Anda di halaman 1dari 15

Bab 1

“Kakak ih, aku mau ikut organisasi Mapala titik!”


“No, Lisa! Sekali kakak bilang tidak artinya tidak!” putus Kim Bum sambil mengitari
meja makan untuk mencium pipi adik bungsunya—Lea—yang sejak tadi menyaksikan
perdebatannya si anak tengah—Lisa.
“Kakak berangkat duluan ya, nanti di sekolah hati-hati, jangan keluyuran sebelum
paman Han menjemputmu ke sekolah,” nasihat Kim Bum pada Lea.
“Iya, Kak,” jawab Lea patuh, saat ini ia masih duduk di bangku kelas VII SMP.
Kim Bum mengelus puncak kepala adik bungsunya lalu beranjak begitu saja tanpa
memedulikan Lisa yang masih memberengut kesal, karena permintaannya tak kunjung
disetujui sang kakak.
“Kakak aku belum selesai bicara!” teriak Lisa namun Kim Bum tak menggubris sama
sekali, pria 33 tahun itu tetap berjalan menjauhi ruang makan.
Lisa mendengus kesal, ia duduk di kursi samping si bungsu kemudian melipat kedua
tangannya di atas perut.
“Kak Kim Bum makin hari makin nyebelin banget, sih!” gerutu Lisa.
“Sabar Kak Lis, Kakak kan tahu kak Kim Bum tidak suka kalau kakak keluyuran di
luar terlalu lama.”
“Aku enggak keluyuran Lea! Aku ikut organisasi mahasiswa pecinta alam, apa itu
salah? aku udah gede kali, udah 20 tahun! Tapi kak Kim Bum masih aja memperlakukan aku
kayak bocah SD. kalau kamu yang dikekang wajar, nah aku? Aku kira udah jadi mahasiswa
bakal bisa lepas dari segala aturan kolot kak Kim Bum. Eh, tahunya sama aja. Nyebelin!”
Lea hanya geleng-geleng kepala melihat kakak perempuannya yang sangat emosional.
Lisa memang seperti itu, mudah meledak dan hobi menggerutu kalau keinginannya tidak
terpenuhi. Wataknya juga agak keras, susah diatur, dan selalu menentang aturan yang
ditetapkan Kim Bum. Menurut Lisa, semua batasan yang diterapkan kakaknya terlalu
mencekik dan merenggut kebebasan Lisa dalam bergaul dan beraktivitas.
Saat teman-teman seusianya sudah tidak memiliki jam malam dan bebas melakukan
segala hal yang mereka suka, tapi Lisa tidak demikian. Setiap hari dia masih harus waswas
mendapat amukan Kim Bum jika jam malamnya dilanggar. Tepat pukul 21.00 Lisa harus
sudah berada di rumah. Kim Bum mengetahui jadwal kuliah Lisa sampai ke aktivitas di luar
itu pun Kim Bum mengetahuinya. Tak ada celah untuk Lisa mengelabui kakaknya, ke mana,
di mana, dan dengan siapa Lisa bergaul, sudah pasti terpantau sang kakak tercinta.
“Den Kim Bum itu sayang sama non Lisa, makanya dia begitu protektif. Den Kim Bum
tidak ingin non Lisa kenapa-kenapa di luar sana,” ujar bi Yura yang datang untuk
membereskan piring bekas sarapan Kim Bum.
“Itu bukan protektif Bi tapi udah masuk ranah posesif. Aku dikekang banget hidup
sama kak Kim Bum, tuh. Coba Bibi bayangin, kakak mana yang melarang adiknya
bersosialisasi dengan bebas? Cuma kak Kim Bum doang yang kayak gitu! Aku tuh masih
muda, masih ingin mengeksplorasi berbagai hal di luar sana. Ini masa emas yang seharusnya
bisa aku nikmati dengan indah, semuanya kacau gara-gara kak Kim Bum!”
“Bibi paham sama kekecewaan non Lisa, tapi tolong jangan berkata seperti itu. Den
Kim Bum pasti sakit hati kalau mendengarnya. Maaf Non, bukannya Bibi lancang menasihati
non Lisa, hanya saja Bibi juga sangat paham posisi den Kim Bum saat ini. Di usia muda dia
harus menjadi tulang punggung keluarga sekaligus menjadi wali non Lisa dan non Lea. Sejak
kepergian nyonya dan tuan, den Kim Bum memang terlihat mendedikasikan kehidupannya
untuk kalian. Dia ingin adik-adiknya tumbuh dengan baik tanpa kekurangan satu apa pun.
Bibi harap non Lisa mau mengerti.”
Bibi Yura bukan orang asing di keluarga itu, dia sudah menemani keluarga Kim Bum
puluhan tahun. Tepatnya, sejak Kim Bum masih dalam kandungan mendiang ibunya, bibi
Yura sudah mengabdi di keluarga itu. Bahkan ketika kedua majikannya sudah tak ada, bibi
Yura tetap setia menjaga putra-putri mereka hingga saat ini. bibi Yura juga merupakan
pengasuh Kim Bum dulu, jadi dia tahu betul seperti apa sifat, watak, dan kebiasaan tuan
mudanya itu. Termasuk berbagai perubahan yang dialami pria itu usai kematian kedua orang
tuanya.
Lisa tampak bergeming sesaat, dia menarik napas panjang, apa yang dikatakan bi Yura
memang benar. Dulu ... sebelum kedua orang tuanya mengalami kecelakaan, Kim Bum hidup
dengan normal. Dalam artian, dia memerankan sosok kakak yang baik, bijaksana, dan tidak
terlalu keras pada adik-adiknya. Jauh berbeda dengan dia yang sekarang. Kalau saja orang
tuanya masih ada, mungkin mereka bisa hidup normal dan bahagia seperti dulu. Kim Bum
tidak perlu terlalu terbebani dengan masa depan kedua adiknya dan Lisa juga tidak akan
mendapat kekangan yang sebegitu ketatnya.
“Huh ... terus aku harus apa Bi untuk meyakinkan kak Kim Bum kalau sekarang aku
bisa menjaga diriku sendiri? Aku tidak ingin dia terlalu fokus padaku atau Lea sampai
melupakan kebahagiaannya sendiri. Aku juga ingin dia menikmati hidupnya tanpa perlu
terusik akan masa depan kami.”
“Emang kak Lisa bisa jaga diri sendiri?” celetuk Lea tidak yakin.
Lisa menatap nyalang adik bungsunya itu, namun Lea malah menatap Lisa balik
dengan ekspresi tanpa dosanya.
“Jangan ikut-ikutan kak Kim Bum deh Lea!”
“Aku Cuma nanya, Kak. Selama ini kan kakak manja.”
“Eh, sembarangan! Aku enggak manja, ya!”
Bi Yura hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum tipis melihat kedua nonanya
beradu mulut. Pemandangan ini memang sering terjadi di kediaman itu, situasi yang kerap
membuat seisi rumah terkekeh geli dan terkadang geleng-geleng frustrasi.
“Kamu daripada ngeledekin aku terus mending bantuin aku mikir. Cari cara supaya kak
Kim Bum enggak ngekang aku lagi!” kesal Lisa.
“Huh, cariin aja kak Kim Bum calon istri, suruh dia nikah, nanti kan fokusnya bakal
terbagi tuh ke istri dan anaknya,”
Lisa menjentikkan jari seraya berseru, “Itu dia! Ah ... kenapa aku enggak kepikiran dari
dulu, ya?” Lisa tampak begitu antusias.
“Makanya punya otak itu dipakai, Kak,” sindir Lea lagi, Lisa kesal sebenarnya namun
karena si bungsu sudah berkontribusi memberi ide cemerlang jadi dia melupakan
kekesalannya dan berakhir memeluk pun mencium pipi Lea hingga basah.
“Iyuhh, jijik tahu!” kesal Lea.
Lisa tidak peduli, dia bergegas pergi dari ruang tamu menuju kamarnya. Berbagai
rencana sudah tertanam di kepalanya, tinggal dieksekusi dan akan Lisa pastikan semua
berjalan lancar sesuai dengan keinginannya.
***
“Ina, sepertinya kita harus mengatur ulang rencana liburan Sabtu depan,” kata So Eun
pada temannya yang sedang asyik main HP di atas ranjang.
“Kenapa gitu?”
“Sabtu depan aku ada pelatihan ICT untuk para dosen di fakultasku. Setiap dosen wajib
hadir dan aku tidak mungkin absen.”
“Yah, aku sudah pesan tiket hotel loh, Sso. Masa batal?” terdengar nada kecewa Ina.
“Mau bagaimana lagi, acaranya dadakan. Ini nih yang paling aku benci sama sistem
kampus, kalau ada apa-apa selalu dadakan. Pakai aja tiketnya buat kamu sama Jihoon, next
holiday biar aku yang beli.”
“Hm ... dasar orang sibuk, susah banget luangin waktu buat senang-senang. Mau
sampai kapan sih Sso pacaran sama kerjaan mulu? Enggak jenuh emang?”
Malam ini Ina memang menginap di rumah So Eun, katanya mereka ingin benar-benar
menghabiskan waktu bersama sebelum Ina dipersunting lelaki impiannya. Setelah menikah,
mungkin mereka tidak akan memiliki waktu kebersamaan yang intens seperti sekarang.
“Entahlah, sampai aku ketemu jodoh mungkin,” jawab So Eun sekenanya, fokus gadis
itu masih tertuju pada layar laptop.
Entah apa yang sedang dikerjakan perempuan 30 tahun itu, Ina tidak mau tahu karena
sudah pasti kerjaan So Eun sangat memusingkan. Sekilas saja, ketika Ina melihat diagram
dan angka di lembar kerja So Eun, gadis itu langsung bergidik. Teringat tugas kuliah dan
skripsi yang menjadi beban hidupnya beberapa tahun lalu.
“Nah, itu! jodoh!” respons Ina penuh semangat, dia yang awalnya rebahan di ranjang
langsung duduk bersila menghadap So Eun yang masih memunggunginya.
“Pokoknya aku mau di pernikahan aku nanti kamu udah bawa calon ya, Sso. Minimal
bawa gandenganlah.”
“Pernikahan kamu 2 pekan lagi, Ina, mana mungkin aku dapat jodoh secepat itu.”
“Eh, tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi kalau kamu mau nurutin saran aku buat
ikut lagi kencan bu—“
“Big no! Enggak ada ya rencana kencan buta lagi, cowok yang kamu kenalin ke aku
aneh-aneh. Bikin risi.”
