Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya
dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-
masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan secara mandiri. Pada
intinya, desa siaga adalah memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu
hidup sehat. Untuk dapat dan mampu hidup sehat, masyarakat perlu
mengetahui masalah-masalah dan faktor-faktor yang dapat mempemgaruhi
kesehatannya, bak sebagai individu, keluarga, ataupun sebagai bagian dari
anggota masyarakat.
Beberapa deteremian yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat
adalah keturunan(heredity), keadaan gizi, gaya hidup, akses pelayanan
kesehatan dan lingkungan fisik dan nonfisik. Heredity memegang perandalam
penetuan sifat dan karakteristik fisiologis seorang individu, seperti postur
tubuh, warna kulit dan golongan darah. Lingkungan fisik meliputi lingkungan
yang ada disekitar manusia, seperti udara yang kita hirup, darurat dan laut
sebagai sumber kehidupan, termasuk rumah dan fasilitasnya serta
ketersediaan pelayanan umum (air bersih, listrik dan jalan raya). Sedangkan
faktor budaya akan mempengaruhi sikap seiring dengan program desa siaga
yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI, pendidikan dan profersi
keperawatan telah menerapkan standar perawatan komunitas yang mencakup
berbagai unsur dan komponen seperti yang ada pada konsep desa siaga.
Perawatan kesehatan masyarakat diterapkan untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan populasi dimana prakteknya tersebut bersifat umum
dan komprehensif yang ditujukan pada individu, keluarga, kelompok dan
masyarakatnya yang memiliki kontribusimbagi kesehatan, pendidikan
kesehatan dan manajemen serta koordinasi dan kontinuitas pelayan holistik.
Masalah kesehatan masyarakat dapat bermula dari perilaku individu,
keluarga, kelompok, dan masyarakat diantaranya berkaitan dengan masalah
kesehatan lingkungan, kesehatanb ibu anak, kesehatan remaja serta kesehatan
lanjut usia, maupun pemanfatan fasilitas pelayanan kesehatan yang masih
sangat rendah seperti pemeriksaan kesehsatan, kehamilan, imunisasi,
posyandu dan lain sebagaiannya.,
Angka Kematian dan kesakitan ibu yang digunakan sebagai indikato dari
kesehatan masyarakat disuatu negara, menunujkkan adanya kesehatan di
Indonesia. Menurut survei Demografi dan Kesehatan Indonesia [SDKI 2007],
angka kematian ibu (AKI) adalah 228/100.000 kelahiran hidup tetapi rasio
tersebut meningkat menurut SDKI 2012 yaitu 359/100.000 kelahiran hidup.
Sebagaian besar persalinan ditingkat desa terjadi dirumah (44%) dimana 78%
terjadi dirumah sendiri dan rumah bidan, sementara hanya 67% dari persalinan
ditolong oleh petugas kesehatan yang terampil yang terdiri dari bidan (72%)
dan dokter (3%). Berdasarkan tersebut diatas, pendekatan pelayanan berbasis
masyarakat merupakan jalan keluar terhadap masalah akses dan ketersediaan
pelayanan serta kompetensi petugas akan sangat menentukan jaminan
pelayan yang berkualitas, aman, efektif, dan efesien.
Tingginya kasus kesakitan dan kematian ibu di banyak negara
berkembang, termasuk indonesia, disebabkan oleh, eklampsia (23%)
perdarahan pascapersalinan (22%), komplikasi pasca keguguran (12%) dan
sepsis (9%). Dengan program kesehatan dan teknologi kedokteran saat ini,
sebgaian besar penyebab utama kesakita kematian ibu tersebeut sebenarnya
dapat ditulanggi dan kematian ibu dapat dicegah. Negara di Asia dengan
pemasukan devisa yang terbatas seperti Srilangka, ternyata dapat menurunkan
Angka Kematian ibu (AKI) secara bermakna melalui strategi yang sederhana
yaitu semua persalinan harus dilakukan di fasilitas kesehatan dan ditolong oleh
petugas kesehatan yang terampil.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DESA SIAGA
2.1.1 PENGERTIAN DESA SIAGA
Desa siaga adalah suatu kondisimasyarakat tingkat desa yang memiliki
kemampuan dalam menemukan permasalahan yang ada, kemudian
merencanakan&melakukan pemecahannya sesuai potensi yang dimilkinya,
serta selalu siap siaga dalam menghadapi masalah kesehatan, bencana,
kegawatdaruratan.
Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumber daya dan
kemampuan seeta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah masalah
kesehatan ( bencana dan kegawatdaruratan kesehatan) secara mandiri. Desa
siaga ini merupakan program pemerintah indonesia untuk mewujudkan
Indonesia sehat 2010. Desa yang dimaksud dalam desa siaga adalah kelurahan/
istilah lain bagi kesatuan yang masyarakat hukum yang mempunyai batas batas
wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengukur kepentingan
masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan
RI.
Desa Siaga adalah salah satu program Kementerian Kesehatan yang salah satu
fokus kegiatannya adalah mengurangi angka kematian Ibu, dengan
meningkatkan peran serta masyarakat setempat. Desa siaga adalah upaya
bersama masyarakat untuk mengatasi persoalan kesehatan khususnya
kesehatan ibu dan anak.
Si (siap), yaitu pendataan dan mengamati seluruh ibu hamil, siap mendampingi
ibu, siap menjadi donor darah, siap memberi bantuan kendaraan untuk
rujukan, siap membantu pendanaan, dan bidan wilayah kelurahan selalu siap
memberi pelayanan.
A (antar), yaitu warga desa, bidan wilayah, dan komponen lainnya dengan
cepat dan sigap mendampingi dan mengatur ibu yang akan melahirkan jika
memerlukan tindakan gawat-darurat.
Ga (jaga), yaitu menjaga ibu pada saat dan setelah ibu melahirkan serta
menjaga kesehatan bayi yang baru dilahirkan.
Jadi dapat disimpulkan bahwa desa siaga adalah suatu keadaan dimana suatu
desa memiliki kemampuan dan kemauan untuk mengenal, menghadapi dan
mengatasi masalah kesehatan secara mandiri baik bencana maupun
kegawatdaruratan.

2.1.2 Tujuan Desa Siaga


Tujuan Umum :
Terwujudnya desa dengan masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap
terhadap masalah-masalah kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan di
desanya.
Tujuan Khusus :
 Optimalisasi peran PKD.
 Terbentuknya FKD yang berperan aktif menggerakan pembangunan
kesehatan.
 Berkembangnya kegiatan PMD ,pokja gotong royong,
 Upaya kesehatan ,Survailance dan Pembiayaan kesehatan.
 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang
pentingnya kesehatan dan melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat).
 Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan.
 Meningkatnya kesehatan di lingkungan desa.
 Meningkatnya kesiagaan dan kesiapsediaan masyarakat desa terhadap
risiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
(bencana, wabah penyakit, dsb).
 Menurunkan angka kematian ibu dan anak.
 Meningkatkan pertolongan persalinan oleh nakes.
 Meningkatkan kepesertaan KB.

2.1.3 Sasaran Desa Siaga


Sasaran desa siaga dibedakan menjadi tiga jenis untuk mempermudah strategi
intervensi,yaitu:
1. Semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan mampu
melaksanakan hidup sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan
kesehatan di wilayah desanya.
2. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku
individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi
perubahan perilaku tersebut, seperti tokoh masyarakat, termasuk tokoh
agama, tokoh perempuan, dan pemuda,kader,serta petugas kesehatan
3. Pihak-pihak yang diharapkan memberi dukungan kebijakan, peraturan
perundang-undangan, dana, tenaga, sarana, dll. Seperti kepala desa, camat,
para pejabat terkait, swasta, para donatur, dan pemangku kepentingan lain.
4 Langkah-langkah Pengembangan Desa Siaga
Sebelum dibahas langkah-langkah pengembangan desa siaga akan dijelaskan
terlebih dahulu proses pembentukan desa siaga. Adapun proses pembentukan
desa siaga yaitu:
a. Persiapan di tingkat kabupaten
• Keorganisasian tim lintas lembaga di tingkat kabupaten: dinas
kesehatan, BKKBCS, BPMD, BAPPEDA, dan LSM
• Pelatihan-pelatihan
b. Sosialisasi tingkat kecamatan
c. Tingkat desa
• Analisa masalah dengan metode PPA (Partisipatory Problem Analisys)
• Pengorganisasian masyarakat dalam jejaring (pencatatan, dana,
transport, KB)
• Pertemuan rutin/bulanan desa siaga

Pengembangan desa siaga dilaksanakan dengan membantu /


memfasilitasi masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui siklus
atau spiral pemecahan masalah yang terorganisasi, yaitu dengan menempuh
tahap-tahap:
 Mengidentifikasi masalah, penyebab masalah, dan sumber daya yang
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah.
 Mendiagnosis masalah dan merumuskan alternatif-alternatif pemecahan
masalah.
 Menetapkan alternatif pemecahan masalah yang layak, merencanakan,
dan melaksanakannya.
 Memantau, mengevaluasi, dan membina kelestarian upaya-upaya yang
telah dilakukan.
 Secara garis besar, langkah pokok yang perlu ditempuh untuk
mengembangkan desa siaga meliputi :
1. Pengembangan tim petugas
Langkah ini merupakan awal kegiatan, sebelum kegiatan-kegiatan
lainnya dilaksanakan. Tujuan Iangkah ini adalah mempersiapkan para petugas
kesehatan yang berada di wilayah Puskesmas, baik petugas teknis maupun
petugas administrasi. Persiapan pada petugas ini bisa berbentuk sosialisasi,
pertemuan atau pelatihan yang bersifat konsolidasi, yang disesuaikan dengan
kondisi setempat.
Keluaran atau output dan Iangkah ini adalah para petugas yang
memahami tugas dan fungsinya, serta siap bekerjasama dalam satu tim untuk
melakukan pendekatan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat.
2. Pengembangan tim masyarakat
Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan para petugas, tokoh
masyarakat, serta masyarakat, agar mereka tahu dan mau bekerjasama dalam
satu tim untuk mengembangkan
Desa Siaga. Dalam langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para
penentu kebijakan, agar mereka mau memberikan dukungan, baik berupa
kebijakan atau anjuran, serta restu, maupun dana atau sumber daya lain,
sehingga pengembangan Desa Siaga dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan
pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat bertujuan agar mereka
memahami dan mendukung, khususnya dalam membentuk opini publik guna
menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan Desa Siaga. Jadi
dukungan yang diharapkan dapat berupa dukungan moral, dukungan finansial
atau dukungan material, sesuai kesepakatan dan persetujuan masyarakat
dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Jika di daerah tersebut telah terbentuk wadah-wadah kegiatan
masyarakat di bidang kesehatan seperti Konsil Kesehatan Kecamatan atau
Badan Penyantun Puskesmas, Lembaga Pemberdayaan Desa, PKK, serta
orga¬nisasi kernasyarakatan Iainnya, hendaknya lembaga-lembaga ini
diikut¬sertakan dalam setiap pertemuan dan kesepakatan.
2.1.4. Survei mawas diri (SMD)
Survei Mawas Diri (SMD) atau Telaah Mawas Diri (TMD) atau Community
Self Survey (CSS) bertujuan agar pemuka-pemuka masyarakat mampu
melakukan telaah mawas diri untuk desanya. Survei ini harus dilakukan oleh
pemuka-pemuka masyarakat setempat dengan birnbingan tenaga kesehatan.
Dengan demikian, diharapkan mereka menjadi sadar akan permasalahan yang
dihadapi di desanya, serta bangkit niat dan tekad untuk mencari solusinya,
termasuk membangun Poskesdes sebagai upaya mendekatkan pelayanan
kesehatan dasar kepada masyarakat desa. Untuk itu, sebelumnya perlu
dilakukan pemilihan dan pembekalan keterampilan bagi mereka.
Keluaran atau output dan SMD ini berupa identifikasi masalah-masalah
kesehatan serta daftar potensi di desa yang dapat didayagunakan dalam
mengatasi masalah-masalah kesehatan tersebut, termasuk dalam rangka
rnembangun Poskesdes.

2.1.5 Musyawarah mufakat desa (MMD)


Tujuan penyelenggaraan musyawarah masyarakat desa (MMD) ini adalah
mencari alternatif penyelesaian masalah kesehatan dan upaya membangun
Poskesdes, dikaitkan dengan potensi yang dimiliki desa. Di samping itu, juga
untuk menyusun rencana jangka panjang pengembangan Desa Siaga.
lnisiatif penyelenggaraan musyawarah sebaiknya berasal dari para tokoh
masyarakat yang telah sepakat mendukung pegembangan Desa Siaga. Peserta
musyawarah adalah tokoh-tokoh masyarakat, termasuk tokoh-tokoh
perempuan dan generasi muda setempat. Bahkan sedapat rnungkin dilibatkan
pula kalangan dunia usaha yang mau mendukung pengembangan Desa Siaga
dan kelestariannya (untuk itu diperlukan advokasi).
Data serta temuan lain yang diperoleh pada saat SMD disajikan, utamanya
adalah daftar masalah kesehatan, data potensi, serta harapan masyarakat.
Hasil pendataan tersebut dimusyawarahkan untuk penentuan prioritas,
dukungan dan kontribusi apa yang dapat disumbangkan oleh masing-masing
individu/ institusi yang diwakilinya, serta langkah-Iangkah solusi untuk
pembangunan Poskesdes dan pengembangan masing-masing Desa Siaga

2.1.6. Pendekatan Pengembangan Desa Siaga


Agar percepatan pengembangan desa siaga cepat tercapai maka ada
beberapa strategi yang dilakukan oleh Tim Pengembangan Desa Siaga, di
antaranya adalah sebagai berikut :
 Pemberdayaan
Pada prinsipnya konsep Desa Siaga adalah pemberdayaan, dimana peran
serta dari masyarakat adalah yang utama. Langkah awal yang dilakukan dalam
pemberdayaan tersebut dengan membantu kelompok masyarakat memegenali
masalah-masalah yang mengganggu kesehatan sehingga masalah tersebut
menjadi masalah bersama. Kemudian masalah tersebut dimusyawarakan untuk
dipecahkan bersama. Pembinaan Desa Siaga dilakukan dengan menggerakkan
segenap komponen yang ada dalam masyarakat agar secara mandiri dan
berkesinambungan, mencegah dan mengatasi masalah kesehatannya dan
mengenali potensi yang dimiliki guna mengatasinya. Mengajak masyarakat
agar terlibat secara mandiri dalam Desa Siaga juga dilakukan dengan
melakukan penyuluhan-penyuluhan semisal pada saat ada pelaksanaan
Posyandu. Petugas kesehatan dari Puskesmas sangat memberi andil yang
sangat besar dalam pengembangan Desa Siaga dengan startegi pemberdayaan
tersebut.
 Bina Suasana (Empowerment)
Bina suasana adalah upaya menciptakan suasana atau lingkungan sosial
yang mendorong individu, keluarga dan masyarakat agar berperan dalam
pengembangan Desa Siaga.Bina suasana dilakukan dengan pemberian
informasi tentang Desa Siaga melalui leaflet. Misal yang telah dilakukan
dengan adalah pembagian selebaran informasi tentang Demam Berdarah
Dengue dengan pendekatan konsep Desa Siaga. Hal lain yang juga dilakukan
adalah memotivasi kader-kader kesehatan di desa agar mampu mempunyai
pengaruh untuk menciptakan opini positif tentang Desa Siaga kepada
masyarakat. Pemasangan papan Desa Siaga juga adalah salah satu strategi bina
suasana, hal ini dilakukan agar desa siaga menjadi familir di tengah-tengah
masyarakat.
 Advokasi
Advokasi terus dilakukan oleh Tim Teknis Pengembangan Desa siaga dan
tim promosi kesehatan oleh tenaga kesehatan puskesmas. Pendekatan juga
dilakukan kepada stakeholder yang terkait guna memberikan dukungan,
kebijakan, dana, tenaga, sarana dan prasarana.
 Kemitraan
Bentuk kemitraan untuk pengembangan Desa Siaga Siaga masih dalam
tahap penjajakan. Tim Teknis Desa Siaga telah melakukan pendekatan
terhadap pihak ketiga ( Pihak Swasta ) agar dapat mengambil peran dalam
pengembangan Desa Siaga. Tentunya ada manfaat bagi Pihak swasta yang
ditawarkan jika Desa Siaga berjalan dengan baik.

2.1.7. Peran Perawat dalam Pelaksanaan Desa Siaga


Pelayanan keperawatan merupakan bagian integral dari sistem
pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Proporsi tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) merupakan proporsi tenaga terbesar (48%) yang dapat
mempengaruhi kinerja rumah sakit dan puskesmas/ sarana pelayanan
kesehatan lainnya. Perawat berperan dalam UKP (Upaya kesehatan
perorangan) dan Upaya kesehatan masyarakat (UKM). Peran perawat di
semua tatanan pelayanan kesehatan di setiap level rujukan dimana bentuk
pelayanan yang diberikan berupa pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang
komprehensif.
Perawat sebagai ujung tombak tenaga kesehatan di masyarakat tentu harus
juga dipersiapkan dalam pelaksanaan desa siaga ini. Dengan mengacu dari
prinsif-prinsif keperawatan komunitas yaitu (Astuti Yuni, Nursari 2005) :
• Kemanfaatan, yang berarti bahwa intervensi yang dilakukan harus
memberikan manfaat sebesar – besarnya bagi komunitas.
• Prinsip otonomi yaitu komunitas harus diberikan kebebasan untuk
melakukan atau memilih alternative yang terbaik yang disediakan untuk
komunitas.
• Keadilan yaitu melakukan upaya atau tindakan sesuai dengan
kemampuan atau kapasitas komunitas.
Adapun peran perawat disini antara lain (Old, London, & Ladewig, 2000)
• Sebagai pemberi pelayanan dimana perawat akan memberikan
pelayanan keperawatan langsung dan tidak langsung kepada klien dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat.
• Sebagai pendidik, perawat memberikan pendidikan kesehatan kepada
klien dengan resiko tinggi atau dan kader ksehatan.
• Sebagai pengelola perawat akan merencanakan,
mengorganisasi,menggerakan dan mengevaluasi pelayanan keperawatan baik
langsung maupun tak langsung dan menggunakan peran serta aktif masyarakat
dalam kegiatan keperawatan komunitas.
• Sebagai konselor, perawat akan memberikan konseling atau bimbingan
kepada kader, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan komunitas
dan kesehatan ibu dan anak.
• Sebagai pembela klien (advokator) perawat harus melindungi dan
memfasilitasi keluarga dan masyarakat dalm pelayanan keperawatan
komunitas.
• Sebagai peneliti perawat melakukan penelitian untuk mengembangkan
keperawatan komunitas dalam rangka mengefektifkan desa siaga.
Mengacu dari BPPSDM Dep Kes 2006, mengenai sumber daya manusia
(SDM) Kesehatan di Desa Siaga dijelaskan bahwa SDM pelaksana pada desa
siaga ini menempati posisi yang sangat penting , dimana mereka akan
berperan dalam sebuah tim kesehatan yang akan melaksanakan uapya
pelayanan kesehatan . SDM Kesehatan yang akan ditempatan di desa siaga ini
memiliki kompetensi sebagai berikut:
• Mampu melakukan pelayanan kehamilan dan pertolongan persalinan,
kesehatan ibu dan anak
• Mampu melakukan pelayanan kesehatan dasar
• Mampu melakukan pelayanan gizi individu dan masyarakat
• Mampu melakukan kegiatan sanitasi dasar
• Mampu melakukan kegiatan penyuluhan kesehatan
• Mampu melakukan pelayanan kesiapsiagaan terhadap bencana , dan
mampu melaksanakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Perawat dengan peran dan fungsinya untuk ikut mensukseskan Desa
Siaga, sebaiknya telah dipersiapkan dengan baik sehingga beberapa
persyaratan SDM seperti dijelaskan diatas bisa dicapai.
2.2 ANGKA KEMATIAN IBU
2.2.1 Definisi kematian ibu
Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu selama periode waktu
tertentu per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu adalah kematian seorang
wanita saat hamil atau dalam 42 hari pengakhiran kehamilan, terlepas dari
durasi dan tempat kehamilan, dari setiap penyebab yang berhubungan dengan
atau diperburuk oleh kehamilan ataupenanganannya tetapi bukan dari
penyebab kecelakaan atau insidental (WHO, 2010).
Berdasarkan definisi WHO tersebut menggambarkan adanya hubungan
akibat dan sebab antara kehamilan dan kematian maternal. Ibu yang hamil
mungkin mengalami keguguran atau kehamilan ektopik terganggu, atau ibu
yang hamil mungkin meninggal dunia sebelum melahirkan atau ibu yang hamil
telah melahirkan seorang bayi dalam keadaan hidup atau mati yang diikuti
dengan komplikasi kehamilan persalinan dan nifas yang menyebabkan
kematian maternal.
Kematian dan kesakitan pada ibu hamil dan bersalin serta bayi baru lahir
sejak lama telah menjadi masalah, khususnya di negara-negara berkembang.
Sekitar 25-50% kematian perempuan usia subur disebabkan oleh hal yang
berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan menjadi faktor utama
mortalitas perempuan pada masa puncak produktivitasnya.
Walaupun kematian ibu telah lama menjadi masalah di negara-negara
berkembang, baru pada tahun 1987 untuk pertama kali diadakan Konferensi
Internasional tentang kematian ibu di Nairobi Kenya. Pada tahun 1990
dilangsungkan World Summit for children di New York, USA yang antara lain
bersepakat untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi separuh pada
tahun 2000. (Saifudin, 2005).
2.2.2 Penyebab kematian ibu
Penyebab kematian dan kesakitan ibu dan bayi telah dikenal sejak dulu
dan tidak berubah banyak. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan post
partum, eklampsia, infeksi, aborsi tidak aman, partus macet, dan sebab-sebab
lain seperti kehamilan ektopik dan mola hidatidosa. Keadaan ini diperkuat
dengan kurang gizi, malaria, dan penyakit-penyakit lain seperti tuberkulosis,
penyakit jantung, hepatitis, asma, atau HIV. Pada kehamilan remaja lebih
sering terjadi komplikasi seperti anemia dan persalinan preterm.
Menurut Saifudin (2002) kematian ibu dibagi menjadi dua kelompok
yaitu:
(1). Kematian obstetri langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu
yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang timbul
akibat tindakan atau kelalaian dalam penanganan. Komplikasi yang dimaksud
antara lain perdarahan antepartum dan postpartum, preeklamsia/eklamsia,
infeksi, persalinan macet, dan kematian pada kehamilan muda.
(2). Kematian obstetri tidak langsung (indirect obstetric death) adalah
kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit yang sudah diderita
sebelum kehamilan atau persalinan yang berkembang dan bertambah berat
yang tidak berkaitan dengan penyebab obstetri langsung. Kematian obstetri
tidak langsung ini misalnya disebabkan oleh penyakit jantung, hipertensi,
hepatitis, malaria, anemia, tuberkulosis, HIV/AIDS, diabetes dan lain-lain.
Penyebab kematian ibu yang diakibatkan oleh kecelakaan atau
kebetulan tidak di klasifikasikan ke dalam kematian ibu yang ada hubungannya
dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Kematian yang dihubungkan dengan
kehamilan International Classifation of Deases (ICD-10) memudahkan
identifikasi penyebab kematian ibu ke dalam kategori baru yang disebut
pregnancy related death yaitu kematian wanita selama hamil atau dalam 42
hari setelah berakhirnya kehamilan dan tidak tergantung dari penyebab
kematian lain.
Batasan 42 hari ini dapat berubah karena telah diketahui bahwa dengan
adanya prosedur-prosedur dan teknologi baru maka terjadinya kematian dapat
diperlama dan ditunda sehingga ICD-10 juga memasukkan suatu kategori baru
yang akibat penyebab obstetric langsung atau tidak langsung yang terjadi lebih
dari 42 hari tetapi kurang dari satu tahun setelah berakhirnya kehamilan (WHO
et al, 2010).
2.2.3 Epidemiologi Kematian ibu
Walaupun berbagai upaya telah dilaksanakan, angka kematian ibu di
berbagai Negara berkembang masih tetap atau penurunannya sangat lambat.
Safe Motherhood Technical Consultation yang diadakan di Colombo, 1997
mengidentifikasi beberapa
isu kunci sebagai berikut:
a. Kurang jelasnya prioritas serta intervensi program Safe Motherhood
sehingga kurang terarah dan kurang efektif.
b. Kurangnya informasi tentang intervensi yang mempunyai dampak
bermakna dan segera dalam menurunkan kematian ibu.
c. Strategi Safe Motherhood kadang-kadang terlalu luas, mulai dari
meningkatkan status perempuan, memperbaiki undang-undang, memperluas
pelayanan kesehatan maternal, dan memperluas pelayanan emergensi.
d. Beberapa program yang khusus dalam pelayanan kesehatan maternal
ternyata dikemudian hari tidak atau kurang efektif, seperti penapisan risiko
pada asuhan antenatal dan pelatihan dukun.
e. Tidak dilakukannya intervensi yang sebenarnya efektif seperti
penanganan komplikasi aborsi karena masih dianggap sebagai isu yang sensitif.
f. Tidak tersedianya panduan teknis atau program, kurikulum pelatihan
dan sumber lain secara luas.
g. Kurangnya komitmen politik dari penentu kebijakan.
h. Kurangnya koordinasi dan komitmen diantara pemerintah dan
lembaga donor. (Saifudin, 2005).

