Anda di halaman 1dari 34

Ilmu ushul fiqh juga mengatur seseorang mujtahid agar selalu berada

dalam jalur metode pengambilan hukum yang benar. Semacam undang-undang


yang harus dipatuhi oleh seorang mujtahid agar terhindar dari kesalahan ketika
mengambil hukum. Qa’idah fiqhiyyah adalah sekumpulan hukum yang masih
umum maksudnya dan berporos pada satu qiyas atau batasan yang mengikatnya.1

Sasaran ilmu qa’idah fiqhiyyah adalah pengumpulan berbagai persoalan


fiqh yang masih umum yang dalam satu kumpulan dan tiap-tiap dari masalah itu
terikat oleh satu ikatan atau kembali pada satu alasan yang disebut dengan qa’idah.

A. Perbedaan al-Qa’idah al-fiqhiyyah dan al-Dlawabith al-Fiqhiyyah

Wilayah al-Dlawabit Fiqhiyyah tidak akan melampauin satu tema fiqh yang
dijadikan tempat berpijak sebagian dari masalah-masalahnya. Dalam kitab
Hasyiah al-Bannaniy, Abdurrahman mengatakan “Pembahasan qa’idah fiqhiyyah
itu tidak terfokus pada satu bab, berbeda dengan al-Dhawabith”.2

Ibnu Nujaim cenderung lebih setuju membedakan Qa’idah dan Dlawabith,


ia mengatakan dalam bagian kedua dari kitab Asyabah-nya, “Perbedaan antara al-
Qa’idah dan al-Dlawabith adalah, bahwa al-Qai’idah itu menghimpun beberapa
permasalahan furu’ dari berbagai bab yang berbeda-beda sedangkan al-Dlawabith
itu menghimpun dari beberapa permasalahan furu’ dari satu bab. Dan demikina
inilah pengertian yang mendasar”.3

Diantara contoh Dlawabith yang termuat di dalam hadist adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Abbas, Rasulullah berkata, “Setiap kulit apapun
yang sudah disamak,maka telah suci”. Senada dengan hadist ini adalah apa yang
diriwayatkan oleh Ibrahim al-Nakha’i (96H) “Setiap sesuatau yang mencegah
kulit dari kerusakan,maka disebut samak”. Hadis-hadis ini merupakan contoh dari

1
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.74
2
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.75
3
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.76-77
Dlawabith fiqh, yaitu pembahasan yang hanya terfokus pada bab tertentu, disini
adalah masalah samak kulit.4

Yang masyhur dikalangan ulama Muta’akhirin: “Sesungguhnya setiap air


yang tidak berubah salah satu sifatnya, maka hukumnya adalah suci sekaligus
mensucikan”, atau, “Setiap air mutlak yang tidak berubah, maka dihukumi suci
sekaligus mensucikan.”5

Menyebut al-Dhawabith dengan istilah al-Qa’idah, adalah hal yang lumrah


dan banyak berlaku dalam kitab-kitab fiqh serta kitab-kitab Qawa’id. Contohnya
adalah apa yang ditulis di dalam kitab “Qawa’id” karangan Ibnu Rajab al-
Hambaliy, dibawah tema “al-Qa’idah”. “Rambut hewan dihakimi terpisah darinya,
tidak dihukumi bersambung.”6

Penjelasan-penjelasan diatas mengantarkan kepada beberapa kesimpulan,


yaitu:

1. Dari pengertian, bahwa tidak ada kesamaan antara al-Qawa’id dan al-
Dlawabith. Al-Qawa’id jauh lebih umum bila dibanding al-Dlawabith.
2. Konsep tentang al-Dlawabith tidak menjadi fokus perhatian, terbukti
sebagian ulama tidak begitu mempersoalkan perbedaan dan perincian
antara alQa’idah dan al-Dlawabith.
3. Al-qawa’id lebih banyak terjadi penyimpangan daripada al-Dlawabith,
karena hanya membatasi pada satu ruang pembahasan, oleh karenanya,
sangat kecil peluang terjadinya penyimpangan.7

4
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.78
5
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.79-80
6
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.81
7
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.82
B. Perbedaan antara Qa’idah Fiqhiyyah dan Qa’idah Ushuliyah

Imam Hihab al-Din al-Qarafi, orang yang pertama kali membedakan


antara al-Qa’idah al-Fiqhiyyah dengan al-Qa’idah al-ushuliyyah. Ushul syari’ah
dibagi menjadi dua; Pertama, disebut ushul fiqh yaitu kaidah-kaidah hukum yang
bersumber dari lafal-lafal arab tertentu. Kedua, Qawa’id fiqhiyyah kulliyah, yaitu
putusan-putusan umum yang mencakup seluruh bagian-nagian yang termuat di
dalamnya. Kemudian ditempat lain Shihab al-Din mengatakan, “Maka
sesungguhnya Qwa’id pun tidak tercakup dalam ushul fiqh, bahkan yang benar
adalah, syariat islam itu memiliki banyak kaidah-kaidah fiqh yang berada pada
imam fatwa dan pada imam-imam pemutus hukum. Dengan demikian, kaidah-
kaidah tersebut tidak terdapat dalam kitab-kitab ushul fiqh sama sekali.”8

Apabila dibandingkan antara al-Qa’idah al-fiqhiyyah dan al-qa’idah al-


ushuliyyah dengan menggunakan perbandingan secara umum, akan tampak
beberapa perbedaan mencolok diantara keduanya, yaitu:

1. Ilmu ushul fiqh apabila dikaitkan dengan fiqh adalah sama dengan suatu
ukuran atau kontrol bagi penggali hukum. S=edangkan Qa’idah
Ushuliyyah adalah penengah antara dalill dan hukum,yaitu alat yang
digunakan untuk menggali hukum dari dalil-dalil terperinci.
2. Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah kaidah-kaidah universal yang mencakup
seluruh bagian terkecil beserta obyek-obyeknya. Sedangkan al-qawa’id al-
fiqhiyyah adalah bersifat mayoritas, dimana hukum yang termuat di
dalamnya merupakan hukum mayoritas yang ada pada bagian-bagiannya.
3. Al-Qawa’id al-ushuliyyah adalah mediator untuk menggali hukum-hukum
syar’i yang berupa amaliyah. Al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah istilah dari
perkumpulan hukum yang serupa,dimana antara satu hukum dengan
hukum lainnya dipertemukan oleh satu illat, dan dipertemukan oleh satu
batasan fiqh yang meliputi seluruh hukum-hukum tersebut.

8
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.83-84
4. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah munculnya justru setelah furu’-furu’nya
kemudian dihubungkan satu sama lainnya.
5. Al-Qawa’id al-fiqhiyyah serupa dengan ushul fiqh hanya dalam satu sisi,
sementara berbeda dalam sisi sisi lain. Qawa’id al-ushul adalah ungkapan
dari beberapa masalah yang tersimpan dalam dalil-dalil terperinci, yang
dimungkinkan umtuk menggali hukum darinya.9

Termasuk diantara faidah qawa’id fiqhiyyah yaitu ciri-ciri khusus yang


membedakannya dari ushul al-fiqh:

1. Menjaga, mengontrol atau membatasi banyaknya masalah-masalah yang


serupa.
2. Sebagian besar masalah-masalah ushul al-fiqh tidak dimaksudkan untuk
memenui hikmah syari’ah beserta tujuan-tujuannya.10

Sebagian qa’idah ada yang bisa disebut sebagai qa’idah fiqhiyyah dan sisi
lain bisa juga disebut qa’idah ushul. Suatu qa’idah, kadang kala dipandang dari
satu sisi bisa masuk dalam kategori fiqhiyyah, dan sisi lain kadang kala
dimasukkan dalam kategori ushuliyah.11

C. Perbedaan Qawa’id Fiqhiyyah dan Nadzariyah Fiqhiyyah

Muhammad Abu Zahrah yang cenderung menerima terhadap asumsi ini.


Dalam kitab ushul al-fiqh, ia mengatakan:

“Sudah semestinya membedakan antara ilmu ushul fiqh dengan qawa’id al-
fiqhiyyah. Qawa’id al-fiqhiyyah adalah sebuah istilah yang kandungan isinya
pantas untuk disebut al-Nadzariyah al-‘Amah bagi hukum-hukum islam, seperti
“Qa’idah tentang hak milik” dalam islam, “Qa’idah tentang ganti rugi”, “Qaidah
tentang pengguguran akad”, dan lain-lain.

