Defrina Artamadani Em-J Resume Bab Etika
Defrina Artamadani Em-J Resume Bab Etika
Kelas: EM-J
NIM: 141220346
TUGAS PANCASILA
ETIKA SEBAGAI NORMA TINDAKAN MANUSIA
2. Pengertian Moral
Kata moral berasal dari bahasal Latin mos (jamak: mores) yang juga berarti kebiasaan,
adat. Dalam bahasa Inggris dan banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata
“etika” sama dengan kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat
kebiasaan. Hanya bahasa asalnya yang berbeda , yang pertama berasal dari bahasa
Yunani, sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin. (Bertens, 1993: 6)
Kata “moral” sendiri perlu disimpulkan artinya, yaitu nilai nilai dan norma norma yang
menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. sedangkan “moralitas” (dari kata sifat Latin moralis) mempunyai arti yang
pada dasarnya sama dengan “moral”, hanya ada nada yang lebih abstrak. Moralitas
adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan
buruk. (Bertens, 1993: 7)
3. Pengertian Norma
Pada perkembangannya, Achmad Charris Zubair (1987: 29) menjelaskan:
“Norma berarti ukuran, garis pengarah, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan dan
penilaian. Nilai yang menjadi milik Bersama dalam satu masyarakat dan telah tertanam
dengan emosi yang mandalam akan menjadi norma yang disepakati bersama.”
Segala hal yang diberi nilai, cantik, atau berguna, diusahakan untuk diwujudkan dalam
perbuatan. Sebagai hasil dari usaha tersebut, timbullah ukuran perbuatan atau norma
tindakan. Norma ini kalau telah diterima oleh anggota masyarakat selalu mengandung
sanksi dan pahala (reinforcement), yaitu:
a. Jika tidak dilakukan sesuai norma, maka hukumannya adalah celaan dan
sebagainya;
b. Jika dilakukan sesuai dengan norma, maka pujian, balas jasa, dan sebagainya
adalah imbalannya.
Macam-macam norma menurut Bertens (1993: 198), sebagai berikut.
a) Norma teknis dan permainan
Hanya berlaku untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk kegiatan sementara
dan terbatas.
Contoh:
- Aturan perusahaan bagi karyawan
- Aturan permainan bulu tangkis
b) Norma yang berlaku umum
Contoh:
- Sopan santun
- Norma hukum
- Norma moral
2. Jenis/Golongan Etika
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum
berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar manusia bertindak secara etis, manusia
mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang
menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolok ukur dalam menilai baik
atau buruknya suatu tindakan.
Mengenai etika khusus, Burhanuddin Salam (1997: 7) menjelaskan:
“Penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.
Penerapan ini dapat berwujud manusia mengambil keputusan dan bertindak dalam
bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip
moral dasar. Namun, penerapan itu dapat juga berwujud: Bagaimana saya menilai
perilaku pribadi saya dan orang lain dalam suatu bidang kegiatan dan kehidupan khusus
yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis: Cara
bagaimana mengambil keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar
yang ada di baliknya.”
Etika khusus dibagi lagi menjadi dua, yaitu etika individu dan etika sosial. Etika
individu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Etika
sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai
manusia. (Burhanuddin, 1997: 7)
a) Etika Deskriptif
Etika deskriptif bersangkutan dengan pencatatan terhadap corak-corak,
predikat-predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang da-pat
ditemukan. Sehubungan dengan itu, ilmu ini tidak dapat membicarakan ukuran-
ukuran bagi tanggapan kesusilaan yang baik, meskipun kadang-kadang etika
deskriptif mencampuradukkan antara menerinia suatu tanggapan ke-susilaan
dengan kebenaran. Singkatnya, etika deskriptif hanya melukiskan tentang
predikat dan tanggapan kesusilaan yang telah diterima dan dipakai. (Bertens,
1993: 15)
b) Etika Normatif
Etika dipandang sebagai suatu ilmu yang me-ngadakan ukuran atau norma yang
dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan, menerangkan tentang
apa yang seharusnya terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan, dan
memungkinkan manusia untuk mengukur dengan apa yang seharusya terjadi.
Etika normatif bersangkutan dengan penyelesaian ukuran kesusilaan yang
benar. (Bertens, 1993: 17)
1) Etika Kefilsafatan
Karena mempertahankan pengertian etika sebagai suatu ilmu, tetapi
menghindari untuk menjabarkannya menjadi sosiologi, maka ada
sebagian orang yang berbicara tentang etika kefilsafatan. Analisis
tentang apa yang orang maksudkan ketika menggunakan predikat-
predikat kesusilaan. Analisis itu diperoleh dengan mengadakan pe-
nyelidikan tentang penggunaan yang sesungguhnya dari predikat-
predikat yang terdapat di dalam pernyataan-pernyataan.
