Anda di halaman 1dari 4

JADI TULI DI INDONESIA ITU SUSAH!

: PERAMPASAN BAHASA DAN


DISKRIMINASI
Adam Firdyansyah (2100739)
Pendidikan Bahasa Jerman
Universitas Pendidikan Indonesia

Bahasa merupakan alat komunikasi dan bertukar pikiran dalam kehidupan


sehari-hari. Tanpa bahasa, mungkin saja kehidupan ini tidak berjalan sebagaimana
mestinya dan terdapat banyak hambatan untuk saling memahami satu sama lain.
Selain itu, bahasa juga merupakan identitas dan menjadi satu ciri khas tersendiri yang
menandakan adanya budaya yang tumbuh dalam suatu kelompok atau daerah.
Selama ini, bahasa identik dengan tutur kata, suara, pelafalan, dan intonasi.
Masyarakat memahami satu bahasa bisa “sah” disebut sebagai bahasa ketika adanya
suara-suara yang dikeluarkan dari alat ucap atau bahasa lisan. Akan tetapi, bahasa
tidak sesempit itu dan tidak sestatis itu. Gerak tubuh, gestur tangan, ekspresi wajah
juga dapat disebut bahasa, dan ini lah yang digunakan oleh teman-teman kita yang
tidak dapat mendengar dan melafalkan bahasa yang dikenal sebagai Tuli.

Siapa Tuli?
Siapa itu Tuli? Menurut KBBI, Tuli (dengan huruf besar) berarti tidak bisa
mendengar dan menggunakan bahasa Isyarat untuk berkomunikasi. Orang-orang Tuli
lebih senang dipanggil “Tuli” dibanding “tunarungu” karena Tuli merupakan identitas dan
budaya bagi mereka. Salah satu budaya Tuli adalah bahasa Isyarat atau BISINDO
(Bahasa Isyarat Indonesia) yang digunakan oleh orang-orang Tuli Indonesia dalam
kehidupan sehari-hari. Jika orang dengar memiliki bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia
atau bahasa daerah lainnya, maka orang Tuli memiliki Bisindo sebagai bahasa ibu
mereka. Artinya Tuli tumbuh menggunakan bahasa Isyarat yang sudah terbentuk
secara alami dalam komunitas Tuli tersebut.
Diskriminasi terhadap Orang Tuli
Namun, hak-hak Tuli di Indonesia belum sepenuhnya terjamin, baik oleh
lingkungan sosial maupun pemerintah. Orang-orang Tuli masih belum mendapatkan
cukup akses dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Contohnya adalah masih
banyak Tuli yang kesulitan ketika berpergian ke tempat umum dan ingin bertanya atau
memesan sesuatu. Minimnya literasi tentang bahasa Isyarat dan dunia Tuli di
masyarakat menyebabkan orang awam kebingungan ketika bertemu Tuli yang
membutuhkan bantuan. Dalam seminar, webinar, bioskop, acara-acara televisi juga
masih banyak yang belum menyediakan akses Tuli seperti JBI (juru bahasa isyarat) dan
takarir (closed caption).

