Wilayah al-Dlawabit Fiqhiyyah tidak akan melampauin satu tema fiqh yang
dijadikan tempat berpijak sebagian dari masalah-masalahnya. Dalam kitab
Hasyiah al-Bannaniy, Abdurrahman mengatakan “Pembahasan qa’idah fiqhiyyah
itu tidak terfokus pada satu bab, berbeda dengan al-Dhawabith”.2
Diantara contoh Dlawabith yang termuat di dalam hadist adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, Rasulullah berkata, “Setiap kulit apapun
yang sudah disamak,maka telah suci”. Senada dengan hadist ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ibrahim al-Nakha’i (96H) “Setiap sesuatau yang mencegah
kulit dari kerusakan,maka disebut samak”. Hadis-hadis ini merupakan contoh dari
1
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.74
2
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.75
3
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.76-77
Dlawabith fiqh, yaitu pembahasan yang hanya terfokus pada bab tertentu, disini
adalah masalah samak kulit.4
1. Dari pengertian, bahwa tidak ada kesamaan antara al-Qawa’id dan al-
Dlawabith. Al-Qawa’id jauh lebih umum bila dibanding al-Dlawabith.
2. Konsep tentang al-Dlawabith tidak menjadi fokus perhatian, terbukti
sebagian ulama tidak begitu mempersoalkan perbedaan dan perincian
antara alQa’idah dan al-Dlawabith.
3. Al-qawa’id lebih banyak terjadi penyimpangan daripada al-Dlawabith,
karena hanya membatasi pada satu ruang pembahasan, oleh karenanya,
sangat kecil peluang terjadinya penyimpangan.7
4
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.78
5
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.79-80
6
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.81
7
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.82
B. Perbedaan antara Qa’idah Fiqhiyyah dan Qa’idah Ushuliyah
1. Ilmu ushul fiqh apabila dikaitkan dengan fiqh adalah sama dengan suatu
ukuran atau kontrol bagi penggali hukum. S=edangkan Qa’idah
Ushuliyyah adalah penengah antara dalill dan hukum,yaitu alat yang
digunakan untuk menggali hukum dari dalil-dalil terperinci.
2. Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah universal yang mencakup
seluruh bagian terkecil beserta obyek-obyeknya. Sedangkan al-qawa’id al-
fiqhiyyah adalah bersifat mayoritas, dimana hukum yang termuat di
dalamnya merupakan hukum mayoritas yang ada pada bagian-bagiannya.
3. Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah mediator untuk menggali hukum-hukum
syar’i yang berupa amaliyah. Al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah istilah dari
perkumpulan hukum yang serupa,dimana antara satu hukum dengan
hukum lainnya dipertemukan oleh satu illat, dan dipertemukan oleh satu
batasan fiqh yang meliputi seluruh hukum-hukum tersebut.
8
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.83-84
4. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah munculnya justru setelah furu’-furu’nya
kemudian dihubungkan satu sama lainnya.
5. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah serupa dengan ushul fiqh hanya dalam satu sisi,
sementara berbeda dalam sisi sisi lain. Qawa’id al-ushul adalah ungkapan
dari beberapa masalah yang tersimpan dalam dalil-dalil terperinci, yang
dimungkinkan umtuk menggali hukum darinya.9
Sebagian qa’idah ada yang bisa disebut sebagai qa’idah fiqhiyyah dan sisi
lain bisa juga disebut qa’idah ushul. Suatu qa’idah, kadang kala dipandang dari
satu sisi bisa masuk dalam kategori fiqhiyyah, dan sisi lain kadang kala
dimasukkan dalam kategori ushuliyah.11
“Sudah semestinya membedakan antara ilmu ushul fiqh dengan qawa’id al-
fiqhiyyah. Qawa’id al-fiqhiyyah adalah sebuah istilah yang kandungan isinya
pantas untuk disebut al-Nadzariyah al-‘Amah bagi hukum-hukum islam, seperti
“Qa’idah tentang hak milik” dalam islam, “Qa’idah tentang ganti rugi”, “Qaidah
tentang pengguguran akad”, dan lain-lain.
