Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

AL-QUR’AN SEBAGAI SUMBER ILMU PENGETAHUAN

Dosen Pengajar :

Giyarso,

ANGGOTA KELOMPOK :

1. Agus maulana

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2012
BAB I
PENDAHULUAN

            Al-Qur an merupakan sumber dari berbagai macam ilmu pengetahuan. Manusia yang
oleh Allah dikaruniai akal budi, yang dengan adanya hal tersebut manusia berbeda dengan
makhluk ciptaan yang lain. Dengan akal budi manusia diberi kesempatan untuk berfikir
menelaah ilmu Allah baik yang ada di alam raya maupun yang tertulis di dalam Al-Qur’an.
Pesan-pesan yang terkandung di dalamnya merupakan pesan moral yang luhur, akan sangat
bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia di muka bumi.
            Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan
ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan
bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan.
            Membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia
benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam
menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu.
            Entah mereka memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu seperti sifat nenek moyang
mereka yang terbiasa menyembunyikan sebuah kebenaran. Seperti kita tahu bahwa Islam
pernah menjadi pusat peradaban dunia pada rentan waktu antara abad 90 M / 2 atau 3 H,
sampai abad 13 M /6 atau 7 H, dimana kekuasaan pemerintahan berada di bawah dinasti Bani
Abbasiyah di Baghdad dan Bani Umaiyah di Cordoba (Spanyol). Merupakan aplikasi islam
yang “rahmatan li al-“alamin”. Tapi akhirnya kedua dinasti ini lenyap begitu saja di kawasan
laut tengah, karena kebejatan moral generasi penerusnya, dan islam hanya dijadikan jembatan
bagi perdaban barat.
            Setelah sekian lama terlelap dalam mimpinya, kini umat islam mulai bangkit dari
keterpuruka. Tapi, apakah orang-orang barat akan tinggal diam saja, membiarkan umat islam
bangkit?. Merekapun kembali berusaha menghancurkan islam, baik itu yang secara fisik dapat
kita rasakan, ataupun yang bersifat halus, berupa perusakan moral atau melalui pemikiran-
pemikiran yang dari orang-orang sangat mendewakan akal. Jadi bagai mana seharusnya sikap
kita?, tanya pada diri kita sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Al-Qur an Sumber Ilmu Pengetahuan


Al-Quran, yang berarti bacaan yang sempurna, boleh dikatakan merupakan
miniatur “ayatullah”, himpunan firman Allah dan garis besar terjemahan alam raya,
bersifat mukjizat. Ia bukanlah sekadar dokumen historis atau pedoman hidup dan tuntunan
sepiritual bagi sekalian manusia, tetapi juga sebagai mitra dialog dan tempat mengadukan
dan menghadapkan macam-macam urusan kehidupan yang kongkret, sehingga wajib
diajak untuk berdiskusi, ditelaah isinya, dinalar sekaligus diamalkan.
Kitab suci yang kebal terhadap selinapan kesalahan ini, menggunakan bahasa arab
yang diucapkan oleh nabi Muhammad sebagai Rosul-Allah swt, yang lalu disampaikan
kepada kita secara mutawatir dan ditulis dalam sebuah mushaf. Al-Quran boleh
diterjemahkan dalam bahasa apapun juga, bahkan boleh ditafsirkan. Tapi setelah
diterjemahkan bukan Al-quran lagi namanya melainkan terjemah Al-Quran dan ia tidak
otentik lagi. Perbedaan ruang dan waktu, perbedaan kebudayaan dan kondisi, perbedaan
ilmu dan pengalaman, membawa kepada perbedaan penafsiran.
Demikianlah bahasa Al-Quran itu telah mempertahankan eksisitensinya selama 14
abad, dan tetap bertahan selama masih ada orang yang menganut agama islam. Ia adalah
“bahasa mati yang hidup”. Mati, karena ia merupakan logat disuatu daerah di Jazirah
arab dahulu, yang struktur bahasanya tak mungkin berubah lagi. Tetapi ia juga hidup,
karena ia dipelajari bukan untuk filologi ( study sejarah kebudayaan ). Tapi untuk
mendapatkan dasar-dasar kehidupan dewasa ini.
Seperti yang telah tersebut, bahwa Al-Quran mengandung garis besar terjemahan
alam raya, Al-Quran sebagai suber ilmu pengetahuan. Sebagai asas kesejahteraan hidup
manusia dimuka bumi.

B. Ilmu Pengetahuan
Sebagai hamba ciptaan Allah yang telah dikaruniai nikmat berupa akal budi,
sebagai media agar kita dapat memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah, yang terbentang
di alam raya atau tertulis dalam kitab-Nya, sehingga melahirkan keyakinan dengan
sebenar-benar keyakinan akan ke-Maha Esa-an-Nya.
Firman Allah, “iqra’ bismi robbikal ladzi kholaq” (al’alaq: 1) dan “yarfa’il laahul
ladziina aamanuu minkum wal ladzina uutul ‘ilma darajaat” (al-mujaadalah: 11).
Merupakan sebuah apresiasi dari yang maha mengetahui yang ghoib terlebih sesuatu yang
nyata, kepada manusia agar mampu mendaya gunakan akalnya, sehingga mendapat ilmu
yang mencerahkan, yang karenanya diberilah ia kedudukan disisi tuhan dan hambanya.
Disamping untuk suatu yang bersifat individualis, dengan pengetahuan yang
mendalam tentang agama, kita bisa melawan para penjajah aqidah yang diusung oleh para
orientalis yang ingin menghancurkan islam.
Berbicara tentang ilmu pengetahuan, tidak akan ada habis-habisnya sampai akhir
zaman, sebab apa yang terkandung dalam diri kita juga merupakan ilmu yang harus kita
pahami, sehingga kita mengerti akan hakikat penciptaan kita sebagai “khalifah fil ardh”.
Yang oleh K.H Abdurrahman Wahid, khalifah fil ardh maknannya adalah penyeimbang
unsur-unsur alam untuk membentuk masyarakat yang maju dan berperadaban. Sehingga
tercapailah apa yang disebut islam “rahmatan lil ‘alamiin”. dan itu bagaimana kita
mensikapi ilmu yang kita miliki, sudah arifkah kita dalam berpandangan, sudah adilkah
dalam bertindak.
Fiman Allah dalam Al-Qur an surat Luqman : 27, yang artinya:
“Dan seandainya pohon-pohon  di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering) nya, niscaya tidak akan habis-
habisnya (dituliskan) kalimat Allah (ilmu-Nya dan Hikmat-Nya). Sesungguhnya Allah
maha perkasa lagi maha bijak sana.
Ibnu ‘Asyur meriwayatkan bahwa Asbab annuzul ayat ini berkenaan dengan orang
Yahudi yang mendorong musyrikin Mekah bertanya ketika mendengar Firman Allah:
“Wayasaluunaka ‘ani ar-ruuhi quli ar-ruuhu min amri robbii wamaa uutiitum min
al-‘ilmi illaa qaliilaa.”
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: “ruh itu termasuk urusan
Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (Qs. Al-Isra: 85).
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini pula yang dijadikan sebagai salah satu senjata
oleh para orientalis untuk menggoyahkan keyakinan umat islam. Tapi dengan izin Allah,
melalui hamba-hambanya yang telah diberi ilmu pengetahuan, lewat mereka Allah
melahirkan pembawa perubahan dalam islam, yang dengan keluhuran ilmunya
membantah argumen-argumen yang di ajukan para orientalis yang ingin menghancurkan
islam. Diantaranya adalah Imam Fakhruddin Ar-Razi sebagai hujjatul islam terbesar
setelah Imam Al-Ghazali. Diantara bukunya yang berjudul “RUH dan JIWA”,
menjelaskan secara detail tentang keduanya, sehingga isinya mudah di pahami dan
menumbuhkan keyakinan akan kebesaran dan ke-Maha Esa-an-Nya.
C. Al-Qur an, Ilmu Pengetahuan dan Agama
Firman Allah dalam Qs. Al-Anbiya: 107 “wamaa arsalnaaka illa rahmatan
lil’alamiin”. dan Qs. Al-‘Imran: 19 “innaddiina ‘indAllahi al-islaam…”.
Al-Qur an yang memang diprogram sebagai kitab suci untuk menjadi petunjuk
-bukan hanya pada masyarakat ketika dan dimana Al-Qur an diturunkan- tetapi juga untuk
masyarakat keseluruhan hingga akhir zaman. Ilmu sebagai obor pencerah bagi
kesejahteraan hidup manusia dimuka bumi, yang diperoleh dengan jalan iqra.
Ilmu laksana obor penyuluh, dengan ilmu, kita dapat melihat jalan yang benar, dan
mana jalan yang salah, mana jalan yang baik dan mana jalan yang buruk, mana jalan yang
haq dan mana jalan yang bathil.
Sekali lagi menurut K.H Abdurrahman Wahid, Agama adalah pandangan terhadap
sesuatu yang dasarnya itu moral. Baik moral ketuhanan, moral sosial dan lain
sebagainya. Sedangkan M. Quraish Shihab melalui ungkapanya mengatakan “ Agama
bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi selalu relevan dengan kehidupannya.
Adakah manusia yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan, dan kebaikan?”.
Setiap agama pasti mempunyai kitab suci, merekapun sepakat bahwa pesan-pesan
yang disampaikan adalah pesan moral, yang kalau dalam pacasila kita, disebutkan dalam
butir yang ke-Dua “kemanusiaan yang adil dan ber-adab”.
Bagi kita umat islam husunya orang Indonesia, seringkali melihat darah yang
tumpah tak ada artinya diakibatkan akibat pemahaman yang kurang bijak mengenai
persoalan agama, mereka yang merasa bahwa pemahaman mereka tentang agama paling
benar, mereka yang meneriakan moral tapi sikap dan prilaku mereka sama sekali jauh dari
pesan moral. Panca sila yang menjadi asas di Negara kita pun seakan-akan hanya sebuah
rumusan nyayian anak tk yang dibaca dan didengar tanpa menghayatinya,
Begitu pentingnya ilmu pengetahuan bagi kelangsungan hidup umat manusia, maka
seyogyanya bagi kita agar belajar dengan sepenuh hati, selalu memohon agar diberi taufiq
oleh Allah dalam, sehingga apa yang kita pelajari dapat memberi petunjuk bagi diri kita
khususnya, sebagai penerang bagi masyarakat disekitar kita, dan tentunya bagi dunia
keilmuan islam.
Sebagai generai penerus islam, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengkaji
dan mengamalkan apa yang terkandung didalam Al-Qur an, sebagai bekal bagi kita untuk
mengarungi kehidupan, sebagai umat pewaris agam yang rahmatan li al-‘alamin,
keluwesan dalam memandang sebuah keniscayaan merupakan salh satu langkah yang
harus kita tempuh, sehingga kita tidak terjebak didalam pemikiran-pemikiran yang bisa
menghancurkan diri dan kelang sungan hidup umat manusia. Kata-kata bijak dari K. H. A.
musthofa Bisri mungkin bisa menjadi bahan renungan bagi kita, bahwa “ kebanaran kita
berkemungkinan salah, kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Hanya kebenaran
Tuhan yang benar-benar benar”.

D. Orientalis
Orientalis yang dimaksudkan disini adalah para sarjana barat yang menguasai
masalah-masalah ketimuran. Mereka umumnya dianggap sangat berbahaya, misalnya
lewat karya-karya tulisanya yang biased (berat sebelah atau sarat prasangka), meskipun
disisi lain ternyata cukup berjasa pula.
Mereka sangat tekun dan telaten melakukan riset dan eksplorasi diberbagai bidang:
kesusastraan, bahasa, sejarah, filsafat, politik, fikih, kebudayaan, dan disiplin ilmu-ilmu
lain, dengan metodologi yang andal dan canggih, meskipun terkadang amburadul juga.

Motifasi-motifasi Para Orientalis


Perlu ditegaskan bahwa selain motif-motif yang bersifat negatif berikut, ada juga
diantara mereka yang tampaknya tidak punya tujuan apa-apa, melainkan sekadar ingin
mengkaji, meneliti, dan mendalami islam secara tekun dan objektif dan dengan tekun
penuh toleransi serta kejujuran untuk mengetahuinya. Seperti gustav le bon, seorang
filosof materialis yang menulis buku peradaban islam.
Bahkan diantara mereke yang tergolong orientalis kelas tinggi yang memperoleh
hidayah Allah swt lalu menyatakan masuk islam. Misalnya, Dr. Roger Garaudy dari
Prancis, Prof. Abdullah karim Germanus dari Hongaria, Dr. Et Diniet dari Prancis dan
setelah menetap di Aljazair mengganti namanya menjadi Nasruddin Diniet, Margaret
Marcus Yahudi New York yang lantas berganti nama menjadi Maryam Jamilah, dan
masih banyak lagi.

Motif-motif negatif tersebut ialah:


1. Motif Agama
Membenci dan memusuhi islam serta berusaha menggerogoti dan melumpuhkannya
baik dari luar maupun dari dalam.
2. Motif Imperial atau Penjajahan
Mencari titik lemah islam dan menghantamnya, melakukan ekspansi militer,
melemahkan prinsip-prinsip keruhanian dan sepiritual dari dalam, memecah-belah
kesatuan dan persatuan umat islam.
3. Motif Bisnis atau Ekonomi
Berusaha melumpuhkan perekonomian Negara-negara islam sehingga selalu dalam
kondisi ketergantungan lewat penyusupan-penyusupan, pembelian atau eksploitasi
sumber-    sumber alam, kerja sama ekonomi untuk keuntungan pemasaran produk-
produk mereka.
4. Motif Politis
Mengadu domba, menyebarluaskan keonaran, tipudaya-tipudaya atau cara halus
lainya. Dengan cara meneliti kebudayaan, bahasa dan strategi politik, mendalami
psikologi masyarakat dan orang-orang terkemuka di negri islam guna mencapai tujuan
mereka. Mereka pun bisa menggunakan jasa para duta besar, turis, konsuler, bantuan
tenaga ahli, dan lain-lain.
5. Motif Ilmiah
Mendalami masalah-masalah yang berkaitan dengan islam dengan sistematika dan
metodologi ilmiah yang objektif, dan memutarbalikan fakta-fakta yang sebenarnya.
Caranya diantaranya , melalui penterjemahan atau penyalinan berbagai literature di
segala bidang atau disiplin ilmu.
6. Motif Strategi Geografis
Hal ini berhubungan erat dengan letak negri-negri islam yang sangat strategis, baik
dari segi militer, perdagangan, polotis dan lain sebagainya.

Dari penjelasan diatas mungkin dapat menyadarkan kita akan pentingnya sebuah ilmu
pengetahuan, baik yang bersifat akhirati maupun yang bersifat duniawi, sebagai tameng
akidah maupun sebagai senjata melawan arus penjajahan yang halus maupun yang terang-
terangan.
 
E. Berilmu dan Beramal
Sebagai bekal keberadaan manusia dimuka bumi, Allah swt. telah memberikan ilmu
kepada manusia agar ia mampu menjalankan tugas sebagai khalifah dimuka bumi. Pada
masa awal penciptaan Adam As, Allah telah memberinya ilmu pengetahuan tentang
nama-nama ilmu pengetahuan. Isyarat ini menunjukan betapa pentingnya ilmu dalam
kehidupan. Tanpa ilmu manusia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia ingin berbuat sesuatu
namun tidak tahu caranya. Mau melangkah, namun tidak tahu arah dan tujuanya. Karena
itu, agar manusia mengerti dan memahami hakikat kehidupannya, ia wajib memiliki ilmu.
Namun demikian, ilmu tidak mampu memberikan jaminan apa-apa kepada manusia, ia
tidak akan bermakna bagi dirinya, jika  dia tidak memiliki hubungan yang erat dengan
tuhanya melalui ibadah-ibadah yang sudah semestinya ia tunaikan sebagai seorang hamba.
Islam sebagai agama rahmatan li al-‘aalamiin,amat menganjurkan hambanya agar
berilmu. Karena pada hakekatnya orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu itu
tidak sama. Ilmu adalah penerang dikegelapan, tongkat bagi yang buta, sandaran bagi
yang lumpuh, alas bagi yang tak punya sepatu.
Disamping ilmu, apa yang sebenarnya kita perlukan ialah taufiq yaitu bimbingan
Allah swt. dengan taufiq, segala amal perbuatan kita akan sejalan atau sesuai dengan ilmu.
Pada titik ini, barulah ilmu yang kita miliki menjadi ilmu yang bermanfaat bagi diri kita
dan kita juga dapat mengamalkannya demi kebaikan orang lain. Inilah bentuk
implementasi ajaran islam yang sebenarnya, yaitu berintegrasinya iman, ilmu dan amal
dalam kehidupan kita.
Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA mengajak kita merenung sejenak dan bertanya
pada diri kita, kira-kira apa yang salah dengan kita, sehingga shalat yang seharusnya dapat
mencegah kita dari perbuatan keji dan mungkar, tidak memiliki dampak yang berarti pada
prilaku kita?, Puasa yang seharusnya mampu menghasilkan pribadi yang takwa ternyata
sebaliknya?, Ibada haji yang seharusnya melahirkan agent of change, namun mengapa
kerap kali malah menjadi pelaku maksiat, koruptor, tukang hasut, dan sederetan perbuatan
bejat lainya.
Selanjutnya beliau mengemukakan tiga kesalahan pokok dalam memaknai cara
keberagaman kita. Pertama, agama masih banyak dipahami sebagai bentuk ritual semata.
Kedua, agama sering diartikan sebagai sebuah “kewajiban”, pemahaman terhadap agama
semacam ini tidak salah, namun semestinya ada tingkat keberagaman lebih tinggi yang
harus kita raih, yakni keberagaman kita sebagai bentuk pengabdian kita kepada Tuhan
pencipta alam dan bentik cinta kita kepada-Nya. Ketiga, agama sering ditafsirkan sebagai
urusan kita dengan tuhan. Padahal, esensi agama adalah kasih kepada tuhan dan kepada
makhluk-Nya. Dalam beragama harus dapat menyeimbangkan antara relasi vertikal dan
horisontal. Keshalihan pribadi kita juga harus berdampak pada keshalihan sosial.
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan KeserasianAl-Qur an, cet. II,
bbbbbbbLentera Hati, Ciputat, Jakarta, 2009.

Choiruddin Hadhiri SP, Klasifikasi Kandungan Al-Qur an, Gema Insane Press, cetakan
bbbbbbbkesebelas, Jakarta, 2002.

M. Nasir Arsyad, Seri Buku Pintar Islam I: Seputar Al-Qur an dan Ilmu, cet IV, Al-
bbbbbbbBayan, Bandung, Dzulqa’dah 1416/April 1996.

Argawi Kandito, Ngobrol dengan Gus Dur Dari Alam Kubur, Pustaka Pesantren,
bbbbbbbYogyakarta, 2010.

A.Musthofa Bisri, Mencari Bening Mata Air: Renungan A. Musthofa Bisri, cet IV, 
bbbbbbbKompas, Jakarta, 2009.

Prof. Dr. NasaruddinUmar, MA, Pintu-Pintu Menuju Kebahagiaan: belajar 9 seni


bbbbbbbHidup Bahagia di Dunia dan Akhirat, Al-Ghazali Center, ciputat, jak-sel, 2008.

Drs. Sidi Gazalba, Buku Dua: Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu: Kehidupan Sosial
bbbbbbbKebudayaan-kebudayaan: Bersahaja. Peralihan. Moderen. Islam, Pustaka
bbbbbbbAntara, Jakarta, 1967.

Drs. FAdil SJ., M.Ag, Pasang Surut Peradaban Islam dalam lintas sejarah, UIN Malng
bbbbbbbPress, Malang, 2008.

Abdullah M. Al-Rehaili, Bukti Kebenaran AL-Qur an, www.pakdenono.com, 2008.

Anda mungkin juga menyukai