Perdagangan bekaitannya dengan perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Makin kompleks suatu
masyarakat maka makin kompleks pula tata cara perdagangannya. Pada rentang abad ke-7 hingga abad
ke-9, kerajaan besar di Nusantara yang ikut andil dalam Perdagangan Internasional yaitu Kerajaan
Sriwijaya. Pada saat itu Kerajaan Sriwijaya memegang peranan penting dalam perdagangan Asia.
Pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya sering dikunjungi pedagang-pedagang Tiongkok yang akan berlayar
ke Timur Tengah dan India dan sebaliknya. Sementara itu, Kerajaan Medang yang berpusat di pedalaman
Jawa juga sudah dikunjungi pedagang asing namun belum termasuk dalam jalur perdagangan utama.
Selanjutnya, pada abad ke-10 hingga abad ke-14 merupakan masa keemasan perdagangan kerajaan-
kerajaan bercorak Hindu-Budha di Pulau Jawa yang disebut sebagai periode Jawa kuno. Periode Jawa
kuno memiliki berbagai macam kerajaan sejak masa Kerajaan Medang pada abad ke-8 hingga masa
Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Pada rentang abad ke-10 hingga abad ke-13 adalah masa perkembangan perdagangan di Asia yang
dipelopori Dinasti Sung di Tiongkok dan Kerajaan Cola di India. Jalur perdagangan antar kedua kerajaan
tersebut melewati jalur sutra dan jalur sutra maritim.[4][5] Jalur sutra maritim melewati Asia Tenggara
sehingga kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara turut andil dalam perdagangan internasional. Begitu pula
dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Sejak masa inilah Jawa mulai memperhatikan perdagangan
internasional.
Kerajaan Medang (Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu) merupakan salah satu kerajaan
besar yang ada di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-7 di daerah Mataram (kini daerah tersebut
secara administratif berada di Jawa Tengah dan Yogyakarta) dan pusat pemerintahannya pindah ke timur
pulau Jawa (secara administratif daerah tersebut masuk wilayah Provinsi Jawa Timur) pada abad ke-10.
Selanjutnya pusat kerajaan-kerajaan pada masa Jawa kuno berada di Jawa Timur.
Hubungan dagang dengan wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa tentu membutuhkan sarana transportasi
yang memadai. Berita-berita Tiongkok menunjukkan bahwa sejak masa Kerajaan Medang, orang-orang
Jawa sudah berlayar ke pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok dengan kapal milik mereka sendiri. Relief kapal
di Candi Borobudur yang dibangun pada abad 9 menggambarkan kapal yang sedang berlayar di laut
dengan jumlah awak kapal yang cukup banyak. Bentuk kapal tersebut sangat berbeda dengan kapal tipe
Tiongkok.[9] Pada saat itu, Pulau Jawa yang merupakan daerah kekuasaan Medang juga didatangi orang-
orang dari Asia Selatan dan Asia Tenggara daratan untuk berdagang seperti mpa, Kli, Haryya, Si ha, Gola,
Cwalik, Malyal, Karn nake, R man dan Kmir.[10] Prasasti-prasasti yang menunjukkan adanya pedagang
asing di wilayah Kerajaan Medang yaitu Prasati Kuti, Prasasti Kaladi (909 M) dan Prasasti Pal Buhan (927
M) ditemukan di daerah yang kini disebut Jawa Timur. Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa Kerajaan
Medang Kuno telah mengadakan hubungan ekonomi dengan negara-negara lain.
Dalam hal perdagangan, Kerajaan Medang membagi daerahnya menjadi dua bagian yaitu pusat agraria di
pedalaman Jawa dan pusat perdagangan di daerah timur Pulau Jawa.
Ketika masih berpusat di pedalaman Jawa pada abad ke-7 hingga abad ke-10, Kerajaan Medang
merupakan kerajaan agraris yang mengutamakan pengamanan tata pemerintahan dalam negeri dan
pemberian kebebasan penuh pada penguasa daerah. [11] Sementara itu prasasti-prasasti yang dikeluarkan
pada masa ini menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi bergerak dari bawah didominasi oleh perdagangan
internal antar desa. Pemerintah Kerajaan Medang belum mengembangkan perdagangan ke luar pulau
secara masif. Penghasilan kerajaan lebih banyak digunakan dalam pendirian bangunan keagamaan yang
megah.
Pada abad ke-10 pusat pemerintahan Kerajaan Medang berpindah ke Jawa Timur. Setelah perpindahan
ini, pengaruh perkembangan perdagangan Asia semakin meningkat. Selama abad ke-7 sampai dengan
abad ke-12, daerah Jawa bagian timur khususnya daerah pantai utara menunjukkan peningkatan aktivitas
perdagangan. Pada periode ini sangat banyak prasasti yang isinya menunjukkan kegiatan perdagangan
internasional di sekitar Sungai Brantas, terutama di sekitar pantai.[12] Perpindahan itu terjadi pada saat
perdagangan di Asia berusaha bangkit dari depresi.[12] Oleh karena itu, Kerajaan Medang mulai
memperhatikan perdagangan sebagai aspek ekonomi.
Pada pertengahan abad ke-10, Asia ditandai dengan perkembangan perdagangan besar-besaran yang
dipelopori oleh Dinasti Sung (960-1279 M) dari daratan Tiongkok dan Kerajaan Cola di India selatan.
Perkembangan ini berpengaruh pada kerajaan-kerajaan besar di Asia Tenggara seperti Sriwijaya di
Sumatra, Kerajaan Medang, Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Kediri hingga Kerajaan Majapahit di Jawa.
Masing-masing mempunyai keunggulan. Sriwijaya mempunyai keuntungan dapat memegang kontrol
perdagangan transit internasional di Selat Malaka dan ekspor dari pedalaman Sumatra serta Semenanjung
Malaka. Sementara itu beberapa kerajaan di Pulau Jawa memegang kontrol perdagangan dengan Laut
Banda dalam perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan kayu cendana dari Timor.[13] Pada masa
selanjutnya dapat diperkirakan bahwa tujuan utama kedatangan pedagang asing tersebut adalah
mencari rempah-rempah.
Pada saat itu Jawa mulai mengimbangi kekuatan Sriwijaya dalam perdagangan di Asia meskipun letak
pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya lebih mudah dijangkau oleh pedagang dari Asia daratan. Hal ini
disebabkan karena Jawa mempunyai persediaan barang-barang yang lebih lengkap termasuk rempah-
rempah dari daerah-daerah timur.seperti Maluku dan Kepulauan Nusa Tenggara. Kitab Ling-wai Tai-
ta menyebutkan bahwa She-po mempunyai komoditas yang terlengkap setelah Ta-shih (Arab)
sedangkan San-fo-tsi (Sriwijaya) berada di peringkat ketiga setelah She-po (Jawa).[14]
Perdagangan Kerajaan Sriwijaya berkembang lebih dulu daripada kerajaan-kerajaan di Jawa khususnya
Kerajaan Medang. Hal ini disebabkan perbedaan struktur ekonomi di antara kedua wilayah tersebut.
Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim yang sangat memperhatikan aktivitas ekonomi di daerah
pantai. Kebijakan-kebijakan perdagangan dalam skala besar diatur dan ditentukan oleh kerajaan. Sriwijaya
yang terletak di Sumatra juga didukung dengan keberadaan sungai-sungai yang menjadi jalur
perdagangan kala itu. Sungai-sungai tersebut dapat dilayari kapal-kapal besar sampai ke pedalaman
Sumatra dan lebih besar daripada sungai-sungai di Jawa. [12] Selain itu, lokasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya
dekat dengan pantai dan berada di daerah aliran Sungai Musi. Hal ini tentu mempermudah akses dari
pusat ke daerah pelabuhan idan membuat kerajaan lebih mudah mengendalikan kegiatan perdagangan di
pelabuhan.
Data prasasti maupun berita Tiongkok memberi gambaran bahwa sebelum masa Majapahit telah terjadi
perdagangan antar desa (lokal), antar wilayah (regional) dan internasional. [15] Dalam hubungan tersebut,
jalur darat maupun jalur sungai merupakan sarana penting bagi terlaksananya hubungan antara daerah
pedalaman dengan daerah kota, antara kota dan daerah sekitarnya maupun kota satu dengan kota
lainnya. Hubungan antar wilayah (regional) dan internasional menggunakan jalur laut sebagai sarana
utamanya.[15]
Peta Persebaran Prasasti yang Berhubungan dengan Perdagangan Internasional. Seluruhnya berada di
wilayah Jawa Timur Para pedagang dari wilayah Nusantara pada umumnya tidak disebutkan asal
daerahnya. Kehadiran mereka di Jawa hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari sumber-
sumber prasasti. Prasasti Gondosuli II (927 M) yang berbahasa Melayu Kuno menyebutkan seorang tokoh
bernama da puhawa Glis. Menurut Zoetmulder, puhawa berarti nakhoda atau kapten kapal. Hal ini
menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-10 telah ada komunitas pedagang Melayu yang tinggal di
pedalaman Jawa Tengah.
Hubungan ini ditengarai berlanjut hingga ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur. Perdagangan
antara Jawa dengan pulau-pulau di sekitarnya digambarkan dalam Prasasti Kamalagyan 959 Ç. Di
dalamnya disebutkan bahwa setelah bendungan di Kamalagyan dibangun, orang-orang di sekitarnya dapat
berperahu ke hulu untuk mengambil barang dagangan di pelabuhan Hujung Galuh. Di pelabuhan ini
mereka dapat berdagang dengan para pedagang dari pulau lain ( para puh wa para ban ga sa ri dw ntara).
Prasasti ini tidak menyebutkan nama daerah asal para pedagang tersebut namun diperkirakan sebagian
dari para pedagang tersebut berasal dari pulau-pulau yang terdekat dengan Jawa, antara lain Pulau
Sumatra dan Pulau Bali. Pada saat itu, Pulau Jawa sudah sering didatangi pedagang-pedagang dari Pulau
Sumatra. Chau-ju-kua mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya berhubungan dengan daerah Jung-ya-
lu (Chung-kia-lu) yang ada di Jawa.[18] Namun letak daerah ini belum diketahui secara pasti.
Hubungan Jawa dengan Sriwijaya sudah terjadi sejak lama. Meskipun terjadi hubungan dagang yang
berlangsung sejak lama, sumber-sumber tertulis di Jawa lebih memperlihatkan persaingan antara
keduanya baik dalam bidang politik maupun perdagangan. [19] Konflik ini dimulai sejak berdirinya kerajaan
Sriwijaya dan berlanjut sampai beberapa abad selanjutnya. [12]
Hubungan politik tersebut tampak pada temuan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa
sebagai bukti intervensi Sumatra ke Jawa. Salah satunya Prasasti Gondosuli 749 Ç (827 M). Prasasti
Gondosuli menyebutkan seorang nakhkoda kapal ( da puh wa glis) yang memberi persembahan kepada
bangunan suci. Isi prasasti tersebut memberikan petunjuk adanya komunitas orang-orang Melayu di Jawa.
[11]
Jika saat itu pelayaran antara Jawa dan Sumatra sudah biasa dilakukan, hubungan dagang
kemungkinan juga sudah terjadi, apalagi mungkin di pelabuhan Sumatra terdapat beberapa barang yang
tidak diperoleh di Jawa.
Data-data tertulis tidak pernah menyebutkan hubungan dagang antara Jawa dengan Semenanjung
Malaka. Namun berdasarkan catatan orang Portugis dari tahun 1511 M, banyak orang Jawa yang tinggal
di Malaka, bahkan ada pedagang Jawa yang bisa memiliki ribuan budak. [20] Keadaan seperti ini tentu tidak
dapat berlangsung dengan cepat tetapi melalui hubungan yang berlangsung sejak lama. Ada kemungkinan
hubungan tersebut sudah berlangsung sebelum masa Majapahit.
Sementara itu, Jawa dan Bali mempunyai hubungan yang berlangsung sejak lama, bahkan pada masa
Raja Dharmawangsa Tguh, Bali berada di bawah pengaruh Jawa. Selain hubungan politik, Jawa dan Bali
juga terlibat dalam hubungan ekonomi yang erat. Hal ini dibuktikan dengan adanya kesamaan sebutan
mata uang dari sejumlah prasasti di Jawa dan Bali seperti mas, masaka, pirak dan sebagainya. Dari
penemuan uang kuno di Bali diantaranya ada yang sama dengan uang kuno di Jawa. [21]
Berita-berita Tiongkok dari Dinasti Sung sering mengatakan bahwa sebagian barang-barang yang diekspor
Jawa merupakan produk dari daerah-daerah jajahannya. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa juga berdagang
dengan pulau-pulau lain di Nusantara, antara lain perdagangan rempah-rempah dengan kepulauan Maluku
dan kayu cendana dengan Nusa Tenggara. [13] Namun belum ada bukti tertulis tentang bagaimana produk-
produk tersebut mencapai daerah Asia Tenggara. [12]
Dalam catatan Chau ju-kua disebutkan tentang pala yang dihasilkan di Pulau Huang-ma-chu dan Niu-lun,
jajahan Jawa. Pulau-pulau tersebut adalah Maluku. [22] Karena hanya mendengar informasi dari para
pedagang, Chau ju-kua tidak mengetahui secara pasti tantang hal itu. Kepulauan Maluku kemungkinan
tidak dijajah Jawa, tetapi kapal-kapal dari Jawa datang ke Maluku untuk mengambil rempah-rempah dan
ditukar dengan beras. Jadi hubungan yang terjadi adalah hubungan perdagangan.
Kerajaan Campa menempati daerah Vietnam tengah dan bagian utara wilayah Vietnam Selatan sekarang.
Wilayah ini dikuasai pada sekitar abad 9 sampai abad 10 sebelum terpecah menjadi kerajaan-kerajaan
kecil.[23] Data epigrafis dan arkeologis menunjukkan adanya hubungan politik antara Champa dengan Jawa
antara lain terjadinya penyerangan Jawa ke Champa pada tahun 787 M hingga 802 M. Selain itu, Jawa
juga mempunyai pengaruh dalam kesenian Campa pada masa itu. Pengaruh Jawa di antara lain terdapat
di Candi Khu’ong-my berupa hiasan gaya baru berupa daun-daunan rindang yang berbelit-belit. [24] Letak
Champa yang berada di jalur lintasan teknik perunggu yang terbentang dari Tiongkok Utara sampai ke
kepulauan Nusantara termasuk Jawa menunjukkan adanya jalur pelayaran maritim pada masa prasejarah
dan berkembang menjadi perdagangan pada masa selanjutnya seperti yang disebutkan dalam teks-teks
Arab.[25]
Selain Champa, di Jawa terdapat juga pedagang dari Khmer (Kamboja) dan R men (Pegu) yang berada di
wilayah Birma. Keberadaan orang Khmer dikisahkan dalam Prasasti Wurudu Kidul 922 M. Prasasti Wurudu
Kidul menyebutkan seorang warga desa Wurudu Kidul bernama Sang Dhanadi menolak untuk membayar
pajak orang asing karena dia bukan seorang Khmer seperti yang dituduhkan. [26] Isi prasasti tersebut
menunjukkan kenyataan bahwa orang Khmer telah menetap di daerah pedalaman Jawa pada periode
Kerajaan Medang ketika masih berpusat di Jawa Tengah.
Negara-negara di Asia Tenggara pada umumnya memiliki komoditas yang hampir sama, terutama hasil
bumi. Namun dilihat dari keberadaan para pedagang tersebut di Jawa bahkan dalam waktu yang lama,
tidak tertutup kemungkinan terjadi pertukaran barang-barang yang khas dari negeri masing-masing.
Hubungan dagang dengan negara-negara Asia Tenggara daratan ini tidak dapat dijelaskan lebih lanjut
karena selain prasasti dari masa Airlangga dan Mapañji Garasakan, tidak terdapat data tertulis lainnya.
Kepulauan nusantara membentang di sebelah timur India sebagai kelanjutan dari daratan Asia Tenggara.
Dengan teknologi pelayaran yang telah dikembangkan dalam pelayaran ke Asia Barat, tidak terlalu sulit
untuk mengembangkan pelayaran pantai sepanjang pesisir Asia Tenggara menjadi pelayaran samudra
yang langsung menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatra.
Nama-nama negara di Asia Tenggara sering disebut dalam kitab-kitab kuno di India. Beberapa diantaranya
yaitu Suvarnabh mi dan Yavadv pa yang mengacu pada nama Sumatra. [28] Sementara itu, prasasti-prasasti
di Jawa seperti Prasasti Kuti, Prasati Kaladi dan Prasasti Pal buhan menuliskan berbagai kerajaan di Asia
Selatan mulai dari abad ke-9. [29] Daerah-daerah tersebut tertulis lagi dalam prasasti-prasasti Airlangga
yaitu ling (Kalingga), rrya (orang-orang India Utara), singhala (Srilanka), pan ikira, rawida (Dravida di India
Selatan, malyala (Malayalam, daerah di India Selatan), dan karnnataka (karnnake). Dalam prasasti
Garaman yang dikeluarkan tahun 1053 M pada masa pemerintahan Mapañji Garasakan, daftar tersebut
bertambah dengan disebutnya daerah Cwalika atau Tamil.[30]
Terdapat dua tipe pedagang India di Asia Tenggara. Pertama, pedagang aristokrat yaitu pedagang besar
dan berstatus sosial tinggi. Jumlahnya sedikit dan membangun pemukiman di beberapa daerah di Asia
Tenggara. Kelompok ini diduga berperan mengembangkan kebudayaan Hindu Budha ke wilayah
perdagangannya di Asia Tenggara. Kedua, pedagang keliling yaitu pedagang yang lebih rendah statusnya
dan merupakan mayoritas dalam komunitas pedagang India di Asia Tenggara. Kelompok yang merupakan
tipe pedagang keliling dan tidak berpendidikan tinggi ini melakukan pelayaran dari Laut India menuju Asia
Tenggara dan membentuk pemukiman di sekitar pelabuhan yang dituju. [14]
Kelompok kedua inilah yang paling sering disebut dalam prasasti-prasasti masa Airlangga. Sebagian besar
wilayah asal dari orang-orang Asia Selatan tersebut adalah wilayah India Selatan, yaitu di sepanjang
pantai. Wilayahnya yang strategis untuk berdagang membuat orang-orang India Selatan lebih mudah
berlayar dari pelabuhan ke pelabuhan sebagai pedagang keliling daripada pedagang aristokrat yang
sangat mementingkan status.
1.12 Tiongkok
Ketika orang-orang Tiongkok mulai memperhatikan daerah selatan, negara pertama yang dikunjungi
adalah bagian utara Annam, menyusuri pantainya kemudian sampai di Kamboja dan diteruskan
sampai Teluk Siam. Setelah itu mereka sampai di pantai Semenanjung Malaya. Dari pantai Semenanjung
Malaya orang-orang Tiongkok mulai mengetahui jalan ke Sumatra dan Jawa. [6] Berdasarkan data
arkeologis, hubungan antara Tiongkok dengan Nusantara terjadi dalam waktu yang tidak lama setelah
hubungan Tiongkok dengan Asia Daratan yang lebih dulu diketahui. [32]
Pada awalnya raja-raja Tiongkok kurang berminat terhadap wilayah Asia Tenggara karena wilayah ini
dianggap wilayah yang kurang beradab yang terletak jauh dari pusat peradaban Tiongkok di utara. Namun
dengan tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Tiongkok Selatan yang melalui Nusantara,
peranan hasil Asia Tenggara, termasuk hasil dari Kepulauan Indonesia dalam hubungannya dengan
perdagangan Tiongkok ikut berkembang. [33]
Kegiatan perdagangan Jawa dengan Tiongkok secara jelas mulai digambarkan dalam berita dari Dinasti
Tang. Di Jawa, nama Tiongkok mulai tercantum dalam Prasasti Kancana 782 Ç.[8] Namun ketika
perdagangan Asia sedang ramai pada rentang waktu abad ke-10 sampai abad ke-12, tidak ada satupun
prasasti-prasasti di Jawa yang menyebut kerajaan di Tiongkok. Bahkan prasasti dari masa Airlangga yang
sering menyebut negara-negara lain di Asia tidak mencantumkan kerajaan di Tiongkok. [34] Sumber tertulis
yang menyebutkan Tiongkok hanya Serat Pararaton dan Kidung Harsawijaya yang isinya bukan tentang
perdagangan melainkan konflik dengan tentara Tiongkok.
Pada akhir abad ke-10, di samping India dan negara-negara Timur Tengah, Tiongkok merupakan negara
yang sangat berpengaruh dalam perdagangan lautan di Asia Tenggara . Bagi perdagangan Jawa,
Tiongkok sangat penting karena negara ini merupakan konsumen terbesar produk-produk dari Asia
Tenggara khususnya produk dari Jawa. [13] Kedudukan Tiongkok juga sangat penting bagi kelangsungan
perdagangan internasional pada masa itu. Oleh karena itu, Jawa sangat memperhatikan hubungan baik
dengan negara tersebut. Selain alasan ekonomi, Jawa juga mengharapkan perlindungan dari musuh-
musuhnya karena Tiongkok merupakan negara besar yang kuat. Hal ini diwujudkan dengan pengiriman
utusan dan persembahan yang sering dilakukan oleh-raja-raja Jawa kepada Tiongkok.
Kapal dagang Arab mulai memasuki perairan Asia Tenggara sejak awal abad ke-7 M dan berlanjut
beberapa abad kemudian. Para pedagang Arab sampai di daerah Asia Tenggara dalam usahanya untuk
mencari rempah-rempah dan obat-obatan. [14] Saat itu belum ada data yang membuktikan kedatangan
pedagang Arab di Jawa karena prasasti-prasasti di Jawa tidak pernah memuat nama negara-negara
ataupun berbagai dinasti di Timur Tengah. Namun perdagangan antara kedua negara ini diperkirakan
sudah terjadi pada masa Jawa Kuno. Para pedagang Arab kemungkinan berada di antara para pedagang
asing yang datang ke Jawa seperti yang disebutkan Chau-ju-kua.
Berita Tiongkok menunjukkan kedatangan pedagang negara-negara Ta-shi (Arab) ke Pulau Sumatra.
[22]
Berita dari Arab dari Al-Idrisi juga menyebutkan pulau Sumatra yang disebut dengan Javaga dan juga
pulau-pulau di sekitarnya, tetapi tidak ada yang menyebutkan Jawa secara langsung. Namun barang-
barang yang sampai ke Jawa dan minat pedagang Arab terhadap rempah-rempah menunjukkan bahwa
pedagang Arab juga terlibat perdagangan dengan pedagang Jawa. Mereka bertemu di beberapa
pelabuhan besar di Asia Tenggara. Salah satunya pelabuhan milik Sriwijaya.
Laporan Chau-ju-kua dan berita Arab tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat
komunitas pedagang Arab di pelabuhan Sriwijaya. [22] Oleh karena itu banyak pedagang Jawa yang pergi ke
Sumatra untuk berdagang dengan orang Arab. Menurut De Casparis, para pedagang dari Jawa Timur
pergi ke wilayah-wilayah di sebelah timur seperti maluku, Nusa Tenggara dan Sulawesi untuk menukarkan
beras dan produk lainnya dengan rempah-rempah dan kayu cendana. Barang-barang tersebut dibawa ke
Sriwijaya dan ditukarkan dengan keramik dari Tiongkok, kain dari India dan wangi-wangian dari negara-
negara Arab.
D rawida (India
5 Prasasti Cane, Prasasti Patakan
Selatan)
Berita Dinasti Tang, Berita Dinasti Sung, Kitab Chu-fan-Chi, Berita Dinasti
15 Tiongkok
Yuan
Buah-buahan
Garam
Pinang
Gula tebu
2 Obat Kapulaga
Kayu gaharu
Kayu sapan
Kayu laka
4 Rempah-rempah Lada
Cengkih*
kemukus
Pala*
Kunyit
Kain sutra*
Anyaman rotan*
Kulit Penyu
Gading
Cula Badak
Pedang impor*
Perhiasan emas
Perhiasan perak
5 Bejana emas
6 Bejana perak
8 Sinnabar
9 Tembaga merah
10 Tawas
11 Boraks
12 Warangan
14 Wangi-wangian Arab
15 Rempah-rempah Maluku
16 Timah Sumatra
17 Emas Sumatra
18 Kuda Tiongkok
Dalam masyarakat tradisional, pemimpin atau raja dengan para elit sering bertindak sebagai pedagang.
Hal ini terkait tugas diplomatik dan peperangan untuk memperoleh barang atau komoditas yang berasal
dari tempat yang jauh Perdagangan dapat dibedakan menjadi tiga macam:
Perdagangan dengan sistem resiprokal yaitu perdagangan yang dilakukan oleh dua belah
pihak yang dilandasi oleh hubungan yang bersifat resiprokal dan saling menghormati satu
sama lainnya. Hubungan ini biasanya dilakukan dengan suatu upacara, pengiriman duta atau
wakil, dan kegiatan politis di antara penguasa. Jenis komoditas yang dipertukarkan adalah
barang berharga yang biasanya hanya beredar di kalangan elit.
Perdagangan dengan cara redistribusi yaitu perdagangan yang dilakukan melalui proses
administrasi dan perjanjian antara pihak-pihak yang terlibat dan dilakukan secara formal oleh
kerajaan. Ekspor dan impor barang dilakukan oleh pihak kerajaan. Pemerintah pusat bertindak
sebagai manager untuk mengumpulkan hasil produksi dari seluruh wilayah kekuasaannya dan
selanjutnya mendistribusikan kembali untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat.
Perdagangan dengan sistem pasar yaitu perdagangan ini mempunyai ciri-ciri adanya
penawaran dan permintaan yang diatur oleh mekanisme penentuan harga atau standardisasi
alat transaksi (mata uang). Dalam perdagangan dengan sistem pasar akan diatur pula secara
khusus tentang barang, pergudangan, transportasi dan transaksi.
Selain itu masih terdapat sistem barter dan perdagangan bisu ( silent trade) yang merupakan peralihan dari
perdagangan resiprokal ke sistem pasar.Koin perunggu dari Dinasti Tang yang sering digunakan sebagai
alat tukar perdagangan pada masa Jawa kuno.
Berdasarkan data tertulis, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa menggunakan sistem perdagangan resiprokal
maupun perdagangan dengan sistem pasar. Perdagangan resiprokal dapat dilakukan dengan model
pertukaran pusat redistribusi dan biasanya dilakukan di pusat oleh para penguasa. [44] Hal ini diwujudkan
dengan pengiriman utusan, antara lain ke Tiongkok dan India. Sebaliknya, para pedagang asing juga
memberikan hadiah kepada raja di Jawa sebagai permohonan izin untuk berdagang di wilayahnya.
Perdagangan dengan sistem pasar diperkirakan berlangsung sejak abad ke-3 SM di Asia Tenggara. Hal ini
dibuktikan dengan dimanfaatkannya sistem transaksi dengan mata uang pada periode tersebut.
Perdagangan ini dapat dilakukan langsung maupun dengan perantara. [44] Perdagangan di Jawa juga sudah
menggunakan sistem transaksi dengan uang sejak kerajaan Mataram Kuno masih berpusat di Jawa
Tengah. Hal ini dibuktikan dengan temuan arkeologis dan penyebutan nama ukuran mata uang dalam
prasasti. Namun berita Tiongkok juga menyebutkan bahwa sistem barter dalam berdagang masih tetap
digunakan dalam transaksi dengan pedagang asing meskipun orang-orang Jawa sudah dapat membuat
mata uang dari potongan emas dan perak. Mata uang Tiongkok juga digunakan dalam transaksi. Hal ini
dibuktikan dalam Chu-fan-chi yang menyebutkan adanya pedagang yang menyelundupkan mata uang
perunggu dari Tiongkok.
BAB II
SETELAH MASUKNYA BANGSA BARAT
Rempah-rempah menjadi salah satu alasan terbesar bangsa Eropa datang ke Indonesia. Di abad
ke-15 Masehi, aktivitas perdagangan bangsa Eropa ke Asia terputus karena jalur perdagangan di Laut
Tengah dipersulit Turki Utsmani. Sehingga bangsa Eropa berusaha mencari dan menemukan secara
langsung wilayah penghasil rempah-rempah ke timur (Asia). Faktor lain yang mendukung terjadinya
penjelajahan samudra adalah serangkaian penemuan di bidang teknologi seperti kompas. Kompas menjadi
faktor penting bagi bangsa Eropa untuk pelayaran menuju Nusantara. Pada perkembangannya, bangsa
Eropa yang datang ke Indonesia tidak semata-mata hanya mencari keuntungan.
Ada tiga alasan bangsa Eropa datang ke Indonesia yang dikenal dengan 3G, yaitu:
I. Gold: memburu kekayaan dan keuntungan dengan mencari dan mengumpulkan emas perak dan
bahan tambang serta bahan-bahan lain yang sangat berharga.
II. Glory: memburu kejayaan, superioritas, dan kekuasaan. Dalam kaitan ini mereka saling bersaing
dan ingin berkuasa di dunia baru yang ditemukannya.
III. Gospel: menjalankan tugas suci untuk menyebarkan agama. Bangsa Barat memiliki keinginan
untuk menyebarluaskan atau mengajarkan agama Kristen ke bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan
Amerika Selatan.
Portugis dan Spanyol dapat dikatakan sebagai pelopor petualangan, pelayaran, dan membuka jalan untuk
menemukan Nusantara. Kemudian disusul Inggris dan Belanda.
2.1 Bangsa Portugis
Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang datang ke Asia dan melakukan hubungan perdagangan.
Bangsa Portugis mengarungi lautan untuk menemukan daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam
sebagai bahan perdagangan. Alasan Portugis melakukan perdagangan dengan daerah-daerah lain
tersebut sebagai berikut:
Portugis tidak memiliki kekayaan agraris, hasil pertanian harus beli ke negara lain.
Laut merupakan kekuatan utama, berupa perikanan sebagai bahan perdagangan.
Sejak abad ke-15 Portugis mulai mengembangkan teknologi maritim. Pelaut Portugis sudah
menggunakan kompas dan peta portolan dalam menjelajahi lautan.
Misalnya, orang Jawa membawa nasi dan makanan lain ke Maluku untuk ditukar dengan rempah-
rempah. Mereka pergi ke Malaka, mengisi beras, membawa rempah-rempah dari Maluku, dan sebaliknya
dari Malaka membawa barang-barang dari luar (pedagang Asia). Berkat kemudahan "zaman" dan letaknya
yang strategis antara Maluku dan Malaka, Jawa menjadi kekuatan yang tangguh dalam perdagangan dan
pelayaran di Nusantara. Apalagi setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, Jawa kemudian
memainkan peran penting dalam perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Apalagi keberadaan
pelabuhan atau pelabuhan dagang di Banten, akan berperan penting dalam perdagangan Jawa dan
Kepulauan.
2.6 Pusat Perdagangan serta Jalur Pelayaran
Sebelum kejatuhan Malaka Sebelum invasi Barat ke Indonesia, Indonesia menguasai
perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Perdagangan dan pelayaran pada waktu itu antar pulau yaitu
antara pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan pulau-pulau di sebelah timur khususnya Maluku.
Perdagangan dan perkapalan berkembang sebelum kedatangan bangsa Barat di Asia Tenggara dan
Indonesia telah membentuk pusat-pusat kekuasaan.
Selain Malaka sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan, juga dibentuk pusat-pusat kekuasaan
lain seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Banten, Ternate dan Tidore yang juga merupakan pusat-pusat
kekuasaan Islam di Nusantara. Di Indonesia bagian timur, pelabuhan penting adalah Ternate dan Tidore.
Kargonya cengkih, sedangkan kayu cendana berasal dari pulau-pulau sekitar, di Indonesia bagian barat,
pelabuhan-pelabuhan penting seperti Pasai/Aceh, Pedir, Jambi, Palembang, Barus, Banten dan Sunda
Kelapa. Pelabuhan-pelabuhan ini terutama mengekspor lada. Pelabuhan-pelabuhan di pesisir barat
Sumatera juga menghasilkan barang lain seperti kapur barus, kemenyan, sutera, madu, dan damar.
Pusat Perdagangan dan Jalur Laut Pasca Kejatuhan Malaka Setelah Malaka jatuh ke tangan
Portugis (1511), para pedagang Muslim memindahkan bisnisnya ke pelabuhan lain. Dengan cara ini,
mereka dapat melanjutkan bisnis mereka dengan aman. Dengan demikian, distribusi produk ekspor
(rempah-rempah) dari wilayah Indonesia ke wilayah Laut Merah masih dapat dikendalikan. Pusat-pusat
perdagangan dan kekuasaan yang ada sebelum kejatuhan Malaka berkembang pesat sesudahnya. Pusat-
pusat perdagangan dan kekuasaan yang berkembang pesat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada
tahun 1511 antara lain Aceh, Banten, Demak, Tuban, Gresik, Makasar, Ternate, dan Tidore. Pedagang
Muslim yang berkonflik dengan pedagang Portugis melarikan diri ke Aceh, Banten, dan Makassar. Mereka
terus berdagang dan mengirim dengan pedagang luar. Karena jalur melalui Selat Malaka dikuasai Portugis,
mereka membuka jalur perdagangan baru di sepanjang pantai barat Sumatera.
Para pedagang muslim tersebut meninggalkan kota Banten, kemudian memasuki Selat Sunda dan
melanjutkan pelayaran melintasi pantai barat Sumatera. Di sisi lain, Banten juga banyak dikunjungi
pedagang dari luar seperti Gujarat, Persia, China, Turki, Myanmar Selatan dan Keling. Banyak kapal dari
Banten atau menuju Banten juga berlabuh di Aceh. Sementara itu, banyak pula pedagang muslim di
Malaka yang mengalihkan bisnisnya ke Aceh setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis. Dengan demikian
Aceh juga menjadi pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam. Sedangkan di sebelah timur terdapat
dua pusat perdagangan dan kekuasaan Islam yang penting, Ternate dan Tidore.
Pada akhir abad ke-15 tata jaringan pelayaran dan perdagangannya dapat dilihat pada peta
berikut. Keterangan:
I.Malaka
II.Samudera Pasai
III.Banten
IV.Demak
V.Banjar
VI.Makassar
VII.Ternate & Tidore.
Sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, pusat-pusat perdagangan dan tata
jaringan perdagangan dan pelayaran Nusantara. Pusat-pusat perdagangan dan tata jaringan perdagangan
dan pelayaran Nusantara sesudah jatuhnya Malaka. Keterangan:
I.Samudera Pasai
II.Banten
III.Demak
IV:Banjar
V:Makassar
VI:Ternate & Tidore.
Pusat-pusat integrasi nusantara melewati penguasaan laut, yang kemudian ditentukan oleh
keahlian dan kepentingan mereka di laut, mengarah pada perkembangan baru, setidaknya dalam dua
aspek, yaitu pengembangan jalur perdagangan yang melewati lokasi-lokasi strategis di pesisir,
kemampuan menguasai (control) secara politik dan militer oleh penguasa tradisional (raja) dalam
penguasaan jalan-jalan utama dan pusat-pusat niaga Nusantara. Oleh karena itu, prasyarat untuk dapat
menguasai jalan dan pusat perdagangan ditentukan oleh dua hal penting, yaitu perhatian atau jarak
pandang dan kemampuan menguasai perairan.
Jalur perdagangan yang berkembang di Nusantara sangat ditentukan oleh kepentingan ekonomi
pada masa itu dan perkembangan jalur perdagangan pada waktu yang berbeda. Pada masa pra-aksara,
hegemoni budaya dominan datang dari pendukung budaya Austronesia daratan Asia Tenggara. Pada masa
Hindu-Buddha yang berkembang di Nusantara ini, terdapat dua kekuatan peradaban besar, Cina di utara
dan India di barat daya. Keduanya merupakan dua negara adidaya pada masanya dan memiliki pengaruh
besar terhadap masyarakat nusantara. Namun, pergeseran jalur perdagangan global ini membawa
manfaat unik bagi masyarakat dan suku bangsa Nusantara.
Mereka kemudian terintegrasi langsung ke dalam jalinan perdagangan dunia. Selat Malaka
menjadi penting sebagai pintu gerbang antara pedagang Cina dan India. Saat itu, Selat Malaka merupakan
jalur pelayaran dan perdagangan penting bagi para pedagang yang melewati kota-kota penting di sekitar
Laut Indonesia dan Teluk Persia. Selat tersebut merupakan jalur laut yang menghubungkan Arab dan India
di barat laut Nusantara, dan dengan Tiongkok di timur laut Nusantara. Garis yang menjadi pintu gerbang
navigasi ini disebut Ŷawwa ͞garis sutra͟.
PeŶaŵaaŶ iŶi diguŶakaŶ dari abad ke-1 hingga ke-16 M, dengan produk sutra yang dibawa dari
Tiongkok untuk diperdagangkan di wilayah lain. Banyak dari jalur pelayaran ini menyebabkan munculnya
kota-kota penting di sekitar jalur tersebut, antara lain Samudra Pasai, Malaka, dan Kota Cina (sekarang
Sumatera Utara). Kehidupan masyarakat Selat Malaka semakin sejahtera akibat proses integrasi
perdagangan dunia melalui jalur laut. Mereka secara sosial dan ekonomi terbuka untuk menjalin hubungan
perdagangan dengan pedagang asing yang melewati jalur ini.
Selain itu, masyarakat lokal juga semakin terbuka terhadap pengaruh budaya luar. Budaya India
dan Cina pada masa ini jelas berpengaruh besar bagi masyarakat Selat Malaka. Bahkan hingga saat ini,
pengaruh budaya terutama dari India masih dapat ditemui di kalangan masyarakat Selat Malaka. Selain
semakin meluasnya jalur perdagangan melalui Selat Malaka untuk perdagangan internasional, jaringan
perdagangan antar negara dan penduduk kepulauan Indonesia juga berkembang pesat pada masa Hindu-
Buddha . Jaringan perdagangan antar pulau dan jaringan budaya di Indonesia terutama dihubungkan oleh
jaringan Laut Jawa dengan Kepulauan Maluku.
Mereka juga secara tidak langsung terintegrasi ke dalam jaringan ekonomi global yang berpusat di
Selat Malaka dan sebagian pantai barat Sumatera seperti Barus. Produk penting yang menjadi komoditi
saat ini adalah rempah-rempah, seperti kayu manis, cengkih, dan pala. Perkembangan jaringan
perdagangan internasional dan antar pulau menciptakan kekuatan politik baru di Nusantara. Peta politik
Jawa dan Sumatera pada abad ke-7, diilustrasikan oleh D.G.E. Hall, dari catatan pengunjung Cina ke
Sumatera.
Disebutkan dua negara di Sumatera, Mo-lo-yeu (Melayu) di pantai timur, tepatnya di Jambi
sekarang di muara Sungai Batanghari. Sedikit di selatannya terdapat Che-li-fo-che, lafal Cina dari kata
Sanskerta Criwijaya. Di Jawa ada tiga kerajaan utama, yaitu di ujung barat Jawa ada Tarumanegara,
dengan rajanya Purnawarman, di Jawa tengah ada Ho-ling (Kalingga), dan di timur Jawa ada adalah
Singasari. dan Majapahit. Pada masa Hindu-Buddha, kekuatan Nusantara memiliki kekuatan integrasi
politik, yang sampai sekarang dikaitkan dengan kebesaran kerajaan-kerajaan Sriwijaya, Singhasari, dan
Majapahit.
Kekuatan integrasi politik di sini berarti kemampuan kerajaan-kerajaan tradisional tersebut untuk
menguasai wilayah Nusantara yang luas di bawah kontrol politik yang longgar dan menempatkan
wilayahnya ke dalam unit-unit politik di bawah pengawasan kerajaan-kerajaan tersebut. Dengan demikian,
koneksi antar pulau secara bertahap terbentuk. Kerajaan utama yang disebutkan di atas berkembang
dalam periode yang berbeda. Kekuasaan mereka dapat menguasai daerah-daerah tertentu di Nusantara
melalui berbagai bentuk komunikasi. Selain kekuatan komersial, kekuatan politik, juga kekuatan budaya,
termasuk bahasa.
Korelasi antara aspek kekuatan ini memungkinkan mereka untuk berhasil mengintegrasikan
Nusantara ke dalam lengan kekuasaan mereka. Kerajaan-kerajaan ini berkembang menjadi kerajaan-
kerajaan besar, mewakili pusat-pusat kekuasaan yang kuat dan menguasai kerajaan-kerajaan kecil di
Nusantara. Hubungan pusat dan daerah hanya dapat berlangsung dalam bentuk hubungan kepentingan
dan kewajiban yang saling menguntungkan. Keuntungan yang diperoleh dari pusat kekuasaan antara lain
pengakuan simbolik seperti kesetiaan dan upeti berupa barang-barang yang digunakan untuk kepentingan
kerajaan, serta barang-barang yang dapat diperdagangkan dalam jaringan jaringan perdagangan
internasional.
Di sisi lain, kerajaan-kerajaan kecil menerima perlindungan dan rasa aman, serta kebanggaan
dalam hubungan ini, jika pusat kekuasaan tidak lagi mampu mengendalikan dan melindungi daerah-daerah
yang bergantung, Pemberontakan sering terjadi dan sejak saat itu, kerajaan-kerajaan besar telah terancam
disintegrasi. Kerajaan-kerajaan yang lebih kecil kemudian memutuskan hubungan politik dengan kerajaan-
kerajaan kuno yang besar dan beralih ke kerajaan lain yang lebih mampu mengendalikan dan melindungi
kepentingan mereka. Sejarah Indonesia pada masa Hindu-Buddha ditandai dengan proses integrasi dan
disintegrasi tersebut. Namun secara umum, proses integrasi secara bertahap memantapkan dan
memantapkan Nusantara sebagai satu kesatuan negara kepulauan oleh kekuatan politik dan komersial.
Referensi :
dam-pak-perdagangan-SETELAH-MASUKNYA-BANGSA-BARAT-ke-pulau-jawa-Penelusuran-Google .
(n.d.).
Jayusman, I. (2019). Peranan Orang Cina Dalam Perdagangan Di Jawa Pada Zaman VOC Abad XVII.
BIHARI: JURNAL PENDIDIKAN SEJARAH DAN ILMU SEJARAH, 2(2).
Wikipedia. (2021). Perdagangan internasional zaman Jawa Kuno. In Wikipedia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional_zaman_Jawa_Kuno
Seprina, R. (2021). Study Perkembangan Perekonomian Jambi Masa Hindia-Belanda (1906-1942) Sebagai
Bahan Ajar Pembelajaran Sejarah Berbasis Lokal: Indonesia. Jurnal EduSosial, 1(1), 84–93.