Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

Desa siaga merupakan salah satu bentuk reorientasi pelayanan kesehatan dari
sebelumnya bersifat sentralistik dan top down menjadi lebih partisipatif dan bottom
up. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
564/MENKES/SK/VI II/2006, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa
siaga, desa siaga merupakan desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya
dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah
kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan secara mandiri. Desa siaga
adalah suatu konsep peran serta dan pemberdayaan masyarakat di tingkat desa,
disertai dengan pengembangan kesiagaan dan kesiapan masyarakat untuk memelihara
kesehatannya secara mandiri.
Desa yang dimaksud di sini dapat berarti kelurahan atau nagari atau istilah-istilah
lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah, yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkan asal usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam
sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Depkes, 2007). Konsep
desa siaga adalah membangun suatu sistem di suatu desa yang bertanggung jawab
memelihara kesehatan masyarakat itu sendiri, di bawah bimbingan dan interaksi
dengan seorang bidan dan 2 orang kader desa. Di samping itu, juga dilibatkan
berbagai pengurus desa untuk mendorong peran serta masyarakat dalam program
kesehatan seperti imunisasi dan posyandu (Depkes 2009).

Secara umum, tujuan pengembangan desa siaga adalah terwujudnya masyarakat


desa yang sehat, peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya.
Selanjutnya, secara khusus, tujuan pengembangan desa siaga (Depkes, 2006), adalah :
1. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang pentingnya
kesehatan.
2. Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat desa.
3. Meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan melaksanakan perilaku hidup bersih
dan sehat.
4. Meningkatnya kesehatan lingkungan di desa.

Secara organisasi, koordinasi dan kontrol proses pengembangan desa siaga


dilakukan oleh sebuah organisasi desa siaga. Organisasi desa siaga ini berada di
tingkat desa/kelurahan dengan penanggung jawab umum kepala desa atau lurah.
Sedangkan pengelola kegiatan harian desa siaga, bertugas melaksanakan kegiatan
lapangan seperti pemetaan balita untuk penimbangan dan imunisasi, pemetaan ibu
hamil, membantu tugas administrasi di poskesdes dan lain-lain.

Beberapa tugas pokok desa siaga diantaranya :

1. Surveilans dan pemetaan : Setiap ada masalah kesehatan di rumah tangga akan dicatat
dalam kartu sehat keluarga. Selanjutnya, semua informasi tersebut akan direkapitulasi
dalam sebuah peta desa (spasial) dan peta tersebut dipaparkan di Poskesdes.
2. Perencanaan partisipatif: Perencanaan partisipatif di laksanakan melaui survei mawas
diri (SMD) dan musyawarah masyarakat desa (MMD). Melalui SMD, desa siaga
menentukan prioritas masalah. Selanjutnya, melalui MMD, desa siaga menentukan
target dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai target tersebut.
Selanjutnya melakukan penyusunan anggaran.
3. Mobilisasi sumber daya masyarakat : Melalui forum desa siaga, masyarakat dihimbau
memberikan kontribusi dana sesuai dengan kemampuannya. Dana yang terkumpul
bisa dipergunakan sebagai tambahan biaya operasional poskesdes. Desa siaga juga
bisa mengembangkan kegiatan peningkatan pendapatan, misalnya dengan koperasi
desa. Mobilisasi sumber daya masyarakat sangat penting agar desa siaga
berkelanjutan (sustainable).
4. Kegiatan khusus: Desa siaga dapat mengembangkan kegiatan khusus yang efektif
mengatasi masalah kesehatan yang diprioritaskan. Dasar penentuan kegiatan tersebut
adalah pedoman standar yang sudah ada untuk program tertentu, seperti malaria, TBC
dan lain-lain. Dalam mengembangkan kegiatan khusus ini, pengurus desa siaga
dibantu oleh fasilitator dan pihak puskesmas.
5. Monitoring kinerja : Monitoring menggunakan peta rumah tangga sebagai bagian dari
surveilans rutin. Setiap rumah tangga akan diberi Kartu Kesehatan Keluarga untuk
diisi sesuai dengan keadaan dalam keluarga tersebut. Kemudian pengurus desa siaga
atau kader secara berkala mengumpulkan data dari Kartu Kesehatan Keluarga untuk
dimasukkan dalam peta desa.
6. Manajemen keuangan: Desa siaga akan mendapat dana hibah (block grant) setiap
tahun dari DHS-2 guna mendukung kegiatannya. Besarnya sesuai dengan proposal
yang diajukan dan proposal tersebut sebelumnya sudah direview oleh Dewan
Kesehatan Desa, kepala desa, fasilitator dan Puskesmas. Untuk menjaga transparansi
dan akuntabilitas, penggunaan dana tersebut harus dicatat dan dilaporkan sesuai
dengan pedoman yang ada.
Dengan adanya program desa siaga ini, diharapkan dapat meningkatkan kesehatan
lingkungan masyarakat. Serta dapat menjadi sebuah solusi dalam menanggulangi
penyakit dan maupun bencana di desa amin jaya.Desa Siaga merupakan desa yang
penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk
mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan
kesehatan secara mandiri. Desa siaga adalah suatu konsep peran serta dan
pemberdayaan masyarakat di tingkat desa, disertai dengan pengembangan kesiagaan
dan kesiapan masyarakat untuk memelihara kesehatannya secara mandiri.
Konsep desa siaga adalah membangun suatu sistem di suatu desa yang
bertanggung jawab memelihara kesehatan masyarakat itu sendiri, di bawah
bimbingan dan interaksi dengan bidan dan kader desa. Di samping itu, juga dilibatkan
berbagai pengurus desa untuk mendorong peran serta masyarakat dalam program
kesehatan seperti imunisasi dan posyandu.

  
Desa siaga merupakan strategi baru pembangunan kesehatan. Desa siaga lahir
sebagai respon pemerintah terhadap masalah kesehatan di Indonesia yang tak kunjung
selesai. Tingginya angka kematian ibu dan bayi, munculnya kembali berbagai
penyakit lama seperti tuberkulosis paru, merebaknya berbagai penyakit baru yang
bersifat pandemik seperti SARS, HIV/AIDS dan flu burung serta belum hilangnya
penyakit endemis seperti diare dan demam berdarah merupakan masalah utama
kesehatan di Indonesia. Bencana alam yang sering menimpa bangsa Indonesia seperti
gunung meletus, tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor dan kecelakaan massal
menambah kompleksitas masalah kesehatan di Indonesia.

Suatu desa dikatakan menjadi desa siaga apabila memenuhi kriteria berikut
(Depkes, 2006)

1. Memiliki 1 orang tenaga bidan yang menetap di desa tersebut dan sekurang-
kurangnya 2 orang kader desa.
2. Memiliki minimal 1 bangunan pos kesehatan desa (poskesdes) beserta peralatan
dan perlengkapannya. Poskesdes tersebut dikembangkan oleh masyarakat yang
dikenal dengan istilah upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM)
yang melaksanakan kegiatan-kegiatan minimal :

 Pengamatan epidemiologis penyakit menular dan yang berpotensi menjadi


kejadian luar biasa serta faktor-faktor risikonya.
 Penanggulangan penyakit menular dan yang berpotensi menjadi KLB serta
kekurangan gizi.
 Kesiapsiagaan    penanggulangan    bencana    dan kegawatdaruratan kesehatan.
 Pelayanan    kesehatan    dasar,    sesuai    dengan kompetensinya.
 Kegiatan pengembangan seperti promosi kesehatan, kadarzi, PHBS, penyehatan
lingkungan dan lain-lain.

Prinsip pengembangan desa siaga (Depkes, 2008), yaitu :


1. Desa siaga adalah titik temu antara pelayanan kesehatan dan program kesehatan
yang diselenggarakan oleh pemerintah dengan upaya masyarakat yang
terorganisir.
2. Desa siaga mengandung makna “kesiapan” dan “kesiagaan” Kesiagaan
masyarakat dapat didorong dengan memberi informasi yang akurat dan cepat
tentang situasi dan masalah-masalah yang mereka hadapi.
3. Prinsip respons segera. Begitu masyarakat mengetahui adanya suatu masalah,
mereka melalui desa siaga, akan melakukan langkah-langkah yang perlu dan
apabila langkah tersebut tidak cukup, sistem kesehatan akan memberikan bantuan
(termasuk pustu, puskesmas, Dinkes, dan RSUD).
4. Desa siaga adalah “wadah” bagi masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan
untuk menyelenggarakan berbagai program kesehatan.

Secara organisasi, koordinasi dan kontrol proses pengembangan desa siaga


dilakukan oleh sebuah organisasi desa siaga. Organisasi desa siaga ini berada di
tingkat desa/kelurahan dengan penanggung jawab umum kepala desa atau lurah.
Sedangkan pengelola kegiatan harian desa siaga, bertugas melaksanakan kegiatan
lapangan seperti pemetaan balita untuk penimbangan dan imunisasi, pemetaan ibu
hamil, membantu tugas administrasi di poskesdes dan lain-lain.

1. Tahapan pengembangan desa siaga. Pengembangan desa siaga merupakan


aktivitas yang berkelanjutan dan bersifat siklus. Setiap tahapan meliputi banyak
aktivitas.

1. Pada tahap 1 dilakukan sosialisasi dan survei mawas diri (SMD), dengan kegiatan
antara lain : Sosialisasi, Pengenalan kondisi desa, Membentuk kelompok
masyarakat yang melaksanakan SMD, pertemuan pengurus, kader dan warga desa
untuk merumuskan masalah kesehatan yang dihadapi dan menentukan masalah
prioritas yang akan diatasi.
2. Pada tahap 2 dilakukan pembuatan rencana kegiatan. Aktivitasnya, terdiri dari
penentuan prioritas masalah dan perumusan alternatif pemecahan masalah.
Aktivitas tersebut, dilakukan pada saat musyawarah masyarakat 2 (MMD-2).
Selanjutnya, penyusunan rencana kegiatan, dilakukan pada saat musyawarah
masyarakat 3 (MMD-3). Sedangkan kegiatan antara lain memutuskan prioritas
masalah, menentukan tujuan, menyusun rencana kegiatan dan rencana biaya,
pemilihan pengurus desa siaga, presentasi rencana kegiatan kepada masyarakat,
serta koreksi dan persetujuan masyarakat.
3. Tahap 3, merupakan tahap pelaksanaan dan monitoring, dengan kegiatan berupa
pelaksanaan dan monitoring rencana kegiatan.
4. Tahap 4, yaitu : kegiatan evaluasi atau penilaian, dengan kegiatan berupa
pertanggung jawaban.

B.KEMITRAAN.

Kemitraan adalah salah satu pilar kesinambungan (sustainability) pemberdayaan


masyarakat di bidang kesehatan. Kemitraan dalam mewujudkan Desa Siaga tidak terlepas
dari kontribusi berbagai pihak, kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, serta antara
kelembagaan masyarakat yang ada di desa. Secara umum kemitraan didefinisikan
sebagai Hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan
saling menguntungkan untuk tujuan bersama berdasarkan prinsip & peran masing-
masing. Filosofi Kemitraan dalam desa siaga dirumuskan sebagai membangun kerjasama
yg kuat diantara mitra tuk mencapai tujuan bersama yaitu mengembangkan desa siaga
aktif dilingkungan kabupatan

Prinsip-prinsip kemitraan

o Persamaan derajat (Equality)


o Menjembatani kepentingan (Bridging interests)
o Situasi yg menguntungkan (Win-win situation)
o Transparan/keterbukaan (Transparency)
o Kesetaraan & akuntabilitas (Equity and akuntabilitas)
o Kompetisi yg adil (Fair competition)
o Penghargaan (acknowledgement)
Inisiatif kemitraan dalam desa siaga

o Suatu inisiatif global yang diterapkan di Indonesia


o Menggalakkan peran pemerintah-swasta untuk bekerjasama mengembangkan
program desa siaga aktif di wilayah Kabupaten
o Membantu melakukan penggerakan masyarakat di desa siaga dalam rangka
menurunkan AKI, AKB,diare, ISPA, flu burung, dan penyakit menular langsung
lainnya
o Melibatkan institusi pendidikan,organisasi donor, LSM, industri, media, dan
organisasi kemasyarakatan/ keagamaan

Perlunya kemitraan dalam desa siaga

o Suatu model yg efektif untuk kerjasama terpadu


o Menggalakkan dan memperluas kapabilitas
o Membantu kesinambungan perhatian terhadap isu kesehatan pada tingkat
masyarakat dan nasional
o Mengaktifkan partisipasi pihak swasta
o Menggabungkan keahlian dan sumber daya dari berbagai sektor/mitra

Apa yang ingin dicapai dengan Kemitraan Desa Siaga

o Untuk meningkatkan cakupan strata Desa Siaga Aktif sebagai cara efektif untuk
menurunkan AKI dan AKB di kabupaten
o Sebuah mekanisme yg mendukung pemerintah untuk mempercepat pencapaian
program desa siaga melalui kerjasama terintegrasi pemerintah dan swasta dengan
melakukan pembinaan dan menggerakan masyarakat dalam rangka menurunkan
angka kematian ibu, bayi dan Balita serta menurunkan infeksi diare dan penyakit
menular lainnya.

Mengapa harus bermitra?

o Jangkauan menjadi lebih


o Biaya lebih rendah

o Rasa memiliki yg kuat meninimalkan rasa bersaing

o Meningkatkan tanggungjawab terhadap keberhasilan

o Menjamin keyakinan bahwa kepentingan mereka didengar

o Menjamin kampanye dilakukan dengan benar

o Pengunaan sumberdaya dr mitra scr optimal menimbulkan kebanggaan

o Membantu masyarakat menuju kualitas hidup yg lebih baik

Langkah awal yang dapat dirintis?

 Pembentukan Kemitraan Desa Siaga (KDS)daerah

 Menugaskan seorang koordinator inisiatif KDS daerah

 Identifikasi mitra serta peran dan benefits

 Pengembangan kebijakan branding/non branding daerah (dengan panduan pusat)

 Penyusunan Strategi dan Action Plan

Monitoring & evaluasi

 Terciptanya lingkungan yang mendukung

 Meningkatnya peran sektor swasta dalam pelaksanaan kegiatan CTPS

 Terkoordinasinya Core Group dengan baik

 Terlaksananya kampanye nasional

 Terlaksananya monitoring dan evaluasi kegiatan CTPS

Kemitraan Bidan, Paraji dan Kader kesehatan


Kemitraan bidan dengan dukun adalah suatu bentuk kerjasama bidan dengan
dukun yang saling menguntungkan dengan prinsip keterbukaaan, kesetaraan,dan
kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu dan bayi, denganmenempatkan
bidan sebagai penolong persalinan dan mengalih fungsikan
dari penolong persalinan menjadi mitra dalam merawat ibu dan bayipada masa nifas,
dengan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat antara bidan dengan dukun, serta
melibatkan seluruh unsur/elemen masyarakat yang ada.

Pemerintah Daerah melalui OPD yang membidangi kesehatan menggalakkan


program persalinan aman dan sehat melalui kemitraan Bidan, Paraji dan Kader
Kesehatan. (2) Bidan melakukan pelayanan medis persalinan sesuai dengan standar
asuhan persalinan, paraji dan kader kesehatan memberikan bantuan non medis selama
dan setelah proses persalinan. (3) Bidan harus melakukan kemitraan dengan Paraji dan
Kader Kesehatan dengan prinsip saling membantu, keterbukaan, saling mengisi
kelemahan dan kelebihannya. (4) Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan dilarang melakukan
tindakan yang menyebabkan bayi baru lahir mengalami penurunan suhu tubuh normal.
(5) Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan harus melakukan inisiasi menyusu dini dan
melakukan rawat gabung. (6) Tenaga Kesehatan, Paraji dan Kader Kesehatan serta
fasilitas pelayanan kesehatan harus memotivasi agar ibu bersalin memberikan ASI
Eksklusif. (7) Tenaga Kesehatan, Paraji dan Kader Kesehatan dilarang untuk memotivasi,
menyediakan, dan/atau memberikan air susu selain ASI, kecuali pada bayi dengan
indikasi tertentu. Pasal 20 (1) Pemerintah Daerah, melalui OPD yang membidangi
kesehatan: a. membina Paraji dan Kader Kesehatan yang sudah bermitra dalam hal
persalinan aman dan sehat melalui pola kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan. b.
menggalakkan program kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan; dan c. melakukan
pemberdayaan dalam menggerakkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan
ibu dan anak yang berkualitas. (2) Keluarga dan masyarakat harus berperan aktif dalam
program kemitraan Bidan, Paraji dan Kader Kesehatan terutama pada saat menjelang
persalinan.

A.Konsep Kemitraan
Kemitraan bidan, dukun bayi dan kader posyandu adalah suatu bentuk kerja sama
bidan dengan dukun bayi dan kader posyandu yang saling menguntungkan dengan
prinsip keterbukaan, kesetaraan, dan kepercayaan dalam upaya untuk menyelamatkan ibu
dan bayi baru lahir. Kemitraan tersebut menempatkan bidan sebagai penolong persalinan
dan mengalihfungsikan peran dukun bayi dari penolong persalinan menjadi bayı dari
penolong persalinan menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi secara non medis
serta mendorong kader posyandu sebagai pihak yang memediasi dan memfasilitasi
masyarakat dan dukun bayi agar seluruh proses persalinaan dilakukan oleh bidan atau
tenaga kesehatan terlatih.

Kegiatan bidan mencakup aspek medis, sedangkan kegiatan dukun bayi dan kader
kesehatan mencakup aspek non medis. Aspek medis adalah proses pengelolaan dan
pelayanan program kesehatan ibu dan anak mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan penilaian (evaluasi). Aspek non medis adalah menggerakkan keterlibatan
individu, keluarga (termasuk pasangan ibu hamil), dan masyarakat dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak, serta memberdayakan ibu hamil dan keluarganya.

Pelayanan kesehatan ibu dan anak mencakup kegiatan yang dilakukan bidan
dalam melaksanakan asuhan kebidanan sesuai wewenang, etika dan tanggung jawab
bidan. Tugas dukun bayi menolong persalinan menjadi dialihkan merujuk ibu hamil dan
merawat ibu nifas dan bayi baru lahir berdasarkan kesepakatan antara bidan dan dukun
bayi. Kader posyandu bersama dukun bayi memberdayakan tradisi setempat

B. Prinsip Kemitraan

Kemitraan hanya dapat dibentuk bila ada lebih dari satu orang atau satu organisasi
yang akan bekerjasama, dalam hal ini adalah bidan, dukun bayi dan kader posyandu.
Untuk mencapai suatu kemitraan ada beberapa prinsip yang digunakan ;

1.Kesetaraan
Kesetaraan yang dimaksud adalah saling menghargai pengetahuan,
pengalaman, keberadaan dan keahlian mitranya. Jadi harus dimulai dari menerima
mitra apa adanya setara dengan dirinya.

Bermitra artinya adanya kerjasama antara bidan dan dukun bayi dalam
menolong persalinan. Kerjasamanya saat persalinan, bagian dukun bayi adalah
bagian atas badan ibu yang bersalin, dukun hanya mengurut dan memijat mijat si
ibu dan bagian bidan adalah bagian bawah badan ibu bersalin artinya yang
menolong persalinan. Bermitra itu artinya meronga-ronga. Dengan menjalin
kerjasama dengan dukun bayi, pekerjaan terbantu dan lebih ringan. Selain itu
dukun bayi membantu mensupport si ibu untuk mengejan dan memijit. Apalagi
dukun bayi umumnya adalah mereka yang sudah sangat dekat dengan masyarakat.
Jadi dukun bayi biasanya lebih tahu terlebih dahulu jika ada pasien yang hamil."
(Bidan Hasriati - Kota Kendari)

2.Keterbukaan

Keterbukaan yang dimaksud adalah kemauan bersama untuk menjelaskan


perasaan dan keinginannya serta membicarakan persoalan masing-masing yang
masih harus diuji kebenarananya. Antara bidan, dukun bayi dan kader posyandu
harus dibuat suasana yang tidak membuat satunya merasa lebih rendah, lebih
pintar dan lebih mampu.

3.Saling menguntungkan

Kemitraan yang dimaksud adalah tidak ada yang kehilangan atau kerugian
yang diterima pada salah satu pihak, tetapi terjadi sinergi dari para pihak. Dengan
demikian harus dicari hal apa yang dapat disinergikan dan menyebabkan
keuntungan lebih besar untuk para pihak yang bermitra.

C. Landasan Kemitraan
Dalam suatu kerjasama yang berprinsip kemitraan ada beberapa landasan yang
harus dipenuhi para pihak yang bermitra atau biasa disebut Tujuh Saling, yaitu:

1. Saling Memahami Kedudukan Tugas dan Fungsi

Bidan memiliki tugas dan fungsi utama dalam membantu persalinan ibu
hamil. Dukun bayi tidak melakukan tugas dan fungsi dalam membantu persalinan
ibu secara langsung. Tugas dan fungsi dukun bayi adalah mendorong agar proses
rujukan ibu bayi hanya kepada bidan atau tenaga kesehatan terlatih. Tugas dan
fungsi kader posyandu adalah mendorong penyadaran masyarakat tentang
perlunya pemeriksaan rutin ibu hamil, persalinan oleh bidan atau tenaga
kesehatan serta kesiapsiagaan masyarakat desa dalam penanganan ibu bayi yang
harus dirujuk ke rumah sakit.

2.Saling Memahami Kemampuan Masing-masing

Bidan memiliki kemampuan teknis dan tugas utama dalam membantu


persalinan ibu, dukun bayi memiliki pengaruh dan dipercaya masyarakat, serta
kader posyandu memiliki hubungan yang dekat dengan masyarakat dalam
melakukan promosi kesehatan dan memobilisasi pertemuan masyarakat. Masing-
masing kemampuan tersebut saling sinergi dan perlu dioptimalkan dalam
mendukung persalinan yang aman dan selamat bagi ibu.

3. Saling Menghubungi

Optimalisasi kemitraan antara bidan, dukun bayi dan kader posyandu perlu
terus ditingkatkan dengan upaya saling menghubungi di antara masing-masing.

4. Saling Mendekati

Bidan lebih banyak berada di unit pelayanan (Puskesmas, Pustu, atau


Poskesdes), dukun bayi sering dikunjungi atau mengunjungi ibu hamil sementara
kader kesehatan seringkali mengunjungi dan memfasilitasi pertemuan rutin
masyarakat di posyandu. Untuk itu perlu kiranya para pihak tersebut saling
mendekati, seperti: mendorong dukun bayi juga aktif datang ke posyandu, pustu,
poskesdes ataupun Puskesmas. Demikian pula dengan bidan desa untuk lebih
aktif mengunjungi dukun bayi dan kader posyandu.

5. Saling Bersedia Membantu dan Dibantu

Pada umumnya bidan yang ditugaskan di desa masih relatif muda,


terutama di daerah terpencil dan kurang banyak pengalaman dan kepercayaan dari
masyarakat dibandingkan dukun bayi. Pada sisi lain, dukun bayi dengan
pengalaman yang cukup banyak dan disegani oleh masyarakat tidak memiliki
keterampilan medis. Karenanya dukun bayi tidak bisa mendeteksi persoalan
komplikasi kehamilan ibu serta penanganannya secara medis. Hal tersebut perlu
saling disadari dengan cara sifat bersedia membantu dan dibantu.

6.Saling Mendorong dan Mendukung

Bidan perlu terus mendorong dan mendukung peran kader posyandu di


masyarakat serta mendukung dukun bayi untuk tetap dihargai oleh masyarakat.
Demikian pula sebaliknya, dukun bayi dan kader posyandu perlu mendukung
proses persiapan dan pasca persalinan yang dilakukan oleh bidan.

7.Saling Menghargai

Saling menghargai antara bidan, dukun bayi dan kader posyandu sangat
penting. Dukun bayi telah ada di masyarakat jauh sebelum keberadaan bidan
ataupun perkembangan ilmu kebidanan. Dukun bayi perlu menghargai
perkembangan ilmu dan teknologi kebidanan yang dimiliki dan ditugaskan oleh
pemerintah. Demikian pula saling menghargai juga penting diberikan kepada
kader posyandu yang banyak mendukung promosi kesehatan pemerintah kepada
masyarakat.
D.. Pihak-pihak yang terlibat dalam Kemitraan

Pihak-pihak yang terlibat dalam kemitraan bidan, dukun bayi dan kader
posyandu bukan saja pihak di desa/kelurahan, namun juga pihak-pihak terkait di
tingkat kabupaten/kota dan kecamatan. Berikut para pihak tersebut serta perannya.

 Tingkat kabupaten

Dinas Kesehatan sebagai koordinator dalam Program Kemitraan Bidan,


Dukun Bayi dan Kader Posyandu. Dalam program ini juga dilibatkan peran multi
pihak seperti SKPD yang terkait urusan kesehatan (Dinas Kesehatan, RSUD,
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, Dinas Sosial, Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa), Tim Penggerak PKK tingkat Kabupaten,
organisasi profesi kesehatan, akademisi, perguruan tinggi, LSM yang bergerak di
bidang kesehatan, serta yang tak kalah penting adalah melibatkan DPRD
(khususnya Komisi yang membidangi kesehatan).

Dinas Kesehatan akan membentuk tim yang terdiri dari berbagai pihak
tersebut di atas. Tim tersebut akan bertugas memberikan pembinaan, pengawasan
dan evaluasi secara berkala terhadap pelaksanaan Program ini.

 Tingkat Kecamatan

Untuk skala kecamatan akan didampingi oleh Camat, Kepala Puskesmas,


PKK tingkat Kecamatan, dan Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Desa Siaga
tingkat Kecamatan. Kerjasama tersebut untuk mendampingi, mengawasi dan
evaluasi program kemitraan bidan, dukun bayi dan kader posyandu secara berkala
di tingkat kecamatan.

 Tingkat Desa/Kelurahan

Pada skala desa/kelurahan, maka Kepala Desa/Lurah bersama dengan


kelompok PKK, pengurus Desa Siaga, tokoh agama dan tokoh masyarakat akan
mendampingi, memberikan pembinaan dan melakukan evaluasi proses kemitraan
secara berkala di tingkat desa/kelurahan bersama dengan bidan, dukun bayi,
dan kader posyandu.

C.PEMBERDAYAAN.

Pemberdayaan adalah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Dalam
berbagai bidang pelayanan masyarakat dewasa ini, penggunaan istilah pemberdayaan
kerap digunakan. Namun dalam prakteknya seringkali lupa akan makna hakiki
“pemberdayaan”.Pemberdayaan, merupakan terjemahan dari kata , empowerment ,
berasal dari bahasa latin ‘potere’ ” yang artinya memampukan . Ada 3 makna kata
“empowerment” dalam the on-line free dictionary, yaitu 1. the giving or delegation of
power or authority; authorization; 2. the giving of an ability; enablement or
permission.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pemberdayaan berasal dari
kata dasar “daya” yang mengandung beberapa makna yaitu 1. kemampuan melakukan
sesuatu atau kemampuan bertindak; 2 kekuatan; tenaga yg menyebabkan sesuatu
bergerak; 3 akal; ikhtiar; upaya.Dari uraian tersebut, pemberdayaan merujuk pada
menjadikan pihak yang diberdayakan mampu bertindak oleh karena kekuatan dan energy
yang dimilikinya dihasilkan dari suatu pemikiran, ikhtiar dan akal (“sehat”).

Umumnya pemberdayaan berbicara 2 hal pokok yaitu memberi dan menerima


kekuasaan atau wewenang. Ada pihak yang memberdayakan dan ada pihak yang
diberdayakan. Pemberdayaan dapat pula ditinjau sebagai proses maupun hasil (Perkins,
Zimmerman, 1995). Ditinjau dari proses, pemberdayaan menunjukkan keterlibatan pihak
yang diberdayakan dalam setiap kegiatan, dalam pengambilan keputusan maupun dalam
kepemimpinan.Ditinjau dari hasil, pemberdayaan menghasilkan akal, pikiran dan ikhtiar
sehingga mampu mengambil keputusan oleh karena dorongan yang kuat untuk bertindak.
Pemberdayaan menunjukkan keterlibatan pihak yang diberdayakan; terbangun pikiran,
akal dan ikhtiar; ada pengambilan keputusan serta ada tindakan nyata oleh dan untuk diri
orang yang diberdayakan.

Pemberdayaan KesehatanBidang pelayanan kesehatan masyarakat merupakan


bidang pelayanan yang kerap menggunakan pendekatan pemberdayaan dalam berbagai
programnya. Penggunaan pendekatan ini dinilai tepat bilamana pemberdayaan sebagai
landasan program menunjukkan ketiga aspek pada diri pihak yang diberdayakan (klien)
yaitu keterlibatan klien dalam membangun akal, pikiran dan ikhtiarnya sehingga klien
dapat mengambil keputusan dan bertindak untuk dirinya.Dalam banyak masalah
kesehatan khususnya yang disebabkan oleh perilaku atau gaya hidup pendekatan
pemberdayaan dinilai sangat tepat ( Funnell, & Anderson, 2005) oleh karena
pemberdayaan mampu meningkatkan efikasi diri dalam mengubah perilaku yang
menetap dan mandiri.Pemberdayaan adalah pendekatan yang berpusat pada klien (client
centered).

Berpusat pada klien dicirikan oleh sejauhmana klien telah menyadari adanya
suatu kebutuhan akan perubahan, memiliki cukup pengetahuan untuk kebutuhan
perubahan tersebut serta memiliki rasa percaya diri yang tinggi.Ada 3 C yang harus
terbangun dalam diri klien yaitu kesadaran akan perubahan (conciusness); tahu dan
terampil dalam bertindak (competence) serta percaya diri (confidence). Kondisi ini
menjadi sangat penting oleh karena perubahan perilaku yang mandiri dan menetap hanya
dapat dibangun bila klien menjadikan perubahan itu sebagai satu kebutuhan, mampu dan
percaya diri untuk bertindak.Terbangunnya 3 C dalam diri klien maka akan juga
menumbuhkan tanggung jawabnya sebagai satu-satunya pribadi yang paling mengenal
dan mengetahui kondisinya dan menjadi ahli untuk dirinya sendiri.

Funnell, & Anderson (2003) mengatakan , the role of health professionals to helps
patients make appropriate care recommendation, expert advice and support. Proffessional
need to give up feeling responsible for their patients and become responsible to them.
Peran provider kesehatan adalah membantu klien mengambil keputusan dan bertindak
secara tepat dengan menyediakan informasi, memberi rekomendasi, nasehat dan
dukungan kepada klien.Provider kesehatan perlu menyadari keberadaannya sebagai
“ahli” dalam berbagai masalah kesehatan namun klien adalah juga ahli dalam
kehidupannya sehingga keduanya harus bekerjasama secara seimbang dan saling
sinergi.Hal penting lain yang perlu dalam pemberdayaan adalah sikap provider kesehatan.
Ciechanowski, et. al (2004) mengatakan bahwa provider yang menunjukkan sikap
empati, responsif terhadap kebutuhan dan terhadap nilai-nilai yang dianut dapat
meningkatkan partisipasi dan otonomi klien dalam pengambilan keputusan dan
tindakan.Bagaimana Implikasi “pemberdayaan” dalam Program Seperti telah diuraikan
bahwa pemberdayaan memiliki 2 hal pokok yaitu memberi dan menerima tanggung
jawab, wewenang dan otoritas. Penerima adalah klien, dan pemberi adalah provider
kesehatan. Bagaimana provider kesehatan sebagai “pemberi” layanan menempatkan
posisinya secara tepat menjadi sangat penting.Sebagai pendekatan yang berpusat pada
klien, provider kesehatan seharusnya berperan sebagai motivator, kolaborator dan
fasilitator. Dalam ketiga peran tersebut, provider kesehatan membantu klien membangun
3 C dalam dirinya melalui penyediaan informasi yang cukup dan relevan sesuai
kebutuhan serta mudah diakses oleh klien.

Pengetahuan dan akses informasi merupakan domain penting dalam mengubah


perilaku oleh karena pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang cukup akan meningkatkan
rasa percaya diri. Selain kemudahan dalam memperoleh informasi yang cukup dan
relevan adalah juga sangat penting sikap provider kesehatan dalam menghadirkan dirinya
sebagai sumber informasi bagi klien.Sekalipun banyak cara yang dapat dilakukan untuk
menyampaikan informasi kepada klien, namun informasi yang diperoleh secara diadik
(WHO,2006) dengan sumber informasi lebih efektif dalam mengubah perilaku klien.
Oleh karena itu, sangat diperlukan provider kesehatan yang terlatih yang memiliki bukan
saja pengetahuan dan ketrampilan tetapi juga adalah sikap dari seorang motivator,
kolaborator dan fasilitator yang berjiwa pelayan.

Provider kesehatan yang dapat membantu klien dengan kesabaran, penuh


perhatian, tidak menjaga jarak dan sikap bersahabat. Provider kesehatan yang demikian
hanyalah ada pada diri provider yang menyadari keberadaannya dalam memberi diri
secara tulus menjadi pelayan masyrakat.KesimpulanPemberdayaan merupakan upaya
membangun akal, pikiran dan ikhtiar dalam diri seseorang sehingga orang tersebut
mampu mengambil keputusan dan bertindak untuk dirinya sendiri. Kemampuan yang
terbangun ditandai akan kesadaran untuk suatu perubahan, memiliki pengetahuan dan
ketrampilan yang cukup serta percaya diri untuk bertindak.Kehadiran provider sebagai
motivator, kolaborator dan fasilitatator yang terlatih dan berpengetahuan luas serta
memiliki sikap empati, responsif terhadap kebutuhan klien, sabar, bersahabat dan tidak
menjaga jarak.

Proses Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Desa Siaga


Pengembangan Desa Siaga dilaksanakan dengan memfasilitasi masyarakat untuk
menjalani proses pemberdayaan melalui siklus pemecahan masalah yang terorganisir
(pengorganisasian masyarakat) dengan langkah sebagai berikut (Depkes RI, 2006): 1.
Mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, dan sumber daya yang dapat dimanfaatkan
untuk mengatasi masalah 2. Mendiagnosis masalah dan merumuskan berbagai alternatif
pemecahan masalah 3. Menetapkan alternatif pemecahan masalah yang layak,
merencanakan dan melaksanakannya, serta 4. Memantau, mengevaluasi dan membina
kelestarian upaya yang telah dilakukan. Kegiatan pemberdayaan melalui langkah diatas
yang juga diuraikan oleh Azis (2005) dalam Huraerah (2008) bahwa tahapan yang
seharusnya dilalui dalam pemberdayaan adalah: (1) membantu masyarakat dalam
menentukan masalahnya, (2) melakukan analisis terhadap permasalahan secara mandiri
(partisipatif), (3) menentukan skala prioritas masalah, (4) mencari penyelesaian masalah
yang sedang dihadapi, (5) melaksanakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah
dan (6) mengevaluasi seluruh rangkaian kegiatan untuk mengetahui keberhasilan dan
kegagalannya.

Pengembangan Desa Siaga dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat desa


untuk menempuh siklus pembelajaran dalam menangani berbagai masalah kesehatan
yang dihadapinya. Proses ini diawali dengan memfasilitasi masyarakat desa dengan
identifikasi masalah dan penyebabnya dalam bentuk Survei Mawas Diri (SMD).
Kemudian hasil SMD dianalisis dan ditelaah guna merumuskan alternatif pemecahan
masalah kesehatan yang dihadapi dalam forum Musyawarah Masyarakat Desa (MMD).
Setelah terpilih alternatif pemecahan masalah, selanjutnya disepakati upaya penetapan
dan pelaksanaan pemecahan masalah. Untuk itu, dilakukanlah rekrutmen dan pelatihan
kader yang akan membantu dalam pengelolaan kegiatan kesehatan masyarakat.
Selanjutnya para kader akan melaksanakan kegiatan intervensi yang telah disepakati,
disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Seiring dengan berjalannya kegiatan,
para kader difasilitasi untuk melaksanakan pemantauan dan evaluasi agar dapat diketahui
tingkat keberhasilan kegiatan mereka, dan sekaligus mendapatkan informasi untuk
pengembangan kegiatan lebih lanjut. Yang juga sangat penting diperhatikan di sini adalah
fasilitasi terhadap para kader dalam rangka menjaga kelestarian (sustainability) dari
keterlibatan atau peran aktif mereka. Tidak jarang, selang beberapa waktu setelah suatu
UKBM tumbuh, kemudian mati akibat banyaknya kader yang mengundurkan diri atau
tidak aktif. Banyak hal yang menyebabkan kejadian ini. Salah satunya adalah karena
kader tersebut sebenarnya masih disibukkan oleh urusan memenuhi kebutuhan primernya
yang berupa keamanan secara ekonomis. Oleh karena itu, tahap ini justru sangat kritis,
karena fasilitator harus dapat mengantisipasi kemacetan, dengan mengembangkan
berbagai upaya untuk memenuhi kebutuhan para kader. Dengan demikian, fasilitasi yang
dilakukan menjadi bersifat membangun kemandirian masyarakat bukan sebaliknya
menciptakan ketergantungan (Depkes RI, 2006

Pemberdayaan Masyarakat adalah segala upaya fasilitasi yang bersifat non


instruktif, guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat, agar mampu
mengidentifikasi masalah yang dihadapi, potensi yang dimiliki, merencanakan dan
melakukan pemecahannya dengan memanfaatkan potensi setempat.Adapun wahana
pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan adalah desa dan kelurahan siaga aktif yang
telah ditetapkan dalam keputusan menteri kesehatan nomor 1529 tahun 2010 tentang
pedoman umum pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif.Proses Pemberdayaan
Masyarakat dalam Pengembangan desa dan kelurahan siaga aktif dapat dilihat dari upaya
masyarakat dalam melakukan siklus pemecahan masalah yang terdiri dari melakukan
pengenalan kondisi desa, identifikasi permasalahan kesehatan, musyawarah
desa/kelurahan, menyusun perencanaan partisipatif, pelaksanaan kegiatan hingga
pembinaan kelestarian.

Anda mungkin juga menyukai