Pendahuluan
neurologis maupun gangguan perilaku anak, terutama pada anak Cerebral Palsy.
Cerebral Palsy adalah istilah untuk sekelompok gangguan neurologis dengan
penyebab pada daerah sistem saraf pusat, terutama di pusat-pusat kontrol motor,
dapat terjadi saat prenatal, natal dan post natal sebelum koordinasi dasar sistem otot
tercapai itu bersifat kronis, dan dapat mengakibatkan berbagai cacat termasuk tonus
otot yang abnormal, kesalahan koordinasi, atau posisi abnormal, keterlibatan
penambahan posisi dapat terjadi pada daerah intelektual, persepsi, pendengaran,
bicara dan bahasa, atau fungsi emosional (Nicolosi, Harryman & Kreschek, 2004).
Diperkirakan lebih dari 100.000 orang Amerika berusia dibawah 18 tahun
mengalami berbagai tingkat neurologic disability hingga Cerebral Palsy. Hampir
25% orang yang terdeteksi Cerebral Palsy yang terdaftar di Perancis dan Inggris
tidak dapat berjalan (meski dengan dibantu sekalipun), dan 30% mengalami
keterbelakangan mental (mentally retardated). Berdasarkan perkiraan Advisory
Council dari National Institute of Neurological Disorder and Stroke, total biaya
rutin yang dihabiskan oleh orang-orang yang menderita Cerebral Palsy sebesar 5
milyar dollar. Penderitaan secara emosional dan kehilangan kesempatan, juga
dialami oleh keluarga penderita Cerebral Palsy (Kuban, 1994).
Menurut ilmu terapi wicara, gangguan bicara yang disebabkan karena
gangguan neuromuskuler disebut dengan istilah disartria. Menurut Dharmaperwira
(1996) disartria adalah gangguan bicara yang disebabkan karena adanya cedera
neuromusculer. Disartria terbagi menjadi beberapa klasifikasi, salah satunya yaitu
disartria flasid. Disartria flasid pada umumnya memiliki kelemahan pada anggota
geraknya, dan juga terdapat permasalahan di artikulasi. Permasalahan pada
artikulasi disebabkan karena terdapat kelemahan pada organ artikulator dan
kurangnya koordinasi otot-otot organ bicara.
Penelitian yang dilakukan oleh Wu, Xing, Afflix, Danielson, Smith, dan
Gilbert dalam Maimunah (2013), di California memberikan gambaran yang lebih
jelas tentang prevalensinya, yaitu bahwa bahwa dari 6.221.001 kelahiran hidup di
California pada tahun 1991-2001, 8397 anak-anak terlahir dengan Cerebral Palsy.
Prevalensi secara keseluruhan dapat diketahui yaitu 1,4 per 1000 kelahiran hidup.
Hampir 63% dari kasus Cerebral Palsy menunjukkan tipe spastic atau dyskinetic.
Prosentase paling banyak (distribusi umum) ada pada Quadriplegia, yang diikuti
oleh paraplegia dan hemiplegia. Tiga-perempat dari kasus dikategorikan sebagai
cukup parah atau berat.
Di Indonesia, angka kejadian Cerebral Palsy belum dapat dikaji secara pasti.
Menurut Soetjiningsih dalam Maimunah (2013), prevalensi penderita Cerebral
Palsy diperkirakan sekitar 1-5 per 1.000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat badan lahir
rendah dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi
pada multipara. Menurut Widodo dalam Maimunah (2013), prevalensi Cerebral
Palsy mencapai 476.905 dari jumlah populasi penduduk sebanyak 238.452.952
jiwa. Cerebral palsy, terjadi pada satu sampai dua dari seribu bayi, tetapi 10 kali
lebih sering ditemukan pada bayi prematur dan sering ditemukan pada bayi yang
sangat kecil. Data ini menunjukan jumlah angka yang cukup signifikan pada
penderita gangguan Cerebral Palsy, sehingga perlu mendapat perhatian dan
intervensi sejak dini.
mahasiswa tentang
Bab II
Tinjauan Pustaka
A. Definisi dan Pengertian
Menurut Nicolosi, Harryman & Kreschek (2004) Cerebral Palsy adalah
istilah untuk sekelompok dengan gangguan neurological dengan etiologi pada
sistem saraf pusat, terutama di pusat-pusat control motor, dapat terjadi sebelum
kelahiran (prenatal), saat melahirkan (perinatal), atau setelah kelahiran (postnatal)
sebelum sistem koordinasi otot dasar tercapai, hal ini bersifat kronis, dan dapat
mengakibatkan berbagai kecacatan termasuk otot yang abnormal, koordinasi gerak
yang salah, atau posisi yang tidak normal, kecacatan penyerta dapat terjadi dalam
intelektual, persepsi, pendengaran, bicara dan bahasa, atau fungsi emosional.
Cerebral Palsy (CP) adalah gangguan pada sistem saraf pusat yang bersifat nonprogresif yang dapat diakibatkan karena faktor genetik, gangguan pada saat masa
prenatal, perinatal, postnatal, infeksi atau trauma (Weiss et al., 1987). Menurut
Abdul Latief,. Et.al (1985) Cerebral Palsy ialah suatu keadaan kerusakan jaringan
otak yang kekal dan tidak progresif, terjadi pada waktu masih muda (sejak
menelan,
dan
pergerakkan
rahang
dan
lidah
juga
dapat
dapat
disebabkan
racun,
alkohol
(penyakit
a. Spastic Paralysis : Hal ini merupakan kelompok terbesar (290 kasus). Jenis
paling umum dari Spastik Paralysis
kasus) atau paraplegia (90 kasus). Istilah diplegia telah banyak digunakan untuk
menutupi salah satu atau kedua kondisi ini. Symmetrical quadri- plegia dan
paraplegia telah dipertimbangkan secara terpisah, tetapi perbedaan antara mereka
adalah salah satu yang berubah-ubah, banyak quadriplegia memiliki lesi hampir
tak terlihat dari tungkai atas.
b. Ataxia ., menunjukkan tremor, hipotonia otot, dan respon plantar fleksor . Tandatanda cerebellar lain, seperti nistagmus dan berbicara sepintas, tidak hadir
didalam kasus kami .
c. Flacid Cerebral Palsy. Menunjukkan tungkai yang lembek dan sentakan tendon
berkurang ; tanda-tanda lain , seperti distribusi paresis , tanggapan plantar , yang
seperti yang terlihat di quadriplegia spastik
Disartria bukanlah gangguan yang seragam., setiap pasien memperlihatkan
perbedaan perbedaan yang besar. Akan tetapi memang pasien pasien yang
mengalami gangguan yang semacam, yang berkaitan dengan lesi (cedera) tertentu di
sistem saraf, memperlihatkan macam disartria yang serupa :
sebuah rumpun
kelainan pada satu atau lebih dari satu komponen kelakuan bicara.
a. Disartria Bulber
Hipernasalitas pada disartria bulber adalah ciri yang paling nampak dibanding
sindrom-sindrom disartria lain. Walaupun konsonan tidak tepat, merupakan ciri
yang kedua pada sindrom-sindrom disartria lain, hal ini lebih menonjol.
Konsonan tidak tepat yang terjadi tidak akan mengakibatkan kejelasan bicara
yang buruk. Terjadi angin liar, peniupan-peniupan nasal dan pengambilan nafas
yang berbunyi.
b. Disartria Miogen
Kekurangan tenaga ketika berbicara paling nampak pada disartria miogen.
Konsonan-konsonan tidak tepat menjadi ciri kedua, tetapi disini tidak
mengakibatkan kekurangan kejelasan bicara karena bicara yang pelan dan
lemas maupun spastis. Pada ALS hal tersebut akhirnya mengakibatkan gangguan
yang parah pada artikulasi konsonan dan vokal, produksi kata yang sulit, pelan
dan monoton dalam kalimat-kalimat yang pendek, suara yang serak rendah
terperas. Dengan demikian kejelasan bicara sangat buruk. Selain itu akan
berkembang kesulitan menelan yang parah. Pada Multiple Sclerose(MS), tidak
semua pasien mengalami disartria. Jika disertai disartria biasanya serebelum
turut terlibat, tetapi mungkin juga neuron motoris bawah atau atas. Maka disatria
yang timbul kebanyakan akan ataktis dengan elemen-elemen disartria spastis
atau disatria lemas. Kelainan-kelainan bicara yang paling khas untuk MS
biasanya adalah gangguan pengontrolan kekerasan suara, suara serak, dan
gangguan artikulasi. Terkadang timbul gangguan prosodi (tekanan dan intonasi),
hipernasalitas, dan angin liar. Jika neuron motoris bawah turut terkena, dapat
terjadi berbagai macam gangguan menelan, tergantung dari syaraf otak mana
yang terkena(Dharmaperwira-Prins, 1996).
D. Prevalensi
Diperkirakan lebih dari 100.000 orang Amerika berusia dibawah 18 tahun
mengalami berbagai tingkat neurologic disability hingga Cerebral Palsy. Hampir
25% orang yang terdeteksi Cerebral Palsy yang terdaftar di Perancis dan Inggris
tidak dapat berjalan (meski dengan dibantu sekalipun). (Kuban, 1994).
Penelitian yang dilakukan oleh Wu, Xing, Afflix, Danielson, Smith, dan
Gilbert dalam Maimunah (2013), di California memberikan gambaran yang lebih
jelas tentang prevalensinya, yaitu bahwa bahwa dari 6.221.001 kelahiran hidup di
California pada tahun 1991-2001, 8397 anak-anak terlahir dengan Cerebral Palsy.
Prevalensi secara keseluruhan dapat diketahui yaitu 1,4 per 1000 kelahiran hidup..
Di Indonesia, angka kejadian Cerebral Palsy belum dapat dikaji secara pasti.
Menurut Soetjiningsih dalam Maimunah (2013), prevalensi penderita Cerebral
Palsy diperkirakan sekitar 1-5 per 1.000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak
daripada perempuan. Angka kejadiannya lebih tinggi pada bayi berat badan lahir
rendah dan kelahiran kembar. Umur ibu seringkali lebih dari 40 tahun, terlebih lagi
pada multipara. Menurut Widodo dalam Maimunah (2013), prevalensi Cerebral
Palsy mencapai 476.905 dari jumlah populasi penduduk sebanyak 238.452.952 jiwa.
E. Prognosis Teoritik
Menurut Duffy (2005), prognosis untuk kesembuhan pada sebuah gangguan
bicara yaitu baik jika usia pasien masih muda, gejala gejala yang dimiliki
merupakan sebuah serangan yang baru dimiliki dan bukan gejala yang kadang ada
atau kadang hilang, munculnya kejadian dapat diidentifikasi dengan cepat, kondisi
kesehatan sebelumnya baik, tidak adanya psychopathology yang serius, serta pasien
memiliki beberapa kejadian yang lebih parah daripada kondisi yang dimilikinya saat
ini.
Menurut Abdul Latief., et al (1985), prognosis penderita Cerebral Palsy
dengan gejala motorik yang ringan adalah baik; makin banyak gejala penyertanya
dan makin berat gejala motoriknya, makin buruk prognosisnya.
F. Metode Terapi
1. Oral motor exercise
a. Sumber metode
Debra C. Gangale(2001) dalam bukunya yang berjudul The Source
for Oral-Facial Exercises Updated & Expanded.
b. Dasar Pemikiran
The Source for Oral-Facial Exercises Updated & Expanded
mencakup segala sesuatu yang diperlukan untuk mengevaluasi klien yang
mengalami gangguan oral-facial dan diimplementasikan dalam program
terapi.
c. Tujuan Metode
Metode ini bertujuan untuk meningkatkan penggunaan otot untuk
menelan, artikulasi dan suara, meningkatkan ketepatan gerakan oral untuk
makan dan minum, dan meningkatkan kejelasan berbicara melalui
perencanaan motorik.
d. Langkah-langkah
Langkah-langkah yang diterapkan dalam intervensi oral motor, yaitu
melakukan massage bibir dan pipi, massage intra-oral, latihan bibir, facial
massage, peregangan leher dan rahang.
2. Motokinesthetic
a. Sumber Metode
Metode motokinesthetic berasal dari buku Clinical Management Of
Articulatory And Phonologic Disorder (1987) karya dari Curtis E. Weiss,
Marrye. Gordon dan Herold S. Lilywhite.
b. Dasar Pemikiran
yaitu
untuk
mencegah
mengeluhkan bicara klien yang belum jelas. Berdasarkan tes artikulasi yang
dilakukan pada tanggal 7 februari 2015 dapat diketahui bahwa klien
mengalami penghilangan suku kata awal di semua kata yang di teskan
kepada klien, yaitu manga menjadi ngga, jerapah menjadi apah, balon
menjadi alon, kambing menjadi mbing, kelinci menjadi inci, tikus menjadi
kus, katak menjadi tak, gajah menjadi jah, bedug menjadi dug, yoyo menjadi
yo, gayung menjadi yung, leci menjadi ci, salak menjadi lak, manggis
menjadi nggis, cicak menjadi cak, jambu menjadi mbu, anjing menjadi njing,
nyamuk menjadi muk, pizza menjadi za, vespa menjadi pa. berdasarkan tes
oral facial yang telah dilakukan pada tanggal 7 februari 2015 dapat diketahui
bahwa klien mengalami kelemahan pada bibir dan rahang. Klien tidak
memiliki permasalahan pada aspek bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.
b. Riwayat Kondisi Dahulu
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi
bahwa:
1) Riwayat prenatal
Usia ibu ketika mengandung klien yaitu usia 25 tahun. Usia
kandungan ibu klien yaitu 9 bulan 10 hari. Ibu klien tidak mengalami
jatuh ataupun kecelakaan ketika mengandung. Ibu klien rutin periksa
kandungan ke Dokter dan rutin mengkonsumsi vitamin dari Dokter.
2) Riwayat natal
Klien lahir melalui persalinan normal. Kelahiran Klien cukup
bulan yaitu 9 bulan 10 hari. Klien lahir dengan kepala dahulu dan tidak
seperti tas, tv, kursi, mobil,motor, bola, buku, pensil, baju, piring, gelas. Klien
mampu memahami dan menamai 8 anggota tubuh yaitu kepala, rambut, mata,
hidung, mulut, telinga, tangan, kaki. Hasil tes untuk bahasa reseptif yaitu dengan
menggunakan ACLC dan bahasa ekspresif dengan menggunakan Expressive
One Word belum didapatkan karena kondisi anak yang tidak kooperatif.
2. Sindroma yang berhubungan dengan kemampuan Wicara
Berdasarkan hasil tes artikulasi yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa Berdasarkan tes artikulasi yang dilakukan pada tanggal 7 februari 2015
dapat diketahui bahwa klien mengalami penghilangan suku kata awal di semua
kata yang di teskan kepada klien, yaitu manga menjadi ngga, jerapah menjadi
apah, balon menjadi alon, kambing menjadi mbing, kelinci menjadi inci, tikus
menjadi kus, katak menjadi tak, gajah menjadi jah, bedug menjadi dug, yoyo
menjadi yo, gayung menjadi yung, leci menjadi ci, salak menjadi lak, manggis
menjadi nggis, cicak menjadi cak, jambu menjadi mbu, anjing menjadi njing,
nyamuk menjadi muk, pizza menjadi za, vespa menjadi pa.
Berdasarkan hasil tes oral facial yang telah dilakukan dapat diketahui
bahwa klien mengalami kelemahan pada bibir seperti protusi bibir, dan
kelemahan pada rahang seperti buka tutup rahang. Berdasarkan hasil evaluasi
wajah dapat diketahui bahwa kesimetrisan normal, gerakan abnormal tidak ada,
tidak menggunakan pernafasan mulut tetapi menggunakan pernafasan dada.
Berdasarkan evaluasi gigi diketahui bahwa hubungan gigi geraham normal,
hubungan gigi taring normal, gigi semua ada, susunan gigi normal, dan
kebersihan gigi tergolong bersih. Berdasarkan evaluasi lidah diketahui warna
lidah normal, gerakan abnormal tidak ada, ukuran lidah normal, dan frenum
normal, sedangkan untuk gerakan mengeluarkan lidah, menarik lidah,
menggerakan lidah ke kanan dan kiri klien jangkauannya normal tetapi untuk tes
kekuatan lidah tidak dapat dilakukan karena kondisi anak yang tidak kooperatif.
Berdasarkan evaluasi faring diketahui warna faring normal, tonsil normal.
Berdasarkan evaluasi langit langit keras dan langit langit lunak diketahui
bahwa warna normal, rugae ada, tinggi langit langit normal, lebar langit
langit normal, growths tidak ada, fistula tidak ada, kesimetrisan saat istirahat
menjalani terapi wicara di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Terapis wicara kemudian
melakukan assesmen terhadap kondisi klien yang kemudian didapatkan hasil bahwa
klien mengalami gangguan pada fungsi organ bicara yaitu kelemahan pada bibir,
rahang dan lidah, lalu klien mulai menjalani intervensi terapi wicara di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu, diketahui klien mengalami asfiksia
pada proses kelahiran yang dilakukan secara normal. Van Riper (1984) menyatakan
bahwa penyebab Cerebral Palsy pada fase kelahiran adalah asfiksia.
Penulis menduga bahwa gangguan yang dialami klien disebabkan karena klien
mengalami asfiksia pada proses kelahiran. Tersebut diperkuat oleh Miller dan
Bachrach (2006) penyebab Cerebral Palsy yaitu asfiksia pada fase natal.
Sindroma yang berhubungan dengan wicara, Berdasarkan hasil tes artikulasi
yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa Berdasarkan tes artikulasi yang
dilakukan pada tanggal 7 februari 2015 dapat diketahui bahwa klien mengalami
penghilangan suku kata awal di semua kata yang di teskan kepada klien, yaitu
manga menjadi ngga, jerapah menjadi apah, balon menjadi alon, kambing menjadi
mbing, kelinci menjadi inci, tikus menjadi kus, katak menjadi tak, gajah menjadi
jah, bedug menjadi dug, yoyo menjadi yo, gayung menjadi yung, leci menjadi ci,
salak menjadi lak, manggis menjadi nggis, cicak menjadi cak, jambu menjadi mbu,
anjing menjadi njing, nyamuk menjadi muk, pizza menjadi za, vespa menjadi pa.
Berdasarkan
bahwa klien mengalami kelemahan pada bibir seperti protusi bibir, dan kelemahan
pada rahang seperti buka tutup rahang. Berdasarkan hasil evaluasi wajah dapat
diketahui bahwa kesimetrisan normal, gerakan abnormal tidak ada, tidak
menggunakan pernafasan mulut tetapi menggunakan pernafasan dada. Berdasarkan
evaluasi gigi diketahui bahwa hubungan gigi geraham normal, hubungan gigi taring
normal, gigi semua ada, susunan gigi normal, dan kebersihan gigi tergolong bersih.
Berdasarkan evaluasi lidah diketahui warna lidah normal, gerakan abnormal tidak
ada, ukuran lidah normal, dan frenum normal, sedangkan untuk gerakan
mengeluarkan lidah, menarik lidah, menggerakan lidah ke kanan dan kiri klien
jangkauannya normal tetapi untuk tes kekuatan lidah tidak dapat dilakukan karena
kondisi anak yang tidak kooperatif. Berdasarkan evaluasi faring diketahui warna
faring normal, tonsil normal. Berdasarkan evaluasi langit langit keras dan langit
langit lunak diketahui bahwa warna normal, rugae ada, tinggi langit langit normal,
lebar langit langit normal, growths tidak ada, fistula tidak ada, kesimetrisan saat
istirahat normal, gangguan reflex normal. Resonansi klien terkesan normal.
Hal ini sesuai dengan pernyataan oleh Curtis E. Weiss (1989) dalam bukunya
Clinical Management of Articulation and Phonologyc Dysorders menyatakan
karakteristik dari Disartria diantaranya adalah: ketidaktepatan artikulasi, durasi
vokal yang pendek, perpanjangan pada fonem, rata-rata bicara yang lambat, cepat
atau tersentak-sentak, tidak dapat dipahami, artikulasi buruk atau tidak jelas,
susunan kata tidak tepat, organ artikulasi yang kurang terkontrol, suara parau, kasar
atau keras, breathiness, dan hipernasalitas.
1. Diagnosis
Klien mengalami kelemahan pada organ bicara yaitu pada bibir dan
rahang. Klien mengalami penghilangan suku kata awal pada kata. Diagnosis dari
klien adalah Disartria yang disebabkan karena Cerebral Palsy. Klien mengalami
kelemahan pada organ bicara.
2. Prognosis
Berdasarkan asset dan limitasi yang dimiliki, oleh klien, prognosis klien
adalah baik karena asset yang dimiliki klien lebih banyak daripada limitasi yang
dimiliki klien. Asset yang dimiliki klien antara lain,klien rutin menjalani terapi 2
kali dalam seminggu, keluarga mendukung penuh dalam proses terapi, klien
masih dalam tahap golden age yakni 3 tahun 3 bulan, cerebral palsy yang
dialami klien termasuk dalam tahap ringan, sedangkan untuk limitasinya klien
antara lain: klien kurang kooperatif dan mudah bosan saat terapi.
D. Perencanaan Terapi
Pada perencanaan terapi terdiri dari Tujuan Jangka Panjang/ Long Term Goal
(LTG) dan Tujuan Jangka Pendek/ Short Term Goal (STG)
1. Tujuan Jangka Panjang
a. Agar klien mampu meningkatkan pergerakan oral motor yang disengaja
sampai level fungsional .
b. Agar klien mampu meningkatkan kemampuan artikulasi
total pertemuan 9 kali pertemuan yakni dengan 8 kali terapi dan 1 kali terakhir
untuk evaluasi. Pada minggu pertama melakukan assessment (observasi, tes, dan
wawancara). Minggu selanjutnya melakukan pelaksanaan terapi kemudian untuk
akhir dilakukan evaluasi.
Pertemuan Pertama, dilakukan pada 09 Februari 2015. Tujuan pertama
untuk meningkatkan kemampuan pergerakan oral motor yang disengaja. Tujuan
kedua untuk meningkatkan kemampuan artikulasi. Klien memasuki ruang terapi
kemudian bersalaman dengan praktikan, sebelumnya proses terapi dimulai praktikan
mempersiapkan alat terapi. Sebelum proses terapi dimulai praktikan mengajak klien
untuk bermain terlebih dahulu. Kemudian
pergerakan oral motor yang disengaja pada mengatupkan bibir dan membuka
menutup rahang. Praktikan menggunakan baby oil untuk massage wajah klien,
kemudian praktikan memberi instruksi berupa mengatupkan bibir dilakukan
sebanyak 5 kali percobaan, lalu praktikan memberi instruksi buka tutup rahang
dilakukan sebanyak 5 kali percobaan. Jika klien mampu merespon dengan benar
praktikan memberikan reward berupa tos. Respon yang diharapkan klien mampu
melakukan pergerakan mengatupkan bibir dan buka tutup rahang sesuai dengan
instruksi yang diberikan praktikan. Tujuan kedua untuk meningkatkan kemampuan
artikulasi. Praktikan menggunakan flash card bergambar. Praktikan
memberi
instruksi kepada klien untuk memproduksi konsonan bilabial awal pada tingkat kata
sesuai dengan gambar yang diberikan.
memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat kata. Jika klien mampu
merespon dengan benar praktikan memberikan reward berupa tos.
