Anda di halaman 1dari 13

Proses Karantina Kusta di Makassar dengan Melihat Dampak Sosialnya

bagi Masyarakat Pada Tahun 1934-1939

Isda Zulfani

Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

aqilanurfaizah14@gmail.com

Abstrak

Fenomena pengucilan terhadap suatu kelompok masyarakat sudah bukan menjadi


hal baru dalam proses stratifikasi sosial. Hal ini juga dirasakan langsung oleh para
penderita kusta yang ada diseluruh dunia, begitupula dengan masyarakat desa
kusta yang ada di Makassar. Usaha pemerintah Belanda dalam menangani hal ini
telah berlangsung sejak tahun 1655, seiring bertambahnya waktu diberbagai
negara juga terus mengubah kebijakan-kebijakannya dalam menangani kusta,
pemerintah Belanda juga turut dalam mengikuti proses perubahan tersebut.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni dengan mengumpulkan
sumber sumber, utamanya dari website Delpher. melakukan kritik terhadap
sumber serta interpretasi seiring dengan proses penulisan. Hasil penelitian
menunjukan bahwa, Makassar telah menjadi pusat penelitian kusta sejak lama, pa
tahun 1936 dibangun Rumah Sakit kusta, dan ditahun 1939 dibangun Panti Jompo
bagi penderita kusta, namun usaha pemerintah tidak mengubah pandangan
masyarakat yang tidak menaruh harapan terhadap proses pemberantasan penyakit
kusta maupun usaha penyembuhan yang dilakukan, perilaku lama terhadap para
penderita terus saja berlangsung hingga saat ini.

Kata Kunci : Penularan Kusta, Lepra, Makassar.

Pendahuluan

Penyebaran penyakit bisa saja merusak tubuh sehingga membuat orang susah
untuk menahan rasa sakit, hampir semua penyakit tentu hanya berdampak pada
tubuh, lalu bagaimana bila sebuah penyakit justru mengganggu psikis seseorang
yang terjangkit penyakit dan menderita dalam kurung waktu yang lama bahkan
sampai menghabiskan sisa masa hidupnya. Hal inilah yang sering kali terjadi pada
penderita penyakit kusta atau lepra yang masa hidupnya berakhir dalam
pengisolasian yang bahkan hal ini telah berlangsung sejak lama.
Indonesia sendiri pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penelitian akan kasus
kusta telah lama berlangsung bahkan menjadi fokus Volksraad- Dewan Rakyat-
yang dimulai pada tahun 1935. Jika dilihat dari segi kepadatan penderita atau yang
menjadi pusat titik kusta, kota-kota yang difokuskan yakni seperti Batavia,
Surabaya, Makassar, Manado, dan Ambon.

Mengulik dari segi persebaran, hal ini tentu belum dapat dipastikan pada tahun
tersebut, namun melihat dari pusat kusta disetiap wilayah satu hal yang dapat
dipastikan, bahwa wilayah-wilayah yang disebutkan diatas adalah yang juga
menjadi pusat pelabuhan masa Hindia Belanda bahkan hingga saat ini, kesamaan
ini dapat dinilai unik karena selain menjadi titik kepadatan penderita kusta juga
dapat disebut sebagai titik pertama kali penyebar kusta.

Indonesia memang telah sejak lama menjadi negeri dengan pengunjung dari
berbagai penjuru bumi, dan yang menjadi wilayah padat pengunjung ialah
wilayah yang memiliki pelabuhan-pelabuhan besar. Kusta sendiri masuk ke
Indonesia diperkiraan pada saat masuknya para penjelajah tersebut, seperti Cina,
dalam sejarahnya Cina telah sejak dahulu ditemukan penyakit kusta, disusul
dengan India yang juga memiliki angka penderita kusta yang sanggat tinggi
bahkan melebihi angka Indonesia kala itu. Tentu aktivitas dagang menjadi faktor
unggul dalam penyebaran kusta.

Selain itu faktor lain yang mendukung persebaran kusta bisa melalui kelangkaan
pangan, kurangnyanya air bersih, lingkungan yang kumuh, serta pelayanan
kesehatan yang kurang memadai. Akibat daripada faktor-faktor ini, angka
penderita serta angka kematian akibat kusta meningkat pesat dan menyentuh
angka tertingginya pada tahun 1936, angka ini meliputi penderita diseluruh
wilayah Hindia Belanda.

“Hier te land zijn zeker 300.000 leprozen, zoodat intensieve


bestrijding zeer moeilijk is”- Deli Courant 1936

Dalam berita surat kabar 1936, bahwa pada saat itu laporan mengatakan Indonesia
memiliki sebanyak 300,000 jiwa penderita penyakit kusta1, jumlah ini tentu sangat
tinggi dalam skala negara, sehingga dalam sidang volksraad pemerintah
menyebutkan bahwa dana besar dibutuhkan dengan segera sebagai upaya
penanggulangan kusta. Upaya yang dimaksud ialah dengan membangun bangsal
kusta bagi para penderita, serta memberi layanan kesehatan yang lebih memadai.
Rapat sidang tersebut berlangsung di Batavia pada Juli, 1936.

Setelahnya pemerintah mulai memfokuskan pelayanan kesehatan dengan


mengunjungi wilayah-wilayah yang menjadi titik kusta, diantaranya ialah

1
1936. Bestrijding Der Lepra, dalam Deli Courant. Medan : Dane
Makasaar yang dikunjungi oleh Dr. Theunissen2. Dalam sebuah wawancaranya ia
mengatakan bahwa Makassar telah memiliki pelayan kusta yang baik, namun
walau penyakit dapat disembuhkan akan tetapi pandangan masyarakat terhadap
seorang yang pernah menderita kusta tidaklah berubah walaupun sudah
dinyatakan sembuh. Hal ini tentu mempengaruhi psikis para penderita ataupun
mantan penderita, akibatnya mereka harus menjadi pengangguran dan menjadi
orang buangan semasa hidupnya.

Hal ini terlihat jelas oleh Dr. Theunissen dalam kunjungannya, ia pun menaruh
simpatik pada para penderita, dengannya ia mengusut agar penyembuhan kusta
harus juga disertai dengan penyembuhan psikis.

Bagaimana proses penyembuhan dengan metode baru ini dilakukan? Serta


bagaimana dampaknya bagi para penderita? inilah yang akan saya paparkan dalam
penulisan saya dengan menjadikan kondisi para penderita dapat ditangani atau
tidaknya oleh pelayanan kesehatan pemerintah yang menjadi titik fokus
penelitian.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode berjenis Library Research atau Kepustakaan.


Metode ini juga dapat disebut sebagai studi dengan cara melakukan pengumpulan
informasi atau bantuan yang dilakukan dengan cara menelaah literature, catatan,
buku serta laporan yang tentunya berkaitan dengan permasalahan yang akan
diteliti. Dalam penulisannya, peneliti berfokus dalam mencari sumber arsi
berbahasa Belanda di Delpher, serta jurnal dan artikel tambahan sebagai bahan
pendukung penulisan.

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda dalam Mencegah Penyakit Kusta

Kasus kusta pertama kali seperti yang telah saya kemukakan pada pembahasan
diatas bahwa penyakit ini diketahui berasal dari India yang berhasil diungkap
dengan dilakukannya penelitian kerangka manusia dan hasilnya bahwa penyakit
kusta telah ada sejak 4000 tahun yang lalu. Kemudian kasus lain juga ditemukan
di Tiongkok pada 600 SM yang berada dicatatan-catatan sejarah kaisar3. Sehingga
memungkinkan bahwa India dan Cina berperan besar dalam penyebaran kusta,
terutama setelah diketahui bahwa kedua bangsa tersebut merupakan pelaut unggul
yang menjelajahi dunia bahkan sebelum bangsa eropa.

Sejarah Indonesia juga turut mendukung opini tersebut, bahwa para pedagang
yang meramaikan pelabuhan Indonesia dimasa lampau serta yang
memperkenalkan Indonesia pada dunia global ialah bangsa India dan Cina. Fakta
bahwa kedua negara tersebut mengambil peran besar dalam sejarah dunia dapat
2
1935. De Lepra Bestrijding, dalam Bataviaasch Nieuwsblan. Batavia : Kolff&Co.
3
Celia, Arira V.P. 2021. Mengenal Kusta, Hapus Stigma dan Diskriminasi. FKM : Unair.
mendukung kemungkinan bahwa keduanya merupakan titik mula persebaran
penyakit kusta.

Tahun-tahun berlalu, kusta di Indonesia mungkin juga telah ada sejak lama namun
penyembuhannya belum dapat dipastikan, apakah obat penyakit tersebut telah
ditemukan juga atau ada usaha lain yang dilakukan para penderita dimasa lampau
untuk mencegah atau mengobati penyakit ini. Namun pengobatan yang dilakukan
barulah diungkap setelah adanya Dinas Kesehatan pada masa pemerintahan
Hindia Belanda sejak tahun 1600an. Fakta ini dikuatkan dengan didirikannya
tempat penanggulanngan kusta di Kepulauan Seribu pada tahun 16554.

