Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tugas Pokok dan fungsi Mahkamah Agung Republik Indonesia

Tersebut dalam pasal 11 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor

4 tahun 2004, pasal 2 dan pasal 32 Undang-Undang nomor 14 Tahun 1985,

sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan

perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dimana

Mahkamah Agung memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai berikut :

Pertama, fungsi peradilan, sebagai pengadilan negara tingkat tertinggi,

Makhamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina

keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan

kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah

negara Republik Indonesia diterapkan secara adil, tepat, dan benar.

Disamping tugasnya sebagai pengadilan kasasi, mahkamah agung

berwewenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir

semua sengketa tentang kewenangan mengadili.

Kedua, fungsi pengawasan, Mahkamah Agung melakukan

pengawasan tertinggi terhadap jalannya pengadilan di semua lingkungan

peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan pengadilan-pengadilan

diselenggarakan dengan seksama dan wajar berpedoman pada asas peradilan

yang sederhana, cepat, dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan hakim

dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 11 Undang-

10
11

Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman). Mahkamah

agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggara perdilan pada

semua badan peradilan yang ada dibawahnya dalam menjalankan tugas yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni

dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap

perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal

yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran

dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan hakim (Pasal 32

Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2009).

Ketiga, fungsi mengatur, Mahkamah Agung dapat mengatur lebih

lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan

apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang

tentang mahkamah agung.

Keempat, Fungsi Nasehat, mahkamah agung memberikan nasehat-

nasehat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada

lembaga Tinggi Negara lain.

Kelima, fungsi Administratif. Badan-badan peradilan (peradilan

umum, peradilan Agama, Peradilan militer dan Peradilan Tata Usaha Negara)

secara organisatoris, administrative dan finansial berada dibawah kekuasaan

Mahkamah Agung.

Fungsi yang keenam yaitu fungsi lain-lain sebagaiman tercantum

dalam pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana Mahkamah


12

Agung selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili juga

diberikan tugas lain berdasarkan peraturan perundangan. “Fungsi Lain-lain,

selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Agung

dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-undang.”1

2.2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Legislative act dan eccecutive act merupakan salah satu bentuk dari

hukum tertulis. Tidak hanya sebatas lembaga legislatif dan eksekutif, lembaga

pelaksana undang-undang (yudikatif) juga diberi kewenangannya sendiri

untuk menetapkan aturannya sendiri, namun dengan batasan dimana hanya

boleh bersifat internal, seperti Mahkamah Agung dengan Peraturan

Mahakamah Agung yang biasa di sebut PERMA. Fungsi pengaturan

(regelen) tersebut merupakan wewenang Mahkamah Agung yang

berlandaskan hukum Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo.

Nomor 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang

Mahkamah Agung.

Kedudukan PERMA diatur dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung (UU MA). PERMA, berdasarkan

Undang-undang tersebut berperan untuk mengisi kekosongan hukum

terhadap materi yang belum diatur dalam undang-undang. “Mahkamah

Agung sebagai lembaga yudikatif diberikan kewenangan yang bersifat

1
Visca J Saija, 2014, “Peraturan Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Konstitusi menurut
jenis Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Jurnal Sasi, Volume 20, No. 2, hal 9
13

atributif untuk membentuk suatu peraturan, dimana kewenangan ini dibatasi

dalam penyelenggaraan peradilan”.2

Terobosan hukum melalui pembentukan PERMA untuk memecahkan

kebuntuan atau kekosongan hukum acara, selain memiliki dasar hukum juga

memberi manfaat untuk penegakan hukum.

Pertama, pengaturan dalam PERMA merupakan materi yang

substansial. Kedudukannya untuk mengatasi kekurangan undang-undang,

kewenangan membentuk PERMA merupakan kewenangan atribusi.

Kewenangan yang melekat secara kelembagaan terhadap Mahkamah Agung

yang memiliki ruang lingkup mengatur hukum acara menunjukkan bahwa

Mahkamah Agung dan lembaga peradilannya merupakan salah satu pelaksana

peraturan tersebut, dimana pembentuk dan pelaksana peraturan merupakan

lembaga yang sama. Sementara itu Mahkamah Agung juga berwewenang

untuk menguji peraturan tersebut. Kontrol atas peraturan yang dibentuk juga

dipegang oleh Mahkamah Agung.

Kedua,terobosan hukum yang dilakukan melalui PERMA ini juga

perlu dilihat dari sisi adanya kekosongan hukum atau undang-undang yang

mengatur suatu hal tertentu. Kekosongan hukum terjadi karena tidak adanya

produk pembentuk undang-undang yang mengaturnya. Apabila kondisi

kebutuhan hukum ini terbentur pada waktu singkat maka pilihan penyelesaian

melalui PERMA bisa dianggap efektif.

Bisa dipahami karena membentuk undang-undang membutuhkan


waktu yang lebih lama, namun apabila persoalan kekosongan hukum itu
2
Nur Solikin, 2017, “Mencermati pembentukan peraturan Mahkamah Agung (PERMA).”, Jurnal
RechtsVinding, Hal 1-2
14

sudah berlangsung cukup lama, maka perlu dipertanyakan peran pembentuk


undang-undang dalam menangkap situasi tersebut. Di sisi lain, peran
pembentuk undang undang juga harus lebih aktif dalam menangkap adanya
kekosongan hukum dalam penyelenggaraan peradilan.3

2.3. E- Court

2.3.1. Dasar hukum e-court dan e-litigasi

Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan peradilan

dilakukan dengan cara sederhana, cepat dan biaya ringan. Untuk

mewujudkan hal tersebut perlu dilakukan pembaruan guna mengatasi

kendala dan hambatan dalam proses penyelenggaraan peradilan berupa

inovasi antara sistem peradilan yang melayani dipadukan dengan

kecanggihan teknologi informasi.

Sistem peradilan elektronik yang diterapkan di Pengadilan

merupakan terobosan baru dalam penyelenggaraan peradilan dengan

diterbitkannya Peraturan Mahakamah Agung Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik

dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi

Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik. Terbitnya

peraturan tersebut disertai dengan peraturan teknis berupa Keputusan Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019

tentang Petunjuk Tekns Administrasi Perkara dan Persidangan di

Pengadilan Secara Elektronik.

Maksud adanya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di
3
Ibid, hal 5
15

Pengadilan Secara Elektronik adalah untuk mendukung terwujudnya tertib


administrasi perkara yang professional, transparan, akuntanbel, efektif,
efisien, dan modern.4

2.3.2. Pengertian e-court dan e-litigasi

E-court adalah sebuah instrumen pengadilan sebagai bentuk


pelayanan terhadap masyarakat pencari keadilan dalam hal pendaftaran
perkara secara online, taksiran panjar biaya perkara secara online,
pembayaran biaya perkara secara online, pemanggilan secara online,
persidangan secara online, mengirim dokumen persidangan (jawaban,
replik, duplik, kesimpulan dan putusan).5

Aplikasi e-court diharapkan mampu meningkatkan pelayanan dalam

fungsinya menerima pendaftaran perkara secara online dimana masyarakat

akan menghemat waktu dan biaya saat melakukan pendaftaran perkara.

Adapun pengertian dari e-litigasi sendiri sudah tertera di PERMA

Nomor 1 Tahun 2019 dalam pasal (1) ayat (7) di bab ketentuan umum

yaitu: persidangan secara elektronik adalah serangkaian proses memeriksa

dan mengadili perkara oleh pengadilan yang dilaksanakan dengan

dukungan teknologi informasi dan komunikasi.

Dan dalam pasal (4) juga dijelaskan bahwasannya persidangan

secara elektronik dalam peraturan ini berlaku untuk proses dengan cara

penyampaian gugatan/ permohonan/ keberatan /bantahan/ perlawanan atau

intervensi/ beserta perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian,

kesimpulan dan pengucapan putusan/penetapan.

Persidangan elektronik (e-litigasi) dapat dilakukan setelah pengguna

mendapatkan panggilan elektronik (e-summons). Dalam persidangan ini

4
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara di
Pengadilan Secara Elektronik, Berita Negara RI, Tahun 2019, No. 894
5
Mahkamah Agung RI, 2019, Buku Panduan E-court, hal 7
16

pihak penggugat/pemohon dan tergugat/termohon telah setuju melakukan

persidangan elektronik dengan mengisi persetujuan prinsipal maka para

pihak bisa melakukannya sesuai dengan e-summons yang telah dikirimkan.

Acara persidangan secara e-litigasi oleh para pihak dimulai dari

acara jawaban, replik, duplik, kesimpulan dan putusan. Untuk jadwal

persidangan sudah terintegrasi dengan tundaan sidang di sistem informasi

penelusuran perkara (SIPP). Dokumen dikirim setelah terdapat tundaan

sidang dan ditutup sesuai jadwal sidang. Sedangkan untuk mekanisme

kontrol (menerima, memeriksa, meneruskan) dari semua dokumen yang

diupload para pihak dilakukan oleh majelis hakim yang berarti ketika kedua

belah pihak mengirimkan dokumen dan selama belum diverifikasi oleh

majelis hakim kedua belah pihak tidak dapat melihat atau mendownload

dokumen yang dikirim oleh pihak lawan.

2.3.3. Sejarah e-court

Kemajuan Teknologi Informasi yang sedemikian cepat, telah

mempermudah kerja manusia (termasuk tugas peradilan) bukan tanpa efek

samping yang berdampak buruk bagi manusia/masyarakat/Negara.

Informasi yang tidak terkontrol akan berdampak pada chaos of information

pollution, yang memberikan data-data yang tidak bernilai guna. Laju

perkembangan teknologi informasi pada akhirnya menuntut badan- badan

peradilan di berbagai negara tak terkecuali di Indonesia untuk mengadopsi

penggunaan teknologi informasi.


17

Bila sebelumnya pengadministrasian perkara di pengadilan dilaksanakan

secara manual serta memakan waktu lama dan biaya tinggi maka

penggunaan teknologi dapat mempercepat, mempermudah dan

mempermurah biaya pengadministrasian perkara. Tren peradilan di

berbagai belahan dunia juga mulai mengarah pada pembangunan

integrated judiciary (i-Judiciary). Anne Wallace dalam artikelnya yang

berjudul “E-Juctice : An Australian Perspective“ mencatat beberapa

terobosan yang dilakukan pengadilan Australia dengan penggunaan Case

Management, Judgment Publication and Distribution, Litigation Support,

Evidence Presentation, Electronic Courtrooms, Knowledge Management,

Video-Conferencing, Transcript, Electronic Filing, Electronic Search, dan

E-court. Hal yang patut ditiru dalam pengalaman Australia adalah adanya

laman http://www.austlii.org. Laman tersebut adalah laman penyedia

materi dan informasi hukum secara gratis paling terkenal di Australia yang

menyediakan informasi hukum publik yang bersifat primer seperti

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, serta yang bersifat

sekunder seperti jurnal dan kajian-kajian hukum. Mahkamah Agung

Australia (High Court of Australia) telah mempublikasikan resmi putusan

(sejak 1903 sampai sekarang) di laman tersebut. Selain itu disediakan pula

Special Leave Dispositions (sejak 2008), transkrip persidangan (sejak

1994) and High Court Bulletins (sejak 1996)6.

6
https://www.ptun-yogyakarta.go.id/inces.php/artikel/193-e-court-dan-masa-depan-sistem-
peradilan-moderen-di-Indonesia.html. Diakses pada 16 November 2021.Pukul.18.00 WITA.
18

Ide pemanfaatan teknologi informasi untuk memperlancar tugas-

tugas peradilan tidak hanya terjadi di Luar Negeri, tetapi saat ini

pemanfaatan teknologi informasi di tanah air khusunya di dunia peradilan

semakin berkembang pesat yang ditandai dengan adanya Sistem Informasi

Penelusuran Perkara (SIPP) pada tahun 2016 dan pada tahun 2018 sistem

peradilan elektronik (e-court), yang kemudian dituangkan dalam bentuk

aplikasi berbasis teknologi yaitu aplikasi e-court.

Pada tahun 2009 Mahkamah Agung Republik Indonesia

menetapkan cetak biru pembaharuan peradilan 2010-2035 dimana salah

satu indikator peradilan yang ideal adalah Peradilan yang modern dengan

berbasis Teknologi Informasi terpadu. Adanya kata terpadu muncul dari

permasalahan bahwa saat penyusunan cetak biru tersebut, yakni di sekitar

tahun 2009, Mahkamah Agung telah menyadari bahwa belum terdapat

manajemen teknologi informasi yang komprehensif dan terintegrasi.

Terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

3 Tahun 2018 Tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara

Elektronik sebagai bentuk tindak lanjut amanat yang dituangkan dalam

cetak biru perubahan peradilan tersebut, dimana peraturan tersebut sebagai

dasar hukum diterapkannya peradilan berbasis elektronik yang di kenal

dengan e-court. Pengimplementasian e-court di Indonesia dimulai pada

tahun 2018, dimana ditunjuk beberapa pengadilan tingkat pertama sebagai

pengadilan percontohan, namun setelah setahun berjalan karena dinilai

penerapan e-court di beberapa Pengadilan percontohan kurang maksimal


19

maka ditebikan Peraturan Mahakah Agung Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan

Secara Elektronik yang kemudian mencabut PERMA Nomor 3 Tahun

2018, sekaligus mewajibkan seluruh pengadilan tingkat pertama agar

menerapkan e-court.

Adapun bahwa penerapan peradilan yang berbasis elektronik di

Mahkamah Agung Repubik Indonesia sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana

mengamanatkan pemerintah untuk mendukung pengembangan teknologi

informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga

pemanfaatan teknologi informasi secara aman untuk mencegah

penyalahgunaannya dengan memerhatikan nilai-nilai agama dan sosial

budaya masyarakat Indonesia.

2.3.4. Kebijakan penerapan e-court di Indonesia

E-court atau yang lebih akrab dengan istilah peradilan secara

elektronik merupakan terobosan yang diluncurkan oleh Mahkamah Agung

dibidang administrasi pelayanan peradilan dan persidangan berbasis

elektronik dengan memanfaatkan teknologi informasi (TI) dengan

berlandaskan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019

tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara

Elektronik. Hal tersebut dilakukan untuk mewujudkan pelayanan peradilan


20

sederhana, cepat dan biaya ringan serta untuk mengikuti tuntutan dan

perkembangan zaman serta pelayanan administrasi peradilan yang cepat

dan efisien.

PERMA Nomor 1 Tahun 2019 sendiri mengatur mengenai

pengguna, pendaftaran perkara, pembayaran panjar biaya perkara,

pemanggilan para pihak dan persidangan yang semuanya dilakukan secara

elektronik. Menurut PERMA Nomor 1 Tahun 2019, pengguna yang dapat

beracara menggunakan e-court hanya pengguna terdaftar dan pengguna

lain. Pengguna terdaftar yaitu Advokat yang telah diverifikasi di

Pengadilan Tinggi dan Pengguna lain yang terdiri dari perseorangan, badan

hukum, instansi dan kuasa insidentil. Bahwa oleh karena dalam PERMA

Nomor 3 Tahun 2018 belum mengatur mengenai persidangan secara

elektronik, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2019 tanggal 9 Agustus 2019 tentang Administrasi Perkara

dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik. Dampak dari keluarnya

peraturan terbaru tersebut, Mahkamah Agung melakukan terobosan baru

dalam aplikasi e-court dengan menambahkan menu e-litigation

(persidangan secara elektronik) dan upaya hukum secara elektronik.

