Anda di halaman 1dari 7

BUDAYA DAN PERADABAN DALAM AL-QURAN

Oleh; Alfit Sair

Pengantar
Manusia adalah hewan yang berakal. Dengan akal, manusia bergerak
dinamis, membentuk ragam identitas baru, meninggalkan pola hidup hewan-hewan
lain yang stagnan. Dari hewan yang berakal, manusia menjadi hewan simbolis,
hewan politis, hewan perencana (strategis dan taktis) hingga hewan yang berbudaya
dan berperadaban.

Tuhan menegaskan, masa depan manusia, termasuk masa depan budaya dan
peradabannya, sebagiannya berada di tangan manusia itu sendiri. Tuhan tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya1. Begitu
firman-Nya.

Dalam ayat lain, diperintahkan kepada manusia untuk bertebaran di muka


bumi usai ritual2. Dalam ragam hadis, diserukan untuk menuntut ilmu, walau harus
ke negeri jauh, Cina. Bertebaran di bumi, menuntut ilmu, memanfaatkan sumber
daya diri dan sumber daya alam, semua itu adalah kopula terciptanya budaya dan
terwujudnya peradaban sebagai upaya mengubah nasib diri.

Pada sisi lain, Al-qur’an menceritakan banyak kaum yang berkebudayaan


dan berperadaban tinggi, namun mereka semua diazab. Katakanlah kaum ‘Aad,
Tsamud dan Ashabul Hijr.

Kaum ‘Aad memiliki kemampuan membangun pemukiman yang maju dan


tak tertandingi di masanya. Dikatakan3, ﴾٨﴿ ‫﴾ الَّ ِتي لَ ْم ي ُْخلَ ْق ِمثْلُ َها ِفي ْال ِب ََل ِد‬٧﴿ ‫ت ْال ِع َما ِد‬
ِ ‫ ِإ َر َم ذَا‬.

1
QS Ar-ra’ad ayat 11
2
QS Al-jumu’ah ayat 10
3
QS Al-Fajr ayat 7-8
Demikian juga kaum Tsamud yang mahir dalam memahat gunung-gunung
dengan pondasi yang kuat dan indah serta sangat aman. Ini juga terabadikan dalam
Al-qur’an4: ﴾٩﴿ ‫ص ْخ َر بِ ْال َوا ِد‬
َّ ‫وث َ ُمودَ الَّ ِذينَ َجابُوا ال‬.
َ

Pun halnya dengan kaum Hijr yang membuat pemukiman dalam gunung
yang kuat dan sebagai pusat kelola ekonomi. Firman-Nya5 ‫َوكَانُوا َي ْن ِحتُونَ ِمنَ ْال ِجبَا ِل بُيُوتًا‬
﴾٨٢﴿ َ‫ ِآمنِين‬.

Akan tetapi, kita tahu, kaum-kaum di atas diazab dan dimusnahkan. Dengan
ini, kita perlu meninjau kembali budaya dan peradaban macam apa yang diinginkan
Al-quran. Dengan begitu, budaya dan peradaban yang tecipta, bukan hanya
menenangkan dan memudahkan hidup, tapi juga menyempurnakan jiwa.

Budaya dan Al-qur’an

Budaya adalah keseluruhan hasil cipta manusia, baik berupa bendawi


seperti bangunan, pakaian, tarian, alat musik dan nyanyian; maupun maknawi
berupa gagasan dan iman tertentu yang menjelma dalam bentuk perilaku tertentu.

Diantara ciri budaya yang membedakannya dengan peradaban adalah,


budaya cenderung dipertahankan originalitasnya, sementara peradaban terus-
menerus diformulasi. Budaya adalah soal cita rasa, personal dan subjektif;
peradaban adalah tentang nilai ilmu, impersonal dan objektif.

Meskipun tidak ada hubungan kohesif dan kausalitas antara budaya dan
peradaban, namun keduanya memiliki kedekatan.

Lantas, apakah Al-qur’an hadir untuk menegasi budaya? Rasanya tidak.


Sebab, menciptakan manusia yang berbangsa-bangsa, berarti menciptakan manusia
dengan ragam budaya6. Al-qur’an hadir untuk memberikan nilai pada budaya.

4
QS Al-fajr ayat 9
5
QS Al-hijr ayat 82
6
QS Al-hujurat ayat 23
Budaya an sich, tidak memiliki nilai. Sebagaimana halnya dengan bangsa,
suku dan ras tertentu. Secara primer, tidak ada budaya yang lebih luhur dari budaya
lainnya. Namun secara sekunder, ketika dihubungkan dengan perfeksi jiwa,
terjadilah stratifikasi nilai budaya.

Al-qur’an turun dan menyebar dari tanah yang berbudaya Arab. Fakta
historis ini menyebabkan begitu kentalnya hubungan antara budaya Arab dan ajaran
Islam. Hingga pada akhirnya, sebagian orang di tanah air yang ikut trend hijrah dan
popular dengan sebutan kadrun, sulit membedakan antara budaya Arab dengan
ajaran Islam. Disangkanya, budaya Arab adalah ajaran Islam itu sendiri.

Padahal, tidak sedikit budaya Arab yang dikecam dan dihapuskan oleh
Islam. Katakanlah budaya jahiliah semisal citra buruk anak perempuan7, mengubur
mereka hidup-hidup8, mengisolasinya dalam rumah dan menjauhkannya dari dunia
ilmu.

Adapun budaya bendawi arab tetap diakomodir Islam dengan memberikan


nilai ketauhidan padanya. Misalnya untuk budaya pakaian, disyaratkan suci, bersih,
menutup aurat, milik sendiri dan sederhana.

Islam yang hadir di nusantara berhadapan dengan budaya nusantara. Tentu,


sebagian budaya nusantara tidak sejalan dengan ajaran Islam, semisal budaya
menyambut tamu dengan minuman keras di sebagian daerah tertentu.

Namun, tidak sedikit pula budaya nusantara yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Budaya-budaya tersebut diislamisasi dengan memasukkan ruh tauhid
di dalamnya. Sepeti yang dilakukan para Sunan yang berdakwah via wayang.
Ajaran tauhid tersaji dalam pagelaran wayang. Maka jadilah Islam nusantara, yaitu
jiwa Islam dalam raga budaya nusantara.

Walhasil, dalam kaitannya dengan budaya, Al-qur’an memiliki dua


pandangan;

7
QS An-nahl ayat 58-59
8
QS At-takwir ayat 8-9
1. Mengecam dan meniadakan budaya yang secara nyata bertentangan dengan
ajaran Islam. Seperti budaya yang berkaitan dengan gagasan, iman dan
perilaku yang menyimpang.

Tentang budaya semacam ini, Al-qur’an menyentil dengan kalimat tanya,


“apakah mereka tetap melakukan apa yang dilakukan nenek moyang
mereka dahulu, walaupun nenek moyang mereka tidak mengetahu apa-apa
dan tidak pula mendapat petunjuk”?9

2. Berasimilasi dengan/dan memberikan nilai transenden pada budaya yang


tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Peradaban dan Al-qur’an

Peradaban berarti gaya hidup kota atau ngota. Berhadapan dengan gaya
hidup primitif, liar dan barbar. Peradaban ditandai dengan kecanggihan teknologi,
sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih maju.

Peradaban manusia terus bergerak maju. Kuda digantikan mobil, surat


digantikan wasap misalnya. Dalam tinjauan yang lebih cermat, seperti kata
Muthahhari, sebenarnya yang bergerak maju adalah pengetahuan manusia, bukan
alat peradaban10.

Kuda misalnya, tidak benar-benar menjelma mobil. Kuda digantikan


dengan mobil. Jadi yang terus menyempurna adalah pengetahuan manusia. Yang
dengan itu, manusia menemukan penemuan-penemuan baru sebagai simbol
peradaban.

Peradaban memiliki dua jenis, kita katakan saja dengan peradaban imanen
dan peradaban transenden. Peradaban imanen adalah peradaban materialistik yang
dengan sendirinya, tidak mampu menyepurnakan jiwa manusia. Adapun peradaban

9
QS Al-maidah ayat 104; QS Al-baqarah ayat 170
10
Murtadha Muthahhari; jome’eh wa torikh, hal 156-157
transenden adalah peradaban yang dengan sendirinya mampu menyempurnakan
jiwa manusia.

Boleh jadi, manusia hidup dengan peradaban yang serba modern. Namun
pada saat yang sama, tatanan hidup yang berlaku sangatlah primitif, liar dan barbar.
Semakin canggih teknologi, semakin canggih pula modus penipuan, penjajahan dan
eksploitasi. Plus, semakin serakah pula manusia. Spesies manusia berhasil
menguasai dunia, namun tatatan yang berlaku tetap saja tatanan hidup hewani.

Kata Muthahhari, ilmu pengetahuan tanpa iman, bagaikan sebilah pedang


tajam di tangan pemabuk yang kejam. Atau seperti suluh di tangan pencuri di
malam hari yang gelap11.

Tidak peduli pada peradaban transenden berupa keimanan dan tata nilai
insani, bukan hanya berimplikasi pada segera runtuhnya peradaban imanen
manusia. Bahkan juga, mengakibatkan akan punahnya spesies manusia dengan
segera. Muthahhari merinci beberapa faktor penyebab runtuhnya peradaban
manusia. Satu diantaranya adalah tiadanya keadilan dan hilangnya amar makruf
nahi mungkar12.

Ayatollah Jawadi Amuli menyebut peradaban transenden sebagai gaya


hidup insani. Yang dimaksudnya adalah kehidupan rasional sebagai kebalikan dari
kehidupan jahiliah13. Kehidupan rasional atau kehidupan hakiki diraih dengan
menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.

Firman-Nya; ya ayyuhallazina amanuu, istajibuu lillahi wa lirrasuli idza


da’a kum lima yuhyikum14.

Tentu, hal ini bukan berarti nirnilainya peradaban mesin-mesin. Semua itu
penting untuk memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia. Namun hidup,

11
Murtadha Muthahhari; falsafah agama dan kemanusiaan, hal 23
12
Murtadha Muthahhari; jome’eh wa torikh, hal 220-223
13
Ayatollah Jawadi Amuli; Al-mahdi, maujud-e mau’ud, hal 32-46
14
QS Al-anfal ayat 24
bukan hanya tentang kemudahan dan kesejahteraan. Lebih utama dari itu adalah
tentang kesempurnaan dan kebahagiaan abadi15.

Walhasil, menurut Al-qur’an, peradaban yang utama adalah peradaban


transenden, peradaban insani. Peradaban imanen, peradaban mesin-mesin mesti
menjadi sarana perfeksi jiwa. walal akhiratu khorullaka minal ulaa16. Tentu,
dengan tetap memerhatikan kesucian sarana. Sebab tujuan yang suci tidak bisa
ditempuh dengan cara dan sarana yang tidak suci17.

Kesimpulan; Budaya dan Peradaban Qur’ani

Budaya dan peradaban qur’ani adalah budaya dan peradaban Islam. Islam
adalah agama tauhid. Maka budaya dan peradaban qur’ani adalah budaya dan
peradaban tauhid.

Budaya qur’ani adalah budaya berlomba dalam kebaikan18, budaya nasehat-


menasehati dalam kebenaran dan kesabaran19. Ringkasnya, berbudaya qur’ani
berarti berakhlak dengan akhlak Tuhan (at-takhalluq bi akhlaqillahi).

Peradaban qur’ani adalah peradaban insani. Yaitu peradaban rasional,


peradaban yang memberikan kehidupan hakiki pada manusia20 dan menghindarkan
manusia dari kematian jahiliah. Seperti kata Nabi, bagaimana hidupmu, begitulah
matimu. Bagaimana matimu, begitulah bangkitmu (kama tu’isyuna tamutun. Wa
kama tamutun tub’atsun).

Peradaban insani menjulang tinggi dengan dua sistem; sistem keimanan


yang berpijak pada tiga asas; iman pada mabda’, ma’ad dan penunjuk jalan. Sistem
selanjutnya adalah sistem perbuatan, yaitu amal sholeh dan ibadah.

15
Lihat; Alfit Sair, Filsafat Harmonisasi, bagian dua.
16
QS Ad-duha ayat 4
17
Murtadha Muthahhari; seiri dar sire-ye nabawi, hal 105-109

18
QS Al-baqarah ayat 148
19
QS Al-‘asr ayat 3
20
QS Al-anfal ayat 24
Firman-Nya; tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepadaku21.

Lagi; barang siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhan, maka hendaklah
beramal sholeh dan dan tidak menyekutukan-Nya22.

Dan lagi; sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani dan


Shobi’in, barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta
mengerjakan amal sholeh, maka bagi mereka adalah pahala di sisi Tuhannya…23.

Walhasil, dalam satu frase, budaya dan peradaban qur’ani bermuara pada
terwujudnya “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”24.

REFERENSI

1. Al-qur’an

2. Muratdha Muthahhari; filsafat agama dan kemanusiaan

3. Murtadha Muthahhari; jome’eh wa torikh

4. Murtadha Muthahhari; seiri dar sire-ye nabawi

5. Ayatollah Jawadi Amoli; Al-mahdi, maujud-e mau’ud

6. Alfit Sair; filsafat harmonisasi

21
QS Az-zariyat ayat 56
22
QS Al-kahfi ayat 110
23
QS Al-baqarah ayat 62
24
QS Saba’ ayat 15

Anda mungkin juga menyukai