9
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.85-87
10
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.88
11
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.89
Pendapat ini emudian diikuti oleh Ahmad Abu Thahir al-Khithabiy.12

Al-Nadzariyah diambil dari akar kata “nadzar” yang artinya secara bahasa
adalah meneliti sesuatu dengan amata. Secara realitas, al-Nadzariyah al-‘Amah
dan dirasah al-fiqhiyah al-islami adalah sesuatu yang baru, yang dimunculkan
oleh para ulama kontemporer.13

Bisa juga al-Nadzariyah diartikan sebagai putusan-putusan fiqh yang


hakikatnya berupa beberapa rukun, beberapa syarat dan hukum-hukum, dimana
antara ketiganya terdapat hubungan secara fiqhiyah. Dalam fiqh islam, al-
Nadzriyah al-‘Amah bukanlah al-Qa’idah al-kulliyah, karena kawa’id, bila
dikaitkan pada al-Nadzariyah, adalah tempat pertemuan beberapa batasan-batasan
(dlawabith)14. Dari penjelasan-penjelasan diatas bisa disimpulkan:

1. Qa’idah fiqhiyyah adalah sebuah istilah yang secara dzatiahnya (substansi)


sudah menyimpan hukum fiqh.
2. Qa’idah al-fiqhiyyah tidak memuat rukun-rukun dan syarat-syarat,
sedangkan bagi Nadzariyah al-Fiqhiyyah, memuat terhadap rukun-rukun
dan syarat-syarat adalah suatu keharusan.15

Bisa saja menempatkan beberapa qa’idah fiqhiyyah di bawah suatu teori,


meskipun pada dasarnya, jika ditilik secara eksama tampak bahwa diantara
qa’idah-qa’idah tersebut terjadi perbedaan, baik dalam furu’-furu’nya, kasus-
kasusnya, maupun implikasi hukumnya, hanya saja qa’idah-qa’idah tersebut
secara umum memiliki ciri umum yang sama16. Masing-masing dari Nadzariyah
al-‘Amah dan Qaidah al-fiqhiyah memiliki ciri khas tersendiri. Ciri-ciri khas

12
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.90
13
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.91
14
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.92
15
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.93
16
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.94
inilah yang membedakan antara keduanya. Nadzariyah al-‘Amah mencakup sisi
yang luas dari pembahasan fiqh islam, serta menyerupai studi tematik tersendiri,
maka lain halnya dengan qa’idah al-fiqhiyah, sebab qa’idah al-fiqhiyah memiliki
ciri bentuk yang ringkas dalam redaksinya.17

BAB IV

MUNCULNYA ISTILAH-ISTILAH

DAN PENYUSUNAN BUKU QA’IDAH FIQHIYYAH

A. Pengertian Al-Asybah wa al-Nadza’ir

Al-Asybah wa al-Nadza’ir terdiri dari dua kata, al-Asybah dan al-Nadza’ir


yang artinya adalah “bebrapa kesamaan atau beberapa keserupaan”, secara
etimologi memiliki arti: “persamaan”. Contoh serupa secara dzatiyah “dirham ini
menyerupai dirham ini”, contoh yang serupa secara maknawiyah “Zaid serupa
dengan harimau”18. Berangkat dari pengalaman secara bahasa inilah kemudian
para ulama membiasakan dalam menggunakan lafal-lafal tersebut dengan tetap
berpegang pada makna bahasa. Mereka menjadikan lafal al-syabih dan al-nadzir
dalam satu arti19.

Imam Taj al-Din al-Subkhi mengatakan: “Al-Asybah adalah tarik menarik


antara dua ashal untuk memperebutkan satu far’u maka far’u harus melihat
diantara kedua ashal tersebut, mana yang paling banyak keserupaan dengan
dirinya”20. Definisi yang diungkapkan oleh Imam al-Hamawi dalam syarah kitab
al-asybah wa al-nadza’ir adalah beberapa masalah yang sebagian diantaranya
serupa dengan sebagian yang lainnya, akan tetapi berebda-beda hukumnya

17
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.95-96
18
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.97
19
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.98
20
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.99
disebabkan alasan-alasan yang samar, yaitu alasan-alasan yang bisa ditemukan
oleh para ahli fiqh dengan kejelian analisis mereka21.

Umar bin Khatab dalam suratnya menyebut dua hal yang sangat penting,
yaitu; Pertama, qiyas tidak bisa dilakukan kecuali didalam suatu permasalahan
terdapat keserupaan antara sesuatu yang menjadi ashal dan sesuatu yang menjadi
cabang. Kedua, hanya ashal yang lebih banyak serupanya dengan far’u yang
dipakai untuk menyamakan far’u 22 . Imam Najmu al-Din al-Nasafi (537H)
mengetengahkan interpretasi mengenai ucapan Umar tersebut dengan mengatakan
“Jika terdapat suatu peristiwa yang tidak diketahui jawabannya, maka harus
dikembalikan pada peristiwa-peristiwa lain yang ada keserupaan dengannya, dan
sudah diketahui jawabannya”23.

Adapun kalimat al-Nadza’ir memang tidak ditemukan dalam surat sahabat


Umar kepada Abu Musa, akan tetapi para ulama mengaitkan kalimat al-Nadza’ir
dengan kalimat al-asybah, dikarenakan ketika para ulama hendak membicarakan
permasalahan Qawa’id, mereka mendapati keberadaan Qawa’id yang terdiri dari
berbagai macam bentuk yang banyak, mulai dari Qawa’id kubra, Qawa’id sughra,
Qawaid Mazhabiah, dan lain-lain24 . Diilhami oleh problem yang demikian ini,
kemudian para ulama menyandarkan lafal al-Nadza’ir pada lafa al-Asybah, karena
meskipun keduanya sama-sama memiliki arti “meyerupai”, namun kata al-
Nadza’ir lebih umu daripada kata al-Syabih dan al-Matsil 25 . Lebih lengkapnya
adalah :

1. Bahwa sesuatu yang dikatakan al-mumatsilah bisa disebut al-musyabihah.


2. Sesuatu yang dikatakan musyabihah bisa dikatakan al-Nadzir.

21
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.100
22
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.101
23
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.102
24
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.103
25
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.104
3. Sebaliknya, sesuatu yang dikatakan al-Nadzir belum tentu bisa dikatakan
al-musyabihah.
4. Sesuatu yang dikatakan al-musyabihah belum tentu bisa dikatakan al-
mumatsilah.
5. Sesuatu yang disebut al-mumatsilah tentu juga bisa disebut al-musyabihah,
lebih-lebih disebut al-Nadzir26.

Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, kalimat al-Nadzir bisa diucapkan bisa saja
yang dikehendaki al-musyabihah, hanya saja ketika lafal al-Nadzir ini
dikumpulkan bersama lafal al-Asybah, maka al-Nadzir harus diartikan atau
dimaksudkan selain al-Asybah27.

B. Penggunaan Istilah al-Asybah wa al-Nadza’ir

Imam Muqatil bin Sulaiman al-Balkhi (150H) dari ulama tafsir abad kedua
hijriyah adalh orang yang pertama kali mengarang kitab dengan tema “al-Asybah
wal al-Nadza’ir fi tafisiri Al-Qur’an ‘Adzim”. Pada abad keempat hijriyah muncul
kitab tentang al-Adab al-‘Arabiy yang berbentuk Nadzam dengan judul “al-
Asybah wa al-Nadza’ir min Asy’ari al-Mutaqaddimin wa al-Jahiliyah wa al-
Mukhadramin” dikarang oleh Khalid bin Abu Bakar dab Abu Ustman Said 28 .
Apabila diteliti, kitab-kitab karangan yang membicarakan seputar masalah fiqh
yang menggunakan judul “al-Asybah wa al-Nadza’ir fi al-Fiqh”, ditemukan
bahwa sebagian dari karangan-karangan tersebut memuat masalah-masalah fiqh
dan ushul fiqh. Dan kadang kala juga juga memuat sebagian masalah0masalah
ilmu kalam yang berkaitan dengan pembahasan yang ada, yaitu pada furu’-furu’
yang terdapat keserupaan dan kesamaan29.

26
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.105
27
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.106
28
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.107
29
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.108
C. Penggunaan Istilah al-Furuq

Al-Furuq al-Fiqhiyyah dilihat dari pembukuannya jauh lebih dulu daripada


qa’idah fiqhiyyah. Pengkodifikasian dan penyusunan qa’idah fiqhiyyah dalam
kitab tersendiri, dilakukan lebih akhir daripada al-Furuq al-Fiqhyyah 30 . Faktor
yang mendorong para ulama mengarang kitab tentang ilmu fiqh dengan judul “al-
furuq” dalah, karena masing0masing saling memiliki kesamaan, namun ternyata
dalam segi hukum dan ‘illatnya terjadi banyak perbedaan, dan hal ini tidak mudah
untuk menghimpunnya. Imam Badruddin al-Zarkasyi mengingatkan akan
pentingnya al-furuq al-fiqhiyyah, ia mengatakan dalam muqaddimah kitab al-
Qawa’id ”Yang kedua dari macam-macam fiqh adalah mengetahui al-jam’u (cara
mengakomodasi) dan al-farqu (cara membedakan)”. Setiap perbedaan yang
terdapat dalam dua masalah, maka akan selalu membawa implikasi hukum yang
berbeda pula, selama tidak ada asumsi mudah31.

D. Al-Furuq dalam Terminologi Fiqh

Dengan mengutip sebagian dari apa yang pernah disampaikan oleh al-
Zarkasyi, Syekh Yasin al-Fadani mengatakan: “yang dimaksud ‘mengetahui al-
jam’u dan al-farqu’ adalah mempersatukan suatu masalah pada masalah yang lain
dalam satu hukum, dan membedakannya dari hukum yang lain. Seperti masalah
kafir dzimi dan muslim yang bisa dipesratukan dalam beberapa hukum dan
dibedakan dari beberapa hukum lain. Dari pembahasan seperti ini kemudian
muncul bentuk lain yang disebut al-furu’ yaitu mengetahui masalah-masalah yang
menjadi pembeda antara dua masalah yang tampak serupa, yaitu sekiranya dua
masalah tersebut tidak bisa disamakan dalam satu hukum”32. Fungsi dari cabang
ilmu ini adalah menjelaskan secara detail permasalahan-permasalahan terkait, dan
menguak terjadinya perbedaan-perbedaan dalam hukum, serta tempat

30
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.109
31
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.110
32
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.111
bergantungnya hukum, yaitu pada masalah-masalah yang didalam bentuknya
terdapat keserupaan, atau dalam masalah-masalah yang berdekatan antara
sebagian dengan sebagian yang lain. Sehingga dengan memahami semua itu, jalan
mencari hukum menjadi mudah dan jelas bagi ahli fiqh33.

Permasalahan-permasalahan yang dimuat dalam al-Asybah wa al-Nadza’ir,


pada hakikatnya sudah mencakup al-furuq. Karena dua hal yang berbeda dan tidak
mungkin disamakan antara satu sama lainnya, bagaimanapun juga diantara
keduanya masih tetap terdapat titik persamaan, walaupun itu sangat lemah 34 .
Demikian inilah kenyataann yang menjadi ciri khas kitab-kitab al-Asybah wa al-
Nadza’ir. Bahwa kitab al-Asybah wa al-Nadza’ir memuat atas bermacam-macam
maslaah, diantaranya masalah yang berhubungan dengan qawa’id fiqhiyyah, al-
furuq, dan cabang-cabag fiqh lainnya yang saling memiliki keserupaan35.

BAB V

KITAB FIQHIYYAH EMPAT MAZHAB

A. Kitab Sumber Qa’idah Fiqhiyyah dalam Mazhab Hanafi


 Ushul al-Karkhi (260-340 H)
Ditulis oelh Abdullah bin Hasan bin Dallal yang biasa dipanggil
Abu al-Hasan al-Karkhi, yang berasal dari suku Karkhi Juddan (sebuah
desa dekat Irak) tinngal danbelajar di Baghdad. Disamping memiliki
pengetahuan luas dan memiliki banyak hadis yang ia riwayatkan, dia juga
termasuk ahli ibadah, sabar dengan kesahajaan, dan mengisolasi diri dari
keramaian manusia 36 . Kitab ushul al-Karkhi ini tergolong kitab yang
pertama kalinya yang membicarakan tentang qa’idah bahkan menjadi
landasan pertama bagi ilmu qa’idah ini yang dasarnya secara terus
33
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.112
34
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.113
35
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.114
36
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.115
menerus dibangun oleh generasi fiqh sesudahnya37. Contoh Qa’idah: “Isi
permohonan atau pesan mengarah kepada maksud yang umum bukan pada
maksud yang langka”, dari Qa’idah ini dapat dikembangkan; orang yang
bersumpah tidak akan makan telur, maka dia tidak boleh makan telur
burung atau sesamanya, namun boleh memakan telur ikan atau
sesamanya 38 . Qa’idah-qa’idah yang telah dikumpulkan oleh al-Karkhi
dalam tulisannya ini dijadikan sebagai dasar mazhab. Namun hal itu tidak
berarti, dia adalah orang pertama yang menciptakan redaksi qa’idah itu.
Dia terkadang hanya menyimpulkan maksud dar tilisan-tulisan dari
Muhammad bin Hasan yang banyak berbentuk qa’idah39.
 Ta’sis al-Nazar
Nama lengkapnya adalah Ubaidillah bin Umar Isa al-Qadli, tinggal
disebuah daerah kecil antara Bukhara dan Samarkan. Dia juga orang yang
pertama kali membuat contoh teori dan metode berpikir teoritis. Di
desanya dia adalah orang yang handal dalam diskusi. Dia juga memilki
banyak karya tulis yang sangat berguna, antara lain, al-Nazmu fil Fatawi,
Taqwimul Adillah dan karya terbesarnya dalam bidang ushul fiqh adalah
“al-Asrar”. Kitab diatas memuat delapan puluh enak qa’idah. Sebagian
besar dari qa’idah itu adalah qa’idah mazhab40.
Berikut ini akan dicantumkan sebagian contoh qa’idah yang ada
dalam berbagai tempat dari kitab ini. Sehingga kita akan mengetahui
tujuan penulis lalu mengkaji qa’idahnya dan meneliti perbedaan dalam
furu’ sesuai perbedaan yang ada dalam ushul.
“Menurut Imam Abu Hanifah sesuatu yang sering terjadi diposisikan
seperti terjadi secara hakikat, walaupun hal itu tidak terjadi”

37
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.116
38
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.117
39
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.118
40
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.119-120
Masalah yang dapat dikembangkan dari qa’idah ini adalah; seorang
diperkenankan melakukan shalat di dalam perahu karena takut kepalanya
pening, walaupun pada saat itu ia tidak pusing. Karena pada umumnya
keadaan di dalam perahu memusingkan, walaupun hal itu tidak mesti
terjadi, sedangkan menurut Abu Yusuf tidak boleh41.
Jika kita fahami contoh diatas secara seksama, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa:
a) Sebagian besar qa’idah yang ada dalam kitab itu adalah qa’idah
mazhab.
b) Sebagian besar qa’idah tidak dibentuk oleh para iamam mazhab.
c) Karya al-Dabbusi adalah karya yang sangat bagus, karena
kebanyakan qa’idah yang ia tulis berbentuk ungkapan ringkas42.
 Al-Asybah wa al-Nadza’ir
Nama lengkap penulis adalah Zinuddin bin Ibrahim bin
Muhammad, yang sering dipanggil dengan Ibnu Nujaim al-Hanafi al-
Mishri, salah satu intelektual pada abad ke 10H. Ia menulis tentang fiqh
dan ushul fiqh dan banyak menulis tentang syarah dalam mazhab fiqh
Hanafi. Karya-karyanya antara lain; syarah kanzuddaqauq yang ia beri
nama dengan; Bahr al-Raiq. Namun, sayangnya dia keburu meninggal
sebelum merampungkan kitab tersebut. Ibnu Nujaim menulis kitab itu
seperti pola kitab al-Asybah karya Tajjuddun al-Subki, seperti yang ia
kaitkan dalam pengantar kitabnya. Hal ini dapat diketahui ketika
membandingkan keduaa kitab tersebut43.
Pada bagian pertama dalam kitabnya dia membahas qa’idah-
qa’idah kulliyah dan mengulas qa’idah itu dengan panjang lebar. Pada
bagian lain dia membahas hal-hal yang masih berkaitan dengan ilmu fiqh
seperti alghaz,mutharahat, al-furuq, hikayat dan catatan catatan yang

41
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.121-122
42
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.123-124
43
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.125
masih berbau fiqh. Qa’idah yang ditulis oleh Ibnu Nujaim keseluruhan
berjumlah 25 qa’idah 44 . Sebagaimana diketahui bahwa qa’idah-qa’idah
dalam kitab ini memiliki nilai yang sangat penting di kalangan pengikut
mazhab Hanafi. Disamping itu kitab qa’idah ini mencakup banyak furu’.
Dan banyak para pengikut mazhab Hanafi yang mensyarahi dan membuat
catatan pinggir terhadap kitab tersebut.Beberapa contoh kitab-kitab yang
menyarahi al-Asybah wa al-Nadza’ir Ibnu Nujaim:
a) Tanwir al-Bashair Ala al-Asybah wa al-Nadza’ir, karya
Syarifuddin Al-Ghazi (1005 H).
b) Ghamzu Uyun al-Bashar Syarh al-Asybah wa al-Nadza’ir,
karya Al-Hamawi (1098 H).
c) Umdatun Dzawil Bashair li Halli Muhimmah al-Asybah wa
al-Nadza’ir, karya Ibnu Biry (1023-1099 H)45.
 Umdatun Naazir alal Asybah wan Nadza’ir, karya Abu Su’ud al-Husaini
(1172 H)
Disela-sela mengomentari pendapat dan metode ulama yang
menulis kitab syarah dengan mudah bagi saya memberi tanggapan
terhadap sebagian sumber yang ada dalam kitab Ibnu Nujaim itu, antara
lain:
a) Ibnu Nujaim sering tidak menyebutkan pengecualian dari qa’idah.
b) Ibnu Nujaim dalam menjelaskan masalah dengan menggunakan
bahasa yang sangat ringkas.
c) Ibnu Nujaim terkadang menyebutkan riwayat lemah yang tidak
sesuai dengan pendapat yang telah dipilih oleh mazhab Hanafi46.
 Khatimah Majami’ al-Haqaiq, karya Said al-Khadimi (1176 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammd bin Mustofa
al-Kadimi yang biasa dipanngil dengan Abu Said, yaitu seorang ahli fiqh

44
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.126
45
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.127-128
46
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.129-131
mazhab Hanafi yang hidup pada abad ke 12 H. Dia menulis kitab matan
dalam masalah ushul fiqh yang ia beri nama majami’ul haqa’iq. Kitab itu
ia akhiri dengan pembahasan tentang qa’idah fiqh. Namun dia tidak
memberi komentar dan atau memberi catatan kaki terhadap qa’idah yang
ia kumpulkan47.
 Qawa’id Majallatul Ahkam al-Adliyyah, karya tim ulama yang dibentuk
pada masa dinasti Utsmaniyah
Disusun oleh tim ulama fiqh pada masa pemerintahan Ghozi Abdul
Aziz Khan. Gaya bahasanya diformat seperti pola materi hukum positif.
Jumlah qa’idah yang terkumpul dalam kitab itu sebanyak 185 qa’idah
yang terbagi dalam 16 bab. Kehadiran majallah memberikan kontribusi
besar dalam dunia hukum islam yang mana sebelumnya masalah-masalah
fiqh masih bertaburan dalam kitab-kitab fiqh. Terkadang dalam satu
maslaah hukum saja terdapat banyak fatwa antara satu dan yang lainnya
saling bertentangan48.
Qa’idah yang terdapat dalam kitab majallah ini memiliki
kesingkronan dengan mazhab-mazhab fiqh terkenal walaupun terdapat
perbedaan sedikit, yaitu dalam mengaplikasikannya. Dan sebagian
terdapat qa’idah yang masih diperselisihkan pengertiannya. Kitab pertama
yang mensyarahkan Majallah Adliyah adalah kitab “Mir’atu” majallatul
ahkam al-Adliyyah. Kitab ini berbentuk bahasa arab sedang majallah
berbahasa turki49.
Selain diatas masih terdapat kitab syarah terhadap Majallah yang
ditulis oleh al-Allamah Kholid al-Atasii, dia mensyarahkan dari bab jual
beli sampai materi qa’idah yang ke 1700. Namun,keinginannya untuk
melanjutkan kitab syarahnya itu kandas. Keunggulan kitab syarah ini

47
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.131-132
48
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.133-134
49
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.135-136
sangat tampak sekali terutama dalam bebrapa komentarnya terhadap kitab-
kitab syarah yang datang sebelumnya 50.
 Al-Faroid al-Bahiyyah fi al-Qawa’id wa al-Fawaid al-Fiqhiyyah, karya
Ibnu Hamzah al-Husainiy (1350 H)
Nama lengkap penulis adalah Mahmud bin Muhamad bin Nasib
bin Husein, yang dikenal dengan Ibnu Hamzah al-Husainiy, lahir 1236 H
di Damaskus dan dibesarkan di tempat itu juga. Dia menulis nazam dari
kitab al-jami’ al-shagir karya Imam Mihammad sebanyak tiga ribu bait,
kitab al-Kawakib al-Zahirah fi al-Ahadis al-Mutawatiroh, kitab Tarjihul
Bayyinat yang biasa disebuut dengan al-Tariqah al-Wadlihah, dan kitab
Qawa’id al-Auqaf fi al-Fiqh. Tujuan menulis kitab itu adalah memudahkan
para mufti merujuk kepada qa’idah dan Dlawabith, sebagaimana ia
katakan dalam pengantarnya:
“Karena sedikitnya riwayat, tidak adanya pengetahuan, dan
sulitnya mengetahui persoalan-persoalan syara’, maka perlu adanya
pendekatan metode agar memperoleh jawaban atas berbagai persoalan
dengan cara memperhatikan terhadap dowabid dan beberapa qa’idah,
disamping itu perlu memudahkan jalan seseorang yang memahami dengan
menyeleksi beberapa kesimpulan. Oleh sebab itu saya meminta petunjuk
kepada Allah dalam menyusun sebuah kitab yang memuat hal-hal yang
telah disebutkan diatas, dengan merujuk kepada kitab-kitab yang dapat
dijadikan pegangan, seperti al-jami’ al shagir, al-khaniyah, al-khassaf,
syarhk al-sair al-kabir, al-hindiyah, anfa’ al-wasail, bazaziyyah, al-darul
al-mukhtar, al-asybah, dan kitab-kitab lainnya.”
Qa’idah-qa’idah yang makna kalimatnya dapat dibentuk qa’idah
fiqhiyyah berjumlah sebanyak 30 buah. Dibawah ini akan dicontohkan
beberapa qa’idah yang ada dalam kitab faraid al-Bahiyyah:
“kesaksian seseorang terhadap apa yang dilakukannya ditolak
menurut ijma’”

50
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.137
Seperti seorang wakil menjadi saksi terhadap nikah yang ia wakili
persaksiannya tidak sah. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara orang
yang melakukan persaksian untuk dirinya sendiri atau orang lain.
“Mengetahui kerelaan (seseorang) dapat menghilangkan
keharaman.”
Contoh dari qa’idah ini adalah jika seseorang memasuki kebun
temannya dan mengambil sesuatu tanpa sepengtahuannya dengan dasar
bahwa teman yang memiliki kebun itu pasti rela kalau barangnya tersebut
diambil, maka mengambil barang itu diperbolehkan51.
 Qawa’id al-Fiqh, karya Majdadiy
Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Amimil Ihsan al-Majdadi,
seorang pemuka agama Banglades. Kitab yang ia berinama “Qawa’idul
Fiqh” ini merupakan kumpulan dari lima risalah yang berkenaan dengan
tiga topik utama yaitu, kaidah fiqh, beberapa definisi, dan tata cara
memberikan fatwa52.
B. Sumber Qa’idah Fiqh Mazhab Maliki
 Ushulul Futyaa fi al-Fiqhi ‘Ala Mazhab al-Imam Malik, karya al-Khasyani,
wafat sekitar (163 H)
Nama lengkap penulis Muhammad bin Haris bin Assad al-
Khasyaniy, lahir di Qairuwan pada akhir abad ke-3 H. Salah satu karyanya
adalah al-Qudlot bi Cordova, yang membicarakan sejaranh ulama-ulama
andalus, al-Ittifaq wa al-Ikhtilaf fi Mzhab Malik. Kitabnya Ushulul Futyaa
merupakan salah satu kitab pertama yang membicarakan dasar-dasar fiqh
dari mazhab Maliki. Kelebihan kitab Ushulul al-Futyaa adalah kitab itu
tidak terlalu banyak menjabarkan qa’idah fiqh secara berlebihan, namun
lebih menekankan pada pengumpulan dasar-dasar yang valid dalam
mazhab.