Usaha pemerintahan Hindia Belanda dalam melawan kusta ialah dengan


mengikuti perkembangan dunia dalam menangani kusta, pada tahun 1770 di
Eropa telah ditetapkan peraturan sebagai penanggulangan kusta, yakni dengan
isolasi wilayah tempat tinggal penderita kusta dan bagi penderita diwajibkan
untuk masuk dalam ruang isolasi baik secara sukarela maupun terpaksa, hal ini
juga diterapkan di Hindia Belanda. Maka bangsal-bangsal untuk pasien kusta
didirikan diwilayah-wilayah tersebut, diantaranya Batavia, Ambon, Manado,
Riau, dan Bangka, tahapan ini berlangsung hingga pertengahan abad ke-195.

“Vijf'ig jaren geleden gold de meening, dat lepra eene erfelijke


(hereditaire) en geen besmettelijke (contagieuse) ziekte was.
Een uitvloeisel van deze meening is geweest het
Gouvernementsbesluit van 29 September 1865 No. 11, waarin
werd overwogen dat voor de maatschappij, volgens de
uitspraak der deskundigen, geen gevaar is te duchten van het
vrij verkeer der leprozen en er dan ook geen grond bestond om
bepalingen in het leven te roepen krachtens welke lepralijders
genoodzaakt konden worden zich in een lepragesticht te doen
opnemen of om op bepaalde, aangewezene plaatsen verblijf te
houden6”

Pada tahun 1815 banyaknya pendapat ahli mengenai kusta, diantaranya ialah
bahwa penyakit kusta dinyatakan sebagai penyakit keturunan dan tidak termasuk
diantara penyakit yang menular. Hal ini pun membendung peraturan yang
sebelumnya mengenai penanganan kusta yang mana pasien diwajibkan untuk
isolasi diri serta masuk kedalam perawatan dibangsal-bangsal yang disediakan.
Maka dengan adanya ungkapan bahwa kusta tidaklah menular perintah mengenai
isolasi dinyatakan gugur, pada tanggal 29 September 1865 no. 11 pemerintah
4
2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, disusun oleh Direktorat Jenderal PP & Pl
Departemen Kesehatan RI.
5
Ibid.
6
1907 (1). Nota Over de Bestridjing Der Lepra in Nederlandsch-Indie. Belanda : FP Smith
mengeluarkan kepetusan mengenai penanganan kusta, bahwa penderita tidak lagi
diwajibkan untuk masuk bangsal isolasi, isolasi haruslah dilakukan secara
sukarela.

“In October 1897 vergaderde te Eerlijn eene internationale


Lepraconferentie…. Dit congres verklaarde dat de lepra eene
besmettelijke (contagieuse) ziekte is, terwijl het zich omtrent de
herediteit der ziekte van een scherp uitgesproken oordeel
onthield..7”

Konferensi internasional kembali diadakan pada tahun 1897 di Berlin, yang


dimana pihak Belanda turut berpartisipasi dalam konferensi tersebut, perihal
keputusan beberapa tahun lalu mengenai fakta kusta, dalam konferensi ini
perolehan fakta kusta tersebut menuai penolakan, para ahli yang berada dalam
konferensi tersebut mengatakan bahwa penyakit kusta bukanlah berasal dari aspek
biologis ataupun keturunan melainkan penyakit tersebut menyebar melalui
penularan atau dapat menular, sehingga pemerintah disetiap negara diharuskan
untuk merangkai kembali prospek isolasi penderita kusta agar dapat memberantas
tali penyebaran. Namun pada tahun-tahun tersebut, kusta di Hindia Belanda telah
berkembang pesat yang mana penularan akan sulit untuk dibendung bila tidak
dilakukan pengisolasian kusta serta diberikan pelayanan kesehatan yang lebih
memadai.

Hasil akhir pasca konferensi yakni dengan dikemukakannya tiga mosi yang akan
dijadikan sebagai panutan dalam mananggulangi kusta, diantaranya sebagai
berikut8 : 

1. Isolasi harus dilakukan dinegara-negara dengan kasus kusta yang tinggi,


upaya ini dianggap sebagai standar penanggulangan kusta
2. Sistem pendaftarannya berisi mengenai pengawasan dan Karantina, ini
harus berpanutan pada sistem yang tengah diterapkan di Norwegia,
negara-negara yang diberikan rekomendasi haruslah memiliki dokter yang
memadai  
3. Kebijakan tersebut harus diserahkan kepada otoritas hukum setelah
dilakukannya diskusi dengan otoritas ruang lingkup agar dapat dibentuk
peraturan yang sesuai baik dengan kondisi alam maupun kondisi sosial. 

Setelah kebijakan ditentukan oleh negara, langkah selanjutnya ialah para penderita
kusta diwajibkan mendaftar diri untuk segera dikarantina di wilayah yang
dijadikan sebagai tempat penanggulangan kusta. Penderita dapat memilih untuk
tidak dipindahkan tempat tinggalnya dengan syarat dapat menjamin diri dengan

7
Ibid.
8
Ibid.
tidak menularkan penyakit yang diderita. Selanjutnya pasien yang telah
dipindahkan harus mematuhi protokol dan tidak diizinkan untuk keluar wilayah
kecuali telah menerima izin keluar.

Pasca perintah karantina selama beberapa tahun hingga 1903, faktanya bahwa
perintah karantina ini justru meresahkan para penderita kusta, karenanya aktivitas
masyarakat yang dibatasi, juga dilarangnya kontak fisik maupun bersosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya, ini mengakibatkan dampak negatif bagi
kelangsungan hidup para penderita ini, dua kali lipat penderitaan yang didapat
ketika selain dikarantina masyarakat dilingkungan mereka juga turur menjauhi
serta memisahkan status sosialnya dengan para penghuni bangsal. Status yang
secara tegas dipisah dari lingkungan masyarakat, masalah demi masalah justru
bedatangan, selain penyakit pada tubuh, psikis para penderita juga perlu
dipertimbangkan jika perintah karantina memang bertujuan untuk mencapai
kesejahteraan rakyat, dengannya diperlukan peraturan baru yang dapat menangani
permasalahan baru dari dampak karantina secara paksa.

Ditahun 1903, Russia mengeluarkan perintah baru mengenai sistem karantina bagi
penderita kusta dalam sebuah artikel yang bernama Zoo vinden wij in Lepra 1903,
IV, blz. 99, didalamnya berisi tentang aturan yang tidak mengharuskan para
penderita ini memisahkan diri dari masyarakat, isolasi mandiri dinilai sudahlah
cukup, seperti membatasi rumah dan pekarannya sendiri, atau memiliki kamar
sendiri, pakaiana serta peralatan rumah tangganya sendiri, sehingga terhindar dari
kontak fisik secara langsung dengan non penderita namun tetap dapat membaur
dalam ruang lingkup masyarakat, larangan yang paling diutamakan ialah
berhubungan fisik.

Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik, bahwa sebuah bangsa yang memiliki SDM
yang mapan serta kemampuan intelektual yang tinggi akan menempatkan
keresahan rakyat khususnya penderita kusta pada kepentingan yang utama,
kualitas ini akan terasa bila dibandingkan dengan sebuah negara yang
memperlakukan penderita penyakit dengan sebaliknya yang mana berusaha untuk
mengeluarkan penderita dari lingkungan masyarakat, seperti hilangnya rasa
kemanusiaan serta pelanggaran atas hak-hak setiap warga yang bernegara.

Berbeda dengan di Hindia Belanda yang tercatat hingga tahun 1900 masih
bersusah payah untuk menerapkan kebijakan karantina kusta, yang sepertinya
terjadi penolakan oleh rakyat untuk dikarantina sehingga pemerintah merasa
perlunya tindakan pemaksaan yang harus diperketat, hal ini justru menuai
pandangan yang lain oleh Direktur Pendidikan Agama dan Industri, yang pada
tangal 12 November 1900, ia menyampaikan pidatonya sebagai berikut :

9
Ibid, hlm. 2
“Ik hei haal echter dat er m. i in 't minst geen urgentie bestaat
tot het doen tenuitvoerbrengen van zulk een onmeedoogenden,
in het volksbelang zoo ingrijpenden maatregel als het
gedwongen isolement en dat men daartoe slechts mag overgaan
als de urgentie niet meer te ontkennen valt, hetgeen zooals ik
zeide nader zal moeten blijken. Ik meen daarom te moeten
persisteeren bij mijn advies, neergelegd in mijn schiijven van 24
Augustus jl. No. 2280/4210”

“Saya mengerti mengenai keresahan yang sedang dirasakan, namun apakah


penerapan isolasi harus dilakukan secara keseluruhan dengan pemaksaan,
semuanya justru akan berjalan dengan sendirinya jika mosi yang diangkat adalah
sesuai kepentingan rakyat…”. Demikian dengan munculnya pergerakan serta
perkembangan dalam pola pikir rakyat, sepertinya masyarakat mulai merasakan
tidaknya berdampak perintah karantina serta kepentingan yang ingin dicapai
sudah jauh dari kata demi kesejahteraan rakyat.

Para pakar yang berasal dari kedokteran sepakat untuk mengkategorikan kusta
sebagai penyakit yang menular, berbahaya atau tidaknya penyakit ini dikatakan
bergantung luka yang disebabkan olehnya, sehingga kusta masih lebih kecil
ketimbang penyakit yang menyebar lainnya. Dengannya pertimbangan mengenai
karantina akan dilihat dari sejauh mana gejala kusta berada dalam tubuh pasien,
sehingga ketentuan pemaksaan atau anjuran karantina dapat lebih damai
penerapannya.

Pada tahun 1901, pemerintah melakukan survei sebagai bentuk penerapakan


kebijakan baru terhadap kusta, namun hasil menunjukan bahwa berbagai daerah
yang dikunjungi tersebut menolak untuk diperiksa, bahkan menunjukan tanda-
tanda ketidakpedulian terhadap berhasil atau tidaknya kebijakan pemerintah.
Masyarakat diwilayah agraris cenderung lebih memahami akan bahanyanya
penularan kusta, namun pandangan berbeda hadir dari masyarakat lain terutama
masyarakat Jawa yang melihat kusta sebagai penyakit yang sepele sehingga
proses penyebaran kusta terlihat seolah didukung11.

“Van een geheel andere zijde wordt het vraagstuk der


daadwerkelijke lepra besmetting benaderd door de studie der
factoren, die bij de overdracht van het lepra-virus van de zijde
van den ontvanger een rol spelen ; de factoren dus, die de
ontvankelijkheid of dispositie en de verdere ontwikkeling tot
manifeste lepra bepalen12”

10
Ibid., hlm. 3
11
Ibid., hlm.4
12
1934. Dr. P. H. J. LAMPE: Voordrachten over de endemiologie der lepra. Batavia : GENEESKUNDIG
TIJDSCHRIFT VOOR NEDERLANDSCH-INDIË (8)., hlm. 486
Setelah pemerintah dengan segenap peraturannya guna memberantas penyebaran
kusta, lalu bagaimana dengan infeksi langsung kusta, bagaimana pandangan para
dokter mengenai hal ini dan apa yang menjadi faktor sebenarnya dari adanya
infeksi kusta. Hingga pertengahan abad 20, di Hindia Belanda faktor infeksi kusta
masih dalam proses penelitian, namun beberapa ahli tetap melakukan spekulasi
terhadap faktor yang sangat mendekati dari infeksi penyakit ini dengan melakukan
penelitian berkala terhadap setiap kemungkinan. Dr. P. H. J. Lampe, dalam sebuah
jurnal kesehatan Hindia Belanda tahun 1934 mengenai epidemiologi kusta, ia
memaparkan spekulasi terkini mengenai infeksi kusta13, beberapa faktor yang ia
kemukakan diantaranya :

1. Pentingnya Iklim (De beteekenis van het klimaat):


Rogers dalam penelitiannya sampai dalam kesimpulan bahwa
kelembapaan udara memiliki signifikansi yang memengaruhi virus kusta,
namun terbantahkan dan spekulasi tersebut tidak dapat dibenarkan dan
jauh dari kebenaran kusta.
2. Kondisi Kesehatan Lingkungan (De beteekenis van den algemeenen
gezondheidstoestand):
Hampir setiap akar permasalahan virus tentu berasal dari kumuhnya suatu
lingkungan, serta terpenuhi atau tidaknya pokok pangan masyarakat,
lingkungan yang tidak bersih diikuti dengan kurangnya metabolisme tubuh
tentu virus penyakit akan dengan mudah menerjang tubuh tersebut, hal ini
dapat kita lihat dengan signifikansi diwilayah-wilayah yang juga tengah
mengalami krisis pangan pada tahun-tahun tesebut, tentu perkembangan
penyakit menular lebih banyak ditemukan diwilayah-wilayah tersbut
termasuk wilayah-wilayah di Asia Tenggara. Tidak menjadi rahasia bahwa
diwilayah-wilayah tertinggal atau yang tengah berkembang selain
permasalahan ekonomi, permasalahan kesehatan juga menjadi
permasalahan utama yang dialami negara-negara tersebut.
3. Faktor Usia (De beteekenis van den leeftijd):
Jika dilihat dari faktor usia, yang menjadi fokus utama tentu ialah anak-
anak, usia anak-anak telah diketahui sejak lama memiliki kerentanan
terhadap persebaran virus, hal ini juga telah terbukti secara ilmiah
sehingga faktor ini tak dapat diabaikan atau dapat dijadikan paduan
sebagai antisipasi terhadap inveksi kusta.

Karantina Kusta di Makassar

Setelah meningkatnya angka penderita kusta di Hindia Belanda, Ratu Belanda


Wilhelmina mendirikan Lembaga Penelitian Kusta Wilhelmina (Koningin

13
Ibid., hlm. 486-487
Wilhelmina Instituut voor Lepra) pada 25 Oktober 1935 yang seluruh peralatan
serta biaya administrasi lembaga ditanggung oleh Ratu Wilhemina14. Lembaga ini
didirikan untuk mengukur tingkat perkembangan kusta di Hindia Belanda.
Setelahnya setiap tahun ketika adanya rapat negara kemudian voolksrad yang
akan menyiarkan langsung laporan negara yang memuat seluruh berita penting
selama satu tahun belakangan.

Pada tahun 1935, adanya program misi D.V.G (Dinas Kesehatan dan Perumahan)
untuk mengunjungi pulau-pulau di Hindia Belanda, yang dijalankan langsung oleh
ketua D.V.G yaitu Dr.Theunissen15, ia memulai penjalanannya dengan
mengunjungi Batavia, kemudian Surabaya kemudian berpindah Bali, Sulawesi,
dan Maluku sebagai akhir dari kunjungannya. Usai kunjungannya kemudian ia
kemudian meyampaikan sepintas mengenai fenomena yang ditemukannya dalam
sebuah forum pemukaan lembaga kusta sepanjang kunjungannya terkhusus
mengenai kusta, ia mengatakan bahwa kusta memiliki karakter khusus sebagai
suatu penyakit, dalam forum tersebut ia juga menyapaikan bahwa :

“Ik zou hier willen wijzen op het zeer bijzondere karakter, dat
een ziekte als lepra draagt. Er zijn talrijke ziekten, die zonder
twijfel voor het leven als zoodanig een veel grooter gevaar
opleveren. Aan pest of aan cholera gaat men dikwijls dood,
doch dit is niet het ergste ; veel erger is het om, gelijk door de
lepra in zoovele gevallen geschiedt, te gaan behooren tot de
„outcasts" in de maatschappij, tot die groep van menschen, die
gemeden en geschuwd worden. Men onderschatte vooral niet
den geweldigen psychologischen invloed, die hiervan uitgaat,
en het is misschien nog meer een humanitaire dan een
medische plicht, dat men geen middel onbeproefd late om dit
leed te voorkomen.”16

Fenomena yang ditemukannya bahwa kusta sebagai sebuah penyakit memanglah


tidak mematikan seperti wabah yang merengut nyawa ataupun kolera, menurutnya
bahwa efek penyakit kusta melebihi penyakit lain, namun fakta bahwa penderita
penyakit kusta dijauhkan serta dikucilkan dalam lingkungan masyarakatnya,
dampak ini bahkan lebih buruk khususnya bagi psikologis penderita yang
tentunya tidak harus dibiarkan, bahwa dalam penangannya mungkin lebih bersifat
kemanusiaan dibanding perawatan medis.

14
1936. Verslag van de plechtige opening en in gebruikname van het Koningin Wilhelmina
Instituut voor Lepra Onderzoek te Batavia-C. ddo. Dalam Med. D.V.G. XXV (1936) Suppl. 1.,
hlm. 97
15
1935. ‘De Lepra Bestridjing’ dalam Bataviaasch Nieuwsblad. Batavia : Kolff&Co.
16
Rede van Dr. W. F. THEUNISSEN., Op. Cit., hlm. 99
Setelah melakukan perjalanan dari Maluku, ia kembali mengunjungi Sulawesi
Selatan, dalam perjalanannya ia berfokus pada perjuangan kusta di setiap daerah,
melalui Bantaeng, Watampone, dan Maros. Daerah-daerah yang membekas serta
memberi kesan tersendiri dalam perjalanannya karena bahwa daerah-daerah ini
memiliki pusat pelayanan serta perawatan medis yang memadai, namun secara
geografis kedua wilayah tersebut jauh dari pusat titik kota Makassar, sehingga
menurut Dr. Theunissen bahwa pembangunan Rumah Sakit Kusta masih tetap
dibutuhkan untuk wilayah Makassar17.

Pandangan lain hadir dari Direktur Koningin Wilhelmina Instituut voor Lepra Dr.
P.H.J. Lampe, menurutnya tujuan dibangunnya Lembaga Penelitian Kusta ini
bukan untuk menghilangkan keresahan rakyat dengan menurunnya angka
penderita kusta, atau berhasilnya pemberantasan kusta, atau dapat ditemukannya
obat mujarab yang dapat menyembuhkan kusta, untuk mengingatkan kita, Dr.
Lampe menyampaikan lebih lanjut bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang
menular, untuk menyembuhkan pasien kusta dengan jumlah yang padat tentu
seperti tidak mungkin, namun lembaga penelitian kusta ini akan mempelajari
langsung bagaimana proses infeksi kusta serta darimana asal penyebarannya juga
konherensi kusta, menurutnya inilah cara yang cukup rasional untuk memerangi
penyakit endemic kronis kusta18.

Sulawesi Selatan khususnya wilayah Makassar yang sebelumnya diungkit Dr.


Theunissen bahwa penangan kusta disana dikatakan sudah cukup baik, hal ini
dapat kita tarik kesimpulan bahwa fakta pada tahun tersebut tingkat kesadaran
masyarakat Makassar akan kewaspadaan penyebaran penyakit kusta telah
dipahami dengan baik, bangsal serta wilayah-wilayah khusus diMakassar bahkan
dijadikan sebagai distrik kusta, seperti di Majene dan Watampone. Namun hal
yang belum dapat saya pastikan, bahwa apakah para penderita tersebut bersedia
memenuhi bangsal atas keinginan mereka atau karena tekanan lingkungan. Dr.
Theunissen mengatakann adanya pengucilan terhadap individu yang menderita
penyakit ini, namun apakah Makassar termasuk didalamnya.

Pada tahun 1936, Volksraad memuat hasil laporannya mengenai pelayanan


kesehatan masyarakat, yang pada bab 1 dan 2 diisi oleh bidang D.V.G dengan
muatan laporannya ialah bahwa adanya perhatian besar terhadap penanganan
kusta, pemerintah secara terbuka menunjukan sikap terhadap penangan penyakit
ini walau masih jauh dair kata berhasil. Setelah tahun 1935 lembaga penelitian
didanai langsung oleh Ratu Wilhelmina, ditahun ini pula pemerintah mencoba
mengajukan kembali permintaan dana dengan maksud dan tujuan yang sama,
yakni penanganan kusta, permintaan tersebut dengan mengejutkan ditolak, alasan
17
Kolff&Co, Loc.Cit.
18
Rede van Dr. P.H.J. LAMPE., Op.Cit., hlm. 103
yang diberikan ratu bahwa pendanaan yang besar membutuhkan pula ketenagaan
kesehatan yang memadai, sehingga para anggota yang hadir dalam rapat tersebut
bersepakat untuk segara menunjuk dua belas orang dokter guna membatu
penelitian19.

Sulawesi Selatan juga turut menjadi pembahasan dalam rapat, fakta yang
dikemukakan bahwa walaupun penanganan disana cukup baik namun kenyataan
bahwa terdapat banyak penderita yang belum bisa ditangani akibat kurangnya
ruang serta bangsal kusta, namun pemerintah diMakassar membuka beberpa
klinik rawat jalan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi dalam penanganan
kusta20.

Setelah rapat, susunan program kerja selanjutnya yang ditangani oleh D.V.G
bahwa pembangunan rumah sakit kusta harus segera dibangun di Saparua dan
Makassar, hal ini sebagai bentuk solusi dari masih banyaknya pasien yang belum
bisa ditangani oleh pelayanan kesehatan. Dalam pembangunannya nanti, D.V.G
melakukan basis pendekatan masyarakat desa, dengan meminta wilayah distrik
kusta haruslah dibangun dengan watak kedesaan, hal ini juga dapat menjadi solusi
yang tepat bagi masyarakat Saparua yang memiliki kenggangan untuk keluar dari
wilayahnya. Sedang di Makassar, Kalukuang yang nantinya akan dijadikan
sebagai distrik kusta, dengan ini Saparua akan diberikan dana sebesar 11.100
gulden dan Makassar akan diberikan 28.700 gulden, dengan total keseluruhan
sebesar 39.800 gulden dana yang akan dikeluarkan untuk pembangunan tersebut
terhitung sejak tahun 193621. Sedangkan lembaga yang dipercayakan untuk
menangani pembangunan ini, D.V.G membentuk lembaga ‘Persatuan
Pemberatasan Kusta’ (Vereeniging tot van Lepra-Bestridjing) di Makassar.

Setelah Rumah Sakit tersebut dibangun, adanya kebutuhan lain yang dirasakan
dan harus segera diberikan solusi, bahwa kehidupan para penderita ini hingga
memasuki masa tuanya tetap dilabeli sebagai orang ‘buangan’, sehingga masalah
kesehatan yang ditimbas masalah ekonomi berlangsung, akibatnya banyak
penderita kusta yang mengahabiskan masa hidupnya sebagai pengangguran dan
hidup dipinggiran jalan, sebuah fenomena yang menyedihkan ini faktanya
memang tidak dapat dihilangkan begitu saja, masyarakat telah menanam dalam
pikirannya untuk menjauhi para penderita kusta ini hingga pada tahap pengucilan
kelompok tersebut. Sebagaimanapun kebijakan pemerintah, sepertinya solusi yang
tepat saat ini memanglah membangun distrik kusta disetiap wilayah padat kasus
kusta. Selain Rumah Sakit, sepertinya kebutuhan lebih lanjut terhadap pasien
kusta yang telah berumur juga masih perlu disediakan pekarangan yang khusus,
19
1936. BESTRIDJING DER LEPRA, dimuat di Deli Courant. Medan : Dane.
20
Ibid.
21
1937. Planen voor Saparoea en Makassae (De Lepra-Bestridjing), dalam Bataviaasch
Nieuwsblad. Batavia : Koff&Jo.
guna menghindari sikap yang kurang baik yang diterima mereka dimasyarakat.
Sehingga pada tahun 1939, pembangunan Panti Jompo kusta didirikan di
Makassa22.

Hingga saat ini, diMakassar masih ditemukan distrik kusta yang berlangsung dan
menjadi sebuah desa dimana para penduduknya merupakan para penderita kusta.
Sebagai survey lebih lanjut, asumsi masyarakat mengenai penyakit ini terus
berlangsung sehingga pengucilan terhadap penderita penyakit ini masih ada
hingga saat ini.

KESIMPULAN
Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, pelayanan kesehatan masyarakat
selalu menjadi fokus utama pemerintah, terutama diIndonesia kala itu banyaknya
wabah penyakit serta penyakit yang menular lainnya meyebar dengan signifikan
disetiap wilayah, wilayah-wilayah yang ramai dikunjung tentunya menjadi
wilayah dengan penderita penyakit yang membludak dibanding dengan wilayah
lainnya, terutama penyakit kusta. Pada tahun 1936, laporan mengenai kasus kusta
menyentuh angka 300.000 kasus, sehingga perhatian khusus penanganan kusta
harus segera dilaksanakan. Makassar menjadi wilayah yang turut menuai
perhatian khusus pemerintah, dengan dibangunnya Rumah Sakit kusta serta Panti
Jompo Kusta, Namun terlepas dari usaha pemerintahan, nyatanya pandangan
masyarakat tetap pada masa lalu, adanya perkembangan penelitian tidak
mengubah pandangan masyarakat mengenai kusta tersebut, para penderita kusta
masih terus merasakan perlakuan yang tidak baik yaitu dikucilkan dari
lingkungannya serta menghabiskan masa hidupnya dengan menjadi pengangguran
yang hidup dipinggiran jalanan. Fenomena kelam ini bahkan berlangsung hingga
hari ini, pentingnya sosialisasi terhadap masyarakat kusta sepertinya harus
ditegaskan, agar memotong rantai perilaku tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Nota Over de Bestridjing Der Lepra in Nederlandsch-Indie. 1907. Belanda : FP


Smith
22
1939. Makasser’s Leprozerie, dalam De Sumatera Pots. Medan : J. Hallermann
Geneeskundig Tijdschrifit Voor Nederlandsch-Indie. 1934. Belanda : Kolff
Batavia
Mededeelingen van Den Dienst der Volksgezondheid in Nederlandsch-Indie.
1936. Batavia : D.V.G.
Bataviaasch Nieuwsblad. 1935. De Lepra-Bestridjing. Batavia : Kolff&Co.
Deli Courant. 1936. Bestridjing Der Lepra. Medan : Dane.
Bataviaasch Nieuwsblas. 1937. De Lepra-Bestridjing (Plannen voor Saparoea en
Makassar). Batavia :Koff&Jo
De Sumatera Post. 1939. Makasser’s Leprozerie (Opening Over vijf weken).
Medan : J. Hallermann

Buku :
2007. Sejarah Pemberantasan Penyakit di Indonesia, disusun oleh Direktorat
Jenderal PP & Pl Departemen Kesehatan RI.

Anda mungkin juga menyukai