Anda di halaman 1dari 30

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Rumah Sakit merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan yang pada dasarnya
merupakan suatu pengabdian kepada kepentingan masyarakat. Seiring dengan
perkembangannya, rumah sakit saat ini telah menjadi suatu unit sosio-ekonomi yang
makin hari makin kompleks permasalahannya. Kompleksitas permasalahan di rumah
sakit antara lain karena dualisme fungsi rumah sakit seperti tersebut diatas dan juga
karena banyaknya unsur profesi yang terlibat dalam operasional pelayanan rumah
sakit. Oleh karena itu perlu suatu pengelolaan yang cermat dan seksama agar para
profesional dapat menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya demi peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Berbagai profesi yang bekerja di rumah sakit didasari oleh kode etik profesi masing-
masing, yang dijadikan tatanan perilaku masing-masing profesi tersebut. Tatanan
perilaku ini hanya dapat dipahami oleh nurani masing-masing profesi sehingga
perilaku suatu profesi sering sulit dipahami oleh profesi lain.

Kode Etik Rumah Sakit adalah sekumpulan norma yang diharapkan dapat menjadi
tatanan perilaku bagi setiap anggota rumah sakit yang multi profesi tersebut.
Pengaturan perilaku yang dimaksud disini menekankan pada perilaku masing-masing
profesi dalam pengamalan profesinya agar dapat menghasilkan manfaat yang optimal
bagi semua pihak. Selain itu, kode etik rumah sakit diharapkan dapat menjadi jaminan
bagi semua profesi agar dapat melakukan profesinya dengan tenang dan aman.

Etika rumah sakit merupakan pegangan yang dapat menuntun kearah penyempurnaan
fungsi rumah sakit agar kode etik dapat ditegakkan. Usaha-usaha tersebut tentu saja
harus dilaksanakan oleh orang-orang yang mengerti benar tentang kode etik rumah
sakit serta kode etik dari berbagai profesi yang ada di rumah sakit.

1.2. TUJUAN
1.2.1. Tujuan Umum
Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit Orthopedi dan Traumatologi
disusun sebagai acuan bagi Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya.

1.2.2. Tujuan Khusus


1. Tersedianya tata organisasi Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit Orthopedi dan
Traumatolgi sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Tersedianya standar dan prosedur yang baku bagi Panitia Etik dan Hukum Rumah
Sakit dalam menyelesaikan pengaduan pelanggaran etika di Rumah Sakit
Orthopedi dan Traumatologi Surabaya.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 1


3. Tersedianya standar dan prosedur yang baku bagi Panitia Etik dan Hukum Rumah
Sakit dalam menyelesaikan konflik dilema etik di Rumah Sakit Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya
4. Tersedianya standar dan prosedur yang baku bagi Panitia Etik dan Hukum Rumah
Sakit dalam memberikan persetujuan etik penelitian di RS. Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya

1.3. RUANG LINGKUP


Ruang lingkup yang akan dibahas dalam pedoman kerja Panitia Etik dan Hukum
Rumah Sakit antara lain sebagai berikut:
1. Struktur Organisasi Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit
Dalam bab ini akan dibahas tentang struktur organisasi Rumah Sakit Orthopedi
dan Traumatologi Surabaya dan struktur organisasi Panitia Etik dan Hukum
Rumah Sakit, sekaligus uraian tugas, fungsi, dan wewenang panita serta tata
hubungan kerja panitia
2. Penanganan Masalah Etik Profesi
Dalam sub bab ini akan dibahas tentang prosedur dan alur kerja dalam menangani
pengaduan pelanggaran etik profesi yang melibatkan Profesional Pemberi Asuhan
(PPA) di RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya
3. Penanganan Masalah Etik Rumah Sakit Non Profesi
Dalam sub bab ini akan dibahas tentang prosedur dan alur kerja dalam menangani
pengaduan pelanggaran etik rumah sakit (non profesi) di RS Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya
4. Penanganan Dilema Etik
Dalam sub bab ini akan dibahas tentang prosedur dalam menangani konflik dilema
etik, baik itu dilema etik dalam asuhan pasien maupun dilema etik pelayanan non
klinis
5. Etik Penelitian
Dalam sub bab ini akan dibahas tentang batasan penelitian yang dapat dilakukan di
RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya, prosedur pengajuan ethical clearance,
dan dasar pertimbangan bagi panitia etik dalam memberikan persetujuan ethical
clearance
6. Tata Cara Menanggapi Pihak Ekternal
Dalam sub bab ini akan dibahas tentang tata cara bagi dokter ataupun petugas
rumah sakit dalam menghadapi wartawan dan menghadapi pengacara penuntut
hukum apabila ada kasus pelanggaran etik.
7. Monitoring dan Evaluasi
Dalam bab ini akan dibahas tentang monitoring dan evaluasi pelaksanaan tugas
Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit

1.4 LANDASAN HUKUM


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 2


3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
5. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah
Sakit;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2017 tentang
Akreditasi Rumah Sakit;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2018 tentang
Komite Etik dan Hukum Rumah Sakit;
8. Keputusan Direktur PT. Surabaya Orthopedi and Traumatology Hospital Nomor
001/SOTH/SK/DIR/VI/2019 tanggal 18 Juni 2019 tentang Perubahan Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Manajemen di Rumah Sakit Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya Tahun 2019;

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 3


BAB 2
STRUKTUR ORGANISASI

2.1. STRUKTUR ORGANISASI RUMAH SAKIT


2.1.1 Bagan Organisasi
Struktur Organisasi
Rumah Sakit Orthopedi & Traumatologi Surabaya

PT. SOTH

DIREKTUR

KOMITE & Satuan Pemeriksaan


KSM Bagian SIRS Bagian Pemasaran Bagian Tata Usaha
PANITIA Internal

WADIR PELAYANAN & WADIR UMUM &


KEPERAWATAN KEUANGAN

Bidang Pelayanan Bidang Pelayanan Bidang Bagian Bagian Kepegawaian Bagian Pembelian &
Bagian Umum
Penunjang Medik Keperawatan Keuangan & Diklat Pengadaan

Sub Bagian
Instalasi Instalasi Sub Bagian Sub Bagian Sub Bagian
Pembelian &
Laboratorium Rawat Jalan Keuangan Kerumahtanggaan Kepegawaian Pengadaan Medis

Instalasi Instalasi Sub Bagian Sub Bagian Sub Bagian Pembelian


Farmasi Rawat Inap Sub Bagian Diklat & Pengadaan Non
Akuntansi Pemeliharaan Medis

Instalasi Instalasi
Radiologi Gawat Darurat

Instalasi
Instalasi
Bedah Sentral &
Rehabilitasi Medik
CSSD
Instalasi
Instalasi Rekam
Anestesiologi &
Medik & Admisi
Terapi Intensif

Unit Gizi

Unit Pengelolaan
Pelanggan

Gambar 2.1 Bagan Organisasi RSOT Surabaya

2.1.2 Keterangan / Pengertian


1. Direktur
Adalah kepala atau pimpinan tertinggi di RS Orthopedi dan Traumatologi
Surabaya.

2. Wakil Direktur
Adalah pejabat struktural yang membantu Direktur dalam melaksanakan tugas
dan tanggungjawabnya sesuai dengan bidang masing – masing, yaitu :
a. Wakil Direktur Pelayanan dan Keperawatan
b. Wakil Direktur Umum dan Keuangan

3. Komite
Adalah unsur organisasi non struktural yang terdiri dari tenaga ahli dan profesi
yang dibentuk untuk memberikan pertimbangan strategis kepada direktur dalam
rangka peningkatan mutu dan pengembangan pelayanan rumah sakit sesuai

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 4


dengan perkembangan teknologi terbaru. Komite yang ada di RSOTS adalah
sebagai berikut :
a. Komite Medik
b. Komite Peningkatan Mutu & Keselamatan Pasien Rumah Sakit
c. Komite Pencegahan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit
d. Komite Keperawatan
e. Komite Kesehatan dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit

4. Panitia & Tim


Adalah unsur non struktural yang terdiri dari tenaga ahli dan profesi dibentuk
untuk bertanggungjawab terhadap bidang tertentu dalam rangka peningkatan,
pengembangan dan peningkatan mutu pelayanan rumah sakit. Panitia dan Tim
yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut:
a. Panitia Rekam Medik.
b. Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit.
c. Panitia Farmasi dan Terapi.
d. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit
e. Tim Terapi Gizi Klinik
f. Tim Tenaga Kesehatan Lain
g. Tim Promosi Kesehatan Rumah Sakit
h. Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba
i. Tim Penapisan Teknologi
j. Tim Geriatri

5. Kelompok Staf Medik (KSM)


Adalah kelompok staf medis / dokter yang bekerja fungsional di bidang medis.
Kelompok Staf Medis di RSOTS dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kelompok Staf Medis Bedah
b. Kelompok Staf Medis Non Bedah

6. Satuan Pemeriksa Internal (SPI)


Adalah unsur organisasi di rumah sakit yang bertugas melaksanakan pemeriksaan
melalui pemeriksaan audit kinerja internal rumah sakit yang dibentuk dan
ditetapkan serta bertanggung jawab kepada Direktur Rumah Sakit.

Satuan Pemeriksa Internal dipimpin oleh seorang kepala bertugas secara


Fungsional untuk melaksanakan dan melakukan pemeriksaan terhadap
pelaksanaan tugas semua satuan kerja, baik struktural, fungsional maupun non
struktural agar dapat berjalan sesuai peraturan perundangan/SOP/Proker yang
telah ditetapkan dan berlaku di internal rumah sakit.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 5


7. Unit Pendukung
Adalah bagian yang mendukung operasional Rumah Sakit agar dapat berjalan
dengan baik dan berfungsi dengan baik yang bertanggungjawab langsung kepada
Direktur. Unit Pendukung yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut :
a. Bagian Sistem Informasi Rumah Sakit
b. Bagian Pemasaran
c. Bagian Tata Usaha

8. Kepala Bidang
Kepala Bidang berada dibawah dan bertanggung jawab Wakil Direktur Pelayanan
& Keperawatan sesuai dengan fungsi dan strukturalnya masing masing. Kepala
Bidang yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut :
a. Kepala Bidang Pelayanan Medik
b. Kepala Bidang Pelayanan Penunjang
c. Kepala Bidang Keperawatan
Seluruh perawat di RSOT bertanggung jawab secara fungsional kepada Kepala
Bidang Keperawatan

9. Kepala Bagian
Kepala Bagian berada dibawah dan bertanggung jawab Wakil Direktur Umum &
Keuangan sesuai dengan fungsi dan strukturalnya masing masing. Kepala Bagian
yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut :
a. Kepala Bagian Keuangan
Adalah unsur rumah sakit yang melaksanakan tugas keuangan dan
menyelenggarakan fungsi administrasi keuangan di rumah sakit yang meliputi
perencanaan anggaran, perbendaharaan, mobilisasi dana dan akuntansi.

b. Kepala Bagian Umum


Adalah unsur rumah sakit yang melaksanakan tugas untuk mengelola
kerumahtanggaan dan pemeliharaan rumah sakit.

c. Kepala Bagian Kepegawaian & Diklat


Adalah unsur rumah sakit yang melaksanakan tugas untuk mengelola
administrasi kepegawaian, pengembangan sumber daya manusia, pendidikan
dan pelatihan.

d. Kepala Bagian Pembelian & Pengadaan

10. Instalasi
Adalah jabatan struktural yang terdiri dari berbagai profesi dan memiliki fungsi
tertentu sesuai dengan Instalasi masing-masing yang berada dan bertanggung
jawab kepala Kepala Bidang. Instalasi yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut:

a. Instalasi dan unit yang berada di bawah Bidang Pelayanan Penunjang adalah :

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 6


1) Instalasi Laboratorium
2) Instalasi Farmasi
3) Instalasi Radiologi
4) Instalasi Rehabilitasi Medik
5) Instalasi Rekam Medik dan Admisi
6) Unit Gizi
7) Unit Pengelolaan Pelanggan

b. Instalasi di bawah Bidang Pelayanan Medik adalah :


1) Instalasi Rawat Jalan
2) Instalasi Rawat Inap
3) Instalasi Gawat Darurat
4) Instalasi Bedah Sentral dan CSSD
5) Instalasi Anestesiologi Terapi Intensif

11. Sub Bagian


Adalah jabatan struktural yang memiliki fungsi tertentu sesuai dengan Sub Bagian
masing-masing yang berada dan bertanggung jawab kepala Kepala Bagian. Sub
Bagian yang ada di RSOTS adalah sebagai berikut :
a. Sub Bagian dibawah Bagian Keuangan adalah :
1) Sub Bagian Keuangan
2) Sub Bagian Akuntansi

b. Sub Bagian dibawah Bagian Umum adalah :


1) Sub Bagian Kerumahtanggaan
2) Sub Bagian Pemeliharaan

c. Sub Bagian dibawah Bagian Kepegawaian & Diklat adalah :


1) Sub Bagian Kepegawaian
2) Sub Bagian Diklat

d. Sub Bagian dibawah Bagian Pembelian & Pengadaan adalah :


1) Sub Bagian Pembelian & Pengadaan Medis
2) Sub Bagian Pembelian & Pengadaan Non Medis

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 7


2.2 STRUKTUR ORGANISASI PANITIA ETIK DAN HUKUM RUMAH SAKIT
2.2.1 Bagan Organisasi

DIREKTUR RS

Komite Medik
KETUA PANITIA (Sub Komite Etika Dan Disiplin Profesi)
Komite Keperawatan
(Sub Komite Etik Disiplin)
Sekretaris Tim Tenaga Kesehatan Lain

Anggota:
Tenaga Medis
Tenaga Keperawatan
Tenaga Kesehatan Lain
Mutu & Keselamatan Pasien
Pengelola Keuangan / Pengelola Pelayanan
Hukum
Pengelola SDM

Gambar 2.2 Bagan Organisasi Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya

2.2.2 Keterangan / Pengertian


Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit Orthopedi dan Traumatologi adalah suatu tim
non struktural yang dibentuk oleh Direktur sebagai tim penyelesaian sengketa, guna
memberikan pertimbangan untuk menangani masalah etik di Rumah Sakit. Panitia
bertanggung jawab kepada Direktur RS Orthopedi dan Traumatologi dan bersifat
otonom. Dalam melaksanakan tugasnya, panitia dapat berkoordinasi dengan organisasi
profesi antara lain Komite Medik (Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi), Komite
Keperawatan (Sub Komite Etik Disiplin) dan Tim Tenaga Kesehatan Lain.

1. Keanggotaan Panitia Etik


Keanggotaan Panitia Etik Rumah Sakit Orthopedi dan Traumatologi terdiri dari
Ketua, Sekretaris dan Anggota. Ketua dan sekretaris merangkap sebagai anggota.
Keanggotaan panitia etik terdiri dari unsur:
a. Tenaga Medis
b. Tenaga Keperawatan
c. Tenaga Kesehatan Lain
d. Unsur yang mengelola bidang mutu dan keselamatan pasien
e. Pengelola SDM
f. Pengelola Keuangan / Pengelola Pelayanan Hukum
Dalam penyelesaian kasus pelanggaran etik, Panitia dapat menambah anggota
sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 8


2. Syarat – Syarat Anggota Panitia Etik
Syarat-syarat anggota Panitia Etik Rumah Sakit, harus dipenuhi oleh seorang,
untuk dapat dipilih sebagai anggota Panitia Etik Rumah Sakit adalah:
a. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela
b. Sehat jasmani dan jiwa
c. Memiliki pengetahuan dan/atau pengalaman bekerja di bidang etik dan/atau
hukum
d. Mengikuti pelatihan etik dan hukum rumah sakit
e. Bersedia bekerja sebagai anggota Panitia Etik dan Hukum
f. Memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah etik, hukum, sosial
lingkungan dan kemanusiaan.
g. Peka dan responsif terhadap perkembangan masyarakat, lingkungan dan nilai-
nilai kemanusiaan dan kehidupan.
h. Mempunyai komitmen yang kuat terhadap kemajuan dan pengembangan
mutu layanan medik rumah sakit
i. Memiliki komitmen yang kuat dalam penerapan etik di seluruh aspek
kegiatan layanan rumah sakit

3. Masa Jabatan
Masa jabatan anggota Panitia Etik adalah 3 (tiga) tahun bila seseorang anggota
mengundurkan diri maka Direktur menunjuk seorang pengganti dari unsur yang
bersangkutan. Masa kerja/jabatan tersebut segera berlaku setelah adanya
pengesahan dari Direktur dengan mengeluarkan Surat Keputusan.

2.2.3 Tugas, Fungsi dan Kewenangan Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit
1. Panitia Etik dan Hukum bertugas meningkatkan dan menjaga kepatuhan
penerapan etika dan hukum di Rumah Sakit Orthopedi dan Traumatologi
Surabaya, dengan cara:
a. Menyusun Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct)
b. Menyusun Pedoman Etika Pelayanan
c. Membina penerapan Etika Pelayanan, Etika Penyelenggaraan dan Hukum
Perumahsakitan
d. Mengawasi pelaksanaan penerapan Etika Pelayanan dan Etika
Penyelenggaraan
e. Memberikan analisis dan pertimbangan etik dan hukum pada pembahasan
internal kasus pengaduan hukum
f. Mendukung bagian hukum dalam melakukan pilihan penyelesaian sengketa
(alternative dispute resolution) dan/atau advokasi hukum kasus pengaduan
hukum
g. Menyelesaikan kasus penyelenggaraan etika pelayanan yang tidak dapat
diselesaikan oleh komite etika profesi terkait atau kasus etika antar profesi di
Rumah Sakit

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 9


2. Panitia etik dan hukum rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya, memiliki
fungsi:
a. Pengelolaan data dan informasi terkait etika rumah sakit
b. Pengkajian etika dan hukum perumahsakitan, termasuk masalah
profesionalisme, interkolaborasi pendidikan, dan penelitian
c. Sosialisasi dan promosi Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman etika pelayanan
d. Pencegahan penyimpangan Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan
pedoman etika pelayanan
e. Monitoring dan evaluasi terhadap penerapan Panduan Etik dan Perilaku
(Code of Conduct) dan pedoman etika pelayanan
f. Pembimbingan dan konsultasi dalam penerapan Panduan Etik dan Perilaku
(Code of Conduct) dan pedoman etika pelayanan
g. Penelusuran dan penindaklanjutan kasus terkait Etika Pelayanan dan Etika
Penyelenggaraan sesuai dengan peraturan internal rumah sakit
h. Penindaklanjutan terhadap keputusan etik profesi yang tidak dapat
diselesaikan oleh komite profesi yang bersangkutan atau kasus etika antar
profesi
i. Memberikan persetujuan pelaksanaan penelitian di RS Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya ditinjau dari segi etiknya.

3. Panitia etik dan hukum rumah sakit dalam melaksanakan tugasnya, berwenang
untuk:
a. Menghadirkan pihak terkait untuk menyelesaikan masalah etik rumah sakit
b. Melakukan klarifikasi dengan pihak terkait sebagai penyusunan bahan
rekomendasi
c. Memberikan rekomendasi kepada Direktur mengenai sanksi terhadap pelaku
pelanggaraan Panduan Etik dan Perilaku (Code of Conduct) dan pedoman
etika pelayanan
d. Melakukan evaluasi tentang pelaksanaan etik rumah sakit.

2.2.4 Uraian Jabatan Keanggotaan Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit
a. Ketua
Mengkoordinir dan bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan panitia,
memimpin pertemuan/evaluasi, memberikan pengarahan dan saran dalam
menjalankan tugas, melakukan koordinasi dengan komite/panitia/tim/unit kerja,
dan membuat laporan kepada Direktur RSOT.
b. Sekretaris
Bertanggung jawab terhadap kelancaran tugas-tugas panitia dalam bidang
administrasi kesekretariatan, aktif dalam pelaksanan tugas-tugas panitia bersama
anggota dan menyiapkan acara dan membuat notulen rapat.
c. Anggota
Aktif dalam pelaksanaan tugas-tugas panitia, memberikan pendapat/saran
permasalahan etik rumah sakit, memberikan pendapat pemecahan masalah

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 10


pelanggarann etik, ikut melakukan penyuluhan, pemantauan kode etik dan
melaksanakan pekerjaan yang ditugaskan oleh ketua.

2.2.5 Tata Hubungan Kerja


Panitia etik dan hukum rumah sakit merupakan unsur organisasi yang bersifat
memberikan kajian, pertimbangan dan rekomendasi kepada Direktur. Dalam
melaksanakan tugasnya, panitia dapat berkoordinasi dengan komite dan unit lain. Tata
hubungan kerja sebagai berikut:
1. Direktur:
a. Memberikan kajian dan rekomendasi terkait etika dan hukum perumahsakitan
untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan Direktur dalam menyusun
kebijakan dan mengambil keputusan.
b. Menyampaikan laporan kegiatan

2. Komite Medik (Sub Komite Etika dan Disiplin Profesi):


a. Berkoordinasi terkait penyusunan panduan etika profesi kedokteran
b. Bekerjasama dalam memantau kepatuhan staf medis terhadap panduan etika
profesi kedokteran
c. Berkoordinasi terkait pelaporan dan penanganan pelanggaran etika profesi
kedokteran

3. Komite Keperawatan (Sub Komite Etik Disiplin):


a. Berkoordinasi terkait penyusunan panduan etika profesi keperawatan
b. Bekerjasama dalam memantau kepatuhan staf keperawatan terhadap panduan
etika profesi keperawatan
c. Berkoordinasi terkait pelaporan dan penanganan pelanggaran etika profesi
keperawatan

4. Tim Tenaga Kesehatan Lain:


a. Berkoordinasi terkait penyusunan panduan etika profesi tenaga kesehatan
lain, meliputi tenaga apoteker, tenaga teknis kefarmasian, radiografer,
fisioterapis, ahli teknologi laboratorium kesehatan, perekam medis,
sanitarian, tenaga gizi, dan tenaga elektromedik
b. Bekerjasama dalam memantau kepatuhan staf kesehatan terhadap panduan
etika profesinya masing-masing
c. Berkoordinasi terkait pelaporan dan penanganan pelanggaran etika profesi
kesehatan.

5. Bidang / Bagian / Unit Pelayanan / Unit Kerja:


Berkoordinasi dalam proses sosialisasi dan promosi panduan etik dan perilaku
(code of conduct) serta bekerjasama dalam kegiatan pembinaan, pencegahan
penyimpangan etika sampai dengan tindak lanjut kasus terkait etika pelayanan.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 11


BAB 3
TATA LAKSANA

3.1 PENERAPAN ETIKA RUMAH SAKIT SECARA UMUM


Pengelolaan Rumah Sakit yang efisien dan efektif harus berdasarkan atas 3 (tiga)
prinsip yaitu Good Corporate Governance (GCG), Good Clinical Standard (GCS),
dan Good Ethical Practice (GEP). Ketiganya disebut sebagai TRILOGI Tata Kelola
Rumah Sakit. Di Indonesia istilah yang dipakai adalah Hospital Bylaw, Medical Staff
Bylaw dan Kode Etik Rumah Sakit.

Penyebab timbulnya kasus komplain di Rumah Sakit dipengaruhi oleh banyak faktor.
Contohnya, karena pelayanan yang tidak memenuhi standar minimal; sistem
pelayanan dan komunikasi yang buruk; panitia medik dan keperawatan yang tidak
berfungsi dengan baik; serta standar profesi yang sudah tidak diperbarui. Selain itu,
pengamalan etika di rumah sakit yang tidak sempurna, sedangkan disisi lain
pengetahuan dan keberanian pasien meningkat seiring dengan banyaknya informasi di
media. Tidak ketinggalan, faktor banyaknya pengacara/media/organisasi yang
“proaktif” mendekati pasien yang tidak puas terhadap pelayanan Rumah Sakit.

Tenaga kesehatan merupakan tenaga yang sangat penting dalam organisasi rumah
sakit. Perilaku dokter, perawat dan tenaga penujang lainya mempunyai andil yang
besar terhadap budaya dan mutu suatu rumah sakit. Oleh karena itu, perilaku tenaga
tersebut perlu dijaga dengan berpedoman pada etika-etika yang baku, baik etika
perumahsakitan, etika kedokteran, etika keperawatan maupun etika lainnya.

Untuk menegakkan Good Ethical Practice (GEP) rumah sakit harus membentuk
Panitia Etik Rumah Sakit (PERS) yang juga merupakan syarat dari operasional rumah
sakit. Panitia Etik Rumah Sakit diharapkan berperan secara aktif menangani masalah
etika institusi Rumah Sakit yang cakupannya lebih luas daripada etika profesi, hukum,
atau disiplin profesi. Selain itu, PERS juga diharapkan membina praktek Good Ethical
Practice (GEP) dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.

Kode Etik Kedokteran mutlak diperlukan sebagai panduan bagi setiap dokter dalam
melaksanakan tugasnya sehingga setiap dokter dapat mengetahui apa yang patut dan
tidak patut dilakukan dalam melaksanakan tugas. Rumah sakit di pihak lain yang
merupakan tempat bekerja para dokter juga perlu memiliki rambu-rambu yang serupa
guna memberikan pedoman bagi semua tenaga kerja kesehatan yang bekerja di
dalamnya. Demikian pula dengan Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI)
merupakan landasan/pedoman bagi penyelenggaraan Rumah Sakit di seluruh
Indonesia termasuk RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya sehingga pemberian
pelayanan kesehatan bagi masyarakat khususnya bagi pasien dapat tercapai dengan
baik, bermutu dan profesional.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 12


3.2 FALSAFAH
1. Etika rumah sakit adalah tatanan perilaku masyarakat rumah sakit.
2. Perilaku dalam menjalankan tugas sehari-hari dengan bercermin pada etika rumah
sakit akan menambah keserasian interaksi antar unsur-unsur masyarakat di dalam
maupun di luar rumah sakit.
3. Etika rumah sakit adalah dinamis yang setiap saat akan berkembang mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial, ekonomi dan budaya, oleh
karena itu perlu dibina, dikembangkan oleh satuan tugas tersendiri yaitu Panitia
Etik Rumah Sakit.

3.3 PENANGANAN PELANGGARAN ETIKA PROFESI


3.3.1 Pengertian
Dalam pedoman ini, yang dimaksud dengan etika profesi adalah etika profesi tenaga
kesehatan yang terdiri dari tenaga medis, tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan
lain. Termasuk sebagai tenaga kesehatan lain adalah apoteker, tenaga teknis
kefarmasian (asisten apoteker), radiografer, fisioterapis, ahli teknologi laboratorium
medik (analis kesehatan), perekam medis, tenaga gizi, tenaga sanitarian / ahli
kesehatan lingkungan, dan tenaga elektromedis.

3.3.2 Pengaduan/Pelaporan Pelanggaran Etik Profesi


a. Pelapor
Pelapor dapat berasal dari pasien/pengunjung/masyarakat/instansi atau staf rumah
sakit yang mengalami ataupun yang menemui adanya dugaan pelanggaran etik
profesi.
b. Metode pengaduan/pelaporan
Pelapor dapat melaporkan dugaan pelanggaran etik profesi secara lisan maupun
tulisan
c. Cara Penyampaian
Pelapor dapat menyampaikan laporan pengaduannya secara langsung kepada staf
rumah sakit/kepala unit/kepala pelayanan/kepala instalasi atau tertulis melalui
surat kepada Direktur maupun secara tidak langsung melalui surat tertulis yang
dikirimkan ke kotak saran atau melalui jasa pengiriman kurir (POS).
d. Isi pengaduan/laporan
Isi pengaduan/laporan sekurang-kurangnya memuat informasi tentang identitas
pelapor, identitas terlapor, dan rincian perihal yang diadukan.

3.3.3 Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Etik Profesi


1. Pengaduan dari luar yang ditujukan tertulis kepada Direktur akan
didisposisikan/diteruskan kepada Panitia Etik RS Orthopedi dan Traumatologi
Surabaya.
2. Bila pelanggaran dilaporkan melalui petugas rumah sakit atau apabila ada petugas
yang mengetahui adanya pelanggaran, maka laporan diteruskan kepada Kepala
Unit/Kepala Pelayanan/Kepala Instalasi

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 13


3. Kepala Unit/Pelayanan/Instalasi melakukan konfirmasi dan kajian terhadap
laporan tersebut serta melakukan koordinasi tingkat internal unit/instalasi, untuk
memutuskan apakah ada dugaan pelanggaran etik profesi dan selanjutnya
membuat laporan dugaan pelanggaran etik profesi.
4. Apabila ada dugaan pelanggaran etik profesi maka dilanjutkan ke Komite Profesi
terkait, yaitu komite medik untuk tenaga medis, komite keperawatan untuk tenaga
keperawatan, dan tim tenaga kesehatan lain untuk tenaga kesehatan lainnya.
5. Apabila pelanggaran etik profesi tersebut melibatkan antar profesi PPA
(Profesional Pemberi Asuhan), maka laporan akan ditindaklanjuti oleh Panitia
Etik dan Hukum Rumah Sakit.
6. Komite profesi (Komite Medik/Komite Keperawatan/Tim Tenaga Kesehatan
Lain) melalui sub komite etik dan disiplin profesi akan menindaklanjuti laporan
dengan cara:
a. Konfirmasi dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pelapor, terlapor, dan
saksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan melalui mekanisme pemanggilan
secara tertutup dan rahasia, dengan ketentuan:
1) Pemanggilan dilakukan melalui undangan resmi tertulis dan dilaksanakan
secara tertutup dan rahasia
2) Apabila dalam 3 kali pemanggilan pelapor tidak dapat hadir tanpa alasan
yang jelas, maka kasus dianggap gagal.
3) Apabila dalam 3 kali pemanggilan pihak terlapor tidak dapat hadir
dengan alasan yang jelas, maka kasus tetap dilanjutkan tanpa keterangan
terlapor.
4) Dalam proses pemeriksaan/pemanggilan tersebut, pelapor/terlapor/saksi
tidak diambil sumpah, tetapi diminta untuk menandatangani surat
pernyataan bahwa seluruh pernyataan yang diberikan adalah benar
5) Seluruh proses pemeriksaan terhadap pelapor/terlapor/saksi wajib
didokumentasikan
b. Melengkapi bukti – bukti yang akurat (misal: telaah berkas rekam medis dan
mencari bukti dengan kunjungan ke lokasi kejadian) dan melengkapi
keterangan dari saksi ahli apabila diperlukan.
c. Melakukan rapat/sidang untuk memutuskan:
1) Apakah terlapor terbukti melakukan pelanggaran
2) Menentukan tingkat pelanggaran
3) Menentukan rekomendasi sanksi apabila terlapor terbukti melanggar dan
rekomendasi pengembalian nama baik apabila terlapor dinyatakan tidak
terbukti melanggar
Keputusan yang diambil dalam rapat/sidang bersifat musyawarah dan
mufakat dengan mempertimbangkan Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik
Profesi yang telah ditetapkan
d. Menyusun laporan sesuai hasil pemeriksaan dan hasil rapat/sidang.
7. Apabila komite profesi tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran etik
tersebut, maka akan dilimpahkan/ditindaklanjuti oleh Panitia Etik dan Hukum

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 14


Rumah Sakit dengan tata cara yang sama seperti yang disebutkan di poin nomor 6
(enam)
8. Hasil laporan selanjutnya disampaikan kepada Direktur untuk diambil keputusan,
antara lain:
a. Pengembalian Nama Baik, dengan diterbitkan surat keterangan yang
menyatakan terlapor tidak terbukti melanggar etik. Hal ini apabila terlapor
terbukti tidak melanggar etik.
b. Pemberian Sanksi, dengan diterbitkan Surat Keputusan Direktur tentang
pemberian sanksi sesuai tingkat pelanggaran.
c. Pemberian Sanksi dan Pelimpahan kepada Kuasa Hukum, apabila terlapor
terbukti melanggar etik profesi dan juga melanggar norma hukum yang
berlaku.
9. Masalah Banding :
a. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan yang diambil,
maka pelapor dan/atau terlapor dapat menyatakan banding satu tingkat
kepada Direktur
b. Pernyataan banding diajukan secara tertulis kepada Direktur dengan
tembusan kepada Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit.
c. Dalam menanggapi pernyataan banding tersebut, apabila dianggap perlu,
Direktur dapat menggelar sidang kembali dengan dipimpin langsung olehnya
d. Jawaban terhadap pernyataan banding disampaikan secara tertulis dari RSOT
kepada terlapor dan/atau terlapor, dengan tembusan kepada Ketua Panitia
Etik dan Hukum Rumah Sakit

Prosedur penanganan pelanggaran etik profesi secara singkat dapat digambarkan pada
alur sebagai berikut:

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 15


Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 16
Gambar 3.1 Alur Prosedur Penanganan Pelanggaran Etik Profesi
3.3.3 Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik Profesi
Etik lebih mengandalkan itikad baik dan moral para pelakunya sehingga untuk
mengukur hal tersebut tidaklah mudah. Karena itu timbul kesulitan dalam menilai
pelanggaran etik, jika pelanggaran itu bukan merupakan kasus-kasus pelanggaran
hukum. Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran etik profesi, Panitia Etik Rumah Sakit
dan Komite Profesi – Sub Komite Etik berpedoman pada :
1) Kebijakan dan Protap yang berlaku di RSOT
2) Panduan Etik dan Perilaku RSOT (Code Of Conduct)
3) LSDI (Lafal Sumpah Dokter Indonesia)
4) KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia)
5) Kode Etik Profesi masing-masing Tenaga Kesehatan
6) Hak dan kewajiban dokter
7) Hak dan kewajiban penderita
8) Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
9) Ciri dan hakekat pekerjaan profesi
10) Tradisi luhur kedokteran
11) Hukum kesehatan terkait

Selanjutnya, Panitia Etik RS dan Subkomite Etik dan Disiplin Profesi juga
menggunakan beberapa pertimbangan berikut, yaitu :
1. Tujuan spesifik yang ingin dicapai
2. Manfaat bagi kesembuhan penderita
3. Manfaat bagi kesejahteraan umum
4. Penerimaan penderita terhadap tindakan itu
5. Preseden tentang tindakan semacam itu
6. Standar pelayanan medik yang berlaku

Dasar dugaan Pelanggaran Etik Profesi:


1. Kompetensi klinis
2. Penatalaksanaan kasus medik
3. Pelanggaran etik dan disiplin profesi
4. Penggunaan obat dan alat kesehatan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
kedokteran di rumah sakit
5. Ketidakmampuan bekerjasama dengan staf rumah sakit yang dapat membahayakan
pasien

Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, maka
selanjutnya pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat, yang
ditentukan berdasarkan tingkat keparahan terhadap:
1. Dampak bagi kesehatan penderita
2. Dampak bagi citra / kelangsungan RSOT
3. Dampak bagi masyarakat umum
4. Dampak bagi kehormatan profesi

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 17


5. Peranan penderita yang mungkin ikut mendorong terjadinya pelanggaran
6. Alasan-alasan lain yang diajukan tersangka

3.3.4 Pedoman Pemberian Sanksi Terhadap Pelanggaran Etika Profesi


1. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya bersifat tuntunan, dengan
harapan teradu/terlapor tidak mengulangi jenis pelanggaran tersebut. Dalam hal
ini keputusan yang diusulkan oleh Panitia Etik RS dan Subkomite Etik dan
Disiplin Profesi dibuat secara tertulis dengan pernyataan :
2. Teradu melanggar atau tidak melanggar etika profesi / etik medik
3. Pelanggaran dikategorikan ringan, sedang, berat
4. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut diberikan berdasarkan kategori
pelanggarannya, sebagai berikut :
a. Pelanggaran Ringan :
1. Teguran lisan
2. Pernyataan tidak puas secara tertulis
3. Teguran tertulis
Jika seorang dokter sudah melakukan pelanggaran sebanyak 2 (dua) kali
dalam kategori ringan dan mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 (dua)
kali, maka apabila melakukan pelanggaran yang ketiga, yang bersangkutan
mendapatkan sanksi seperti dalam pelanggaran sedang yaitu teguran tertulis
yang disertai dengan pembinaan langsung dari Direktur
b. Pelanggaran Sedang
1) Teguran tertulis
2) Jika pelanggaran kategori sedang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, maka
teguran yang kedua disertai dengan pembinaan langsung dari Direktur
3) Pelanggaran Sedang dapat dikategorikan dalam Pelanggaran Berat jika
dilakukan lebih dari 2 (dua) kali
c. Pelanggaran Berat
1) Pembebasan dari jabatan
2) Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
karyawan / dokter RSOT
3) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai karyawan / dokter RSOT

Untuk tindakan pendisiplinan tenaga professional pemberi asuhan (PPA), dapat pula
dilakukan:
1. Peringatan tertulis
2. Limitasi (reduksi) kewenangan klinis (clinical privilege)
3. Bekerja dibawah supervisi dalam waktu tertentu oleh orang yang mempunyai
kewenangan untuk pelayanan medik tersebut
4. Pencabutan kewenangan klinis (clinical privilege) sementara atau selamanya

Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal (pelanggaran etik sekaligus pelanggaran


hukum), di samping pemberian hukuman sesuai peraturan tersebut di atas,

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 18


penyelesaian masalah dilakukan dengan pelimpahan kasus pada Kuasa Hukum yang
ditunjuk oleh Direktur RSOT.
3.4 PENANGANAN PELANGGARAN ETIKA NON PROFESI
3.4.1 Pengertian
Dalam pedoman ini, yang dimaksud dengan etika non profesi adalah pelanggaran
terhadap etika secara umum selain dari etika profesi tenaga kesehatan. Sebagai contoh,
etika yang berkenaan dengan administrasi umum, keuangan dan hal-hal lain diluar
etika profesi tenaga kesehatan.

3.4.2 Pengaduan/Pelaporan Pelanggaran Etik Non Profesi


a. Pelapor
Pelapor dapat berasal dari pasien/pengunjung/masyarakat/instansi atau staf rumah
sakit yang mengalami ataupun yang menemui adanya dugaan pelanggaran etik
profesi.
b. Metode pengaduan/pelaporan
Pelapor dapat melaporkan dugaan pelanggaran etik profesi secara lisan maupun
tulisan
c. Cara Penyampaian
Pelapor dapat menyampaikan laporan pengaduannya secara langsung kepada staf
rumah sakit/kepala unit/kepala pelayanan/kepala instalasi atau tertulis melalui
surat kepada Direktur maupun secara tidak langsung melalui surat tertulis yang
dikirimkan ke kotak saran atau melalui jasa pengiriman kurir (POS).
d. Isi pengaduan/laporan
Isi pengaduan/laporan sekurang-kurangnya memuat informasi tentang identitas
pelapor, identitas terlapor, dan rincian perihal yang diadukan.

3.4.3 Prosedur Penyelesaian Pelanggaran Etik Non Profesi


1. Pengaduan dari luar yang ditujukan tertulis kepada Direktur akan
didisposisikan/diteruskan kepada Panitia Etik RS Orthopedi dan Traumatologi
Surabaya.
2. Bila pelanggaran dilaporkan melalui petugas rumah sakit atau apabila ada petugas
yang mengetahui adanya pelanggaran, maka laporan diteruskan kepada Kepala
Unit/Kepala Pelayanan/Kepala Instalasi
3. Kepala Unit/Pelayanan/Instalasi melakukan konfirmasi dan kajian terhadap
laporan tersebut serta melakukan koordinasi tingkat internal unit/instalasi, untuk
memutuskan apakah ada dugaan pelanggaran etik dan selanjutnya membuat
laporan dugaan pelanggaran etik.
4. Apabila ada dugaan pelanggaran etik maka dilanjutkan ke Bagian Kepegawaian &
Diklat – Sub Bagian Kepegawaian.
5. Sub bagian kepegawaian akan menindaklanjuti laporan dengan cara:
a. Konfirmasi dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap pelapor, terlapor, dan
saksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan melalui mekanisme pemanggilan
secara tertutup dan rahasia. Dalam proses pemeriksaan/pemanggilan tersebut,
pelapor/terlapor/saksi tidak diambil sumpah, tetapi diminta untuk

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 19


menandatangani surat pernyataan bahwa seluruh pernyataan yang diberikan
adalah benar. Seluruh proses pemeriksaan terhadap pelapor/terlapor/saksi
wajib didokumentasikan
b. Melengkapi bukti – bukti yang akurat (misal: mencari bukti dengan
kunjungan ke lokasi kejadian) dan melengkapi keterangan dari saksi ahli
apabila diperlukan.
c. Melakukan rapat koordinasi untuk memutuskan:
1) Apakah terlapor terbukti melakukan pelanggaran
2) Menentukan tingkat pelanggaran
3) Menentukan rekomendasi sanksi apabila terlapor terbukti melanggar dan
rekomendasi pengembalian nama baik apabila terlapor dinyatakan tidak
terbukti melanggar
Keputusan yang diambil dalam rapat bersifat musyawarah dan mufakat
dengan mempertimbangkan Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik yang telah
ditetapkan
d. Menyusun laporan sesuai hasil pemeriksaan dan hasil rapat.
6. Apabila Sub Bagian Kepegawaian tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran
etik tersebut, maka akan dilimpahkan/ditindaklanjuti oleh Panitia Etik dan Hukum
Rumah Sakit dengan tata cara yang sama seperti yang disebutkan di poin nomor 5
(lima)
7. Menyusun Laporan Hasil yang minimal memuat informasi tentang:
a. Sumber kasus dan pengaduannya
b. Dasar pembuktian
c. Keterangan apakah teradu terbukti melanggar / tidak melanggar etika
d. Dampak akibat pelanggaran etik bagi korban (bila ada)
e. Keterangan tentang tingkat pelanggaran (ringan/sedang/berat)
f. Rekomendasi keputusan:
1) Apabila teradu terbukti melanggar maka ada rekomendasi sanksi yang
diberikan sesuai tingkat pelanggaran
2) Apabila teradu tidak terbukti melanggar maka ada rekomendasi kepada
Direktur untuk dilakukan rehabilitasi dengan dibuatkan surat yang
menerangkan bahwa teradu tidak bersalah.
8. Hasil laporan selanjutnya disampaikan kepada Direktur untuk diambil keputusan,
antara lain:
a. Pengembalian Nama Baik, dengan diterbitkan surat keterangan yang
menyatakan terlapor tidak terbukti melanggar etik. Hal ini apabila terlapor
terbukti tidak melanggar etik.
b. Pemberian Sanksi, dengan diterbitkan Surat Keputusan Direktur tentang
pemberian sanksi sesuai tingkat pelanggaran.
c. Pemberian Sanksi dan Pelimpahan kepada Kuasa Hukum, apabila terlapor
terbukti melanggar etik dan juga melanggar norma hukum yang berlaku.
9. Masalah Banding :

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 20


a. Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan yang diambil,
maka pelapor dan/atau terlapor dapat menyatakan banding satu tingkat
kepada Direktur
b. Pernyataan banding diajukan secara tertulis kepada Direktur dengan
tembusan kepada Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit.
c. Dalam menanggapi pernyataan banding tersebut, apabila dianggap perlu,
Direktur dapat menggelar sidang kembali dengan dipimpin langsung olehnya
d. Jawaban terhadap pernyataan banding disampaikan secara tertulis dari RSOT
kepada terlapor dan/atau terlapor, dengan tembusan kepada Ketua Panitia
Etik dan Hukum Rumah Sakit
Prosedur penanganan pelanggaran etik profesi secara singkat dapat digambarkan pada
alur sebagai berikut:

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 21


Gambar 3.2 Alur Prosedur Penanganan Pelanggaran Etik Non Profesi

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 22


3.4.4 Pedoman Penilaian Pelanggaran Etik Non Profesi
Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran etik non profesi, Bagian Kepegawaian dan
Panitia Etik RS berpedoman pada :
1. Kebijakan dan prosedur yang berlaku di RSOT
2. Panduan Etik dan Perilaku RSOT (Code Of Conduct)
3. Kode etik Rumah Sakit (KODERSI)
4. Peraturan Perusahaan RSOT
5. Prinsip-prinsip dasar moral umumnya
6. Ciri dan hakekat pekerjaan profesi
7. Hukum kesehatan terkait
Jika semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, maka
selanjutnya pelanggaran dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat, yang
berpedoman pada :
a. Akibat yang ditimbulkan terhadap keselamatan pasien
b. Akibat yang ditimbulkan terhadap kepentingan umum
c. Akibat yang ditimbulkan terhadap kehormatan profesi
d. Akibat yang ditimbulkan terhadap citra rumah sakit
e. Itikad baik teradu dalam turut menyelesaikan kasus
f. Situasi lingkungan yang mempengaruhi timbulnya kasus

3.4.5 Pedoman Pemberian Sanksi Terhadap Pelanggaran Etik Non Profesi


1. Pemberian sanksi terhadap pelanggaran etik umumnya bersifat tuntunan, dengan
harapan teradu tidak mengulangi jenis pelanggaran tersebut. Dalam hal ini
keputusan yang diusulkan oleh Panitia Etik Rumah Sakit dibuat secara tertulis
dengan pernyataan :
a. Teradu melanggar atau tidak melanggar etika
b. Pelanggaran dikategorikan ringan, sedang, berat
2. Sanksi terhadap pelanggaran tersebut diberikan berdasarkan kategori
pelanggarannya, sebagai berikut :
a. Pelanggaran Ringan:
1) Teguran lisan
2) Pernyataan tidak puas secara tertulis
3) Teguran tertulis
Jika seorang sudah melakukan pelanggaran sebanyak 2 (dua) kali dalam
kategori ringan dan mendapatkan teguran tertulis sebanyak 2 (dua) kali, maka
apabila melakukan pelanggaran yang ketiga, yang bersangkutan mendapatkan
sanksi seperti dalam pelanggaran sedang yaitu teguran tertulis yang disertai
dengan pembinaan langsung dari Direktur
b. Pelanggaran Sedang
1) Teguran tertulis
2) Jika pelanggaran kategori sedang dilakukan lebih dari 1 (satu) kali, maka
teguran yang kedua disertai dengan pembinaan langsung dari Direktur
3) Pelanggaran Sedang dapat dikategorikan dalam Pelanggaran Berat jika
dilakukan lebih dari 2 (dua) kali

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 23


c. Pelanggaran Berat
1) Pembebasan dari jabatan
2) Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
karyawan RSOT
3) Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai karyawan RSOT

3.5 DILEMA ETIK


3.5.1 Pengertian
Dilema adalah situasi sulit yang dihadapi seseorang yang harus menentukan pilihan
antara dua pilihan yang keduanya sama-sama tidak menguntungkan atau
menyenangkan.

3.5.2 Penanganan Dilema Etik Dalam Pelayanan Non Klinis Rumah Sakit
1. Mengumpulkan data dasar
a. Siapa yang terlibat
b. Apa yang diminta / diusulkan
c. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
d. Apa konsekuensi yang timbul akibat usulannya
2. Mengidentifikasi konflik yang terjadi
a. Untuk memutuskan apakah tindakan yang dilakukan pada orang yang
bersangkutan (tamu, keluarga pasien/pengunjung) membuat petugas
dihadapkan pada konflik menghormati otonomi yang bersangkutan
b. Apabila tindakan tidak dilakukan apakah petugas dihadapkan pada konflik
tidak melaksanakan tugas sesuai prosedur, tidak melaksanakan kode etik
profesi dan prinsip moral serta tidak melaksanakan perannya sebagai pemberi
pelayanan
3. Laporkan kepada Panitia Etik dan Hukum Rumah sakit
Mengangkat dilema etik kepada panitia etik rumah sakit agar dapat
dipertimbangkan apakah dilakukan suatu tindakan atau tidak
4. Dibuat keputusan
Keputusan dibuat melibatkan panitia etik, pasien dan keluarga

3.5.3 Penanganan Dilema Etik Asuhan Pasien


1) Mengumpulkan data dasar
a. Siapa yang terlibat
b. Apa yang diminta / diusulkan
c. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
d. Apa konsekuensi yang timbul akibat usulannya
2) Mengidentifikasi konflik yang terjadi
a. Untuk memutuskan apakah tindakan yang dilakukan pada pasien membuat
perawat/dokter dihadapkan pada konflik menghormati otonomi yang
bersangkutan
b. Apabila tindakan tidak dilakukan apakah perawat/dokter dihadapkan pada
konflik tidak melaksanakan sumpah profesi, tidak melaksanakan kode etik

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 24


profesi dan prinsip moral serta tidak melaksanakan perannya sebagai
pemberi asuhan keperawatan / pelayanan kedokteran
3) Laporkan kepada Panitia Etik dan Hukum Rumah sakit
Mengangkat dilema etik kepada panitia etik rumah sakit agar dapat
dipertimbangkan apakah dilakukan suatu tindakan atau tidak
4) Dibuat keputusan
Keputusan dibuat melibatkan panitia etik, pasien dan keluarga

3.6 ETIK PENELITIAN


Penelitian merupakan salah satu misi penting rumah sakit. Perkembangan ilmu
kedokteran sangat ditunjang oleh hasil-hasil penelitian yang baik. Namun penelitian
juga dapat membawa dampak negatif dalam bentuk penyimpangan etika maupun
hukum, oleh karena itu diperlukan adanya panitia etika rumah sakit (Panitia Etik dan
hukum) yang dapat bertanggung jawab terhadap pelaksanaan etika penelitian yang
baik di rumah sakit. Maka setiap penelitian kedokteran yang dilaksanakan di RS
Orthopedi dan Traumatologi Surabaya harus mendapat ijin dari Panitia Etik dan
Hukum RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya dalam bentuk “ethical clearance”.

3.6.1 Batasan penelitian di RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya


RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya termasuk dalam kategori rumah sakit non
pendidikan, sehingga ada batasan-batasan tertentu tentang kriteria penelitian yang
dapat dilakukan di RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya. Penelitian yang dapat
dilaksanakan di RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya apabila penelitian tersebut
bersifat mempelajari dokumen/mengolah data/wawancara responden (tanpa ada
perlakuan terhadap responden) dengan kewajiban bagi peneliti untuk menjaga
kerahasiaan data dan mengikuti aturan tata tertib penelitian yang berlaku. RS
Orthopedi dan Traumatologi tidak menerima penelitian klinis yang dilakukan dengan
metode eksperimen, yaitu memberikan intervensi/perlakukan/uji coba kepada obyek
penelitian (pasien)

3.6.2 Landasan Kerja


Landasan kerja dalam pemberian “ethical clearance” terhadap penelitian kedokteran
yang dilaksanakan di Rumah Sakit Orthopedi dan Traumatologi Surabaya berpedoman
kepada :
1) Nuremberg Code: yang mengharuskan adanya persetujuan subyek penelitian
dalam bentuk informed consent
2) Deklarasi Helsinki: yang merupakan panduan untuk melakukan penelitian klinis,
keharusan adanya pertimbangan etika (ethical clearance) sebelum pelaksanaan
suatu penelitian.
3) Kode Etik Kedokteran Indonesia.

3.6.3 Dasar-dasar pertimbangan dalam pemberian “ethical clearance”.


Dalam dasar-dasar pertimbangan pemberian “ethical clearance” yang perlu
diperhatikan adalah :

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 25


1) Kriteria Kepatutan
a) Penelitian hanya diperbolehkan bila sesuai dengan ketentuan batasan
penelitian. Hal ini perlu untuk melindungi hukum.
b) Penelitian tersebut dapat memberikan manfaat untuk kepentingan pelayanan
di RSOT.
c) Kepentingan obyek penelitian selalu dipertimbangkan di atas kepentingan
ilmu pengetahuan.
d) Bentuk dan cara pelaksanaan penelitian dilakukan oleh peneliti yang
berkualitas baik, harus dinilai oleh sebuah panitia independent dan diawasi
oleh dokter yang berkompenten dari RSOT
e) Integritas psikis dan fisik dari obyek penelitian harus dijaga dan dilindungi.
f) Rahasia obyek penelitian harus dijunjung tinggi.
g) Penderitaan rohani dan fisik dari obyek penelitian harus dibatasi secara
maksimal.
h) Harus dilakukan usaha-usaha pencegahan kerugian obyek penelitian
i) Setiap penelitian harus diakhiri jika ternyata ada kemungkinan kerugian pada
obyek penelitian dan/atau rumah sakit.

2) Kriteria persetujuan
a) Penelitian tidak boleh dilaksanakan jika tidak ada persetujuan dari obyek
penelitian. Obyek penelitian harus mendapat informasi selengkap mungkin
dan tidak boleh ada informasi tertentu yang dirahasiakan oleh peneliti.
Persetujuan setelah pemberian penjelasan ini disebut sebagai “informed
consent”
b) Penjelasan secukupnya dengan bahasa yang dipahami oleh obyek penelitian.
c) Orang yang memberi persetujuan tersebut harus mempunyai kapasitas legal,
mempunyai kemampuan mengambil keputusan dengan bebas tanpa tekanan
dari luar.
d) Persetujuan (informed consent) sewaktu-waktu dapat ditarik, dengan
penarikan tersebut, maka keikutsertaan obyek penelitian dalam penelitian
tersebut berakhir.
e) Jika terdapat pasien yang juga termasuk sebagai obyek penelitian dan pasien
yang bersangkutan tidak memberi persetujuan keikutsertaan atau menarik
persetujuannya dalam penelitian, maka hal tersebut tidak boleh berdampak
negatif terhadap hubungan dokter-pasien.

3.6.4 Tata Cara Pengajuan “Ethical Clearance”.


Tata cara pengajuan “ethical clearance” untuk penelitian kedokteran yang
dilaksanakan di RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya, yaitu :
1) Peneliti mengajukan surat permintaan “ethical clearance” kepada Panitia Etika
RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya dengan melampirkan :
a) Satu fotocopy proposal lengkap
b) Tiga fotocopy model resume aspek etika penelitian
c) Form permohonan ethical clearance yang telah terisi lengkap

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 26


2) Panitia Etik RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya akan membahas aspek
etika proposal tersebut, dalam hal ini dapat dilakukan oleh suatu panitia khusus
yang ditunjuk oleh Ketua Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit Orthopedi dan
Traumatologi Surabaya. Jika perlu dapat meminta penjelasan langsung dari tim
Peneliti, dapat juga dimintakan pertimbangan (second opinion) dari pakar di
bidang tersebut.
3) Panitia Etik RS Orthopedi dan Traumatologi Surabaya dapat memberikan
persetujuan secara langsung atau memberikan saran perbaikan dari segi etika, atau
dapat menolak penelitian tersebut.

3.7 KEPUTUSAN PANITIA ETIK RUMAH SAKIT


1. Keputusan diambil berdasarkan musyawarah dan mufakat dengan mengacu
kepada Buku Panduan Etik Rumah Sakit dan prinsip-prinsip etika yang berlaku.
2. Keputusan Panitia Etik besifat rahasia dan diteruskan kepada Direktur sebagai
rekomendasi untuk tindak lanjutnya

3.8 TATA CARA MENANGGAPI PIHAK EKTERNAL


3.8.1 Tata Cara Menghadapi Wartawan
Prosedur :
a. Dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran mengenai penderita.
b. Dokter pada umumnya tidak ada hubungan dengan wartawan.
c. Dokter jangan melayani seseorang yang mengaku sebagai wartawan lewat
pembicaraan telepon atau yang tidak menunjukkan Kartu Wartawan.
d. Dokter berhak meminta wartawan menunjukan Kartu Wartawan yang masih
berlaku.
e. Sebaiknya dokter segera membuat fotocopy kartu karyawan tersebut. Dalam
keragu-raguan mintalah konfirmasi kepada Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)
cabang dengan alamat :
Gedung PERS PWI Jawa Timur
Jl. Taman Apsari No 15-17, Embong Kaliasin, Kec. Genteng, Surabaya
Telp. 031-5344276, 5345410 ; Fax: 031-5473559
f. Dokter jangan melayani wartawan di tempat umum, sebaiknya di kamar kerja atau
kamar praktek.
g. Dokter sebaiknya merekam seluruh pembicaraan dengan wartawan dengan tape
recorder.
h. Dokter jangan membicarakan kasus tertentu dengan wartawan, kecuali jika ia
adalah suami/istri penderita yang bersangkutan atau ayah/ibu penderita yang
bersangkutan.
i. Dokter sebaiknya selalu memberi penyuluhan kesehatan kepada wartawan.
j. Dokter sebaiknya selalu melayani wartawan dengan memberikan jawaban tertulis
atau pertanyaan wartawan yang tertulis juga kalau pembicaraan itu tidak direkam.
k. Dokter jangan terpengaruh oleh gertak/ intimidasi maupun pemerasan/chantage
oleh wartawan.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 27


3.8.2 Tatacara Menghadapi Pengacara Penuntut Hukum
Prosedur :
a. Dokter wajib menyimpan rahasia kedokteran mengenai penderita.
b. Dokter pada umumnya tidak mempunyai hubungan dengan pengacara pihak lain.
c. Dokter jangan melayani seorang yang mengaku sebagai pengacara lewat
pembicaraan telepon, atau yang tidak mau menunjuk surat kuasa khusus dari
penderita yang dewasa dan kesadaran penuh. Dalam hal penderita masih di bawah
umur, maka surat kuasa khusus tersebut harus dibuat oleh ayah atau ibu penderita
anak itu.
d. Dokter berhak meminta pengacara menunjukkan kartu identitas pengacara yang
masih berlaku. Sebaiknya dokter segera membuat fotocopy kartu identitas
pengacara tersebut atau mencatat apa yang tertera pada kartu identitas pengacara
tersebut. Dalam keragu-raguan mintalah didampingi pengacara pribadi atau Ketua
IDI Cabang, Ketua MKEK, Ketua MP2A.
e. Dokter jangan melayani pengacara di tempat umum, sebaiknya di kamar kerja
atau kamar praktek.
f. Dokter sebaiknya merekam seluruh pembicaraan dengan pengacara pada tape
recorder.
g. Dokter jangan memberikan kasus tertentu dengan pengacara yang tidak diberi
kuasa khusus oleh penderita tertentu tersebut, kecuali kalau pengacara dapat
menunjukkan bahwa ia adalah suami/istri dari penderita yang bersangkutan atau
ayah/ibu dari penderita anak yang bersangkutan.
h. Dokter sekali-kali jangan memberikan rekam medik asli/fotocopy/salinan dari
penderita manapun kepada pengacara.
i. Dokter sebaiknya selalu memberikan penyuluhan kesehatan kepada pengacara.
j. Dokter sebaiknya hanya melayani pengacara dengan memberikan jawaban tertulis
atas pernyataan tertulis juga kalau pembicaraan itu tidak direkam.
k. Dokter jangan terpengaruh oleh gertak/intimidasi ataupun pemerasan/chantage
oleh pengacara.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 28


BAB 4
MONITORING DAN EVALUASI

4.1 MONITORING
Monitoring pelaksanaan kegiatan panitia etik rumah sakit dilakukan melalui rapat
rutin yang dilaksanakan setiap 3 bulan. Dalam rapat tersebut panitia akan membahas
tentang monitoring dan evaluasi terhadap penerapan panduan etik; program sosialisasi,
promosi dan pembinaan etika kepada seluruh SDM di RSOT; pengaduan dan
pelaporan pelanggaran etik dan perihal lain yang perlu dibahas dalam rapat.

4.2 EVALUASI
Kriteria Evaluasi
Aspek Muatan :
1. Tersedianya SOP-SOP yang diperlukan dalam menjalankan Panitia Etik Rumah
Sakit
2. Disusunnya program kerja dari Panitia Etik Rumah Sakit

Aspek Proses :
Terlaksananya kegiatan Panitia Etik Rumah Sakit sesuai dengan perencanaan, antara
lain:
1. Pemantauan sosialisasi mediko-legal kepada seluruh karyawan rumah sakit;
2. Penilaian upaya-upaya pencegahan timbulnya kondisi yang berpotensi menjadi
kasus mediko-legal.
3. Peningkatan kewaspadaan akan aspek mediko-legal dan pelaksanaan tugas
pekerjaan.

Aspek Keluaran:
1. Terselenggaranya pencegahan kondisi yang berpotensi kasus mediko-legal;
2. Tertanganinya kasus mediko-legal dengan baik.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 29


BAB 5
PENUTUP

Demikian telah disusun pedoman kerja Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit Orthopedi &
Traumatologi Surabaya. Diharapkan pedoman ini dapat dipakai sebagai panduan dalam
menjalankan tugas Panitia Etik dan Hukum Rumah Sakit dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan rumah sakit yang berdasarkan nilai etika dan profesionalitas.

Pedoman Kerja Panitia Etik dan Hukum RSOT Surabaya 30

Anda mungkin juga menyukai