51
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.138-142
52
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.143
Kitab Ushul yang selalu saya awali dengan kata,”Ashlu dan Kullu”
merupakan ungkapan dari beberapa qa’idah dan Dlawabid fiqh. Sebagian
besar qa’idah dan Dlawabid yang ada dalam kitab saya ini termasuk
qa’idah tang mampu menjangkau sebagian besar masalah dalam bab-bab
fiqh. Dibawah ini akan diberi contoh qa’idah:
“Setiap sesuatu yang dipertentangkan oleh penyewa dan yang
menyewakan maka dikembalikan kepada kebiasaan dan apa yang sering
terjadi pada manusia”53.
 Al- Furuq, karya Imam Qarafiy (684 H)

Nama lengkap penulis adalah Abu al-Abbas Ahmad bin Abu ‘Ala’
Idris bin Abdurrohman al-Sonhaji al-Mishri yang biasa dijuluki
Syihabbudin dan masyhur dipanggil al-Qarafi, 54 dinisbatkan ke Qorofah
sebuah daerah yang berdekatan dengan makam imam . beliau banyak
menimba ilmu pengetahuan pada ulama-ulama besar seperti Ibnu
Abdissaalam dan imam Jamaluddin Ibnu al-Hajib. Menurut penulis kitab
al-Dibaj al Muzhab: beliau adalah orang yang banyak hafal hadits, dalam
mengekspresikan sesuatu sangat luas, dan fasih dalam berbicara, karya-
karyanya menunjukan kalau dia adalah orang yang memiliki kepandaian
luar biasa.55

Karya-karyanya banyak ditandai dengan penemuan-penemuan baru


yang dihasilkan dari penelitian dan investigasinya terhadap dalil hukum.
Beberapa karya beliau antara lain: kitab “Al-Furuq”, kitab “Al-Ihkam fi
Tamyiz al-Fatawi ‘an al-ahkam wa Tasharrufah al-Qadli ‘an al-Imam”,
kitab “Al-Istigna’ fi Akhmail Istisna”, kitab “al-Dakhirah” dan kitab
“Nafais al-Ushul” yang mengomentari kitab “Al-Mahshul” karya al-Raziy.

53
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.144-147
54
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.148
55
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.148
Kitab ini (al-Furuq) termasuk salah satu kitab yang sangat hati-hati
dalam memproduksi hukum islam penulis menyajikan ide-ide beriliannya
yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang sebelumnya. Buku yang
ditulis oleh al-Qarafi ini dapat mendongkrak kekuatan berfikir para ahli
fiqih untuk memproduksi dan mengembangkan hukum-hukum islam. 56
Dalam kitab ini penulis memberi tambahan qaidah yang tidak ada dalam
kitab al-Dakhirah.

Dalam kitab al-Furuq penulis menyebutkan sebanyak 548 qaidah


dan tiap-tiap qaidah diberi penjelasan furunya. Ada dua hal yang harus
diperhatikan dalam qaidah yang ada dalam al-Furuq:

1. Pengertian qaidah menurut penulis dalam kitab ini lebih luas dari
pengertian qaidah menurut istilahnya. Dlawabid dan hokum-
hukum yang sifatnya universal oleh penulis dsebut qaidah.
2. Qaidah-qaidah yang ada dalam kitab itu masih belum disepakati.
Banyak sebagian ulama yang mengambil qaidah yang ada dalam
kitab itu untuk mengkritik atau menanggapi.57

Contoh penulis menjelaskan beberapa pembahasan fiqh dalam


judul qaidah dengan menampakkan kontradiksinya: 58

1. Perbedaan antara qaidah tentang khiyar majlis dengan qaidah


khiyar syarat.
2. Perbedaan qaidah akad hutang dengan qaidah akad jual beli.
3. Perbadan antara qaidah akad shulh (damai) dengan qaidah yang
lainnya.

56
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.149
57
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.150
58
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.151
Para ulama Malikiyah merasa butuh melakukan refisi ulang
terhadap kitab ini, seperti yang dilakukan oleh Muhammad bin Ibrahim
Al-Baquriy (707 H) di MENCOB untuk menyusun secara urut terhadap
topic bahasan dalam kitab itu agar memudahkan pembaca.59

 Al-Qawaid, karya al Maqqariy al- Maliki (758 M)

Nama lengkap penulis adalah Muhammad bin Muhammad bin


Ahmad al-Maqqariy (yang dinisbatkan pada Maqarrrah, sebuah daerah di
Affrika), dia mendapat julukan Abu Abdillah, dilahirkan di Tilmisan dan
belajar di tempat itu. Beliau adalah seseorang yang memiliki intelejensi
cemerlang, sangat dikenal sebagai ahli fiqih dalam mazhab yang ia ikuti,
sastrawan dan ahli syair, dan taat terhadap agama.60

Ulama yang belajar kepada beliau antara lain: Imam Abu Ishaq al-
Syathibiy penulis kitab al-Muwafaqat dan Ibnu Khaldun. Beberapa karya
ilmiyah peninggalan beliau dalam berbagai bidang ilmu antara lain: kitab
al-Qawaid al-Tharaf wa al-Tuhaf, Amalu Man Thabba Li Man Habba,
Kulliyatul Fiqhiyyah, kitab Al-Muhadlarat.61 Beliau meninggal di Faas dan
dimakamkan di Tilmisan pada tahun 758 H namun masih jadi perselisihan
kapan tepatnya beliau meninggal.

Kitab ini adalah kitab kedua setelah al-Furuq karya al-Qarafiy


dalam qaidah fiqhiyah menurut mazhab maliki. Kitab ini adalah salah satu
kitab yang paling teliti dalam menjelaskan qaidah fiqh didalam mazhab
maliki. Dan mungkin kitab ini satu-satunya kitab qaidah yang paling luas
penjelsannya tentang qaidah dalam mazhab maliki. Dalam kitab tersebut
dibahas metode yang dipakai imam malik dan para murid-muridnya.
Setelah itu mengkomparasikan beberapa qaidah dan masalah yang masih

59
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.152
60
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.153
61
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.153
ada kaitannya dengan qaidah itu pada mazhab imam abu hanifah dan
syafi’I dan terkadang menyinggung pendapat dalam mazhab hambali.62

Namun penulis kitab ini tidak memberi penjelasan luas terhadap


qaidah-qaidahnya sehingga terkadang qaidah dibiarkan berada dalam
ketidakjelasan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh yahya al-Wansyiri
yaitu: kitab ini menampung pengetahuan melimpah ruah, banyak faedah
berguna yang tidak ada duanya, namun kitab ini membutuhkan seseorang
yang mampu membongkar dan mengeluarkan pengetahuan yang tersimpan
di dalamnya. 63 Dan perlu diperhatikan oleh pembaca kitab ini, bahwa
sebagian besar qaidah yang ada dalam kitab ini merupakan qaidah-qaidah
mazhab dan perselisihan pendapat dalam beberapa masalah dan furu.
Sehingga dengan membaca kitab ini kita dapat mengetahui sisi-sisi
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama dan memudahkan
untuk mengetahui persoalan-persoalan furu yang diperselisihkan imam abu
Hanifah dan imam Syafii.64

 Idlah al-Masalik ila Qawaid al-Imam Malik, karya Winsyarisiy (914


H)

Nama lengkap penulis adalah Ahmad bin Yahya bin Muhammad


al-Tilmisani, al-Winsyarisiy mendapat julukan abu al-Abbas. Beliau
belajar pada ulama tilmisan, mengembara ke negri faas pada tahun 874 H,
dan menjadi mufti, meninggal dalam usia 80 tahun tahun 914 H di Faas.65
Karya-karya peningalan beliau antara lain: kitab hafilul lifatawi al-

62
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.154
63
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.155
64
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.156
65
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.158
mutaqaddimin wa al-mutaakhirin min fuqoha al-malikiyah, taliq ala
mukhtashar ibni al-hajib, al-faiq fi al-watsaiq.66

