Anda di halaman 1dari 17

Nama: Defrina Artamadani Putri

Kelas: EM-J
NIM: 141220346

TUGAS PANCASILA
ETIKA SEBAGAI NORMA TINDAKAN MANUSIA

A. Pengertian Etika, Moral, dan Norma


1. Pengertian Etika
a. Asal-usul kata
Etika (Etimologik), menurut Bertens (1993:4), berasal dari kata Yunani ethos yang
berarti watak kesusilaan atau adat. Etika identic dengan kata moral yang berarti dari
kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya mores yang juga berarti adat atau cara
hidup. Kemudisn istilah Etis menurut Franz Magnis Suseno (1993:9) adalah “sesuai
dengan tanggung jawab moral”. Istilah ini digunakan untuk mengambil sikap yang
wajar dalam suasana pluralisme moral yang merupakan ciri khas zaman sekarang.
b. Definisi etika
Beberapa definisi tentang etika dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis definisi, yaitu:
1) Definisi yang menekankan aspek historis
2) Definisi yang menekankan secara deskriptif
3) Definisi yang menekankan pada sifat dasar etika sebagai ilmu yang normatif
dan bercorak kefilsafatan
c. Objek etika
Objek etika menurut Franz Von Magnis (1979: 15-16) adalah pernyataan moral.
Dari semua jenis moral, pada dasarnya hanya ada dua jenis moral: pernyataan
tentang tindakan manusia dan pernyataan tentang manusia sendiri atau tentang
unsur-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud dan watak.
Menurut Poedjawijatna (1986: 6), objek material etika adalah manusia, sedangkan
objek formalnya adalah tindakan manusia yang dilakukan dengan sengaja .

2. Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasal Latin mos (jamak: mores) yang juga berarti kebiasaan,
adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata
“etika” sama dengan kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat
kebiasaan. Hanya bahasa asalnya yang berbeda , yang pertama berasal dari bahasa
Yunani, sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin. (Bertens, 1993: 6)
Kata “moral” sendiri perlu disimpulkan artinya, yaitu nilai nilai dan norma norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. sedangkan “moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang
pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada yang lebih abstrak. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan
buruk. (Bertens, 1993: 7)

3. Pengertian Norma
Pada perkembangannya, Achmad Charris Zubair (1987: 29) menjelaskan:
“Norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan
penilaian. Nilai yang menjadi milik Bersama dalam satu masyarakat dan telah tertanam
dengan emosi yang mandalam akan menjadi norma yang disepakati bersama.”
Segala hal yang diberi nilai, cantik, atau berguna, diusahakan untuk diwujudkan dalam
perbuatan. Sebagai hasil dari usaha tersebut, timbullah ukuran perbuatan atau norma
tindakan. Norma ini kalau telah diterima oleh anggota masyarakat selalu mengandung
sanksi dan pahala (reinforcement), yaitu:
a. Jika tidak dilakukan sesuai norma, maka hukumannya adalah celaan dan
sebagainya;
b. Jika dilakukan sesuai dengan norma, maka pujian, balas jasa, dan sebagainya
adalah imbalannya.
Macam-macam norma menurut Bertens (1993: 198), sebagai berikut.
a) Norma teknis dan permainan
Hanya berlaku untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk kegiatan sementara
dan terbatas.
Contoh:
- Aturan perusahaan bagi karyawan
- Aturan permainan bulu tangkis
b) Norma yang berlaku umum
Contoh:
- Sopan santun
- Norma hukum
- Norma moral

B. Macam-macam Etika dan Jenis/Golongan Etika


1. Macam-macam Etika
a. Etika deskriptif
Etika deskriptif menurut Bertens (1993: 15):
“Mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam
kebudayaan-kebudayaan atau substruktural-substruktural tertentu dalam satu
periode sejarah, dan sebagainya.” Contohnya: sejarah etika.
b. Etika normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang tempat diskusi-
diskusi yang paling menarik tentang masalah-masalah moral berlangsung. Di sini
ahli yang bersangkutan tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya
dalam etika deskriptif, tapi harus melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaiannya tentang perilaku manusia. Bertens (1993: 17) menjelaskan, etika
normative dapat dibagi menjadi:
1) Etika Umum
Etika umum memandang tema-tema umum seperti: apa itu norma etis? Jika ada
banyak norma etis, bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma
moral mengikuti kita? Apa aitu nilai dan apakah kekhususan nilai moral?
Bagaimana hubungan antara tanggung jawab manusia dan kebebasan? Tema-
tema seperti inilah yang menjadi objek penyelidikan etika umum.
2) Etika Khusus
Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas
wilayah perilaku manusia yang khusus. Dengan menggunakan suatu istilah
yang lazim dalam konteks logika, dapat dikatakan juga bahwa dalam etika
khusus itu premis normatif dikaitan dengan premis faktual untuk sampai pada
suatu kesimpulan etis yang bersifat normatif juga.
c. Etika individu
Etika individu merupakan etika yang objeknya tingkah laku manusia sebagai
pribadi, misalnya: tujuan hidup manusia. (Sunoto, 1989: 41)
d. Etika sosial
Etika sosial membicarakan tingkah laku dan perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan manusia lain, misalnya: hubungan dalam keluarga, dalam
masyarakat, dalam negara dan lain-lain. (Sunoto, 1984: 41)
e. Etika terapan
Mengenai etika terapan, Bertens (1993: 268) menyoroti:
“Suatu profesi atau suatu masalah. Sebagai contoh, etika terapan yang membahas
profesi dapat disebut: etika kedokteran, etika politik, dan sebagainya. Di antara
masalah yang dibahas oleh etika terapan dapat disebut: penggunaan senjata nuklir,
pencemaran lingkungan hidup dan sebagainya.”
Cara lain untuk membagi etika terapan adalah dengan membedakan antara
makroetika dan mikroetika. Bertens (1993: 269) menjelaskan.
1) Makroetika
Makroetika membahas masalah-masalah moral pada skala besar, artinya,
masalah-masalah ini menyangkut suatu bangsa seluruhnya atau bahkan seluruh
umat manusia.
2) Mikroetika
Mikroetika membicarakan pernyataan-pernyataan etis tempat individu terlibat,
seperti kewajiban dokter terhadap pasiennya.
Di antara makroetika dan mikroetika disisipkan lagi jenis etika terapan yang ketiga,
yaitu mesoetika, yang menyoroti masalah-masalah etis yang berkaitan dengan suatu
kelompok atau profesi, misalnya kelompok ilmuwan, profesi wartawan, dan
sebagainya.
f. Metaetika
Awalan “meta” mempunyai arti “melebihi”, “melampaui”. Metaetika seolah-olah
bergerak pada taraf yang lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu pada taraf “bahasa
etis” atau bahasa yang digunakan di bidang mental. Dapat dikatakan juga bahwa
metaetika mempelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika
mengarahkan perhatiannya kepada arti khusus dari bahasa etis itu. (Bertens, 1993:
20)

