Anda di halaman 1dari 1

BUDAYA TULI

Tuli bukan merupakan kata kasar jika menggunakan “T” besar. Tunarungu
merupakan kata kata yang dibuat oleh dunia kedokteran dengan tujuan memperhalus ,arti
tunarungu adalah gangguan pendengaran dengan harapan bisa dibenahi atau disembuhkan
dengan bantuan alat bantu dengar namun pada kenyataannya penggunaan alat bantu
dengar untuk teman tuli yang sudah dewasa tidak efektif. mereka lebih nyaman
menggunakan bahasa isyarat atau Bahasa ibu daripada dipaksa mengerti untuk berbicasa
secara verbal. Karena itu teman Tuli lebih nyaman dipanggil dengan Tuli daripada
tunarungu.
Penyebab ketulian ada genetic, bawaan lahir, usia lanjut, akibat terlalu sering
mendengar suara keras, kecelakaan, dan penyakit lainnya. Tingkat ketulian itu berbeda-
beda, ada ringan sedang, berat dan sangat berat dibagi menurut tingkat frekuensi/
desibelnya.
Alat bantu dengar kurang efektif jika digunakan untuk teman Tuli saat sudah dewasa,
namun pemasangan impllan koklea pada teman Tuli sejak dari lahir akan dapat
menghasilkan hasil yang maksimal dan anak tersebut mendengar secara normal namun
harga implant sangat mahal mencapai ratusan juta.
Sejarah Tuli dimulai dari organisasi nasional pertama disebut Sekatubi (Serikat Kaum
Tuli Bisu) yang sempat mendapat perhatian oleh presiden Soekarno. Organisasi kedua
disebut GERKATIN (Gerakan Kaum Tuli Indonesia) di Bandung.
Di Indonesia penerjemah hanya sedikit. Di pulau Jawa hanya 34 orang sehingga jumlah
teman tuli yang banyak tidak sebanding dengan jumlah penterjemah. Dulu banyak yang
daftar namun pada akhirnya sedikit yang tersertifikasi. mereka suka belajar Bahasa isyarat
namun sering kali mereka menjadi cuek setelah bisa.
Cara komunikasi Bahasa Tuli ada banyak dari Bahasa Ibu, Bisindo (menggunakan
gerak tubuh/ gesture dan expresi), Bahasa Gerakan mulut dan Tulisan. Cara penggunaan
Bahasa Isyarat dengan Bahasa Indonesia sangat berbeda penyusunan subjek, predikat
objeknya. Selain Bisindo ada juga Sibi namun pada praktisnya teman Tuli lebih banyak
menggunakan Bisindo dikarenakan lebih mudahdan alami untuk dipahami dengan
menggunakan ekspresi, gerak mulut, menggunakan dua tangan. Sibi merupakan Bahasa
isyarat terstruktur adopsi dari ASL. sehingga penyusunan kata akan lebih mirip ke Bahasa
Indonesia untuk stuktur SPOK nya. Tujuan sibi untuk pendidkan anak SLB namun sayangnya
lebih susah dipahami , menggunakan 1 tangan dan tanpa ekspresi ini membuat teman Tuli
sering salah paham.
Perbedaan budaya dengar dan budaya tuli berbeda. Budaya dengar menggunakan
verbal sedangkan budaya tuli menggunakan penglihatan. Budaya dengar ada tulisan, budaya
tuli tidak. Alarm teman tuli menggunakan getaran. Tepuk tangan tidak ditepuk. Bel
digantikan dengan lampu. Panggilan nama kami menggunakan Gerakan khusus untuk
panggilan isyarat. Di budaya Tuli menunjuk tidak apa-apa, bukan sebuah ketidak sopanan.
Saat makan kami masih bisa mengobrol, sedangkan orang biasa tidak. Teknologi orang biasa
menggunakan telpon sedangkan kami harus video call. Saat memanggil kami gunakan
menepuk pundak atau bel lampu, namun jangan sampai dipukul. Kalau jauh jangan lempar
barang tetap hampiri dan tepuk pundak.
Jadi mari kita buka pikiran kita: “A deaf person can do anything a hearing person can,
accept hear”- Dr. I. King Jordan, yang artinya bahwa seorang tuli dapat melakukan apa saja
sama seperti seorang dengar kecuali mendengar.

Anda mungkin juga menyukai