Kitab ini adalah salah satu kitab terkenal yang membicarakan


qaidah dalam mazhab maliki namun sayangnya kitab ini lama mendekam
dalam percetakan masih berupa lembaran dan baru-baru ini dikeluarkan
dari tempatnya sehingga disambut dengan antusias oleh para pengkaji
qaidah. Kitab ini berukuran standar, tidak terlalu besar dan tidak terlalu
kecil bila dibandingkan dengan kitab-kitab qaidah lainnya. Kitab ini
memuat 118 qaidah.67 Sebagian besar qaidah yang ada di dalam kitab ini
adalah qaidah mazhab yang membackup mazhab maliki. Dalam
mengungkapkan qaidah penulis memakai kata Tanya hal ini ditunjukan
bahwa qaidah itu masih diperselisihkan oleh para ulama fiqh. Dan penulis
mencoba untuk menunjukan keterkaitan antara furu dengan qaidah
dlawabidnya. Terkadang penulis memakai jumlah khabariyah dengan
maksud qaidaha itu tidak diperselisihkan oleh para ulama fiqh.68

penulis membuat qaidah dalam bentuk ungkapan panjang,hal ini


berbeda dengan penulis lain yang ungkapannya memakai bahasa yang
singkat dan pendek. Penulis juga sering tidak menyebutkan sumber-
sumber yang menjadi acuan dari kitabnya.69

 al-Is’af bi al-Thalab Mukhtashar Syarkh al-Manhaj al-Muntakhab


ala Qawaid al-Mazhab, karya al-Tawaaniy

Pemilik kitab aslinya (al-manhaj al-muntakhab ala qawaid al-


mazhab) adalah abu al-Hasan Ali bin Qasim al-Zaqaq al-Fasi al-Tujibiy,
dinisbatkan pada kabilah tujib sebuah kabilah yang ada di yaman. Beliau
66
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.158
67
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.159
68
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.160
69
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.161
menulis Laamiyatan fi al-Akhkam. Meninggal pada tahun 912 H.
Sedangkan pemilik kitab ringkasan kitab al-Manhaj yang berjudul al-Is’af
adalah Abu al-Qasim bin Muhammad bin al-Tawaniy salah seorang ulama
Mazhab Maliki. 70 Kitab ini merupakan sebuah ringkasan yang sangat
sempurna, penulis membuat susunan simple, sederhana, dan runtut
sehingga, dapat membantu pembaca dalam memahami qaidah sekaligus
batasan-batasan fiqh dan furunya.71

Dalam kitab tersebut qaidah dibagi dalam dua bagian:72

a. Qaidah yang menjadi akar dari pokok persoalan yang


diperselisihkan
b. Qaidah yang menjadi dasar dari beberapa masalah fiqh.

Dari uraian diatas sangat Nampak bahwa metode yang digunakan


penulis sangat bagus sehingga metode ini tergolong baru dan menjadi ciri
khas kitab ini.73

C. Sumber-sumber Qaidah Dalam Mazhab Syafi’i


 Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, karya Izzuddin bin
Abdissalam (577-660 H)

Nama lengkap penulis adalah Izzauddin bin Abdissalam al-Sulami


berasal dari al-Maghribiy, lahir di Damaskus, berdomisili dan meninggal
di Mesir. Beliau mendapat julukan Sulthon al-Ulama dan Syaikh Ibnu
Daqiq al-Iid. 74 Lahir pada tahun 578. Belajar ushul kepada al-Amidi,
beliau ahli dalam bidang tafsir, fiqh, dn ilmu tata bahasa Arab. Mahir

70
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.162
71
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.163
72
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.164
73
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.165
74
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.165
dalam mengungkapkan rahsia yang ada dalam syariat dan fasih dalam
berbicara yang tiada duanya.

Karyanya: Tafsir Al-Kabir dan Qawaid al-Syariyyah. Kitab ini


adalah salah satu kitab kitab pertama yang sampai kepada kita yang
membicarakan tentang qaidah. Tujuan penulis tidak mengumpulkan
qaidah dalam bentuk tertentu adalah untuk menjelaskan beberapa
kemaslahatan umat, muamalat, dan beberapa tindakan lainnya agar
manusia berusaha untuk melakukan hal-hal itu dalam kehidupannya.
Disamping itu menjelaskan larangan agar manusia menjauhinya,
menjelaskan sisi positif ibadah agar manusia mengerjkannya, serta
mengadakan penyempurnaan dan pembenahan dalam kitab ini.75

 Al-Asybah Wa al-Nadzir, karya Ibnu Wakil al-Syafi’I (716 H)

Nama lengkap penulis adalah Muhammad bin Umar bin Makkiy


yang dijuluki Shodruddin dan Abu Abdillah bin Murrahil. Di syam dikenal
dengan nama Ibnu Wakil al-Mishriy. Dilahirkan di Dimyat tahun 665 H,
besar di Damaskus, belajar fiqh kepada ayahnya dan para pembesar ulama
pada saat itu. Belajar ushul fiqh kepada Syufiyyudin al-Hindiy. Beliau
termasuk orang yang cerdas dan mudah menghafal. 76 Al-Wakil adalah
orang pertama yang memakai nama al-Asybah terhadap kitabnya dalam
bidang fiqh.77

Kitab ini akan menggelitik para pakar ulama untuk menulis kitab
tentang qaidah. Para ulama yang pernah mengkaji kitab ini mengatakan
bahwa penulis kitab ini tidak sempat melakukan pengeditan secara
sempurna terhadap kitabnya. Karena penulisan kitab ini ketika dalam
perjalanan sehingga banyak kesalahan dan yang melakukan pengeditan

75
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.166
76
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.169
77
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.170
dan pembenahan adalah keponakannya yaitu Zainuddin (738 H). beliau
memberikan beberapa tambahan keterangan dan membedakan antara teks
asli dengan tambahan keterangannya. Beliau mengatakan bahwa kitab ini
memuat sebagian besar dari qaidah ushuliyah dan fiqhiyah, namun yang
sangat mendominasi dalam bab pembahasan adalah qaidah fiqh.78

 Al-Majmu’u al-Mazhab fi Qawaid al-Mazhab, karya al-Alay

Nama lengkapnya adalah al-Imam al-Hafid, al-Faqih Khalil bin


Kaikaldy biasa dipanggil Shalahuddin dan memiliki julukan Abu Said al-
Alaiy al-Syafi’I. lahir di Damaskus tahun 694 H. belajar hadits kepada
Jamaluddin sl-Mizziy, belajar Fiqh kepada Burhanuddin al-Fazariy dan
Kamal al-Zamlakaniy, beliau adalah seseorang yang menguasai berbagai
bidang ilmu. 79 Al-Alay mengalahkan banyak ulama dalam menghafal
hadits, menyebutkan perawi-perawinya dan sekaligus illatnya. Ahli
dibidang sastra dan membuat tulisan dalam bentuk nadzam.

Beberapa karya bagus peninggalan beliau: kitab al Mudallisin,


Talqih Al-Fuhum fi Syiyagh al-Umum, dan kitab Jamiul al-Tahshil fi
Akhkam al-Marosil. 80 Kitab yang ditulisnya ini adalah salah satu kitab
terbaik dalam bidang ilmu fiqh mazhab Syafi’i. kitab ini
mengkombinasikan antara qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqhiyah. Kita
dapat menangkap pemikiran cemerlang dan mendasar hanya dengan
membaca pengantarnya saja. Karena sangat rinci dan jelas sekali.81

Al-Alaiy dalam kitabnya mencoba untuk menyandarkan setiap


pendapat pada sumber asalnya, salah satu ciri dari kitab ini adalah ulasan
yang cukup luas terhadap lima qaidah dasar, salah satu yang menyebabkan
78
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.171
79
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.172
80
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.173
81
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.174
kitab ini bagus adalah penulisannya mencantumkan beberapa dalil dari al-
quran dn hadits terhadap sebagian qaidah, kitab ini tidak memuat selain
qaidah-qaidah prinsip kecuali hanya sedikit saja.82

 Mukhtasar Qawaid al-Alaiy

Pertama yang meresume adalah al-Sharkadiy (wafat 792 H). beliau


mencoba mengkombinasikan antara qaidah al-Alaiy dan qaidah al-Isnawi
dengan mengadakan pembetulan dan penambahan.83 Setelah itu ada Ibnu
Khatib al-Dahsyah (wafat 834 H). Dengan menggunakan metode sendiri
beliau juga mengkolaborasi antara qaidah al-Alaiy dan qaidah al-Isnawi
yang membut penjelasan-penjelasan singkat dan qaidah-qaidahbutma yang
pembahasannya disesuaikan dengan bab kitab Minhaj al-Nawawi.84

 Al-Asybah wa al-Nazair, karya Tajuddin Ibnu al-Subki (wafat 771 H)

Nama lengkap penulis adalah Abdul Wahab bin Ali bin Abdul Kafi
bin Ali bin Tamam al-Subki yang mendapat julukan Abu Nashar dan biasa
dipanggil dengan Tajuddin. Lahir tahun 727 H. belajar hadits di Mesir dan
pindah ke Damaskus bersama ayahnya, bernama Taqiyuddin. Al-Subki
meninggal karna terjangkit wabah to un dalam usia 74 tahun. 85 Beliau
banyak meninggalkan karya ilmiah antara lain: Jam’u al-Jawami yang
membicarakan tentang ilmu fiqh dan ushul fiqh, al-Asybah wa al-Nazair
yang memuat beberapa qaidah fiqh, Taqabah al-Syafiiyyah, Syarah
Mukhtashar Ibnu Hajib.