2. Jenis/Golongan Etika
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum
berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar manusia bertindak secara etis, manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik
atau buruknya suatu tindakan.
Mengenai etika khusus, Burhanuddin Salam (1997: 7) menjelaskan:
“Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Penerapan ini dapat berwujud manusia mengambil keputusan dan bertindak dalam
bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip
moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud: Bagaimana saya menilai
perilaku pribadi saya dan orang lain dalam suatu bidang kegiatan dan kehidupan khusus
yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis: Cara
bagaimana mengambil keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar
yang ada di baliknya.”
Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu etika individu dan etika sosial. Etika
individu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Etika
sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai
manusia. (Burhanuddin, 1997: 7)

C. Persoalan dan Pemecahan Etika


1. Persoalan dalam Etika
a. Persoalan nilai etika
1) Apa yang seharusnya dilakukan
Etika adalah cabang filsafat atau cabang psikologi yang membicarakan manusia
terutama tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan dengan sadar dan dilihat
dari kacamata baik buruk (Sunoto, 1983: 1).
Etika menurut Franz Von Magnis (1975: 15) adalah:
“Cabang filsafat yang menyibukkan diri dengan pandangan-pandangan dan
persoalan-persoalan dalam bidang moral dan karena pandangan-pan-dangan
yang dipersoalkan itu diungkapkan da-lam batas pernyataan, maka objek etika
adalah pernyataan-pernyataan moral.”
2) Ruang lingkup etika
Etika menaruh perhatian pada pembicaraan me-ngenai prinsip pembenaran
tentang keputusan yangtelah ada. Etika tidak akan memberikan kepada manusia
arah yang khusus atau pedoman yang tegas dan tetap tentang cara hidup dengan
kebajikan.
3) Kesusilaan dan ketidaksusilaan
Kesusilaan dan ketidaksusilaan tidak hanya ber-sangkutan dengan tingkah laku
dalam masalah seksual semata. Mencuri, berbuat tidak adil, dan kejam dapat
dipandang sebagai tindakan orang yang tidak susila.
4) Arti etika
Etika digunakan dalam dua arti, seperti dijelaskan oleh Suyono Sumargono
(1992: 35).
a) Terlibat dalam pernyataan seperti "saya mempelajari etika". Dalam
penggunaan ini, etika dimaksudkan sebagai suatu kumpulan
pengetahuan mengenai penilaian perbuatan yang dilakukan orang.
b) Istilah etika dipakai bila orang mengatakan: "ia seorang yang bersifat
etis", "ia seorang yang adil", atau "pembunuhan dan bohong itu tidak
susila". Dalam hal ini "etis" adalah suatu predikat yang digunakan untuk
membedakan barang-barang, perbuatan-perbuatan atau orang-orang
tertentu dengan yang lain. "Etis" dalam arti ini sama dengan "susila"
(moral). Untuk dikatakan bersifat susila tidak perlu sama atau sesuai
dengan kebiasaan yang tetap, dari suatu kelompok manusia, karena
manusia dapat mencap salah satu di antara kebiasaan yang tetap itu
sendiri sebagai sesuatu yang tidak susila. (Suyono Sumargono, 1992:
351)

Etika sebagai ilmu mungkin menyelidiki tentang tanggapan kesusilaan. Etika


sebagai etika normative bersangkutan dengan tanggapan. Dalam etika,
dibedakan antara lain:
- Berbicara mengenai istilah etika
- Berbicara dalam istilah etika

a) Etika Deskriptif
Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak,
predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang da-pat
ditemukan. Sehubungan dengan itu, ilmu ini tidak dapat membicarakan ukuran-
ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang etika
deskriptif mencampuradukkan antara menerinia suatu tanggapan ke-susilaan
dengan kebenaran. Singkatnya, etika deskriptif hanya melukiskan tentang
predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai. (Bertens,
1993: 15)
b) Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang me-ngadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan, menerangkan tentang
apa yang seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan, dan
memungkinkan manusia untuk mengukur dengan apa yang seharusya terjadi.
Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang
benar. (Bertens, 1993: 17)

1) Etika Kefilsafatan
Karena mempertahankan pengertian etika sebagai suatu ilmu, tetapi
menghindari untuk menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada
sebagian orang yang berbicara tentang etika kefilsafatan. Analisis
tentang apa yang orang maksudkan ketika menggunakan predikat-
predikat kesusilaan. Analisis itu diperoleh dengan mengadakan pe-
nyelidikan tentang penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-
predikat yang terdapat di dalam pernyataan-pernyataan.
2) Etika Praktis
Pada persoalan tentang etika praktis, Katt-soff (1985: 353) menjelaskan:
- Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian
melepaskannya dari derita rasa sakit.
- Timbul pertanyaan-pertanyaan: "Apakah baik bagi saya sebagai
seorang dokter untuk membunuh pasien saya?"
- Diandaikan bahwa pasien itu minta di-bunuh dan semua anggota
keluarganya setuju.
- Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya.
- Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa sakit
yang berarti kebahagiaan, dengan "membunuh" semua itu akan
terjadi.
5) Persoalan Etika
a. Prinsip apakah yang dapat diterapkan untuk
"dapat" membuat tanggapan kesusilaan? (Da-lam setiap persoalan etika
yang praktis, ke-sulitan yang dihadapi adalah untuk mencapai suatu
keputusan mengenai perbuatan apa yang harus dilakukan).
b. Apakah perbuatan yang "baik" itu berarti per-buatan yang dapat dibenarkan
secara kesusilaan?
c. Apakah arti "seharusnya" dan apakah yang meniadi sumber keharusan ini?
d. Apakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan jika dapat
bagaimana caranya?
e. Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai itu?
6) Tanggapan kesusilaan hanya ungkapan perasaan
"Sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan"
Kalimat ini mengandung 2 pernyataan, yaitu:
a. Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk;
b. Pembunuhan tidak boleh dilakukan.

"Pembunuhan adalah sesuatu. yang buruk", per-nyataan ini mengandung


arti, namun hanya se-bagai suatu ungkapan emosi anda. Ngeri, tidak suka,
dan lain sebagainya, diungkapkan sebagai suatu "tanggapan". (Kattsoff,
1985, Bab XVI: 355)

2. Persoalan Etika Teoretis dan Normatif


a. Persoalan etika teoretis
1) Etika Teoretis membahas tentang asas-asas yang melandasi sistem kesusilaan.
Etika terapan membutuhkan banyak pengetahuan mengenai masalah yang
dihadapi manusia sehari-hari. Contohnya: masalah yang menyangkut pen-
cemaran lingkungan tidak mungkin dapat semata-mata diselesaikan oleh ahli
kesusilaan. (Kattsoff, 1985:244)
2) Apakah perbuatan kesusilaan tergantung pada pandangan dunia? Apakah
tergantung pada pandangan dunia yang dianut? Secara sepintas orang
cenderung untuk mengiyakan. Bukankah perbuatan manusia diarahkan oleh
pemikiran kita tentang manusia dan dunia.
3) Di samping ada etika individu yaitu etika yang menyangkut manusia sebagai
perorangan saja, ada etika sosial yang menyangkut hubungan antar manusia.
b. Persoalan etika normative
Etika normatif, sebenarnya merupakan sebuah aturan yang mengarahkan secara
kongkrit, tentang bagai-mana seharusnya bertingkah laku. Mengenai persoalan
yang timbul, Achmad Charris Zubair (1986: 106) menjelaskan:

"Analisa metaetika menanyakan relevansi etika normatif, dalam kedudukannya


sebagai etika makro. Peng-alaman mengajarkan, begitu nilai dasar dinormakan,
maka ia akan kehilangan makna. Apakah pada dasarnya nilai-nilai dasar tidak
membutuhkan "perkembangan" khusus. Kalau kesan tersebut benar, sepatutnya
kedudukan etika normatif ditinjau kembali sebagai pedoman."
Persoalan baru yang muncul adalah atas dasar apa perbuatan manusia dinilai.
Manusia tidak dapat hidup tapa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap
etika normatif dengan keterbatasannya, mengisyaratkan adanya kaitan metaetika
dalam persoalan etika normatif.
1) Tinjauan teori dasar etika normatif menurut Franz Von Magnis (1975:
79):
a) Ditiniau dari asal kejadiannya, etika normatif berkisar dalam dua
pola dasar.
I: Teori Deontologis (Yunani: Deon, 'yang diharuskan, yang wajib')
mengatakan bahwa betul salahnya tindakan tidak ditentukan dari akibat-
akibat tindakan itu, melainkan dari cara bertindak yang begitu saja ter-
larang, atau begitu saja wajib.
II: Teori Teleclogis (Yunani: Telos, tujuan) mengatakan bahwa betul
tidaknya tindakan justru tergantung dari akibat-akibatnya: kalau
akibatnya baik, boleh atau bahkan wajib dilakukan, kalau akibatnya
buruk, tidak boleh.
b) Ditinjau dari sudut aspirasinya, ada dua pokok yang digolongkan.
I: Sistem etika yang dibangun dari "aspirasi atas", disusun dari sesuatu
yang transenden yang telah diakui kekuatan dan kebenaran-nya.
Sifatnya vertikal dan berlakunya mutlak. Sering ditemui dalam etika
keagamaan, yang melibatkan Tuhan dalam kerangka moralnya. Model
ini mempunyai kelebihan dalam men-jawab batas definitif
kemanusiaan, yaitu maut dan kehidupan sesudahnya, dan disebut "He-
teronomos" (Adam Schaaf), yaitu adanya faktor di luar kekuatan
manusia yang ikut campur dalam memecahkan problem manusia.
II: Sistem etika yang disusun melalui "aspirasi bawah". Yang menjadi
landasan adalah fenomena dan realita eksistensi manusia. Menurut
sistem ini, tidak mungkin manusia, akan dengan tepat mengarahkan
dirinya.
2) Alternatif sistem etika normative
Problem umum:
a) Sejauh mana etika normatif mencerminkan nilai dasarnya, sehingga
terbentuk peta norma moral yang bukan saja merupakan deretan rumus-
rumus yang disodorkan secara baku begitu saja, melainkan hasil olahan
nilai dasar dan disaiikan secara bijaksana.
b) Sistem etika, harus menghindarkan penger-tian utopis (idealisme
abstrak) yang terputus dari aspirasi kenyataan. Bagaimana nilai dasar
dapat dimplementasikan dalam situasi nyata.
c) Nilai-nilai sebagai aspirasi yang meliputi dan menjiwai norma. Dalam
pelaksanaannya di-perhitungkan syarat pendukung, kemampuan, situasi
dan kondisi pelaksanaan.

3. Pemecahan Etika Normatif


a. Kewajiban sebagai norma
Filosof Immanuel Kant (1724-1804) memilih kewa-jiban sebagai norma perbuatan
yang baik.
Mengenai etika Immanuel Kant, Poespoprodio (1986: 195) menjelaskan:
"Kant sangat terkesan oleh keadaan yang serba teratur di dalam alam. Segala
sesuatu di dalam alam ini seulah-olah terbuat sesuai dengan peraturan. Dua hal yang
selalu menimbulkan keharusan dan rasa terharu di dalam jiwanya adalah langit di
atas yang penuh dengan bintang dan hukum moral di dalam dirinya sendiri.”

Hukuman moral berwujud dalam bentuk kategori sche imperative. Ini merupakan
"suara" dari kewajiban yang memerintahkan supaya berbuat secara langsung.
Hukum ini bersifat apriori, artinya dijabarkan dari rasio dan dapat dipakai untuk
pengalaman. Dunia gejala mengenai pengetahuan ditentukan syaratnya ole
pengalaman dan sifatnya relatif. Tetapi dunia moral merupakan kenyataan mutlak
dan oleh sebab itu tidak bersyarat. Kalau kemauan diakui oleh akal, ia mutlak dan
tidak bersyarat. Kalau dikuasai oleh akal, ia pun mutlak dan tidak bersyarat, artinya
tidak memung-kinkan adanya pengecualian. Inilah yang dinamakan kategorische
imperative, yaitu hukum moral.

b. Kesenangan sebagai norma


1) Aliran Hedonisme
Aliran hedonisme diajarkan oleh Democritus (400SM-370 SM). Beliau
memandang kesenangan sebagai tujuan pokok dalam kehidupan ini. Yang
dimaksud bukannya kesenangan fisik, tetapi ke-senangan sebagai perangsang
bagi manusia.
2) Aliran Utilitarianisme
a) Jeremy Bertham (1748-1832) hidup dalam re-volusi Amerika Serikat,
Perancis, masa peperangan Napoleon dan pada tingkat-tingkat Revolusi
Industri. Karena melihat kemusnahan dan kekacauan yang timbul di
Inggris, ia ingin membawa perubahan sosial dalam bidang politik, hukum
dan etika. Ketiga bidang ini dimasukkannya dalam prinsip "Utility" yang
baginya adalah:
Ey the principle of utility is meant that principle which approves or
disapproves of every action what so ever, according to the tendency which
it appears to have to augment or diminish the happiness of the party whose
interest is in question; or what is the same thing in other words, to promote
or to oppose that happiness. (James Rachels, 1995: 91)
Sikap etis yang wajar ialah menghitung-hitung dengan cermat jumlah rasa
senang dan rasa sakit sebagai suatu perbuatan untuk kemudian mengurangi
rasa sakit dari jumlah rasa senang. (Magnis, 1975:94)
b) John Stuart Mill (1806-1873)
Manusia yang mempunyai kemampuan yang tinggi mencapai rasa senang
yang lebih tinggi pula. Kesenangan batin lebih tinggi tarafnya daripada
kesenangan badaniah. Bagi John Stuart Mill kehidupan sosial adalah
sesuatu yang wajar bagi manusia. Antara perhatian seseorang dan perhatian
masyarakat tidak ada perbedaan yang jelas (Poespoprodjo, 1986: 47).
3) Perwujudan Diri sebagai norma
Semenjak zaman Yunani Kuno sampai sekarang, aliran perwujudan diri sendiri
terkenal di dalam aliran etika dan juga di dalam dunia pendidikan. Yang baik
menurut aliran ini ialah "pengisian se. suatu". Sesuatu yang hendak disi itu
bukanlan alam, tetapi diri manusia sendiri. Perwujudan diri sendiri berarti
perkembangan secara harmonis segala kesanggupan manusia yang normal.
Aliran etika yang berpangkal pada etika Aristoteles ini dinamakan aliran
endaemonisme. "Endaemonia" berarti dipimpin secara langsung oleh
"Daemon" (jin) yang. baik. Istilah ini umumnya diterjemahkan dengan
kebahagiaan. Tetapi bagi Aristoteles mencapai "endaemonia" artinya bukan
hanya mencapai pera-saan batin dan perasaan yang bersifat sementara, yang
dikenal dengan perkataan bahagia, tetapi "berhasilnya seseorang mengalami
penghidupan yang baik".