2) Etika Praktis
Pada persoalan tentang etika praktis, Katt-soff (1985: 353) menjelaskan:
- Dokter dapat membunuh pasien, dengan demikian
melepaskannya dari derita rasa sakit.
- Timbul pertanyaan-pertanyaan: "Apakah baik bagi saya sebagai
seorang dokter untuk membunuh pasien saya?"
- Diandaikan bahwa pasien itu minta di-bunuh dan semua anggota
keluarganya setuju.
- Hidup adalah milik Tuhan, apa hak dokter untuk mencabutnya.
- Tetapi bagaimana dengan kemungkinan berakhirnya rasa sakit
yang berarti kebahagiaan, dengan "membunuh" semua itu akan
terjadi.
5) Persoalan Etika
a. Prinsip apakah yang dapat diterapkan untuk
"dapat" membuat tanggapan kesusilaan? (Da-lam setiap persoalan etika
yang praktis, ke-sulitan yang dihadapi adalah untuk mencapai suatu
keputusan mengenai perbuatan apa yang harus dilakukan).
b. Apakah perbuatan yang "baik" itu berarti per-buatan yang dapat dibenarkan
secara kesusilaan?
c. Apakah arti "seharusnya" dan apakah yang meniadi sumber keharusan ini?
d. Apakah tanggapan kesusilaan itu dapat diverifikasi, dan jika dapat
bagaimana caranya?
e. Arti apakah yang dikandung oleh predikat-predikat nilai itu?
6) Tanggapan kesusilaan hanya ungkapan perasaan
"Sesuatu yang buruk dan tidak boleh dilakukan"
Kalimat ini mengandung 2 pernyataan, yaitu:
a. Pembunuhan adalah sesuatu yang buruk;
b. Pembunuhan tidak boleh dilakukan.
Hukuman moral berwujud dalam bentuk kategori sche imperative. Ini merupakan
"suara" dari kewajiban yang memerintahkan supaya berbuat secara langsung.
Hukum ini bersifat apriori, artinya dijabarkan dari rasio dan dapat dipakai untuk
pengalaman. Dunia gejala mengenai pengetahuan ditentukan syaratnya ole
pengalaman dan sifatnya relatif. Tetapi dunia moral merupakan kenyataan mutlak
dan oleh sebab itu tidak bersyarat. Kalau kemauan diakui oleh akal, ia mutlak dan
tidak bersyarat. Kalau dikuasai oleh akal, ia pun mutlak dan tidak bersyarat, artinya
tidak memung-kinkan adanya pengecualian. Inilah yang dinamakan kategorische
imperative, yaitu hukum moral.
b) Kaidah keadilan
Keadilan dalam membagi yang baik dan yang buruk. Untuk mencari ciri-ciri yang
relevan dalam rangka pertimbangan moral, untuk membenarkan perlakuan yang
tidak sama, adalah dengan mengikuti pandangan Aristoteles bahwa ciri-ciri yang
relevan adalah ciri-ciri yang mempengaruhi kebahagiaan manusia. Ciri-ciri yang
paling mempengaruhi kebahagiaan orang adalah kemampuan dan kebutuhannya.
Sebab perbedaan dalam kemampuan dan kebu-tuhan orang adalah ciri yang dapat
membenarkan suatu perlakuan yang berbeda pula.
Memberikan perlakuan yang sama kepada orang Jain, bagi Franz Von Magnis
(1989: 175: 105) berarti:
1) memberikan sumbangan yang relatif sama ter-hadap kebahagiaan
mereka, diukur dengan ke-butuhan mereka;
2) menuntut dari mereka pengorbanan yang relatif sama, diukur
berdasarkan kemampuan mereka.
Jadi, kesamaan sumbangan ke arah kebahagiaan orang lain tidak dimaksudkan
dalam arti sama rata, melainkan kesamaan itu ditentukan dengan melihat kebutuhan
orang lain.
1. Kemajuan Ilmiah
Pertama-tama perlu disadari bahwa kemaiuan yang di-capai berkat ilmu dan teknologi
bersifat ambivalen, arti-nya di samping banyak akibat positif, terdapat juga akibat
negatif. Ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua
kesulitan yang mengganggu umat manusia.
Kepercayaan akan kemajuan itu rnenjadi kentara sekali dalam pemikiran filsuf
Perancis, Auguste Comte (1798-1857), yang memandang zaman ilmiah yang disebut
"zaman positif" sebagai puncak dan titik akhir seluruh sejarah. Pada saat itu disadari
akibat-akibat dahsyat dari kemampuan manusia melalui penguasaan Fisika Nuklir.
Dengan adanya bom nuklir ini, ternyata manusia memiliki kemungkinan yang
mengerikan untuk memusnahkan kehidupan di seluruh bumi. Yang dibawa oleh ilmu
dan teknologi modern bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan
kehancuran, jika manusia tidak tahu membatasi diri.
2. Teknologi yang Tak Terkendali
Berdasarkan refleksi filosofis, sudah beberapa kali dikemukakan mengenai situasi
zaman ini, bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang seakan-
akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia. Keadaan ini
bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya diciptakan untuk membantu manusia.
Fungsi teknik menurut Bertens(1993: 287) pada dasarnya adalah:
"Bersifat instrumental, artinya menyediakan alat-alat bagi manusia. Teknik mula-mula
dianggap perpanjangan fungsi-fungsi tubuh manusia: kaki (alat-alat transportasi),
telinga (radio, telepon) sampai dengan otak (komputer).”
Batas bagi yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oieh ilmu dan teknologi harus
ditentukan berdasarkan kesadaran noral manúsia.Dalam praktik, manusia melihat
bahwa masalah-masalah etis yang ditimbulkan oleh ilmu dan teknologi ditangani
dengan cara yang berbeda-beda.
1) Sikap dasar
Diperlukan tidak kurang dari suatu perubahan fundamental dalam sikap
manusia modern terhadap lingkungan hidup dan alam. Menguasai tidak sebagai
pihak di luar dan di atas alam, melainkan sebagai bagian dari alam, sebagai
partisipan dalam ekosistem bumi. Jadi, menguasai sambil menghargai,
mencintai, mendukung, dan mengembangkannya.
2) Tanggung jawab lingkungan
Teori etika lingkungan hidup yang baru adalah sikap tanggung jawab
terhadapnya (Franz Magnis Suseno, 1993: 151). Tanggung jawab itu memilik
dua acuan.
a) Kebutuhan biosfer
Campur tangan manusia dengan alam yang me-mang harus berjalan terus
selalu dijalankan dalam tanggung jawab terhadap kelestarian semua proses
kehidupan yang sedang berlangsung.
b) Generasi yang akan datang
Sudah waktunya manusia menyadari tanggung jawabnya terhadap generasi
yang akan datang. Setiap orang tua yang. baik berusaha untuk menjaga
rumah, perabot dan tanah yang dimiliki sebagai warisan bagi anak cucu
mereka.
3) Unsur-unsur etika lingkungan baru
Tuntutan suatu etika lingkungan hidup baru dapat dirangkum sebagai berikut:
a) Manusia harus belajar untuk menghormati alam
Alam dilihat tidak semata-mata sebagai sesuatu yang berguna bagi manusia,
melainkan yang mempunyai nilai sendiri.
b) Manusia harus memberikan suatu perasaan tanggung jawab khusus
terhadap lingkungan lokal.
Agar lingkungan manusia bersih, sehat, alamiah, sejauh mungkin
diupayakan agar manusia tidak membuang sampah seenaknya, hendaknya.
c) Manusia harus merasa bertanggung jawab terhadap kelestarian biosfer.
Untuk itu, diperlukan sikap peka terhadap kehidupan. Sekaligus perlu
dikenibangkan kesadaran mendalam dan permanen, bahwa manusia sendiri
termasuk biosfer, rerupakan bagian dari ekosistem, bahwa ekosistem adalah
sesuatu yang halus keseimbangannya, yang tidak boleh diganggu dengan
campur tangan dan perencanaan kasar.
d) Etika lingkungan hidup baru menuntut larangan keras untuk merusak,
mengotori dan meracuni.
Terhadap alam atau bagiannya manusia tidak mengambil sikap yang
merusak, mematikan, menghabiskan, mengotori, menyia-nyiakan,
melumpuhkan, ataupun membuang.
e) Solidaritas dengan generasi-generasi yang ahan datang
Harus menjadi acuan tetap dalam komunikasi dengan lingkungan. Seperti
kakek dan nenek tidak mungkin mengambil tindakan terhadap milik yang
mereka kuasai tanpa memperhatikan nasib anak dan cucunya, begitu pula.
tanggung jawab manusia untuk meninggalkan ekosistem bumi secara utuh
dan baik kepada generasi yang akan datang harus menjadi kesa-daran yang
tetap pada manusia modern. (Franz Magnis Suseno, 1993: 154)
b. Etika homosentris
Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian
masyarakat. Etika ini mendasarkan diri pada model-model kepentingan
sosial dan pendekatan-pendekatan antara pelaku lingkungan yang
melin-dungi sebagian besar masyarakat manusia.
c. Etika ekosentris
Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika
ekosentris ini, lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya
sendiri. Etika ini menurut aliran etis ckologis tingkat tinggi yakni deep
ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif untuk
memecahkan dilema etis ekologis.
Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik
ini. J. Sudriyanto (1992: 20) menjelaskan: