Anda di halaman 1dari 18

Ahmad Sarwat, Lc.

,MA
Daftar Isi
Daftar Isi ................................................................................................. 2
Muqaddimah ................................................................................................. 3 2
A. Mazhab Syafi’i ............................................................................................ 4
B. Mazhab Hanbali ....................................................................................... 12
Muqaddimah
Di antara masalah yang diperdebatkan oleh para ulama adalah
tentang posisi qawaid fiqhiyyah itu sendiri, apakah bisa dijadikan hujjah 3
dalam agama atau hanya sebatas tolak ukur kongklusi dari nash saja.
Sekalipun para ulama secara Ijma’ menegaskan bahwa qawaid
fiqhiyyah mempunyai peran penting dalam syariat dengan korelasi
kuatnya pada dalil, ilmu ushul fiqih, dan fiqih itu sendiri. Maka untuk
mengetahui lebih jelas, kita harus melacak kepada pendapat setiap
mazhab tentang apakah qawaid fiqhiyyah bisa dijadikan hujjah atau
tidak dalam pemaparan terperinci berikut ini.
A. Mazhab Syafi’i

Representasi Syafiiyah dalam urusan qawaid fiqhiyyah di antaranya


adalah imam Izzuddin bin Abdisalam (660 H) yang memang sebagai orang
4
pertama yang menulis qawaid secara tersendiri.
Dalam kitabnya qawaidul ahkam fi mashalihil anam, beliau
mengembalikan seluruh persoalan fiqih kepada kaidah :

‫جلب المصالح ودرء المفاسد‬

Menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan


Bahkan yang lebih ditekankan oleh beliau adalah unsur “menarik
kemaslahatan” karena dia bersifat universal dan sudah pasti dengan
mencapai maslahat maka mafsadat akan terhindarkan.
Pada sebuah kasus beliau menegaskan sebuah kaidah :

‫أن تزول األحكام بزوال عللها‬


5
Hukum dapat hilang dengan hilangnya illat.
Lalu sebagai contohnya beliau mengatakan bahwa misalnya air yang
sedikit apabila terkena najis maka akan menjadi najis. Akan tetapi bila nanti
air yang sedikit itu menjadi banyak maka najisnya pun akan hilang. Ini
berdasarkan bahwa illat atau sebab kenajisannya telah hilang yaitu air yang
sedikit. Apabila air yang banyak menjadi najis karena perubahan warna najis,
maka nanti ketika warna ini hilang najisnya pun sudah hilang. Karena illat dari
najisnya sudah tidak ada.
Jika kita lihat, secara implisit pernyataan Syaikh Izzuddin bin Abdissalam
menunjukan bahwa qawaid fiqhiyyah bisa menjadi hujjah dan sangat
berperan penting dalam ilmu fiqih.
Selanjutnya imam As Suyuthi (911 H) dalam kitabnya al Asybah wan
Nadzhoir menyebutkan bahwa kaidah yang disepakati ulama ada 40 , dan di 6
antaranya adalah 5 kaidah pokok , sedangkan yang diperselisihkan adalah
dua puluh kaidah lain. Beliau tidak melakukan tarjih namun beliau
menguraikan kaidah tersebut dan menunjukan kemana beliau berpijak, dan
tentunya dengan memberi statemen berupa kaidah pula.
Contohnya dari kaidah :

‫العبرة في العقود للمقاصد والمعاني ال لأللفاظ والمعاني‬

Yang diperhatikan dalam akad adalah maksud dan skemanya, bukan


lafadz dan klaimnya.
Lalu kemudian dimunculkan pertanyaan berupa kaidah pula :

‫هل العبرة بصيغ العقود او بمعانيها‬


7
Apakah yang diperhatikan dalam akad itu adalah lafadz atau maknanya?
Masalah yang muncul dari kaidah ini adalah bila seseorang berkata
kepada orang lain : “saya membeli pakaian dari kamu dengan kualitas begini
dan dengan uang sejumlah ini”
Dari situ menurut sebagian ulama telah terjadi jual beli biasa, namun
menurut yang lainnya telah terjadi akad salam, dan ini yang dipilih oleh As
Suyuthi dan As Subki (771 H).
As Suyuthi menjadikan qawaid sebagai pedoman mengidentifikasi
hukum dengan cara ilhaq karena baginya berijtihad sudah tidak mungkin
beliau lakukan.
Diperkuat oleh As Subki yang mengatakan bahwa barang siapa ingin
mempertajam tashawwur dan analisa maka harus faham qawaid fiqhiyyah1. 8
Menurut Az Zarkasyi (794 H) qawaid fiqhiyyah adalah bagian dari ilmu
alat untuk bisa mengidentifikasi hukum fiqih dan ini menjadi bagian dari
ushul mazhab Syafi’i menurutnya2.
Imam Syafi’i sendiri ketika menjawab pertanyaan kerap menjawab
dengan kaidah fiqih juga, sebagai contoh ketika ditanya tentang wanita yang
ingin melakukan safar yang jauh tapi tidak punya mahram, bolehkah
mengangkat seseorang menjadi walinya? Maka imam Syafi’i Rahimahullah