“Ayolah Sso ... sekali ini aja, mau ya? Aku janji deh nanti cowoknya bakal sesuai
kriteria kamu dan minimal enggak bikin kamu risi.”
“Aku enggak mau, Ina, udah cukup tiga kali aku ikutin rencana gila kamu. Lagian
emang kenapa sih kalau aku datang ke nikahan kamu sendiri? Kamu malu punya sahabat
jomlo?”
“Ih, ngawur! Ya, enggaklah. Aku enggak malu, aku Cuma pengen lihat kamu pede aja
pas datang ke nikahan aku. Nanti pasti bakal banyak temen SMA kita yang nanya hal-hal
sensitif ke kamu. Aku enggak mau kamu enggak nyaman di acara nikahan aku terus pulang
duluan. Aku pengen kamu ada di acara nikahanku dari awal sampai akhir pokoknya.”
So Eun terkekeh, “Cuma itu yang kamu khawatirkan? Tenang aja, aku enggak bakal
insecure atau apa.”
“Eh, bukan hanya itu saja, Sso. Kamu sih bisa oke-oke aja kalau ada yang ngomongin
kamu tapi aku enggak bisa tinggal diam. Memangnya kamu pengen liat aku koprol sambil
pakai gaun pengantin, hah?”
“Ha ha ha, konyol! Ngapain juga kamu koprol segala?” kali ini So Eun meninggalkan
sejenak kerjaannya dan berbalik menatap sahabatnya.
“Ya, buat belain kamu, lah! Kamu pikir aku enggak panas lahir batin melihat kamu
diejek sebagai perawan tua. Kesel hamba!”
“Biar aja orang mau bilang apa, Na. Aku yang menjalani hidup dan aku yang paling
tahu tentang baik buruknya sesuatu untuk hidupku. Aku enggak mau terburu-buru dan salah
pilih kemudian menyesal. Aku hidup bukan untuk mewujudkan ekspektasi orang-orang
tentangku. Selama aku tidak merugikan mereka, biar saja mereka mau bilang apa.”
“Capek ah ngomong sama kamu. Nih, ya, kamu tuh kan cantik, dosen muda, pintar dan
multi talenta, masa di kampusmu enggak ada gitu satu cowok yang nyantol?”
“Memang faktanya enggak ada, gimana dong?”
“Aku yakin banyak yang suka sama kamu tapi kamunya menutup diri, hayo ngaku?!”
“Enggak, Na, kamu kan tahu aku juga udah pengen berumah tangga. Cuma ya emang
belum ketemu yang ngepas di hati aja.”
“Coba buka hatinya dong, Sso, sedikit aja kasih celah buat mereka yang deketin kamu.”
“Perasaan itu enggak bisa dipaksakan, Na. Aku enggak mau ngasih harapan kosong
sama seseorang yang berharap lebih sama aku. Nyakitin orang itu bukan keahlianku.”
“Ck, terserah kamulah, pokoknya nanti kalau udah ada yang bisa bikin hati kamu
berdesir dan getar-getar manja langsung kasih tahu aku!”
So Eun tersenyum sambil mengangguk sedangkan Ina kembali sibuk dengan ponselnya
sambil mengetik sesuatu yang membuatnya senyum-senyum sendiri.
“Kamu lagi ngapain sih? Dari tadi kuperhatikan senyum-senyum sendiri terus,
chatingan sama Jihoon, ya?” So Eun agak penasaran pasalnya Ina sudah persis seperti ABG
kasmaran.
Bukan sekali dua kali So Eun menyaksikan Ina bucin, tapi kali ini bucinnya benar-
benar di luar kebiasaan perempuan itu.
“Enggak kok, aku enggak lagi chating sama Jihoon, kan malam ini dia lagi ada
penerbangan ke Jepang.”
“Lah, terus siapa yang bikin kamu kayak orang sinting gini? Jangan macam-macam ya,
Na! Kamu udah mau nikah, loh!” So Eun memperingatkan, khawatir Ina tergoda jampi-jampi
pria lain. Biasanya mendekati hari pernikahan, berbagai macam ujian selalu datang. Salah
satunya adalah ujian perasaan dari pria asing atau bahkan mantan.
“Dih, apaan sih, aku enggak macam-macam kok. Aku pengen senyum aja abisnya calon
jodoh kamu lucu.”
“Hah, jodohku?”
“Hooh jodohmu.”
Awalnya So Eun seperti orang bingung namun beberapa detik kemudian, setelah dia
menyadari sesuatu gadis itu langsung melotot dan kontan merebut ponsel Ina.
“Eh, eh, balikin Sso! Lagi seru juga.”
“Inaaaa!” teriak So Eun kesal, rupanya sejak tadi Ina sedang chating dengan seseorang
yang match dengan So Eun di aplikasi kencan.
Tentu tidak usah ditanyakan siapa yang membuat akun sampai memilah calon di
aplikasi itu, sudah jelas dari langkah pembuatan akun hingga fase chatting semuanya
dilakukan Ina atas nama So Eun.
***
“Cantik ih, dia beneran perempuan atau bukan ya, Kak?” tanya Lea yang sedang
mendampingi Lisa bertukar pesan dengan calon kakak iparnya.
“Asli, dari semua yang match sama akun ini, cuma kakak ini yang kayaknya memenuhi
standar kak Kim Bum. Pokoknya aku harus bikin mereka sampai ketemuan di dunia real.”
“Pendidikannya juga bagus tuh, Kak, dia S2 di Universitas negeri ternama terus
sekarang jadi dosen. Sayang, enggak disebutin kampusnya, kalau disebutin kan kita bisa
langsung survei, ya?” ujar Lea yang juga ikut penasaran.
“Iya sih, tapi tenang aja, cepat atau lambat kita pasti bakal ketemu kakak ini.”
“Sekarang tinggal mikirin cara supaya kak Kim Bum enggak marah sama rencana kita,”
ungkap Lea lagi.
“Itu dia yang lagi aku pikirin, kamu ada ide lagi enggak, Le? Kamu kan genius, cepet
mikir nanti aku yang eksekusi!”
“Buntu Kak, aku lebih takut ke reaksi kak Kim Bum nanti, sih. Dia pasti marah besar
kalau tahu kita daftarin dia ke aplikasi kencan.”
“Itu tahu, kenapa masih dilakukan?” pertanyaan itu muncul tiba-tiba dan langsung
membuat Lisa dan Lea menegang.
Mereka yang masih tengkurap di ranjang sama sekali tak berani menoleh ke belakang.
Keduanya meneguk ludah sambil memikirkan cara untuk meluluhkan hati sang kakak sulung.
“Kakak sedang bertanya, tidak ada yang mau menjawab?” tanya Kim Bum lagi dingin.
Ah, mampus! Batin Lisa.
Gadis itu bangkit lebih dulu lalu berbalik menghadap kakaknya, Lea kemudian
mengikutinya.
“Aku salah, Kak, pokoknya aku siap dihukum apa pun jenisnya,” tutur Lisa pasrah
seraya mengangkat kedua tangannya.
“Aku juga, Kak,” kutip Lea.
Kim Bum menarik napas dalam, ia menatap kedua adiknya bergantian.
“Apa rencana kalian, hm? Kenapa kalian sampai melakukan hal gila seperti itu? Kalian
mau mempermalukan kakak?”
“Enggak, Kak! Kami tidak bermaksud seperti itu, justru kami ingin kakak bahagia
makanya kami inisiatif mencarikan kakak calon istri lewat aplikasi itu.”
“Terus?”
“Hah/hah?” jawab Lisa dan Lea bersamaan.
“Terus setelah kakak menikah, kelanjutannya apa? Kalian melakukan ini semua supaya
terbebas dari aturan kakak begitu? Kalian pikir, setelah kakak menikah kalian bisa melakukan
apa pun tanpa pantauan kakak, iya? Segitu bencinya kalian sama kakak, hm?”
“Ihh ... enggak gitu, Kak, maafin Lea. Semua ini ide Lea.”
Mata Lea berkaca-kaca mendengar kakaknya berkata seperti itu. mereka sama sekali
tidak membenci Kim Bum, dan sebenarnya yang lebih terbebani akan segala aturan Kim Bum
adalah Lisa bukan Lea. Tapi demi apa pun, Lisa juga tidak pernah membenci Kim Bum. Dia
hanya tidak suka sikap Kim Bum yang terlalu mengekang pergaulannya.
“Enggak, bukan Lea yang salah tapi aku, Kak. Jadi silakan kakak hukum aku saja.
Jangan libatkan Lea, biar aku yang menanggung semuanya.”
“Hukum aku juga, Kak, aku udah bikin kakak kesel, maafin Lea ya, Kak. Pleasee.”
Kim Bum mendesah berat, tingkah kedua adiknya memang selalu menguji
kesabarannya.
“Kakak potong uang jajan kalian selama satu bulan, jangan banyak protes dan cepat
tidur, jangan sampai besok terlambat ke sekolah.”
Kim Bum hendak pergi ke kamarnya namun tiba-tiba ia balik badan lagi sambil
menengadahkan tangan—seperti meminta sesuatu.
“Apa, Kak?” tanya Lisa bingung.
“Ponselmu kakak sita selama satu minggu. Kalau ada apa-apa, pinjam punya Lea saja.”
“Ah, Kakak ... apa pun asal jangan sita ponselku, yaaa?”
“Tadi katanya kamu siap menanggung semua akibatnya? Jangan labil, sini ponselnya!”
tegas Kim Bum, dengan berat hati dan muka yang ditekuk Lisa memberikan ponselnya pada
sang kakak.
“Jangan berani-berani mengambil ponsel ini sebelum waktu penyitaannya habis. Kalau
kamu melanggar, kakak pastikan kamu akan sangat menyesal!” ancam Kim Bum lagi lalu
benar-benar pergi dari kamar kedua adiknya.
***
Menjadi kakak sekaligus orang tua bagi dua remaja memang bukan perkara mudah.
Kim Bum sudah berusaha menjadi kakak yang bijaksana namun sulit sekali. banyak
kekhawatiran yang dirasakan pria itu, sebenarnya dia juga tidak ingin terlalu mengekang
adik-adiknya. Akan tetapi, ketakutan bahwa masa lalu yang suram itu akan terulang kembali
terlalu mendominasi. Kim Bum tidak akan lengah lagi, cukup satu orang yang menjadi
korban kelalainnya. Dia tidak ingin orang yang dia kasihi kembali mengalami kejadian buruk
itu, apalagi sekarang kedua orang tuanya telah tiada. Otomatis, Kim Bumlah satu-satunya
penanggung jawab dan penjaga utama kedua adiknya.
Kim Bum hanya berharap Lisa dan Lea mengerti dan memahaminya. Mereka tidak
perlu repot-repot memikirkan masa depan Kim Bum. Yang pria itu inginkan hanyalah Lisa
dan Lea tumbuh menjadi pribadi yang baik dan mau patuh pada perintahnya agar Kim Bum
bisa terus memantau pergerakan mereka. Dia ingin memastikan kedua adiknya aman dari
berbagai ancaman dunia luar yang mengerikan. Untuk beberapa alasan, Kim Bum paham
bahwa tindakannya terlalu berlebihan dan terkesan memberatkan kedua adiknya. Tapi sekali
lagi, pria itu tidak punya pilihan. Dia terpaksa bersikap seperti ini agar Lisa dan Lea aman
bersamanya.
“Dasar anak-anak nakal,” keluh Kim Bum ketika dia membaca seluruh isi percakapan
Lisa dengan perempuan berinisial KSE itu.
Jujur, Kim Bum sampai bergidik melihat isi percakapan tersebut. Pasalnya apa yang
tertera di sana bukan gayanya dalam mendekati perempuan. Kim Bum tidak pernah terlihat
antusias mengajak seorang perempuan berkencan. Dia juga bukan tipikal orang yang mudah
mengekspresikan perasaannya. Isi pesan terakhir yang dibaca pria itu adalah janji temu yang
rencananya akan dilaksanakan minggu sore di Han River.
Pria itu baru akan menghapus akun secara permanen sampai tiba-tiba sebuah pesan
baru masuk dari akun bernama KSE tadi. Awalnya Kim Bum ingin mengabaikannya namun
pria itu merasa perlu memberitahu perempuan itu agar tidak datang ke tempat janjian.
Walaupun sebenarnya itu bukan urusan Kim Bum, tapi dia merasa perlu meluruskan sesuatu
agar perempuan itu tidak menjadi korban ghosting adik-adik nakalnya.
KSE
Halo, ini pemilik identitas KSE yang asli. Maaf sebelumnya, sepertinya telah terjadi
kesalahpahaman di sini. Inisial dan fotoku diambil tanpa izin untuk membuat akun ini,
tolong jangan menganggap serius semua obrolan yang sudah terjalin selama satu pekan
terakhir di aplikasi ini. Aku berencana menghapus akun, semoga kamu mengerti dan tidak
marah. Terima kasih atas pengertiannya.
Mata Kim Bum seketika membulat membaca pesan itu, bagaimana bisa? Rupanya
perempuan itu juga korban keisengan orang.
Kim Bum
Hai, sepertinya kasus kita sama. Aku juga korban di sini. Aku baru saja akan
menjelaskan semuanya padamu tapi syukurlah kamu mengirim pesan ini lebih dulu. Aku pun
meminta maaf, semua ini ulah adik-adikku yang iseng.
KSE
Oh, ya? Astaga ... ada-ada saja. Aku juga korban keusilan teman. Kusuruh dia minta
maaf malah lempar batu sembunyi tangan.
Kim Bum
Adikku dan temanmu sama-sama kurang kerjaan.
KSE
Wkwk, iya, dasar! Kamu membaca seluruh pesannya?
Kim Bum
Mm, kubaca satu persatu. Benar-benar menggelikan. Gaya chat-ku tidak seperti itu.
KSE
Sama, aku juga membaca semuanya dan temanku sangat berlebihan. Itu juga bukan
gaya typing-ku.
Kim Bum menarik satu sudut bibirnya.
Kim Bum
Ya, terlihat jelas perbedaannya.
KSE
Benar-benar konyol.
Kim Bum
Iya, sangat konyol.
KSE
Maaf aku ganggu malam-malam.
Kim Bum
Tidak apa-apa, kamu kan mengklarifikasi kesalahpahaman.

KSE
Kamu bukan suami orang, kan?
Kening Kim Bum berkerut mendapat pertanyaan seperti itu, beberapa detik kemudian
dia menarik sudut bibirnya tipis.
Kim Bum
Kenapa memang?
KSE
Cuma khawatir, takut aku kalau chatting sama suami orang. Nanti dikira pelakor terus
dilabrak. Demi apa pun itu hal yang sangat memalukan.
Kim Bum
Sayang sekali aku belum punya istri, kalau sudah mungkin aku akan tertawa melihat
istriku melabrakmu. Mungkin akan ada adegan jambak menjambak, iya kan?
Kim Bum tidak mengerti, kenapa tiba-tiba bertukar pesan dengan perempuan asing itu
terasa cukup menyenangkan? Rasanya tidak rela saja kalau percakapan mereka cepat terhenti.
Pembahasan random seperti ini justru membuatnya menikmati setiap momen dan sensasi
menunggu balasan dari perempuan berinisial KSE itu.
KSE
Ya ampun, jahat sekali.
Kim Bum
Bercanda.
KSE
Candaanmu menyeramkan.
Kim Bum
Memang aslinya aku menyeramkan.