Perampasan Bahasa
Tidak hanya keterbatasan akses di masyarakat, orang Tuli di Indonesia juga
mengalami satu diskriminasi lain yaitu perampasan bahasa atau language deprivation.
Diskriminasi ini merupakan diskriminasi yang paling sering terjadi bagi disabilitas
khususnya orang Tuli dalam menjalin komunikasi sehari-hari. Contoh dari perampasan
bahasa yaitu pengalaman anak-anak Tuli ketika bersekolah, mereka tidak difasilitasi
dengan bahasa isyarat atau media komunikasi yang bisa dimengerti melainkan dipaksa
untuk mendengar dan menggunakan metode belajar oral. Dalam kondisi ini, sangat
tidak mungkin bagi anak-anak Tuli untuk memahami pembelajaran. Berdasarkan
pengalaman salah satu teman Tuli saya, dia bercerita bahwa selama masa SMA dulu,
ia tidak mengerti sama sekali materi yang disampaikan selama dua tahun sebelum
akhirnya pindah ke sekolah luar biasa (SLB). Guru-guru di sekolahnya hanya
menggunakan metode oral dan seakan tidak memfasilitasi keberadaan murid Tuli di
kelasnya. Dia juga mengatakan, pengalaman tersebut harus menjadi PR besar bagi
dunia pendidikan di Indonesia khususnya bagi tenaga pendidik. Menurutnya, tenaga
pendidik dan guru di sekolah umum juga harus dibekali dengan pengetahuan dasar
bahasa isyarat dan dunia Tuli.
Tanpa kita sadari, perampasan bahasa sudah banyak dilakukan terhadap orang
Tuli. Sempat viral beberapa waktu lalu, seorang pejabat publik berteriak dan memaksa
Tuli untuk mendengar dan latihan berbicara dengan dalih mensyukuri nikmat yang
Tuhan berikan. Tentu tindakan ini adalah tindakan tercela dan tidak pantas bagi seorang
pejabat yang seharusnya lebih mengerti kondisi rakyat dengan disabilitas.

SIBI adalah Bentuk Perampasan Bahasa


Alih-alih memfasilitasi dan mengembangkan BISINDO yang digunakan oleh
orang Tuli sejak lama, pemerintah malah membuat bahasa isyarat lain yaitu SIBI atau
sistem isyarat bahasa Indonesia. SIBI kemudian dibakukan dan dimasukan ke dalam
undang-undang serta wajib digunakan di universitas dan metode belajar pendidikan luar
biasa.
Hal ini memunculkan protes dari komunitas-komunitas Tuli karena orang-orang
Tuli mengalami kesulitan untuk memahami SIBI bahkan sampai tidak mengerti sama
sekali. Apa sebab? Tata bahasa SIBI cenderung mengikuti tata bahasa Indonesia yang
mana sangat berbeda dengan BISINDO yang sudah Tuli pahami sejak kecil. SIBI juga
banyak menyerap kosa isyarat ASL (American Sign Language) yang juga tidak
dipahami oleh orang Tuli. Sampai saat ini, Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu
Indonesia (Gerkatin) dan Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) masih
memperjuangkan agar BISINDO dapat diakui dan dimasukan ke dalam kurikulum
pendidikan Indonesia.
Pengakuan SIBI dan penolakan BISINDO oleh pemerintah merupakan salah
satu bentuk perampasan bahasa terhadap komunitas Tuli. Karena pemerintah tidak
mengakui bahasa yang sudah lama berkembang di komunitas Tuli dan memaksa
mereka untuk memakai sistem bahasa baru yang sama sekali tidak mereka mengerti.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?


Tidak perlu melakukan sesuatu yang besar untuk memberikan akses dan
inklusivitas terhadap teman-teman Tuli. Artinya, kita semua dapat menjadi teman
dengar yang ramah Tuli dengan melakukan hal-hal kecil. Orang-orang Tuli hanya butuh
kesetaraan dalam komunikasi sehari-hari. Oleh karena itu, kita dapat memahami
kebutuhan komunikasi mereka terlebih dahulu. Sebagai orang awam yang tidak
menguasai bahasa isyarat pasti akan bingung ketika bertemu dengan orang Tuli. Tapi,
jangan khawatir, karena bahasa isyarat bukan satu-satunya akses komunikasi dengan
Tuli. Kita dapat menulis di kertas atau mengetik di ponsel untuk berkomunikasi dengan
mereka.
Selain itu, akan lebih bagus lagi jika kita bisa mempelajari bahasa isyarat.
Walaupun hanya dasar-dasarnya saja, itu sudah cukup membantu ketika harus
berkomunikasi dengan Tuli dan Tuli pun akan merasa lebih nyaman ketika
berkomunikasi dengan bahasa isyarat.
Kita semua dapat menjadi agen perubahan untuk Indonesia yang lebih ramah
disabilitas. Hentikan diskriminasi dan mulai belajar untuk saling merangkul satu sama
lain.

Anda mungkin juga menyukai