1 As Subki. Al Asybah wan Nadhoir. 1991. Beirut. Darul kutub ilmiyyah. Hal 11
2 DR. Ade Dedi Rohayana. Ilmu Qawaid Fiqhiyyah. Hal 267
menjawab boleh dengan hujjah :

‫إذا ضاق األمر اتسع‬


9
Jika perkara menjadi sempit maka ia menjadi luas1
Begitupula imam An Nawawi dalam Al majmu menjawab pendapat
imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa memakan daging unta
baik dimasak atau dibakar, atau meminum susunya dapat membatalkan
wudhu. Karena imam Ahmad berangkat dari dalil sebuah hadist riwayat
Usaid bin Khudari (20 H) yang berbunyi :

1 Az Zarkasyi. Al mantsur fil qawaid. 1982. Kuwait, muassasah al khalij. Hal 1/66
‫ال توضؤوا من ألبان الغنم وتوضؤوا من ألبان اإلبل‬

Tidak perlu wudhu karena meminum susu kambing, tapi berwudhu 10


karena minum susu unta.
Imam Nawawi menjawabnya dengan dua alasan, yaitu bahwa hadist yang
lemah tidak dapat dijadikan landasan berhukum. Kedua, beliau
mengemukakan kaidah :

‫األصل بقاء ما كان على ما كان‬

Yang menjadi asal, adalah sesuatu tetap berada dalam keadaan


hukumnya seperti semula.
Karena asalnya susu unta bukanlah najis dan tidak membuat seseorang
berhadast, maka seseorang yang minum susu unta atau makan dagingnya
jika masih dalam keadaan suci, dia tidaklah dianggap berhadast sehingga
tidak perlu berwudhu1. 11
Hanya satu orang dari kalangan Syafiiyah yang tidak membolehkan
qawaid dijadikan Hujjah, yaitu imam al Juwaini (478 H) yang juga dikenal
dengan imam al haramain. Beliau berpendapat bahwa qawaid hanya isyarat
bahwa dalil yang terperinci sudah digali lalu dijadikan kesimpulan dalam
redaksi singkat yang mencakup perkara-perkara global.
Tapi tidak lantas pendapat imam Juwaini ini menunjukkan bahwa mazhab
Syafi’i tidak menerima kaidah fiqih sebagai hujjah. Karena yang lain justru
menjadikannya berdiri bersamaan dengan dalil. Maka ini hanya dianggap

1 DR. Ade Dedi. Op.cit


sebagai pendapat yang menyendiri dari kalangan Syafi’iyah.
Kesimpulannya adalah, bahwa mayoritas fuqaha Syafi’iyah dengan tegas
menempatkan qawaid fiqhiyyah sebagai hujjah, bahkan dianggap sebagai 12
bagian dari ushul mazhab itu sendiri. Kehujjahan qawaid fiqhiyyah ini
terutama saat mereka dihadapkan dengan perkara fiqhiyyah yang tidak
secara tegas ditetapkan hukumnya dalam nash Quran dan Hadist.

B. Mazhab Hanbali

Dalam mazhab Hanbali, yang getol memberikan jawaban dengan qawaid


fiqhiyyah justru adalah imam Ibnu Taimiyah (728 H) yang juga dikenal
dengan Syaikhul Islam.
Sebagai contoh, beliau menolak pendapat Hanafiyah yang mengatakan
bahwa definisi khamr itu hanyalah pada perasan anggur, dan tidak
mencakup minuman keras memabukkan yang lainnya. Di saat ulama mazhab
lain menjawabnya dengan menggunakan dalil qiyas, beliau justru menjawab
dengan kaidah yang bersumber dari sabda Rasulullah SAW bahwa semua 13
yang yang memabukkan adalah khamr. Lalu menjelaskan bahwa nash umum
bisa mencangkup istilah yang khusus1.
Contoh lain dalam masalah Ibadah, kadang Ibnu Taimiyah menempatkan
qawaid sebagai hujjah, dengan redaksi misalnya :

‫األصل في العبادة التوقيف‬

Yang menjadi asal hukum dalam Ibadah adalah Tauqif


Tauqif dalam hal ini maksudnya adalah mendiamkan sebuah tata cara

1 Ibnu Taimiyah. Majmu’ul fatawa. 1381 H. riyadh. Matbaah riyadh. Juz 27 hal 410
dalam sebuah yang dimasukkan dalam kategori ibadah, sehingga nanti ada
dalil yang membolehkannya untuk dilakukan.
Bila dalam urusan ibadah Ibnu Taimiyah relatif sangat ketat, beda 14
urusannya dalam bidang muamalah dimana beliau punya kaidah yang
terkesan sangat fleksibel, yang bunyinya :

‫األصل في العقود رضى المتعاقدين وموجبها ما أجابه على أنفسهما بالتعاقد‬

Hukum asalnya adalah bahwa dalam berbagai transaksi dikembalikan


kepada kerelaan kedua pihak, dan apapun yang mereka haruskan dalam
transaksi harus dipatuhi satu sama lain1.
Hal yang penting untuk dibahas dalam hal ini adalah bahwa di antara
prinsip Ibnu Taimiyah yang menempatkan qawaid fiqhiyyah sebagai hujjah 15
dalam sejumlah fatwa dan keputusannya.
Ada kisah beliau yang sangat populer dan ternyata bisa dikorelasikan
dengan qawaid fiqhiyyah sebagai salah satu metode mengambil keputusan.
Yaitu tatkala beliau dan kawan-kawanya menjumpai orang tatar yang sedang
mabuk karena minum minuman keras. Kawannya mengajak agar Ibnu
Taimiyah menghentikan mereka minum khamr tersebut, namun beliau
menolaknya dengan alasan bahwa syariat melarang minum khamr karena
dapat menjauhkan kita dari mengingat Allah, sementara kalau mereka tidak
minum khamr mereka akan beringas dan akan merampok bahkan bisa

1 Ibid . 255
membunuh Ibnu Taimiyah dan kawan-kawannya. Maka dalam hal ini ada
kaidah yang beliau angkat yaitu :
16

‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬

Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.
Beralih kepada imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah (751 H) dalam kitabnya
I’lamul muwaqqi’in. ada sebuah kaidah yang dijadikan pijakan beliau dalam
berfatwa yaitu :

‫تغير الفتوى واختالفها بحسب تغير األزمنة واألمكنة واألحوال والنيات والعوائد‬
Fatwa dapat berubah dengan perubahan waktu, tempat, kondisi, niat
dan kebiasaan setempat.
Menurut beliau, penguasaan atas kaidah ini sangat penting dalam 17
perkembangan hukum fiqih yang tidak secara eksplisit dijelaskan hukumnya
dalam nash1. Artinya beliau menjadikan qawaid fiqhiyyah juga bisa sebagai
landasan dalam berfatwa.
Ibnu Najjar Al Hanbali (972 H) mengatakan bahwa Qawaid fiqhiyyah
bukanlah dalil tapi posisinya sejajar dengan dalil untuk masalah parsial yang
butuh ketentuan hukum tanpa adanya dukungan eksplisit dari nash2.
Hal ini juga selaras dengan statemen Ibnu Rajab Al Hanbali (790 H) yang

1 DR, Ade. Hal 276


2 Ali Ahmad An Nadawi. Al Qawaid Al fiqhiyyah. 1994. Damaskus. Darul jial. Hal 330
mengatakan bahwa Qawaid berdiri sebagai instrumen penting bagi seorang
faqih dalam usahanya mengidentifikasi hukum pada sebuah perkara baru1.
Kesimpulannya bahwa mazhab Hanbali menggunakan qawaid fiqhiyyah 18
juga sebagai hujjah dalam menetapkan sebuah hukum, terutama dalam
kasus-kasus yang tidak dijelaskan dalam nash. Meskipun ada indikator
mereka mendahulukan hadist lemah daripada qawaid fiqhiyyah, seperti
kasus keharusan berwudhu dari minum susu unta.
Wallahu a’lam bishhowab.

1 Ibnu Rajab. Al qawaid fil fiqhil Islam. 1992. Darul Kutub Al Ilmiyah. Hal 3

Anda mungkin juga menyukai