Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Menurut World Health Organization (WHO) stroke merupakan gejala yang
didefinisikan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung 24 jam atau
lebih (Nasution, 2013). Stroke di Indonesia juga mengalami peningkatan
prevalensi. Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan
kanker. Pada tahun 2007, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan
data 8, 3 per 1000 penduduk menderita stroke. Sedangkan pada tahun 2013, terjadi
peningkatan yaitu sebesar 12,1%. Stroke juga menjadi penyebab kematian utama di
hampir semua rumah sakit di Indonesia, yakni sebesar 14,5%. Jumlah penderita
stroke di Indonesia menurut diagnosis tenaga kesehatan (Nakes) pada tahun 2013,
diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang dari seluruh penderita stroke yang terdata,
sebanyak 80% merupakan jenis stroke iskemik (Wicaksana,eatall,2017).
Stroke merupakan gangguan yang terjadi pada aliran darah khususnya aliran
darah pada pembuluh arteri otak yang dapat menimbulkan gangguan neurologis. Di
Indonesia, diperkirakan setiap tahun sekitar 500.000 penduduk terkena serangan
stroke dan sekitar 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan
atau berat (Yastroki, 2011).
Stroke adalah gangguan pembuluh darah otak (GDPO)/ Cerebro Vascular
Disease (CVD)/CerebroVascular Accident (CVA) merupakan suatu kondisi
kehilangan fungsi otak secara mendadak yang diakibatkan oleh gangguan suplai
darah ke bagian otak (Brunner & Suddarth, 2000 dalam Tammase, 2013). Stroke
dapat menyebabkan penderita mengalami afasia. Menurut Dharmaperwira-Prins
(2002), Afasia merupakan gangguan bahasa perolehan yang disebabkan oleh cedera
otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman serta gangguan pengutaraan bahasa,
lisan maupun tertulis. Penderita afasia dapat mendengar orang lain berbicara, tetapi
ia mengalami kesulitan untuk memahami mereka. Ia dapat melihat dengan baik
huruf buku atau surat kabar, tetapi tidak mengerti apa yang tertera disitu. Afasia

1
bisa sedemikian parah hingga pasien hampir tidak dapat mengatakan atau
memahami sesuatu pun.
Salah satu gangguan yang banyak terjadi adalah afasia. Dalam bidang neurologi,
afasia didefinisikan sebagai suatu gangguan kebahasaan yang disebabkan oleh
adanya kerusakan atau cedera pada area bahasa otak (Subyantoro, 2013:29) Darley
(1982) mengemukakan bahwa afasia biasanya melukiskan suatu kerusakan atau
pelemahan bahasa akibat terjadinya cedera otak pada area dominan bahasa cerebral
hemisphere. Afasia dapat terjadi mengikuti stroke dan traumaticbrain injury, dapat
pula dihubungkan dengan penyakit yang mempengaruhi unsur dan fungsi otak
(Nadeau, Rothi,&Crosson, 2000).
Afasia memberikan dampak pada berbagai aspek kehidupan. Terutama pada
kesejahteraan pasien, kemandirian, partisipasi sosial, dan kualitas hidup pasien.
Dampak ini muncul diakibatkan komunikasi yang tidak adekuat antara pasien dan
lingkungan. Kondisi mortilitas yang tinggi dan kemampuan fungsional yang rendah
pada pasien afasia dapat terjadi karena pasien tidak mampu mengungkapkan apa
yang pasien inginkan, tidak mampu menjawab pertanyaan atau berpartisipasi dalam
percakapan. Ketidakmampuan ini menyebabkan pasien menjadi frustasi, marah,
kehilangan harga diri, dan emosi pasien menjadi labil yang pada akhirnya dapat
menyebabkan pasien menjadi depresi (Mulyatsih & Ahmad, 2010).
RSD Gunung Jati Kota Cirebon adalah salah satu lahan praktik Jurusan Terapi
Wicara Politeknik Kesehatan Surakarta. RSD Gunung Jati adalah rumah sakit tipe
B yang ada di Kota Cirebon. RSD Gunung Jati memiliki fasilitas kesehatan yang
lengkap. Pelayanan terapi wicara di RSD Gunung Jati mencakup 5 bidang yaitu,
bahasa, bicara, irama kelancaran, suara dan menelan. Kasus afasia di RSD Gunung
Jati bukanlah hal baru, sangat sering ditemui dibandingkan dengan kasus dewasa
yang lainnya. Berdasarkan data diatas penulis tertarik mengambil kasus afasia
dikarenakan tingginya dampak post stroke yang mengakibatkan seseorang
mengalami afasia di RSD Gunung Jati Kota Cirebon. Penulis bermaksud
mengambil judul Tugas Akhir “Penatalakasanaan Terapi Wicara Pada Kasus Afasia
Transkortikal Motoris di RSD Gunung Jati Kota Cirebon”.
Afasia Transkortikal Motoris di tandai dengan dengan bicara spontan nonfluent,
pengertian relativef normal, pengulangan baik sampai normal, membaca bersuara

2
dan menulis terganggu, penemuan dan penamaan kata terganggu, bahasa lisan dan
bahasa tulis umumnya cukup baik. Berdasarkan gangguan yang ada praktikkan
membahas lebih lanjut pemahaman afasia transkortikal motoris dalam hal menamai
tingkat kata dan tingkat kalimat. Salah satu metode untuk menangani kasus afasia
yaitu dengan simulasi auditif.

B. Batasan Masalah
Pada penulisan Tugas Akhir ini penulis membatasi masalah pada
Penatalaksanaan Terapi Wicara pada Kasus Afasia Transortikal Motoris di RSD
Gunung Jati Cirebon. Masalah yang diangkat pada kasus ini yaitu permasalahan
dalam bicara dan pemahaman bahasa lisan dengan menggunakan metode stimulasi
auditif.

C. Tujuan Tugas Akhir


1. Tujuan Umum
Memberikan gambaran tentang penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus
afasia transkortikal motoris RSD Gunung Jati Cirebon.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui profil permasalahan melalui proses assessment pada kasus
Afasia Trasnkortikal Motoris di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.
b. Mengetahui capaian hasil terapi menggunakan pendekatan simulasi auditif
pada kasus Afasia Trasnkortikal Motoris di RSD Gunung Jati Kota Cirebon.

D. Manfaat Tugas Akhir


1. Manfaat Teoritis
Hasil studi ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan keilmuan,
menambah pengetahuan dan wawasan tentang penatalaksanaan Terapi Wicara
pada kasus Afasia Transkortikal Motoris.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Pendidikan

3
Diharapkan dapat menjadi referensi pembelajaran, bahan masukan dan
informasi pendidikan dalam meningkatkan wawasan dan pengetahuan
mahasiswa pada kasus Afasia Transkortikal Motoris.
b. Bagi keluarga klien
Diharapkan menjadi bahan masukan dan informasi bagi keluarga klien
untuk mengetahui gambaran umum mengenai Afasia Transkortikal Motoris.
c. Bagi Terapis Wicara
Diharapkan dapat menjadi salah satu acuan penatalaksanaan Terapi
Wicara pada kasus Afasia Trankortikal Motoris.
d. Bagi Masyarakat
Diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan edukasi tentang kasus
Afasia Transkortikal Motoris.
e. Bagi Penulis
Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis
dalam melakukan intervensi pada kasus Afasia Transkortikal Motoris.

Anda mungkin juga menyukai