Pengantar
Manusia adalah hewan yang berakal. Dengan akal, manusia bergerak
dinamis, membentuk ragam identitas baru, meninggalkan pola hidup hewan-hewan
lain yang stagnan. Dari hewan yang berakal, manusia menjadi hewan simbolis,
hewan politis, hewan perencana (strategis dan taktis) hingga hewan yang berbudaya
dan berperadaban.
Tuhan menegaskan, masa depan manusia, termasuk masa depan budaya dan
peradabannya, sebagiannya berada di tangan manusia itu sendiri. Tuhan tidak akan
mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri yang mengubahnya1. Begitu
firman-Nya.
1
QS Ar-ra’ad ayat 11
2
QS Al-jumu’ah ayat 10
3
QS Al-Fajr ayat 7-8
Demikian juga kaum Tsamud yang mahir dalam memahat gunung-gunung
dengan pondasi yang kuat dan indah serta sangat aman. Ini juga terabadikan dalam
Al-qur’an4: ﴾٩﴿ ص ْخ َر بِ ْال َوا ِد
َّ وث َ ُمودَ الَّ ِذينَ َجابُوا ال.
َ
Pun halnya dengan kaum Hijr yang membuat pemukiman dalam gunung
yang kuat dan sebagai pusat kelola ekonomi. Firman-Nya5 َوكَانُوا َي ْن ِحتُونَ ِمنَ ْال ِجبَا ِل بُيُوتًا
﴾٨٢﴿ َ ِآمنِين.
Akan tetapi, kita tahu, kaum-kaum di atas diazab dan dimusnahkan. Dengan
ini, kita perlu meninjau kembali budaya dan peradaban macam apa yang diinginkan
Al-quran. Dengan begitu, budaya dan peradaban yang tecipta, bukan hanya
menenangkan dan memudahkan hidup, tapi juga menyempurnakan jiwa.
Meskipun tidak ada hubungan kohesif dan kausalitas antara budaya dan
peradaban, namun keduanya memiliki kedekatan.
4
QS Al-fajr ayat 9
5
QS Al-hijr ayat 82
6
QS Al-hujurat ayat 23
Budaya an sich, tidak memiliki nilai. Sebagaimana halnya dengan bangsa,
suku dan ras tertentu. Secara primer, tidak ada budaya yang lebih luhur dari budaya
lainnya. Namun secara sekunder, ketika dihubungkan dengan perfeksi jiwa,
terjadilah stratifikasi nilai budaya.
Al-qur’an turun dan menyebar dari tanah yang berbudaya Arab. Fakta
historis ini menyebabkan begitu kentalnya hubungan antara budaya Arab dan ajaran
Islam. Hingga pada akhirnya, sebagian orang di tanah air yang ikut trend hijrah dan
popular dengan sebutan kadrun, sulit membedakan antara budaya Arab dengan
ajaran Islam. Disangkanya, budaya Arab adalah ajaran Islam itu sendiri.
Padahal, tidak sedikit budaya Arab yang dikecam dan dihapuskan oleh
Islam. Katakanlah budaya jahiliah semisal citra buruk anak perempuan7, mengubur
mereka hidup-hidup8, mengisolasinya dalam rumah dan menjauhkannya dari dunia
ilmu.
Namun, tidak sedikit pula budaya nusantara yang tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Budaya-budaya tersebut diislamisasi dengan memasukkan ruh tauhid
di dalamnya. Sepeti yang dilakukan para Sunan yang berdakwah via wayang.
Ajaran tauhid tersaji dalam pagelaran wayang. Maka jadilah Islam nusantara, yaitu
jiwa Islam dalam raga budaya nusantara.
7
QS An-nahl ayat 58-59
8
QS At-takwir ayat 8-9
1. Mengecam dan meniadakan budaya yang secara nyata bertentangan dengan
ajaran Islam. Seperti budaya yang berkaitan dengan gagasan, iman dan
perilaku yang menyimpang.
Peradaban berarti gaya hidup kota atau ngota. Berhadapan dengan gaya
hidup primitif, liar dan barbar. Peradaban ditandai dengan kecanggihan teknologi,
sistem ekonomi, sosial dan politik yang lebih maju.
Peradaban memiliki dua jenis, kita katakan saja dengan peradaban imanen
dan peradaban transenden. Peradaban imanen adalah peradaban materialistik yang
dengan sendirinya, tidak mampu menyepurnakan jiwa manusia. Adapun peradaban
9
QS Al-maidah ayat 104; QS Al-baqarah ayat 170
10
Murtadha Muthahhari; jome’eh wa torikh, hal 156-157
transenden adalah peradaban yang dengan sendirinya mampu menyempurnakan
jiwa manusia.
Boleh jadi, manusia hidup dengan peradaban yang serba modern. Namun
pada saat yang sama, tatanan hidup yang berlaku sangatlah primitif, liar dan barbar.
Semakin canggih teknologi, semakin canggih pula modus penipuan, penjajahan dan
eksploitasi. Plus, semakin serakah pula manusia. Spesies manusia berhasil
menguasai dunia, namun tatatan yang berlaku tetap saja tatanan hidup hewani.
Tidak peduli pada peradaban transenden berupa keimanan dan tata nilai
insani, bukan hanya berimplikasi pada segera runtuhnya peradaban imanen
manusia. Bahkan juga, mengakibatkan akan punahnya spesies manusia dengan
segera. Muthahhari merinci beberapa faktor penyebab runtuhnya peradaban
manusia. Satu diantaranya adalah tiadanya keadilan dan hilangnya amar makruf
nahi mungkar12.
Tentu, hal ini bukan berarti nirnilainya peradaban mesin-mesin. Semua itu
penting untuk memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia. Namun hidup,
11
Murtadha Muthahhari; falsafah agama dan kemanusiaan, hal 23
12
Murtadha Muthahhari; jome’eh wa torikh, hal 220-223
13
Ayatollah Jawadi Amuli; Al-mahdi, maujud-e mau’ud, hal 32-46
14
QS Al-anfal ayat 24
bukan hanya tentang kemudahan dan kesejahteraan. Lebih utama dari itu adalah
tentang kesempurnaan dan kebahagiaan abadi15.
Budaya dan peradaban qur’ani adalah budaya dan peradaban Islam. Islam
adalah agama tauhid. Maka budaya dan peradaban qur’ani adalah budaya dan
peradaban tauhid.
15
Lihat; Alfit Sair, Filsafat Harmonisasi, bagian dua.
16
QS Ad-duha ayat 4
17
Murtadha Muthahhari; seiri dar sire-ye nabawi, hal 105-109
18
QS Al-baqarah ayat 148
19
QS Al-‘asr ayat 3
20
QS Al-anfal ayat 24
Firman-Nya; tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah
kepadaku21.
Lagi; barang siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhan, maka hendaklah
beramal sholeh dan dan tidak menyekutukan-Nya22.
Walhasil, dalam satu frase, budaya dan peradaban qur’ani bermuara pada
terwujudnya “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”24.
REFERENSI
1. Al-qur’an
21
QS Az-zariyat ayat 56
22
QS Al-kahfi ayat 110
23
QS Al-baqarah ayat 62
24
QS Saba’ ayat 15