Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Sejak Muhammad mensosialisasikan “tauhid” di komunitas sekitar Ka’bah Mekah, siang malam
ia diejek, dihalangi, dirancang untuk dibunuh, atau dilempari batu seperti ketika ia berimigrasi ke
Ethiopia.
Tak hanya teologinya yang ditolak dan dianggap anarkis. “Hak paten” Muhammad atas sumber
air Zamzam karena ia adalah cucu penemunya, yakni Mbah Abdul Muthalib: merupakan
ancaman terhadap dominasi konglomerat Abu Jahal atas perekonomian Mekah. Selama ini kita
terlalu berpikir polos, menyangka bahwa yang diberangus hanya “tauhid”, bahwa yang
dihancurkan adalah Islam –- padahal faktor air zamzam, juga tambang minyak, sebenarnya
mungkin lebih primer.
Melihat wataknya, soal Agama tak penting-penting amat bagi Abu Jahal. Tapi para anak
buahnya terperdaya; mereka pikir “Muhammad” dan “Islam” nya yang menjadi sasaran utama.
Sehingga fokus mereka adalah memukuli Muhammad, membuat karikatur untuk memperolok-
olokkannya, membikin film yang memperhinakannya, bikin macam-macam games di internet
untuk menyebarkan virus kebencian kepada Muhammad.
Beberapa tahun yang lalu di banyak forum Maiyah di berbagai daerah, saya pasang layar untuk
menunjukkan gambar-gambar dan video penghinaan itu. Dan saya bertanya kepada semua yang
hadir; “Kira-kira kalau Rasulullah melihat tayangan-tayangan penghinaan ini, akan naik pitam
atau tersenyum?”
100% hadirin di semua tempat menjawab: “Tersenyum”.
“Apa yang kira-kira diucapkan oleh beliau?”
Jamaah menjawab: “Berdoa, ya Allah ampunilah mereka, karena mereka tidak mengerti apa
yang mereka lakukan”.
“Lha kita”, tanya saya lebih lanjut, “akan ikut tersenyum dan berdoa seperti itu ataukah
mengamuk, demo, membikin tayangan penghinaan balasan, atau gimana?”
Mengamukpun bisa dipahami, tersenyum juga oke. Demo juga wajar, diam dalam kesabaran
juga tidak aneh. Yang mungkin perlu disepakati adalah jangan melakukan apapun yang memang
dikehendaki oleh mereka yang memasang ranjau melalui penghinaan itu. Jangan menjelma
minyak, karena yang mendatangimu adalah api.
Para penghina Nabi Muhammad itu berjasa besar kepada Ummat Islam, karena repot-repot
menciptakan momentum, konteks dan nuansa kekhusyukan agar kita semua lebih rajin
menyatakan cinta dan kesetiaan kita kepada Allah dan Muhammad.
Bentuk pernyataan cinta itu bisa batiniah saja, bisa dengan pekikan-pekikan dalam demo, bisa
counter-informasi, atau apapun. Yang penting tidak perlu “GR” seolah-olah Muhammad butuh
pembelaan kita karena beliau kita anggap lemah dan kita yang kuat. Jadi, pembelaan kita atas
Muhammad sasaran utamanya adalah integritas kita sendiri di hadapan beliau dan Allah. Apalagi
semarah-marah kita terhadap penghinaan itu, masih jauh lebih murka Allah, sebab cinta kita
kepada Muhammad tidak ada sebutir debu dibanding cinta Allah kepada kekasih-Nya itu.
Kaum Muslimin juga diam-diam berterima kasih kepada para penghina Muhammad karena
kekejaman mereka adalah peluang sangat indah untuk memaafkan mereka, sehingga derajat kita
meningkat di mata Allah. Penghinaan adalah rejeki kemuliaan bagi yang dihina. Ayo, hinalah
daku, kau kusayang.
Tahun 2008 bersama musik Kiai Kanjeng saya pentas di distrik dekat rumah Geerd Wilders,
Belanda, orang penting dalam kasus film penghinaan atas Islam yang membuat Theo van Gogh
dibunuh oleh pemuda Muslim keturunan Maroko. Sebelum atau sesudah pentas kami berniat
bertamu ke rumah beliau, tapi tak jadi karena beliau pergi tak jelas ke mana. Kami menyesal
karena gagal menyampaikan ucapan terimakasih atas penghinaannya, demi mengurangi dosa-
dosa kami.