Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah (Kaedah-Kaedah fiqh) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu
Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah . Maka dari itu, penulis mencoba untuk menerangkan tentang
Kaedah-Kaedah fiqh, mulai dari pengertian, sejarah, perkembangan dan beberapa urgensi
dari Kaedah-Kaedah fiqh.
Dengan menguasai Kaedah-Kaedah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang
menguasai fiqh, karena Kaedah fiqh itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh, dan
lebih arif di dalam menerapkan fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda untuk kasus, adat
kebiasaan, keadaan yang berlainan. Selain itu juga akan lebih moderat di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politin, budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap
problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B.   TUJUAN PEMBUATAN MAKALAH


Makalah ini penulis buat dengan tujuan untuk mengembangkan diri, menambah ilmu
pengetahuan dan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah “ Al-Qawa’id Al-Fiqiyah”  yang
dibimbing oleh Bapak KHAIRUL ERWIN, SH S.Pd.I, MA

C.   BATASAN MASALAH
Makalah ini pembahasan tentang “ Al-Qawa’id Al-Fiqiyah”  diantaranya :
1. Pengertian Al-Qawa’id Al-Fiqiyah
2. Macam-macam Al-Qawa’id Al-Fiqiyah
3. Beda Al-Qawa’id  Al-Fiqiyah dengan Al-Qawa’id Al-Ushuliyah
4. Al-Qawa’id  Al-Khamsyah dan Kaedah yang berkaitan

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Al-Qawa’id Al-Fiqiyah (Kaedah-Kaedah Fiqih)


Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah Kaedah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menambahkan bahwa, Kaedah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan Kaedah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26 :

ª!$# OßguZ»uŠø^ç/ šÆÏiB ωÏã #uqs)ø9$# §y‚sù ãNÍköŽn=tã ß#ø)¡¡9$# `ÏB óOÎgÏ%öqsù
Artinya:
 ”Allah akan menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya…” (Q.S. An-Nahl 26)

Secara etimologi Kaedah-Kaedah fikih adalah dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis fikih. Sedangkan dalam tinjuan terminology Kaedah
punya beberapa arti, menurut Dr. Ahmad asy-Syafi’i dalam buku ushul fiqh Islami,
mengatakan bahwa Kaedah itu adalah:
“ Kaum yang bersifat universal (kulli) yang diakui oleh satuan-satuan hokum juz’I yang
banyak”
Sedangkan menyoritas ulama ushul fiqih mendefenisikan Kaedah dengan :
“Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagianya”

B. Macam-macam Al-Qawa’id Al-Fiqiyah


Macam-macam Kaedah fiqih bisa ditinjau dari tiga sisi :
1. Ditinjau dari sumbernya.
2. Ditinjau dari keluasaan pembahsannya.
3. Ditinjau dari apakah Kaedah tersebut disepakati atau diperselisihkan oleh para
ulama

1. Kaedah-Kaedah fiqih bila ditinjau dari sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu :
a. Kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah
b. Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah

2
c. Kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama

Pembahasan ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut:


a. Kaedah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As Sunah.
Misalnya firman Allah ta’ala yang artinya :
"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”
(QS.Al Baqoroh: 188)

Ayat ini menunjukkan sebuah Kaedah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan
yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Adapun misal Kaedah fiqih yang terambil dari sabda Rasulullah SAW adalah:
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan Kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan
pergaulan, muamalah dan lainnya. Bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi
diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan.

b. Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,
namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah.
Misalnya adalah sebuah Kaedah yang sangat masyhur :
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rasululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara
kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat,
apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan
tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim)

c. Kaedah fiqih yang tersusun berdasarkan ijtihat para ulama’.dan ini biasanya didasarkan
atas sebuah qiyas atau ta’lil (melihat sebab dari sebuah hukum ) atau dengan melihat kepada
sifat hukum syar’i secara umum serta melihat kepada maqoshid syar’iyyah (maksud dan
tujuan dari sebuah hokum syar’i ) atau yang lainnya. ( Sabiq, 2009)

2. Kaedah fiqih kalau ditinjau dari luas dan sempitnya pembahasan dan permasalahan,
terbagi menjadi tiga macam :

3
A. Kaedah-Kaedah besar yang mencangkup hampir seluruh bab fiqih islam.
Kaedah ini biasanya disebut dengan ‫القواعد الكلية الكبري‬
Jumlah dari Kaedah ini yang masyhur dikalangan ulama’ ada lima Kaedah,namun sebagian
ahlul ilmi menambahkan satu lagi sehingga jumlahnya ada enam. Kaedah –Kaedah ini
adalah:
a) ‫" إنما األعمال بالنيات‬Amal perbuatan itu tergantung niatnya”
ّ ‫“ اليقين ال يزول بالش‬Sesuatu yang yakin tidak bisa hilang dengan keraguan”
b) ‫ك‬
c) ‫“ المشقة تجلب التيسير‬Kesulitan membawa kemudahan”
d) ‫“ ال ضرر وال ضرار‬Tidak boleh membuat sesuatu yang membahayakan”
e) ‫“ العادة محكمة‬Sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”
f) ‫ال الكالم أولى من إهماله‬mmmmmmm‫“ إعم‬memfungsikan ucapan lebih baik dari pada
menghilangkannya”

B. Kaedah yang tidak masuk dalam Kaedah besar di atas, dan Kaedah ini terbagi menjadi
dua, yaitu:
Pertama : Kaedah-Kaedah yang menjadi cabang dari Kaedah besar diatas.
Contohnya:
‫“ الضرورات تبيح المحذورات‬Kondisi darurat bisa memperbolehkan sesuatu yang terlarang”

Kedua: Kaedah-Kaedah yang bukan merupakan cabang dari beberapa Kaedah besar di atas,
namun juga mencangkup banyak permasalahan fiqih meskipun tidak seluas yang keenam
Kaedah di atas.
Contohnya:
‫ “ التابع تابع‬Sesuatu yang hanya mengikuti (lainnya) maka hukumnya pun pengikut lainnya”.

C. Kaedah yang hanya memiliki kawasan permasalahan yang sempit.yang biasanya hanya
berlaku untuk satu atau beberapa bab saja.
Misalnya:
‫“ األصل في الماء الطهارة‬Asal hukum air itu suci.”
Kaedah ini hanya pada permasalahan air saja dan tidak berlaku pada yang lainnya.

3. Kaedah fiqih ditinjau dari kesepakatan atau perselisihan para ulama’, maka terbagi
menjadi dua :
A. Kaedah yang disepakati oleh para ulama
4
Di antaranya adalah Kaedah-Kaedah besar serta banyak Kaedah lainnya.

B. Kaedah fiqih madzab tertentu saja.


Dan ini adalah beberapa Kaedah yang ditetapkan oleh para ulama’ untuk berbagai masalah
yang terdapat dalam madzhab mereka, namun diselisihi oleh madzhab ulama’ lainnya.
( Sabiq, 2009)

C. Beda Al-Qawa’id  Al-Fiqiyah dengan Al-Qawa’id Al-Ushuliyah


Orang yang pertama kali membedakan antara Qaidah Usuliyah dan Qaidah Al-Fiqhiyah
adalah Imam Syihabuddin Al Qarafi, sebagaimana yang telah di singgung dalam
muqaddimah “Al Furuq” sebagaimana berikut:
“Sesungguhnya syariat Muhammad yang mulia-semoga Allah senantiasa menambahkan
keagungan dan kemulianya- memuat asal dan furu’, sedangkan usulnya terbagi menjadi dua
bagian :
a). Usul fiqh
Biasanya yang terdapat dalam usul fiqh adalah qawaid ahkam (qawaid hukum) yang
bersumber dari lafaz-lafaz bahasa arab khassah (yang khusus) dan apa yang di pertentangkan
terhadap lafadz-lafadz, baik nasakh, tarjih.    
Seperti: amar (perintah) menunjukan wajib, dan nahy (larangan) menunjukan haram.dan lain
sebagainya.

b). Qawaid fiqh kulliyah


Banyak jumlahnya, di dalamnya tersimpan rahasia-rahasia syara’ dan hukumnya, setiap
qaidah furu’ dalam syariah sangat banyak dan tak terhingga, dan semua pembahasan ini tidak
di jelaskan dalam usul fiqh.

Perbedaan Kaedah Ushul dan Kaedah Fiqh


1. Kaedah ushul adalah cara menggali hukum syara’ yang praktis.
Sedangkan Kaedah fiqh adalah kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali
kepada satu hukum yang sama.
2. Kaedah-Kaedah ushul muncul sebelum furu’ (cabang).
Sedangkan Kaedah fiqh muncul setelah furu’.

5
3. Kaedah-Kaedah ushul menjelaskan masalah-masalah yang terkandung di dalam
berbagai macam dalil yang rinciyang memungkinkan dikeluarkan hukum dari dalil-
dalil tersebut.
Sedangkan Kaedah fiqh menjelaskan masalh fiqh yang terhimpun di dalam Kaedah.

D. Al-Qawa’id  Al-Khamsyah dan Kaedah yang berkaitan


Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh banyak terdapat macam-macam kaidah salah
satunya tentang kaidah-kaidah asasi ( al-Qawaid al-Khamsah)
Dalam kaidah-kaidah asasi terdapat 5 macam kaidah, sehingga untuk lebih mengetahui macam-
macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Kaidah yang berkaitan dengan niat
a. Teks kaidahnya
ِ ‫اُأل ُموْ ُربِ ِمقَا‬
‫ص ِدهَا‬ Artinya: “Segala perkara tergantung kepada niatnya”.
b. Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT : !$ tBur (#ÿ râ É D é & žw Î) (#r߉ç6 ÷è u‹Ï9 © !$# tûü Å Á Î=øƒè C ã&s!
tûï Ïe $ !$#
Artinya: “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. al-
Bayyinah [98]: 5).
ِ ‫ِإنَّ َما ااْل َ ْع َما ُل بِا لنِّبَا‬
Sabda Nabi SAW : ‫ت َواِ نَّ َما لِ ُكلِّ ا ْم ِر ٍئ َما نَ َو ى‬
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
seseorang itu hanyalah apa yang ia niati.”

c.   Eksistensi niat
Niat dikalangan ulama-ulama Syafi’iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu
disertai dengan pelaksanaannya.
‫ارنُ لِ ْلفِع ِْل‬
ِ َ‫قَصْ رُال َش ْيِئ ُم ْقت َِرنًا بِفِ ْعلِ ِه َأوالقَصْ رُال ُمق‬
Didalam shalat misalnya yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud didalam hati dan
wajib niat disertai dengan takbirat al-ihram.
‫ب َأ ْن تَ ُكوْ نَ النِّيَةُ ُمقَا ُر نَةً للتَ ْكبِي ِْر‬ ِ ‫القَصْ ُد بِا لقَ ْل‬
َ ‫ب َويَ ِج‬
Dikalangan mazhab Hambali juga menyatakan bahwa tempat niat ada didalam hati
karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila
meyakini/beritikad didalam hatinya. Itu pun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari

6
perbuatan. Yang lebih utama, niat bersama-sama dengan takbirat al-ihram didalam shalat,
agar niat ikhlas menyertainya dalam ibadah.
Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan
melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan agama ataukah dia
melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata
karena kebiasaan saja. Apabila seseorang mampir disebuah mesjid, kemudian duduk atau
tiduran dimesjid tersebut, maka apakah dia berniat I’itikap ataukah tidak. Apabila dia berniat
ihtikaf dimesjid tersebut, maka dia mendapat pahala dari ibadah ikhtikafnya.
Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah adalah tidak sah
tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja, yang termasuk kekecualian dari kaidah-
kaidah tersebut diatas.
Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa fungsi niat adalah:
1. Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.
2. Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan.
3. Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang
wajib dari yang sunah.
Secara lebih mendalam lagi para fuqaha (ahli hukum islam) merinci masalah niat ini baik
dalam bidang ibadah mahdlah, seperti thaharah (bersuci), wudhu, tayamum, mandi junub,
shalat, qasar jamak, wajib, sunnah, zakat, haji, saum ataupun didalam muamalah dalam arti
luas atau ibadah ghair mahdlah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiyat,
sewa-menyewa, perwakilan, utang-piutang, dan akad-akad lainnya.

Diantara kekecualian kaidah diatas antara lain:


1.   Suatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur
dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, makrifat,
khauf, zikir dan membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam rangka nazar.
2.  Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan
perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang karena dengan tidak melakukan
perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai.
3.  Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan
suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.
Dikalangan mazhab Hanafi ada kaidah:
َ ‫الَ ثَ َو‬
‫اب ِإاَل بِالنِيَ ِة‬ Artinya: “Tidak ada pahala kecuali niat”.
7
Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawa’id al-kulliyah yang pertama sebelum al-umur
bimaqashidiha.
Sedangkan dikalangan mazhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-
umur bimaqashidiha, seperti diungkapkan oleh Qadhi Abd Wahab al-Baqdadi al-Maliki.
Tampaknya pendapat mazhab Maliki ini bisa lebih diterima karena kaidah diatas asalnya.
‫اب ِإالَبِا النِيَ ِة‬ َ ‫الَثَ َو‬
َ َ‫اب َوالَ ِعق‬ Artinya: “Tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena
niatnya”.

2.      Kaidah yang berkenaan dengan keyakinan


a.   Teks kaidahnya
ِ ‫اَ ْليَقِيْنُ الَيُزَ ا ُل بِا ل َش‬
‫ك‬ Artinya: “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan kerugian”.
Didalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan
kenyakinan dan keraguan. Misalnya: orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia
ragu, apakah sudah batal wudhunya atau belum? Maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya
saja untuk ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya.
Contoh lain dalam fiqh jinayah, apabila seseorang menyangka kepada orang lain melakukan
kejahatan, maka sangkaan tersebut tidak dapat diterima. Kecuali ada bukti yang sah dan
menyakinkan bahwa orang tersebut telah melakukan kejahatan.
b.  Dasar-dasar nash kaidah
Sabda Nabi SAW :
‫صوْ تًاَأوْ يَ ِج ْد ِر ْيحًا (رواه‬
َ ‫ُجنَ ِمنَ ْال َم ْس ِج ِد َحتَى يَ ْس َم َع‬
َ ‫او َج َد َأ َح ُد ُك ْم فِي بَصْ نِ ِه َش ْيًئا فََآ ْش َك َل َعلَ ْي ِه اَخَ َر َج ِم ْنهُ َش ْي ٌءَأ ْم الَفَالَ يَ ْخر‬
َ ‫اِ َذ‬
)‫مسلم عن أبى هريرة‬
Artinya: “Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian
dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang tersebut
tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut) atau mencium baunya”.
(HR. Muslim dari Abu Hurairah).
َ ُ‫َد ْع َماي ُِر ْيبُكَ ِإلَى َماالَي ُِر ْيب‬
‫ك‬
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak
meragukanmu”. (HR. al-Nasai dan al-Turmudzi dari Hasan bi Ali).
Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:
‫هُ َو َما َكانَ ثَابِتًابِالنَظَرَأواال َّد لِيْل‬
Artinya: “Sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan panca indra atau dengan adanya
dalil”.

8
Adapula yang mengertikan yakin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi.
Adapun yang dimaksud dengan al-Syak disini adalah:
َ ‫ب َوالخَ طَا ِء ُدوْ نَ تَرْ ِجي ِْع اَ َح ِر ِه َما َعلَى‬
‫االح ِر‬ َ ‫اوى‬
َ ‫ط َرفَ ِرال‬
ِ ‫ص َوا‬ ِ ْ‫هُ َو َما َكانَ ُمتَ َر ِّددًابَ ْينَ الثُبُو‬
ِ ‫ت َو َع َد ِمهَ َم َع تَ َس‬
Artinya: “Suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran
dan kesalahan dengan kekuatan yang sama dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah
satunya”.
Ada kekecualian dari kaidah tersebut diatas, misalnya wanita yang sedang menstruasi yang
meragukan, apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib mandi besar untuk shalat.
Contoh lain: baju seseorang terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis
maka ia wajib mencuci baju seluruhnya.
Sesungguhnya contoh-contoh diatas menunjukkan kepada ihtiyath dalam melakukan ibadah
tidak langsung merupakan kekecualian. Mazhab Hanafi mengecualikan dari kaidah tersebut
dengan menyebut 7 macam contoh. Sedangkan mazhab Syafi’I menyebut 11 contoh.
Sedangkan materi-materi fikih yang terkandung dalam kaidah al-yaqin la yuzal bi al-syak,
tidak kurang dari 314 masalah fikih.
Mazhab yang tidak mau menggunakan hal-hal yang meragukan adalah mazhab Maliki dan
sebagian ulama Syafi’iyah, karena mereka menerapkan konsep ihtiyath-nya. Memang dalam
ibadah memerlukan kepastian dan kepuasan batin hanya bisa dicapai dengan ihtiyah (kehati-
hatian).
Tentang syak atau keraguan ini barangkali perlu dikemukan disini pendapat Ibnu Qayyim al-
Jauziyah: “Perlu diketahui bahwa didalam syariah tidak ada sama sekali yang meragukan.
Sesungguhnya syak (keraguan) itu datang kepada mukallaf (subyek hukum) karena
kontradiksinya dua indikator atau lebih, maka masalahnya menjadi meragukan baginya
(mukallaf).
Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih
sempit ruang lingkupnya, misalnya:
1.     ‫اليَقِيْنُ يُ َزا ُل بِاليَقِ ْي ِن ِم ْثلِ ِه‬
Artinya: “Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang menyakinkan pula”.
Kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal.
2.     ‫َأ َّن َماثَبَتَ بِيَقِ ْي ِن الَيُرْ تَفَ ُع ِإالَبِيَقِ ْي ٍن‬
Artinya: “Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kacuali dengan
keyakinan lagi”.
9
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang menyakinkan yaitu harus tujuh putaran.
Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam
atau kelima. Maka yang menyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena putaran yang
kelima itulah yang menyakinkan.
3.     ‫اََآلصْ ُل بَ َراءةُال ِذ َم ِة‬
Artinya: “Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”.
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.
4.     ُ‫اَآلصْ ُل بقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكانَ َمالَ ْم يَ ُك ْن َمايُ َغيِ ُره‬
Artinya: “Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”.
5.     ‫ض ِةال َع َد ُم‬
َ ‫ار‬
ِ ‫ت ال َع‬ ِ ‫اََآلصْ ُل فِ ْي ال‬
ِ ‫صفَا‬
Artinya: “Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”.
6.     ‫ب َأوقَاتِ ِه‬
ِ ‫ث ِإل َرَأ ْق َر‬ َ ُ‫ضافَة‬
ِ ‫الحا ِد‬ َ ‫اََآلصْ ُل ِإ‬
Artinya: “Hukum asal adlah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”.
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hokum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi, kecuali ada bukti lain yang
menyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.
7.     ‫احةُ َحتَى يَ ُد َل ال َدلِ ْي ُل َعلَى التَحْ ِري ِْم‬
َ َ‫اََآلصْ ُل فِي اَآل ْشيَا ِءاِإل ب‬
Artinya: “Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang
menunjukkan keharamnya”.
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya,
maka hukumnya boleh dimakan.
َ ‫اََألصْ ُل فِي ال َكالَ ِم‬
8.     ُ‫الحقِ ْيقَة‬
Artinya: “Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”.
9.      Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah,” al-yaqin la yuzal bi al-syak”, yaitu:
ْ َ‫الَ ِع ْب َرةَبِالظَ ِن الَ ِذي ي‬
ُ‫ظهَرُخَ طَا ُءه‬
Artinya: “Tidak dianggap (diakui) persangkaan yang jelas salahnya”.
10.  ‫الَ ِعب َْرةَ لِلت ََو ه ُِم‬
Artinya: “Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”.
10
Bedanya zhann dan waham adalah didalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam waham, yang salah itu zatnya.
11.  ‫َماثَتَبَتَ بِ َز َم ٍن يُحْ َك ُم بَبَقَا ِء ِه َمالَ ْم يَقُ ْم ال َدلِ ْي ُل َعلَى ِخالَفِ ِه‬
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya”.

3.   Kaidah yang berkenaan dengan kondisi menyulitkan


a.  Teks kaidahnya
‫ال َم َشقَةُ تَجْ لِبُ التَي ِْس ْي ُر‬
Artinya: “Kesulitan mendatangkan kemudahan”.

b.   Dasar-dasar nash kaidah


Firman Allah SWT:
َ ‫ْر َوالَي ُِر ْي ُد بِ ُك ُم ْالع‬
‫ُسر‬ ِ ‫ي ُِر ْي ُد هللاُ بِ ُك ْم ْاليُس‬
Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan
bagi kalian”. (QS. al-Baqarah : 185).
Sabda Nabi SAW:
)‫ال ِديْنُ يُ ْسرٌا ُخبُ ال ِدي ِْن إلَى هللاِ الخفِيَةَ ال َس ْم َحةَ (رواه البخر‬
Artinya: “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar
dan mudah”. (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).
Dalam ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh
macam yaitu:
1. Sedang dalam perjalanan, misalnya boleh qasar shalat, buka puasa, dan
meninggalkan shalat jum’at.
2. Keadaan sakit, misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air shalat fardhu
sambil duduk.
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
4. Lupa, misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa
membayar utang tidak diberi sanksi tetapi bukan pura-pura lupa.
5. Ketidaktahuan, misalnya orang yang baru masuk Islam karena tidak tahu, kemudian
makan makanan yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi.
6. Umum al-Balwa, misalnya kebolehan bai al-salam (Uangnya dahulu, barangnya
belum ada). Kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya demi untuk
mengobati sekadar yang dibutuhkan dalam pengobatan.
11
7. Kekuranganmampuan bertindak hukum (al-naqsh), misalnya anak kecil, orang gila,
orang dalam keadaan mabuk.

c.   Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1.      Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah. Misalnya seseorang
kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat, keberatan ini bukan berarti
diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa dan sebagainya, atau karena
kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2.      Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia tidak
mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan merusak diri dan
memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur oleh criteria akal sehat.
Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan semacam ini diperbolehkan
menggunakan dispensasi (rukhsah).

d.      Tingkatan kesulitan dalam ibadah


Dr. Wahbah az-Zuhaili membagi tingkatan kesulitan dalam ibadah menjadi 3 macam, yaitu:
1.    Kesulitan Adhimah
Yaitu kesulitan yang dikhawatirkan akan rusaknya jiwa ataupun jasad manusia.
2.    Kesulitan Khofifah
Yaitu kesulitan karena sebab yang ringan, seperti kebolehan menggunakan muza jika
sangat dingin menyentuh air.
3.    Kesulitan Mutawasithah
Yaitu kesulitan yang tengah-tengah antara yang berat dan yang ringan. Berat ringannya
kesulitan tergantung pada persangkaan manusia, sehingga tidak diwajibkan memilih
rukhshah juga tidak dilarang memilihnya.

e.    Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan


Syekh Izzudin bin Abdis salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan dalam
kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
12
1.   Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at, ibadah haji dan umrah serta jihad jika
ada uzur.
2.   Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya menggashar shalat dari 4 rakaat menjadi 2 rakaat.
3.   Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum, mengganti berdiri dengan duduk
atau berbaring ketika shalat.
4.   Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim, yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur,
mendahulukan zakat sebelum setahun, mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir
ramadhan.
5.   Tahfitul ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir, yakni shalat zuhur dapat dilakukan pada waktu shalat ashar,
mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.
6.   Tahfitul tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.

4.  Kaidah yang berkenaan dengan kondisi membahayakan


a.  Teks kaidahnya
‫الض َر ُريُزَ ا ُل‬
َ Artinya: “Kemudaratan harus dihilangkan”.
Seperti dikatakan oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk
meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Kaidah tersebut di atas kembali kepada
tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah dengan menolak yang mafsadah, dengan
cara menghilanhkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:
 Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan
tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
 Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah juga
untuk menghilangkan kemudaratan.
 Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan.

b.  Dasar-dasar nash yang berkaitan


13
Firman Allah SWT: ِ ْ‫تُ ْف ِس ُر َوافِى ااْل َر‬
َ‫ ه ه) َوال‬:‫ض (االعراف‬
Artinya: “Dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan dibumi. “. (QS. al-A’raf : 55).
Sabda Nabi SAW: ِ َ‫ض َر َر َوال‬
‫ض َرا َر‬ َ َ‫ال‬
Artinya: “…Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan
pada orang lain”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu Abbas).

c.       Kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kondisi mudarat


Kaidah pertama:
ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬
‫ت‬ ُ ‫ضرُوْ َر‬
َ َ‫ا‬
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan keharaman”.
Batasan kemudaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia yang terkait
dengan lima tujuan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara
keturunan dan memelihara keturunan dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Kaidah kedua:
ِ ‫ت يُقَ َد ُربِقَد‬
‫َرهَا‬ ِ ‫ُورا‬
َ ‫ضر‬َ ‫َماُأبِ ْي َع لل‬
Artinya: “ Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”.
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi
penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Dalam kaitan ini Dr. Wahbah az-Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan 4 klasifikasi, yaitu:
 Darurat
 Hajah
 Manfaat
 Fudu
Kaidah ketiga:
‫َجا َز لِع ُْذ ٍر بَطَ َل بَزَ َوالِ ِه َما‬
Artinya: “Apa yang diizinkan karena adanya udzur, maka keizinan itu hilang manakala
udzurnya hilang”.
Kaidah keempat:
‫اَ ْل َم ْيسُوْ ُرالَيُ ْسقَطُ بِا ْل َم ْعسُوْ ِر‬
Artinya: “Kemudahan itu tidak dapat digugurkan dengan kesulitan”.
Kaidah kelima:
‫ق ْال َغي ِْر‬
َ ‫اَاْل ِ ضْ طَ َرا ُريُب ِْط ُل َح‬
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain”.
Kaidah keenam:
14
‫ض َم ْف َس َدةٌ َو َمصْ لَ َحةٌ قُ ِد َم َد ْف ُع ْال َم ْف َس َد ِة غَا ِلبًا‬ َ ‫َدرْ ُء ْال َمفَا ِس ِداَوْ لَى ِم ْن َج ْلبِى ْال َم‬
َ ‫صالِ ِع فَا ِ َذا تَ َعا َر‬
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada menarik mashlahah dan apabila
berlawanan antara yang mafsadah dan mashlahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”.
Kaidah ketujuh:
َ ‫اَل‬
َ ‫ض َر ُرالَيُزَ ا ُل بِا ل‬
‫ض َر ِر‬
Artinya: “Kemudaratan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudaratan yang lain”.
Kaidah kedelapan:
‫ب ْالخَ فِّ ِه َما‬ ِ ‫ض َم ْف َس َد ت‬
َ ‫َان رُوْ ِع ْي اَ ْعظَ ُمهَا‬
ِ ‫ض َررًابِارْ تِ َكا‬ َ ‫اِ َذاتَ َعا َر‬
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.
Kaidah kesembilan:
َ ‫اَ ْل َحا َجةُ ْالعْا َمةُ اَ ِو ْالخَا‬
َ َ‫صةُ تَ ْن ِز ُل َمي ِْز لَة‬
‫الضرُوْ َر ِة‬
Artinya: “Kebutuhan umum atau khusus dapat menduduki tempatnya darurat”.

5.  Kaidah yang berkenaan adat kebiasaan


a.  Teks kaidahnya
ٌ‫اَل َعا َدةُ ُم َح َك َمة‬
Artinya: “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.
Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, adat kebiasaan sudah berlaku di masyarakat baik di
dunia Arab maupun dibagian lain termasuk di Indonesia. Adat kebiasaan suatu masyarakat
dibangun atas dasar nilai-nilai yang dianggap oleh masyarakat tersebut. Nilai-nilai tersebut
diketahui, dipahami, disikapi, dan dilaksanakan atas dasar kesadaran masyarakat tersebut.
b.      Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT :
ِ ْ‫َوعَا ِش ُر َوهُنَ بِا ْال َم ْعرُو‬
‫ف‬
Artinya: “ Dan pergaulilah mereka (istri-istrimu) dengan cara yang ma’ruf(baik)”. (HR.
Ahmad dari Ibnu Mas’ud).
Sabda Nabi SAW:
‫اَ ْل َعا َدةُ َما ا ْستَ َم َرالنَاسُ َعلَ ْي ِه َعلَى ُح ْك ِم ْال َم ْعقُوْ ِل َوعَا ُدوْ ا ِالَ ْي ِه َم َرةً بَ ْع َداُ ْخ َرى‬
Artinya: “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad
dari Ibnu Mas’ud).
c.       Pengertian ‘Adah atau ‘uruf

15
Jumhur ulama mengidentikkan term ‘adah dengan ‘uruf, keduanya mempunyai arti yang
sama. Namun sebagai fuqaha membedakannya. Al-Jurjani misalnya mendefinisikan ‘adah
dengan:
Adah adalah suatu (perbuatan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena logis dan
dilakukan secara terus menerus. Sedangkan ‘uruf adalah:
‘Uruf tidak hanya merupakan perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan
sesuatu. Karena itu dalam terminology bahasa Arab antara ‘uruf dan ‘adah tiada beda.
Misalnya ‘uruf / ‘adah adalah menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seseorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitungannya ada yang menggunakan
metode tamyiz dan ada juga metode ‘adah (yakni menganggap haid atas hari-hari kebiasaan
keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam hanafi mewajibkan penggunaan metode adah sedang
Imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.
d.  Syarat diterimanya ‘uruf /‘adah
Menurut pengertian diatas, maka adah dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut:
 Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.
 Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang boleh dikata sudah
mendarah daging pada perilaku masyarakat.
 Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah
 Tidak mendatangkan kemudaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang sejahtera.

e.  Kaidah yang berkaitan dengan adah


Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah al-adah muhkamah adalah sebagai berikut:
1. Kaidah pertama:
‫َاس ُح َجةٌ يَ ِجبُ ال َع َم ُل بِهَا‬
ِ ‫ِإ ْستِ ْع َما لُ الن‬
Artinya: “Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.
2. Kaidah kedua:
ْ َ‫َت َأوْ َغلَب‬
‫ت‬ ْ ‫ِإنَ َما تُ ْعتَبَ ُر ال َعا َدةُ ِإ َذا اضْ طَ َر د‬
Artinya: “Adat yang dianggap(sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus
menerus berlaku atau berlaku umum”.
3. Kaidah ketiga:
ِ ِ‫ال ِع ْب َرةُ لِلفَا ل‬
‫ب ال َشا ِئ ِع الَ لِلنَا ِد ِر‬
Artinya: “Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi”.

16
4. Kaidah keempat:
ً‫ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َكا لَ َم ْشرُوْ ِط شَرْ ص‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal karena ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”.
5.      Kaidah kelima:
‫ك ل َم ْشرُوْ ِط بَ ْينَهُ ْم‬ ِ ‫ْال َم ْعر َُوفُ بَ ْينَ التُ َج‬
َ ‫ار‬
Artinya: “Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara
mereka”.
6.      Kaidah keenam:
‫ف َكا لتَ ْعبِي ِْن بِا لنَص‬
ِ ْ‫التَ ْعيِيْنُ بِا لعُر‬
Artinya: “Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
7.      Kaidah ketujuh:
ً‫ْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َكا ل ُم ْمتَن َِع َحقَ ْيقَة‬
Artinya: “Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku
dalam kenyataan”.
8.      Kaidah kedelapan:
ُ ‫الحقِ ْيقَةُ تُ ْت َر‬
‫ك بِ َد الَ لَ ِةا ل َعا َد ِة‬ َ
Artinya: “Arti hakiki ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
9.      Kaidah kesembilan:
‫اِإل ْذ نُ العُرْ فِى َكا ِإل ْذ ِن اللَ ْف ِظى‬
Artinya: “ Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin
menurut ucapan”.

E. Tujuan Mempelajari Al-Qawaid Al-Al-Fiqhiyah


Tujuan mempelajari qawaid Al-Fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari
ilmu qawaid Al-Fiqhiyah itu sendiri, manfaat al-qawaid al-Al-Fiqhiyah ialah:
a. Dengan mempelajari Kaedah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh.
b. Dengan memperhatikan Kaedah-Kaedah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
c. Dengan mempelajari Kaedah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.

17
d. Meskipun Kaedah-Kaedah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama,
pada dasarnya Kaedah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan al-
Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
e. Mempermudah dalam menguasai materi hukum
f. Kaedah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan.
g. Mendidik orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
h. Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian
hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang berbeda-beda serta meringkasnya
dalam satu topik.

18
BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah Kaedah yang berarti aturan atau patokan. Ahmad warson
menembahkan bahwa, Kaedah bisa berarti al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan Kaedah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 26

B.    KRITIK DAN SARAN


Penulis dari pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa makalah Penulis ini jauh dari
kesempurnaan, karena terebatasan referisensi, dan keterbatsan ilmu yang kami miliki.
Untuk itu kami dari penulis menerima kritik dan saran dari peserta diskusi maupun dosen
pembimbing untuk demi baiknya tulisan kami di masa yang akan datang.

19
DAFTAR PUSTAKA

- Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.


- Usman Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Al-Fiqhiyah , Jakarta, Raja Grafindo,
1996.
- Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

Drs. H.Muhlish Usman, MA., Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Al-Fiqhiyah , (Jakarta: Raja
Grafindo, 1996), h. 107-109.

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), h. 35-37.

A. Djazuli, op. cit, h. 47-54.

Ibid, h. 123

A. Djazuli, op. cit, h. 56-58

Ibid, h. 126-127.

A. Djazuli. Op. cit, h. 67.

Jaih, Sejarahan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 1, h. 153.

Ibid, h. 140-141.

A. Djazuli. Op. cit. h. 85-87.

20

Anda mungkin juga menyukai