NIM : I1031181042
Makul : KMB 3
Materi : Resume Otitis dan Vertigo
Resume Vertigo
Vertigo merupakan perasaan yang abnormal mengenai adanya gerakan penderita
terhadap sekitarnya atau sekitarnya terhadap penderita, tiba-tiba semuanya terasa berputar atau
bergerak naik turun di hadapannya. Keadaan ini sering disusul dengan muntah-muntah,
berkeringat dan kolaps, tetapi tidak pernah kehilangan kesadaran dan seringkali disertai dengan
gejala-gejala penyakit telinga lainnya. Vertigo ditemukan dalam bentuk keluhan berupa rasa
berputar – putar atau rasa bergerak dari lingkungan sekitar (vertigo sirkuler) namun kadang –
kadang ditemukan juga keluhan berupa rasa didorong atau ditarik menjauhi bidang vertikal
(vertikal linier). Vertigo merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terjadi akibat gangguan
keseimbangan pada sistem vestibular ataupun gangguan pada sistem saraf pusat. Penyebab
vertigo dapat bervariasi, bisa karena kebiasaan buruk misalnya terlalu intens bermain game atau
komputer. Penyebab vertigo terbanyak adalah gangguan pada leher akibat adanya pengapuran
pada tulang leher.. Gangguan leher terjadi umumnya akibat pola hidup atau pola kerja tidak
seimbang, stress atau tekanan akibat pola kerja tak seimbang sehingga tidak ada kesempatan
berolahraga maupun relaksasi. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat
keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya
dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Selain itu, vertigo dapat pula terjadi akibat
gangguan pada alat keseimbangan tubuh yang terdiri dari reseptor pada visual (retina),
vestibulum (kanalis semisirkularis) dan proprioseptif (tendon, sendi dan sensibilitas dalam)
(Setiawati & Susianti, 2016; Amin & Lestari, 2020).
Manusia berjalan dan menopang tubuhnya dengan dua kaki sehingga memerlukan
keseimbangan yang tinggi agar tidak terjatuh. Hal ini menyebabkan manusia lebih memerlukan
informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan dan informasi gerakan agar dapat terus
beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya. Orientasi manusia terhadap ruang dan
keseimbangan atau equilibrium diukur oleh 3 sistem sensoris yaitu sistem penglihatan (visual),
sistem keseimbangan telinga dalam (vestibular), dan sistem sensoris. Tiga sistem ini secara
kontinyu memberikan informasi ke batang otak dan otak tentang posisi dalam ruang, relatif
terhadap gravitasi. Informasi tersebut diperoleh dari sistem keseimbangan tubuh yang melibatkan
kanalis semisirkularis sebagai reseptor, sistim vestibuler, dan serebelum sebagai pengolah
informasinya. Selain itu fungsi penglihatan dan proprioceptif juga berperan dalam memberikan
informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistem tersebut saling berhubungan dan
mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat. Otak memproses data-data ini
dan menggunakan informasi tersebut untuk penilaian yang cepat terhadap kepala, badan, sendi
dan mata kita. Ketika sistem keseimbangan tidak berfungsi, manusia dapat menyusuri masalah
kembali pada suatu gangguan dari salah satu dari ketiga sistem sensoris atau memproses data
(otak). Ketika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal,
maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala
otonom. Vertigo bukanlah suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan
penyebabnya berbeda – beda. Oleh karena itu pada setiap penderita vertigo harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak
lesi, dan penyebabnya. Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan
tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa
yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan yaitu: (1) Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain
sesuai indikasi. (2) Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik). (3)
Neurofisiologi Elektroensefalografi (EEG), Elektromiografi (EMG), Brainstem Auditory Evoked
Potential (BAEP). (4) Pencitraan CTscan, arteriografi, magnetic resonance imaging (MRI)
(Setiawati & Susianti, 2016; Amin & Lestari, 2020).
Penatalaksanaan vertigo bergantung pada lama keluhan dan ketidaknyamanan akibat
gejala yang timbul serta patologi yang mendasarinya. Tujuan utama terapi vertigo adalah
mengupayakan tercapainya kualitas hidup yang optimal sesuai dengan perjalanan penyakitnya,
dengan mengurangi atau menghilangkan sensasi vertigo dengan efek samping obat yang
minimal. Tatalaksana vertigo terbagi menjadi tatalaksana farmakologi yaitu dengan pemberian
obat-obatan, tatalaksana non farmakologi berupa pemberian terapi, dan operasi yag dilakukan
pada pasien vertigo yang kronik. Adapaun tatalaksana farmakologi vertigo adalah pemberian
obat-obatan seperti oral Mertigo 6 mg/8 jam, injeksi Neurotam 400 mg/8 jam, Istigo (mengobati
vertigo atau pusing berputar), Donferindon (meredakan rasa mual, muntah, gangguan perut, rasa
tidak nyaman akibat kekenyangan, serta refluks asam lambung (GERD)), dan vitamin B
kompleks yang berguna untuk menambah energi, membantu proses metabolisme tubuh, dan
meningkatkan fungsi otak. Beberapa obat lain untuk mengurangi vertigo ringan adalah meklizin,
dimenhidrinat, perfenazin, dan skopolamin. Skopolamin terutama berfungsi untuk mencegah
motion sickness, dapat berbentuk plester kulit dengan kerja obat selama beberapa hari.
Pemberian obat adalah salah satu solusi untuk menyembuhkan vertigo. Namun, penatalaksanaan
dengan farmakologi dianjurkan untuk tidak secara rutin dilakukan. Beberapa pengobatan hanya
diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang
dapat terjadi pada pasien BPPV, seperti setelah melakukan terapi PRM. Sedangkan tatalaksana
non-farmakologi vertigo yaitu dapat dilakukan fisioterapi berupa senam vertigo untuk mengatasi
keluhan vertigo, perbanyak istirahat dan tidur, pemberian terapi latihan, dan pemberian terapi
dengan manuver reposisi partikel / Particle Repositioning Maneuver (PRM) yang dapat secara
efektif menghilangkan vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko
jatuh pada pasien. Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan
sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan terapi dengan
manuver-manuver pada terapi PRM. Dari beberapa literature menyebutkan indikasi untuk
melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai klinis penyakit
neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa. Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik
operasi yang dapat dipilih, yaitu singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan
oklusi kanal posterior semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik
neurectomi mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi (Setiawati & Susianti, 2016;
Amin & Lestari, 2020)
Referensi:
Amin, M., & Lestari, Y. A. (2020). Pengalaman Pasien Vertigo di Wilayah Kerja Puskesmas
Lingkar Timur. Jurnal Kesmas Asclepius, 2(1), 22-33.
Aquinas, R. (2017). Talakasana Otitis Media Efusi pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran, 44(7),
472-477.
Lorensi, E. L. (2018). Karakteristik Penderita Otitis Media Supuratif Kronik Rawat Jalan Di
Rsud. Dr. Pirngadi Kota Medan Tahun 2014. Jurnal Ilmiah PANNMED (Pharmacist,
Analyst, Nurse, Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist), 13(2), 15-18.
Setiawati, M., & Susianti, S. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana Vertigo. Jurnal Majority, 5(4),
91-95.
Shirai, N., & Preciado, D. (2019). Otitis media: what is new?. Current opinion in otolaryngology
& head and neck surgery, 27(6), 495-498.