Pada awal diterapkannya sistem peradilan berbasis elektronik,

Mahkamah Agung menetapkan 17 (tujuh belas) Pengadilan Negeri sebagai

pengadilan percontohan (pilot project) berdasarkan Surat Keputusan

Sekertaris Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

305/SEK/SK/VII/2018 tentang Penunjukan Pengadilan Percontohan


21

Pelaksanaan Uji Coba Administrasi Perkara di Pengadilan Secara

Elektronik. Adapun 17 (tujuh belas) Pengadilan Negeri tersebut adalah :

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat,

Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Tanggerang,

Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan Negeri

Karawang, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Sidoarjo,

Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri

Semarang, Pengadilan Negeri Surakarta, Pengadilan Negeri Palembang,

dan Pengadilan Negeri Metro.

Setelah hampir satu tahun diterbitkannya PERMA Nomor 3 Tahun

2018, namun belum ada perubahan yang nyata dalam penerapan e- court

sebagaimana diharapkan sehingga untuk mempercepat peningkatan

kemanfaatan layanan e-court, Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA

Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kewajiban Pendaftaran Perkara Perdata

melalui e-court pada tanggal 10 Juni 2019 yang mewajibkan seluruh

Pengadilan Negeri kelas 1A dan seluruh Pengadilan Negeri di wilayah

Pengadilan Tinggi Banten, Pengadilan Tinggi Jakarta, Pengadilan Tinggi

Bandung, Pengadilan Tinggi Semarang, Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan

Pengadilan Tinggi Surabaya wajib menggunakan e-court.

Pada tanggal 19 Agustus 2019 diterbitkanlah PERMA Nomor 1

Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan

Secara Elektronik. Berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2019 Pasal 38


22

maka PERMA Nomor 3 Tahun 2018 dinyatakan dicabut dan menyatakan

tidak berlaku lagi. Akan tetapi dalam Pasal 37 disebutkan bahwa peraturan

pelaksana dari PERMA Nomor 3 Tahun 2018 dinyatakan tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam PERMA Nomor 1

Tahun 2019. Hal ini sejalan dengan Keputusan ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesua Nomor 129/KMA/SK/VIII/2019 tentang Petunjuk

Teknis Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara

Elektronik pada bagian ketiga yang menyatkan bahwa saat keputusan ini

mulai berlaku semua peraturan pelaksana dari PERMA Nomor 3 Tahun

2018 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan

keputusan ini. “Selanjutnya pada bagian kedua, keputusan Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 122/KMA/SK/VII/2018

tentang Pengguna Terdaftar dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.7

PERMA Nomor 1 Tahun 2019 telah menambah ruang lingkup dari

e- court dengan e-litigation, semula ruang lingkup dalam PERMA Nomor 3

Tahun 2018 hanya terdiri dari : (1) e-filling, (2) e-payment, (3) Pengiriman

dokumen persidangan secara elektronik, (4) e-summons dengan PERMA

Nomor 1 Tahun 2019 menjadi: (1) e-filling, (2) e-payment (3) Pengiriman

dokumen persidangan secara elektronik (4) e-summons dan (5) e- litigation.

Ruang lingkup pendaftaran perkara secara elektronik menjadi

bertambah luas dengan adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2019 karena


7
Sonyendah Retnaningsih, Distiani Latifah Soroinda Nasution, Rouli Anita Valentina, Kelly
Mantovani, 2020, “Pelaksanaan e-court menurut PERMA Nomor 3 Tahun 2018 Tentang
Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik dan e-Litigation Menurut PERMA Nomor 1
Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik
(Studi Pengadilan Negeri di Indonesia)”, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Volume 50. No. 1,
Hal 132
23

meliputi juga keberatan/ bantahan/ perlawanan/ intervensi, bahkan

penerimaan pendaftaran upaya hukum juga sudah dapat dilakukan dengan

sistem pendaftaran elektronik.

2.3.5.. Ruang lingkup serta teknis aplikasi e-court

2.3.5.1. Pendaftaran Perkara Elektronik (e-filling)

Pendaftaran perkara secara elektronik dalam Aplikasi e-court

untuk saat ini baru ditetapkan untuk pendaftaran perkara gugatan,

bantahan, gugatan sederhana, permohonan dan upaya hukum banding.

Pendaftaran perkara ini adalah jenis perkara yang didaftarkan di peradilan

Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara yang dalam

pendaftarannya memerlukan effort atau usaha yang lebih, dalam hal ini

yang menjadi alasan untuk membuat e-court salah satunya adalah

kemudahan berusaha.

