Anda di halaman 1dari 2

Kader Militan di Era Milenial

Oleh : Azka Qotrunnada

Di tengah hiruk pikuk politik kekuasaan, di kalangan alumni melahirkan banyak


pertanyaan serius eksistensi PMII dengan notabene mahasiswa sebagai agen
perubahan. Banyak orang ragu atas eksistensi PMII sebagai organ kaderisasi
berbasis Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah dengan jargon dzikir, fikir, amal
shaleh ini selalu terseret oleh orientasi politik praktis, baik ditingkat kampus,
maupun di tingkat nasional. Dalam PMII, gerakan politik tidak mungkin dipisahkan
dari kehidupan warga pergerakan. Akan tetapi politik yang mana? Apakah politik
kaderisasi atau politik praktis hanya untuk mengejar kekuasaan dan jabatan tinggi?
Inilah yang menjadikan makna independensi PMII sebagai organisasi berbasis
pengembangan kader yang bermanhaj Ahlussunnah wal Jamaah Annahdliyah serta
aplikatif nilai-nilai dasar pergerakan semakin samar.
Sebetulnya esensi dari kaderisasi PMII bukanlah memasung kebebasan kader
untuk terjun dan terlibat langsung dalam politik praktis. Itu sah-sah saja dalam
strategi pengembangan organisasi, asal tidak semua gerakan yang dibangun
bernuansa politis dan piawai menjalankan siyasah dengan kembali pada
pembangunan independensi PMII sebagai organ kaderisasi yang di cita-citakan oleh
Mahbub Djunaedi. Kader PMII yang bermain dalam ranah politik praktis pun harus
sadar, mampu menempatkan organisasi sebagai ujung tombak dalam
pengembangan kaderisasi.
Ibarat kereta api, PMII terlalu banyak lokomotif dan minim gerbong yang
membawa beban penumpang. Pengibaratan ini mengacu pada sejumlah konflik
internal di tubuh PMII. Analoginya banyak kader tertarik memanfaatkan
kepentingan organisasi sehingga menjadi lokomotif, tetapi saat kereta api minim
penumpang dan minim fasilitas, nyaris tidak ada yang mau memperbaiki sistemnya.
Sebagai sebuah organisasi, PMII perlu fokus pada tiga hal. Pertama, kaderisasi.
Kedua, ideologisasi. Ketiga, gerakan nyata. Komponen tiga hal itulah yang
seharusnya terkolaborasi dengan baik untuk tujuan yang lebih kreatif dan inovatif,
baik di internal maupun eksternal organisasi, jika tidak terkolaborasi, maka
akibatnya selalu terjebak pada kegiatan-kegiatan formal.
Di era milenial seperti sekarang ini, kader PMII juga harus sadar, bahwa
tantangan dalam kaderiasasi lebih besar dibandingkan sebelumnya. Mengacu pada
tiga hal di atas, kaderisasi PMII harus fokus pada sektor ideologisasi religiusitas,
gerakan nyata yang aplikatif, kreatif dan inovatif, terutama di fakultas dan jurusan
umum. Mereka menginginkan siraman keteduhan. Sementara dari kader PMII tidak
hadir di sana. Akibatnya seperti sekarang, kita lihat bersama bahwa kampus,
fakultas dan jurusan umum banyak dikader oleh organisasi-organisasi transnasional
ekstremis. Ketika kader PMII sudah mampu mengkolaborasikan tiga hal tersebut
maka kader yang dihasilkan adalah kader PMII yang berhaluan Aswaja
Annahdliyah, berjiwa nasionalis, patuh pada nilai dasar pergerakan PMII dalam
kehidupan sehari-sehari, melahirkan kader intelektual pada sektor penting lain yang
nonpolitik dalam upaya kontribusi untuk kemajuan organisasi khususnya, dan
bangsa Indonesia pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai