Anda di halaman 1dari 6

Nama : Rosaldi Millenianto

NIM : I1031181042
Makul : KMB 3
Materi : Resume Otitis dan Vertigo

Resume Otitis Media


Otitis media merupakan rangkaian penyakit yang ditandai dengan inflamasi di telinga
tengah atau disebut dengan middle ear effusion (MEE). Otitis media terbagi menjadi otitis media
akut (OMA), otitis media efusi (OME), dan otitis media supurtatif kronis (OMSK). OMA
ditandai dengan inflamasi telinga tengah dan serangan MEE secara mendadak, dan sering kali
muncul dengan gejala konstitusional seperti demam dan otalgia. OME ditandai dengan MEE
tanpa demam, otalgia (nyeri telinga), sedangkan dengan MEE persisten sering muncul lender di
telinga (mucoid) (Shirai & Precaido, 2019). OME dapat terjadi karena interaksi berbagai faktor
host, alergi, faktor lingkungan, dan disfungsi tuba Eustachius. Tekanan telinga tengah negatif,
abnormalitias imunologi, atau kombinasi kedua faktor tersebut diperkirakan menjadi faktor
utama. Faktor penyebab lain adalah hipertrofi adenoid, adenoiditis kronik, palatoskisis,
barotrauma, dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis. OME bisa juga terjadi saat fase
resolusi OMA (Aquinas, 2017). OMSK terjadi akibat komplikasi dari OMA yang persisten dan
ditandai dengan ottorhea berulang atau persisten melalui perforasi timpani disertai dengan
penebalan mukosa telinga tengah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan OMA menjadi
OMSK yaitu keterlambat terapi diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi,
daya tahan tubuh yang rendah, gizi buruk, atau hygiene buruk (Shirai & Precaido, 2019; Djaafar,
2008 dalam Lorensi, 2018).
Penelitian Shirai dan Precaido (2019) mengungkapkan bahwa musin glikoprotein
MUC5B adalah musin glikoprotein utama yang terdapat dalam otitis media, dan bahwa MEE
telah terbentuk pada tingkat makromolekul oleh perangkap ekstraseluler neutrofil yang
melimpah (NET), yang berasosiasi dengan MUC5B. Glikosilasi musin dapat memengaruhi
respons imun bawaan di telinga tengah. Meskipun NET dan MUC5B merupakan struktur
pertahanan antimikroba yang bermanfaat, pembersihan cepat pada permukaan saluran napas
sangat penting dalam mencegah efek kerusakan akibat inflamasi. Jaringan telinga tengah dapat
bergabung ke dalam biofilm bakteri, dan dalam beberapa kasus secara efektif memungkinkan
bakteri melarikan diri dari respons imun atau tumbuh meskipun sudah diobati dengan antibiotik
bakterisida (Shirai & Precaido, 2019). Otitis media dapat disebabkan oleh disfungsi persisten
tuba Eustachius (TE). Normalnya, fungsi TE adalah sebagai ventilasi, proteksi, dan drainase.
Panjang tuba pada anak 17,5 mm, lebih pendek, lebih lebar, dan lebih horizontal daripada TE
dewasa. Hal ini mengakibatkan sekret dari nasofaring dapat lebih mudah refluks ke dalam telinga
tengah melalui TE. Disfungsi TE bisa terjadi karena upper respiratory tract infection (URTI),
trauma, obstruksi mekanis, atau alergi yang mengakibatkan inflamasi. Jika disfungsi tuba
persisten, akan terbentuk tekanan negatif dalam telinga tengah akibat absorpsi dan/ atau difusi
nitrogen dan oksigen ke dalam sel mukosa telinga tengah. Selanjutnya sel mukosa akan
menghasilkan transudasi, kemudian akan terjadi akumulasi cairan serous, berupa efusi steril
sehingga terjadi otitis media. Jika disfungsi tuba Eustachius berlanjut, efusi menjadi media ideal
untuk tumbuhnya bakteri, sehingga dalam kasus ini OME berubah menjadi OMA. Beberapa
bakteri juga dapat menyebabkan otitis media. Beberapa bakteri yang sering ditemukan seperti S.
pneumoniae, M. catarrhalis, dan H. influenzae, semuanya mampu membentuk biofilm. Biofilm
adalah kumpulan sel mikroorganisme, khususnya bakteri yang menempel pada permukaan
mukosa dan memproduksi struktur tiga dimensi yang ditutupi matriks eksopolisakarida. Biofilm
ini mengakibatkan resistensi terhadap azitromisin dan terjadinya OME persisten karena
mencegah penetrasi obat. Terdapat 9% kasus telinga sehat dengan biofilm dan semuanya tidak
bergejala klinis. Cairan efusi tidak steril (Aquinas, 2017).
Manajemen pengobatan otitis media disesuikan dengan jenis otitis media yang diderita.
Pada OMA, pedoman AAP 2013 menyatakan bahwa antibiotik diindikasikan pada pasien yang
sangat muda kurang dari 2 tahun dengan penyakit parah (suhu> 398C, otalgia signifikan, atau
penampilan toksik), atau penyakit bilateral. Beberapa literatur terbaru menjelaskan bahwa
antibiotik memperbaiki gejala dan resolusi penyakit. Jika pasien berusia lebih dari 2 tahun dan
memiliki otitis media yang tidak parah atau diagnosis yang meragukan, dianjurkan untuk tetap
waspada. Secara umum, amoksisilin dosis tinggi (90mg / kg) adalah pilihan pengobatan pertama.
Jika anak-anak sensitif terhadap amoksisilin, maka sefalosporin oral, seperti cefdinir dan
cefuroxime adalah pilihan yang efektif. Jika tidak ada perbaikan dalam 72 jam, maka
direkomendasikan amoxicillin-clavulanate dosis tinggi atau ceftriaxone intramuskular. Jika
pasien memiliki alergi tipe I yang parah terhadap penisilin, mereka harus menerima klindamisin
(30-40mg / kg per hari dalam tiga dosis terbagi) dengan atau tanpa sefalosporin. Dalam kasus
OMA yang berulang, miringotomi harus dipertimbangkan. Pedoman terbaru menyarankan
bahwa tabung harus dipasang jika ada tiga episode dalam 6 bulan, atau empat dalam 1 tahun dan
jika MEE ada di satu atau dua telinga dan muncul saat diamati oleh ahli THT (Shirai & Precaido,
2019). Sedangkan pada OME, pengobatan dilakukan dengan memberikan obat-obatan seperti
anti-histamin, kortikosteroid, antibiotic, miringotomi, dan adenoidektomi. OME dapat sembuh
tanpa pengobatan dalam 3 bulan. Jika MEE berlangsung lebih dari 3 bulan, tes pendengaran dan
rujukan ke ahli THT dapat dilakukan. Jika OME berlanjut selama lebih dari 3 bulan, perawatan
bedah harus dipertimbangkan, terutama pada anak-anak dengan risiko perkembangan untuk
kondisi lain, seperti sindrom Down, autisme, keterlambatan bicara dan bahasa, gangguan
pendengaran permanen, sindrom kraniofasial, kebutaan, atau perkembangan global. Pedoman
2016 menyatakan bahwa anak-anak diperiksa setiap 3–6 bulan sampai tidak ada lagi MEE.
Antibiotik sebaiknya tidak diresepkan pada kasus-kasus tertentu (Shirai & Precaido, 2019;
Aquinas, 2017).

Resume Vertigo
Vertigo merupakan perasaan yang abnormal mengenai adanya gerakan penderita
terhadap sekitarnya atau sekitarnya terhadap penderita, tiba-tiba semuanya terasa berputar atau
bergerak naik turun di hadapannya. Keadaan ini sering disusul dengan muntah-muntah,
berkeringat dan kolaps, tetapi tidak pernah kehilangan kesadaran dan seringkali disertai dengan
gejala-gejala penyakit telinga lainnya. Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa
berputar – putar atau rasa bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang –
kadang ditemukan juga keluhan berupa rasa didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal
(vertikal linier). Vertigo merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan
keseimbangan pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Penyebab
vertigo dapat bervariasi, bisa karena kebiasaan buruk misalnya terlalu intens bermain game atau
komputer. Penyebab vertigo terbanyak adalah gangguan pada leher akibat adanya pengapuran
pada tulang leher.. Gangguan leher terjadi umumnya akibat pola hidup atau pola kerja tidak
seimbang, stress atau tekanan akibat pola kerja tak seimbang sehingga tidak ada kesempatan
berolahraga maupun relaksasi. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya
dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi akibat
gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual (retina),
vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas dalam)
(Setiawati & Susianti, 2016; Amin & Lestari, 2020).
Manusia berjalan dan menopang tubuhnya dengan dua kaki sehingga memerlukan
keseimbangan yang tinggi agar tidak terjatuh. Hal ini menyebabkan manusia lebih memerlukan
informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan dan informasi gerakan agar dapat terus
beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya. Orientasi manusia terhadap ruang dan
keseimbangan atau equilibrium diukur oleh 3 sistem sensoris yaitu sistem penglihatan (visual),
sistem keseimbangan telinga dalam (vestibular), dan sistem sensoris. Tiga sistem ini secara
kontinyu memberikan informasi ke batang otak dan otak tentang posisi dalam ruang, relatif
terhadap gravitasi. Informasi tersebut diperoleh dari sistem keseimbangan tubuh yang melibatkan
kanalis semisirkularis sebagai reseptor, sistim vestibuler, dan serebelum sebagai pengolah
informasinya. Selain itu fungsi penglihatan dan proprioceptif juga berperan dalam memberikan
informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistem tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat. Otak memproses data-data ini
dan menggunakan informasi tersebut untuk penilaian yang cepat terhadap kepala, badan, sendi
dan mata kita. Ketika sistem keseimbangan tidak berfungsi, manusia dapat menyusuri masalah
kembali pada suatu gangguan dari salah satu dari ketiga sistem sensoris atau memproses data
(otak). Ketika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal,
maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Vertigo bukanlah suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan
penyebabnya berbeda – beda. Oleh karena itu pada setiap penderita vertigo harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak
lesi, dan penyebabnya. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan yaitu: (1) Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi. (2) Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik). (3)
Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem Auditory Evoked
Potential (BAEP). (4) Pencitraan CTscan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI)
(Setiawati & Susianti, 2016; Amin & Lestari, 2020).
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan akibat
gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Tujuan utama terapi vertigo adalah
mengupayakan tercapainya kualitas hidup yang optimal sesuai dengan perjalanan penyakitnya,
dengan mengurangi atau menghilangkan sensasi vertigo dengan efek samping obat yang
minimal. Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana farmakologi yaitu dengan pemberian
obat-obatan, tatalaksana non farmakologi berupa pemberian terapi, dan operasi yag dilakukan
pada pasien vertigo yang kronik. Adapaun tatalaksana farmakologi vertigo adalah pemberian
obat-obatan seperti oral Mertigo 6 mg/8 jam, injeksi Neurotam 400 mg/8 jam, Istigo (mengobati
vertigo atau pusing berputar), Donferindon (meredakan rasa mual, muntah, gangguan perut, rasa
tidak nyaman akibat kekenyangan, serta refluks asam lambung (GERD)), dan vitamin B
kompleks yang berguna untuk menambah energi, membantu proses metabolisme tubuh, dan
meningkatkan fungsi otak. Beberapa obat lain untuk mengurangi vertigo ringan adalah meklizin,
dimenhidrinat, perfenazin, dan skopolamin. Skopolamin terutama berfungsi untuk mencegah
motion sickness, dapat berbentuk plester kulit dengan kerja obat selama beberapa hari.
Pemberian obat adalah salah satu solusi untuk menyembuhkan vertigo. Namun, penatalaksanaan
dengan farmakologi dianjurkan untuk tidak secara rutin dilakukan. Beberapa pengobatan hanya
diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang
dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Sedangkan tatalaksana
non-farmakologi vertigo yaitu dapat dilakukan fisioterapi berupa senam vertigo untuk mengatasi
keluhan vertigo, perbanyak istirahat dan tidur, pemberian terapi latihan, dan pemberian terapi
dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM) yang dapat secara
efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko
jatuh pada pasien. Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan
sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan terapi dengan
manuver-manuver pada terapi PRM. Dari beberapa literature menyebutkan indikasi untuk
melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit
neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa. Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik
operasi yang dapat dipilih, yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan
oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik
neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi (Setiawati & Susianti, 2016;
Amin & Lestari, 2020)
Referensi:
Amin, M., & Lestari, Y. A. (2020). Pengalaman Pasien Vertigo di Wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Timur. Jurnal Kesmas Asclepius, 2(1), 22-33.
Aquinas, R. (2017). Talakasana Otitis Media Efusi pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 44(7),
472-477.
Lorensi, E. L. (2018). Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronik Rawat Jalan Di
Rsud. Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2014. Jurnal Ilmiah PANNMED (Pharmacist,
Analyst, Nurse, Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist), 13(2), 15-18.
Setiawati, M., & Susianti, S. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Jurnal Majority, 5(4),
91-95.
Shirai, N., & Preciado, D. (2019). Otitis media: what is new?. Current opinion in otolaryngology
& head and neck surgery, 27(6), 495-498.

Anda mungkin juga menyukai