Menurut perkiraan WHO setiap tahun terjadi 500.000 kematian ibu yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan, 99% di antaranya terjadi di
Negaranegara berkembang. Lebih dari separuhnya (300.000) terjadi di Asia,
yang hampir 3/4- nya di Asia Selatan. Risiko kematian maternal di negara maju
1 diantara 15-50, yang berarti peningkatan 200-250 kali. Kematian maternal
merupakan fungsi dari berbagai hal, bukan hanya dari faktor-faktor pelayanan
kesehatan saja. Kehamilan dan persalinan yang terlalu dini, kemiskinan,
ketidaktahuan, kebodohan, budaya diam kaum wanita, dan rendahnya status
wanita pada hal-hal tertentu. Transportasi yang sulit, ketidakmampuan
membayar pelayanan yang baik, dan pantangan tertentu pada wanita hamil
juga ikut berperan. ( Hadijono, 2006).
Kematian ibu atau AKI di daerah berkembang sebesar 240 adalah 15 kali
lebih tinggi dari pada di negara maju yaitu 16 per 100.000 kelahiran hidup atau
99% (284.000) kematian ibu secara global dan mayoritas di antaranya berada
di sub-Sahara Afrika (162.000 kematian ibu) dan Asia Selatan (83.000 kematian
ibu). Sub-Sahara Afrika memiliki angka kematian ibu (AKI) tertinggi yaitu 500
kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (KH), sedangkan Asia Timur memiliki
yang terendah di antara negara berkembang yaitu 37 kematian ibu per
100.000 KH. Urutan AKI di negara berkembang adalah Asia Selatan
220/100.000 KH, Oceania 200/100.000 KH, South-East Asia 150/100.000 KH,
Amerika Latin dan karibia 80/100.000 KH, Afrika Utara 78/100.000 KH, Asia
Barat 71/100.000 KH, Caucasus dan Asia Tengah 46/100.000 KH.
Meskipun sebagian besar negara-negara Afrika sub-Sahara memiliki AKI
tinggi namun ada beberapa nergara yang memiliki AKI rendah berkisar antara
20-99/100.000 KH seperti: Mauritius (60/100.000 KH), Sao Tome Principe
(70/100.000 KH) dan Cabo Verde (79/100.000 KH) sedangkan negara-negara di
Afrika yang dikategorikan AKI moderat (100-299/100.000 KH) antara lain:
Botswana 160/100.000 KH, Djibouti 200/100.000 KH, Namibia 200/100.000 KH,
Gabon 230/100.000 KH, Equatorial Guinea 240/100.000 KH, Eritrea
240/100.000 KH dan Madagaskar 240/100.000 KH.(WHO et al., 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu hamil diklasifikasi
sebagai berikut:
2.2.4 Faktor Medis
Faktor medis yang dipengaruhi oleh status reproduksi dan status
kesehatan ibu antara lain: umur, paritas, jarak kehamilan dan penyakit ibu,
anemia dan kurang gizi.
2.2.5 Umur ibu
Umur ibu saat kehamilan terakhir dihitung dalam tahun berdasarkan
tanggal lahir atau ulang tahun terakhir yang ada hubungannya dengan faktor
risiko dalam kehamilan. Indeks kehamilan risiko tinggi adalah usia ibu pada
waktu hamil terlalu muda yaitu kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun
(Fortney dalam Manuaba 2001).
Total fertility rate (TFR) adalah jumlah total anak yang mungkin akan
dimiliki oleh seorang wanita sampai akhir periode reproduksinya selama usia
suburnya 15-49 tahun, atau disebut juga dengan rata-rata jumlah kelahiran per
wanita. (Merrill RM,2014).
2.2.6 Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang memperoleh janin yang
dilahirkan. Paritas yang tinggi memungkinkan terjadinya penyulit kehamilan
dan persalinan diantaranya dapat menyebabkan terganggunya transport O2
dari ibu ke janin sehingga terjadi asfiksia yang dapat dinilai dari APGAR Score
menit pertama setelah lahir. (Manuba, 2010).
Menurut Saifudin (2002) paritas/jumlah kehamilan 2 sampai 3 adalah
paritas yang paling aman dilihat dari sudut kematian ibu. Paritas kurang dari
satu dan usia ibu terlalu muda di kategorikan berisiko tinggi karena ibu belum
siap secara mental maupun secara medis sedangkan paritas diatas empat dan
usia ibu terlalu tua secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani
kehamilan.
2.2.7 Jarak kehamilan
Jarak kehamilan yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun berisiko
terhadap kematian maternal dan tergolong dalam kelompok risiko tinggi untuk
mengalami perdarahan post partum. Jarak kehamilan yang disarankan pada
umumnya adalah dua tahun agar memungkinkan tubuh wanita dapat pulih
dari kebutuhan ekstra pada masa kehamilan dan laktasi. (Djaja dkk, (2001).

2.2.8 Faktor Non Medis


Faktor non medis berkaitan dengan perilaku kesehatan ibu, status ibu
dalam keluarga, status sosial ekonomi dan budaya yang menghambat upaya
penurunan kesakitan dan kematian ibu adalah sebagai berikut: Kurangnya
kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan ANC/ante natal care,
terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan resiko tinggi, ketidak
berdayaan sebagian besar ibu hamil di daerah terpencil maupun di perkotaan
dalam pengambilan keputusan untuk dirujuk.
2.2.9 Perilaku Kesehatan Ibu
Perilaku kesehatan ibu (health behavior) adalah respon seseorang
terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan
faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit (kesehatan) seperti lingkungan,
makanan dan pelayanan kesehatan. (Skiner dalam Notoatmodjo, 2014).
2.2.10 Status ibu dalam keluarga.
Status ibu dalam keluarga berkaitan dengan status pendidikan,
pekerjaan dan pendapatan begitu juga berkaitan dengan ketidakmampuan ibu
mengambil keputusan dalam keluarga. Pengambilan keputusan dalam keluarga
sangat mempengaruhi keterlambatan dalam merujuk ibu ke fasilitas kesehatan
yang lebih baik. Masih sering ditemukan kasus yang terlambat dirujuk karena
masalah ketersediaan transportasi dan biaya juga masih merupakan kendala
dalam upaya penyelamatan dan rujukan ke Rumah Sakit sehingga
pemanfaatan pusat rujukan primer masih rendah (underutilized). Hal ini
dipengaruhi oleh faktor sosiobudaya, ketidaktahuan, dan ketidakpuasan
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan. (Manuaba,dkk
2005)
2.2.11 Status kesehatan ibu .
Status kesehatan ibu hamil merupakan suatu proses yang
membutuhkancperawatan khusus agar dapat berlangsung dengan baik. Resiko
kehamilan ini bersifatcdinamis karena ibu hamil yang pada mulanya normal,
secara tiba-tiba dapat berisiko tinggi. Jika status kesehatan ibu hamil buruk,
misalnya menderita anemia maka bayi yang dilahirkan berisiko lahir dengan
berat badan rendah (BBLR). Bayi dengan BBLR ini memilki risiko kesakitan
seperti infeksi saluran nafas bagian bawah dan kematian yang lebih tinggi dari
pada bayi yang dilahirkan dengan berat badan normal. Bagi ibu sendiri anemia
ini meningkatkan risiko pendarahan pada saat persalinan dan pasca persalinan,
gangguan kesehatan bahkan resiko kematian (Kusmiyati, 2009).
2.2.12 Faktor Sistem Pelayanan Kesehatan
Menurut Dubois dan Miley (2005), sistem pelayanan kesehatan
merupakan jaringan pelayanan interdisipliner, komprehensif dan kompleks,
terdiri dari aktivitas diagnosis, treatmen, rehabilitasi, pemeliharaan kesehatan
dan pencegahan untuk masyarakat pada seluruh kelompok umur dan dalam
berbagai keadaan. Pelayanan kesehatan adalah sebuah upaya yang
diselenggarakan sendiri atau secara bersamasama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan baik secara
perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Sistem Pelayanan Kesehatan antara
lain :
1. Pergeseran masyarakat dan konsumen.
Hal ini sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan dan kesadaran
konsumen terhadap peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan upaya
pengobatan. Sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang masalah
kesehatan yang meningkat, maka mereka mempunyai kesadaran yang lebih
besar yang berdampak pada gaya hidup terhadap kesehatan. Hal ini
mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan juga
meningkat.
2. Ilmu pengetahuan dan teknologi baru.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di sisi lain dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan karena adanya peralatan kedokteran yang
lebih canggih dan memadai walau di sisi yang lain juga berdampak pada
beberapa hal seperti meningkatnya biaya pelayanan kesehatan,
melambungnya biaya kesehatan dan dibutuhkannya tenaga profesional akibat
pengetahuan dan peralatan yang lebih modern.
3. Issu legal dan etik.
Sebagai masyarakat yang sadar terhadap haknya untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan dan pengobatan, issu etik dan hukum semakin meningkat
ketika mereka menerima pelayanan kesehatan. Pemberian pelayanan
kesehatan yang kurang memadai dan kurang manusiawi sehingga persoalan
hukum kerap akan membayanginya.
4. Ekonomi
Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan barangkali hanya
dapat dirasakan oleh orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan
untuk memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, namun
bagi klien dengan status ekonomi rendah tidak akan mampu mendapatkan
pelayanan kesehatan yang paripurna karena tidak dapat menjangkau biaya
pelayanan kesehatan.
5. Politik
Kebijakan pemerintah dalam sistem pelayanan kesehatan akan
berpengaruh pada kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang diberikan dan siapa yang menanggung biaya pelayanan kesehatan karena
sistem terbentuk dari subsistem yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi. Sistem terdiri dari: input, proses, output, dampak, umpan balik
dan lingkungan.
a) Input merupakan subsistem yang akan memberikan segala masukan
untuk berfungsinya sebuah sistem. Input sistem pelayanan kesehatan: potensi
masyarakat, tenaga dan sarana kesehatan, dan sebagainya.
b) Proses kegiatan yang mengubah sebuah masukan menjadi sebuah
hasil yang diharapkan dari sistem tersebut. Proses dalam pelayanan kesehatan:
berbagai kegiatan dalam pelayanan kesehatan.
c) Output merupakan hasil yang diperoleh dari sebuah proses output
pelayanan kesehatan yang berkualitas serta terjangkau sehingga masyarakat
sembuh dan sehat.
d) Dampak merupakan akibat dari output/hasil suatu sistem, terjadi
dalam waktu yang relatif lama. Dampak sistem Pelayanan kesehatan adalah
masyarakat sehat, angka kesakitan & kematian menurun.
e) Umpan balik/feedback merupakan suatu hasil yang sekaligus menjadi
masukan Terjadi dari sebuah sistem yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi sebagai umpan balik dalam pelayanan kesehatan dan kualitas
tenaga kesehatan.
f) Lingkungan
merupakan semua keadaan di luar sistem tetapi dapat mempengaruhi
pelayanan kesehatan (Murniati, 2012).
2.2.13 Jangkauan pelayanan kesehatan
Adalah keterjangkauan lokasi pelayanan kesehatan dimana tempat
pelayanan yang tidak strategis sulit dicapai oleh para ibu menyebabkan
berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan. Akses terhadap
tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor seperti lokasi
dimana ibu dapat memperoleh pemeriksaan ANC, pelayanan kontrasepsi,
pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia
di masyarakat. Pemeriksaan ANC dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan
dengan ketentuan 1 kali pada trimester pertama (usia kehamilan belum 14
minggu) 1 kali selama trimester kedua (usia kehamilan antara 14 sampai 28
minggu) dan 2 kali selama trimester ketiga (usia kehamilan antara 28 sampai
dengan 36 minggu). Pemeriksaan ANC dilakukan dengan standar “ 7 T ” yaitu
meliputi: timbang berat badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri,
pemberian imunisasi Tetanus Toxoid, pemberian tablet zat besi, tes terhadap
penyakit menular sexual dan temu wicara dalam rangka persiapan rujukan.
(Depkes RI, 2004).
Tujuan dari antenatal care adalah menjaring ibu hamil secara teratur
selama masa kehamilan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat
meningkatkan risiko komplikasi selama kehamilan atau persalinan. Sebuah
studi oleh Abraham & Joseph (1985) menemukan bahwa sekitar 87%
kehamilan berisiko tinggi di identifikasi menerima antenatal care dengan baik
namun sekitar 15% dari kasus berisiko tinggi tidak menerima antenatal care
dengan baik selama pemeriksaan rutin kehamilan.
Menurut Rooney (2001) bahwa tujuan utama dari antenatal care adalah
untuk memperhatikan serta memperoleh hasil yang aman dan sehat bagi ibu
dan anak pada akhir kehamilan, namun peningkatan kesehatan ibu selama
masa kehamilan dan persalinan masih dipertanyakan. Sebuah tinjauan
komprehensif studi juga menunjukkan bahwa prosedur rutin pelayanan
antenatal care memiliki pengaruh yang kurang maksimal terhadap kesakitan
dan kematian ibu.
Jumlah kunjungan antenatal care mungkin tidak mencerminkan
gambaran yang benar, seperti skrining faktor resiko tertentu yang memerlukan
kunjungan rutin selama periode waktu tertentu (trimester kehamilan). Sebuah
studi yang dilakukan oleh Bulatao & Ross pada tahun 2002 di 49 negara-negara
berkembang menunjukkan bahwa dalam implementasi antenatal care program
yang paling mendapat perhatian adalah imunisasi tetanus, hipertensi,
pemberian makanan tambahan di banding dengan konseling atau promosi
kesehatan untuk memperkenalkan kepada ibu hamil tentang tanda-tanda
bahaya yang biasa terjadi selama kehamilan. (Faudjan et al 2006).
2.2.14 Sitem Rujukan
Ada dua pengertian Sistem Rujukan yaitu pengertian konseptual yang
bersifat universal dan diterima semua negara di dunia dan pengertian (Teknik)
Operasional harus disesuaikan dengan keadaan di negara masing-masing.
1. Pengertian Konseptual Rujukan.
Sistem Rujukan adalah suatu sistem pelayanan kesehatan di mana
terjadi pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah
kesehatan yang timbul, baik secara horizontal maupun vertikal, baik untuk
kegiatan pengiriman penderita, pendidikan, maupun penelitian.
2. Pengertian (Teknik) Operasional.
Sistem Rujukan merupakan suatu tatanan, dimana berbagai komponen
dalam jaringan pelayanan kesehatan reproduksi dapat berinteraksi dua arah
timbal balik, antara parteira/bidan di desa, parteira/bidan dan dokter centro
saude/Puskesmas di pelayanan kesehatan dasar, dengan para dokter spesialis
di hospital/rumah sakit municipio/kabupaten, untuk mencapai rasionalisasi
penggunaan sumber daya kesehatan, dalam upaya penyelamatan ibu dan bayi
baru lahir, melalui penanganan ibu risiko tinggi dan gawat darurat obstetri,
secara profesional, efisien, efektif, rasional dan relevan. Dalam Sistem Rujukan,
sarana dan prasarana alat yang berteknologi cangih, dipusatkan pada suatu
tempat, yaitu Hospital (RS) Kabupaten atau Hospital (RS) Nasional.
Faktor nonmedis yang besar pengaruhnya terhadap terjadinya Rujukan
Terlambat adalah:
a.Komplikasi persalinan yang tak terduga
Dalam keadaan ini sering keluarga menjadi panik sehingga tidak segera
dapat mengambil keputusan apakah penderita akan dirujuk atau tidak.
Keterlambatan pengambilan keputusan ini mungkin karena faktor
sosiobudaya, biaya, transportasi dan lingkungan.
b. Penolong pertama, jumlah penolong dan lama pertolongan di luar
rumah sakit.
c. Pertolongan “estafet”
d. Geografis.
2.2.15 Penolong persalinan
Salah satu faktor tingginya AKI di RDTL disebabkan karena masih
rendahnya cakupan pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan yaitu 29%
sedangkan 70% persalinan ditolong oleh bukan tenaga kesehatan dan 1% tidak
diketahui penolongnya. (WHO, 2010).
Penolong persalinan yang terlatih merupakan salah satu teknik yang
paling penting dalam menurunkan AKI. Sebagian besar komplikasi obstetri
terjadi pada saat persalinan berlangsung. Angka kematian ibu akan dapat
diturunkan secara adekuat apabila 15% kelahiran ditangani oleh dokter dan
85% ditangani oleh bidan. Rasio ini paling efektif bila bidan dapat menangani
persalinan normal dan dapat secara efektif merujuk 15% persalinan yang
mengalami komplikasi kepada dokter. (Ika., 2014).

2.2.16 Determinan dekat


Adalah proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian ibu
yaitukehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan
nifas (komplikasi obstetri). Wanita yang hamil memiliki risiko untuk mengalami
komplikasi baik komplikasi kehamilan maupun persalinan sedangkan wanita
yang tidak hamil tidak memiliki risiko tersebut.
2.2.17 Komplikasi kehamilan
Komplikasi kehamilan merupakan penyebab langsung kematian ibu yang
sering terjadi adalah perdarahan, preeklamsia atau eklamsia dan infeksi.
a. Perdarahan
Pada masa kehamilan muda dan kehamilan lanjut biasanya terjadi
perdarahan yang disebabkan oleh kehamilan ektopik terganggu (KET) dan
abortus. Di negaranegara berkembang angka kejadian kehamilan ektopik
terkesan meningkat menjadi sekitar 1 : 80 sampai 150 kehamilan. Kehamilan
ektopik adalah kehamilan yang terjadi bila telur yang dibuahi berimplantasi
dan tumbuh di luar endometrium kavum uteri.
ini merupakan penyebab kehamilan ektopik:
1. Faktor tuba, meliputi: penyempitan lumen tuba, gangguan silia tuba,
operasi dan sterilisasi tuba yang tidak sempurna, endometriosis tuba, tumor.
2. Faktor ovum, meliputi: rapid cell devision, migrasi eksternal dan
internal ovum, perlekatan membran granulose.
3. Penyakit radang panggul
4. Kegagalan kontrasepsi
5. Efek hormonal, meliputi: penggunaan kontrasepsi minum pil, dan
6. Riwayat terminasi kehamilan sebelumnya.
Faktor resiko kehamilan ektopik diantaranya adalah: endometriosis;
riwayat radang panggul, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, riwayat
pembedahan tuba, riwayat infertilitas, riwayat pemakaian IUD belum lama
berselang, riwayat penyakit menular seksual (PMS) seperti: gonore dan
klamidia, faktor usia hamil di atas 35 tahun, riwayat kebiasaan buruk
(merokok) dan pasien dalam proses fertilisasi in vitro. Gejala dan tanda
kehamilan ektopik adalah sebagai berikut: Ibu hamil yang mengalami
kehamilan ektopik akan merasakan gejala pada usia kehamilan 6-10 minggu.
Adapun gejala dan tanda yang dirasakan antara lain: amenorea/tidak haid,
nyeri perut bagian bawah, perdarahan per vaginam iregular (biasanya dalam
bentuk bercak-bercak darah), rasa sakit pada salah satu sisi panggul, tampak
pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi meningkat, ibu hamil mengalami
pingsan dan terkadang disertai nyeri bahu akibat iritasi diafragma dari
hemoperitoneum. Selain perdarahan akibat kehamilan ektopik terganggu ada
perdarahan yang disebabkan oleh abortus karena berakhirnya suatu kehamilan
(oleh akibat-akibat tertentu) sebelum kehamilan tersebut berusia 20 minggu
dan berat janin kurang dari 500 gram atau buah kehamilan belum mampu
hidup diluar kandungan. (Rahmawati, 2011).
Perdarahan pada kehamilan lanjut atau perdarahan antepartum
biasanya terjadi pada kehamilan trimester ketiga disebabkan adanya kelainan
plasenta yaitu plasenta previa dan solutsio plasenta. Plasenta previa
perdarahan yang terjadi pada implantasi plasenta yang menutupi sebagian
atau seluruh osteum uteri internum.
Plasenta previa dibagi menjadi plasenta previa totalis, lateralis,
marginalis dan plasenta previa letak rendah sedangkan solusio plasenta adalah
perdarahan yang terjadi akibat lepasnya plasenta dari insersinya di fundus
uteri sebelum waktu persalinan. Solusio plasenta dibagi menjadi solusio
plasenta ringan dengan perdarahan kurang dari 500 cc, solusio sedang dengan
perdarahan sekitar 1000 cc dan solusio plasenta berat suatu keadaan dimana
plasenta sudah lepas melebihi 2/3 bagian, perut nyeri dan tegang, bagian janin
sulit diraba seperti papan, darah dapat masuk otot rahim, uterus couvelaire
yang menyebabkan atoni uteri serta perdarahan pascapartus dan terdapat
gangguan pembekuan darah fibrinogen kurang dari 100 mg% sampai 150 mg%.
(Manuaba, 2001).
b. Perdarahan post partum
Perdarahan pasca persalinan (post partum) adalah perdarahan
pervaginam 500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan pasca
persalianan dapat disebabkan oleh atoni uteri sisa plasenta, retensio plasenta,
inversion uteri, robekan pada jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.
Haemorargic Post Partum (HPP) adalah hilangnya darah lebih dari 500 ml
dalam 24 jam pertama setelah lahirnya bayi.
Perdarahan Post partum diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1).Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrage) atau
perdarahan post partum primer atau perdarahan Pasca Persalinan Segera.
Perdarahan pasca persalinan primer terjadi 24 jam pertama. Penyebab utama
perdarahan pasca persalinan primer adalah atoni uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, robekan jalan lahir dan inversion uteri.
2). Perdarahan masa nifas atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau
Perdarahan Pasca Persalinan Lambat. Perdarahan Persalinan Sekunder terjadi
setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering
diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik atau sisa plasenta
yang tertinggal. (Rahmawati, 2011). Di berbagai negara paling sedikit
seperempat dari seluruh kematian ibu disebabkan oleh pendarahan,
proporsinya berkisar antara kurang dari 10 persen sampai hampir 60 persen.
Walaupun seorang perempuan bertahan hidup setelah mengalami pendarahan
pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang
berat (anemia berat) dan akan mengalami masalah kesehatan yang
berkepanjangan. (WHO, 2010).
c. Aborsi
Aborsi adalah penghentian kehamilan dengan alasan apapun sebelum
hasil konsepsi dapat bertahan hidup di luar kandungan ibunya. (WHO, 1994).
Sedangkan dunia kedokteran berpendapat bahwa janin yang lahir dengan
berat badan kurang dari atau sama dengan 500 gram tidak mungkin hidup di
luar kandungan, karena janin yang berat badan 500 gram sama dengan usia
kehamilan 22 minggu, maka kelahiran janin dibawah umur 22 minggu dianggap
sebagai aborsi.
Ada dua jenis aborsi yaitu Aborsi spontaneous dan aborsi provocatos.
1. Abortus Spontaneous atau dikenal sebagai keguguran merupakan
proses keluarnya embrio atau fetos akibat kecelakaan, ketidaksengajaan atau
penyebab alami lainnya yang mengakibatkan terhentinya kehamilan sebelum
minggu ke- 22. Aborsi spontan merupakan proses terjadi sendiri tanpa campur
tangan manusia. Secara global 10-50% kehamilan berakhir dengan keguguran
tergantung usia dan kesehatan perempuan hamil. Kebanyakan keguguran
terjadi di masa awal kehamilan dan pada kebanyakan kasus biasanya
perempuan bahkan tidak menyadari dirinya sedang hamil. Berdasarkan
pengeluaran hasil konsepsi aborsi spontan terbagi menjadi,
2. Abortus incompletus yaitu pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal di dalam
uterus, completus yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim
dan keadaan demikian tidak memerlukan pengobatan. Semua hasil konsepsi
sudah dikeluarkan dan missed abortion adalah keadaan dimana hasil
pembuahan yang telah mati tertahan dalam rahim selama delapan minggu
atau lebih dan pasien biasanya tidak menderita gejala kecuali tidak mendapat
haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran buah kehamilan secara
spontan dengan gejala yang sama dengan abortus yang lain. (Inna Hudaya,
2009).
3. Abortus provocatus adalah proses penghentian kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan
tujuan tertentu. Abortus provocatus dapat dikategorikan menjadi
(a) Abortus therapeuticus yaitu abortus yang dilakukan dengan disertai
indikasi medik, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan akan dapat
membahayakan jiwa si ibu (berdasarkan indikasi medis). Biasanya diperlukan
persetujuan dari 2 sampai 3 orang dokter ahli,
(b) Abortus Provokatus Kriminalis, abortus yang sengaja dilakukan tanpa
adanya indikasi medik (ilegal). Perilaku ini sifatnya ilegal dan seringkali
dilakukan secara sembunyisembunyi oleh tenaga tradisional.
d. Pre eklamisia dan Eklamsia.
Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang bisa dialami oleh setiap wanita
hamil. Penyakit ini ditandai dengan meningkatnya tekanan darah yang diikuti
oleh peningkatan kadar protein di dalam urine. Wanita hamil dengan
preeklampsia juga akan mengalami pembengkakan pada kaki dan tangan.
Preeklampsia umumnya muncul pada pertengahan umur kehamilan, meskipun
pada beberapa kasus ada yang ditemukan pada awal masa kehamilan.
Preeklamsia dibagi dalam dua bagian yaitu preeklamsia ringan dan
preeklamsia berat. Preeklamsia ringan adalah timbulnya hipertensi disertai
proteinurea dan edema setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera
setelah persalinan. Gejala ini timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu pada
penyakit trofoblas. Sedangkan Pre-eklamsia berat adalah komplikasi kehamilan
yang ditandai dengan timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai
proteinuria dan edema pada kehamilan 20 minggu atau lebih (Rahmawati,
2011).
Eklamsia merupakan kondisi lanjutan dari preeklampsia yang tidak
teratasi dengan baik. Selain mengalami gejala preeklampsia, pada wanita yang
terkena eklampsia juga sering mengalami kejang kejang. Eklampsia dapat
menyebabkan koma atau bahkan kematian baik sebelum, saat atau setelah
melahirkan. Penyebab pasti dari kelainan ini masih belum diketahui, namun
beberapa penelitian menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat menunjang
terjadinya preeklamsia dan eklamsia. Faktor faktor tersebut antara lain, gizi
buruk, kegemukan dan gangguan aliran darah ke rahim. Faktor resiko
terjadinya preeklamsia antara lain: pada umumnya terjadi pada kehamilan
yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita diatas
40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah : riwayat tekanan darah tinggi yang
khronis sebelum kehamilan, riwayat mengalami preeklampsia sebelumnya,
riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan, kegemukan,
mengandung lebih dari satu orang bayi, riwayat kencing manis, kelainan ginjal,
lupus atau rematoid arthritis.
e. Infeksi pada kehamilan.
Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir yang terjadi pada
kehamilan muda dan tua. Infeksi pada kehamilan muda adalah infeksi jalan
lahir yang terjadi pada kehamilan kurang dari 20 sampai 22 minggu yang
disebabkan adanya abortus yang terinfeksi. Sedangkan infeksi jalan lahir pada
kehamilan pada kehamilan tua adalah infeksi yang terjadi pada trimester
kedua dan ketiga. Infeksi jalan lahir ini dapat terjadi akibat ketuban pecah
sebelum waktunya, infeksi saluran kencing misalnya sistitis, nefritis atau akibat
penyakit sistemik seperti: malaria, demam tifoid, hepatitis dan lain-lain.
Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan terjadinya sepsis yang
dapat menyumbang kematian ibu sebesar 15%. (WHO, 2003).
f. Infeksi pada nifas
Infeksi nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan
yang disebabkan oleh masuknya kuman-kuman ke dalam alat genital pada
waktu persalinan dan nifas. Kuman penyebab infeksi dapat masuk ke dalam
saluran genital dengan berbagai cara antara lain melalui tangan penolong
persalian yang tidak bersih atau penggunaan instrumen yang kotor. Mula-mula
infeksi terbatas pada uterus dimana terdapat rasa nyeri dan nyeri tekan pada
perut bagian bawah dengan cairan vagina yang berbau busuk. Demam disertai
nyeri perut yang bertambah, muntah, nyeri kepala dan kehilangan nafsu
makan menandakan terjadinya penyebaran infeksi ke tempat lain. Selanjutnya
dapat terjadi abses di tuba falopii, panggul dan difragma bagian bawah. Pada
kasus yang berat infeksi dapat menyebar ke dalam aliran darah (septicemia)
menimbulkan abses dalam otak dan otot ginjal. Jika infeksi tidak dikendalikan
selanjutnya dapat terjadi gangguan mental dan koma. Infeksi nifas
menyebabkan morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca persalinan. Kematian
terjadi karena berbagai komplikasi termasuk syok, gagal ginjal, gagal hati dan
anemia.
Insidensi infeksi nifas terjadi antara 2-8% dari seluruh wanita hamil dan
memberikan kontribusi sebesar 8% terhadap kejadian kematian maternal
setiap tahunnya. Faktor predisposisi infeksi nifas antara lain kurang gizi,
anemia, higyene persalinan yang buruk, kelelahan ibu, sosial ekonomi rendah,
proses persalinan yang bermasalah seperti partus lama atau partus macet,
persalinan traumatik, manipulasi berlebihan dan kurang baiknya proses
pencegahan infeksi.
2.2.18 Determinan antara
Determinan antara mencakup status kesehatan ibu, status reproduksi,
akses ke pelayanan kesehatan, perilaku perawatan/penggunaan pelayanan
kesehatan dan faktorfaktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga.
2.2.19 Status kesehatan ibu
Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian
maternal meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu dan riwayat
komplikasi pada kehamilan dan persalinan sebelumnya. Status gizi ibu hamil
dapat dilihat dari hasil pengukuran terhadap lingkar lengan atas (LILA).
Pengukuran lingkar lengan atas bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil
termasuk kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi
buruk memiliki resiko untuk terjadinya perdarahan dan infeksi pada masa
nifas. Anemia merupakan maslah penting yang harus diperhatikan selama
kehamilan. Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar
haemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl. Berbagai sebab anemia yang saling
berkaitan antara lain intake yang kurang adekuat, malaria, parasit, defisiensi
zat besi, asam folat dan vitamin A. Kurang lebih 50% dari seluruh ibu hamil di
seluruh dunia menderita anemia. Wanita yang menderita anemia berat akan
lebih rentan terhadap infeksi selama kehamilan dan persalinan akan
meningkatkan risiko kematian akibat perdarahan dan akan memiliki risiko
komplikasi operatif bila dibutuhkan persalinan dengan seksio sesaria.
Penyebab kematian maternal tidak langsung lainnya antara lain malaria,
hepatitis, HIV/AIDS, diabetes mellitus dan bronkopneumonia.
Riwayat obstetrik yang buruk seperti persalinan dengan tindakan,
perdarahan, partus lama dan bekas seksio sesaria akan mempengaruhi
kematian maternal. (Saifudin, 2005).
2.2.20 Status reproduksi ibu
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian
maternal adalah usia ibu hamil, jumlah paritas, jarak kehamilan dan status
perkawinan ibu. Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia
berisiko untuk hamil dan melahirkan. Risiko paling besar terdapat pada ibu
hamil berusia ≤ 14 tahun. Komplikasi yang sering timbul pada kehamilan di usia
muda adalah anemia, partus prematur, partus macet. Akses ke pelayanan
kesehatan yang kurang untuk mendapatkan perawatan kehamilan dan
persalinan merupakan penyebab yang penting bagi terjadinya kematian
maternal di usia muda. Kemiskinan dan ibu hamil yang tidak berpendidikan
atau buta huruf maupun ketidak setaraan kedudukan antara pria dan wanita,
pernikahan usia muda dan kehamilan yang tidak diinginkan akan
memperburuk keadaan ini. Kehamilan diatas usia 35 tahun menyebabkan
wanita terpapar pada komplikasi medik dan obstetrik seperti risiko terjadinya
hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal dan
gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada usia kehamilan lanjut
meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun dengan peningkatan
insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas kurang dari satu atau belum pernah melahirkan atau baru
melahirkan petama kali dan paritas labih 4 kali memiliki angka kematian
maternal lebih tinggi.
2.2.21 Determinan jauh
Determinan jauh mempengaruhi kejadian kematian ibu melalui
pengaruhnya terhadap determinan antara yang meliputi faktor sosio-kultural
dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat,
status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat, (Arulita IF, 2007)
Faktor sosio-kultural dan faktor ekonomi seperti status wanita dalam
keluarga dan masyarakat merupakan determinan antara yang mempengaruhi
kejadian kematian ibu walaupun diklasifikasikan dalam determinan jauh.
Disamping itu determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan
antara yaitu status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan
kesehatan, perilaku pelayanan kesehatan atau pengunaan pelayanan
kesehatan dan faktor-faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga.
Proses yang paling dekat terhadap kematian ibu disebut sebagai determinan
dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi yang terjadi dalam kehamilan,
persalinan dan masa nifas yang dikenal dengan komplikasi obstertri. (Royston,
1998).
Penyebab kematian ibu digolongkan menjadi (1). Penyebab kematian
langsung (direct obstetric death) yaitu kematian ibu yang disebabkan langsung
oleh penyulit obstetrik pada masa kehamilan, persalinan dan nifas atau
kematian ibu yang disebabkan oleh suatu tindakan atau berbagai hal yang
terjadi akibat tindakan yang dilakukan selama hamil, persalinan dan nifas dan
(2). Penyebab kematian tidak langsung (indirect obstetric death) yaitu
kematian ibu yang disebabkan oleh suatu penyakit yang berkembang dan
bertambah berat akibat kehamilan dan persalinan atau nifas. (Saiffudin,
2002).William dkk. (2010) melakukan studi kualitatif tentang keterlibatan
suami dalam pemberian perawatan di daerah terpencil Bangladesh. Studi ini
memberikan bukti baru tentang keterlibatan laki-laki dalam pelayanan
persalinan di daerah terpencil Bangladesh. Temuan ini memiliki implikasi yang
baik bagi penangugjawab program melalui strategi pendidikan yang efektif dan
tidak bertentangan dengan budaya setempat untuk melibatkan suami dalam
pelayanan kesehatan maternal.
Berikut ini adalah gambaran maternal moratlity rate dan maternal
mortality ratio di selururh dunia yang dilaporkan oleh WHO pada tahun 2010
sebagai berikut:
2.5 Peta Maternal mortality rate worldwide

Gambar 2.5 Peta Maternal Mortality Rate World Wide (WHO, 2010).

2.3 UPAYA MENURUNKAN AKI


2.3.1 Upaya Menurunkan AKI
Upaya penurunan AKI merupakan salah satu target Kementerian
Kesehatan. Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain Program
Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Bantuan 15
Operasional Kesehatan (BOK) ke puskesmas di kabupaten/kota; safe
motherhood initiative, program yang memastikan semua perempuan
mendapatkan perawatan yang dibutuhkan sehingga selamat dan sehat selama
kehamilan dan persalinannya (tahun 1990); dan Gerakan Sayang Ibu pada
tahun 1996 (Mi’raj, 2017).
Selain itu, telah dilakukan penempatan bidan di tingkat desa secara
besar-besaran yang bertujuan untuk mendekatkan akses pelayanan kesehatan
ibu dan bayi baru lahir kepada masyarakat. Upaya lainnya yaitu strategi Making
Pregnancy Safer (tahun 2000). Selanjutnya pada tahun 2012 diluncurkan
Program Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) dalam rangka
menurunkan AKI dan neonatal sebesar 25% (Rahmi, 2016).
Selain upaya yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan melalui
berbagai program dan kegiatan untuk menurunkan AKI tersebut, mulai tahun
2007, pemerintah melalui Kementerian Sosial juga melaksanakan sebuah
program yang mendukung upaya penurunan AKI, karena salah satu fokusnya
adalah ibu hamil yang terdapat dalam rumah tangga miskin. Program tersebut
adalah Program Keluarga Harapan (PKH), yang membuka akses keluarga miskin
yang menjadi Keluarga Penerima Manfaat (KPM), termasuk ibu hamil untuk
memanfaatkan berbagai fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di sekitar
mereka. Kewajiban KPM PKH di bidang kesehatan antara lain adalah
melakukan pemeriksaan kandungan bagi ibu hamil. Berbagai upaya untuk
menurunkan AKI yang dilakukan oleh pemerintah tersebut akan lebih efektif
jika didukung oleh semua pihak. Sebagai contoh, Dinas Kesehatan Kapuas Hulu
membuat inovasi Madubulin (Masyarakat Peduli Ibu Bersalin) untuk
menurunkan AKI. Program ini bertujuan meningkatkan peran serta keluarga
masyarakat, aparatur desa, dan tokoh masyarakat terhadap ibu hamil dan ibu
bersalin. Program Madubulin efektif untuk mencegah terjadinya
keterlambatan ketika ibu yang akan bersalin harus dirujuk ke rumah sakit.
Madubulin yang berupa tim akan bergerak membantu bila ada ibu hamil yang
dirujuk ke rumah sakit. Setelah diterapkan, jumlah kematian ibu di Kapuas
Hulu menurun dari 14 orang pada tahun 2015 menjadi 2 orang pada tahun
2017, meskipun pada tahun 2018 meningkat lagi menjadi 3 orang. Madubulin
efektif dalam mengubah kebiasaan sebelumnya di mana persalinan dilakukan
secara tradisional dan dibantu tenaga nonmedis, praktik tradisional dalam
perawatan persalinan dan pascapersalinan, serta mengatasi sulitnya akses
terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu yang menjadi penyebab
tingginya AKI.
Saat hamil, ibu tentu akan mengalami beberapa jenis perubahan fisik
pada tubuh. Seperti adanya rasa mual dan muntah, berat badan bertambah,
nyeri di beberapa bagian tubuh, dan lain sebagainya. Namun, Moms juga bisa
mengalami beberapa kondisi yang mungkin dirasa mengkhawatirkan. Salah
satunya adalah pendarahan saat hamil. Menurut jurnal Obstetrics And
Gynecology, setidaknya sebanyak 30 persen wanita mengalami pendarahan
saat hamil pada trimester pertama kehamilan. Tetapi, terjadinya pendarahan
saat hamil ini bisa menjadi bagian yang sangat normal di masa awal kehamilan.
Banyak wanita mengalami pendarahan di awal, namun memiliki kehamilan
yang sehat hingga akhir. Berikut ini penjelasan lebih lanjut tentang penyebab
dan bentuk pencegahan pendarahan saat hamil.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Adapun kesimpulan yang kami dapat dari penulisan makalah di
atas yaitu Desa siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan
sumber daya dan kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi
masalah-masalah kesehatan, bencana dan kegawatdaruratan kesehatan,
secara mandiri. Adapun tujuan umumnya adalah terwujudnya desa dengan
masyarakat yang sehat, peduli, dan tanggap terhadap masalah-masalah
kesehatan, bencana, dan kegawatdaruratan di desanya. Sedangkan tujuan
khususnya antara lain:
 Optimalisasi peran FKD.
 Terbentuknya FKD yang berperan aktif menggerakan pembangunan
kesehatan.
 Berkembangnya kegiatan PMD ,pokja gotong royong,
 Upaya kesehatan ,Survailance dan Pembiayaan kesehatan.
 Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa tentang
pentingnya kesehatan dan melaksanakan PHBS (Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat).
 Meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk
menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan.
 Meningkatnya kesehatan di lingkungan desa.
 Meningkatnya kesiagaan dan kesiapsediaan masyarakat desa terhadap
risiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
(bencana, wabah penyakit, dsb).
 Menurunkan angka kematian ibu dan anak.
 Meningkatkan pertolongan persalinan oleh nakes.
 Meningkatkan kepesertaan KB.
3.1.2 Untuk menurunkan AKI, determinan dekat, determinan antara,
dan determinan jauh yang terkait dengan AKI harus dapat diatasi. Determinan
dekat yang berhubungan langsung dengan kematian ibu dapat diminimalisasi
apabila determinan antara yaitu status kesehatan ibu, akses terhadap
pelayanan kesehatan, dan perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan
dapat ditingkatkan. Upaya untuk menurunkan AKI tidak akan akan efektif jika
hanya mengandalkan program dari pemerintah tanpa peran serta semua
pihak. Dalam konteks ini, inovasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Kapuas Hulu dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah yang
lain untuk menggerakkan potensi yang ada dalam masyarakat agar berperan
serta dalam penurunan AKI. DPR RI melalui fungsi yang dimiliki juga dapat
berperan serta dalam menurunkan AKI dengan mengefektifkan fungsi
pengawasan melalui komisi terkait, yaitu Komisi VIII yang bermitra dengan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Komisi IX
yang bermitra dengan Kementerian Kesehatan. DPR RI juga perlu memastikan
bahwa anggaran yang dialokasikan untuk program dan kegiatan yang ditujukan
untuk meningkatkan kesehatan ibu melalui dua kementerian tersebut telah
memadai.
3.2 SARAN
Dari pengertian dan tujuan adanya desa siaga sangatlah bermanfaat
bagi masyarakat khususnya dalam mempertahankan dan bahkan
meningkatkan derajat kesehatan diharapkan agar pelaksanaan desa siaga ini
kembali dilakukan dan disebarluaskan ke setiap wilayah di Indonesia. Desa
siaga inilah merupkan langkah awal yang sangat penting untuk dilakukan yang
akhirnya nanti akan mendukung pogram pemerintah dalam pencapaian
peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia dan dalam menurunkan
angka kematian ibu dan anak.
DAFTAR PUSTAKA

JNPKKR (2018) ASUHAN PERSALINAN,JAKARTA


EGC (2017) ILMU KEBIDANAN, penyakit kandungan, dan keluarga berencana,
MANUABA
PANDUAN DESA SIAGA (2017)
Nurul. (2013). “Faktor Risiko Kematian Ibu”, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, Vol. 7, No. 10, hal, 453-454.
“AKI di Indonesia Masih Tinggi”, diakses 4 Desember 2019.
"Angka Kematian Ibu Melahirkan di Indonesia pada 2019 Masih Tinggi",
https://tirto.id/ei1y, diakses 29 November 2019 “Di Konferensi Internasional,
Hasto Wardoyo Ungkap Capaian Kesehatan Reproduksi”
https://today.line.me/id/pc article/ diakses 29 November 2019. “Madubulin
Jadi Cara Kapuas Hulu Turunkan Angka Kematian Ibu”,
https:// www.kemkes.go.id/article/ turunkan-angka-kematian-ibu. html,
diakses 4 Desember 2019.

Anda mungkin juga menyukai