KSE
Kamu bukan suami orang, kan?
Kening Kim Bum berkerut mendapat pertanyaan seperti itu, beberapa detik kemudian
dia menarik sudut bibirnya tipis.
Kim Bum
Kenapa memang?
KSE
Cuma khawatir, takut aku kalau chatting sama suami orang. Nanti dikira pelakor terus
dilabrak. Demi apa pun itu hal yang sangat memalukan.
Kim Bum
Sayang sekali aku belum punya istri, kalau sudah mungkin aku akan tertawa melihat
istriku melabrakmu. Mungkin akan ada adegan jambak menjambak, iya kan?
Kim Bum tidak mengerti, kenapa tiba-tiba bertukar pesan dengan perempuan asing itu
terasa cukup menyenangkan? Rasanya tidak rela saja kalau percakapan mereka cepat terhenti.
Pembahasan random seperti ini justru membuatnya menikmati setiap momen dan sensasi
menunggu balasan dari perempuan berinisial KSE itu.
KSE
Ya ampun, jahat sekali.
Kim Bum
Bercanda.
KSE
Candaanmu menyeramkan.
Kim Bum
Memang aslinya aku menyeramkan.
KSE
Tapi di foto kamu tampan.
Kim Bum
Itu pujian atau ejekan?
KSE
Terserah kamu mau menganggap apa.
Kim Bum
Fotomu juga cantik.
KSE
Kekuatan filter memang tidak terkalahkan.
Kim Bum
Oh, jadi hanya cantik karena filter?
KSE
Begitulah.
Kim Bum
Aku akan menghapus akun dan aplikasi ini.
Entah apa tujuan Kim Bum melaporkan hal itu, padahal jika mau menghapus aplikasi
ya tinggal hapus saja tidak perlu laporan segala.
KSE
Aku juga akan menghapusnya.
Kim Bum
Senang bisa bertukar pesan denganmu.
KSE
Aku juga, terima kasih ya.
Kim Bum
Aku yang terima kasih.
KSE
Wkwk, malah terus chatting, katanya mau hapus akun?
Kim Bum
Sepertinya kamu tidak rela jika aku menghapus akun ini.
KSE
Dih, siapa bilang?
Kim Bum
Asal nebak.
KSE
Ya sudah, silakan hapus akunnya.
Kim Bum
Mau bertukar kontak?
KSE
Hm?
Kim Bum
Kuanggap mau.
Kim Bum langsung mengirim nomor ponselnya ke room chat aplikasi itu, So Eun yang
juga penasaran dengan sosok Kim Bum ikut memberikan nomor kontaknya. Alhasil, mereka
sudah saling menyimpan kontak masing-masing. Entah untuk apa, simpan saja dulu, siapa
tahu nanti mereka akan saling membutuhkan.
***
Empat hari kemudian, tak ada yang berubah dari kehidupan Kim Bum dan So Eun.
keduanya tetap berkutat dengan pekerjaan masing-masing dan disibukkan dengan berbagai
hal sampai mereka sama-sama lupa pernah saling menyimpan kontak satu sama lain. Tidak
ada kelanjutan komunikasi dari yang terakhir kali mereka bertukar pesan. Keduanya juga
tidak menganggap serius acara perkenalan itu, ah sebenarnya mereka belum resmi
berkenalan. So Eun hanya tahu nama Kim Bum dan parasnya sedangkan pria itu lebih parah,
dia tidak tahu nama asli So Eun. Hanya bermodal foto profil dan inisial KSE saja.
Saat ini So Eun sedang berada di kampus, dia baru saja beres mengajar dan berniat
ingin kembali ke ruangan dosen. Di tengah perjalanan, dia dihampiri seorang pemuda tampan
berperawakan tinggi putih. Pria itu melempar senyum manis pada So Eun dan tentu saja So
Eun membalasnya dengan ramah.
“Siang, Miss,” sapa pemuda itu, kebetulan dia adalah mahasiswa So Eun.
“Siang juga Sehun.”
“Miss nanti malam ada acara?” tanya lelaki itu to the point.
“Seharusnya sih tidak, kenapa memang?”
“Ada hal yang mau aku tanyakan pada Miss So Eun, boleh kita bertemu nanti pukul
tujuh?”
“Masalah apa ya kalau boleh tahu?”
“Nanti juga Miss tahu, aku harap Miss bisa datang. Aku tunggu di kafe dekat kampus
pukul tujuh tepat.”
Setelah menimbang keputusan sejenak akhirnya So Eun mengangguk setuju.
“Oke, nanti malam jam tujuh,” gumam So Eun, Sehun tampak mengembangkan
senyum bahagia.
“Makasih, Miss, sampai ketemu nanti kalau begitu.”
“Iya, kamu ada kelas sekarang?”
“Mm, aku mau masuk kelas dulu.”
“Ya, sudah sana, semangat ya.”
“Pasti Miss.”
So Eun melambaikan tangan untuk berpamitan, So Eun hanya tersenyum sewajarnya
kemudian melanjutkan perjalanan. Tanpa mereka sadari sejak tadi ada yang menyaksikan
percakapan akrab keduanya. Orang itu melenguh panjang dan menampakkan wajah lesu.
“Tuh, kan, kak Sehun itu naksir berat tahu sama miss So Eun,” kata Jennie pada Lisa,
seperti ingin menyadarkan sahabatnya bahwa perasaannya terhadap sang senior tidak akan
berhasil.
“Tapi sepertinya Miss itu terlalu tua untuk kak Sehun, masa sih naksir?” Lisa masih
denial.
“Kamu belum kenal aja sama miss So Eun, gayanya di luar beuh cakep bener, kayak
remaja. Selama di kampus penampilannya emang agak kolot gitu, pake kacamata, rambut
dicepol, iyuhh banget. Tapi coba kamu cek sosmednya deh, asli kece-kece fotonya. Banyak
yang bilang miss So Eun sengaja berkamuflase di kampus supaya enggak digodain
mahasiswa modelan kak Sehun itu.”
“Heh, jangan sembarangan ya! Kak Sehun bukan model mahasiswa buaya kayak
mantan-mantan kamu,” bela Lisa.
“Dih, kenapa jadi bawa-bawa aku, kan aku cuma mengingatkan, Lis.”
“Jadi aku harus gimana? Masa baru naksir udah nyerah sih, Jen? Ini kali pertamanya
tahu aku naksir cowok. Aku juga udah effort banget ikut UKM Pecinta Alam cuma buat
deketin kak Sehun. Ampe aku kena sanksi dari kak Kim Bum gara-gara itu.”
“Justru itu, aku ngajak kamu ke sini dan memperlihatkan pemandangan tadi tuh supaya
bikin kamu sadar, lebih baik kamu mundur dari sekarang. Kalah sebelum berperang lebih
baik daripada babak belur pasca pertemupuran yang tak ada harapan untuk menang sejak
awal.”
“Parah banget kamu Jen, jatuhin mental aku.”
“Aku ngelakuin ini karena aku enggak mau kamu tersakiti, Lis.”
“Ya, gimana, aku udah terlanjur suka sama kak Sehun.”
“Gini aja, untuk lebih meyakinkan, nanti malam kita buntuti mereka yang mau
ketemuan. Pokoknya kamu mesti buka matamu lebar-lebar, keterlaluan banget sih kalau
kamu masih mau maju di saat jalan sudah buntu.”
***
“Makasih Miss karena sudah menyempatkan waktu,” kata Sehun ketika orang yang
sejak tadi dia tunggu tiba di hadapannya.
So Eun hanya tersenyum, “Apa yang mau kamu bicarakan, Sehun?”
“Kita makan dulu ya Miss?” tanya Sehun hati-hati, sebenarnya So Eun tidak ingin
berlama-lama bersama mahasiswanya itu namun dia tidak enak menolak tawaran Sehun.
“Boleh,” jawabnya.
Mereka pun makan malam bersama sambil sesekali mengobrol dengan bahasan asal.
Tak berapa jauh dari meja mereka, ternyata Jennie dan Lisa benar-benar menguntit kegiatan
Sehun dan So Eun. Mereka mengenakan masker, kacamata, dan topi yang menutupi sebagian
pandangan mereka. Penyamaran itu dilakukan agar Sehun dan So Eun tak menyadari
keberadaan mereka. Sekitar setengah jam kemudian, Sehun dan So Eun sudah selesai dengan
kegiatan makan malamnya. Suasana juga mulai mendukung untuk kedua sejoli itu melakukan
percakapan serius. So Eun berharap Sehun segera menyampaikan maksudnya karena dia
ingin segera pergi dari sana. Tadi beberapa kali ada mahasiswa yang datang ke sana dan
tampak aneh melihat Sehun dan So Eun bersama. Bahkan beberapa di antara mereka ada
yang terang-terangan melayangkan godaan. Sungguh membuat So Eun tidak nyaman.
“Miss, sebenarnya ada yang mau aku sampaikan pada Miss So Eun.”
“Sampaikan saja, Sehun, kamu tahu kan aku sudah menantikannya sejak tadi.”
“Mm ... itu ... sebenarnya ... aku mau membuat pengakuan pada Miss. Aku tahu
mungkin ini akan terdengar sedikit konyol, tapi inilah perasaanku yang sebenarnya. Aku suka
sama miss So Eun.”
“Hm?” So Eun tampak kaget, “Maksudnya?” So Eun mendengar pengakuan Sehun
dengan jelas, ia hanya ingin memastikan sekali lagi.
“Aku menyukaimu, Miss. Bukan sebagai dosenku tapi sebagai perempuan yang
berhasil menarik perhatianku.”
“Jangan bercanda Sehun, ini sama sekali tidak lucu.”
“Demi apa pun aku serius, Miss. Aku menyukaimu sejak awal masuk kuliah, aku suka
cara mengajarmu, kelembutanmu, ketegasanmu, aku suka semua hal tentang dirimu. Saat
melihatmu tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang. Aku juga selalu ingin tersenyum setiap
melihatmu tersenyum. Aku sangat yakin dengan perasaanku, bahwa aku benar-benar
menyukaimu, ah tidak, aku mencintaimu.”
Bukan hanya So Eun yang terkejut dengan pengakuan Sehun, Lisa dan Jennie yang
notabene tahu betul bagaimana dinginnya sikap Sehun sangat terkejut melihat dia seperti itu.
Bisa-bisanya seorang Oh Sehun rela menurunkan ego dan harga dirinya demi seorang
perempuan. Oh, ini gila!
“Kamu benar-benar membuatku terkejut, Sehun.”
“Maaf jika aku membuatmu tidak nyaman, Miss. Tapi bisakah kamu menerima
perasaanku? Aku ingin kamu menjadi kekasihku.”
“Tentu tidak, tidak Sehun. Aku tidak bisa menerima perasaanmu. Kamu mahasiswaku
dan aku dosenmu. Tidak pernah terbesit sedikit pun di benakku untuk menjalin hubungan
asmara dengan mahasiswaku sendiri.”
“Memangnya apa yang salah dengan status dosen dan mahasiswa? Bukankah cinta
tidak pernah memandang status?”
“Usia kita terpaut jauh Sehun, aku lebih pantas menjadi tantemu dibanding kekasih.”
“Aku tidak peduli dengan itu semua, yang kutahu adalah aku menyukaimu dan aku
cinta padamu. Itu saja.”
So Eun menggelengkan kepalanya, “Tidak, ini bukan cinta, Sehun. Kamu tidak
mengerti apa-apa tentang perasaan itu. Kamu hanya sedang terbelenggu obsesi sesaat.
Sadarlah, lupakan apa yang kamu katakan malam ini dan aku pun akan melupakannya. Mari
kita jalankan profesi kita dengan semestinya.”
So Eun berdiri dan hendak pergi namun Sehun segera mencekal lengannya.
“Kamu bilang apa barusan? Obsesi?” tanya Sehun, tidak terima perasaan cintanya
dianggap sebagai obsesi belaka.
“Mm, itu yang dinamakan obsesi. Kamu masih terlalu muda, wajar jika kamu masih
bingung membedakan mana cinta dan mana obsesi. Aku bisa memakluminya.”
“Demi Tuhan ini cinta, Miss, tolong jangan menjudge perasaanku sembarangan!”
“Jangan bawa-bawa nama Tuhan, Sehun, sudah ya, aku tidak mau melihatmu seperti ini
lagi. Jika kamu terus bersikap begini, aku benar-benar tidak ingin melihat wajahmu lagi,
kamu paham?!” tegas So Eun kemudian pergi sambil mengempaskan tangan Sehun.
Pria itu terdiam, perasaannya terkoyak. Sakit yang dia rasa berkali-kali lipat, bukan
hanya ditolak, tapi perasaan Sehun sama sekali tak diakui oleh perempuan yang selalu
menjadi alasannya tersenyum selama tiga tahun terakhir. Terlebih, melihat So Eun yang
tampak risi berada di dekat Sehun membuat lelaki itu semakin frustrasi. Dia ingin teriak
namun tak kuasa, akal sehatnya masih berjalan walau hatinya sudah tidak bisa bekerja saking
pedihnya.
“Oh-My-God! Ini berita besar! Seorang Oh Sehun sang pujaan kaum hawa baru saja
dicampakkan miss So Eun!” kata Jennie malah fokus pada potensi seberapa viral berita ini
jika disebarkan.
Sementara Lisa? Dia sedang menahan air matanya ketika melihat laki-laki idamannya
tersakiti oleh perempuan lain. Gadis itu seperti bisa merasakan kesedihan Sehun. Entah
kenapa, dada Lisa ikut sesak melihatnya.
Bab 2
“Aduh, kenapa harus ribut segala, sih? Aku kan sudah bilang uangku tidak cukup jadi
tolong terima jam tangan ini saja. Harganya mahal tahu kalau dijual!”
“Sudah berapa kali juga saya bilang, kami tidak menerima transaksi dengan barang.
Tolong bayar makanannya dengan uang tunai atau debit.”
“Kartu ATM dan kartu kreditku diblokir astaga, sudah berapa kali aku
mengatakannya?” emosi Lisa jengkel sendiri. Frustrasi dia menghadapi kasir kafe yang
benar-benar keras kepala seperti ini.
Bukan maksud Lisa tidak mau bayar hidangan yang dia santap, tapi uangnya memang
tidak cukup. Tadi Lisa kalap dan memesan banyak makanan di kafe, gadis itu bahkan lupa
kalau selama satu bulan ke depan uang jajannya dipotong sebagai bentuk hukuman dari Kim
Bum. Semua kartu transaksi yang ada di dompetnya juga tidak berfungsi sama sekali. Kim
Bum kalau sudah menghukum memang tidak pernah tanggung-tanggung.
“Lantas bagaimana bentuk pertanggungjawaban Anda, Nona? Anda mau saya laporkan
ke polisi karena tidak mau membayar semua makanan tadi?”
Percekcokan antara Lisa dan sang kasir cukup menarik perhatian banyak orang, jujur
Lisa malu, ingin rasanya dia segera menghilang dari sana namun petugas di kafe itu pasti
tidak akan melepaskan Lisa begitu saja sebelum semua masalah ini selesai.
“Huh, baiklah, karena kau begitu keras kepala, aku mau menghubungi kakakku dulu.
Tunggu sebentar.”
Lisa segera memeriksa tasnya untuk mencari ponsel, gadis itu agak panik karena tak
menemukan benda yang dia cari di mana pun. Seisi tas sudah dia ubek namun hasilnya nihil,
dan di ujung pencarian sekelebat ingatan melintas. Gadis itu langsung menepuk dahi keras.
“Sial, ponselku kan sedang disita kak Kim Bum selama satu pekan. Ahh, bagaimana
ini? tidak ada satu pun nomor orang rumah yang kuhafal,” Lisa panik sambil menggigit
bibirnya, sang kasir terus memberikan tatapan intimidasi sedangkan keluhan orang-orang
yang mengantre di belakang Lisa semakin memperburuk keadaan. Gara-gara Lisa, proses
pembayaran mereka jadi tersendat.
“Pak, tolong, untuk yang terakhir kalinya izinkan aku membayar dengan barangku, ya?
Aku tidak pegang uang sebesar tagihan bill itu, demi apa pun nanti aku bayar tapi aku harus
pulang dulu.”
“Kalau tidak punya uang seharusnya Anda jangan makan di sini. Orang miskin kok
gaya hidupnya hedon, merepotkan sekali.”
Lisa menatap bengis kasir yang teramat tidak sopan itu, bisa-bisanya dia mengatai Lisa
orang miskin. Kasir itu tidak tahu saja siapa kakaknya, Lisa adalah adik dari pengusaha muda
yang sukses. Kafe ini bisa diakuisisi atau kalau perlu dibeli sekalian oleh Kim Bum jika dia
mau.