9
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.85-87
10
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.88
11
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.89
Pendapat ini emudian diikuti oleh Ahmad Abu Thahir al-Khithabiy.12
Al-Nadzariyah diambil dari akar kata “nadzar” yang artinya secara bahasa
adalah meneliti sesuatu dengan amata. Secara realitas, al-Nadzariyah al-‘Amah
dan dirasah al-fiqhiyah al-islami adalah sesuatu yang baru, yang dimunculkan
oleh para ulama kontemporer.13
12
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.90
13
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.91
14
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.92
15
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.93
16
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.94
inilah yang membedakan antara keduanya. Nadzariyah al-‘Amah mencakup sisi
yang luas dari pembahasan fiqh islam, serta menyerupai studi tematik tersendiri,
maka lain halnya dengan qa’idah al-fiqhiyah, sebab qa’idah al-fiqhiyah memiliki
ciri bentuk yang ringkas dalam redaksinya.17
BAB IV
MUNCULNYA ISTILAH-ISTILAH
17
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.95-96
18
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.97
19
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.98
20
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.99
disebabkan alasan-alasan yang samar, yaitu alasan-alasan yang bisa ditemukan
oleh para ahli fiqh dengan kejelian analisis mereka21.
Umar bin Khatab dalam suratnya menyebut dua hal yang sangat penting,
yaitu; Pertama, qiyas tidak bisa dilakukan kecuali didalam suatu permasalahan
terdapat keserupaan antara sesuatu yang menjadi ashal dan sesuatu yang menjadi
cabang. Kedua, hanya ashal yang lebih banyak serupanya dengan far’u yang
dipakai untuk menyamakan far’u 22 . Imam Najmu al-Din al-Nasafi (537H)
mengetengahkan interpretasi mengenai ucapan Umar tersebut dengan mengatakan
“Jika terdapat suatu peristiwa yang tidak diketahui jawabannya, maka harus
dikembalikan pada peristiwa-peristiwa lain yang ada keserupaan dengannya, dan
sudah diketahui jawabannya”23.
21
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.100
22
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.101
23
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.102
24
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.103
25
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.104
3. Sebaliknya, sesuatu yang dikatakan al-Nadzir belum tentu bisa dikatakan
al-musyabihah.
4. Sesuatu yang dikatakan al-musyabihah belum tentu bisa dikatakan al-
mumatsilah.
5. Sesuatu yang disebut al-mumatsilah tentu juga bisa disebut al-musyabihah,
lebih-lebih disebut al-Nadzir26.
Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, kalimat al-Nadzir bisa diucapkan bisa saja
yang dikehendaki al-musyabihah, hanya saja ketika lafal al-Nadzir ini
dikumpulkan bersama lafal al-Asybah, maka al-Nadzir harus diartikan atau
dimaksudkan selain al-Asybah27.
Imam Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi (150H) dari ulama tafsir abad kedua
hijriyah adalh orang yang pertama kali mengarang kitab dengan tema “al-Asybah
wal al-Nadza’ir fi tafisiri Al-Qur’an ‘Adzim”. Pada abad keempat hijriyah muncul
kitab tentang al-Adab al-‘Arabiy yang berbentuk Nadzam dengan judul “al-
Asybah wa al-Nadza’ir min Asy’ari al-Mutaqaddimin wa al-Jahiliyah wa al-
Mukhadramin” dikarang oleh Khalid bin Abu Bakar dab Abu Ustman Said 28 .
Apabila diteliti, kitab-kitab karangan yang membicarakan seputar masalah fiqh
yang menggunakan judul “al-Asybah wa al-Nadza’ir fi al-Fiqh”, ditemukan
bahwa sebagian dari karangan-karangan tersebut memuat masalah-masalah fiqh
dan ushul fiqh. Dan kadang kala juga juga memuat sebagian masalah0masalah
ilmu kalam yang berkaitan dengan pembahasan yang ada, yaitu pada furu’-furu’
yang terdapat keserupaan dan kesamaan29.
