Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TEORI YANG BERKAITAN DENGAN MAKNA SIMBOLIK DAN


FUNGSINYA DALAM BUDAYA JAWA

Telah diketahui bahwa kedudukan simbol atau tindakan simbolis


dalam religi merupakan relasi atau penghubung dengan nilai sakral.
Hubungan ini seperti Bakker katakan, suatu relasi antara komunikasi human
kosmis dan komunikasi religius lahir dan batin.62 Ari-ari, meskipun berupa
benda fisik, pada kenyataannya adalah instrumen untuk ekspresi atau
tindakan simbolik orang Jawa dalam upacara menyambut kelahiran bayi.
Dalam pandangan orang Jawa menempuh kondisi kesadarannya dengan
Tuhan. Kesadaran ini, meminjam ungkapan Kierkegaard, yakni bahwa ia
adalah seorang yang eksis, sebuah usaha untuk meninggalkan yang fisis
menuju yang abstrak sehingga seseorang bisa menguasai alam63 dengan
melakukan upacara atau ritual.
Bab ini akan mengkaji makna simbolik ari-ari dan fungsi upacara
yang menyertainya dalam tradisi masyarakat jawa yang merupakan warisan
nenek moyangnya merupakan pedoman yang diyakini membimbing
menemukan keselamatan hidup.
A. Pengertian Makna Simbolik Dan Fungsi Simbol
1. Makna Simbol
Manusia terkenal sebagai makhluk berbudaya, di mana
budaya manusia penuh dengan Simbol. Karena pemikiran dan
tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas milik
manusia bukan makhluk lainnya, seluruh kemajuan kebudayaan

62
J W M Bakker, Sejarah Filsafat Dalam Islam, Yayasan Kanisius, cet. Ke-1, 1978, hlm.
117.
63
Martin,Vincent OP, Existansialism:Soren Kierkegaard, Jean Paul Sartre,Albert Camus,
Penerjemah: Taufiqurrohman,Pustaka Pelajar, cet. Ke-1, Yogyakarta, 2001, hlm. 11-16.

20
manusia mendasarkan diri pada kemampuannya sebagai animal
symbolicu,.64 Sebagaimana di katakan Geertz, makna sebuah
Simbol tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan Makna
dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, bukan di dalam diri
mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi
(private). simbol sebagaimana Sanderson katakan, bersifat
terbuka dan produktif. Simbol-simbol memiliki Makna yang baru
atau berbeda, bergantung pada penggunaan dalam konteks
dialektikanya simbol itu65 oleh individu dalam menegaskan
pengalamannya.
Menurut Spradley dalam Endraswara, Simbol adalah objek
atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Dengan
Simbol, kehidupan subyektif serta perilaku tampak diatur, dan
digunakan individu guna memberi bentuk kepada pengalaman
serta dasar bagi tindakan. Simbol atau suatu tanda,
memberitahukan sesuatu kepada seseorang yang telah
mendapatkan persetujuan umum dalam tingkah laku ritual. unit
atau bagian terkecil dalam ritual yang mengandung makna dari
tingkah laku ritual yang bersifat khusus.66 Daya kekuatan Simbol
yang bersifat emotif, yang merangsang orang untuk bertindak
dipandang sebagai ciri hakikinya.67
Simbol merupakan suatu gambaran tentang makna
kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang digambarkan atas
ritualitas masyarakat dan sangat tidak mungkin mengetahui

64
Suwardi Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan, Gajah Mada
University, cet. Ke-1, Yogyakarta, 2012, hlm. 171.
65
Suwardi Endraswara, Agama Jawa, Narasi, cet. Ke-1,Yogjakarta, 2018, hlm. 94-98.
66
Suwardi Endraswara, Agama Jawa, op. Cit., hlm. 172.
67
F.W. Dillistone, The Power of Simbols, op. Cit., hlm. 19.

21
makna ritualitas masyarakat tanpa adanya pemahaman makna
Simbol-simbol yang digunakan.68
Seseorang dapat memberi bentuk dan makna simbolik
terhadap pengalaman emosional dirinya. merupakan ilustrasi
mengenai proses belajar yang luas itu yang biasanya kita sebut
kebudayaan.69 Simbol mempunyai kekuatan dalam mengarahkan
kehidupan umum ataupun pribadi.70 setiap individu bisa
memberikan tambahan makna pribadi dalam makna umum
sebuah simbol. Makna simbol Douglas yang dikutipkan oleh
Ardianto bahwa sebelum adanya tata cara dalam proses pembentukan
makna ini asalnya melalui interaksi.71
Dengan demikian, simbol sebagaimana menurut Spradley
yang dikutip Budiono Herususanto, ialah objek peristiwa yang
merujuk pada sesuatu. Artinya simbol merupakan tanda gejala
yang memberikan informasi pada individu yang memperoleh
persetujuan umum dalam melakukan ritual.72
2. Fungsi Simbol Bagi Masyarakat
Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-
ungkapan yang simbolis. Manusia tidak pernah melihat, mengenal
dan menemukan dunia secara langsung tetapi melalui berbagai
simbol73 sakral budayanya, kualitas kehidupan, moral, estetis dan

68
Budiono Herususanto, Simbolisme dalam budaya jawa, Hanindita Graha Widia, cet. Ke-1,
Yogyakarta, 2001, hlm 7.
69
C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisisus, cet. Ke-24, Yogyakarta, 2018, hal. 42.
69
Andrew Beatty, op. Cit., hlm. 147.
70
Ibid., hlm. 53.
71
Elvinaro Ardianto dkk, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media,
Bandung, 2007, hlm.136.
72
Budiono Herususanto, Simbolisme dalam budaya jawa, Hanindita Graha Widia, cet. Ke-,
Yogyakarta, 2001, hlm. 6.
73
Ibid., hlm. 10.

22
suasana hati menurut Geertz, mengalami hubungan sintesis dengan
Simbol.
Karena fungsi merupakan sesuatu yang dapat bermanfaat
dan berguna bagi kehidupan suatu masyarakat dimana keberadaan
dari sesuatu tersebut mempunyai arti penting dalam kehidupan
sosial.74 Dalam hampir setiap budaya, penggunaan Simbol
menjadi sangat penting berfungsi sebagai media dalam proses
penyatuan diri antara Tuhan, manusia, dan dengan alam. 75 Fungsi
sebuah Simbol mengubah suatu objek atau tindakan menjadi
sesuatu yang sangat berbeda, dari sebelumnya bersifat profane
berubah menjadi sakral. Sebagaimana yang dicatat Eliade,
pemaduan dan pendamaian adalah ciri dari Fungsi Simbolisme.76
Dengan Simbol manusia dapat menentukan kesatuan dengan
objek sakral, di dunia dan pada saat yang sama membuka tujuan
hidup menjadi bagian integral manusia di dunia. Dengan
demikian, Simbol merupakan sarana penetapan dengan objek
suci.77
Dalam pengalaman atau tindakan religius manusia, Simbol
membuka jalan untuk manusia mendekatkan diri pada yang
transenden yang merupakan realitas dirinya. Jika seseorang ingin
menembus realitas menurut Zoetmulder sebagaimana yang
dikutip Beatty, masuklah ke dalam simbol.78 Simbol itu
merupakan jendela-jendela yang membuka pandangan terhadap

74
Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, op. Cit., hlm. 29.
75
Yusuf Zainal Abidin Dan Beni Ahmad Saebani, Sistem Sosial Budaya, Pustaka Setia, cet.
Ke-1, hlm. 195.
76
F.W. Dillistone, op. Cit., hlm. 144.
77
Thomas F. O‟dea, Sosiologi Agama,: Suatu Pengenalan Awal, penerjemah:Yasogama,
Rajawali, cet. Ke5, Jakarta, 1994, hlm. 182.
78
Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi, Penerjemah:
Achmad Fedyani Saefuddin, PT Raja Grafindo Persada, cet. Ke-1, 2001, hlm. 222.

23
realitas dunia. Menurut Eliade yang dikutip Peursen, lambang-
lambang menunjukkan ke arah kekuasaan-kekuasaan yang ada di
atas dan di luar manusia (transden).79 Yang transden ini menurut
Zoetmulder, menampkkan rahasianya melalui simbol.80
Walau pun pada kenyataannya simbol tetap berhubungan
dalam kehidupan sehari-hari, tetapi mempunyai fungsi tambahan,
yaitu merayakan siklus kehidupan dunia alami yang teratur.81
Nilai atau makna historis budaya dalam simbol menjadi
pengetahuan tentang sikap-sikap terhadap hidup yang selaras
sebagai sarana bagi manusia untuk menyampaikan, mengabadikan
dan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman mengenai
hidup.
B. Upacara Dan Tujuan
1. Pengertian Upacara Dan Fungsinya Bagi Masyarakat
Menurut Mercea Eliade, sebagaimana dikutip oleh
Mariasusai Dhavamory, Upacara atau Ritual adalah sesuatu yang
mengakibatkan suatu perubahan ontologis pada manusia.82
Karakteristik dari upacara mentransformasikan para pelakunya
pada situasi keberadaan yang baru, karena menempatan para
pelaku pada lingkup yang kudus. Istilah Upacara atau Ritual
dalam budaya tradisional adalah suatu kegiatan mistik yang
bertujuan untuk memohon keselamatan baik di dunia dan
diakhirat.83 Pada saat-saat tertentu, Ritual juga dapat menjadi
wadah bersama masyarakat, dalam mempertemukan berbagai

79
C.A. van Peursen, op. Cit., hlm. 42.
80
Andrew Beatty, op. Cit., hlm. 219.
81
F.W. Dillistone, op. Cit., hlm. 23.
82
Mariasusai Dhavamory, op. Cit., hlm. 162.
83
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), Penerjemah: Aswab Mahasin
Dan Bur Rasuanto, Komunitas Bambu, cet. Ke-1, Depok, 2014, hlm. 13.

24
aspek kehidupan sosial dan perseorangan.. melalui Ritual, fungsi-
fungsi hidup anggota kelompok dapat diperbaharui noda sosial
yang ada.
Upacara atau Ritus menurut Mercea Eliade, mengingatkan
peristiwa primordial masa lampau yang suci dan melanggengkan
tradisi suci.84 Ritus atau Upacara adalah kelakuan simbolik yang
mengkonsolidasi atau memulihkan tata alam dan menempatkan
manusia dan perbuatannya dalam tata tersabut85 secara harmonis.
Upacara atau Ritual dalam proses mistik merupakan tahap awal
dari proses dalam pencarian keselamatan, lalu diikuti oleh
mayoritas orang Jawa untuk menuju tahap yang paling akhir
yakni kesatuan kepada Tuhan.86
Upacara merupakan salah satu wujud peninggalan
kebudayaan. Tata nilai atau tata norma yang dilakukan
masyarakat dalam bentuk upacara tradisional merupakan
manifestasi tata kehidupan. Sedekah makanan dan doa yang
biasanya dipersembahkan dimaksudkan untuk memohon
keselamatan dan ketentraman untuk ahli keluarga yang
menyelenggarakan.87 Upacara dengan demikian, mempunyai arti
tentang suatu keadaan yang didambakan yaitu keadaan tak ada
sesuatu yang akan menimpa (seseorang).88

84
Ibid.,183.
85
Rahmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan Dan Yayasan Cipta Loka Caraka,
cet. Ke-2, 1981, hlm. 116.
86
Yana MH, Falsafah Dan Pandangn Hidup Orang Jawa, Absolut, cet. Ke-1, 2010, hlm.
47.
87
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa: Menggali Untaian Kearifan Lokal, Pustaka Pelajar,
cet. Ke-1, Yogyakarta, 2005, hlm. 22.
88
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 18.

25
Upacara adalah sesuatu yang berhubungan dengan tindakan
pelaksanaan89 merupakan mediasi untuk melakukan kontak
simbolik dengan kekuatan adikodrati.90 Di mana di dalamnya,
berbagai macam perasaan, cinta hormat, bakti dan juga bisa takut
dan ngeri, mendorong manusia melakukan berbagai perbuatan
yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia gaib 91 lewat
empat komponen yaitu tempat upacara, saat upacara, alat-alat
upacara, berhubungan dengan permohonan keselamatan kepada
TuhanNya.92
2. Tujuan Diadakannya Upacara Dalam Masyarakat
Terdapat ragam Upacara yang dijadikan manusia dalam
melakukan kontak dengan dunia gaib, seperti melakukan upacara
yang berupa do‟a, bersaji, berkorban, berpuasa, bertapa,
bersemedi. Tujuannya adalah untuk menciptakan keadaan yang
sejahtera, aman, bebas dan selamat dari gangguan mahluk yang
nyata maupun halus.93
Perayaan yang mengiringi ritual berhubungan dengan usaha
untuk menghalau berbagai makhluk halus jahat yang diangap
sebagai penyebab dari ketidak teraturan dan kesengsaraan dalam
masyarakat,94 Upacara terdiri atas kombinasi berbagai macam
unsur Upacara seperti berkorban, berdoa, bersesaji makan

89
Tim Penyusun, Swastikarana Pedoman Ajaran Hindu Dharma, Parisada Hindu Dharma
Indonesia, cet. Ke-1, Jakarta, 2013, hlm, 155.
90
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 3140.
91
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, cet. Ke-8, Jakarta, 2002,
hlm.
241.
92
Moertjipto, Wujud, Arti Dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama Dan Asli Bagi
Masyarakat Pendukungnya Di Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, cet. Ke-1, Yogyakarta, 1995, hlm. 105.
93
Andrew Beatty, op. Cit., hlm. 43.
94
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 562.

26
bersama, berprosesi, semadi, dan sebaginya. Urutannya tidak
tentu sebagai hasil ciptaan para pendahunya yang telah menjadi
Tradisi.95
Hakikat Upacara menyangkut daur kehidupan,96 karena
dalam suatu upacara, sebagaimana Geertz “Kekuatan”
diinternalisasikan dalam diri orang yang menganutnya, dipandang
sedikit-banyaknya punya relevansi langsung. membebaskan ego,
dengan Refleksi-diri pada saat bersamaan merupakan intuisi dan
emansipasi, Sebagai cahaya yang terpancar dari luar dan
menerangi kehidupan manusia.
C. Tradisi Dan Fungsi Sosial
1. Pengertian Tradisi
Istilah Tradisi berasal dari kata trader atau traderer (bahasa
latin) yang memiliki arti menyerahkan, mengirimkan, memberi
untuk dijaga.97 Dalam Kamus besar bahasa Indonesia tradisi
adalah suatu adat kebiasaan dari nenek moyangnya yang masih
terus dilakukan oleh masyarakat secara turun-temurun.98 Dalam
Ensklopedi disebutkan bahwa adat “kebiasan” atau “tradisi”
masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turu-
temurun. Kata “adat” lazim dipakai tanpa membedakan mana
yang mempuyai sanksi seperti “hukum adat‟ dan mana yang tidak
mempuyai sanksi seperti disebut adat saja.99

95
Ridin Sofwan dkk, Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Gama Media, cet. Ke-1,
Yogyakarta, 2004, hlm. 205.
96
Niels Mulder, Kebatinan Dan Hidup Sehari-Hari Orang Jawa, penerjemah: Alois A
Nugroho, PT Gramedia, cet. Ke-1, Jakarta, 1983, hlm. 54.
97
Mahmud Dan Ija Suntana, Antropologi Pendidikan, Pustaka Setia, cet. Ke-1, Bandung,
2012, hlm. 97.
98
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, cet. Ke-2, Jakarta, 1997, hlm. 959.
99
Ensklopedi Islam, jilid 1, PT Ichtiar Baru Van Hoven, cet. Ke-3, Jakarta, 1999, hlm. 21.

27
Dalam pengertian yang paling sederhana, Tradisi diartikan
sebagai sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan
menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat.100
Pada dasarnya, setiap individu akan memperoleh suatu
penanaman akan rasa yakin serta tingkah laku yang diwarisi dari
generasi sebelumnya dimana nantinya akan diwariskan kembali
kepada keturunan selanjutnya sehingga terdapat adanya
perkembangan. Selain itu, diharapkan juga tradisi tersebut akan
bertahan lebih lama bahkan hingga ribuan tahun lamanya.101
Dengan demikian tradisi dapat disimpulkan tidak terjadi pada
masa lampau, akan tetapi hingga pada masa depan bahkan hingga
perubahan zaman tetap terjadi. Langkah pelaksanaan pewarisan
tersebut dilaksanakan oleh nenek moyang dengan
mempergunakan cara alternatif ketika menjalani suatu masalah
yang mana masih belum teridentifikasi solusinya.102
Tradisi berdasarkan pandangan antropologi ialah
pembentukan kebiasaan dimana para individu mempercayai
adanya ghoib ataupun roh dari nenek moyang yang meliputi nilai,
budaya, norma, hukum serta peraturan dimana mempunyai
keterkaitan. Lalu dijadikan sebagai pengaturan yang mencakup
langkah dari pelaksanaan kebudayaan dalam rangka melakukan
pengaturan akan tindakan dari para individu ketika menjalankan
kehidupannya secara sosial.103

100
Nur Syam, Islam Pesisir, Lkis Pelangi Aksara, cet, Ke-1, Yogjakarta, 2005, hlm. 16-18
101
Alo Leliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, Nusa Media, cet. Ke-4, Bandung, 2014, hlm.
97-98.
102
Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, PT Gramedia, cet. Ke-1, Jakarta, 1983, hlm. 3.
103
Ariyono Dan Aminuddin Sinegar, Kamus Antropologi, Akademika Pressindo, cet. Ke-2,
Jakarta, 1985, hlm. 4.

28
Hubungan manusia sangatlah penting, terutama dalam
tingkahnya ketika berada di dalam lingkungan. Tradisi
dikembangkan sebagai system dimana terdapat adanya pola serta
norma yang dapat memberikan pengaturan terhadap adanya
sanksi apabila terjadi tindakan melanggar serta menyimpang yang
dilakukan anggota masyarakat. Berdasarkan perspektif Funk dan
Wagnalls dimana dikutipkan oleh Muhaimin, tradisi diartikan
sebagai wawasan, doktrin, kebiasaan, serta lain-lain dimana
mudah dimengerti dan dijadikan ilmu yang diwarisi kepada
generasi selanjutnya, terutama dalam hal menyampaikan doktrin
serta di praktekkan.104
Jadi pada intinya semua itu merupakan pandangan hidup
sekelompok individu dimana membutuhkan adanya interaksi
berlandaskan pada system adat continu dan terikat oleh suatu
identitas bersama105 oleh karena terdapat suatu informasi dimana
diajarkan kepada generasi selanjutnya yang
mempergunakan bentuk tulisan ataupun lisan, hal ini dikarenakan
terdapat adanya unsur tradisi mengalami kepunahan.106 Identitas
bersama masyrakat lahir dari wujud ideal kebudayaannya yang
bersifat abstrak dan tak dapat diraba yang ada di dalam pikiran
manusia dimana dapat berbentuk gagasan ataupun, ide,107 Yang
mendasarinya yang didefinisikan sebagai kebudayaan. Adat
istiadat dan segala kecakapan lain yang diperoleh manusia

104
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon, penerjemah:
Suganda, Logos Wacana Ilmu, cet. Ke-1, Ciputat, 2001, hlm. 11.
105
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, op. Cit., hlm. 116
106
Koentjaraningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jambatan, cet. Ke-2, Yogyakarta,
1994, hlm. 103.
107
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, op. Cit., hlm. 186.

29
sebagai anggota masyarakat108 juga merupakan bagian
kebudayaan, yang oleh Koentjaraningrat, secara menyeluruh pada
sistem gagasan, tingkah laku serta hasil karya yang dimiliki oleh
para individu dimana dapat dijadikan sebagai milikinya melalui
pembelajaran.109
Maka Tradisi sebagai bagian dari kebudayaan, Menurut
Cannadine, di lihat melalui beragam macam aspek material
dimana menunjukan serta memberikan peningkatan pada
kehidupan lampau manusia. Di mana para individu di dalam
lingkungan memiliki keprcayaan terhadap benda yang
memberikan perlindungan dari adanya malapetaka. Pada
dasarnya, refleksi akan kesadaran manusia lebih dikenal dengan
berpaku pada sisten kognisi manusia, sedangkan material artefect
serta non material sosioculture dikatakan sebagai suatu perangkat
terhadap tingkah laku.110 Menurut Marvin Harris, Tradisi adalah
suatu gaya hidup dimana memberikan pelajaran mengenai
anggota masyarakat, terutama dalam hal pemikiran, perasaan,
serta perilaku dimana akan dipolakan serta dijalankan secara
berulang.111
Shils melihat Tradisi merupakan keseluruhan benda material
dan gagasan yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke
masa kini.112 Tradisi dengan demikian, meliputi segala kompleks

108
Sutan Takdir Alisjahbana, Antropologi Baru, Dian Rakyat, cet. Ke-3, Jakarta, 1986, hlm.
207.
109
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, op. Cit., , hlm. 181.
110
Nur Syam, Islam pesisir, op. Cit., hlm. 15-16.
111
Stanley J. Baran, Pengantar Komunikasi Masa Melek Media dan Budaya, penerjemah:.
S. Rouli Manalu Erlangga, cet. Ke-5, Jakarta, 2012, hlm. 9.
112
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, penerjemah: Ali Mandan Pernada Media
Grup, cet. Ke-4, Jakarta, 2008, hlm. 70.

30
kehidupan, tradisi bukan obyek yang mati, melainkan alat yang
hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.
2. Fungsi Tradisi Dalam Masyarakat
Secara khusus Tradisi diterjemahkan sebagai proses
pewarisan atau penerusan norma-norma, adat istiadat, kaidah-
kaidah dan semacamnya. Menurut C.A Van Peursen, Tradisi
dapat dirubah diangkat, ditolak dan dipadukan dengan aneka
ragam perbuatan manusia.113 Tradisidapat diserupakan dengan
adat dimana para individu dapat memahaminya sebagai bentuk
struktur dimana tradisi melibatkan peranan dari aturan yang wajib
diikuti.114
Aturan Adat ketertiban formal dapat meliputi adanya
perwujudan ketika upacara serta ritual, praktek birokrasi,
melaksanakan tatakrama serta mempunyai suatu kuasa pada
kelompok dimana dapat dikatakan sebagai bentuk ancaman akan
ketentraman serta unsur tertib yang dapat mempengaruhi emosi
serta naluri manusia. Oleh sebab itu, hal ini sangat perlu
dikendalikan.115
Dalam masyarakat terdapat adanya unsur penting pada
tradisi yaitu diterapkan pada bahasa serta komunikasi simbolik116
mempergunakan simbol yang dijadikan sebagai media
komunikasi dimana teryakini mempunyai adanya unsur gaib
dimana tujuannya adalah untuk menjalankan komunikasi yang era
tentara dua atau lebih individu. Dengan Tradisi, setiap individu
diwajibkan untuk menyerahkan dirinya kepada lingkungan seperti
113
C.A. Van Peursen, op. Cit., hal. 11.
114
Muhaimin AG, op. Cit., hlm. 78.
115
Niels Mulder, op. Cit., hlm. 46-47.
116
Yusuf Zainal Abidin, Pengantar Sistem Sosial Budaya, Pustaka Setia, cet. Ke-1,
Bandung, 2013, hlm. 69-72.

31
kepada “tuhan”; ia harus menjadi bagian tak terpisah yang harus
menyesuaikan diri dengan norma-norma dan adat-istiadat.117
Tradisi pertama mempunyai fungsi untuk menyediakan
fragmen warisan kepada generasi selanjutnya. Tradisi ini
dipandang dengan gagasan dimana mampu dipergunakan pada
tindakan kini serta dalam pembangunan masa depan berlandaskan
pada pengalaman yang diperoleh. Kedua, tradisi berfungsi untuk
menyediakan suatu legitmasi akan perspektif hidup, keyakinan,
pranata dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan
pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Tradisi berfungsi
menyediakan Simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
memeperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas
dan kelompok. Ketiga, fungsi Tradisi ialah untuk membantu
menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan, dan
kekcewaan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa
lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti
kebanggalan bila masyarakat berada dalam kritis.118
Menurut Shils “Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi
meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka”. 119
Maka Shils Menegaskan, suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi
masyarakat antara lain: pertama, dalam bahasa klise dinyatakan,
tradisi adalah kebijakan turun temurun. Tempatnya di dalam
kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut kini serta di
dalam benda yang diciptakan di masa lalu. Tradisi pun
menyediakan fragmen warisan historis yang kita pandang

117
Niels Mulder, op. Cit., hlm. 47.
118
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, cet. Ke-1, Jakarta, 2008, hlm. 82.
119
Piotr Sztompka, op. Cit., hlm. 74.

32
bermanfaat. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang
dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk
membangun masa depan. Kedua, memberikan legitimasi terhadap
pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada.
Semuanya ini memerlukan pembenaran agar dapat mengikat
anggotanya. Salah satu sumber legitimasi terdapat dalam tradisi.
biasa dikatakan: “selalu seperti itu” atau orang selalu mempunyai
keyakinan demikian” meski dengan resiko yang paradoksal yakni
bahwa tindakan tertentu hanya akan dilakukan karena orang lain
melakukan hal yang sama di masa lalu atau keyakinan tertentu
diterima semata-mata karena mereka telah menerima sebelumnya.
Ketiga, menyediakan Simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan
kelompok. Tradisi daerah, kota dan komunitas lokal sama
perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang
tertentu. Keempat, membantu menyediakan tempat pelarian dari
keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan modern.
Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia
menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat
berada dalam krisis.120
D. Pengertian Ari-ari Dan Kepercayaan Masyarakat Jawa Dalam
Praktik Ngubur Ari-Ari
1. Pengertian Ari-ari
Pengertian Ari-ari dalam istilah ilmu medis dikenal dengan
plasenta yaitu, organ yang berbentuk cakram yang
menghubungkan janin dengan dinding rahim yang menjadi jalan
perantara bagi pernafasan, pemberian makanan, dan pertukaran

120
Ibid., hlm. 75-76

33
zat buangan antara janin dan darah ibu keluar dari rahim
mengikuti janin yang baru lahir.121 Dalam kepercayaan
masyarakat adat, kelahiiran seorang bayi dibarengi kelahiran
saudara kembarnya. Saudara tua berupa air kawah (air ketuban)
yang keluar sesat sebelum bayi lahir, disebut kakang kawah dan
saudara muda berupa ari-ari biasanya disebut adhi ari-ari.122
Orang Jawa menggunakan adik, kakak, sebagai metafora
saudara kandung untuk menjelaskan hubungan ikatan atau jalinan
tak terpisahkan aspek fisik dan metafisik sebagai sumber
kekuatan spiritual123 penciptaan manusia Menurut ilmu kejawen,
Allah menciptakan manusia dalam rangka lima: kakang kawah
(kendangan, placenta), adi Ari-ari (embing-embing, tuntunan,
fluidum amnoticum), rah/banyu (air ketuban atau vernix caseosa)
dan tali puser (funis umbilicius) yang disebut sedulur tunggal
pretapan (saudara tunggal pertapaan, yaitu gua garba ibu).124
Tali pusar dan Ari-ari yang keluar sesudah kelahiran dianggap
sebagai adik spiritual sang bayi, sedangkan air ketuban yang
mendahuluinya (terpancar ke atas ke udara) dianggap sebagai
abang spiritualnya.125 Selama tiga puluh lima hari pertma mereka
ini tinggal di dekat sang bayi untuk melindunginya dari penyakit,
yang pertama terhadap penyakit yang datang dari bumi, sedang
yang kedua terhadap penyakit yang datang dari langit.126
Tujuannya adalah agar tidak diganggu oleh binatang ataupun

121
Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Amelia, cet. Ke-1, Surabaya, 2002, hlm.
359.
122
Soetrisno R, Ensklopedia Seni Budaya Jawa Timur, SIC, cet. Ke-1, 2008, hlm. 33.
123
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 501.
124
Rahmat Subagya, op. Cit., 148
125
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 59.
126
Ibid, hlm. 59.

34
kekuatan makhluk halus yang tidak baik, serta mahluk halus
lainnya.
2. Penghormatan Orang Jawa Terhadap Ari-Ari Dengan
Mengadakan Upacara
Kepercayaan tentang Ari-ari dan Ritual yang menyertainya,
terkait ilmu tasawuf, ilmu kebatinan, tarikat dan macam-
macam127 yang pada intinya tentang roh kedua saudara itu bisa
berkeliaran, tetapi tetap menjadi roh pelindung anak itu.128 Orang
Jawa selalu mengadakan "sesaji'" yang peralatannya disebut
"sajen".
Sesaji merupakan warisan budaya Hindu, sedangkan doa
merupakan inti ibadah dalam Islam. Keduanya menjadi Tradisi di
kalangan kebanyakan orang Jawa.129 Adapun keinginan
mengadakan sesaji itu dimaksudkan untuk usaha mendisiplinkan
diri sendiri supaya ingat, bahwa manusia itu mempunyai unsur-
unsur rohani yang disebut "sadulur papat lima pancer."
Orang Jawa menekankan sekali untuk mendekati saudaranya
yang bersifat gaib halus itu, supaya mendapat bantuan dan
pengayoman dalam melakukan keperluan hidupnya sehari-hari,
dan jangan sampai menggodanya. Untuk itu, maka diadakan
Upacara sesaji.130 Interaksi antara biologis dan budaya yang
dimaksud bukan hanya yang terjadi pada masa kini tetapi juga
yang telah terjadi sepanjang sejarah manusia.

127
https://m.jogjakartanewscom/baca/2014/04/16/1498/tradisi-mengubur-ariari
%E2%80%9Ck ubur%E280%9D-manfaat-plasenta-bagi-kesehatan-, Diakses pada tanggal
10 Mei 2021, Pukul 15:16 WIB.
128
Clifford Geertz, Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi), op. Cit., hlm. 59.
129
Abdul Jamil dkk, Islam Dan Kebudayaan, Gama Media, cet. Ke-2, Yogyakarta, 2002,
hlm. 124-126.
130
Soesilo, op. Cit., hlm.164.

35
Dalam ilmu Kanda Papat Sari itulah anak bukan rawatan. Bila
dikuburkan pada pintu belakang halaman rumah (putra disebelah
kanan, putri disebelah kiri), berarti anak akan senang di rumah;
bila dihanyutkan pada rakit kecil dari lilin melalui sungai ke laut,
berarti anak akan mencari kehidupan jauh dari rumah-rumah.131
Masing-masing dari kakang papat mempunyai tugas terhadap
kelima pancer kakang kawah yang berwarna putih melindungi
badan, adi Ari-ari berwarna kuning mengayomi langkah, arinta
getih, merah membantu kelakuan, arita puser, hitam,
menyumbang suara. Bila mereka disegani dan dikhormati tiap-
tiap hari ulang tahun dengan kenduri, sawah subur dan berkat
melimpah. Bila dilalaikan, maka orang akan kehilagan kesehatan,
langkah, kelakuan dan suara. Pada hari kiamat mereka diharap
memberi safaat kepada orang yang selama hidupnya setia kepada
mereka.132
Masyarakat Jawa menghubungkan elemen di atas, ke dalam
eksistensi Pandawa lima perebutan pengaruh itu digambarkan
dalam peperangan antara Pandawa dan Kurawa, yaitu kebaikan
dan kejahatan yang senantiasa terdapat dalam kehidupan manusia.
Pertunjukan kehidupan wayang oleh karenanya menghadirkan
refleksi perjuangan sifat baik melawan sifat buruk.133
3. Pengetahuan Orang Jawa Tentang Ari-ari Dalam Memaknai
Hidup
Ari-ari adalah sebagai organ yang menghubungkan janin
dengan dinding rahim yang mejadi jalan perantara bagi
pernapasan, pemberian makanan dan pertukaran zat buangan

131
Rahmat Subagya, op. Cit., hlm. 148.
132
Soesilo, op. Cit., hlm. 166.
133
Andres Yumarma, op. Cit., hlm. 22.

36
antara janin dan darah ibu, keluar dari rahim mengikuti janin
yang baru lahir.
Bagi orang Jawa, agar Ari-ari, yaitu "sedulur anak itu" yang
tidak kelihatan (gaib) dapat menjaga keselamatan anak, di
samping itu pada waktu hari kelahiran anak/orang (weton), dibuat
selamatan jenang sengkolo yang terdiri atas lima, yaitu satu di
tengah (putih) yang dikelilingi 4 (empat) jenang merah yang
menurut kepercayaan merupakan saudara yang menjaga
keselamatan.134
Orang Jawa melihat refresentasi simbolis dari proses
penciptaan manusia tersebut, dalam gunungan wayang.
Gunungan dilambangkan dengan pohon kehidupan yang
bercabang empat.135 Dalam paguyuban Pangestu, keempat
saudara ditafsirkan secara esoterik sebagai keempat keutamaan
pokok; mutmainah, amanah, sufiyah dan aluamah, yang menurut
pembagiannya menentukan perangaai manusia.136
Sebutan "dulur papat lima pancer." melambangkan keempat
nafsu manusia yang berpusat pada Aku (yang kelima). Keempat
nafsu tersebut adalah Aluamah (nafsu angkara murka), Amarah
(nafsu lekas marah), Supiah (nafsu birahi), Muthmainah
(kemumian atau kejujuran), sedang yang kelima disebut
Mulhimah sebagai pusat yang memberikan arah keempat nafsu
tersebut.137
Sedulur papat lima pancer “saudara empat lima pusat” yakni
ketuban, tembuni, darah dan plasenta (yang keluar saat persalinan
134
Ibid., hlm. 167.
135
Andres Yumarma, “Konsep Manusia Dalam Gunungan: Sebuah Refleksi Filosofis
Terhadap Kearifan Lokal”, Jurnal Filsafat Vol. 22, No. 1, 2012, hlm. 21.
136
Rahmat Subagya, op. Cit., hlm. 148.
137
Ibid., hlm. 168.

37
seorang ibu), lima dengan bayi sendiri138 adalah perlambang
“saudara ghaib” bayi yang merupakan pusat mikrokosmos.
Orang Jawa juga melihat "pancer" atau pusat dalam gunungan
wayang yang diartikan sebagai lambang jiwa atau sukma, sedang
bentuk segitiga mengandung arti bahwa manusia terdiri dari unsur
cipta rasa dan karsa.139
Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa menjabarkan
tentang macapat (atau juga penjabaran dari sedulur papat lima
pancer) mencerminkan keunggulan pusat akan tetapi dengan
tambahan bahwa daerah pinggirannya terbagi atas „empat‟ bagian
(pat „empat‟), yang masing-masing berkaitan dengan salah satu
mata angin.140
Dirinya bayi sendiri, yang dalam hal ini Pancer atau pusat,
dikelilingi oleh empat makhluk gaib yang tidak kasat mata
(metafisik) saudara yang setia menemani hidup mulai dilahirkan
di dunia hingga nanti meninggal dunia yang merupakan unsur
rohani yang menjadi sarana “kembali” menuju tuhan141 yang
merupakan realitas sejati manusia. Empat saudara tetap menyertai
dalam wujud Ruh dan tidak kasat mata dalam diri sang jabang
bayi.

138
Purwadi, op. Cit., hlm. 449.
139
Ibid., hlm. 173.
140
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya Kajian Sejarah Terpadu, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2005, hlm. 99, 101.
141
Abdullah Ciptoprawiro, Filsafat Jawa, Balai Pustaka, cet. Ke-1, Jakarta, 2000, hlm. 23.

38

Anda mungkin juga menyukai