Pertemuan kedua, Pertemuan kedua dilakukan pada 14 Februari 2015.
Tujuan pertama untuk meningkatkan kemampuan pergerakan oral motor yang
disengaja. Tujuan kedua untuk meningkatkan kemampuan artikulasi.
Klien
Respon yang
diharapkan klien mampu memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat
kata. Praktikan memberikan reward berupa pujian dan tepuk tangan jika klien
mampu merespon instruksi yang diberikan dengan benar
Pertemuan
Klien
untuk
memproduksi konsonan bilabial awal pada tingkat kata sesuai dengan gambar yang
diberikan.
bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat kata. Jika klien mampu merespon dengan benar
praktikan memberikan reward berupa tepuk tangan.
Pertemuan keempat, pertemuan keempat dilakukan pada 21 Februari 2015.
Tujuan pertama untuk meningkatkan kemampuan pergerakan oral motor yang
Klien
untuk
Respon yang
diharapkan klien mampu memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat
kata. Jika klien mampu merespon dengan benar praktikan memberikan reward
berupa tos dan pujian.
Pertemuan kelima, pertemuan kelima dilakukan pada 23 Februari 2015.
Tujuan pertama untuk meningkatkan kemampuan pergerakan oral motor yang
disengaja. Tujuan kedua untuk meningkatkan kemampuan artikulasi.
Klien
untuk
Klien
untuk
Respon yang
diharapkan klien mampu memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat
kata. Jika klien mampu merespon dengan benar praktikan memberikan reward
berupa tos dan pujian.
Pertemuan ketujuh, pertemuan ketujuh dilakukan pada 08 Maret
2015.
Klien
untuk
Respon yang
diharapkan klien mampu memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat
kata. Jika klien mampu merespon dengan benar praktikan memberikan reward
berupa tos dan tepuk tangan.
Pertemuan kedelapan, pertemuan kedelapan dilakukan pada 14 Maret 2015.
Tujuan pertama untuk meningkatkan kemampuan pergerakan oral motor yang
disengaja. Tujuan kedua untuk meningkatkan kemampuan artikulasi.
Klien
untuk
Respon yang
diharapkan klien mampu memproduksi konsonan bilabial /m/ awal, /b/ awal tingkat
kata. Jika klien mampu merespon dengan benar praktikan memberikan reward
berupa tos dan pujian.
Daftar Pustaka
Ardiawan, P. (2014). Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Kondisi Cerebral Palsy
yang Berusia 12 Tahun di Desa Plesungan Kecamatan Gondangrejo,
Kabupaten Karanganyar. Tugas Akhir Program Diploma III. Jurusan Terapi
Wicara. Politeknik Kesehatan Kementerian kesehatan Surakarta.
Asher, P., & Schonell, E., 1950. A Survey Of 400 Cases Of Cerebral Palsyin Childhood.
Department of Paediatrics and Child Health University of Birmingham and
the Birmingham Institute of Child Health
Dewanti, dkk.2012. Karakterisik Keterlambatan Bicara di Klinik Khusus Tumbuh
Kembang Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Tahun 2008-2009.Sari
Pediatri.Vol 14 (4),230-233.
Dharmaperwira, R., 1996. Disartria dan apraksia verbal. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Indonesia
Duffy, J. R., 2005. Motor Speech Disorder: Substrates, Differential Diagosis and
Management. United States of America: Elsevier Mosby.
Effendy, O. U. 2003. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gangale, D. C. 2001. The Source For Oral-Facial Exercises Updated & Expanded.
LinguiSystems.
Kuban, KCK., Leviton A. 1994. Cerebral Palsy.The New Journal of Medicine.
Latief, A., et. Al. 1985. Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Maimunah, C., 2013. Studi Eksploratif Perilaku Koping Pada Individu Dengan
Cerebral Palsy. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 1(01), Hal. 02
Nicolosi, L., Harryman., & Krescheck., 2004.
Terminology of Communication