Anda di halaman 1dari 5

Sajak Matahari

Karya: W.S. Rendra

Matahari bangkit dari sanubariku.


Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku,
menjadi pelangi di cakrawala.

Wajahmu keluar dari jidatku,


wahai kamu, wanita miskin !
Kakimu terbenam di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !

Satu juta lelaki gundul


keluar dari hutan belantara,
tubuh mereka terbalut lumpur
dan kepala mereka berkilatan
memantulkan cahaya matahari.
Mata mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara
dan mereka membakar dunia.

Matahari adalah cakra jingga


yang dilepas tangan Sang Krishna.
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
ya, umat manusia !
Membaca Tanda-Tanda
Karya: Taufik Ismail

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan


dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas


tapi kini kita mulai merasakannya

Kita saksikan udara abu-abu warnanya


Kita saksikan air danau yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting


Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam didesak karbon dioksid itu menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda


Biskah kita membaca tanda-tanda?
Allah
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu
Allah
Ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca tanda-tanda


Karena ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan
akan meluncur lewat sela-sela jari
Karena ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
tapi kini kami mulai merindukanya.
Di Puncak Hening
Karya: Diah Hadaning

Sungai hayatku mengalir berliku


Menembus bukit waktu
Menghanyutkan mengendapkan
Batu timbul
Batu lumpur
Pahala dan karma

Sungai hayatku mengalir berliku


Menembus gua-gua nuranimu
Mengirim denyut bumi gelap pun nikmat
Mengirim basah gunung angkuh pun lumat

Sungai hayatku mengalir berliku


Mencari ujung-ujung nyala kembaramu
Sampai kau terbenam
Menyelam
Timbul tenggelam
Dalam renang

Sungaiku yang terus mengalir


Dan kau yang terus berenang
Beritakan kabar tanpa sengketa
Kepada peladang di gigir desa
Kepada nelayan dekat muara
Menyatu aku pun pada lautku
Menyatu kau pun pada lautmu
Dan menyatu laut-laut itu
Teringat Pada Daun
Karya: Eka Budianta

Bagaimana aku bisa lupa padamu, daun


Setelah kau ajar selama bertahun-tahun
Menghadapi berbagai musim dan kekecewaan
Di laut, sekarang aku jadi biduk
Tak berdaya, kosong dan sakit-sakitan
Jauh dari hutan, jauh dari kalian
Tapi lupakah aku padamu begitu saja?
Nasib membuatku jadi sepotong gabus
Kapal tanpa kompas, perahu tanpa layar
Tapi jangan bilang aku lupakan kalian
Hutang rindu, hutang kasih sayang
Tak tertebus dengan sejuta bait gurindam
Hidup bukan sekedar iuran perkataan
Sejak dulu telah kau ajar aku membuktikan
Sekarang, di tengah lautan kata-kata
Aku memanggilimu, daun-daun
Yang telah menghijaukan perasaan
Dengan usapan dan tamparan di masa kecil
Ombak kini menggantikanmu
Dengan ayunan dan hempasan
Mendekatkan aku ke akhir perjalanan
Bertemu
Karya: Sutan Takdir Alisjahbana

Aku berdiri di tepi makam


Suria pagi menyinari tanah,
Merah muda terpandang di mega
Jiwaku mesra tunduk ke bawah
Dalam hasrat bertemu muka,
Melimpah mengalir kandungan rasa.

Dalam kami berhadap-hadapan


Menembus tanah yang tebal,
Kuangkat muka melihat sekitar:
Kuburan berjajar beratus-ratus,
Tanah memerah, rumput merimbun,
Pualam berjanji, kayu berlumut.

Sebagai kilat 'nyinari di kalbu:


Sebanyak itu curahan duka,
Sesering itu pilu menyayat,
Air mata cucur ke bumi.
Wahai adik, berbaju putih
Dalam tanah bukan sendiri!

Dan meniaraplah jiwaku papa


Di kaki Chalik yang esa:
Di depan-Mu dukaku duka dunia,
Sedih kalbuku sedih semesta.
Beta hanya duli di udara
Hanyut mengikut dalam pawana.

Sejuk embun turun ke jiwa


Dan di mata menerang Sinar.

Anda mungkin juga menyukai