Anda di halaman 1dari 18

LITERATURE RIVIEW

TERAPI BICARA DAN BAHASA PADA PASIEN STOKE DENGAN AFASIA

OLEH

KELOMPOK XI

GEHART
HASRIANI FAJRIA
INDAH DWI AYU MEGAWATI
DWI A. PRATIWI
FITRI MOHAMAD HILAMUHU

PROFESI NERS UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2017

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan stroke sebagai 'sindroma tanda
klinis yang berkembang dengan cepat gangguan fokal (atau global) fungsi serebral,
dengan gejala yang berlangsung 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa
sebab yang jelas selain vaskular di asal '(WHO 1978). Stroke adalah kondisi
penonaktifan terbesar di Inggris dan Wales dengan 100.000 stroke pertama terjadi
masing-masing tahun (Blais 1994). Stroke dapat mempengaruhi fisik, sensoris dan
fisik orang kemampuan kognitif (Wade 1985). Perkiraan Stroke Association bahwa di
Inggris 300.000 dari 60 juta penduduk hidup dengan cacat yang disebabkan oleh
stroke (Westcott 2000).
Stroke dapat disimpulkan sebagai serangan pada jaringan otak yang terjadi secara
mendadak dan dapat menyebabkan kelumpuhan atau cacat menetap pada bagian
tubuh. Masalah kesehatan yang muncul akibat stroke sangat bervariasi. Bila stroke
menyerang otak kiri dan mengenai pusat bicara, kemungkinan pasien akan
mengalami gangguan bicara atau afasia. Salah satu gangguan afasia adalah afasia
motorik. Afasia motorik merupakan kerusakan pada lapisan permukaan pada daerah
broca, yang ditandai dengan kesulitan dalam mengontrol koordinasi, bicara lisan
tidak lancar, dan ucapannya sering tidak dimengerti oleh orang lain. Istilah afasia
(kurang umum disebut disfasia) digunakan untuk menggambarkan kerugian atau
penurunan yang diakibatkan dari sistem bahasa berikut kerusakan otak (Benson 1996)
dan tidak termasuk yang lain Kesulitan komunikasi dikaitkan dengan kehilangan
sensorik, kebingungan, demensia atau kesulitan berbicara karena kelemahan otot atau
disfungsi seperti disartria.
Penyebab paling umum dari afasia adalah Kecelakaan serebrovaskular
(umumnya dikenal sebagai stroke), terutama ke belahan otak kiri, dimana fungsi
bahasa otak biasanya terletak untuk orang kidal. Sekitar sepertiga yang mengalami
stroke mengembangkan aphasia (Engelter 2006; Laska 2001). Populasi aphasic
2
heterogen, dengan individu profil gangguan bahasa yang bervariasi dalam hal
keparahan dan tingkat keterlibatan di seluruh modalitas pemrosesan bahasa, termasuk
ekspresi dan pemahaman ucapan, membaca, menulis dan memberi isyarat (Kode
2003; Parr 1997). Variasi di Tingkat keparahan gangguan ekspresif, misalnya, dapat
berkisar dari individu mengalami kesulitan mencari kata sesekali tidak memiliki
sarana komunikasi yang efektif. Salah satu bentuk terapi rehabilitasi gangguan afasia
adalah dengan memberikan terapi wicara (Sunardi, 2006, hlm.7).
Terapi wicara merupakan tindakan yang diberikan kepada individu yang
mengalami gangguan komunikasi, gangguan berbahasa bicara, gangguan menelan.
terapi wicara ini berfokus pada pasien dengan masalah-masalah neurologis,
diantaranya pasien pasca stroke (Hearing Speech & Deafness Center, 2006, dalam
sunardi, 2006). Terapis bicara dan bahasa menilai orang dengan kesulitan komunikasi
dan membantu orang untuk mengatasi atau menyesuaikan diri berbagai masalah
komunikasi. terapis bahasa untuk membantu Anda Kesulitan komunikasi akan
tergantung pada masalah tertentu yang Anda miliki. Terapi yang menargetkan area
tertentu Komunikasi yang Anda anggap paling sulitefektif. Misalnya, jika Anda
mengalami kesulitan memahami makna kata-kata (aphasia reseptif) Anda mungkin
ditanya

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mendeskripsikan terapi berbicara pada pasien stroke
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan pengaruh terapi AIUEO terhadap kemampuan bicara
pada pasien stroke
b. Mendeskripsikan pengaruh terapi the token test terhadap kemampuan
bicara pada pasien stroke

3
1.3 Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Bagi Program Studi Profesi Ners, dapat dijadikan referensi tentang gerakan
terapi berbicara pada pasien stroke
2. Manfaat Praktis
Bagi Perawat di RS MM. Dunda Limboto, Diharapkan dapat dijadikan
sebagai acuan dalam menerapkan terapi berbicara pada pasien stroke

4
BAB II
METODOLOGI
2.1 Jenis Penulisan
Jenis penulisan yang digunakan adalah literature review. Literature Review
merupakan uraian analisa kritis mengenai teori, temuan, dan bahan penelitian lainnya
yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian dalam
menyusun kerangka pikir yang jelas dari perumusan masalah yang akan diteliti.
2.2. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah literature review
berbasis journal, dengan beberapa tahap yakni; penentuan topik besar, screenning
journal, coding journal, dan menentukan tema dari refensi jurnal yang didapatkan.
2.3. Lokasi dan Waktu
Lokasi yang digunakan untuk melakukan literature review bertempat di RSUD
MM. Dunda Limboto. Adapun waktu yang digunakan selama sembilan hari, dimulai
dari tanggal 18 Oktober sampai dengan 27 Oktober 2017.
2.4. Etika Literature Review
Dalam melakukan penulisan ini, struktur penulisan yang harus diperhatikan
meliputi: formulasi permasalahan, literature screenning, evaluasi data, analisis dan
interpretasi.
2.4.1. Formulasikan Permasalahan
Merumuskan atau menyusun sesuai topik yang akan diambil dalam bentuk yang
tepat. Dalam pemformulasian masalah yang dibahas, ditulis dalam bentuk tinjauan
pustaka yang mengacu pada jurnal atau hasil studi pustaka. Penulisan dilakukan
secara kronologis dari penelitianpenelitian sebelumnya.
2.4.2. Literature Screenning
Proses ini berawal dari pengumpulan jurnal yang berjumlah 6 jurnal
internasional dan 4 jurnal nasional. Literatur dari jurnal yang dikumpulkan harus
relevan dengan topik. Screenning dilakukan untuk memudahkan proses codding yang
bertujuan untuk mengevaluasi data yang muncul sebagai kelolaan sub topik.
5
2.4.3. Evaluasi Data
Proses ini lebih mengarahkan penulis kepada pengelompokan sub-sub topik
yang dikontribusikan dari hasil codding. Data yang didapatkan dari journal codding
dapat berupa data kualitatif, data kuantitatif maupun data yang berasal dari kombinasi
keduanya. Data yang telah dikelompokan akan dilihat kembali compare (kesamaan)
dan contrast (ketidaksamaan) baik dari segi kelebihan dan kelemahan untuk
mengidentifikasi level of significance yang terdiri dari literatur utama (significant
literature) dan literature penunjang (collateral literature).
2.4.4. Analisis dan Interpretasi
Proses akhir dari penulisan literature review adalah menganalisis dan
menginterpretasikan data dalam sub topik. Pandangan yang kritis diperlukan untuk
memparafrasekan isi sub topik (literature of journal).
2.4.5. Metode Pencarian
Literature Review ini menggunakan 4 (tiga) media atau metode pencarian
jurnal, yaitu sebagai berikut:
1. Ebsco dengan alat situs : http://spingerlink.com
2. Scholar google dengan alat situs : http://scholar.google.co.id
3. Sciencedirect dengan alat situs : http://search.sciencedirect.com
4. Jurnal keperawatan Indonesia situs: https://scholar.google.com

6
TAHUN
NO NAMA JURNAL
TERBIT
1. Communicating with people with stroke and aphasia: 2000
understanding through sensation without words
2 Interventions For Motor Apraxia Following Stroke (Review) 2008

3 Speech and language therapy for aphasia following stroke 2010

4 Stroke rehabilitation 2011

5 Speech And Language Therapy After Stroke 2012

6. Communication problems after stroke 2012

7 Efektifitas Terapi AIUEO Dan Terapi The Token Test 2012


Terhadap Kemampuan Berbicara Pasien Stroke Yang
Mengalami Afasia Motorik Di Rs Mardi Rahayu Kudus.
8 Pengaruh Augmentative and Alternative Communication 2013
terhadap Komunikasi dan Depresi Pasien Afasia Motorik
9 Pengaruh Terapi Aiueo Terhadap Kemampuan Bicara 2014
Pada Pasien Stroke Yang Mengalami Afasia Motorik Di
Rsud Tugurejo Semarang
10 Proposal karya tulis ilmiah aplikasi riset Pemberian terapi 2016

aiueo terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke


yang mengalami afasia motorik di rsud salatiga

7
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini menggambarkan tentang literature review dengan judul Speech
And Language Therapy For Aphasia Following Stroke Berdasarkan literature
screenning, ditemukan 2 tema yakni tentang terapi AIUEO, Terapi The Token Test.
Berikut ini akan membahas keuntungan dan kelemahan dari masing-masing metode
terapi berbicara.

Stroke menyebabkan perubahan fisik, psikologis dan sosial untuk pasien, yang
semuanya menyebabkan frustrasi dan ketakutan baik untuk dirinya sendiri dan
anggota keluarga mereka. Penyesuaian terhadap perubahan yang terkait dengan
stroke melibatkan penghubungan dengan berbagai kerugian (bandingkan Benoliel,
1971). Stroke dapat mengakibatkan, misalnya, pada gangguan kognisi, persepsi,
mobilitas dan komunikasi (Bernspa ng et al., 1988; Hamrin & Lindmark, 1990).
Konsekuensi stroke mempengaruhi aktivitas sehari-hari, termasuk berkomunikasi.
Terkadang istilah afasia.
Aphasia adalah cacat dalam penggunaan bahasa, yang mungkin terjadi dalam
pemahaman, ekspresi, pembacaan atau penulisan, namun biasanya mempengaruhi
keempatnya. Dengan demikian, dapat mengambil bentuk yang berbeda dan bervariasi
dalam tingkat keparahannya. Ini adalah hasil disfungsi di belahan otak serebral yang
dominan. Penyebab afasia tersering adalah stroke. Kira-kira sepertiga dari semua
orang yang memiliki stroke dapat mengakibatkan aphasia (Taylor-Sarno, 1991; Parr
dkk, 1997. Kesulitan dengan komunikasi bisa membuat lebih sulit bagi Anda untuk
mendapatkan informasi dan dapat mempengaruhi hubungan sosial, kemandirian dan
kepercayaan diri Anda. Sehingganya memerlukan terapi lebih lanjut bila Anda sudah
meninggalkan rumah sakit maka dokter umum Anda dapat merujuk Anda ke terapi
bahasa.
Pengelolaan dan rehabilitasi pada afasia dengan terapi bicara dan bahasa (SLT)
adalah untuk memaksimalkan kemampuan individu untuk berkomunikasi. Terapi

