,MA
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................. 2
Muqaddimah ................................................................................................. 3 2
A. Mazhab Syafi’i ............................................................................................ 4
B. Mazhab Hanbali ....................................................................................... 12
Muqaddimah
Di antara masalah yang diperdebatkan oleh para ulama adalah
tentang posisi qawaid fiqhiyyah itu sendiri, apakah bisa dijadikan hujjah 3
dalam agama atau hanya sebatas tolak ukur kongklusi dari nash saja.
Sekalipun para ulama secara Ijma’ menegaskan bahwa qawaid
fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam syariat dengan korelasi
kuatnya pada dalil, ilmu ushul fiqih, dan fiqih itu sendiri. Maka untuk
mengetahui lebih jelas, kita harus melacak kepada pendapat setiap
mazhab tentang apakah qawaid fiqhiyyah bisa dijadikan hujjah atau
tidak dalam pemaparan terperinci berikut ini.
A. Mazhab Syafi’i
1 As Subki. Al Asybah wan Nadhoir. 1991. Beirut. Darul kutub ilmiyyah. Hal 11
2 DR. Ade Dedi Rohayana. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Hal 267
menjawab boleh dengan hujjah :
1 Az Zarkasyi. Al mantsur fil qawaid. 1982. Kuwait, muassasah al khalij. Hal 1/66
ال توضؤوا من ألبان الغنم وتوضؤوا من ألبان اإلبل
B. Mazhab Hanbali
1 Ibnu Taimiyah. Majmu’ul fatawa. 1381 H. riyadh. Matbaah riyadh. Juz 27 hal 410
dalam sebuah yang dimasukkan dalam kategori ibadah, sehingga nanti ada
dalil yang membolehkannya untuk dilakukan.
Bila dalam urusan ibadah Ibnu Taimiyah relatif sangat ketat, beda 14
urusannya dalam bidang muamalah dimana beliau punya kaidah yang
terkesan sangat fleksibel, yang bunyinya :
1 Ibid . 255
membunuh Ibnu Taimiyah dan kawan-kawannya. Maka dalam hal ini ada
kaidah yang beliau angkat yaitu :
16
Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.
Beralih kepada imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah (751 H) dalam kitabnya
I’lamul muwaqqi’in. ada sebuah kaidah yang dijadikan pijakan beliau dalam
berfatwa yaitu :
تغير الفتوى واختالفها بحسب تغير األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعوائد
Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat
dan kebiasaan setempat.
Menurut beliau, penguasaan atas kaidah ini sangat penting dalam 17
perkembangan hukum fiqih yang tidak secara eksplisit dijelaskan hukumnya
dalam nash1. Artinya beliau menjadikan qawaid fiqhiyyah juga bisa sebagai
landasan dalam berfatwa.
Ibnu Najjar Al Hanbali (972 H) mengatakan bahwa Qawaid fiqhiyyah
bukanlah dalil tapi posisinya sejajar dengan dalil untuk masalah parsial yang
butuh ketentuan hukum tanpa adanya dukungan eksplisit dari nash2.
Hal ini juga selaras dengan statemen Ibnu Rajab Al Hanbali (790 H) yang
1 Ibnu Rajab. Al qawaid fil fiqhil Islam. 1992. Darul Kutub Al Ilmiyah. Hal 3