0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
22 tayangan5 halaman
Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual seseorang yang berziarah ke makam untuk bertemu dengan orang yang telah meninggal. Ia merasakan kedamaian dan penerangan jiwa saat berdoa dan bermeditasi di makam tersebut. Puisi ini menyiratkan pesan bahwa kematian bukanlah akhir dari perjalanan jiwa seseorang.
Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual seseorang yang berziarah ke makam untuk bertemu dengan orang yang telah meninggal. Ia merasakan kedamaian dan penerangan jiwa saat berdoa dan bermeditasi di makam tersebut. Puisi ini menyiratkan pesan bahwa kematian bukanlah akhir dari perjalanan jiwa seseorang.
Puisi ini menggambarkan perjalanan spiritual seseorang yang berziarah ke makam untuk bertemu dengan orang yang telah meninggal. Ia merasakan kedamaian dan penerangan jiwa saat berdoa dan bermeditasi di makam tersebut. Puisi ini menyiratkan pesan bahwa kematian bukanlah akhir dari perjalanan jiwa seseorang.
Menyentuh permukaan samodra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku,
wahai kamu, wanita miskin ! Kakimu terbenam di dalam lumpur. Kamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul
keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia ! Membaca Tanda-Tanda Karya: Taufik Ismail
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merasakannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun Daun kehilangan dahan Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru
Kita saksikan Gunung membawa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa air Air membawa banjir Banjir air mata
Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Biskah kita membaca tanda-tanda? Allah Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama Kami telah dihujani abu dan batu Allah Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca tanda-tanda
Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan akan meluncur lewat sela-sela jari Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas tapi kini kami mulai merindukanya. Di Puncak Hening Karya: Diah Hadaning
Sungai hayatku mengalir berliku
Menembus bukit waktu Menghanyutkan mengendapkan Batu timbul Batu lumpur Pahala dan karma
Sungai hayatku mengalir berliku
Menembus gua-gua nuranimu Mengirim denyut bumi gelap pun nikmat Mengirim basah gunung angkuh pun lumat
Sungai hayatku mengalir berliku
Mencari ujung-ujung nyala kembaramu Sampai kau terbenam Menyelam Timbul tenggelam Dalam renang
Sungaiku yang terus mengalir
Dan kau yang terus berenang Beritakan kabar tanpa sengketa Kepada peladang di gigir desa Kepada nelayan dekat muara Menyatu aku pun pada lautku Menyatu kau pun pada lautmu Dan menyatu laut-laut itu Teringat Pada Daun Karya: Eka Budianta
Bagaimana aku bisa lupa padamu, daun
Setelah kau ajar selama bertahun-tahun Menghadapi berbagai musim dan kekecewaan Di laut, sekarang aku jadi biduk Tak berdaya, kosong dan sakit-sakitan Jauh dari hutan, jauh dari kalian Tapi lupakah aku padamu begitu saja? Nasib membuatku jadi sepotong gabus Kapal tanpa kompas, perahu tanpa layar Tapi jangan bilang aku lupakan kalian Hutang rindu, hutang kasih sayang Tak tertebus dengan sejuta bait gurindam Hidup bukan sekedar iuran perkataan Sejak dulu telah kau ajar aku membuktikan Sekarang, di tengah lautan kata-kata Aku memanggilimu, daun-daun Yang telah menghijaukan perasaan Dengan usapan dan tamparan di masa kecil Ombak kini menggantikanmu Dengan ayunan dan hempasan Mendekatkan aku ke akhir perjalanan Bertemu Karya: Sutan Takdir Alisjahbana
Aku berdiri di tepi makam
Suria pagi menyinari tanah, Merah muda terpandang di mega Jiwaku mesra tunduk ke bawah Dalam hasrat bertemu muka, Melimpah mengalir kandungan rasa.
Dalam kami berhadap-hadapan
Menembus tanah yang tebal, Kuangkat muka melihat sekitar: Kuburan berjajar beratus-ratus, Tanah memerah, rumput merimbun, Pualam berjanji, kayu berlumut.
Sebagai kilat 'nyinari di kalbu:
Sebanyak itu curahan duka, Sesering itu pilu menyayat, Air mata cucur ke bumi. Wahai adik, berbaju putih Dalam tanah bukan sendiri!
Dan meniaraplah jiwaku papa
Di kaki Chalik yang esa: Di depan-Mu dukaku duka dunia, Sedih kalbuku sedih semesta. Beta hanya duli di udara Hanyut mengikut dalam pawana.