“Keuntungan pendaftaran perkara secara online melalui aplikasi

e- court diantaranya adalah:

1. Menghemat waktu dan biaya dalam proses pendaftaran biaya perkara.

2. Pembayaran biaya panjar yang dapat dilakukan dalam saluran multi

channel atau dari berbagai metode pembayaran dari bank.

3. Dokumen terarsip secara baik dan dapat diakses dari berbagai lokasi

dan media.

4. Proses temu Kembali data yang lebih cepat.”8

“Pendaftaran perkara online dilakukan setelah terdaftar sebagai

pengguna terdaftar atau sebagai pengguna lain dengan memilih


8
Mahkamah Agung RI, Buku Panduan E-court, 2019, hlm 7
24

pengadilan negeri, pengadilan agama, atau pengadilan Tata Usaha

Negara yang sudah aktif melakukan pelayanan e-court. Semua berkas

pendaftaran dikirim secara elektronik melalui aplikasi e-court

Mahkamah Agung RI."9

Aplikasi e-Filing juga dapat digunakan untuk melakukan

pengunggahan, maupun pengunduhan dokumen replik, duplik dan

kesimpulan, pengelolaan, penyampaian dan penyimpanan dokumen

perkara perdata/agama/tata usaha militer/ tata usaha negara. “Pengguna

terdaftar wajib memperhatikan standar-standar teknis yang meliputi

format dokumen, ukuran, jenis huruf, ukuran dan/atau batasan lain telah

ditetapkan dalam mengunggah dokumen melalui aplikasi ecourt.”10

2.3.5.2. Pembayaran panjar biaya elektronik (e-payment)

Dalam pendaftaran perkara, pengguna terdaftar akan langsung

mendapatkan SKUM yang di generate secara elektronik oleh aplikasi e-

court. Dalam proses generate tersebut sudah akan dihitung berdasarkan

komponen biaya apa saja yang telah ditetapkan dan dikonfigurasi oleh

Pengadilan, dan besaran biaya radius yang juga ditetapkan oleh ketua

pengadilan sehingga perhitungan taksiran biaya panjar sudah

diperhitungkan sedemikian rupa dan menghasilkan elektronik SKUM

atau e-SKUM.11

Dengan melakukan pendaftaran perkara online melalui e-court,

pendaftar akan secara otomatis mendapatkan Taksiran panjar biaya (e-


9
https://www.e-court.mahkamahagung.go.id/ pada tanggal 17 November 2021, jam 17.00
10
Ibid
11
Mahkamah Agung RI, loc.cit.
25

SKUM) dan Nomor Pembayaran (virtual Acoount) yang dapat dibayarkan

melalui saluran elektronik (Multi Channel) yang tersedia. Setelah

pendaftar melakukan pembayaran sesuai taksiran Panjar biaya (e-SKUM)

pengadilan memberikan nomor perkara pada hari dan jam kerja,

kemudian aplikasi e-court akan memberikan notifikasi/pemberitahuan

bahwa perkara sudah terdaftar di pengadilan.12

2.3.5.3. Pemanggilan dan pemberitahuan secara elektronik (e-summons)

Panggilan sidang dan Pemberitahuan putusan disampaikan kepada

para pihak melalui saluran elektronik ke alamat email para pihak serta

informasi panggilan tersebut bisa dilihat pada aplikasi e- court. Semua

panggilan maupun pemberitahuan yang dikirim ke domisili elektronik

pengguna terdaftar dianggap telah diterima apabila log aplikasi e-pbt dan

e-pgl telah mencatat bahwa panggilan tersebut telah terkirim.

Dalam aplikasi e-court tentang pemanggilan maupun

pemberitahuan secara elektronik, pengguna terdaftar bertanggung jawab

untuk memastikan bahwa semua pemberitahuan yang dikirimkan melalui

modul e-pbt dan / atau e-pgl dapat diterima dengan baik pada domisili

elektronik yang telah terdaftar di pengadilan.

“Pengguna terdaftar telah dianjurkan secara rutin memeriksa log

pengiriman e-pbt dan e-pgl yang dapat diakses pada dashboard akses

pengguna terdaftar untuk menghindari kegagalan penerimaan e-pbt

dan/atau e-pgl.”13

12
Mahkamah Agung RI, loc.cit.
13
Mahkamah Agung RI, op.cit. hal 9
26

2.3.5.4. Persidangan elektronik (e-litigasi)

E-litigasi merupakan salah satu dari empat fitur yang dimiliki oleh

Mahkamah Agung RI sebagai bahan integral dari program induk bernama

e-court (electronic court). Kemudian perlu dikethui bahwa sidang

elektronik berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor

129/KMA/SK/VIII/2019 tidak semua perkara di Pengadilan dapat

dilakukan secara e-litigasi tetapi baru secara limitative diberlakukan

terhadap perkara dengan klasifikasi Gugatan, Bantahan, dan Permohonan.

Sidang Pertama akan tetap dilaksanakan secara tatap muka di

Kantor Pengadilan tempat mendaftar. Hakim akan meminta pengguna

(Khususnya penggugat) untuk menyerahkan tiga dokumen asli, yaitu

surat kuasa, surat gugatan dan Surat Persetujuan Prinsipal. Kemudian

pada sidang pertama para pihak sudah lengkap, maka akan ditempuh

upaya mediasi terlebih dahulu dalam jangka waktu yang telah diatur.

2.4. Pengertian Efektif dan Efisien

Kata efektif berasal dari bahasa Inggris yaitu effective yang berarti

berhasil atau sesuatu yang dilakukan berhasil dengan baik. Kamus ilmiah

populer mendefinisikan efektivitas sebagai ketepatan penggunaan, hasil guna

atau menunjang tujuan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektif

adalah sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya) dimulai

berlakunya suatu undang-undang atau peraturan.

“Efektivitas itu sendiri adalah keadaan dimana dia diperankan untuk

memantau”.14 Kata efektifitas sendiri berasal dari kata efektif, yang berarti
14
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2002),. h., 284
27

terjadi efek atau akibat yang dikehendaki dalam suatu perbuatan.

Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau

tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam sosiologi hukum, hukum

memiliki fungsi sebagai a tool of social control yaitu upaya untuk

mewujudkan kondisi seimbang di dalam masyarakat, yang bertujuan

terciptanya suatu keadaan yang serasi antara stabilitas dan perubahan di

dalam masyarakat.

Efisien dapat diartikan sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan

yang optimal (cepat dan tepat) serta sesuai keinginan, dengan meminimalkan

sumber daya yang dikeluarkan. Para ahli memiliki gagasan tentang arti kata

efisien.

2.5 Efektivitas dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Sudah seharusnya peradilan tetap berjalan dan memiliki kesiapan

dalam segala situasi seperti terjadinya pandemi Covid-19 saat ini.

Pemeriksaan dan penyelesaian perkara dalam peradilan juga harus dilakukan

secara efektif dan efisien sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat (4) Undang-

Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan Kehakiman.

“Peradilan yang efektif dan efisien yaitu peradilan yang diatur secara

sederhana, tidak menghabiskan waktu yang lama dan menghemat biaya

selama proses peradilan.”15

15
Gracia, Majolica,Ronaldo Sanjaya “Eksistensi e-court untuk mewujudkan efisiensi dan
efektivitas pada sistem peradilan Indonesia di tengah covid-19” Jurnal Syntax Transformation
Vol. 2 No 4 hlm 501
28

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan kehakiman merumuskan bahwa pengadilan membantu para

pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan

dan rintangan untuk dapat tercapainya pengadilan yang sederhana, cepat, dan

biaya ringan. Lebih tegas lagi diatur dalam pasal 4 ayat (2), yaitu berupa

peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam

penjelasan, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan sederhana adalah

pemeriksaan yang dilakukan dengan cara yang efisien dan efektif, kemudian

yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dipikul

oleh rakyat, dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari

kebenaran dan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai