal). Baclofen berguna singultus persisten setelah
injeksi steroid epidural. (Wilkes, 2016) Obat-obat yang dapat meringankan distensi lambung
seperti simethicone telah banyak dipakai untuk meringankan gejala singultus, begitu pula
dengan obat-obatan prokinetik seperti domperidone dan metoclopramide. Metoclopramide
bekerja sentral sebagai antagonis dopamine, namun lebih lemah dibandingkan
chlorpromazine dalam menghambat refleks singultus. Proton pump inhibitor merupakan obat
pilihan untuk meringankan gejala singultus yang disebabkan iritasi refluks gastroesofageal.
Proton pump inhibitor relatif aman dan tidak menimbulkan efek samping serius.
(Wiraputranto MC, 2016)

Prevalensi cegukan di GERD adalah 4,5%. Keluhan seperti nyeri epigastrik,


regurgitasi dan rasa terbakar di regio retrosternal. Setelah terapi PPI, didapatkan adanya
perbaikan pada pasien.(Basturk A et al, 2009)
Standar tatalaksana pada pasien dengan singultus adalah rangsangan fisik
menggunakan manuver Valsava atau minum air dingin. Jika rangsangan fisik gagal, langkah
selanjutnya adalah intervensi farmakologis dengan klorpromazin hidroklorida, baclofen, atau
metoclopramide. (Odeh M et al, 2002) Jika farmakologis pengobatan gagal, blok saraf
frenikus di bawah panduan USG dapat dicoba.(J Bruner and Petree K, 2015)
Bila singultus mengenai bayi dan anak-anak maka ada beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu berupa pemberian minum air hangat, menarik napas dalam tahan sebentar
lalu dihembuskan, tidur berbaring dengan lutut ditekuk, makan sesendok gula, dan
meletakkan kantong kertas di depan mulut dan mencoba bernapas dari kantong kertas itu
selama beberapa menit. Pencegahan terjadinya singultus dapat juga dilakukan dengan
pemberian makan atau minum terlalu cepat, pemberian air putih satu sampai dua sendok teh
kepada si bayi setelah minum susu, tidak megajak bercanda kepada si bayi sesaat setelah
minum susu, pemberian waktu istirahat sekitar setengah jam setelah si bayi minum susu, dan
membuat bayi bersendawa setelah minum susu. (Ajabnoor H, et al, 2016)
Secara umum, singultus akut dapat hilang dengan sendirinya tanpa penanganan medis,
sehingga memiliki prognosis yang sangat baik. Singultus persisten atau intractable memiliki
prognosis yang tergantung kelainan yang mendasarinya. Oleh karena itu, etiologi singultus
persisten atau intractable sangat penting ditentukan. (Wiraputranto MC, 2016).
G. PENUTUP
Tatalaksana singultus perlu diketahui terutama oleh dokter di layanan kesehatan primer.
Singultus terjadi akibat spasme involunter diafragma dan otot-otot interkostal diikuti
penutupan glotis secara cepat, sehingga memunculkan suara khas hik. Kondisi dapat
berlangsung hingga lebih dari 1 bulan.
Singultus terjadi secara spontan, merupakan hasil kontraksi mioklonik diafragma dan
otot-otot interkosta. Refleks singultus terdiri dari 3 komponen yaitu jaras aferen, midbrain
sebagai pusat refleks singultus, serta jaras eferen.
Tatalaksana dapat dilakukan dengan cara manuver fisik terlebih dahulu, kemudian
dapat dilakukan dengan terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi dan non
farmakologi dapat dipertimbangkan apabila manuver fisik tersebut mengalami kegagalan.
Obat-obatan yang biasa digunakan sebagai pilihan untuk mengobati singultus adalah
klorpromazin, haloperidol, metoclopramide, baclofen, dan gabapentin. Pada prinsipnya
tatalaksana singultus adalah sebisa mungkin mencari faktor penyebab penyakit, dan terapi
simptomatik diberikan apabila penyebab dasarnya belum atau tidak diketahui pasti.

DAFTAR PUSTAKA

Christianty F, Caroline S, Adiwinata R, Richard T, Wiraputranto MC. Evaluasi dan


tatalaksana singultus. Cermin Dunia Kedokteran. 2016;43(11):833-5.

Steger M, Schneemann M, Fox M. Systemic review: the pathogenesis and pharmacological


treatment of hiccups. Aliment Pharmacol Ther. 2015;42:1037-50.

Mowar AB, Yadav N, Gupta S, Nigam P, Kumar N. Hiccups. JIACM. 2014;15(3-4):216-9.

Terlecka P, Grzywa-Celinska A, Emeryk-Maksymiuk J, Szmygin-Milanowska K,


Milanowski J. Hiccup as an uncommon symptom of pneumonia. Journal of
Education, Health and Sport. 2017;7(12):111-7.

Wilkes G. Overview Hiccups. Australia: Medscape; 2018.

Wilkes G. Treatment Hiccups. Australia: Medscape; 2018.

Liang CY, Tsai KW, Hsu MC. Gabapentin therapy for persistent hiccups and central post-
stroke pain in a lateral meudllary infarction-two case reports and literature review.
Tzu Chi Med J. 2005;17:365-8.
Kockar C, Isler M, Cure E, Senol A, Basturk A. Hiccup due to gastroesophageal reflus
disease. Eur J Gen Med. 2009;6(4):262-4.

Schiff E, Oliven A, Odeh M. Acupunture therapy for persistent hiccups. The American
Journal of the Medical Sciences. 2002;323(3):166-8.

Petree K, Bruner J. Postoperative singultus: an osteopathic approach. J Am Osteopathic.


2015;115(3):166-8.

15. IDAI. Cegukan pada bayi dan anak. Jakarta: IDAI; 2018.

16. Arsanious D, Khoury S, Martinez E, Nawras A, Filatoff G, Ajabnoor H, et al. Ultrasound-


guided phrenic nerve block for intractable hiccups following placement of esophageal stent
for esophageal squamous cell carcinoma. Pain Physician. 2016;19:653-6.

Anda mungkin juga menyukai