8
bicara dan bahasa biasanya bertanggung jawab atas penilaian, diagnosis dan, jika
sesuai, rehabilitasi of aphasia timbul sebagai tanda dan gejala stroke. Kemampuan
untuk berhasil mengkomunikasikan pesan melalui modalitas lisan, tulisan atau non-
verbal (atau kombinasi dari ini) dalam sehari-hari untuk dapat berinteraksi dan
berkomunikasi. Perkembangan terakhir membuat pidato dan bahasa, dan dalam
kemitraan dengan keluarga dan perawat mereka untuk memaksimalkan komunikasi
fungsional individu. Tidak ada perawatan yang diterima secara universal yang dapat
diterapkan pada setiap pasien dengan aphasia dan terapis memilih dari berbagai
metode untuk mengelola dan memfasilitasi rehabilitasi. Dan terpi yang dapat
dilakukan yaitu Terapi AIUEO dan Terapi the Token Test
4.1. Terapi AIUEO
Salah satu bentuk terapi rehabilitasi pada pasien dengan afasia adalah dengan
memberikan terapi AIUEO. Terapi AIUEO bertujuan untuk memperbaiki ucapan
supaya dapat dipahami oleh orang lain. Orang yang mengalami gangguan bicara atau
afasia akan mengalami kegagalan dalam berartikulasi. Artikulasi merupakan proses
penyesuaian ruangan supraglottal. Penyesuaian ruangan didaerah laring terjadi
dengan menaikkan dan menurunkan laring, yang akan mengatur jumlah transmisi
udara melalui rongga mulut dan rongga hidung melalui katup velofaringeal dan
merubah posisi mandibula (rahang bawah) dan lidah. Proses diatas yang akan
menghasilkan bunyi dasar dalam berbicara (Yanti, 2008).
Metode yang digunakan dalam terapi AIUEO yaitu dengan metode imitasi, di
mana setiap pergerakan organ bicara dan suara yang dihasilkan perawat diikuti oleh
pasien. Bunyi yang dihasilkan oleh adanya getaran udara yang diterima oleh saraf
pendengaran. Melalui saraf pendengaran, rangsangan diterima dan diolah sebagai
informasi (Gunawan, 2008, hlm.56). Informasi yang didapat dari hemisfer akan
diteruskan ke area asosiasi auditif, di mana area asosiasi auditif ini dapat dianggap
sebagai pusat identifikasi kata atau area wernicke. Suara yang telah diidentifikasi
sebagai simbol bahasa akan diteruskan ke area asosiasi visual, di mana area ini

9
berfungsi sebagai tempat terjadinya pengenalan atau identifikasi simbol bahasa.
Proses tersebut akan diterima sampai kepusat pendengaran yang berfungsi
menggerakkan otot bicara untuk mengucapkan bunyi tersebut. Otot bicara dalam hal
ini yaitu bibir, lidah, dan velum yang akan memproduksi suara atau bunyi vokal,
suku kata, atau kata yang dihasilkan (Lumbantobing, 2006, hlm.156- 159).
Hasil penelitian Wardhana (2011), menunjukkan ada pengaruh terapi AIUEO
terhadap kemampuan bicara pasien stroke yang mengalami afasia motorik. Penderita
stroke yang mengalami kesulitan bicara dapat diberikan terapi Pelaksanaan metode
penempatan fonetik ini menuntut pasien untuk memperhatikan gerak dan posisi
organ bicara, sehingga pasien mampu mengendalikan pergerakan organ bicara untuk
membentuk atau memproduksi bicara yang benar. Dari hasil penelitian yang
dialkukan oleh Agus G, Haryanto dan Kusuma (2014) dilejaskan bahwa dalam
memberikan terapi AIUEO dilakukan dalam 2 kali sehari dalam 7 hari. Hal ini dalam
memberikan treatment dengan sesering mungkin dapat meningkatkan kemampuan
bicara.

Teknik AIUEO yaitu dengan cara menggerakkan otot bicara yang akan
digunakan untuk mengucapkan lambang-lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan
pola-pola standar, sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal ini disebut dengan
artikulasi organ bicara. Pengartikulasian bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh
koordinasi tiga unsur, yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi
(tenggorokan dengan pita suara), dan unsur yang beresonansi (rongga penuturan:
rongga hidung, mulut dan dada) (Gunawan, 2008).
Latihan pembentukan vokal terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas
keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam sistem fomen bahasa indonesia, vokal
terdiri dari A, I, U, E, dan O. Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan
adalah letak dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum)
(Gunawan, 2008, hlm.72-74). Hal ini juga diperkuat Wiwit (2010, hlm.49), pasien
stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi, salah satunya dapat

10
ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk menggerakkan lidah, bibir, otot wajah dan
mengucapkan kata-kata

Menurut Haryanto (2014) terapi AIUEO merupakan terapi yang sangat simple,
tidak membutuhkan alat/media yang digunakan. Dibandingkan dengan terapi lain
yang digunakan untuk pasien afasia, terapi AIUEO yang tidak menggunakan
alat/media. Dengan kelebihan itu perawat bisa melakukan terapi AIUEO sebagai
intervensi keperawatan, karena perawat berada 24 jam di samping pasien. Hasil
penelitian Haryanto (2014) menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi AIUEO
terhadap kemampuan berbicara pada penderita stroke yang mengalami afasia
motorik.