Imam al-Subki dalam kata pengantar kitab ini menyinggung


keurgentan dan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi ketika

82
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.177
83
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.178
84
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.179
85
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.180
mengkaji qaidah fiqhiyah, butuh kesungguhan dan keseriusan maksimal.
Susunan kitab itu sangat bagus yaitu:86

a. Mengawalinya dengan membahas lima qaidah dasar lalu


dijabarkan secara rinci
b. Membicrakan qaidah-qaidah penting yang ada dalam fiqh
c. Menyebutkan batasan-batasan fiqh
d. Membicarakan persoalan yang berkaitan dengan kalam yang
dibutuhkan oleh seorang ahli fiqh
e. Membicarakan qaidah-qaidah ushuliyyah dan persolan yang
diberikan ulasan secara panjang lebar.
f. Membuat bab khusus yang menampung ungkapan bahasa arab
g. Membuat bab yang menampung sumber-sumber perbedaan antara
imam Syafi’I dan imam abu Hanifah.

Perlu diketahui bahwa kitab ini adalah kitab yang paling bagus dan
sistematis dalam metode penulisannya. Persoalan-persoalan yang tidak
tercover dalam satu bab diintegrasikan dengan baik. Disamping itu kitab
ini mencoba untuk mengkolaborasi antara qaidah fiqhiyah dan qaidah
ushuliyah.

 Al-Mantsur fi Tartib al-Qawaid al-Fiqhiyah atau al-Qawaid fi al-Furu,


karya al-Zarkasy (wafat 794 H)

Nama lengkap penulis adalah Muhammad bin Bahadur bin


Abdullah, Badruddin al-Mishry al-Zarkasyi, al-Syafi’i. dilahirkan pada
tahun 745 H. beliau belajar kepada dua ulama besar yaitu Jamaluddin al-
Isnawi dan Sirajuddin al-Bulqiniy. Pergi ke Damaskus dan belajar Hadits
kepada Ibnu Katsir. Beliau termasuk ulama yang menguasai fiqh, Ushul

86
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.182
Fiqh, tafsir, serta mampu mengkolaborasikan dengan beberapa macam
ilmu yng ada pada masanya.87

Beberapa karya ilmiah peninggalan beliau antara lain: al-Burhan fi


Ulum Al-Quran, Syarah ulumul Hadits karya Ibnu Shalah,
menyempurnakan kitab syarah imam al-Isnawi (Bahr al-Muhith) sebanyak
tiga jilid yang membicarakan tentang ushul fiqh, al-Ijabah li Irodi Ma
Istadrokathu Aisyah ala al-Shahabah.88 Kitab ini memiliki nilai keilmuan
yang tinggi. Kitab ini adalah salah satu kitab yang membicarakan tentang
qaidah yang paling luas diantara kitab-kitab qaidah lainnya. Serta
penyusunan kitab yang sesuai dengan huruf Mujam.89

 Syarah Qawaid al-Zarkasy atau Hasyiyah ala Qawaid al-Zarkasyi,


karya Sirajuddin Abbas (941/947 H)

Nama lengkap penulis adalah Sirajjudin Umar bin Abdullah al-


Syafi’I al-Mishriy. Kitab yang ditulis oleh imam Sirajjudin ini bukan kitab
syarah sebagaimana kitab syarah lain, tapi sebuah tulisan yang mempunyai
nilai ilmiah tinggi. Kitab ini menjelaskan qaidah-qaidah Fiqh secara
sistematis. Namun sayangnya penulis kitab ini belum sempat mengedit
kitabya dengan sempurna. 90 Sehingga banyak sekali celah yang perlu
dipertajam penjelasannya. Maka dari itu al-Ubadiy mencoba melkukan
perbaikan kembali dengan mereduksi sebagian besar keterangan yang ada
dalm kitab tersebut.91

 Al-Asyibah wa al-Nazair karya Ibnu Mulaqqin (804 H)

87
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.185
88
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.186
89
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.187
90
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.191
91
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.192
Nama lengkap penulis: Umar bin Ali bin Ahmad al-Anshoriy al-
Syafi’I Sirajuddin, Abu Hafs, Ibnu al-Nahwiy yang masyhur dengan nama
Ibnu Mulaqqin, lahir dan meninggal di Kairo. Lahir pada tahun 720 H.92
beliau termasuk salah satu ulama yang ahli dalam bidang hadits pada
masanya, ahli fiqh dalam mazhab syafi’I. beliau belajar fiqh kepada Imam
Taqiyyuddin al-Subkiy. Beliau banyak menulis karya tulis pada masa
hidupnya mencapai 300 buah baik dalam bentuk kecil maupun besar.
Salah satunya adalah Ikmalu Tahdzib al-Kamal fi Asmai al-Rijal dan al-
Ilam bi Fawaidi Umdah al-Ahkam.

Kitab tentang qaidah ini dianggap bagus karena dalam menyusun


qaidah penulis menyesuaikan dengan bab-bab Fiqh serta menyebutkan
beberapa Qaidah dalam tiap-tiap bab secara runtut dan sistematis.93 Kitab
ini juga benar-benar akomodatif dan menampung seluruh persoalan yang
berhubungan dengan fiqh.

 Al-Qawaid, karya Abu Bakar al-Hishniy al-Syafi’I (829 H)

Nama lengkap penulis adalah Abu Bakar bin Muhammad bin


Abdul Mu’min Taqiyuddin al-Hishniy. Dinisbatkan pada Khishniy yaitu
sebuah desa yang berada di Hauron. Beliau adalah seorang ulama fiqh
dalam mazhab syafi’I yang lahir tahun 752 H. bersikap sangat zuhud dan
sederhana. Beberapa karya tulis peninggalan beliau antara lain: Syarhul
Minhaj, Syarah Syakhih Muslim sebanyak tiga jilid, qaidah Fiqh satu jilid,
Tambih al-Salik ala Madzanil Mahalik sebanyak enam jilid, Syarah Asma
al-Husna satu jilid.94

Kitab ini sangat bagus dalam menjelaskan tentang qaidah. Karena


pola pembahasannya yang ringkas dan lugas. Dalam pengantarnya Abu

92
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.193
93
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.194
94
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.197
Bakar al-Hishniy mengatakan tentang keutamaan definisi dan beberapa
kekhasan dari ilmu fiqh. Dalam tiap-tiap pembahasan beliau menjelaskan
hokum sekaligus perinciannya.95

 Al-Asybah wa al-Nazair, karya Al-Suyuthi (911 H)

Nama lengkap penulis adalah al-Hafiz al-Allamah Abdurrahman


bin Abu Bakar bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi’I yang berjuluk
Jalaluddin dan masyhur dengan nama al-Suyuthi. Beliau adalah seorang
uama yang mempunyai banyak karya ilmiah yang sangat berguna. Lahir
pada tahun 848 H. pada saat umur 5 tahun 7 bulan ayahnya meninggal
dunia.96 Beliau pernah belajar kepada Jalaluddin al-Mahalliy, Burhanuddin
al-Biqo’I dan imam al-Mirzabaniy al-Hanafiy.

Al-Suyuthi adalah salah satu ulama yang paling cepat dan paling
banyak memiliki karya ilmiah. Jumlah karya tulisannya keseluruhan
mencapai 600 buah baik buku besar maupun buku kecil. Kitab ini adalah
kitab yang sangat rinci dalam mengupas qaidah fiqhiyah dan materi
pembahasan yang terkandung di dalamnya sangat luas, serta
pembahasannya yang sistematis. Sehingga sring dijadikan rujukan oleh
para ulama yang gemar mempelajari qaidah khususnya dalam mazhab
syafi’i. seluruh materi pembahasannya terangkum dalam 7 kitab pokok
97
bahasan. Kitab pertama, menjelaskan tentang lima qaidah dasar
pembahasan mazhab syafi’i. Kitab kedua, berisi penjelasan tentang 40
qaidah kulliyah. Kitab ketiga, tentang qaidah yang diperselisihkan. Kitab
keempat, beberapa ketetapan hokum yang masih berlaku namun sering
terabaikan oleh para ahli fiqh. Kitab kelima, beberapa bab yang sama
urutanya dengan bab dalam pembahasan fiqh. Kitab keenam, berisi

95
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.198
96
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.200
97
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.201
pembahasan terpisah-pisah yang babnya belum jelas. Kitab ketujuh,
membahas masalah yang bersifat variatif.

Ciri-ciri yang membedakan kitab ini dengan kitab yang lainnya:

1. Al-Suyuthi menyusun qaidah ini dengan dengan runtut.


2. Qaidah-qaidah yang ada dalam kitab ini didasari haidts dan atsar.
3. Al-Suyuthi selalu memberi tanda jika beliau mengutip keterangan
dari sumber lain.

 Al-Istighna fi al-Farqi wa al-Istisna, karya Badruddin al-Bakriy

Nama lengkap penulis adalah Muhammad bin Abu Bakar bin


Sulaiman al-Bakriy, seorang ulama mazhab Syafi’I. salah satu murud
imam Jamaluddin al-Isnawi. 98 Kitab ini merupakan karya monumental
dalam bidang qaidah yang merupakan ringkasan dari beberapa pendapat
yang ada dalam mazhab syafi’I. kitab ini memuat 600 qaidah yang
tersusun secara ringkas dan sederhana. Yang tiap qaidahnya dikeluarkan
beberapa penjelasan serta dialetikkan dengan dalil asalnya. Sehingga kitab
ini tergolong bagus dan luas pembahasannya.

Metode penulisan yang dipakai oleh al-Bakriy:99

1. Susunan materi yang akan dibahas disusun sesuai dengan urutan


yang ada dalam kitab fiqh.
2. Tiap bab didahului dengan definisi topic yang akan dibahas.
3. Setelah diuraikan, penulis mencantumkan beberapa qaidah dan
pengecualiannya yang berkaitan dengan tema itu.

D. Kitab-kitab Qaidah Fiqh Dalam Mazhab Hambali

98
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.205
99
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.207
 Al-Qawaid al-Nuraniyah al-Fiqhiyah, karya Ibnu Taimiyah (661-728
H)

Nama lengkap penulis adalah Imam Taqiyuddin Abdul Abbas


Ahmad bin Abdul Hamid bin Abdissalam bin Abdillah bin Taimiyah al-
Harraniy, lalu al-Dimasyqiy. Beliau adalah ahli hadits, hafal banyak hadits,
ahli tafsir. Lahir tahun 661 H di Haran. 100 Beliau belajar bahasa arab
kepada Ibnu Abdil Qawi al-Thufiy. Beliau juga menguasai beberapa
prinsip dasar fiqh sekaligus furunya, nahwu dan beberapa macam ilmu.

Metode penulisan yang digunakan Ibnu Taimiyah sebagaimana


dijelaskan oleh Dr. Abdul Wahab Abu Sulaiman sebagai berikut: Ibnu
Taimiyah berbicara tentang qaidah fiqhiyah dengan memkai metode
khusus. Yang penyusunannya disesuaikan dengan materi dalam kitab fiqh.
Pembahasan pertama adalah Thaharah, najasah, dan diakhiri dengan bab
sumpah serta nadzar.101

 Al-Qawaid al-Fiqhiyah. Diasumsikan karya Ibnu Qadiy al-Jabal (771


H)

Nama asli penulis adalah Ahmad bin al-Hasan bin Abdullah, yang
dipanggil Abu al-Abbas dan berjuluk al-Syarifuddin. Berasal dari
Muqadas lalu pindh ke Damaskus. Sering dipanggil Ibnu Qadli al-Jabal.
Lahir tahun 693 H dan pernah belajar kepada Ibnu Taqiyuddin dan Ibnu
Taimiyah. Beliau sangat menguasai hadits sekaligus illatnya, nahwu, dan
ilmu bahasa Arab lainnya. Beliau menjadi pemuka mazhab Hambali di
Mesir pada akhir usianya.102

100
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.208
101
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.210
102
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.212
Kitab fiqh ini ditulis dengan banyak memuat qaidah fiqh yang
diambil dari potongan-potongan masalah fiqh yang berserakan penulis
kitab ini meniru pola yang ada dalam kitab al-Muswaddah fi ushul al-fiqh
yaitu dalam bentuk Tanya jawab. Namun terkadang penulis menyebutkan
qaidah terlebih dahulu lalu diikuti dengan menyebutkan furu yang
berkaitan dengan qaidah itu.

 Taqrir al-Qawaid wa Tahrir al-Fawaid, karya Ibnu Rajab Al-


Hambali (795 H)

Nama lengkap penulis adalah al-Hafid Abdurrahman bin Sihab bin


Ahmad bin Abi Rajab yang berjuluk Zainuddin dan Jamaluddin yang biasa
dipanggil Ibnu Rajab al-Hambali. Beliau adalah seorang yang ahli dalam
memberikan nasehat dan siraman rohani kepada orang dengan niat tulus
mengharap ridha Allah. Beliau salah satu ulama yang paham betul
terhadap fiqh mazhab Hambali. Beliau juga banyak tahu tentang illat
hadits dan jalur periwayatannya. Beberapa karya tulis peninggalan beliau
antara lain: Syarh Arbain al-Nawawi yang masyhur disebut Jami’u al-
ulumi wa al-hukmi, al-Istikhraj li akhkami al-kharraj,syarh al-Bukhari
dengan judul Fatkh al-Bariy namun hanya sampai bab Janaiz, biografi para
pengikut dan pendukung mazhab yang diberi judul Al-Dzail ala Tobaqotu
al-Hanabilah.103

Kitab ini adalah kitab qaidah yang sangat bagus dalam mazhab
hambali dan memberikan konstribusi besar terhadap perkembangan dan
tersebarnya ilmu fiqh. Kitab ini tersusun atas 160 qaidah yang diikuti
dengan pasal dalam masalah yang masih diperselisihkan di kalangan
mazhab. Metode penulisannya tersusun ringkas. Selain itu penulis juga

103
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.214-216
membuat qaidah dalam bentuk kalimat Tanya dengan tujuan memberikan
sinyal bahwa masalah ini diperselisihkan.104

 Al-Qawaid al-Kulliyah wa al-Dlawabid al-Fiqhiyah, karya Ibnu


Abdul Hadiy (909 H)

Nama lengkap penulis adalah Yusuf bin Hasan bin Ahmad bin
Abdul Hadi yang biasa dipanggil dengan al-Mibridi al-Shalihiy al-
Hambali yang berjuluk Jamaluddin. Dilahirkan tahun 840 H. spesialisasi
dalam ilmu hadits, fiqh, nahwu dan tafsir. Penulis menjadikan sebagian
qaidah yang ada dalam kitab al-Qawaidnya sebagai penutup dari kitab
yang berjudul Mughni Dzawil Afham an al Katsirah fi al-Ahkam.105 Kitab
ini memuat beberapa persoalan fiqh dan ditutup dengan pasal khusus
berupa kutipan-kitipan dari beberapa qaidah.

 Qawaid Majallah al-Akhkam al-Syariyyah ala Mazhabi al-Imam


Ahmad bin Hambal, karya Ahmad bin Abdullah al-Qariy al-Hanafiy
(1309-1359 H)

Nama lengkap penulis adalah Al-Qadli Ahmad bin Abdullah bin


al-Syeh Muhammad Basyir. Lahir di Makkah tahun 1309 H dan wafat di
Taif tahun 1359 H. dibesarkan dan menghafal quran dengan ayahnya yaitu
Syeh Abdullah. Beliau adalah salah satu ulama besar mazhab hanafi dengn
berbagai jabatan yang dipegangnya antara lain tahun 1350 H sebagai
kepala mahkamah syariah di Makkah, tahun 1357 ditunjuk sebagai
pemimpin anggota qadli dalam organisasi Haiatu Tamyizi al-Akhkam
Khaliyan. 106 Salah satu karya ilmiah terbesarnya adalah al-Majallah al-
Akhkam al-Syariyyah.

104
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.217-218
105
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.219
106
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.220
Kitab ini memuat banyak sekali qaidah-qaidah fiqh yang dikutib
dari kitab Ibnu Rajab yang mencapai 160 qaidah. Metode penulisannya
dengan cara berkualitas ilmiyah, memiliki fungsionalitas, berkarakter fiqh
hanafi, efektifitas dalam penetapan hokum memakai mazhab hambali
karena ingin menggeser kitab Majallah al-Akhkam al-Adliyyah yang
disusun masa pemerintahan utsmani.107

107
Dr.Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2009)
H.221

Anda mungkin juga menyukai