Anda di halaman 1dari 9

A.

Kualitas Layanan
Pelayanan, menurut Kotler (2009: 83) ialah setiap suatu tindakan atau kegiatan yang
dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan
tidak mengakibatkan kepemilikan apapun.1 Dalam membuat suatu kepuasan pelanggan,
organisasi harus menawarkan produk yang berkualitas. Sebutan kualitas mengandung
berbagai penafsiran, karena kualitas mempunyai sejumlah level seperti universal (sama
dimanapun), kultural (tergantung sistem nilai budaya), sosial (dibentuk oleh kelas sosial
ekonomi, kelompok etnis, keluarga, teman sepergaulan), dan personal (tergantung preferensi
atau selera tiap individu).”Secara sederhana kualitas dapat diartikan sebagai produk yang
bebas cacat.”Dengan istilah lain produk yang sesuai dengan standar (target, sasaran atau
persyaratan yang bisa didefinisikan, diobservasi dan diukur). Namun definisi berbasis
manufaktur kurang relevan untuk sektor jasa.”Oleh karena itu pemahaman mengenai kualitas
diperluas menjadi “fitness for use” dan “conformance to requirements”.

”Kualitas menggambarkan semua dimensi penawaran produk yang menghasilkan


manfaat bagi pelanggan. Istilah nilai seringkali digunakan untuk mengacu pada kualitas
relative suatu produk dikaitkan dengan harga produk bersangkutan. Jika dikaitkan dengan
kepuasan pelanggan, kualitas memiliki beberapa dimensi pokok, tergantung pada konteksnya.
Dalam kasus pemasaran barang terdapat dimensi utama yang biasa digunakan:”

1. Kinerja (performance), karakteristik dasar dari suatu produk misalnya kecepatan


pengirirman paket, ketajaman gambar dan warna dalam sebuah TV, dan kebersihan
masakan direstoran.
2. Fitur (features), karakteristik pelengkap khusus yang menambah pengalaman
pemakaian produk, contohnya minuman gratis selama penerbanga pesawat, AC mobil,
dan koleksi tambahan aneka nada panggil pada handphone.
3. Reliabilitas, yaitu probabilitas terjadinya kegagalan atau kerusakan produk dalam
periode waktu tertentu.
4. Konformasi (conformance), yaitu tingkat kesesuaian produk dengan standar yang telah
ditetapkan, contohnya ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan kereta api, dan
kesesuaian antara ukuran sepatu dengan standar yang berlaku.

1
Kotler, (2009), Manajemen Pemasaran, Jakarta: Erlangga.
5. Daya tahan (durability), yaitu jumlah pemakaian produk sebelum produk bersangkutan
harus diganti. Makna dari penjelasan tersebut ialah semakin besar frekuensi pemakaian
normal yang dimungkinkan semakin besar pula daya tahan produk. Salah satu contoh
produk yang seringkali menekankan aspek daya tahan sebagai positioning kunci ialah
baterai.
6. Serviceability, yaitu kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta kompetensi dan
keramahtamahan staf layanan.
7. Estetika (aesthetic), menyangkut penampilan produk yang bisa dinilai dengan panca
indera (rasa, aroma, suara)
8. Persepsi terhadap kualitas (perceived quality), yaitu kualitas yang dinilai berdasarkan
reputasi penjual, contohnya seperti mobil BMW, arloji Rolex, kemeja Polo dan
peralatan elektronik Sony.
Kualitas layanan mencerminkan perbandingan antara tingkat layanan yang disampaikan
perusahaan dibandingkan ekspetasi pelanggan. Kualitas pelayanan diwujudkan melalui
pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya dalam
mengimbangi atau melampaui harapan pelanggan. Harapan pelanggan dapat berupa tiga
standar yaitu:
1. Will expectation, tingkat kinerja yang diantisipasi atau diperkirakan konsumen
akan diterimanya, berdasarkan informasi yang diketahuinya. Tipe tersebut
merupakan tingkat harapan yang paling sering dimaksudkan oleh konsumen
sewaktu menilai kualitas layanan.
2. Should expectation, merupakan tingkat kinerja yang dianggap sudah sepantasnya
diterima konsumen. Tuntutan dari apa yang seharusnya diterima jauh lebih besar
daripada apa yang diperkirakan bakal diterima.
3. Ideal expectation, merupakan tingkat kinerja optimum atau terbaik yang dapat
diharapkan dapat diterima konsumen.
a.) Kualitas Layanan Offline
Terdapat model generik paling populer untuk mengukur kualitas layanan offline yaitu
Total Perceived Quality Model (TPQM) dan SERVQUAL TPQM yang diuraikan kualitas
layanan ke dalam dua dimensi pokok. Pertama technical quality (outcome dimension)
berkaitan dengan kualitas output layanan yang di persepsikan pelanggan. Komponen tersebut
dijabarkan lagi menjadi tiga tipe yaitu search quality (unsur layanan yang dapat dievaluasi
sebelum dibeli, misalnya harga), experience quality (hanya bisa dievaluasi setelah
dikonsumsi, contohnya ketepatan waktu, kecepatan layanan, dan kerapian hasil), credence
quality (sukar dievaluasi pelanggan sekalipun layanan telah dikonsumsi, misalnya kualitas
operasi bedah otak).
Dimensi kedua, functional quality (process-related dimension) berkaitan dengan kualitas
cara penyampaian layanan atau menyangkut proses transfer kualitas teknis, output atau hasil
akhir kepada pelanggan. Contohnya meliputi aksebilitas mesin ATM, restoran atau konsultan
bisnis, penampilan dan perilaku pramusaji, teller bank, pemandu wisata, supir bis, pramugari.
Selain itu functional quality juga dipengaruhi kehadiran pelanggan lain pada waktu yang
bersamaan mengkonsumsi layanan. Mereka dapat menyebabkan antrian panjang atau
mengganggu pelanggan tertentu namun dilain sisi mereka dapat pula mempengaruhi
terciptanya suasana interaksi pembeli-penjual yang menyenangkan. Bila dibandingkan
dengan technical quality, dimensi functional quality umumnya dipersepsikan secara
subyektif dan tidak bisa dievaluasi seobyektif technical quality.
Sementara model SERVQUAL dirumuskan berdasarkan serangkaian penelitian terhadap
enam sektor jasa diantaranya yaitu reparasi peralatan rumah tangga, kartu kredit, asuransi,
sambungan telepon interlokal, perbankan ritel, dan pialang sekuritas. Model ini berfokus
pada 5 gap yang berpengaruh terhadap kualitas layanan. Gap pertama terjadi antara harapan
pelanggan dan persepsi manajemen (knowledge gap). Contohnya pengelola jasa catering
mungkin saja mengira bahwa pelanggannya lebih mengutamakan ketepatan waktu
pengantaran makanan, padahal mereka justru lebih mementingkan variasi menu yang
disajikan. Gap kedua terjadi antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan
spesifikasi kualitas layanan (standards gap). Contohnya manajemen sebuah bank meminta
stafnya agar meminta melayani nasabah dengan cepat tanpa merinci standar waktu pelayanan
yang bisa dikategorikan cepat.
Gap ketiga terjadi antara spesifikasi kualitas layanan dan penyampaian layanan (delivery
gap). Contohnya para perawat rumah sakit diwajibkan meluangkan waktunya untuk
mendengarkan keluhan pasien, tetapi disaat bersamaan mereka juga diharuskan melayani
setiap pasien dengan cepat. Gap keempat menyangkut perbedaan antara penyampaian
layanan dan komunikasi eksternal (communications gap). Contohnya wisatawan akan sangat
kecewa apabila mereka mendapati bahwa obyek wisata yang dikunjungi ternyata tidak
sebagus yang digambarkan di brosur atau website yang mereka lihat. Gap kelima merupakan
gap antara perceived service dan expected service (service gap). Contohnya seorang dokter
mungkin ingin selalu mengunjungi pasiennya demi menunjukkan perhatiannya, namun itu
dapat dipersepsikan keliru oleh sang pasien dan diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa ada
masalah serius berkenaan dengan penyakit yang dideritanya.
Pengukuran kualitas jasa dalam model SERVQUAL didasarkan pada skala multi-item
yang dirancang untuk mengukur expected service dan perceived service serta gap diantara
keduanya dalam dimensi-dimensi utama kualitas layanan. Sejauh ini model SERVQUAL
sudah diterapkan dianeka ragam konteks, baik untuk sektor komersial, industrial, maupun
nirlaba. Contohnya meliputi dokter, hotel, tour wisata, reparasi mobil, sekolah bisnis,
universitas, konsultasi manajamen dan akuntasi, rumah sakit, bank, restoran siap saji dan
sebagainya.
b.) Kualitas Layanan Online
Seiring dengan rontoknya berbagai perusahaan dot-com, internet tetap bertahan sebagai
media komunikasi dan saluran distribusi alternatif. Sejumlah riset menunjukkan bahwa hanya
kurang dari 2 persen dari online visits yang berakhir dengan pembelian produk dan buruknya
kualitas layanan berkontribusi pada 80 persen complain pelanggan terhadap e-retailers.
Selain itu terdapat kecenderungan bahwa konsumen lebih suka mencari informasi produk dan
harga secara online, akan tetapi tetap berbelanja di took tradisional (offline).salah satu
penyebab utamanya ialah isu jaminan keamanan dan privasi dalam berbelanja online yang
dipersepsikan masih lemah.
Dilandasi adanya perbedaan signifikan antara pengalaman berbelanja di internet dan
pengalaman berbelanja konvensional, sejumlah peneliti berupaya mengeksplorasi dimensi
kualitas layanan khusus untuk konteks bisnis online. Nama-nama dimensi tersebut sebagian
terdapat nama khusus dan ada pula yang tidak. Beberapa diantaranya:
1. Lima faktor utama kualitas layanan online: kecepatan pengantaran, kemudahan
penggunaan, reliabilitas, kesenangan, dan kendali.
2. Empat factor determinan e-satisfaction: kenyamanan online, informasi produk, desain
situs, dan keamanan finansial.
3. Sebelas dimensi Electronic Service Quality: akses, kemudahan navigasi, efisiensi,
fleksibilitas, reliabilitas, personalisasi, keamanan/privasi, daya tanggap,
jaminan/kepercayaan, estetika situs, dan pengetahuan harga.
4. Tujuh dimensi kualitas layanan online: konten, akses, navigasi, desain, respon, latar
belakang, dan personalisasi.
5. Empat dimensi pokok SITEQUAL: kemudahan pemakaian, estetika desain, kecepatan
pemrosesan.
6. Lima dimensi WebQual: usability, desain, informasi, trust dan empati.
7. Empat dimensi e-quality: desain dan isi situs, kepercayaan, empati, dan, keamanan.
8. Lima dimensi Internet Retail Service Qualityh (IRSQ): kinerja, akses, keamanan,
sensasi dan informasi
9. Tujuh dimensi e-SQ atau eSERVQUAL: efisiensi, reliabilitas, fulfilment, privasi, daya
tanggap, kompensasi, dan kontak.
10. Empat dimensi eTailQ: fulfillment, desain website, layanan pelanggan, dan
keamanan/privasi.
Diantara sekian banyak model kualitas layanan online yang berkembang tampaknya
model yang paling komperehensif dan integrative ialah E-S-QUAL. Model yang
menyempurnakan eSERVQUAL ini berfokus pada dua elemen utama yaitu “core online
service” dan “recovery online service”.
B. Loyalitas Pelanggan
Loyalitas secara harfiah diartikan sebagai kesetiaan, yaitu kesetiaan seseorang terhadap
suatu objek. loyalitas pelanggan sebagai kondisi
dimana pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu objek, mempunyai komitmen pada
objek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Selama
iniloyalitas pelanggan seringkali dikaitkan dengan perilaku pembelian ulang. Misalnya dalam
konteks merek loyalitas mencerminkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu,
sedangkan perilaku pembelian ulang semata-mata menyangkut pembelian merek tertentu yang
sama secara berulang kali. Dengan kata lain konsumen yang kelihatannya membeli merek
spesifik berulang kali belum tentu loyal terhadap merek bersangkutan.
Pembelian ulang dapat merupakan hasil dominasi pasar oleh perusahaan yang berhasil
membuat produknya menjadi satu-satunya alternative yang tersedia. Konsekuensinya
pelanggan tidak memiliki peluang untuk memilih. Selain itu pembelian ulang dapat pula
merupakan hasil upaya promosi terus-menerus dalam rangka memikat dan membujuk
pelanggan untuk membeli kembali merek yang sama. Bila tidak ada dominasi pasar dan upaya
promosi intensif tersebut pelanggan sangat mungkin beralih merek. Sebaliknya pelanggan
yang loyal pada merek tertentu cenderung terikat pada merek tersebut dan bakal membeli
produk yang sama lagi meskipun tersedia banyak alternative lainnya.
Pada prinsipnya, konsep loyalitas pelanggan berlaku untuk merek, jasa, organisasi (toko,
pemasok, penyedia jasa, klub olahraga), kategori produk misalnya rokok dan aktivitas
misalnya berenang dan bermain sepak bola. Secara garis besar literatur pelanggan didominasi
dua aliran utama yakni aliran stokastik (behavioral) dan aliran deterministik (sikap). Dengan
kata lain loyalitas merek dapat dapat ditinjau dari merek apa yang dibeli konsumen dan
bagaimana perasaan atau sikap konsumen terhadap merek tertentu.
1. Perspektif Behavioral (Stokastik)
Loyalitas merek diartikan sebagai pembelian ulang sebuah merek secara konsisten oleh
pelanggan. Setiap kali seorang konsumen membeli ulang sebuah produk misalnya pasta gigi,
kecap, maskapai penerbangan. Bila konsumen membeli produk yang sama maka dapat
dikatakan pelanggan yang setia pada merek tersebut dalam kategori produk bersangkutan.
Filosofi dasar perspektif tersebut ialah bahwa komponen random mendasari sebuah
perubahan- perubahan struktur pasar. Model tersebut dapat dipandang mampu menjelaskan
perilaku konsumen secara agregat. Loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh begitu banyak
variabel yang saling berinteraksi dalam frekuensi yang tidak bisa diprediksi sehingga dalam
praktik prosesnya bersifat stokastik (fenomena random).
Ukuran-ukuran loyalitas berbasis perspektif behavioral didasarkan pada perilaku
pembeliannya. Ukuran-ukuran tersebut bisa dikelompokkan menjadi tiga macam yakni
proposal pembelian, urutan/rentetan pembelian, dan probabilitas pembelian.
2. Perspektif Sikap (Deterministik)
Perspektif deterministik mengasumsikan bahwa terdapat satu atau beberapa penyebab
utama loyalitas pelanggan yang bisa diidentifikasi. Perilaku pembelian ulang sebuah merek
yang sama oleh pelanggan yang sama tidak terjadi begitu saja namun itu lebih merupakan
konsekuensi langsung dari faktor tertentu dalam perilaku konsumen. Riset-riset dalam aliran
tersebut berusaha memahami, mengungkap dan mengidentifikasi faktor-faktor determinan
tersebut.
Perspektif ini berfokus pada komitmen psikologis konsumen dalam pembelian tanpa
perlu mempertimbangkan scara spesifik perilaku pembelian efektif (aktual). Berbeda dengan
aliran behavioral yang mengoperasikan loyalitas sebagai dikotomi antara loyal dan tidak loyal,
perspektif sikap mengukur loyalitas sebagai skala interval atau kontinum (a degree of
loyalty). Oleh karena itu tujuan utama pengukuran loyalitas berdasarkan perspektif sikap
bukanlah untuk mengetahui apakah seseorang loyal atau tidak.
3. Perspektif Integratif
Empat situasi memungkinkan loyalitas berdasarkan dimensi sikap dan perilaku
pembelian ulang. Pertama, no loyalty ialah bila sikap dan perilaku pembelian ulang
pelanggan sama-sama lemah. Penyebabnya dapat bermacam-macam diantaranya produk atau
jasa baru diperkenalkan sehingga belum dikenal, pemasar tidak mampu mengkomunikasikan
keunggulan unik produknya dan konsumen mempersepsikan semua merek relatif sama
kinerjanya.
Kedua, spurious loyality (captive loyalty), yakni jika sikap yang relative lemah disamai
dengan pola pembelian ulang yang kuat. Dalam hal tersebut faktor non sikap lebih kuat
pengaruhnya terhadap perilaku pembelian. Oleh sebab itu pembelian ulang sering dilakukan
atas dasar pertimbangan situasional, seperti faktor diskon.
Ketiga, latent loyalty tercermin bila sikap yang kuat dibarengi dengan pola pembelian
ulang yang lemah. Situasi yang menjadi perhatian besar para pemasar ini disebabkan
pengaruh faktor-faktor non-sikap yang sama kuat atau bahkan cenderung lebih kuat
ketimbang dengan faktor sikap dalam menentukan pembelian ulang. Keempat, loyalty, ialah
bilamana konsumen bersifat positif terhadap merek atau pemasok tertentu dan disertai pola
pembelian ulang yang konsisten.
Dinamika Loyalitas Pelanggan
Riset loyalitas pelanggan dalam beberapa dekade terakhir menghasilkan lima wawasan
manajerial penting. Pertama, riset-riset berdasarkan perspektif behavioral menemukan bahwa
hanya sedikit konsumen yang tergolong loyal monogami (100% loyal) atau tidak loyal pada
merek apapun. Sebaliknya yang banyak dijumpai justru fenomena polygamous loyalty, yaitu
pelanggan loyal terhadap portofolio merek tertentu dalam suatu kategori produk.
Kedua, loyalitas pelanggan bersifat dinamis dan bisa berubah dikarenakan berbagai
faktor, seperti kondisi kesehatan, perubahan tahapan dalam siklus hidup, aktivitas promosi
perusahaan. Kesadaran akan kesehatan dan kepedulian lingkungan misalnya berpotensi
menumbuhkan loyalitas pada produk seperti makanan organik, makanan rendah lemak, bahan
pembungkus non-plastik. Pelanggan mungkin memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi
kategori produk tertentu misalnya berhenti merokok sehingga loyalitasnya pada merek
tertentu ikut berakhir. Perubahan kebutuhan pelanggan misalnya dikarenakan perubahan
dalam siklus hidup, juga dapat berdampak pada loyalitas merek.
Ketiga, merek-merek kecil cenderung mengalami kerugian ganda, dimana hanya sedikit
konsumen yang membelinya (pangsa pasar kecil), dan dari mereka yang membelinya tersebut
hanya membelinya dalam jumlah dan frekuensi kecil, serta cenderung kurang loyal.
Fenomena tersebut disebut efek “double jeopardy” (DJ). Efek DJ telah diobservasi di
berbagai kategori produk seperti pasta gigi, kopi, mobil, komputer personal, bensin, media
(program TV dan radio), dan pasar geografis. Efek DJ dipandang sebagai fenomena statistik
berkenaan dengan struktur ukuran pasar, dimana merek besar lebih unggul dikarenakan lebih
kuat anggaran pemasarannya dan market presence lebih kokoh.
Keempat, ada hubungan negatif antara kesuksesan private-label brands (store brands)
dan siklus bisnis. Pangsa private-label brands (PL) disebuah negara meningkat manakala
kondisi perekonomian memburuk dan sebaliknya menurun saat perekonomian membaik.
Kecepatan dan intensitas peralihan merek tersebut berbeda selama periode kontraksi dan
ekspansi. Peralihan ke PL lebih ekstensif dan cepat dibandingkan pergeseran kembali ke
merek nasional setelah masa resesi berakhir. Bahkan sebagian pelanggan malah tetap membeli
PL sekalipun masa ekonomi susah telah lama berlalu. Tanpa strategi pemasaran proaktif
selama resesi merek nasional cenderung sulit bangkit setelah perekonomian pulih karena para
peritel berinvestasi dalam program PL semasa resesi sementara kebanyakan pemilik merek
nasional justru memangkas habis anggaran pemasarannya saat kondisi perekonomian
memburuk.
Kelima, secara garis besar karakteristik dan ukuran loyalitas pelanggan dapat dibedakan
berdasarkan tiga tipe pasar (consumable goods markets, durable goods markets, dan service
markets). Tipe consumable goods markets meliputi FMCG (Fast Moving Consumer Goods,
seperti sabun mand, detergen, pasta gigi, sereal, susu, dan es krim). Consumable goods
markets bercirikan divided loyalty, yang bisa dikenal pula dengan istilah multi-brand
purchasing.
Tipe durable goods markets ialah produk manufaktur yang berumur ekonomis lama dan
dapat digunakan berkali-kali, contohnya sepeda motor, mobil, TV, lemari es, mebel dan
sebagainya. Hal tersebut membuktikan bahwa sekali pelanggan membeli barang semacam ini,
maka akan secara temporer “out of the market” untuk produk bersangkutan setidaknya sampai
membutuhkan produk pengganti atau melakukan pembelian ulang. Tipe service markets
bercirikan:
1. Konsumen jasa cenderung lebih loyal pada merek tertentu dan menghindari
peralihan merek untuk meminimumkan persepsi terhadap risiko.
2. Pelanggan biasanya ialah sole loyal dengan 100% share of category
requirements untuk merek tertentu, contohnya jasa pendidikan, salon kecantikan,
konsultasi hokum.
3. Konsumen jasa berkemungkinan tetap setia dengan penyedia jasa tertentu apabila
terjalin relasi yang akrab diantara mereka.
4. Sulitnya mengevaluasi kualitas jasa menyebabkan loyalitas merek lebih sering
dijumpai dalam sektor jasa, terutama apabila konsumen telah familiar dengan
penyedia jasa tertentu.
5. Loyalitas dalam beberapa pasar jasa mereflesikan inersia.

Anda mungkin juga menyukai