26
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.105
27
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.106
28
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.107
29
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.108
C. Penggunaan Istilah al-Furuq
Dengan mengutip sebagian dari apa yang pernah disampaikan oleh al-
Zarkasyi, Syekh Yasin al-Fadani mengatakan: “yang dimaksud ‘mengetahui al-
jam’u dan al-farqu’ adalah mempersatukan suatu masalah pada masalah yang lain
dalam satu hukum, dan membedakannya dari hukum yang lain. Seperti masalah
kafir dzimi dan muslim yang bisa dipesratukan dalam beberapa hukum dan
dibedakan dari beberapa hukum lain. Dari pembahasan seperti ini kemudian
muncul bentuk lain yang disebut al-furu’ yaitu mengetahui masalah-masalah yang
menjadi pembeda antara dua masalah yang tampak serupa, yaitu sekiranya dua
masalah tersebut tidak bisa disamakan dalam satu hukum”32. Fungsi dari cabang
ilmu ini adalah menjelaskan secara detail permasalahan-permasalahan terkait, dan
menguak terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum, serta tempat
30
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.109
31
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.110
32
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.111
bergantungnya hukum, yaitu pada masalah-masalah yang didalam bentuknya
terdapat keserupaan, atau dalam masalah-masalah yang berdekatan antara
sebagian dengan sebagian yang lain. Sehingga dengan memahami semua itu, jalan
mencari hukum menjadi mudah dan jelas bagi ahli fiqh33.
BAB V
37
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.116
38
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.117
39
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.118
40
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.119-120
Masalah yang dapat dikembangkan dari qa’idah ini adalah; seorang
diperkenankan melakukan shalat di dalam perahu karena takut kepalanya
pening, walaupun pada saat itu ia tidak pusing. Karena pada umumnya
keadaan di dalam perahu memusingkan, walaupun hal itu tidak mesti
terjadi, sedangkan menurut Abu Yusuf tidak boleh41.
Jika kita fahami contoh diatas secara seksama, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa:
a) Sebagian besar qa’idah yang ada dalam kitab itu adalah qa’idah
mazhab.
b) Sebagian besar qa’idah tidak dibentuk oleh para iamam mazhab.
c) Karya al-Dabbusi adalah karya yang sangat bagus, karena
kebanyakan qa’idah yang ia tulis berbentuk ungkapan ringkas42.
Al-Asybah wa al-Nadza’ir
Nama lengkap penulis adalah Zinuddin bin Ibrahim bin
Muhammad, yang sering dipanggil dengan Ibnu Nujaim al-Hanafi al-
Mishri, salah satu intelektual pada abad ke 10H. Ia menulis tentang fiqh
dan ushul fiqh dan banyak menulis tentang syarah dalam mazhab fiqh
Hanafi. Karya-karyanya antara lain; syarah kanzuddaqauq yang ia beri
nama dengan; Bahr al-Raiq. Namun, sayangnya dia keburu meninggal
sebelum merampungkan kitab tersebut. Ibnu Nujaim menulis kitab itu
seperti pola kitab al-Asybah karya Tajjuddun al-Subki, seperti yang ia
kaitkan dalam pengantar kitabnya. Hal ini dapat diketahui ketika
membandingkan keduaa kitab tersebut43.
Pada bagian pertama dalam kitabnya dia membahas qa’idah-
qa’idah kulliyah dan mengulas qa’idah itu dengan panjang lebar. Pada
bagian lain dia membahas hal-hal yang masih berkaitan dengan ilmu fiqh
seperti alghaz,mutharahat, al-furuq, hikayat dan catatan catatan yang
41
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.121-122
42
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.123-124
43
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.125
masih berbau fiqh. Qa’idah yang ditulis oleh Ibnu Nujaim keseluruhan
berjumlah 25 qa’idah 44 . Sebagaimana diketahui bahwa qa’idah-qa’idah
dalam kitab ini memiliki nilai yang sangat penting di kalangan pengikut
mazhab Hanafi. Disamping itu kitab qa’idah ini mencakup banyak furu’.
Dan banyak para pengikut mazhab Hanafi yang mensyarahi dan membuat
catatan pinggir terhadap kitab tersebut.Beberapa contoh kitab-kitab yang
menyarahi al-Asybah wa al-Nadza’ir Ibnu Nujaim:
a) Tanwir al-Bashair Ala al-Asybah wa al-Nadza’ir, karya
Syarifuddin Al-Ghazi (1005 H).
b) Ghamzu Uyun al-Bashar Syarh al-Asybah wa al-Nadza’ir,
karya Al-Hamawi (1098 H).
c) Umdatun Dzawil Bashair li Halli Muhimmah al-Asybah wa
al-Nadza’ir, karya Ibnu Biry (1023-1099 H)45.
Umdatun Naazir alal Asybah wan Nadza’ir, karya Abu Su’ud al-Husaini
(1172 H)
Disela-sela mengomentari pendapat dan metode ulama yang
menulis kitab syarah dengan mudah bagi saya memberi tanggapan
terhadap sebagian sumber yang ada dalam kitab Ibnu Nujaim itu, antara
lain:
a) Ibnu Nujaim sering tidak menyebutkan pengecualian dari qa’idah.
b) Ibnu Nujaim dalam menjelaskan masalah dengan menggunakan
bahasa yang sangat ringkas.
c) Ibnu Nujaim terkadang menyebutkan riwayat lemah yang tidak
sesuai dengan pendapat yang telah dipilih oleh mazhab Hanafi46.
Khatimah Majami’ al-Haqaiq, karya Said al-Khadimi (1176 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammd bin Mustofa
al-Kadimi yang biasa dipanngil dengan Abu Said, yaitu seorang ahli fiqh
44
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.126
45
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.127-128
46
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.129-131
mazhab Hanafi yang hidup pada abad ke 12 H. Dia menulis kitab matan
dalam masalah ushul fiqh yang ia beri nama majami’ul haqa’iq. Kitab itu
ia akhiri dengan pembahasan tentang qa’idah fiqh. Namun dia tidak
memberi komentar dan atau memberi catatan kaki terhadap qa’idah yang
ia kumpulkan47.
Qawa’id Majallatul Ahkam al-Adliyyah, karya tim ulama yang dibentuk
pada masa dinasti Utsmaniyah
Disusun oleh tim ulama fiqh pada masa pemerintahan Ghozi Abdul
Aziz Khan. Gaya bahasanya diformat seperti pola materi hukum positif.
Jumlah qa’idah yang terkumpul dalam kitab itu sebanyak 185 qa’idah
yang terbagi dalam 16 bab. Kehadiran majallah memberikan kontribusi
besar dalam dunia hukum islam yang mana sebelumnya masalah-masalah
fiqh masih bertaburan dalam kitab-kitab fiqh. Terkadang dalam satu
maslaah hukum saja terdapat banyak fatwa antara satu dan yang lainnya
saling bertentangan48.
Qa’idah yang terdapat dalam kitab majallah ini memiliki
kesingkronan dengan mazhab-mazhab fiqh terkenal walaupun terdapat
perbedaan sedikit, yaitu dalam mengaplikasikannya. Dan sebagian
terdapat qa’idah yang masih diperselisihkan pengertiannya. Kitab pertama
yang mensyarahkan Majallah Adliyah adalah kitab “Mir’atu” majallatul
ahkam al-Adliyyah. Kitab ini berbentuk bahasa arab sedang majallah
berbahasa turki49.
Selain diatas masih terdapat kitab syarah terhadap Majallah yang
ditulis oleh al-Allamah Kholid al-Atasii, dia mensyarahkan dari bab jual
beli sampai materi qa’idah yang ke 1700. Namun,keinginannya untuk
melanjutkan kitab syarahnya itu kandas. Keunggulan kitab syarah ini
47
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.131-132
48
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.133-134
49
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.135-136
sangat tampak sekali terutama dalam bebrapa komentarnya terhadap kitab-
kitab syarah yang datang sebelumnya 50.
Al-Faroid al-Bahiyyah fi al-Qawa’id wa al-Fawaid al-Fiqhiyyah, karya
Ibnu Hamzah al-Husainiy (1350 H)
Nama lengkap penulis adalah Mahmud bin Muhamad bin Nasib
bin Husein, yang dikenal dengan Ibnu Hamzah al-Husainiy, lahir 1236 H
di Damaskus dan dibesarkan di tempat itu juga. Dia menulis nazam dari
kitab al-jami’ al-shagir karya Imam Mihammad sebanyak tiga ribu bait,
kitab al-Kawakib al-Zahirah fi al-Ahadis al-Mutawatiroh, kitab Tarjihul
Bayyinat yang biasa disebuut dengan al-Tariqah al-Wadlihah, dan kitab
Qawa’id al-Auqaf fi al-Fiqh. Tujuan menulis kitab itu adalah memudahkan
para mufti merujuk kepada qa’idah dan Dlawabith, sebagaimana ia
katakan dalam pengantarnya:
“Karena sedikitnya riwayat, tidak adanya pengetahuan, dan
sulitnya mengetahui persoalan-persoalan syara’, maka perlu adanya
pendekatan metode agar memperoleh jawaban atas berbagai persoalan
dengan cara memperhatikan terhadap dowabid dan beberapa qa’idah,
disamping itu perlu memudahkan jalan seseorang yang memahami dengan
menyeleksi beberapa kesimpulan. Oleh sebab itu saya meminta petunjuk
kepada Allah dalam menyusun sebuah kitab yang memuat hal-hal yang
telah disebutkan diatas, dengan merujuk kepada kitab-kitab yang dapat
dijadikan pegangan, seperti al-jami’ al shagir, al-khaniyah, al-khassaf,
syarhk al-sair al-kabir, al-hindiyah, anfa’ al-wasail, bazaziyyah, al-darul
al-mukhtar, al-asybah, dan kitab-kitab lainnya.”
Qa’idah-qa’idah yang makna kalimatnya dapat dibentuk qa’idah
fiqhiyyah berjumlah sebanyak 30 buah. Dibawah ini akan dicontohkan
beberapa qa’idah yang ada dalam kitab faraid al-Bahiyyah:
“kesaksian seseorang terhadap apa yang dilakukannya ditolak
menurut ijma’”
50
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.137
Seperti seorang wakil menjadi saksi terhadap nikah yang ia wakili
persaksiannya tidak sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang
yang melakukan persaksian untuk dirinya sendiri atau orang lain.
“Mengetahui kerelaan (seseorang) dapat menghilangkan
keharaman.”
Contoh dari qa’idah ini adalah jika seseorang memasuki kebun
temannya dan mengambil sesuatu tanpa sepengtahuannya dengan dasar
bahwa teman yang memiliki kebun itu pasti rela kalau barangnya tersebut
diambil, maka mengambil barang itu diperbolehkan51.
Qawa’id al-Fiqh, karya Majdadiy
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Amimil Ihsan al-Majdadi,
seorang pemuka agama Banglades. Kitab yang ia berinama “Qawa’idul
Fiqh” ini merupakan kumpulan dari lima risalah yang berkenaan dengan
tiga topik utama yaitu, kaidah fiqh, beberapa definisi, dan tata cara
memberikan fatwa52.
B. Sumber Qa’idah Fiqh Mazhab Maliki
Ushulul Futyaa fi al-Fiqhi ‘Ala Mazhab al-Imam Malik, karya al-Khasyani,
wafat sekitar (163 H)
Nama lengkap penulis Muhammad bin Haris bin Assad al-
Khasyaniy, lahir di Qairuwan pada akhir abad ke-3 H. Salah satu karyanya
adalah al-Qudlot bi Cordova, yang membicarakan sejaranh ulama-ulama
andalus, al-Ittifaq wa al-Ikhtilaf fi Mzhab Malik. Kitabnya Ushulul Futyaa
merupakan salah satu kitab pertama yang membicarakan dasar-dasar fiqh
dari mazhab Maliki. Kelebihan kitab Ushulul al-Futyaa adalah kitab itu
tidak terlalu banyak menjabarkan qa’idah fiqh secara berlebihan, namun
lebih menekankan pada pengumpulan dasar-dasar yang valid dalam
mazhab.
51
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.138-142
52
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.143
Kitab Ushul yang selalu saya awali dengan kata,”Ashlu dan Kullu”
merupakan ungkapan dari beberapa qa’idah dan Dlawabid fiqh. Sebagian
besar qa’idah dan Dlawabid yang ada dalam kitab saya ini termasuk
qa’idah tang mampu menjangkau sebagian besar masalah dalam bab-bab
fiqh. Dibawah ini akan diberi contoh qa’idah:
“Setiap sesuatu yang dipertentangkan oleh penyewa dan yang
menyewakan maka dikembalikan kepada kebiasaan dan apa yang sering
terjadi pada manusia”53.
Al- Furuq, karya Imam Qarafiy (684 H)
Nama lengkap penulis adalah Abu al-Abbas Ahmad bin Abu ‘Ala’
Idris bin Abdurrohman al-Sonhaji al-Mishri yang biasa dijuluki
Syihabbudin dan masyhur dipanggil al-Qarafi, 54 dinisbatkan ke Qorofah
sebuah daerah yang berdekatan dengan makam imam . beliau banyak
menimba ilmu pengetahuan pada ulama-ulama besar seperti Ibnu
Abdissaalam dan imam Jamaluddin Ibnu al-Hajib. Menurut penulis kitab
al-Dibaj al Muzhab: beliau adalah orang yang banyak hafal hadits, dalam
mengekspresikan sesuatu sangat luas, dan fasih dalam berbicara, karya-
karyanya menunjukan kalau dia adalah orang yang memiliki kepandaian
luar biasa.55
53
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.144-147
54
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.148
55
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.148
Kitab ini (al-Furuq) termasuk salah satu kitab yang sangat hati-hati
dalam memproduksi hukum islam penulis menyajikan ide-ide beriliannya
yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Buku yang
ditulis oleh al-Qarafi ini dapat mendongkrak kekuatan berfikir para ahli
fiqih untuk memproduksi dan mengembangkan hukum-hukum islam. 56
Dalam kitab ini penulis memberi tambahan qaidah yang tidak ada dalam
kitab al-Dakhirah.
1. Pengertian qaidah menurut penulis dalam kitab ini lebih luas dari
pengertian qaidah menurut istilahnya. Dlawabid dan hokum-
hukum yang sifatnya universal oleh penulis dsebut qaidah.
2. Qaidah-qaidah yang ada dalam kitab itu masih belum disepakati.
Banyak sebagian ulama yang mengambil qaidah yang ada dalam
kitab itu untuk mengkritik atau menanggapi.57
56
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.149
57
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.150
58
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.151
Para ulama Malikiyah merasa butuh melakukan refisi ulang
terhadap kitab ini, seperti yang dilakukan oleh Muhammad bin Ibrahim
Al-Baquriy (707 H) di MENCOB untuk menyusun secara urut terhadap
topic bahasan dalam kitab itu agar memudahkan pembaca.59
Ulama yang belajar kepada beliau antara lain: Imam Abu Ishaq al-
Syathibiy penulis kitab al-Muwafaqat dan Ibnu Khaldun. Beberapa karya
ilmiyah peninggalan beliau dalam berbagai bidang ilmu antara lain: kitab
al-Qawaid al-Tharaf wa al-Tuhaf, Amalu Man Thabba Li Man Habba,
Kulliyatul Fiqhiyyah, kitab Al-Muhadlarat.61 Beliau meninggal di Faas dan
dimakamkan di Tilmisan pada tahun 758 H namun masih jadi perselisihan
kapan tepatnya beliau meninggal.
59
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.152
60
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.153
61
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.153
ada kaitannya dengan qaidah itu pada mazhab imam abu hanifah dan
syafi’I dan terkadang menyinggung pendapat dalam mazhab hambali.62
62
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.154
63
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.155
64
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.156
65
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.158
mutaqaddimin wa al-mutaakhirin min fuqoha al-malikiyah, taliq ala
mukhtashar ibni al-hajib, al-faiq fi al-watsaiq.66
70
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.162
71
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.163
72
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.164
73
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.165
74
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.165
dalam mengungkapkan rahsia yang ada dalam syariat dan fasih dalam
berbicara yang tiada duanya.
Kitab ini akan menggelitik para pakar ulama untuk menulis kitab
tentang qaidah. Para ulama yang pernah mengkaji kitab ini mengatakan
bahwa penulis kitab ini tidak sempat melakukan pengeditan secara
sempurna terhadap kitabnya. Karena penulisan kitab ini ketika dalam
perjalanan sehingga banyak kesalahan dan yang melakukan pengeditan
75
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.166
76
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.169
77
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.170
dan pembenahan adalah keponakannya yaitu Zainuddin (738 H). beliau
memberikan beberapa tambahan keterangan dan membedakan antara teks
asli dengan tambahan keterangannya. Beliau mengatakan bahwa kitab ini
memuat sebagian besar dari qaidah ushuliyah dan fiqhiyah, namun yang
sangat mendominasi dalam bab pembahasan adalah qaidah fiqh.78
Nama lengkap penulis adalah Abdul Wahab bin Ali bin Abdul Kafi
bin Ali bin Tamam al-Subki yang mendapat julukan Abu Nashar dan biasa
dipanggil dengan Tajuddin. Lahir tahun 727 H. belajar hadits di Mesir dan
pindah ke Damaskus bersama ayahnya, bernama Taqiyuddin. Al-Subki
meninggal karna terjangkit wabah to un dalam usia 74 tahun. 85 Beliau
banyak meninggalkan karya ilmiah antara lain: Jam’u al-Jawami yang
membicarakan tentang ilmu fiqh dan ushul fiqh, al-Asybah wa al-Nazair
yang memuat beberapa qaidah fiqh, Taqabah al-Syafiiyyah, Syarah
Mukhtashar Ibnu Hajib.
82
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.177
83
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.178
84
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.179
85
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.180
mengkaji qaidah fiqhiyah, butuh kesungguhan dan keseriusan maksimal.
Susunan kitab itu sangat bagus yaitu:86
Perlu diketahui bahwa kitab ini adalah kitab yang paling bagus dan
sistematis dalam metode penulisannya. Persoalan-persoalan yang tidak
tercover dalam satu bab diintegrasikan dengan baik. Disamping itu kitab
ini mencoba untuk mengkolaborasi antara qaidah fiqhiyah dan qaidah
ushuliyah.
86
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.182
Fiqh, tafsir, serta mampu mengkolaborasikan dengan beberapa macam
ilmu yng ada pada masanya.87
87
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.185
88
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.186
89
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.187
90
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.191
91
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.192
Nama lengkap penulis: Umar bin Ali bin Ahmad al-Anshoriy al-
Syafi’I Sirajuddin, Abu Hafs, Ibnu al-Nahwiy yang masyhur dengan nama
Ibnu Mulaqqin, lahir dan meninggal di Kairo. Lahir pada tahun 720 H.92
beliau termasuk salah satu ulama yang ahli dalam bidang hadits pada
masanya, ahli fiqh dalam mazhab syafi’I. beliau belajar fiqh kepada Imam
Taqiyyuddin al-Subkiy. Beliau banyak menulis karya tulis pada masa
hidupnya mencapai 300 buah baik dalam bentuk kecil maupun besar.
Salah satunya adalah Ikmalu Tahdzib al-Kamal fi Asmai al-Rijal dan al-
Ilam bi Fawaidi Umdah al-Ahkam.
92
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.193
93
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.194
94
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.197
Bakar al-Hishniy mengatakan tentang keutamaan definisi dan beberapa
kekhasan dari ilmu fiqh. Dalam tiap-tiap pembahasan beliau menjelaskan
hokum sekaligus perinciannya.95
Al-Suyuthi adalah salah satu ulama yang paling cepat dan paling
banyak memiliki karya ilmiah. Jumlah karya tulisannya keseluruhan
mencapai 600 buah baik buku besar maupun buku kecil. Kitab ini adalah
kitab yang sangat rinci dalam mengupas qaidah fiqhiyah dan materi
pembahasan yang terkandung di dalamnya sangat luas, serta
pembahasannya yang sistematis. Sehingga sring dijadikan rujukan oleh
para ulama yang gemar mempelajari qaidah khususnya dalam mazhab
syafi’i. seluruh materi pembahasannya terangkum dalam 7 kitab pokok
97
bahasan. Kitab pertama, menjelaskan tentang lima qaidah dasar
pembahasan mazhab syafi’i. Kitab kedua, berisi penjelasan tentang 40
qaidah kulliyah. Kitab ketiga, tentang qaidah yang diperselisihkan. Kitab
keempat, beberapa ketetapan hokum yang masih berlaku namun sering
terabaikan oleh para ahli fiqh. Kitab kelima, beberapa bab yang sama
urutanya dengan bab dalam pembahasan fiqh. Kitab keenam, berisi
95
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.198
96
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.200
97
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.201
pembahasan terpisah-pisah yang babnya belum jelas. Kitab ketujuh,
membahas masalah yang bersifat variatif.
98
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.205
99
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.207
Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, karya Ibnu Taimiyah (661-728
H)
Nama asli penulis adalah Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah, yang
dipanggil Abu al-Abbas dan berjuluk al-Syarifuddin. Berasal dari
Muqadas lalu pindh ke Damaskus. Sering dipanggil Ibnu Qadli al-Jabal.
Lahir tahun 693 H dan pernah belajar kepada Ibnu Taqiyuddin dan Ibnu
Taimiyah. Beliau sangat menguasai hadits sekaligus illatnya, nahwu, dan
ilmu bahasa Arab lainnya. Beliau menjadi pemuka mazhab Hambali di
Mesir pada akhir usianya.102
100
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.208
101
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.210
102
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.212
Kitab fiqh ini ditulis dengan banyak memuat qaidah fiqh yang
diambil dari potongan-potongan masalah fiqh yang berserakan penulis
kitab ini meniru pola yang ada dalam kitab al-Muswaddah fi ushul al-fiqh
yaitu dalam bentuk Tanya jawab. Namun terkadang penulis menyebutkan
qaidah terlebih dahulu lalu diikuti dengan menyebutkan furu yang
berkaitan dengan qaidah itu.
Kitab ini adalah kitab qaidah yang sangat bagus dalam mazhab
hambali dan memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan dan
tersebarnya ilmu fiqh. Kitab ini tersusun atas 160 qaidah yang diikuti
dengan pasal dalam masalah yang masih diperselisihkan di kalangan
mazhab. Metode penulisannya tersusun ringkas. Selain itu penulis juga
103
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.214-216
membuat qaidah dalam bentuk kalimat Tanya dengan tujuan memberikan
sinyal bahwa masalah ini diperselisihkan.104
Nama lengkap penulis adalah Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin
Abdul Hadi yang biasa dipanggil dengan al-Mibridi al-Shalihiy al-
Hambali yang berjuluk Jamaluddin. Dilahirkan tahun 840 H. spesialisasi
dalam ilmu hadits, fiqh, nahwu dan tafsir. Penulis menjadikan sebagian
qaidah yang ada dalam kitab al-Qawaidnya sebagai penutup dari kitab
yang berjudul Mughni Dzawil Afham an al Katsirah fi al-Ahkam.105 Kitab
ini memuat beberapa persoalan fiqh dan ditutup dengan pasal khusus
berupa kutipan-kitipan dari beberapa qaidah.
104
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.217-218
105
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.219
106
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.220
Kitab ini memuat banyak sekali qaidah-qaidah fiqh yang dikutib
dari kitab Ibnu Rajab yang mencapai 160 qaidah. Metode penulisannya
dengan cara berkualitas ilmiyah, memiliki fungsionalitas, berkarakter fiqh
hanafi, efektifitas dalam penetapan hokum memakai mazhab hambali
karena ingin menggeser kitab Majallah al-Akhkam al-Adliyyah yang
disusun masa pemerintahan utsmani.107
107
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.221