PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaedah-Kaedah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah . Maka dari itu, penulis mencoba untuk menerangkan tentang
Kaedah-Kaedah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi
dari Kaedah-Kaedah fiqh.
Dengan menguasai Kaedah-Kaedah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena Kaedah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.
C. BATASAN MASALAH
Makalah ini pembahasan tentang “ Al-Qawa’id Al-Fiqiyah” diantaranya :
1. Pengertian Al-Qawa’id Al-Fiqiyah
2. Macam-macam Al-Qawa’id Al-Fiqiyah
3. Beda Al-Qawa’id Al-Fiqiyah dengan Al-Qawa’id Al-Ushuliyah
4. Al-Qawa’id Al-Khamsyah dan Kaedah yang berkaitan
1
BAB II
PEMBAHASAN
ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ωÏã #uqs)ø9$# §y‚sù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù
Artinya:
”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya…” (Q.S. An-Nahl 26)
Secara etimologi Kaedah-Kaedah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Sedangkan dalam tinjuan terminology Kaedah
punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam buku ushul fiqh Islami,
mengatakan bahwa Kaedah itu adalah:
“ Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hokum juz’I yang
banyak”
Sedangkan menyoritas ulama ushul fiqih mendefenisikan Kaedah dengan :
“Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagianya”
1. Kaedah-Kaedah fiqih bila ditinjau dari sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah
b. Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah
2
c. Kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama
Ayat ini menunjukkan sebuah Kaedah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan
yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun misal Kaedah fiqih yang terambil dari sabda Rasulullah SAW adalah:
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan Kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan
pergaulan, muamalah dan lainnya. Bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi
diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan.
b. Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,
namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah Kaedah yang sangat masyhur :
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rasululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara
kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat,
apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan
tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim)
c. Kaedah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan
atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada
sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan
tujuan dari sebuah hokum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)
2. Kaedah fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan,
terbagi menjadi tiga macam :
3
A. Kaedah-Kaedah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut dengan القواعد الكلية الكبري
Jumlah dari Kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima Kaedah,namun sebagian
ahlul ilmi menambahkan satu lagi sehingga jumlahnya ada enam. Kaedah –Kaedah ini
adalah:
a) " إنما األعمال بالنياتAmal perbuatan itu tergantung niatnya”
ّ “ اليقين ال يزول بالشSesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan”
b) ك
c) “ المشقة تجلب التيسيرKesulitan membawa kemudahan”
d) “ ال ضرر وال ضرارTidak boleh membuat sesuatu yang membahayakan”
e) “ العادة محكمةSebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f) ال الكالم أولى من إهمالهmmmmmmm“ إعمmemfungsikan ucapan lebih baik dari pada
menghilangkannya”
B. Kaedah yang tidak masuk dalam Kaedah besar di atas, dan Kaedah ini terbagi menjadi
dua, yaitu:
Pertama : Kaedah-Kaedah yang menjadi cabang dari Kaedah besar diatas.
Contohnya:
“ الضرورات تبيح المحذوراتKondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”
Kedua: Kaedah-Kaedah yang bukan merupakan cabang dari beberapa Kaedah besar di atas,
namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang keenam
Kaedah di atas.
Contohnya:
“ التابع تابعSesuatu yang hanya mengikuti (lainnya) maka hukumnya pun pengikut lainnya”.
C. Kaedah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya
berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
“ األصل في الماء الطهارةAsal hukum air itu suci.”
Kaedah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.
3. Kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’, maka terbagi
menjadi dua :
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
4
Di antaranya adalah Kaedah-Kaedah besar serta banyak Kaedah lainnya.
5
3. Kaedah-Kaedah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut.
Sedangkan Kaedah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam Kaedah.
c. Eksistensi niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya.
ارنُ لِ ْلفِع ِْل
ِ َقَصْ رُال َش ْيِئ ُم ْقت َِرنًا بِفِ ْعلِ ِه َأوالقَصْ رُال ُمق
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan
wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.
ب َأ ْن تَ ُكوْ نَ النِّيَةُ ُمقَا ُر نَةً للتَ ْكبِي ِْر ِ القَصْ ُد بِا لقَ ْل
َ ب َويَ ِج
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila
meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari
6
perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat,
agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata
karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian duduk atau
tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak. Apabila dia berniat
ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah
tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-
kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub,
shalat, qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti
luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat,
sewa-menyewa, perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.
8
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
َ ب َوالخَ طَا ِء ُدوْ نَ تَرْ ِجي ِْع اَ َح ِر ِه َما َعلَى
االح ِر َ اوى
َ ط َرفَ ِرال
ِ ص َوا ِ ْهُ َو َما َكانَ ُمتَ َر ِّددًابَ ْينَ الثُبُو
ِ ت َو َع َد ِمهَ َم َع تَ َس
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran
dan kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah
satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang menstruasi yang
meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat.
Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis
maka ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah
tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut
dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak,
tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah mazhab Maliki dan
sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam
ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-
hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan disini pendapat Ibnu Qayyim al-
Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan.
Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena
kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya
(mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih
sempit ruang lingkupnya, misalnya:
1. اليَقِيْنُ يُ َزا ُل بِاليَقِ ْي ِن ِم ْثلِ ِه
Artinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal.
2. َأ َّن َماثَبَتَ بِيَقِ ْي ِن الَيُرْ تَفَ ُع ِإالَبِيَقِ ْي ٍن
Artinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan
keyakinan lagi”.
9
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus tujuh putaran.
Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam
atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang
kelima itulah yang menyakinkan.
3. اََآلصْ ُل بَ َراءةُال ِذ َم ِة
Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.
4. ُاَآلصْ ُل بقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكانَ َمالَ ْم يَ ُك ْن َمايُ َغيِ ُره
Artinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”.
5. ض ِةال َع َد ُم
َ ار
ِ ت ال َع ِ اََآلصْ ُل فِ ْي ال
ِ صفَا
Artinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
6. ب َأوقَاتِ ِه
ِ ث ِإل َرَأ ْق َر َ ُضافَة
ِ الحا ِد َ اََآلصْ ُل ِإ
Artinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hokum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang
menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
7. احةُ َحتَى يَ ُد َل ال َدلِ ْي ُل َعلَى التَحْ ِري ِْم
َ َاََآلصْ ُل فِي اَآل ْشيَا ِءاِإل ب
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya,
maka hukumnya boleh dimakan.
َ اََألصْ ُل فِي ال َكالَ ِم
8. ُالحقِ ْيقَة
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
9. Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
ْ َالَ ِع ْب َرةَبِالظَ ِن الَ ِذي ي
ُظهَرُخَ طَا ُءه
Artinya: “Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
10. الَ ِعب َْرةَ لِلت ََو ه ُِم
Artinya: “Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”.
10
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam waham, yang salah itu zatnya.
11. َماثَتَبَتَ بِ َز َم ٍن يُحْ َك ُم بَبَقَا ِء ِه َمالَ ْم يَقُ ْم ال َدلِ ْي ُل َعلَى ِخالَفِ ِه
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.
c. Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang
kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena
kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak
mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat.
Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).
15
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya mempunyai arti yang
sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah
dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan
sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan
metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang
Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d. Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah
mendarah daging pada perilaku masyarakat.
Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.
16
4. Kaidah keempat:
ًْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َكا لَ َم ْشرُوْ ِط شَرْ ص
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”.
5. Kaidah kelima:
ك ل َم ْشرُوْ ِط بَ ْينَهُ ْم ِ ْال َم ْعر َُوفُ بَ ْينَ التُ َج
َ ار
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka”.
6. Kaidah keenam:
ف َكا لتَ ْعبِي ِْن بِا لنَص
ِ ْالتَ ْعيِيْنُ بِا لعُر
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
7. Kaidah ketujuh:
ًْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َكا ل ُم ْمتَن َِع َحقَ ْيقَة
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan”.
8. Kaidah kedelapan:
ُ الحقِ ْيقَةُ تُ ْت َر
ك بِ َد الَ لَ ِةا ل َعا َد ِة َ
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
9. Kaidah kesembilan:
اِإل ْذ نُ العُرْ فِى َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِظى
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin
menurut ucapan”.
17
d. Meskipun Kaedah-Kaedah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya Kaedah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
e. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
f. Kaedah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
g. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
h. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya
dalam satu topik.
18
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah Kaedah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, Kaedah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan Kaedah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26
19
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Al-Fiqhiyah , (Jakarta: Raja
Grafindo, 1996), h. 107-109.
Ibid, h. 123
Ibid, h. 126-127.
Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 153.
Ibid, h. 140-141.
20