Menurut Gunawan, 2008 Kekurangan terapi AIUEO hanya menggunakan pola


atau lambang yang sederhana yaitu Teknik yang diajarkan pasien afasia adalah
menggerakkan otot bicara yang akan digunakan untuk mengucapkan lambang-
lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar, sehingga dapat
dipahami oleh pasien.

4.2. Terapi The Token Test

Terapi wicara merupakan suatu proses rehabilitasi pada penderita gangguan


komunikasi sehingga penderita gangguan komunikasi mampu berinteraksi dengan
lingkungan secara wajar dan tidak mengalami gangguan psikososial. Terapi wicara
merupakan terapi yang difokuskan pada penderita stroke yang mengalami gangguan
komunikasi atau gangguan pada bahasa dan berbicara (Rodiyah, 2012,). Terapi lain
yang bisa mengatasi pasien dengan afasia adalah the token test. Terapi the token test
adalah terapi dengan instruksi yang bervariasi dan dengan tahapan kesulitan yang
berjenjang, responden harus memberikan respons sikap tubuh dengan memberikan
objek atau materi tes (Meinzer, 2000, hlm.109). Terapi ini bertujuan untuk mengukur
kemampuan berbahasa penderita melalui modalitas verbal maupun grafis. Instruksi
yang bervariasi dan dengan tahapan kesulitan yang berjenjang, penderita harus
11
memberikan respons sikap tubuh dengan mempergunakan objek/materi test tersebut
terdiri dari 2 buah bentuk, 2 buah ukuran dan 5 macam warna. Berdasarkan hasil test
ini dapat diketahui tingkat kemampuan reseptif penderita (Setyono, 2000, hlm.109).

Pemberian latihan komunikasi terhadap kemampuan fungsional komunikasi di


atas telah banyak dikembangkan oleh beberapa peneliti. Hasil penelitian oleh Bhogal,
Teasell, Foley dan Speechley (2004) yang menggunakan kartu gambar dalam latihan
wicara pada afasia selama 30 jam yang dilakukan selama 10 hari menunjukkan
peningkatan dalam kemampuan berbahasa, penamaan, dan pemahaman berbahasa
yang dievaluasi dengan tes wicara (Token Test)

Hal ini juga di jelaskan dalam jurnal Stroke Helpline bahwa jika pasien
mengalami kesulitan untuk menemukan kata-kata yang ingin dikatakan (ekspresif
afasia) terapi ini dapat mempraktikkan penamaan gambar, menilai apakah kata-kata
sajak atau mengulang kata-kata yang dikatakan oleh terapis. Terapis ini mungkin
memberi petunjuk, misalnya membuat suara pertama dari sebuah kata atau menulis
surat pertama. Mereka mungkin juga menunjukkan benda yang dapat disentuh dan
dilihat saat mengucapkan nama gambar. Jika pasien mengalami kelemahan pada otot
mulut, maka pasien dapat melakukan latihan untuk membantu meningkatkan
kekuatan otot mulut. Terapis bicara dan bahasa mungkin juga memberi saran pada

12
penentuan posisi tubuh dan dimana lidah, bibir dan rahang harus berjalan saat
menghasilkan suara tertentu.
Terapi The Token Test diberikan untuk terapi pasien afasia, dengan
memberikan 2 buah bentuk benda, 2 buah ukuran, dan 5 macam warna lalu pasien
akan mengucapkan benda, ukuran, dan warna berulang sampai 3 kali selama 3 hari.
Terapi yang dilakukan dengan tindakan the token test digunakan untuk mengetahui
sejauh mana perkembangan bicara pada pasien dengan afasia motorik (Setyono,
2000, hlm.109). Terapi the token test menggunakan low technology (tanpa
menggunakan elektronik), seperti papan komunikasi yang berisi gambar/ simbol dan
tulisan berisi gambar, kertas, kartu gambar, dan simbol yang dapat ditunjuk oleh
pasien.

Namun Terapi the token test ini lebih sulit diterima oleh responden, karena
pusat berbahasa berada pada area broca dan wernick. Kedua pusat ini berhubungan
erat, sehingga memungkinkan responden meniru apa yang diucapkan oleh peneliti.
pada lobus parietalis kiri pada perbatasan dengan lobus oksipitalis, terdapat pusat
ingatan benda-benda yang menyimpan nama benda bersangkutan, sehingga bila
terjadi kerusakan akan terjadi kehilan daya ingat nama benda yang dilihat. Pada
kerusakan di daerah perbatasan lobus oksipitalis dengan lobus temporalis, responden
tetap tidak dapat mengatakan nama benda yang diperlihatkan, meskipun diberikan
bantuan dengan memberi suku kata nama benda tersebut (Markam, 2009, hlm.71).
Namun Terapi ini bisa mengatasi pasien dengan afasia adalah the token test,
kelebihan terapi untuk mengukur kemampuan berbahasa penderita melalui modalitas
verbal maupun grafis. Instruksi yang bervariasi dan dengan tahapan kesulitan yang
berjenjang, penderita harus memberikan respons sikap tubuh dengan mempergunakan
objek/materi test tersebut terdiri dari 2 buah bentuk, 2 buah ukuran dan 5 macam
warna. Berdasarkan hasil tes ini dapat diketahui tingkat kemampuan reseptif
penderita (Setyono, 2000, hlm.109)

13
Jadi berdasarkan kajian literature diatas bahwa Teknik yang diajarkan pada
pasien dengan afasia adalah menggerakkan otot bicara yang akan digunakan untuk
mengucapkan lambang- lambang bunyi bahasa yang sesuai dengan pola-pola standar,
sehingga dapat dipahami oleh pasien. Hal ini disebut artikulasi organ bicara.
Pengartikulasian bunyi bahasa atau suara akan dibentuk oleh koordinasi tiga unsur
yaitu unsur motoris (pernafasan), unsur yang bervibrasi (tenggorokan dengan pita
suara), dan unsur yang beresonansi (rongga hidung, mulut, dan dada) (Gunawan,
2008, hlm.18).

Latihan pembentukan vokal terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas
keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam sistem fomen bahasa indonesia, vokal
terdiri dari A, I, U, E, dan O. Dalam pembentukan vokal yang penting diperhatikan
adalah letak dan bentuk lidah, bibir, rahang, dan langit-langit lembut (velum)
(Gunawan, 2008, hlm.72-74). Hal ini juga diperkuat Wiwit (2010, hlm.49), pasien
stroke yang mengalami gangguan bicara dan komunikasi, salah satunya dapat
ditangani dengan cara terapi AIUEO untuk menggerakkan lidah, bibir, otot wajah dan
mengucapkan kata-kata. Terapi AIUEO dilakukan dalam 2 kali sehari dalam 7 hari.
Hal ini dalam memberikan treatment dengan sesering mungkin dapat meningkatkan
kemampuan bicara.

Latihan terapi the token test lebih sulit diterima oleh responden, karena pusat
berbahasa berada pada area broca dan wernick. Kedua pusat ini berhubungan erat,
sehingga memungkinkan responden meniru apa yang diucapkan oleh peneliti. Di
lobus parietalis kiri pada perbatasan dengan lobus oksipitalis, terdapat pusat ingatan
benda-benda yang menyimpan nama benda bersangkutan, sehingga bila terjadi
kerusakan akan terjadi kehilangan daya ingat nama benda yang dilihat. Pada
kerusakan di daerah perbatasan lobus oksipitalis dengan lobus temporalis, responden
tetap tidak dapat mengatakan nama benda yang diperlihatkan, meskipun diberikan
bantuan dengan memberi suku kata nama benda tersebut (Markam, 2009, hlm.71).
terapi the token test Terapi the token test diberikan untuk terapi pasien afasia, dapat
14
dilakukan sampai 3 kali selama 3 hari. Terapi yang dilakukan dengan tindakan the
token test digunakan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan bicara pada
pasien dengan afasia motorik

Responden lebih efektif diberikan terapi AIUEO karena responden lebih mudah
untuk menirukan pembentukan vokal, gerak lidah bibir, rahang, sedangkan jika
diberikan terapi the token test responden kesulitan untuk menyebutkan benda yang
ditunjukkan oleh perawat.

15
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1. SIMPULAN
1. TERAPI AIUEO
Latihan pembentukan vokal terjadi dari getaran selaput suara dengan nafas
keluar mulut tanpa mendapat halangan. Dalam sistem fomen bahasa
indonesia, vokal terdiri dari A, I, U, E, dan O.
2. Terapi The Token Test diberikan untuk terapi pasien dengan afasia, dengan
memberikan 2 buah bentuk benda, 2 buah ukuran, dan 5 macam warna lalu
pasien akanmengucapkan benda, ukuran, dan warna berulang sampai 3 kali
selama 3 hari
4.2. SARAN
1. Bagi Program Studi
Dengan literatur review ini diharapkan dapat memeberikan informasi terkait
penbagian terapi bicara pada pasien stroke
2. Bagi Rumah Sakit
Dapat dijadikan acuan oleh perawat dalam melakukan terapi bicara pada
pasien stroke.

16
DAFTAR PUSTAKA
Stroke Helpline.2012 https://www.jsmf.org/meetings/2008/may/West%202008.pdf.
Pada tanggal 20 oktober 2017

Kelly H, Brady, Enderby P. 2010


https://cora.ucc.ie/bitstream/handle/10468/1418/Speech_and_language_therapy
_for_aphasia_following_stroke_2010.pdf?sequence. Cochrane Collaboration.
Pada tanggal 20 oktober 2017

West C, Bowen A, Hesketh A, VailA.2008.


http://www.stroke.org.uk/sites/default/files/F14_Speech%20and%20lanuage%2
0therapy_1.pdf. Cochrane Collaboration. Pada tanggal 20 oktober 2017

Haryanto G, Dody S, Muslim A, Kusuma,2014


Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Articlepengaruhterapaiueoterha
dap0kemampuanbicarapadapasienstrokeyangmengalamiafasiamotorikdirsudtug
urejo. Semarang. Pada tanggal 20 oktober 2017

Ita Sofiatun, Sri Puguh Kristiyawati, purnomo,2012 . diakses di


Http://Download.Portalgaruda.Org/Article.Php?Article=393106&Val=6378&Ti
tle=Pengaruh%20terapi%20aiueo%20terhadap%20kemampuan%20bicara%20p
ada%20pasien%20stroke%20yang%20mengalami%20afasia%20motorik%20%
20di%20rsud%20tugurejo%20. Semarang. Pada tanggal 20 oktober 2017
Ulfa SM. 2016. diakses di http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id/files/disk1/39/01-
gdl-sitimaryau-1920-1-kti_siti-a.pdf . Surakarta Pada tanggal 23 oktober 2017
Journal of Clinical Nursing 2000 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11261127.
Pada tanggal 23 oktober 2017
Amila1, Sitorus, Herawati. 2013
http://jkp.fkep.unpad.ac.id/index.php/jkp/article/view/61 Pada tanggal 20
oktober 2017

17
Stroke Helpline.2012. https://www.stroke.org.uk/what-stroke/common-problems-
after-stroke/communication-problems. Pada tanggal 20 oktober 2017
Peter Langhorne, Julie Bernhardt, Gert Kwakk. 2012.
https://www.researchgate.net/publication/266554272_Stroke_Care_2Stroke_rh
abilitation Pada tanggal 20 oktober 2017

18

Anda mungkin juga menyukai