KSE
Tapi di foto kamu tampan.
Kim Bum
Itu pujian atau ejekan?
KSE
Terserah kamu mau menganggap apa.
Kim Bum
Fotomu juga cantik.
KSE
Kekuatan filter memang tidak terkalahkan.
Kim Bum
Oh, jadi hanya cantik karena filter?
KSE
Begitulah.
Kim Bum
Aku akan menghapus akun dan aplikasi ini.
Entah apa tujuan Kim Bum melaporkan hal itu, padahal jika mau menghapus aplikasi
ya tinggal hapus saja tidak perlu laporan segala.
KSE
Aku juga akan menghapusnya.
Kim Bum
Senang bisa bertukar pesan denganmu.
KSE
Aku juga, terima kasih ya.
Kim Bum
Aku yang terima kasih.
KSE
Wkwk, malah terus chatting, katanya mau hapus akun?
Kim Bum
Sepertinya kamu tidak rela jika aku menghapus akun ini.
KSE
Dih, siapa bilang?
Kim Bum
Asal nebak.
KSE
Ya sudah, silakan hapus akunnya.
Kim Bum
Mau bertukar kontak?

KSE
Hm?
Kim Bum
Kuanggap mau.
Kim Bum langsung mengirim nomor ponselnya ke room chat aplikasi itu, So Eun yang
juga penasaran dengan sosok Kim Bum ikut memberikan nomor kontaknya. Alhasil, mereka
sudah saling menyimpan kontak masing-masing. Entah untuk apa, simpan saja dulu, siapa
tahu nanti mereka akan saling membutuhkan.
***
Empat hari kemudian, tak ada yang berubah dari kehidupan Kim Bum dan So Eun.
keduanya tetap berkutat dengan pekerjaan masing-masing dan disibukkan dengan berbagai
hal sampai mereka sama-sama lupa pernah saling menyimpan kontak satu sama lain. Tidak
ada kelanjutan komunikasi dari yang terakhir kali mereka bertukar pesan. Keduanya juga
tidak menganggap serius acara perkenalan itu, ah sebenarnya mereka belum resmi
berkenalan. So Eun hanya tahu nama Kim Bum dan parasnya sedangkan pria itu lebih parah,
dia tidak tahu nama asli So Eun. Hanya bermodal foto profil dan inisial KSE saja.
Saat ini So Eun sedang berada di kampus, dia baru saja beres mengajar dan berniat
ingin kembali ke ruangan dosen. Di tengah perjalanan, dia dihampiri seorang pemuda tampan
berperawakan tinggi putih. Pria itu melempar senyum manis pada So Eun dan tentu saja So
Eun membalasnya dengan ramah.
“Siang, Miss,” sapa pemuda itu, kebetulan dia adalah mahasiswa So Eun.
“Siang juga Sehun.”
“Miss nanti malam ada acara?” tanya lelaki itu to the point.
“Seharusnya sih tidak, kenapa memang?”
“Ada hal yang mau aku tanyakan pada Miss So Eun, boleh kita bertemu nanti pukul
tujuh?”
“Masalah apa ya kalau boleh tahu?”
“Nanti juga Miss tahu, aku harap Miss bisa datang. Aku tunggu di kafe dekat kampus
pukul tujuh tepat.”
Setelah menimbang keputusan sejenak akhirnya So Eun mengangguk setuju.
“Oke, nanti malam jam tujuh,” gumam So Eun, Sehun tampak mengembangkan
senyum bahagia.
“Makasih, Miss, sampai ketemu nanti kalau begitu.”
“Iya, kamu ada kelas sekarang?”
“Mm, aku mau masuk kelas dulu.”
“Ya, sudah sana, semangat ya.”
“Pasti Miss.”
So Eun melambaikan tangan untuk berpamitan, So Eun hanya tersenyum sewajarnya
kemudian melanjutkan perjalanan. Tanpa mereka sadari sejak tadi ada yang menyaksikan
percakapan akrab keduanya. Orang itu melenguh panjang dan menampakkan wajah lesu.
“Tuh, kan, kak Sehun itu naksir berat tahu sama miss So Eun,” kata Jennie pada Lisa,
seperti ingin menyadarkan sahabatnya bahwa perasaannya terhadap sang senior tidak akan
berhasil.
“Tapi sepertinya Miss itu terlalu tua untuk kak Sehun, masa sih naksir?” Lisa masih
denial.
“Kamu belum kenal aja sama miss So Eun, gayanya di luar beuh cakep bener, kayak
remaja. Selama di kampus penampilannya emang agak kolot gitu, pake kacamata, rambut
dicepol, iyuhh banget. Tapi coba kamu cek sosmednya deh, asli kece-kece fotonya. Banyak
yang bilang miss So Eun sengaja berkamuflase di kampus supaya enggak digodain
mahasiswa modelan kak Sehun itu.”
“Heh, jangan sembarangan ya! Kak Sehun bukan model mahasiswa buaya kayak
mantan-mantan kamu,” bela Lisa.
“Dih, kenapa jadi bawa-bawa aku, kan aku cuma mengingatkan, Lis.”
“Jadi aku harus gimana? Masa baru naksir udah nyerah sih, Jen? Ini kali pertamanya
tahu aku naksir cowok. Aku juga udah effort banget ikut UKM Pecinta Alam cuma buat
deketin kak Sehun. Ampe aku kena sanksi dari kak Kim Bum gara-gara itu.”
“Justru itu, aku ngajak kamu ke sini dan memperlihatkan pemandangan tadi tuh supaya
bikin kamu sadar, lebih baik kamu mundur dari sekarang. Kalah sebelum berperang lebih
baik daripada babak belur pasca pertemupuran yang tak ada harapan untuk menang sejak
awal.”
“Parah banget kamu Jen, jatuhin mental aku.”
“Aku ngelakuin ini karena aku enggak mau kamu tersakiti, Lis.”
“Ya, gimana, aku udah terlanjur suka sama kak Sehun.”
“Gini aja, untuk lebih meyakinkan, nanti malam kita buntuti mereka yang mau
ketemuan. Pokoknya kamu mesti buka matamu lebar-lebar, keterlaluan banget sih kalau
kamu masih mau maju di saat jalan sudah buntu.”
***
“Makasih Miss karena sudah menyempatkan waktu,” kata Sehun ketika orang yang
sejak tadi dia tunggu tiba di hadapannya.
So Eun hanya tersenyum, “Apa yang mau kamu bicarakan, Sehun?”
“Kita makan dulu ya Miss?” tanya Sehun hati-hati, sebenarnya So Eun tidak ingin
berlama-lama bersama mahasiswanya itu namun dia tidak enak menolak tawaran Sehun.
“Boleh,” jawabnya.
Mereka pun makan malam bersama sambil sesekali mengobrol dengan bahasan asal.
Tak berapa jauh dari meja mereka, ternyata Jennie dan Lisa benar-benar menguntit kegiatan
Sehun dan So Eun. Mereka mengenakan masker, kacamata, dan topi yang menutupi sebagian
pandangan mereka. Penyamaran itu dilakukan agar Sehun dan So Eun tak menyadari
keberadaan mereka. Sekitar setengah jam kemudian, Sehun dan So Eun sudah selesai dengan
kegiatan makan malamnya. Suasana juga mulai mendukung untuk kedua sejoli itu melakukan
percakapan serius. So Eun berharap Sehun segera menyampaikan maksudnya karena dia
ingin segera pergi dari sana. Tadi beberapa kali ada mahasiswa yang datang ke sana dan
tampak aneh melihat Sehun dan So Eun bersama. Bahkan beberapa di antara mereka ada
yang terang-terangan melayangkan godaan. Sungguh membuat So Eun tidak nyaman.
“Miss, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan pada Miss So Eun.”
“Sampaikan saja, Sehun, kamu tahu kan aku sudah menantikannya sejak tadi.”
“Mm ... itu ... sebenarnya ... aku mau membuat pengakuan pada Miss. Aku tahu
mungkin ini akan terdengar sedikit konyol, tapi inilah perasaanku yang sebenarnya. Aku suka
sama miss So Eun.”
“Hm?” So Eun tampak kaget, “Maksudnya?” So Eun mendengar pengakuan Sehun
dengan jelas, ia hanya ingin memastikan sekali lagi.
“Aku menyukaimu, Miss. Bukan sebagai dosenku tapi sebagai perempuan yang
berhasil menarik perhatianku.”
“Jangan bercanda Sehun, ini sama sekali tidak lucu.”
“Demi apa pun aku serius, Miss. Aku menyukaimu sejak awal masuk kuliah, aku suka
cara mengajarmu, kelembutanmu, ketegasanmu, aku suka semua hal tentang dirimu. Saat
melihatmu tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang. Aku juga selalu ingin tersenyum setiap
melihatmu tersenyum. Aku sangat yakin dengan perasaanku, bahwa aku benar-benar
menyukaimu, ah tidak, aku mencintaimu.”
Bukan hanya So Eun yang terkejut dengan pengakuan Sehun, Lisa dan Jennie yang
notabene tahu betul bagaimana dinginnya sikap Sehun sangat terkejut melihat dia seperti itu.
Bisa-bisanya seorang Oh Sehun rela menurunkan ego dan harga dirinya demi seorang
perempuan. Oh, ini gila!
“Kamu benar-benar membuatku terkejut, Sehun.”
“Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman, Miss. Tapi bisakah kamu menerima
perasaanku? Aku ingin kamu menjadi kekasihku.”
“Tentu tidak, tidak Sehun. Aku tidak bisa menerima perasaanmu. Kamu mahasiswaku
dan aku dosenmu. Tidak pernah terbesit sedikit pun di benakku untuk menjalin hubungan
asmara dengan mahasiswaku sendiri.”
“Memangnya apa yang salah dengan status dosen dan mahasiswa? Bukankah cinta
tidak pernah memandang status?”
“Usia kita terpaut jauh Sehun, aku lebih pantas menjadi tantemu dibanding kekasih.”
“Aku tidak peduli dengan itu semua, yang kutahu adalah aku menyukaimu dan aku
cinta padamu. Itu saja.”
So Eun menggelengkan kepalanya, “Tidak, ini bukan cinta, Sehun. Kamu tidak
mengerti apa-apa tentang perasaan itu. Kamu hanya sedang terbelenggu obsesi sesaat.
Sadarlah, lupakan apa yang kamu katakan malam ini dan aku pun akan melupakannya. Mari
kita jalankan profesi kita dengan semestinya.”
So Eun berdiri dan hendak pergi namun Sehun segera mencekal lengannya.
“Kamu bilang apa barusan? Obsesi?” tanya Sehun, tidak terima perasaan cintanya
dianggap sebagai obsesi belaka.
“Mm, itu yang dinamakan obsesi. Kamu masih terlalu muda, wajar jika kamu masih
bingung membedakan mana cinta dan mana obsesi. Aku bisa memakluminya.”
“Demi Tuhan ini cinta, Miss, tolong jangan menjudge perasaanku sembarangan!”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Sehun, sudah ya, aku tidak mau melihatmu seperti ini
lagi. Jika kamu terus bersikap begini, aku benar-benar tidak ingin melihat wajahmu lagi,
kamu paham?!” tegas So Eun kemudian pergi sambil mengempaskan tangan Sehun.
Pria itu terdiam, perasaannya terkoyak. Sakit yang dia rasa berkali-kali lipat, bukan
hanya ditolak, tapi perasaan Sehun sama sekali tak diakui oleh perempuan yang selalu
menjadi alasannya tersenyum selama tiga tahun terakhir. Terlebih, melihat So Eun yang
tampak risi berada di dekat Sehun membuat lelaki itu semakin frustrasi. Dia ingin teriak
namun tak kuasa, akal sehatnya masih berjalan walau hatinya sudah tidak bisa bekerja saking
pedihnya.
“Oh-My-God! Ini berita besar! Seorang Oh Sehun sang pujaan kaum hawa baru saja
dicampakkan miss So Eun!” kata Jennie malah fokus pada potensi seberapa viral berita ini
jika disebarkan.
Sementara Lisa? Dia sedang menahan air matanya ketika melihat laki-laki idamannya
tersakiti oleh perempuan lain. Gadis itu seperti bisa merasakan kesedihan Sehun. Entah
kenapa, dada Lisa ikut sesak melihatnya.
Bab 2
“Aduh, kenapa harus ribut segala, sih? Aku kan sudah bilang uangku tidak cukup jadi
tolong terima jam tangan ini saja. Harganya mahal tahu kalau dijual!”
“Sudah berapa kali juga saya bilang, kami tidak menerima transaksi dengan barang.
Tolong bayar makanannya dengan uang tunai atau debit.”
“Kartu ATM dan kartu kreditku diblokir astaga, sudah berapa kali aku
mengatakannya?” emosi Lisa jengkel sendiri. Frustrasi dia menghadapi kasir kafe yang
benar-benar keras kepala seperti ini.
Bukan maksud Lisa tidak mau bayar hidangan yang dia santap, tapi uangnya memang
tidak cukup. Tadi Lisa kalap dan memesan banyak makanan di kafe, gadis itu bahkan lupa
kalau selama satu bulan ke depan uang jajannya dipotong sebagai bentuk hukuman dari Kim
Bum. Semua kartu transaksi yang ada di dompetnya juga tidak berfungsi sama sekali. Kim
Bum kalau sudah menghukum memang tidak pernah tanggung-tanggung.
“Lantas bagaimana bentuk pertanggungjawaban Anda, Nona? Anda mau saya laporkan
ke polisi karena tidak mau membayar semua makanan tadi?”
Percekcokan antara Lisa dan sang kasir cukup menarik perhatian banyak orang, jujur
Lisa malu, ingin rasanya dia segera menghilang dari sana namun petugas di kafe itu pasti
tidak akan melepaskan Lisa begitu saja sebelum semua masalah ini selesai.
“Huh, baiklah, karena kau begitu keras kepala, aku mau menghubungi kakakku dulu.
Tunggu sebentar.”
Lisa segera memeriksa tasnya untuk mencari ponsel, gadis itu agak panik karena tak
menemukan benda yang dia cari di mana pun. Seisi tas sudah dia ubek namun hasilnya nihil,
dan di ujung pencarian sekelebat ingatan melintas. Gadis itu langsung menepuk dahi keras.
“Sial, ponselku kan sedang disita kak Kim Bum selama satu pekan. Ahh, bagaimana
ini? tidak ada satu pun nomor orang rumah yang kuhafal,” Lisa panik sambil menggigit
bibirnya, sang kasir terus memberikan tatapan intimidasi sedangkan keluhan orang-orang
yang mengantre di belakang Lisa semakin memperburuk keadaan. Gara-gara Lisa, proses
pembayaran mereka jadi tersendat.
“Pak, tolong, untuk yang terakhir kalinya izinkan aku membayar dengan barangku, ya?
Aku tidak pegang uang sebesar tagihan bill itu, demi apa pun nanti aku bayar tapi aku harus
pulang dulu.”
“Kalau tidak punya uang seharusnya Anda jangan makan di sini. Orang miskin kok
gaya hidupnya hedon, merepotkan sekali.”
Lisa menatap bengis kasir yang teramat tidak sopan itu, bisa-bisanya dia mengatai Lisa
orang miskin. Kasir itu tidak tahu saja siapa kakaknya, Lisa adalah adik dari pengusaha muda
yang sukses. Kafe ini bisa diakuisisi atau kalau perlu dibeli sekalian oleh Kim Bum jika dia
mau.

Anda mungkin juga menyukai