4) Kekuasaan sebagai norma


Menurut Nietzsche, kemajuan yang sebenarnya tidak akan didapat dengan jalan
mengangkat rakyat banyak pada tingkatan yang lebih tinggi, tetapi dengan jalan
pembentukan golongan ma-nusia yang unggul, yaitu ubermensch. Golongan
inilah yang harus dimunculkan di atas rakyat biasa, yang menurut Nietzsche
merupakan tugas manu-sia, karena ia memandang manusia sebagai makhluk
yang bersifat sementara. Tujuan manusia baginya adalah untuk menghasilkan
ubermensch.
Ubermensch inilah yang nanti akan muncul, kalau manusia telah berani
menghancurkan nilai-nilai yang lama, yang berdasarkan kekuasaan dan ber-
kembang menuju pada tingkatan yang lebih tinggi serta mengandung keinginan
untuk berkuasa. Golongan rakyat biasa masih boleh mengikuti moral budaknya
(dikasihani), karena mereka di-perlakukan sebagai dasar untuk pembangunan
uber-mensch. (Franz Magnis Suseno, 1975: 38)
5) Adat sebagai norma
Yang menjadi pangkal tolak bagi jalan pikiran adalah aliran relativisme, yang
menetapkan norma-norma perbuatan yang baik menurut adat kebiasaan. Semua
norma bersifat nisbi, relatif di dalam waktu dan relatif di dalam tempat.
Selanjutnya dalam semua kebudayaan bukan saia ada pola hubungan yang
universal sifatnya, tetapi ada nilai-nilai yang di mana pun juga berlaku. Di mana
pun juga, berdusta, mencuri, menghendaki keke-rasan, tidak dapat diterima
orang.
Relativisme ini sudah lama ada dalam bidang filsafat, yang dipelopori oleh
filosof Yunani Prota-goras dengan rumusnya yang terkenal "Manusia adalah
ukuran dari segala budi", yang diartikan orang bahwa hubungan itu adalah soal
orang perorang, jadi, berubah-ubah. Oleh sebab itu, tidak ada ukuran yang
mutlak bagi etika, metafisika, dan agama.

D. Kaidah Dasar Moral dan Perkembangan Kesadaran Moral


Apabila diperhatikan seluruh teori etika, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa
manusia yang "sebenarnya" adalah jika ia menjadi manusia yang etis.
Titik tolaknya adalah:
a) manusia percaya pada kebenaran, kebaikan dan ke-adilan;
b) manusia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik dan adil.
Kalau ditanya apakah ada manusia semacam itu, itu adalah persoalan lain. Tetapi dengan
etika diperlukan kriteria normative sebagai pedoman. (Franz Von Magnis, 1989: 103-109)
1. Kaidah Dasar Moral
a) Kaidah sikap baik menurut Franz Von Magnis (1975: 103) adalah:
"Diwajibkan bertindak sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dari akibat baik
dibandingkan akibat buruk (maksimalisasi). Kaidah ini hanya berlaku kalau
manusia menerima kaidah yang lebih dasar lagi, yaitu manusia harus berbuat yang
baik dan mencegah yang buruk. Secara ideal manusia hanya menghasilkan akibat
baik dan sama sekali tidak menghasilkan yang buruk. Tetapi karena sering tidak
mungkin, sekurang-kurangnya,akibat buruk harus diminimalisasikan.”
Kaidah sikap baik pada dasarnya mendasari semua norma moral.
Sikap baik menurut Franz Von Magnis (1975: 104) adalah:
"Memandang seseorang/sesuatu tidak hanya sejauh berguna bagi yang
menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, membiarkan
seseorang/sesuatu berkembang demi dirinya sendiri. "
Norma-norma yang lebih umum dapat disimpulkan dari kaidah ini.

b) Kaidah keadilan
Keadilan dalam membagi yang baik dan yang buruk. Untuk mencari ciri-ciri yang
relevan dalam rangka pertimbangan moral, untuk membenarkan perlakuan yang
tidak sama, adalah dengan mengikuti pandangan Aristoteles bahwa ciri-ciri yang
relevan adalah ciri-ciri yang mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang
paling mempengaruhi kebahagiaan orang adalah kemampuan dan kebutuhannya.
Sebab perbedaan dalam kemampuan dan kebu-tuhan orang adalah ciri yang dapat
membenarkan suatu perlakuan yang berbeda pula.
Memberikan perlakuan yang sama kepada orang Jain, bagi Franz Von Magnis
(1989: 175: 105) berarti:
1) memberikan sumbangan yang relatif sama ter-hadap kebahagiaan
mereka, diukur dengan ke-butuhan mereka;
2) menuntut dari mereka pengorbanan yang relatif sama, diukur
berdasarkan kemampuan mereka.
Jadi, kesamaan sumbangan ke arah kebahagiaan orang lain tidak dimaksudkan
dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhan
orang lain.

2. Perkembangan Kesadaran Moral


Menurut Kohlberg, seperti yang dijelaskan Bertens (1993: 80)
"Enam tahap (stage) dalam perkembangan moral dapat di-kaitkan satu sama lain dalim
tiga tingkat (level) sedemikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap."
Tiga tingkat itu berturut-turut adalah sebagai berikut:
a) Tingkat prakonvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui bahwa adanya aturan-aturan baik serta buruk
mulai mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dikembangkan dengar
reaksi orang lain. Tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan menjadi dua tahap.
Bertens (1993: 81) menjelaskan:
Tahap 1: Orientasi hukuman dan kepatuhan. Anak mendasarkan perbuatannya atas
otoritas kongkrit (orang tua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia
tidak patuh.
Tahap 2: Orientasi relatif instrumental. Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen
(alat) dapat memenuhi ke-butuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebuthan orang
lain
b) Tingkat konvensional
Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya (tetapi tidak selalu) anak mulai
beralih ke tingkat ini antara umur sepuluh tahun dan tiga belas tahun. Disini,
perbuatan-perbuatan mulai dinilai atas dasar. norma-norma umum dan kewajiban
serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat kedua ini mencakup dua tahap. Bertens
(1993: 82) menjelaskan:
Tahap 3: Penyesuaian dengan kalompok atau orientasi menjadi "anak manis". Anak
cenderung mengarahkan diri pada keinginan serta harapan dari anggota atau
kelompok lain (sekolah di sini tentu penting).
Tahap 4: Orientasi hukum dan ketertiban (law and order), anak paham dengan
"kelompok" mana ia menyesuaikan diri, dengan memperluas dari kelompok akrab
ke kelompok yang lebih abstrak, seperti suku bangsa, negara dan agama.
c) Tingkat pascakonvensional
Oleh Kohlberg tingkat ketiga ini disebut juga "tingkat ptonom" atau "tingkat
berprinsip" (principled level). Pada tingkat ketiga ini hidup moral dipandang atas
dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Orang muda mulai menyadari bahwa
kelompoknya tidak selamanya benar.
Tingkat ketiga ini mempunyai dua tahap, Bertens (1993: 84) menjelaskan:
Tahap 5: "Orientasi kontak-sosial legalitas". Di sini di-sadari adanya relativisme
nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk
mencapai konsensus.
Tahap 6: "Orientasi prinsip etika yang universal". Di sini orang mengatur tingkah
laku dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok
adalah, bahwa prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal.

E. Permasalahan Etika Terapan


Di antara masalah-masalah etis yang berat dihadapi sekarang ini, tidak sedikit yang berasal
dari hasil, yang kadang-kadang spektakuler yang dicapai ilmu dan teknologi modern.
Dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, perkembangan ilmu dan teknologi
itu membawa banyak sekali perubahan dalam hidup manusia, antara lain juga menyajikan
masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. (Bertens, 1993: 282)

1. Kemajuan Ilmiah
Pertama-tama perlu disadari bahwa kemaiuan yang di-capai berkat ilmu dan teknologi
bersifat ambivalen, arti-nya di samping banyak akibat positif, terdapat juga akibat
negatif. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua
kesulitan yang mengganggu umat manusia.
Kepercayaan akan kemajuan itu rnenjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf
Perancis, Auguste Comte (1798-1857), yang memandang zaman ilmiah yang disebut
"zaman positif" sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Pada saat itu disadari
akibat-akibat dahsyat dari kemampuan manusia melalui penguasaan Fisika Nuklir.
Dengan adanya bom nuklir ini, ternyata manusia memiliki kemungkinan yang
mengerikan untuk memusnahkan kehidupan di seluruh bumi. Yang dibawa oleh ilmu
dan teknologi modern bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan
kehancuran, jika manusia tidak tahu membatasi diri.
2. Teknologi yang Tak Terkendali
Berdasarkan refleksi filosofis, sudah beberapa kali dikemukakan mengenai situasi
zaman ini, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang seakan-
akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia. Keadaan ini
bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya diciptakan untuk membantu manusia.
Fungsi teknik menurut Bertens(1993: 287) pada dasarnya adalah:
"Bersifat instrumental, artinya menyediakan alat-alat bagi manusia. Teknik mula-mula
dianggap perpanjangan fungsi-fungsi tubuh manusia: kaki (alat-alat transportasi),
telinga (radio, telepon) sampai dengan otak (komputer).”
Batas bagi yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oieh ilmu dan teknologi harus
ditentukan berdasarkan kesadaran noral manúsia.Dalam praktik, manusia melihat
bahwa masalah-masalah etis yang ditimbulkan oleh ilmu dan teknologi ditangani
dengan cara yang berbeda-beda.

Masalah-masalah lingkungan hidup baru, mulai dipikirkan. Bertens (1993: 289)


menjelaskan:
"Ada usaha pada taraf nasional, regional dan masalah global, tapi hasilnya masih jauh
dari yang diharapkan. Biarpun perhatian untuk segi etis perkembangan ilmu dan
teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari usaha untuk
memacu ilmu dan teknologi." Jika dilihat betapa banyak dana, tenaga dan perhatian
yang dicurahkan untuk menguasai sumber daya alam melalui ilmu dan teknologi, perlu
diakui bahwa hanya sedikit yang dilakukan untuk merefleksikan serta mengembangkan
kualitas etis.

F. Etika Lingkungan dan Teori Etika Lingkungan Johan Galtung


1. Etika Lingkungan
a) Kerusakan lingkungan hidup
Kenyataan bahwa manusia sedang berada dalam proses perusakan lingkungan
kehidupannya, lama-kelamaan mulai disadari di seluruh dunia.
b) Pola pendekatan yang merusak
1) Pola dasar pendekatan manusia modern terhadap alam
Pola pendekatan manusia modern terhadap alam dapat disebut sebagai pola
pendekatan teknokratik. Artinya, manusia sekadar mau menguasai alam. Alam
sekadar sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia.
2) Sikap manusia terhadap lingkungan
Sikap dasar itu terlihat dalam cara manusia bersikap terhadap lingkungannya.
Sikap itu merupakan ciri khas pola produksi modern maupun manusia dalara
kehidupan sehari-hari.
a) Bidang ekonomi modern
Ekonomi dewasa ini berpola kapitalistis, artinya, Franz Magnis Suseno
(1993: 198) menjelaskan:
"Tujuan produksi adalah laba perusahaan. Hanya laba itulah yang menjamin
bahwa sebuah per-usahaan dapat mempertahankan diri dalam alam
persaingan bisnis. Untuk meningkatkan laba, biaya produksi perlu ditekan
serendah mungkin.Oleh karena itu ekonomi modern condong untuk
mengeksploitasi kekayaan alam dengan semurth mungkin, dengan sekadar
mengambil, dengan menggali dan membongkar apa yang diperlukan tampa
memikirkan akibat bagi alam sendiri dan tanpa usaha untuk memulikan
keadaan semula. Begitu pula asap, berbagai substansi kimia yang beracun
dan segala bentuk sampah lain dibuang dengan semurah mungkin, dibuang
ke tempat pembuangan sampah, dialirkan ke dalam air sungai, dihembuskan
melalui cerobong-cerobong ke dalam atmosfer. Mengolah sampai racunnya
hilang sehingga dapat digunakan lagi hanya menambah biaya."
b) Bidang kehidupan sehari-hari
Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih baik sikapnya terhadap
lingkungan. Dengan seenaknya pohon ditebang, bunga di alam di-potong,
sampah dibuang ke sungai, kotoran di-tinggalkan bertebaran di tempat
wisata. (Franz Magnis Suseno, 1993: 198)
c) Dampak pendekatan terhadap lingkungan hidup
(1) Terhadap kelestarian biosfer
Mengenai ciri khas kehidupan di bumi, Franz Magnis Suseno (1993:
199) menjelaskan:
"Keberlangsungan dalam berbagai lapisan: di dalam laut, di dekat
pantai, di tengah laut, di dekat permukaan atau di kedalaman-nya, di
dalam sungai, danau, empang; daratan:di daerah dingin, panas, kering,
basah, di dataran rendah, di pegunungan, dan juga di udara."
Ciri Khas biosfer ialah terdiri dari ekosistem-ekosistem yang tak
terhitung banyaknya. Dengan ekosistem dimaksudkan bahwa
organisme-organisme sebuah lingkungan, misalnya sebuah rawa,
merupakan sebuah sistem. Artinya saling mempengaruhi dan saling
tergantung.
(2) Terhadap generasi-generasi yang akan datang
Yang hampir belum masuk dalam hitungan, apabila perencanaan
manusia dewasa ini membawa dampak akibat bagi generasi-generasi
yang akan datang. Setiap kerusakan dan peracunan wilayah yang tidak
dapat dipulihkan kembali berarti menggerogoti dasar-dasar alamiah
kehidupan generasi-generasi yang akan datang. (Franz Magnis Suseno
1993: 350)

c. Ciri-ciri etika lingkungan hidup yang baru


Manusia tidak mau merusak dasar-dasar ekosistemnya senditi, la harus berubah.
Tetapi perubahan itu tidak cukup kalau didasarkan pada pertimbangan pragmatis.

1) Sikap dasar
Diperlukan tidak kurang dari suatu perubahan fundamental dalam sikap
manusia modern terhadap lingkungan hidup dan alam. Menguasai tidak sebagai
pihak di luar dan di atas alam, melainkan sebagai bagian dari alam, sebagai
partisipan dalam ekosistem bumi. Jadi, menguasai sambil menghargai,
mencintai, mendukung, dan mengembangkannya.
2) Tanggung jawab lingkungan
Teori etika lingkungan hidup yang baru adalah sikap tanggung jawab
terhadapnya (Franz Magnis Suseno, 1993: 151). Tanggung jawab itu memilik
dua acuan.
a) Kebutuhan biosfer
Campur tangan manusia dengan alam yang me-mang harus berjalan terus
selalu dijalankan dalam tanggung jawab terhadap kelestarian semua proses
kehidupan yang sedang berlangsung.
b) Generasi yang akan datang
Sudah waktunya manusia menyadari tanggung jawabnya terhadap generasi
yang akan datang. Setiap orang tua yang. baik berusaha untuk menjaga
rumah, perabot dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu
mereka.
3) Unsur-unsur etika lingkungan baru
Tuntutan suatu etika lingkungan hidup baru dapat dirangkum sebagai berikut:
a) Manusia harus belajar untuk menghormati alam
Alam dilihat tidak semata-mata sebagai sesuatu yang berguna bagi manusia,
melainkan yang mempunyai nilai sendiri.
b) Manusia harus memberikan suatu perasaan tanggung jawab khusus
terhadap lingkungan lokal.
Agar lingkungan manusia bersih, sehat, alamiah, sejauh mungkin
diupayakan agar manusia tidak membuang sampah seenaknya, hendaknya.
c) Manusia harus merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer.
Untuk itu, diperlukan sikap peka terhadap kehidupan. Sekaligus perlu
dikenibangkan kesadaran mendalam dan permanen, bahwa manusia sendiri
termasuk biosfer, rerupakan bagian dari ekosistem, bahwa ekosistem adalah
sesuatu yang halus keseimbangannya, yang tidak boleh diganggu dengan
campur tangan dan perencanaan kasar.
d) Etika lingkungan hidup baru menuntut larangan keras untuk merusak,
mengotori dan meracuni.
Terhadap alam atau bagiannya manusia tidak mengambil sikap yang
merusak, mematikan, menghabiskan, mengotori, menyia-nyiakan,
melumpuhkan, ataupun membuang.
e) Solidaritas dengan generasi-generasi yang ahan datang
Harus menjadi acuan tetap dalam komunikasi dengan lingkungan. Seperti
kakek dan nenek tidak mungkin mengambil tindakan terhadap milik yang
mereka kuasai tanpa memperhatikan nasib anak dan cucunya, begitu pula.
tanggung jawab manusia untuk meninggalkan ekosistem bumi secara utuh
dan baik kepada generasi yang akan datang harus menjadi kesa-daran yang
tetap pada manusia modern. (Franz Magnis Suseno, 1993: 154)

2. Teori Etika Lingkungan Johan Galtung


Teori etika lingkungan hidup ini diharapkan mampu menimbulkan pemahaman baru
terhadap masalah lingkungan hidup yang tidak terpisah dari kosmologi tertentu yang
dalam kenyataannya tidak menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam lingkungan.
a. Etika egosentris
Etika yang mendasarkan diri pada kepentingan-kepentingan individu
(self. Egosentris didasarkan pada keharusan individu untuk
memfokuskan diri dengan tindakan apa yang dirasa baik untuk dirinya.
Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan
manusia sebagai pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut
insting-insting
"netral". Hal ini didasarkan pada pandangan-pandangan "mekanisme"
terhadap asumsi yang berkaitan dengan teori sosial liberal.

Pandangan-pandangan tersebut dapat dirangkum dalam lima hal, yaitu:

Pertama, pengetahuan mekanistik didasarkan pada asumsi bahwa segala sesuatu


merupakan bagian yang berdiri sendiri secara terpisah.
Kedua, keseluruhan adelah penjumlahan dari bagian-bagian. Hukum identitas
logika (A=A) mendasari penggambaran alam secara matematis.
Ketiga, mekanisme mempunyai asumsi bahwa sebab-sebab eksternal berlaku
dalam bagian-bagian internal.
Keempat, perubahan dapat terjadi dengan cara menyusun kembali bagian-
bagiannya.
Kelima, ilmu mekanis selalu dualistik, seperti, pengetahuan mekanis menempatkan
bagian individu sebagai komponen utama dalam pembangunan timbul korporat.

b. Etika homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian
masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada model-model kepentingan
sosial dan pendekatan-pendekatan antara pelaku lingkungan yang
melin-dungi sebagian besar masyarakat manusia.

c. Etika ekosentris
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika
ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya
sendiri. Etika ini menurut aliran etis ckologis tingkat tinggi yakni deep
ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk
memecahkan dilema etis ekologis.
Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik
ini. J. Sudriyanto (1992: 20) menjelaskan:

Pertama, segala sesuatu itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian,


sebaliknya perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian
yang lain dan keseluruhan.
Kedua, keseluruhan lebih daripada penjumlahan bagian-bagian. Hal ini tidak dapat
disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa ke-seluruhan
sama dengan penjumlahan bagian-bagian.
Ketiga, makna tergantung pada konteksnya, se-bagai lawan dari "independensi
konteks" dari "mekanisme". Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks
keseluruhan.
Keempat, merupakari proses untuk mengetahui bagian-bagian.
Kelima, alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak
terdapat dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi
organik yang sama.
Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Kepedulian lingkungan yang "dangkal" (shallow ecology)
2. Kepedulian lingkungan yang "dalam." (deep ecology).
Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang
beranggapan bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe
pengadu (termasuk individu atau masyarakat), melainkan alam secara
keseluruhan. (J. Sudriyanto, 1992: 22)

Anda mungkin juga menyukai