Menyoal paradigma paradigma di sini dibatasi maknanya pada tiga hal: cara melihat realitas atau cara pandang terhadap realitas 1) memahami positioningnya, menyadari living reality yang dihadapi, menghayati historical context yang melingkupinya, dan; 2) teori, konsep, metode, atau kerangka transformasi sosial yang diyakini dan dianut, serta 3) tahapan-tahapan pergerakan yang dirumuskan Menyoal paradigma • Sedangkan aspek landasan ontologis, epistema, aksiologis, orientasi, nilai, cita –cita sosial kemasyarakatan pergerakan, sepenuhnya diambil dari tradisi aswaja an-nahdhiyyah. Jika menggunakan bahasa sosial, paradigma ini berisi dual hal pokok, yakni what have to do (aspek aswaja an-nahdhiyyah) dan how to do (aspek paradigma sosial). • Persoalan what have to do merupakan persoalan subtansi gerakan, ideologis, normatif, yang sudah banyak dirumuskan. Persoalan yang harus dituntaskan adalah soal how to do, persoalan paradigma gerakan. Jika mengacu ke sejarah, secara gamblang terjelaskan bahwa kunci transformasi sosial adalah • akumulasi spiritual • akumulasi politik • akumulasi ekonomi • akumulasi pengetahuan • akumulasi kebudayaan atau yang sering disederhanakan dengan taswirul afkar, nahdlatut-tujjar, nahdlatul wathon, Komite Hijaz. Kunci keberhasilan Perjuangan • Menguasai dan mengendalikan arus struktural politik dan ekonomi • memiliki basis pengetahuan yang memadai • memiliki akar ruhaniah yang kokoh • memegang arus tradisi dan kebudayaan yang bekerja di masyarakat. Bandingkan dengan ahli ekonomi politik internasional, Susan Strange, kunci dominasi dan hegemoni global terdapat pada penguasaan knowledge structure, financial structure, production structure, dan security structure. • Pertanyaannya adalah, bagaimana menerjemahkan paradigma perubahan tersebut dalam konteks gerakan mahasiswa PMII? • Bagaimana wujud kontekstualisasinya dalam kerangka PMII? Kenyataan bahwa PMII merupakan organisasi mahasiswa, berbasis di kampus, bagian dari gerakan besar NU, mutlak dijadikan variabel pokok dalam merumuskan paradigma PMII. • Kenyataan bahwa PMII adalah organisasi kader, bukan organisasi politik, bukan satu-satunya aktor sosial dalam semesta perjuangan aswaja, yang memiliki berbagai berbagai keterbatasan-keterbatasan struktural merupakan hal yang harus dijadikan pijakan. Kegagalan memahami jati diri PMII dan realitas struktural PMII tersebut merupakan akar disorientasi gerakan, tidak tertatanya gerakan, kebingungan dalam positioning, dan akhirnya melahirkan anarkisme gerakan. Landasan • 1) PMII merupakan bagian dari masyarakat sipil, bukan masyarakat politik, dan masyarakat ekonomi. PMII bukanlah bagian dari negara, partai politik, namun merupakan entitas sosial seperti NU. Keberadaan kader-kader dan alumni dalam political society bukan berarti menggeser posisi kelembagaan PMII sebagai bagian dari kekuasaan, sebagaimana juga posisi NU. Pembedaan ini bukan dalam kerangka oposisi- biner, antinegara, namun sebatas untuk kebutuhan positioning khittah perjuangan. • 2) PMII merupakan organisasi kemahasiswaan dengan anggota mahasiswa, berlokus di Universitas, yang berimplikasi secara spesifik pada perbedaan sasaran, target, fokus, dan tujuan dengan organisasi yang lain meskipun sama-sama berideologi aswaja an- nahdhiyyah. PMII, misalnya, berbeda dengan Fatayat dalam area perjuangan meskipun sama-sama organ sayap muda NU. • 3) PMII memiliki dua sasaran perjuangan, yakni kader dan ranah sosial. Sasaran Internal • Pada sasaran yang pertama PMII, yakni mencetak kader, memobilisasi seluruh sumber dayanya untuk mendidik para kadernya menjadi sosok kader ideal yang diterminologikan sebagai kader ulul-albab. Kader ulul-albab ini dibagi menjadi dua, yakni kader basis dan kader pelopor. Kader basis adalah warga PMII secara umum dengan dua karakter dasar: berpegang teguh pada prinsip dan setia pada proses. Kader yang sholihun fizamanih. Kader pelopor adalah warga PMII memenuhi persyaratan khusus untuk dikader pada tahap lanjut sesuai dengan kebutuhan perjuangan organisasi dan dinamika zaman yang senantiasa mengalami pergeseran. Sasaran eksternal Pada sasaran kedua, yakni, ranah sosial, PMII merupakan alat atau instrumen perjuangan sosial yang menyasar sasaran pada institus-institusi supranegara (global/transnational institution) dan political society, economic society (negara); masyarakat; dan arena kebudayaan. Pada sasaran institusi-institusi global PMII berkepentingan memahami ideologi, mekanisme kerja, basis legal kelembagaan operasional, impact, dan strategi “penetrasi” dalam lembaga-lembaga tersebut yang kian mengarah ke terbentuknya global governance. Pada sasaran ranah negara PMII berkepentingan proses-proses bernegara di republik ini berjalan sesuai dengan konstitusi (Pancasila, UUD 45, NKRI, Kebhinekaan) atau dalam bahasa pesantren semua kebijakan koheren dan konsisten dengan maqoshid syariah. Pada sasaran masyarakat PMII bercita-cita mewujudkan sistem sosial masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai aswaja an-nahdhiyyah Problem utama kita Paradigma-paradigma yang berkembang di PMII berdiri di atas asumsi seolah-olah PMII adalah partai politik, organisasi besar dengan multi- basis dan sasaran, sektoral maupun non-sektoral, hingga diimajinasikan bisa menjangkau semua bidang. Inilah yang mesti dibongkar dan diperjelas agar cara pandang terhadap diri, realitas, dan proyeksi peran yang hendak dimainkan terang bendarang (clear and distinct). • Untuk mewujudkan negara sebagaimana diimajinasikan di atas dapat dilakukan dengan dua cara, pertama menguasai negara atau menjadi bagian dari negara (eksekutif, parlemen, birokrasi, dan lembaga-lembaga supranegara lain yang ada) dan kedua, melalui jalur di luar negara melalui advokasi, judicial review, dan terlibat dalam ruang partisipasi publik yang dijamin undang-undang dalam proses pembuatan kebijakan publik. • Dengan ini, kita menyadari bahwa ruang strategis yang harus menjadi area distribusi bukan hanya jabatan-jabatan produk elektoral (presiden, kementrian, kepala daerah, parlemen, dan lainnya), namun birokrasi, yudikatif, institusi “ekstra-negara” seperti KPK, KY, Ombudsmen, dan lainnya, strategic think-thank, pressure group, hingga BUMN. Hal yang sama juga berlaku pada ranah global (global front) oleh karena kekuatan global sangat berpengaruh dalam dinamika global dan nasional. Dalam ranah global ini PMII berkepentingan menempatkan kadernya dalam institusi-institusi global yang berpengaruh. • Keduanya, bergerak melalui dalam-negara dan di luar negara, merupakan komplementer, saling melengkapi, dan bukan oposisi biner, apalagi saling menegasikan. Kedua front ini dibutuhkan dalam (war of position) dan (war of manuever). • Pertanyaannya, sebagai organisasi mahasiswa, positioning dan peran apa yang mestinya diambil oleh PMII untuk mencapai tujuan tersebut. Di sinilah, sekali lagi, kita harus menghayati bahwa PMII bagian dari matarantai perjuangan yang panjang, dan bukannya aktor tunggal. Pada fase PMII, jelas secara kelembagaan PMII bukanlah partai politik, karena itu tidak mungkin menguasai negara secara langsung, dan karenanya menegaskan identitas bukan sebagai bagian dari political society selayaknya partai politik. Artinya, sebagai organisasi mahasiswa, bukan khittah PMII memobilisasi sumber dayanya untuk merebut negara secara langsung. • Jika demikian, peran apa yang mesti diambil? PMII mengambil dua peran. Pertama, menyiapkan kader pelopor untuk bertarung pasca-PMII untuk merebut negara. Kedua, sebagai proses pematangan ideologi, tempaan pengalaman, internalisasi nilai, sekaligus exercise gerakan, peran yang bisa dilakukan oleh PMII adalah dorongan perubahan melalui jalur kedua, jalur di luar negara, yakni advokasi dan metode lainnya. Ketiga, sesuai lokusnya, maka memenangkan pertarungan di kampus merupakan tugas PMII. • Wal-hasil, secara sederhana, dapat disimpulkan paradigma gerakan PMII bertumpu pada cara pandang organisasi sebagai alat untuk: 1) merebut sumber daya mahasiswa dan mendidiknya menjadi kader ulul-albab baik sebagai warga pergerakan maupun kader pelopor, yang memiliki kapasitas mengelola organisasi dan persenjataan tangguh untuk bertarung pasca-PMII di ruang-ruang distribusi strategis; 2) merebut ruang-ruang strategis di kampus; 3) memperkuat public awareness dan advokasi kebijakan publik dengan central concern pada pada kebijakan ekonomi, politik, pendidikan; dan 4) dinamisasi dan produksi kebudayaan. • Fungsi produksi (rekruitmen dan pendidikan kader) diperankan oleh PMII, sedangkan fungsi distribusi by design pasca-PMII diperankan oleh IKA-PMII. • Pada fase PMII lokus pertarungannya tidak di sentrum-sentrum kekuasaan, namun pada perebutan sumber daya mahasiswa di kampus, kaderisasi, penguatan kapasitas sumber daya, dan advokasi sosial. Di atas semua pandangan paradigmatik inilah nanti sistem kaderisasi disusun.
Kepribadian: Pengantar ilmu kepribadian: apa itu kepribadian dan bagaimana menemukan melalui psikologi ilmiah bagaimana kepribadian mempengaruhi kehidupan kita
Albert Bandura dan faktor efikasi diri: Sebuah perjalanan ke dalam psikologi potensi manusia melalui pemahaman dan pengembangan efikasi diri dan harga diri
Manajemen konflik dalam 4 langkah: Metode, strategi, teknik-teknik penting, dan pendekatan operasional untuk mengelola dan menyelesaikan situasi konflik