Final Article - Isda Zulfani
Final Article - Isda Zulfani
Isda Zulfani
aqilanurfaizah14@gmail.com
Abstrak
Pendahuluan
Penyebaran penyakit bisa saja merusak tubuh sehingga membuat orang susah
untuk menahan rasa sakit, hampir semua penyakit tentu hanya berdampak pada
tubuh, lalu bagaimana bila sebuah penyakit justru mengganggu psikis seseorang
yang terjangkit penyakit dan menderita dalam kurung waktu yang lama bahkan
sampai menghabiskan sisa masa hidupnya. Hal inilah yang sering kali terjadi pada
penderita penyakit kusta atau lepra yang masa hidupnya berakhir dalam
pengisolasian yang bahkan hal ini telah berlangsung sejak lama.
Indonesia sendiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penelitian akan kasus
kusta telah lama berlangsung bahkan menjadi fokus Volksraad- Dewan Rakyat-
yang dimulai pada tahun 1935. Jika dilihat dari segi kepadatan penderita atau yang
menjadi pusat titik kusta, kota-kota yang difokuskan yakni seperti Batavia,
Surabaya, Makassar, Manado, dan Ambon.
Mengulik dari segi persebaran, hal ini tentu belum dapat dipastikan pada tahun
tersebut, namun melihat dari pusat kusta disetiap wilayah satu hal yang dapat
dipastikan, bahwa wilayah-wilayah yang disebutkan diatas adalah yang juga
menjadi pusat pelabuhan masa Hindia Belanda bahkan hingga saat ini, kesamaan
ini dapat dinilai unik karena selain menjadi titik kepadatan penderita kusta juga
dapat disebut sebagai titik pertama kali penyebar kusta.
Indonesia memang telah sejak lama menjadi negeri dengan pengunjung dari
berbagai penjuru bumi, dan yang menjadi wilayah padat pengunjung ialah
wilayah yang memiliki pelabuhan-pelabuhan besar. Kusta sendiri masuk ke
Indonesia diperkiraan pada saat masuknya para penjelajah tersebut, seperti Cina,
dalam sejarahnya Cina telah sejak dahulu ditemukan penyakit kusta, disusul
dengan India yang juga memiliki angka penderita kusta yang sanggat tinggi
bahkan melebihi angka Indonesia kala itu. Tentu aktivitas dagang menjadi faktor
unggul dalam penyebaran kusta.
Selain itu faktor lain yang mendukung persebaran kusta bisa melalui kelangkaan
pangan, kurangnyanya air bersih, lingkungan yang kumuh, serta pelayanan
kesehatan yang kurang memadai. Akibat daripada faktor-faktor ini, angka
penderita serta angka kematian akibat kusta meningkat pesat dan menyentuh
angka tertingginya pada tahun 1936, angka ini meliputi penderita diseluruh
wilayah Hindia Belanda.
Dalam berita surat kabar 1936, bahwa pada saat itu laporan mengatakan Indonesia
memiliki sebanyak 300,000 jiwa penderita penyakit kusta1, jumlah ini tentu sangat
tinggi dalam skala negara, sehingga dalam sidang volksraad pemerintah
menyebutkan bahwa dana besar dibutuhkan dengan segera sebagai upaya
penanggulangan kusta. Upaya yang dimaksud ialah dengan membangun bangsal
kusta bagi para penderita, serta memberi layanan kesehatan yang lebih memadai.
Rapat sidang tersebut berlangsung di Batavia pada Juli, 1936.
1
1936. Bestrijding Der Lepra, dalam Deli Courant. Medan : Dane
Makasaar yang dikunjungi oleh Dr. Theunissen2. Dalam sebuah wawancaranya ia
mengatakan bahwa Makassar telah memiliki pelayan kusta yang baik, namun
walau penyakit dapat disembuhkan akan tetapi pandangan masyarakat terhadap
seorang yang pernah menderita kusta tidaklah berubah walaupun sudah
dinyatakan sembuh. Hal ini tentu mempengaruhi psikis para penderita ataupun
mantan penderita, akibatnya mereka harus menjadi pengangguran dan menjadi
orang buangan semasa hidupnya.
Hal ini terlihat jelas oleh Dr. Theunissen dalam kunjungannya, ia pun menaruh
simpatik pada para penderita, dengannya ia mengusut agar penyembuhan kusta
harus juga disertai dengan penyembuhan psikis.
Metode Penelitian
Kasus kusta pertama kali seperti yang telah saya kemukakan pada pembahasan
diatas bahwa penyakit ini diketahui berasal dari India yang berhasil diungkap
dengan dilakukannya penelitian kerangka manusia dan hasilnya bahwa penyakit
kusta telah ada sejak 4000 tahun yang lalu. Kemudian kasus lain juga ditemukan
di Tiongkok pada 600 SM yang berada dicatatan-catatan sejarah kaisar3. Sehingga
memungkinkan bahwa India dan Cina berperan besar dalam penyebaran kusta,
terutama setelah diketahui bahwa kedua bangsa tersebut merupakan pelaut unggul
yang menjelajahi dunia bahkan sebelum bangsa eropa.
Sejarah Indonesia juga turut mendukung opini tersebut, bahwa para pedagang
yang meramaikan pelabuhan Indonesia dimasa lampau serta yang
memperkenalkan Indonesia pada dunia global ialah bangsa India dan Cina. Fakta
bahwa kedua negara tersebut mengambil peran besar dalam sejarah dunia dapat
2
1935. De Lepra Bestrijding, dalam Bataviaasch Nieuwsblan. Batavia : Kolff&Co.
3
Celia, Arira V.P. 2021. Mengenal Kusta, Hapus Stigma dan Diskriminasi. FKM : Unair.
mendukung kemungkinan bahwa keduanya merupakan titik mula persebaran
penyakit kusta.
Tahun-tahun berlalu, kusta di Indonesia mungkin juga telah ada sejak lama namun
penyembuhannya belum dapat dipastikan, apakah obat penyakit tersebut telah
ditemukan juga atau ada usaha lain yang dilakukan para penderita dimasa lampau
untuk mencegah atau mengobati penyakit ini. Namun pengobatan yang dilakukan
barulah diungkap setelah adanya Dinas Kesehatan pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sejak tahun 1600an. Fakta ini dikuatkan dengan didirikannya
tempat penanggulanngan kusta di Kepulauan Seribu pada tahun 16554.
Pada tahun 1815 banyaknya pendapat ahli mengenai kusta, diantaranya ialah
bahwa penyakit kusta dinyatakan sebagai penyakit keturunan dan tidak termasuk
diantara penyakit yang menular. Hal ini pun membendung peraturan yang
sebelumnya mengenai penanganan kusta yang mana pasien diwajibkan untuk
isolasi diri serta masuk kedalam perawatan dibangsal-bangsal yang disediakan.
Maka dengan adanya ungkapan bahwa kusta tidaklah menular perintah mengenai
isolasi dinyatakan gugur, pada tanggal 29 September 1865 no. 11 pemerintah
4
2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, disusun oleh Direktorat Jenderal PP & Pl
Departemen Kesehatan RI.
5
Ibid.
6
1907 (1). Nota Over de Bestridjing Der Lepra in Nederlandsch-Indie. Belanda : FP Smith
mengeluarkan kepetusan mengenai penanganan kusta, bahwa penderita tidak lagi
diwajibkan untuk masuk bangsal isolasi, isolasi haruslah dilakukan secara
sukarela.
Hasil akhir pasca konferensi yakni dengan dikemukakannya tiga mosi yang akan
dijadikan sebagai panutan dalam mananggulangi kusta, diantaranya sebagai
berikut8 :
Setelah kebijakan ditentukan oleh negara, langkah selanjutnya ialah para penderita
kusta diwajibkan mendaftar diri untuk segera dikarantina di wilayah yang
dijadikan sebagai tempat penanggulangan kusta. Penderita dapat memilih untuk
tidak dipindahkan tempat tinggalnya dengan syarat dapat menjamin diri dengan
7
Ibid.
8
Ibid.
tidak menularkan penyakit yang diderita. Selanjutnya pasien yang telah
dipindahkan harus mematuhi protokol dan tidak diizinkan untuk keluar wilayah
kecuali telah menerima izin keluar.
Pasca perintah karantina selama beberapa tahun hingga 1903, faktanya bahwa
perintah karantina ini justru meresahkan para penderita kusta, karenanya aktivitas
masyarakat yang dibatasi, juga dilarangnya kontak fisik maupun bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya, ini mengakibatkan dampak negatif bagi
kelangsungan hidup para penderita ini, dua kali lipat penderitaan yang didapat
ketika selain dikarantina masyarakat dilingkungan mereka juga turur menjauhi
serta memisahkan status sosialnya dengan para penghuni bangsal. Status yang
secara tegas dipisah dari lingkungan masyarakat, masalah demi masalah justru
bedatangan, selain penyakit pada tubuh, psikis para penderita juga perlu
dipertimbangkan jika perintah karantina memang bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, dengannya diperlukan peraturan baru yang dapat menangani
permasalahan baru dari dampak karantina secara paksa.
Ditahun 1903, Russia mengeluarkan perintah baru mengenai sistem karantina bagi
penderita kusta dalam sebuah artikel yang bernama Zoo vinden wij in Lepra 1903,
IV, blz. 99, didalamnya berisi tentang aturan yang tidak mengharuskan para
penderita ini memisahkan diri dari masyarakat, isolasi mandiri dinilai sudahlah
cukup, seperti membatasi rumah dan pekarannya sendiri, atau memiliki kamar
sendiri, pakaiana serta peralatan rumah tangganya sendiri, sehingga terhindar dari
kontak fisik secara langsung dengan non penderita namun tetap dapat membaur
dalam ruang lingkup masyarakat, larangan yang paling diutamakan ialah
berhubungan fisik.
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa sebuah bangsa yang memiliki SDM
yang mapan serta kemampuan intelektual yang tinggi akan menempatkan
keresahan rakyat khususnya penderita kusta pada kepentingan yang utama,
kualitas ini akan terasa bila dibandingkan dengan sebuah negara yang
memperlakukan penderita penyakit dengan sebaliknya yang mana berusaha untuk
mengeluarkan penderita dari lingkungan masyarakat, seperti hilangnya rasa
kemanusiaan serta pelanggaran atas hak-hak setiap warga yang bernegara.
Berbeda dengan di Hindia Belanda yang tercatat hingga tahun 1900 masih
bersusah payah untuk menerapkan kebijakan karantina kusta, yang sepertinya
terjadi penolakan oleh rakyat untuk dikarantina sehingga pemerintah merasa
perlunya tindakan pemaksaan yang harus diperketat, hal ini justru menuai
pandangan yang lain oleh Direktur Pendidikan Agama dan Industri, yang pada
tangal 12 November 1900, ia menyampaikan pidatonya sebagai berikut :
9
Ibid, hlm. 2
“Ik hei haal echter dat er m. i in 't minst geen urgentie bestaat
tot het doen tenuitvoerbrengen van zulk een onmeedoogenden,
in het volksbelang zoo ingrijpenden maatregel als het
gedwongen isolement en dat men daartoe slechts mag overgaan
als de urgentie niet meer te ontkennen valt, hetgeen zooals ik
zeide nader zal moeten blijken. Ik meen daarom te moeten
persisteeren bij mijn advies, neergelegd in mijn schiijven van 24
Augustus jl. No. 2280/4210”
Para pakar yang berasal dari kedokteran sepakat untuk mengkategorikan kusta
sebagai penyakit yang menular, berbahaya atau tidaknya penyakit ini dikatakan
bergantung luka yang disebabkan olehnya, sehingga kusta masih lebih kecil
ketimbang penyakit yang menyebar lainnya. Dengannya pertimbangan mengenai
karantina akan dilihat dari sejauh mana gejala kusta berada dalam tubuh pasien,
sehingga ketentuan pemaksaan atau anjuran karantina dapat lebih damai
penerapannya.
10
Ibid., hlm. 3
11
Ibid., hlm.4
12
1934. Dr. P. H. J. LAMPE: Voordrachten over de endemiologie der lepra. Batavia : GENEESKUNDIG
TIJDSCHRIFT VOOR NEDERLANDSCH-INDIË (8)., hlm. 486
Setelah pemerintah dengan segenap peraturannya guna memberantas penyebaran
kusta, lalu bagaimana dengan infeksi langsung kusta, bagaimana pandangan para
dokter mengenai hal ini dan apa yang menjadi faktor sebenarnya dari adanya
infeksi kusta. Hingga pertengahan abad 20, di Hindia Belanda faktor infeksi kusta
masih dalam proses penelitian, namun beberapa ahli tetap melakukan spekulasi
terhadap faktor yang sangat mendekati dari infeksi penyakit ini dengan melakukan
penelitian berkala terhadap setiap kemungkinan. Dr. P. H. J. Lampe, dalam sebuah
jurnal kesehatan Hindia Belanda tahun 1934 mengenai epidemiologi kusta, ia
memaparkan spekulasi terkini mengenai infeksi kusta13, beberapa faktor yang ia
kemukakan diantaranya :
13
Ibid., hlm. 486-487
Wilhelmina Instituut voor Lepra) pada 25 Oktober 1935 yang seluruh peralatan
serta biaya administrasi lembaga ditanggung oleh Ratu Wilhemina14. Lembaga ini
didirikan untuk mengukur tingkat perkembangan kusta di Hindia Belanda.
Setelahnya setiap tahun ketika adanya rapat negara kemudian voolksrad yang
akan menyiarkan langsung laporan negara yang memuat seluruh berita penting
selama satu tahun belakangan.
Pada tahun 1935, adanya program misi D.V.G (Dinas Kesehatan dan Perumahan)
untuk mengunjungi pulau-pulau di Hindia Belanda, yang dijalankan langsung oleh
ketua D.V.G yaitu Dr.Theunissen15, ia memulai penjalanannya dengan
mengunjungi Batavia, kemudian Surabaya kemudian berpindah Bali, Sulawesi,
dan Maluku sebagai akhir dari kunjungannya. Usai kunjungannya kemudian ia
kemudian meyampaikan sepintas mengenai fenomena yang ditemukannya dalam
sebuah forum pemukaan lembaga kusta sepanjang kunjungannya terkhusus
mengenai kusta, ia mengatakan bahwa kusta memiliki karakter khusus sebagai
suatu penyakit, dalam forum tersebut ia juga menyapaikan bahwa :
“Ik zou hier willen wijzen op het zeer bijzondere karakter, dat
een ziekte als lepra draagt. Er zijn talrijke ziekten, die zonder
twijfel voor het leven als zoodanig een veel grooter gevaar
opleveren. Aan pest of aan cholera gaat men dikwijls dood,
doch dit is niet het ergste ; veel erger is het om, gelijk door de
lepra in zoovele gevallen geschiedt, te gaan behooren tot de
„outcasts" in de maatschappij, tot die groep van menschen, die
gemeden en geschuwd worden. Men onderschatte vooral niet
den geweldigen psychologischen invloed, die hiervan uitgaat,
en het is misschien nog meer een humanitaire dan een
medische plicht, dat men geen middel onbeproefd late om dit
leed te voorkomen.”16
14
1936. Verslag van de plechtige opening en in gebruikname van het Koningin Wilhelmina
Instituut voor Lepra Onderzoek te Batavia-C. ddo. Dalam Med. D.V.G. XXV (1936) Suppl. 1.,
hlm. 97
15
1935. ‘De Lepra Bestridjing’ dalam Bataviaasch Nieuwsblad. Batavia : Kolff&Co.
16
Rede van Dr. W. F. THEUNISSEN., Op. Cit., hlm. 99
Setelah melakukan perjalanan dari Maluku, ia kembali mengunjungi Sulawesi
Selatan, dalam perjalanannya ia berfokus pada perjuangan kusta di setiap daerah,
melalui Bantaeng, Watampone, dan Maros. Daerah-daerah yang membekas serta
memberi kesan tersendiri dalam perjalanannya karena bahwa daerah-daerah ini
memiliki pusat pelayanan serta perawatan medis yang memadai, namun secara
geografis kedua wilayah tersebut jauh dari pusat titik kota Makassar, sehingga
menurut Dr. Theunissen bahwa pembangunan Rumah Sakit Kusta masih tetap
dibutuhkan untuk wilayah Makassar17.
Pandangan lain hadir dari Direktur Koningin Wilhelmina Instituut voor Lepra Dr.
P.H.J. Lampe, menurutnya tujuan dibangunnya Lembaga Penelitian Kusta ini
bukan untuk menghilangkan keresahan rakyat dengan menurunnya angka
penderita kusta, atau berhasilnya pemberantasan kusta, atau dapat ditemukannya
obat mujarab yang dapat menyembuhkan kusta, untuk mengingatkan kita, Dr.
Lampe menyampaikan lebih lanjut bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang
menular, untuk menyembuhkan pasien kusta dengan jumlah yang padat tentu
seperti tidak mungkin, namun lembaga penelitian kusta ini akan mempelajari
langsung bagaimana proses infeksi kusta serta darimana asal penyebarannya juga
konherensi kusta, menurutnya inilah cara yang cukup rasional untuk memerangi
penyakit endemic kronis kusta18.
Sulawesi Selatan juga turut menjadi pembahasan dalam rapat, fakta yang
dikemukakan bahwa walaupun penanganan disana cukup baik namun kenyataan
bahwa terdapat banyak penderita yang belum bisa ditangani akibat kurangnya
ruang serta bangsal kusta, namun pemerintah diMakassar membuka beberpa
klinik rawat jalan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi dalam penanganan
kusta20.
Setelah rapat, susunan program kerja selanjutnya yang ditangani oleh D.V.G
bahwa pembangunan rumah sakit kusta harus segera dibangun di Saparua dan
Makassar, hal ini sebagai bentuk solusi dari masih banyaknya pasien yang belum
bisa ditangani oleh pelayanan kesehatan. Dalam pembangunannya nanti, D.V.G
melakukan basis pendekatan masyarakat desa, dengan meminta wilayah distrik
kusta haruslah dibangun dengan watak kedesaan, hal ini juga dapat menjadi solusi
yang tepat bagi masyarakat Saparua yang memiliki kenggangan untuk keluar dari
wilayahnya. Sedang di Makassar, Kalukuang yang nantinya akan dijadikan
sebagai distrik kusta, dengan ini Saparua akan diberikan dana sebesar 11.100
gulden dan Makassar akan diberikan 28.700 gulden, dengan total keseluruhan
sebesar 39.800 gulden dana yang akan dikeluarkan untuk pembangunan tersebut
terhitung sejak tahun 193621. Sedangkan lembaga yang dipercayakan untuk
menangani pembangunan ini, D.V.G membentuk lembaga ‘Persatuan
Pemberatasan Kusta’ (Vereeniging tot van Lepra-Bestridjing) di Makassar.
Setelah Rumah Sakit tersebut dibangun, adanya kebutuhan lain yang dirasakan
dan harus segera diberikan solusi, bahwa kehidupan para penderita ini hingga
memasuki masa tuanya tetap dilabeli sebagai orang ‘buangan’, sehingga masalah
kesehatan yang ditimbas masalah ekonomi berlangsung, akibatnya banyak
penderita kusta yang mengahabiskan masa hidupnya sebagai pengangguran dan
hidup dipinggiran jalan, sebuah fenomena yang menyedihkan ini faktanya
memang tidak dapat dihilangkan begitu saja, masyarakat telah menanam dalam
pikirannya untuk menjauhi para penderita kusta ini hingga pada tahap pengucilan
kelompok tersebut. Sebagaimanapun kebijakan pemerintah, sepertinya solusi yang
tepat saat ini memanglah membangun distrik kusta disetiap wilayah padat kasus
kusta. Selain Rumah Sakit, sepertinya kebutuhan lebih lanjut terhadap pasien
kusta yang telah berumur juga masih perlu disediakan pekarangan yang khusus,
19
1936. BESTRIDJING DER LEPRA, dimuat di Deli Courant. Medan : Dane.
20
Ibid.
21
1937. Planen voor Saparoea en Makassae (De Lepra-Bestridjing), dalam Bataviaasch
Nieuwsblad. Batavia : Koff&Jo.
guna menghindari sikap yang kurang baik yang diterima mereka dimasyarakat.
Sehingga pada tahun 1939, pembangunan Panti Jompo kusta didirikan di
Makassa22.
Hingga saat ini, diMakassar masih ditemukan distrik kusta yang berlangsung dan
menjadi sebuah desa dimana para penduduknya merupakan para penderita kusta.
Sebagai survey lebih lanjut, asumsi masyarakat mengenai penyakit ini terus
berlangsung sehingga pengucilan terhadap penderita penyakit ini masih ada
hingga saat ini.
KESIMPULAN
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, pelayanan kesehatan masyarakat
selalu menjadi fokus utama pemerintah, terutama diIndonesia kala itu banyaknya
wabah penyakit serta penyakit yang menular lainnya meyebar dengan signifikan
disetiap wilayah, wilayah-wilayah yang ramai dikunjung tentunya menjadi
wilayah dengan penderita penyakit yang membludak dibanding dengan wilayah
lainnya, terutama penyakit kusta. Pada tahun 1936, laporan mengenai kasus kusta
menyentuh angka 300.000 kasus, sehingga perhatian khusus penanganan kusta
harus segera dilaksanakan. Makassar menjadi wilayah yang turut menuai
perhatian khusus pemerintah, dengan dibangunnya Rumah Sakit kusta serta Panti
Jompo Kusta, Namun terlepas dari usaha pemerintahan, nyatanya pandangan
masyarakat tetap pada masa lalu, adanya perkembangan penelitian tidak
mengubah pandangan masyarakat mengenai kusta tersebut, para penderita kusta
masih terus merasakan perlakuan yang tidak baik yaitu dikucilkan dari
lingkungannya serta menghabiskan masa hidupnya dengan menjadi pengangguran
yang hidup dipinggiran jalanan. Fenomena kelam ini bahkan berlangsung hingga
hari ini, pentingnya sosialisasi terhadap masyarakat kusta sepertinya harus
ditegaskan, agar memotong rantai perilaku tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, disusun oleh Direktorat
Jenderal PP & Pl Departemen Kesehatan RI.