Anda di halaman 1dari 81

SKRIPSI

EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

DESA, “DALAM KAITANNYA DENGAN PARTISIPASI MASYARAKAT

DI DESA BOJO, KECAMATAN BUDONG-BUDONG, KABUPATEN

MAMUJU TENGAH”

( SUATU KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM )

OLEH

NELWAN

B 111 11 292

BAGIAN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014
TENTANG DESA KAITANNYA DENGAN PARTISIPASI
MASYARAKAT DI DESA BOJO KECAMATAN BUDONG-
BUDONG KABUPATEN MAMUJU TENGAH
(SUATU KAJIAN SOSIOLOGI HUKUM)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Tugas Akhir Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada
Departemen Hukum Masyarakat dan Pembangunan
Program Studi Ilmu Hukum

disusun dan diajukan oleh:

NELWAN
B111 11 292

pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSTAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

i
ii
iii
: NELWAN
: B 111 11 292
: Ilmu Hukum
: Hukum Masyarakat dan Pembangunan
: Efektivitas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Kaitannya dengan
Partisipasi Masyarakat Di Desa Bojo Kecamatan Budong-Budong Kabupaten Mamuju
Tengah (Suatu Kajian Sosiologi Hukum)

Oktober 2017

iv
ABSTRAK

Nelwan (B11111292) Efektivitas Undang-Undang Nomor 6


tahun 2014 Tentang Desa, “Dalam Kaitannya Dengan Partisipasi
Masyarakat di Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong, kabupaten
Mamuju tengah. Dibimbing oleh Irwansyah dan Muh. Hasrul.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan


dan sejauh mana faktor-faktor yang mempengaruhi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa terkait dengan partisipasi masyarakat
Desa Bojo, Kecamatan Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah .

Metode penelitian yang digunakan adalah “Penelitian Lapangan


dan Studi pustaka”, sumber-sumbernya diperoleh dari wawancara dan
berbagai literatur yang memiliki keterkaitan dengan efektivitas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa secara kualitatif dan
disajikan secara deskriptif.

Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut (1) Dalam


penerapannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
dapat dikatakan tidak efektif berlakunya di masyarakat Desa Bojo
Kecamatan Budong-budong, Kabupaten Mamuju Tengah. Selama
berlakunya Undang-Undang Desa masih banyak warga yang belum
mengetahui keberadaan dan isi Undang-Undang Desa, dan juga masih
sangat minim partisipasi masyarakat di berbagai kegiatan yang
dilaksanakan di Desa Bojo. (2) Dalam pelaksanaannya Undang-Undang
Desa Nomor 6 Tahun 2016 mempunyai beberapa faktor yang
mempengaruhi efektivitas keberlakuannya, salah satunya yaitu kondisi
masyarakat sebagian besar adalah petani dan pekerja perkebunan
menyebabkan seringnya kegiatan Desa yang tidak diikuti masyarakat
dengan alasan lebih mementingkan untuk melakukan pekerjaan demi
memenuhi kebutuhan hidupnya.

v
ABSTRACT

Nelwan (B11111292) Effectiveness of Law No. 6 of 2014 About the


Village, "In Relation With Public Participation in Bojo Village, District
Budong-Budong, Mamuju district middle. Supervised by Irwansyah and
Muh. Hasrul.

This study aims to determine how the application and extent of the
factors that affect Act No. 6 of 2014 About Desa associated with
community participation Bojo Village, District Budong-budong, Mamuju
Central.

The method used is the "Field Research and Literature", the


sources are obtained from interviews and literature that have relevance to
the effectiveness of Act No. 6 of 2014 About the Village qualitatively and
presented descriptively.

The results of this study are as follows (1) In application of Law No.
6 of 2014 On The village can be said to be the effective in the village
community Bojo Budong-budong Subdistrict, Mamuju Central. During the
enactment of the Act Village are still many people who do not know about
the existence and content of the Law Village, and is still very minimal
participation in the various activities carried out in the village of Bojo. (2) In
the implementation of the Act Village No. 6 of 2016 has several factors
that influence the effectiveness of the entry into force, one of which is the
condition of society are largely farmers and plantation workers cause
frequent Village activities are not open to the public for reasons more
concerned to do the work in order to meet the necessities of life.

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ku persembahkan bagi Dia, Tuhan yang senantiasa

menjaga, menolong dan menguatkan hambaNya, sehingga dapat

menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “Efektivitas Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Dalam Kaitannya Dengan Partisipasi

Masyarakat di Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten

Mamuju Tengah” dalam rangka penyelesaian Studi Strata satu Bagian

Hukum Masyarakat dan Pembangunan Studi Ilmu Hukum di Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

Lewat kesempatan ini pula, dengan seluruh ketulusan hati, penulis

ingin menyampaikan terima kasih kepada Ayahku Yonathan Tombi dan

Ibuku Amelia Barri tersayang, atas kasih sayang dan pengorbanan

mereka menjadi orang tua terbaik dan sumber inspirasi penulis. Begitu

pula kepada saudaraku Elvis beserta Istri dan Keponakanku Lirgi, Bretlin

dan Jerolin, Kakakku Elis beserta Suami dan Keponakanku Igin, serta Ibu

Suriani dan Om Oktovianus yang selalu menasehati penulis, menjadi

orang tua penulis selama menempuh pendidikan di Kota Makassar, serta

segenap keluarga besar penulis.

Terselesaikannya tugas akhir ini juga tidak terlepas dari bantuan

berbagai pihak. Untuk itu, perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan

terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Rektor UNHAS, Prof. Dr. Dwia Aries Tina N.K., M.A.

vii
2. Dekan Fakultas Hukum UNHAS, Prof. Dr. Farida Patittingi,

S.H., M.Hum. dan seluruh jajarannya.

3. Seluruh Staf pengajar (Dosen) atas ilmu pengetahuan yang

telah diberikan selama perkuliahan.

4. Pembimbing I Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H dan pembimbing

II Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H. Penguji Dr. Andi Tenri Famauri,

S.H., M.H, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H. dan Dr.

Ratnawati S.H.,M.H. Atas waktu, tenaga, dan pengetahuan

berharga yang telah diberikan.

5. Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan

Desa Kab. Mamuju Tengah, Bapak Zulkifli,S.Sos, Anggota

DPRD Kab. Mamuju Tengah, Bapak Alamsyah

Arifin,A.Md,Kep, dan Kepala Desa Bojo, Bapak Yonathan T.

atas kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

6. Sahabat-sahabatku, Steven Anriano T, Prandy A.L. Fanggi,

Daud Eko Cahyo Rukmono.

7. Saudara-saudara Persekutuan Pemuda Gereja Toraja Mamasa

(PPGTM) Jemaat Bukit Batu dan PPGTM Klasis Makassar.

8. Saudara-saudara Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

(GMKI) Komisariat Hukum Unhas, BPC GMKI Cabang

Makassar 2015-2017 dan Pengurus Pusat GMKI.

9. Saudara-saudara Persekutuan Mahasiswa Kristen Fakultas

Hukum Unhas, teman-teman angkatan 2011 Mediasi Fakultas

viii
Hukum Universitas Hasanuddin, teman-teman Mahkamah

Keluarga Mahasiswa Periode 2014-2015, The Bandidos &

Mafia Celebes ( Kak Rudy, Angga, Chiko, Edo, Daus, Saldy,

Berno, Aldy, Andi, Aldo, Pandy), segenap keluarga besar

GAMKI Makassar dan GAMKI Sulbar, KPM Messawa,

Kristibels, dan Bukit Batu FC.

10. Kawan-kawan diskusiku, Fiktor Bondeng, Phelipus, Reinhard,

Kak Elias, Sapprianus, Wawan, Selvi dan Matalangi.

11. Seluruh Staf Akademik yang telah memberikan banyak

bantuan selama perkuliahan.

Dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Terimakasih untuk setiap bantuan moril maupun materil, untuk setiap

dukungan, motivasi, kritikan, pengetahuan serta kebersamaan yang sudah

diberikan dan terlebih penting terimakasih atas dukungan doanya.

Terkhusus buat Jeanie Tola, terima kasih telah hadir dalam hidup penulis,

terima kasih buat setiap pengorbanan dan bantuannya selama ini kepada

penulis.

Tak satupun manusia yang tak bersalah, olehnya itu, penulis

memohon maaf karena ada begitu banyak kekurangan dalam penulisan

skripsi ini. Tuhan memberkati.

Makassar, 10 November 2016

Penulis

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... ii

ABSTRAK ................................................................................................ iii

KATA PENGANTAR ................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................. vii

DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah........................................................................... 10

C. Tujuan dan Manfaat penulisan ........................................................ 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 13

A. Kajian Sosiologi Hukum................................................................... 13

1. Berlakunya Hukum Sebagai Kaidah ........................................... 19

2. Fungsi Hukum Dalam masyarakat ............................................. 21

a. Hukum Sebagai Alat Pengubah Masyarakat ........................ 22

b. Hukum Sebagai Sarana Pengatur Perikelakuan ................... 23

c. Hubungan antara perubahan-perubahan

sosial dengan hukum ............................................................ 25

B. Efektivitas Hukum ............................................................................ 27

C. Undang-Undang Desa ..................................................................... 33

a. Latar Belakang Pembentukan Undang-Undang Desa ............... 33

b. Asas Pengaturan........................................................................ 39

x
c. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat ........................................42

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 47

A. Lokasi Penelitian ............................................................................. 47

B. Jenis dan Sumber Data ................................................................... 47

C. Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 48

D. Analisis Data ................................................................................... 48

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 49

A. Penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang

Desa di Desa Bojo ........................................................................... 49

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Masyarakat Desa Tidak

Berpartisipasi Dalam Kegiatan di Desa Bojo .................................. 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 64

A. Kesimpulan ................................................................................... 64

B. Saran............................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 67

xi
DAFTAR TABEL

Table 1 : Jenis Kegiatan dan Tingkat Partisipasi Mayarakat

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Desa merupakan entitas penting dalam Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI). Keberadaan desa telah ada sejak sebelum NKRI

diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.Desa dimasa lampau—menyitir

Rosyidi Ranggawidjaya merupakan komunitas sosial dan merupakan

pemerintahan asli bangsa Indonesia yang keberadaannya telah ada jauh

sebelum Indonesia berdiri. Bahkan terbentuknya Indonesia mulai dari

pedesaan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia

adalah pedesaan. Jika dibandingkan jumlah kota dan desa,

perbandingannya akan lebih besar jumlah desa dibanding kota. Jumlah

Ibu Kota Provinsi, Kotamadya, dan Kabupaten, sekitar 500 kota. Jumlah

desa pada tahun 2015 adalah 74.093 desa. 1

Namun sekian lama, desa-desa terlupakan dan belum mendapat

perhatian langsung dari pemerintah. Desa sebelumnya selalu dipandang

sebagai obyek pembangunan yang mengandalkan tetesan sisa anggaran

pembangunan perkotaan. Dampaknya desa menjadi daerah tertinggal dan

minim pembangunan.

Selama enam dekade sejak 1945, Republik Indonesia tidak

memiliki regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan berkelanjutan.

1
Moch Mushofa ihsan, 2015, Ketahanan Masyarakat Desa, Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, Jakarta Pusat Hlm. 1

1
Perdebatan akademik yang tidak selesai, tarik menarik politik yang keras,

kepentingan ekonomi politik yang menghambat, dan hasrat proyek

birokrasi merupakan rangkaian penyebabnya. Perdebatan yang

berlangsung di sepanjang hayat selalu berkutat pada dua hal.

Pertama, debat tentang hakekat,makna dan visi negara atas desa.

Sederet masalah konkret (kemiskinan, ketertinggalan, keterbelakangan,

ketergantungan) yang melekat pada desa, senantiasa menghadirkan

pertanyaan: desa mau dibawa kemana? Apa manfaat desa yang hakiki

jika desa hanya menjadi tempat bermukim dan hanya unit administratif

yang disuruh mengeluarkan berbagai surat keterangan?

Kedua, debat politik-hukum tentang frasa kesatuan masyarakat

hukum adat dalam UUD 1945 Pasal 18 B ayat (2) serta kedudukan desa

dalam tata negara Republik Indonesia. Satu pihak mengatakan bahwa

desa bukanlah kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan sebagai

struktur pemerintahan yang paling bawah. Pihak lain mengatakan

berbeda, bahwa yang disebut kesatuan masyarakat hukum adat adalah

desa atau sebutan lain seperti nagari, gampong, marga, kampung, negeri

dan lain-lain. Mereka semua telah ada jauh sebelum NKRI lahir. Debat

yang lain mempertanyakan status dan bentuk desa. Apakah desa

merupakan pemerintahan atau organisasi masyarakat? Apakah desa

merupakan pemerintahan local(local self government) atau masyarakat

yang berpemerintahan (self governing community)? Prof. Sadu Wasistiono

mengatakan konsep pemerintahan desa sebenarnya keliru, yang hanya

2
menjadikan desa sebagai pemerintahan semu (shadow government).

Bahkan Dr. Hanif Nurcholish mengatakan: pemerintahan desa dalam

sistem birokrasi pemerintah Indonesia merupakan “unit pemerintahan

palsu” Dua Undang-undang yang lahir di era reformasi, yakni UU No.

22/1999 dan UU No. 32/2004, ternyata tidak mampu menjawab

pertanyaan tentang hekakat, makna, visi, dan kedudukan desa. Meskipun

frasa “kesatuan masyarakat hukum” dan adat melekat pada defnisi desa,

serta mengedepankan asas keragaman, tetapi cita rasa “pemerintahan

desa” yang diwariskan oleh UU No. 5/1979 masih sangat dominan.

Karena itu para pemikir dan pegiat desa di berbagai kota terus-menerus

melakukan kajian, diskusi, publikasi, dan advokasi terhadap otonomi desa

serta mendorong kelahiran UU Desa yang jauh lebih baik, kokoh dan

berkelanjutan 2

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Dalam bab I

mengenai ketentuan umum pasal 4 menjelaskan tentang Pengaturan

Desa bertujuan:

a. Memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah

ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya

Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2
Sutoro Eko , 2015, Regulasi baru, Desa baru, ide, misi dan semangat Undang-Undang
Desa,Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia,
Jakarta Pusat, Hlm 12

3
b. Memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa

dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi

mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

c. Melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat

Desa;

d. Mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa

untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan

bersama;

e. Membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan

efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

f. Meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna

mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

g. Meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna

mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan

sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;

h. Memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi

kesenjangan pembangunan nasional; dan

i. Memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan

Sistem demokrasi juga menekankan pentingnya partisipasi

masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang akuntabel,

transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Partisipasi

memberikan ruang dan akses bagi masyarakat untuk memenuhi

kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa

4
lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian

masyarakat. Dengan demikian, partisipasi itu tidak hanya keterlibatan

masyarakat dalam pemilihan Kepala Desa dan pemilu saja, tetapi

partisipasi itu merupakan keterlibatan masyarakat secara aktif dalam

pembangunan dan pemerintahan desa. Sebagaimana dijelaskan oleh Eko

bahwa partisipasi itu merupakan jembatan penghubung antara negara dan

masyarakat agar pengelolaan barang-barang publik membuahkan

kesejahteraan.3

Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

menegaskan Desa bukan lagi pemerintah bagian local (local state

government) tapi Desa sebagai pemerintahan masyarakat, hybrid antara

masyarakat yang berpemerintahn (self governing community) dan local

self government. UU Desa memberi kesan adanya “Desa Baru”, baru

dalam pengertian regulasi yang baru, kedudukan Desa, serta pola

pengelolaan Desa yang baru. Desa dalam perspektif UU sebelumnya

merupakan “Desa Lama”.4

Paradigma atau cara pandang yang dibangun antara Desa Lama

dengan Desa Baru juga berbeda. Desa lama mengunakan asas atau

prinsip Desentralisasi-residualitas, artinya Desa hanya menerima delegasi

kewenangan dan urusan Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota. Desa

3
Moch. Solekhan,2014 , Penyelenggaraan pemerintahan Desa berbasis Partisipasi Masyarakat,
Setara Press, Malang hlm. 9
4
Mochammad Zaini Mustakim, 2015, Kepemimpinan Desa, Jakarta Pusat: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. Hlm. 9.

5
hanya menerima sisa tanggung jawab termasuk anggaran dari urusan

yang berkaiatan dengan pengaturan Desanya. Sementara, Desa baru

yang diusung oleh UU Desa hadir dengan asas atau prinsip umum

Rekognisi-subsidiaritas. Rekognisi merupakan pengakuan dan

penghormatan terhadap Desa, sesuai dengan semangat UUD 1945 Pasal

18 B ayat 2 yang memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Makna

subsidiaritas menurut Sutoro Eko memiliki tiga makna antara lain;

Pertama, subsidiaritas adalah lokalisasi penggunaan kewenangan dan

pengambilan keputusan tentang kepentingan masyarakat setempat

kepada Desa. Kedua, negara bukan menyerahkan kewenangan seperti

asas desentralisasi, melainkan menetapkan kewenangan lokal berskala

Desa menjadi kewenangan Desa melalui undang-undang. Ketiga,

pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap

kewenangan lokal Desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi

terhadap Desa. Pemerintah mendorong, memberikan kepercayaan dan

mendukung prakarsa dan tindakan Desa dalam mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat.5

Desa yang kuat, maju, mandiri, dan demokratis adalah sebuah

tatanan pemerintahan lokal yang ditopang oleh adanya partisipasi

masyarakat yang aktif dalam dinamika hidup berdesa. Warga desa yang

aktif dalam berpartisipasi akan mampu melibatkan dirinya pada tata

5
Ibid, hlm. 10

6
pemerintahan desa yang demokratis khususnya dalam musyawarah desa

dan penyusunan produk hukum di desa. Dengan demikian, penguatan

Desa mensyaratkan adanya pemberdayaan masyarakat sebagai upaya

meningkatkan kemampuan masyarakat itu sendiri dalam mengatasi

masalah dan mengelola sumberdaya di lingkungannya. 6

Dasar pemikiran pemberdayaan masyarakat adalah pengedepanan

kemampuan masyarakat desa untuk mengelola secara mandiri urusan

komunitasnya. Sekali lagi ditegaskan disini bahwa UU Desa

menempatkan kesepakatan bersama seluruh warga desa sebagai

pedoman bagi Pemerintah Desa dalam mengelola kewenangannya untuk

mengurus dan mengatur Desa. 7

Desa yang kuat ditopang oleh partisipasi yang sejati yaitu adanya

tata pemerintahan yang memungkinkan warga Desa memperoleh kontrol

yang lebih besar atas situasi yang bisa mempengaruhi kehidupannya.

Pemberdayaan masyarakat memprioritaskan partisipasi masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan sekaligus mengembangkan kontrol

publik atas implementasi dari keputusan-keputusan publik. Dengan

demikian, dalam pemberdayaan masyarakat ditekankan adanya

keutamaan politik. Politik dalam rangka pemberdayaan masyarakat ini

merupakan transformasi politik ke dalam tindakan nyata, khususnya

demokrasi hadir dalam hidup sehari-hari. Melalui penerapan demokrasi

6
Moch Mushofa ihsan, Opcit, Hlm. 8.
7
Ibid, Hlm 9

7
musyawarah mufakat setiap warga desa berkesempatan untuk

berpartisipasi dalam pembangunan sesuai konteks hidupnya masing-

masing. Dengan demikian, demokrasi memberi ruang bagi anggota

masyarakat dalam melindungi dan memperjuangkan kepentingan

mereka.8

Namun Ketika melihat keadaan sesungguhnya yang terjadi dalam

masyakat di Desa Bojo, kecamatan Budong-Budong Kabupaten Mamuju

tengah, ternyata masih banyak terjadi ketidaksesuaian antara apa yang di

harapkan (das solen) dengan apa yang terjadi didalam masyarakat desa

(das sein). Tidak semua proses pembangunan didasarkan pada aspirasi

masyarakat, serta pemberian pelayanan publik yang sebaik-baiknya tidak

terlalu dirasakan oleh masyarakat.

Hal tersebut menurut penulis disebabkan oleh berbagai faktor,

misalnya kemampuan dan pengetahuan yang terbatas dari kepala desa

dan perangkat desa, disebabkan karena perangkat Desa Bojo tidak ada

yang bergelar sarjana, kesemuanya hanya lulusan SMA/sederajat. Juga

proses sosialisasi dari Pemerintah kabupaten yang belum maksimal untuk

memberikan pemahaman kepada perangkat desa yang kemudian akan

dilanjutkan dari perangkat desa kepada masyarakat desa yang juga

tidaklah maksimal.Dalam bab I mengenai ketentuan umum pasal 4, point

D undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa menjelaskan bahwa

8
Ibid, Hlm 10

8
pengaturan desa bertujuan untuk mendorong prakarsa, gerakan, dan

partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa

guna kesejahteraan bersama.

Namun ternyata masih banyak warga masyarakat desa yang tidak

mau terlibat ataupun berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan-kegiatan

desa ataupun program pembangunan fisik maupun sumber daya manusia

yang dilakukan dalam lingkungan desa. Dalam hal musyawarah desa,

sangat sedikit warga yang ikut berpartisipasi didalamnya, biasanya yang

hadir hanya Kepala Desa beserta perangkat Desa, kepala dusun, Badan

Permusyawaratan Desa dan tokoh-tokoh masyarakat.

Secara keseluruhan warga masyarakat yang tidak memiliki

kepentingan langsung ataupun jabatan dalam pemerintahan desa merasa

tidak perlu hadir dan tidak mau mengikuti musyawarah-musyawarah yang

dilakukan di desa. Hal ini bisa didasari karena rasa kebersamaan yang

dimiliki sangat rendah, tingkat pendidikan masyarakat yang juga sangat

rendah, kesibukan karena pekerjaan, kurangnya perhatian pemerintah

yang mengakibatkan masyarakat juga merasa tidak perlu terlibat dalam

kegiatan pemerintah, dan juga karena tidak adanya keuntungan pribadi

masyarakat dalam proses pembangunan fasilitas umum.Demikian juga

dengan peran masyarakat dalam hal hak dan kewajiban, masih banyak

warga desa yang tidak mendapatkan haknya juga tidak melakukan

kewajibannya sebagai warga masyarakat desa.Jangankan berpartisipasi,

sekedar untuk mengetahui bahwa telah ada dan diberlakukannya undang-

9
undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa pun tidak diketahui, sehingga

hal ini juga menjadi persoalan kenapa masyarakat tidak melakukan hak

dan kewajibannya, serta tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

pembangunan di desa.

Permasalahan lain yang muncul adalah penduduk Desa Bojo ini

terdiri dari berbagai suku. Sehingga biasa di istilahkan dengan “Indonesia

mini”. Dengan banyaknya suku yang ada di Desa Bojo berarti juga

menunjukkan bahwa pola kebiasaan yang mereka miliki juga berbeda,

sehingga hal ini kadang menjadi polemik di dalam desa ketika terjadi

suatu persoalan atau permasalahan yang harus diselesaikan dengan cara

kekeluargaan atau kebaisaan. Sebab ketika persoalan itu melibatkan dua

suku yang berbeda, maka penanganannya pun dirasa sangat sulit.

Sedangkan aturan yang sudah berlaku dalam masyarakat masih belum

diketahui sebab pendidikan yang rendah dari masyarakat desa itu sendiri

yang juga hampir semuanya berprofesi sebagai petani.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

tentang Desa dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat di

Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju

Tengah ?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan masyarakat Desa

Bojo, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah

tidak berpartisipasi dalam kegiatan di Desa?

10
C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan penulisan ini, yaitu :

1. Untuk mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat

di Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju

Tengah.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan sehingga

masyarakat tidak berpartisipasi dalam kegiatan di Desa Bojo,

Kecamatan Budong-Budong, Kabupaten Mamuju Tengah

berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari tulisan ini,seperti:

1. Manfaat Akademik

Agar melalui tulisan ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan bagi setiap orang yang membacanya, juga

menambah semangat bagi setiap akademisi atau mahasiswa untuk

menulis dan membaca serta menjadi referensi bagi kasus-kasus

lainnya yang berkaitan dengan tulisan ini.

2. Manfaat Hukum

Agar masyarakat dan juga pemerintah paham tentang aturan yang

telah diberlakukan dalam masyarakat dan mematuhinya sesuai

dengan keinginan dari aturan yang berlaku tersebut.

3. Manfaat Sosial

11
Memberikan pemahaman kepada masyarakat Desa akan manfaat

sosial yang termuat dalam undang-undang desa yang sepenuhnya

untuk membangun masyarakat desa dari segi fisik dan juga potensi

sumber daya manusia.

12
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum menekankan kajian pada law in action, hukum

dalam kenyataannya, hukum sebagai tingkah laku manusia, yang berarti

berada di dunia sein. Sosiologi hukum menggunakan pendekatan empiris

yang bersifat deskriptip.9

Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-

praktik hukum itu terjadi, sebab-sebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh,

latar belakang dan sebagainya.Sosiologi hukum senantiasa menguji

kesahihan empiris (empirical validity) dari suatu peraturan atau pernyataan

hukum.Bagaimana kenyataan peraturan hukum itu, apakah sesuai dengan

bunyi atau teks dari peraturan itu.Sosiologi hukum tidak melakukan

penilaian terhadap hukum.Tingkah laku yang menaati hukum dan yang

menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang

setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain,

perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan

penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya.10

Kehadiran hukum di tengah-tengah masyarakat, baik itu

menyangkut soal penyusunan sistemnya, memilih konsep-konsep serta

pengertian-pengertian, menentukan subjek-subjek yang diaturnya,

maupun soal bekerjanya dengan tertib sosial yang lebih luas. Apabila

9
Achmad Ali,1998,Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Jakarta:Chandra Pratama,hlm 11
10
Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, Semarang:PT.Citra Aditya Bakti, hlm 372-374

13
dapat dipakai istilah sebab-sebab sosial, maka sebab-sebab yang

demikian itu hendak ditemukan baik dalam kekuatan-kekuatan budaya,

politik, ekonomi atau sebab-sebab sosial yang lain.

Selanjutnya yang menjadi objek utama kajian sosiologi hukum

sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali, sebagai berikut:11

1. Menurut istilah dalam mengkaji hukum sebagai Government

Social Control, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai

perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna

menegakkan ketertiban dalam suatu kehidupan masyarakat.

Hukum dipandang sebagai rujukan yang akan digunakan oleh

pemerintah dalam hal melakukan pengendalian terhadap

perilaku warga masyarakat.

2. Persoalan pengendalian social tersebut oleh sosiologi hukum

dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi yaitu proses dalam

pembentukan masyarakat, sebagai makhluk sosial yang

menyadari eksistensi sebagai kaidah social yang ada dalam

masyarakatnya, yang meliputi kaidah moral, agama, dan kaidah

sosial lainnya. Dengan kesadaran tersebut diharapkan warga

masyarakat menaatinya, berkaitan dengan itu maka tampaklah

bahwa sosiologi hukum, cenderung memandang sosialisasi

sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi pra kondisi

11
Achmad Ali, op. Cit, hlm 19-32.

14
sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan

secara efektif.

3. Objek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratafikasi.

Stratafikasi sebagai objek yang membahas sosiologi hukum

bukanlah stratifikasi hukum seperti yang dikemukakan oleh Hans

Kelsen dengan teori grundnormnya,melainkan stratifikasi yang

dikemukakan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini

dapat dibahas bagaimana dampak adanya stratifikasi sosial

terhadap hukum dan pelaksana hukum.

4. Objek utama lain dari kajian sosiologi hukum ialah pembahasan

tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum

dan perubahan masyarakat serta hukum timbal balik diantara

keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi

hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat

dapat direkayasa, dalam arti direncanakan terlebih dahulu oleh

pemerintah dengan menggunakan perangkat hukum sebagai

alatnya.12

Bedasarkan fenomena yang telah diuraikan di atas maka lahirlah

konsep law as a tool of social engineering yang berarti bahwa hukum

sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum

sebagai alat rekayasa sosial.Oleh karena itu, dalam upaya menggunakan

hukum sebagai alatrekayasa social diupayakan pengoptimalan efektifitas

12
Ibid

15
hukum pun menjadi salah satu topik bahasan sosiologi hukum.13Jadi

fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of

social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool

of sosial engineering.Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat

rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan Negara.Apabila kajian

sosiologi hukum tentang bagaimana fungsi hukum, sebagai alat

pengendalian sosial lebih banyak mengacu pada konsep-konsep

antropologis, sebaliknya kajian sosiologi hukum tentang fungsi hukum

sebagai alat rekayasa sosial lebih banyak mengacu pada konsep ilmu

politik dan pemerintah.

Sosiologi hukum adalah kajian ilmiah tentang kehidupan sosial.

Salah satu misi sosiologi adalah memprediksi dan menjelaskan sebagai

fenomena hukum, antara lain bagaimana kasus memasuki sistem hukum,

dan bagaimana penyelesaiannya. Sosiologi hukum menggunakan fakta-

fakta tentang lingkungan sosial dimana hukum itu berlaku.Kajian ini

bekerja untuk menemukan prinsip-prinsip sosial yang mengatur

bagaimana hukum bekerja secara konkrit di dalam praktik. Sekalipun

demikian, sosiologi hukum tidak memberikan penilaian terhadap fakta-

fakta hukum yang ada akan tetapi menjelaskan bagaimana fakta-fakta

hukum itu sesungguhnya terjadi dan apa penyebabnya. 14

13
Ibid hlm 98-103.
14
Fuady Munir, 2007, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan dan
Masyarakat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.199 dan 414

16
Selanjutnya dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, bahwa kegunaan

sosiologi hukum di dalam kenyataannya adalah sebagai berikut:15

1. Sosiologi hukum berguna untuk memberikan kemampuan-

kemampuan bagi pemahaman terhadap hukum dalam konteks

sosial.

2. Penguasaan konsep-konsep sosiologi hukum dapat memberikan

kemampuan-kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap

efektivitas hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana

pengendalian sosial,sarana mengubah masyarakat, dan sarana

untuk mengatur interaksi sosial agar mencapai keadaan-keadaan

sosial tertentu.

3. Sosiologi hukum memberikan kemungkinan-kemungkinan serta

kemampuan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas

hukum dalam masyarakat.

Kegunaan-kegunaan umum tersebut, secara terinci dapat dijabarkan

sebagai berikut:

1. Pada taraf organisasi dalam masyarakat:

a. Sosiologi hukum dapat mengungkapkan ideologi dan falsafah

yang mempengaruhi perencanaan, pembentukan dan

penegakan hukum.

b. Dapat diidentifikasikan unsur-unsur kebudayaan manakah yang

mempengaruhi isi atau substansi hukum.

15
Soerjono Soekanto, 2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,hlm.26.

17
c. Lembaga-lembaga manakah yang sangat berpengaruh di dalam

pembentukan hukum dan penegakannya.

2. Pada taraf golongan dalam masyarakat

a. Pengungkapan dari golongan-golongan manakah yang sangat

menentukan dalam pembentukan dan penerapan hukum.

b. Golongan-golongan manakah dalam masyarakat yang

beruntung atau sebaliknya malahan dirugikan dengan adanya

hukum-hukum tertentu.

c. Kesadaran hukum daripada golongan-golongan tertentu dalam

masyarakat.

3. Pada taraf individual:

a. Identifikasi terhadap unsur-unsur hukum yang dapat mengubah

perikelakuan warga masyarakat.

b. Kekuatan, kemampuan, dan kesungguhan hati dari para

penegak hukum dalam melaksanakan fungsinya

c. Kepatuhan dari warga masyarakat terhadap hukum, baik yang

berwujud kaidah-kaidah yang menyangkut kewajiban-kewajiban

hak, maupun perilaku yang teratur.16

Selanjutnya, berbicara mengenai hubungan hukum dengan

masyarakat, maka perlu diketahui terlebih dahulu apa fungsi, tujuan dan

bagaimana hukum itu sendiri dapat berlaku dalam masyarakat. Selain

16
ibid

18
daripada itu perlu juga diketahu bagaimana perubahan-perubahan sosial

kemasyarakatan akibat hukum itu sendiri, dipandang dari berbagai

perspektif, yaitu, hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan

hukum, hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat, dan hukum

sebagai sarana pengatur masyarakat.17

1. Berlakunya Hukum sebagai Kaidah

Berfungsinya hukum dalam masyarakat biasanya pikiran diarahkan

pada kenyataan apakah hukum (misalnya UU atau peraturan

daerah) tersebut benar-benar berlaku atau tidak.18

Dalam teori hukum tentang berlakunya hukum sebagai kaidah

didasarkan pada tiga anggapan, Yaitu:

1) Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila ketentuannya

didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi( Hans Kelsen), atau

bila dibentuk menurut cara yang telah ditetapkan (W.Zeven

Bargent) atau apabila menunjukkan hubungan keharusan

antara suatu kondisi dan akibatnya (J.H.A. Logemann).

2) Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah

tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun

tidak diterima oleh masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah

tadi berlaku karena diterima atau diakui oleh masyarakat(teori

pengakuan).

17
Ibid 113
18
Acmad Ruslan,Teori dan panduan praktik pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia Rangkang Education,Yogyakarta,hlm 76

19
3) Kaidah hukum berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan

cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Dengan

demikian, agar peraturan hukum itu berfungsi, maka suatu

kaidah hukum harus memenuhi tiga unsur tersebut

diatas.Adapun sebabnya antara lain:

(1) Bila suatu kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka

kemungkinan besar kaidah tersebut merupakan kaidah

mati(Dode Regel).

(2) Kalau hanya berlaku sosiologis (Dalam teori kekuasaan),

maka kaidah tersebut menjadi aturan memaksa

(dwangmatregel).

(3) Apabila hanya berlaku secara filosofis, maka mungkin kaidah

hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan

(ius constituendum)

Namun menurut Achmad Ruslan, keberlakuan kaidah hukum itu

sebagai instrumen untuk mewujudkan cita-cita bangsa sebagai tujuan

politik bangsa/negara. Maka kaidah hukum selain ia berlaku secara

filosofis, sosiologis dan yuridis juga secara politis. Dimensi keberlakuan

kaidah hukum yang disebut terakhir (politis) menjadi tolak ukur dapat

tercapainya cita-cita bangsa /negara. Dengan demikian, secara teoritis,

terdapat empat dasar keberlakuan kaidah hukum, yaitu dasar keberlakuan

filosofis,sosiologis, yuridis dan politis.

20
2. Fungsi Hukum Dalam Masyarakat

Secara umum dapat dikatakan bahwa fungsi hukum

dalammasyarakat adalah sebagai berikut:19

1. Menetapkan hubungan antara warga masyarakat dengan

menetapkan perikelakuan mana yang diperbolehkan dan

mana yang dilarang.

2. Membuat alokasi wewenang (authority) dan menentukan

dengan seksama pihak-pihak yang secara sah dapat

melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sanksi-sanksi

yang tepat dan efektif.

3. Disposisi masalah-masalah sengketa.

4. Menyesuaikan pola-pola hubungan dengan perubahan-

perubahan kondisi kehidupan.

Perubahan hukum senantiasa dirasakan perlu dimulai sejak adanya

kesenjanganantara keadaan-keadaan, peristiwa-peristiwa, serta

hubungan-hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang

mengaturnya.Bagaimanapun kaidah tidak dapat kita lepaskan dari hal-hal

yang berubah sedemikian rupa, tentu saja dituntut perubahan hukum

untuk menyesuaikan diri agar hukum masih efektif dalam

pengaturannya.Persoalan penyelesaian hukum terhadap perubahan yang

terjadi dalam masyarakat adalah bagaimana hukum tertulis dalam arti

19
Soerjono Soekanto, op.cit,hlm.74.

21
perundang-undangan termasuk didalamnya peraturan daerah adalah

sifatnya statis dan kaku.

Dalam keadaan yang sangat mendesak, peraturan perundang-

undangan memang harus disesuaikan dengan perubahan masyarakat,

tetapi tidak mesti demikian sebab sebenarnya hukum tertulis atau

perundang-undangan telah mempunyai senjata ampuh untuk mengatasi

terhadap kesenjangan tersebut, kesenjangan yang dimaksud dalam hal ini

adalah dalam suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan

daerah diterapkan adanya sanksi bagi mereka yang melakukan

pelanggaran terhadap peraturan daerah tersebut.

a. Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat

Dalam arti bahwa hukum mungkin dipergunakan sebagai

suatu alat oleh agent of change. Agent of change atau pelopor

perubahan adalah seorang atau kelompok orang yang

mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu

atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor perubahan

memimpin masyarakat dalam mengubah sistem sosial dan di dalam

melaksanakan hal itu langsung tersangkut dalam tekanan-tekanan

untuk mengadakan perubahan, bahkan mungkin menyebabkan

perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan

lainnya. Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau

direncanakan, selalu berada dibawah pengendalian serta

pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk

22
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan

direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau

social planning.20

b. Hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan

Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu

sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga

masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan

sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini

adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal

sebagai softdevelopmen dimana hukum-hukum tertentu yang

dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala

semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang

menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari

pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan

(justitabelen), maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat.

Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena merupakan

suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang

dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kalau hukum merupakan sarana

yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka

prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai

sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat-

20
Ibid hlm. 122

23
hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam

penggunaan hukum sebagai sarana (untuk mengubah ataupun

mengatur perikelakuan warga masyarakat). Sebab, sarana yang

ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan

sarana-sarana apakah yang tepat untuk dipergunakan.

Suatu contoh dari uraian diatas adalah, misalnya, perihal

komunikasi hukum. kiranya sudah jelas, supaya hukum benar-benar dapat

mempengaruhi perikelakuan warga masyarakat, maka hukum tadi harus

disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat.

Adanya alat-alat komunikasi tertentu, merupakan salah satu syarat bagi

penyebaran serta pelembagaan hukum. komunikasi hukum tersebut dapat

dilakukan secara formal, yaitu melalui suatu tata cara yang

terorganisasikan dengan resmi. Disamping itu, ada juga tata cara informal

yang tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di

dalam penggunaan hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur

perikelakuan. Ini semua termasuk apa yang dinamakan difusi, yaitu

penyebaran dari unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat

yang bersangkutan. Proses difusi tersebut, antara lain, dapat dipengaruhi

oleh :21

a. Pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di

dalam hal ini hukum), mempunyai kegunaan;

21
Ibid,hlm 136

24
b. Ada tidaknya pengaruh dari unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang

mungkin merupakan pengaruh negatif ataupun positif.

c. Sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan

ditolak oleh masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi

unsur lama.

d. Kedudukan dan peranan dari mereka yang menyebarluaskan

hukum, mempengaruhi efektivitas hukum di dalam mengubah serta

mengatur perikelakuan warga-warga masyarakat.

Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan

hukum sebagai sarana pengatur atau pengubah perikelakuan. Dengan

kata lain, masalah yang bersangkut-paut dengan tata cara komunikasi

itulah yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Untuk dapat

mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan penggunaan

hukum sebagai sarana pengatur perikelakuan, maka perlu dibicarakan

perihal struktur penentuan pilihan pada manusia, sarana-sarana yang ada

untuk mengadakan social engineering melalui hukum, hubungan antara

hukum dengan perikelakuan, dan selanjutnya.

3. Hubungan antara perubahan-perubahan sosial dengan hukum

Perubahan perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu

masyarakat dapat terjadi oleh karena bermacam-macam sebab.

Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri

(sebab-sebab intern) maupun dari luar masyarakat tersebut (sebab-

sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain dapat

25
disebutkan, misalnya pertambahan penduduk atau berkurangnya

penduduk; penemuan-penemuan baru; pertentangan (conflict); atau

mungkin karena terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern

dapat mencakup sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam

fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, peperangan, dan

seterusnya. Suatu perubahan sosial lebih mudah terjadi apabila

suatu masyarakat sering mengadakan kontak dengan masyarakat

lain atau telah mempunyai sistem pendidikan yang maju. Sistem

lapisan yang terbuka, penduduk yang heterogen serta

ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang kehidupan yang

tertentu, dapat pula memperlancar terjadinya perubahan-

perubahan sosial, sudah tentu di samping faktor-faktor yang dapat

memperlancar proses perubahan-perubahan sosial, dapat juga

diketemukan faktor-faktor yang menghambatnya seperti sikap

masyarakat yang mengagung-agungkan masa lampau

(tradisionalisme), adanya kepentingan-kepentingan yang tertanam

dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap hal-hal yang

baru atau asing, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan

seterusnya. Faktor-faktor tersebut diatas sangat mempengaruhi

terjadinya perubahan-perubahan sosial beserta prosesnya.22

Saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses perubahan sosial

pada umumnya adalah lembaga kemasyarakatan di bidang pemerintahan,

22
Ibid, hlm 112

26
ekonomi, pendidikan, agama dan seterusnya. Lembaga kemasyarakatan

merupakan titik tolak namun, bergantung pada penilaian tertinggi yang

diberikan oleh masyarakat terhadap masing-masing lembaga

kemasyarakatan tersebut.

B. Efektivitas Hukum

Berbicara mengenai efektivitas hukum maka kita berbicara tentang

sebuah penilaian terhadap sistem hukum yang kompleks.Terdapat

berbagai macam komponen/faktor/unsur yang bekerja dalam sebuah

sistem hukum, komponen/faktor/unsur tersebut bekerja,saling

berhubungan dan saling mempengaruhi dalam suatu sistem hukum yang

mana ketika semua faktor bekerja dengan baik maka dapatlah dikatakan

bahwa suatu hukum bekerja secara efektif.

Lawrence M. Friedman membeberkan tiga komponen masing-

masing:

a. Struktur, keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta

aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan polisinya,

kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para

hakimnya, dan lain-lain.

b. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan

asas hukum, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis,

termasuk putusan pengadilan.

27
c. Kultur Hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan

(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan

bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena fenomena

yang berkaitan dengan hukum.23

Lebih Lanjut komponen struktur,mencakup, berbagai lembaga yang

diciptakan oleh sistem hukum tersebut untuk mendukung bekerjanya

sistem hukum, yang merupakan kerangka dari sistem itu. Seperti

pengorganisasian kelembagaan, batas-batas kewenangan maupun

koordinasi antar lembaga. Bertolak dari konsep mengenai komponen

struktur hukum ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum

itu memberikan pelayanan.

Apabila dihubungkan dengan pembentukan peraturan perundang-

undangan dan efektifitas produk hukumnya, maka kewenangan para

pembuat peraturan perundang-undangan (dalam hal ini DPR bersama

dengan Presiden di tingkat pemeritah pusat sedang DPRD bersama

Kepala daerah di tingkat daerah) harus benar-benar menggunakan

kewenangannnya secara tepat, sehingga produk hukumnya dapat efektif,

yaitu dipatuhi oleh masyarakat yang perilakunya merupakan sasaran

pengaturan. Demikian pula, aparat pelaksana sehingga produk hukum

23
Achmad Ali,2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),Kencana Prenada Media
Group,Jakarta,204

28
tersebut berkarakter akomodatif, dan dengan demikian proses tersebut

sesuai dengan struktur dari sistem hukum.24

Dalam kaitannya mengenai struktur hukum Achmad Ali juga

menambahkan dua unsur sistem hukum, dalam bukunya beliau

menambahkan dua unsur :

a. Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum.

b. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan

keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum,

utamanya kalangan petinggi hukum.25

Tak hanya itu John Baldoni dalam kata pengantar bukunya berjudul Great

communication Secrets of Great Leader mengemukakan bahwa :

“so in every real sense, leadership effectivennes, both for presidents and

for anyone in a position of authority, depends to a high degree upon good

communication skills”.26Jadi bagi baldoni, faktor kepemimpinan sangat

erat hubungannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi

yang optimal, sehingga dia mampu membangun trust atau

kepercayaan.Dalam kaitan ini menurut , Achmad Ali, Komunikasi hukum

dan sosialisasi hukum adalah subelemen dari elemen kepemimpinan

dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain, komunikasi hukum dan

sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi efektivitas

hukum.
24
Achmad Ruslan,op.cit,hlm88
25
Achmad Ali, Loc.cit,hlm.204
26
Ibid,hlm 204

29
Menurut Crosmann (Tjipta lesmana,2008: xiii)- seorang ahli

propaganda-merupakan modal utama pemimpin. Jika masyarakat

memercayai pemimpin dan penegak hukumnya, mereka biasanya akan

mendukung kebijakan-kebijakannnya. Mantan Presiden Amerika, Richard

M. Nixon, juga menekankan pentingnya mendapat kepercayaan dari

masyarakat:

“it is fundamental in politics and it is a matter of intuition-trust. If th people

trust a man, it does not matter much what he does or says.”(Eigen &

Siegel, 1993:354).27

Komponen substansi mencakup norma-norma hukum yang berupa

peraturan perundang-undangan, yang berarti bahwa komponen substansi

tersebut merupakan hasil dari sistem hukum. Substansi ini menyangkut

kaidah-kaidah yang berlaku untuk masalah-masalah tertentu, pola-pola

perilaku yang diharapkan dari pemegang peran, termasuk cara dan

proses yang harus dipenuhi untuk memperoleh pelayanan dari lembaga.

Substansi hukum ini merupakan pola yang memperlihatkan bagaimana

peraturan itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya oleh para

aparat penegak hukum.

Komponen kultur hukum sebagaimana dikemukakan oleh friedman,

bahwa the legal culture provides fuel for the motor of justice, yaitu

mencakup semua faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum

memperoleh tempatnya yang logis dalam rangka budaya milik

27
Ibid,205.

30
masyarakat. Komponen kultur hukum dapat diartikan sikap dan nilai-nilai

yang ada hubungannnya dengan hukum dan sistem hukum, yaitu sikap

dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif

kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum.28 Apabila dikaitkan

dengan pembentukan peraturan perundang-undangan dan produk

hukumnya, maka komponen ini dimaksudkan yaitu pandangan-

pandangan/ persepsi masyarakat tentang pembentukan peraturan

perundang-undangan.29

Budaya hukum sesuai dengan pendapat L.M.Friedman30 adalah

sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dengan kata lain

adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan.Ada sikap

dan pendapat mengenai hukum serta nilai-nilai dan sikap membentuk

banyak keragaman terhadap hukum.

Dalam kaitannya berlaku efektifnya hukum dengan budaya hukum

masyarakat, maka kita berbicara sejauh mana aturan hukum itu ditaati

atau tidak ditaaati untuk dapat mengatakan bahwa hukum berlaku efektif

dalam masyarakat.31oleh H.C. kelman jenis ketaatan diurai sebagai

berikut:

a. Ketaatan yang bersifat complience, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan

28
L.M Friedman, On Legal Development, (Rutgers Law Review,1969), hlm.28
29
Achmad Ruslan, op.cit, hlm 89.
30
L.M. Friedman, American Law An Introduction (Penerjemah Wisnu Basuki), (Jakarta-Indonesia:
PT. Tanusa,2001), hlm 8-9.
31
Achmad Ali,Op.cit, Hlm. 375.

31
ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus

menerus.

b. Ketaatan yang bersifat Identification, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak

lain menjadi rusak.

c. Ketaatan yang bersifat Internalization, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu

sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya32

Sedangkan menurut Selo Soemardjan, efektifitas hukum berkaitan erat

dengan faktor faktor sebagai berikut:33

1. Usaha-usaha menanamkan hukum di dalam masyarakat, yaitu

penggunaan tenaga manusia, alat-alat, organisasi dan metode

agar warga masyarakat mengetahui, menghargai, mengakui

dan mentaati hukum.

2. Reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang

berlaku. Artinya masyarakat mungkin menolak atau menentang

atau mungkin mematuhi hukum karena identification,

internalization atau kepentingan-kepentingan mereka terjamin.

3. Jangka waktu penanaman hukum yaitu panjang pendek waktu

dimana usaha-usaha menanamkan itu dilakukan dan

diharapkan memberi hasil.

32
Ibid, Hal.348.
33
Achmad Ruslan,Op.Cit,hlm 80

32
Berdasarkan ketiga hal diatas tersebut, maka efektifitas hukum

dalam masa transisi banyak sekali menyangkut para warga masyarakat

sebagai subjek atau pemegang peranan. Hukum menentukan peranan

apa yang sebaiknya dilakukan oleh para subjek hukum tadi, dan hukum

semakin efektif apabila peranan yang dijalankan oleh para subjek hukum

semakin mendekati apa yang telah ditentukan oleh hukum.

Melengkapi Uraian mengenai efektivitas hukum, penulis juga

memaparkan faktor-faktor efektivitas peraturan hukum dari Soerjono

Soekanto, menurut Soerjono Soekanto, faktor faktor yang menjadikan

peraturan itu efektif atau tidak, dapat dikembalikan kepada 4 (empat)

faktor efektifitas, yaitu:

1) Kaidah Hukum atau peraturan itu sendiri

2) Petugas yang menegakkkannya

3) Fasilitas yang diharapkan akan mendukung pelaksanaan kaidah

hukum

4) Warga Masyarakat yang terkena ruang lingkup peraturan

tersebut.34

C. Undang-Undang Desa

A. Latar belakang pembentukan undang-undang desa

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum

Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Sebagai bukti

34
Soerjono Soekanto, Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum,cet.II
(Bandung:Alumni,1979), hlm.14.

33
keberadaannya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan

bahwa “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

“Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti

desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di

Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli

dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat

istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-

daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai

daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.

Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan

keberlangsungan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan

nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding

fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan.

Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat

homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap

memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan

masyarakat hukum dan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak

tradisionalnya. Dalam kaitan susunan dan penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah, setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan Desa atau disebut dengan

nama lain dari segi pemerintahannya mengacu pada ketentuan Pasal 18

34
ayat (7) yang menegaskan bahwa “Susunan dan tata cara

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah diatur dalam undang-undang”.

Hal itu berarti bahwa Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 membuka kemungkinan adanya susunan

pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia. Melalui perubahan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dipertegas melalui

ketentuan dalam Pasal 18B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang”. Dalam sejarah pengaturan Desa, telah ditetapkan

beberapa pengaturan tentang Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1948 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang

Desa Praja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya

Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia, Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di

Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan

Desa, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

35
Daerah, dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam pelaksanaannya, pengaturan mengenai Desa tersebut

belum dapat mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat

Desa yang hingga saat ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh

tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu,

pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai

lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut

kedudukan masyarakat hukum adat, demokratisasi, keberagaman,

partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan

sehingga menimbulkan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan

masalah sosial budaya yang dapat mengganggu keutuhan Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang ini disusun dengan

semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat

hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur

dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7).

Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat

mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan

perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi

menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self

government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama

ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi

Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada dasarnya melakukan

36
tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah dalam

pelaksanaan hak asal¬usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa

Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,

pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat,

serta pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.

Desa Adat memiliki fungsi pemerintahan, keuangan Desa, pembangunan

Desa, serta mendapat fasilitasi dan pembinaan dari pemerintah

Kabupaten/Kota. Dalam posisi seperti ini, Desa dan Desa Adat mendapat

perlakuan yang sama dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Oleh

sebab itu, di masa depan Desa dan Desa Adat dapat melakukan

perubahan wajah Desa dan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan

yang efektif, pelaksanaan pembangunan yang berdaya guna, serta

pembinaan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.

Dalam status yang sama seperti itu, Desa dan Desa Adat diatur secara

tersendiri dalam Undang-Undang ini. Menteri yang menangani Desa saat

ini adalah Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal. Dalam

kedududukan ini Menteri Desa menetapkan pengaturan umum, petunjuk

teknis, dan fasilitasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan Desa,

pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan

pemberdayaan masyarakat Desa. 2. Tujuan dan Asas Pengaturan a.

Tujuan Pengaturan Pemerintah negara Republik Indonesia dibentuk untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan

37
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional telah menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang

Nasional yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya

pemerintahan negara Indonesia. Desa yang memiliki hak asal usul dan

hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilindungi

dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis

sehingga dapat menciptakan landasan yang kukuh dalam melaksanakan

pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur,

dan sejahtera. Dengan demikian, tujuan ditetapkannya pengaturan Desa

dalam Undang-Undang ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari

ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18B

ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

yaitu:

1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang

sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia;

2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa

dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi

mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;

38
3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya

masyarakat Desa;

4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa

untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan

bersama;

5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan

efektif, terbuka, serta bertanggung jawab;

6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa

guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum;

7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna

mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan

sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;

8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi

kesenjangan pembangunan nasional; dan

9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.

B. Asas Pengaturan

Asas pengaturan dalam Undang-Undang ini adalah:

1) rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;

2) subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal

dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan

masyarakat Desa;

3) keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap

sistem nilai yang berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan

39
tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara;

4) kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan

bekerja sama dengan prinsip saling menghargai antara

kelembagaan di tingkat Desa dan unsur masyarakat Desa

dalam membangun Desa;

5) kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong

untuk membangun Desa;

6) kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat Desa

sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat

Desa;

7) musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi

dengan berbagai pihak yang berkepentingan;

8) demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat Desa

dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh

masyarakat Desa atau dengan persetujuan masyarakat Desa

serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;

9) kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh

Pemerintah Desa dan masyarakat Desa untuk melakukan suatu

kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan

kemampuan sendiri;

40
10) partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;

11) kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;

12) pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan

kesejahteraan masyarakat Desa melalui penetapan kebijakan,

program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan

prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan

13) keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara

terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam

merencanakan dan melaksanakan program pembangunan

Desa.

Materi Muatan Undang-Undang ini menegaskan bahwa

penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan,

pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat berdasarkan

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Undang-Undang ini mengatur materi mengenai Asas Pengaturan,

Kedudukan dan Jenis Desa, Penataan Desa, Kewenangan Desa,

Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Hak dan Kewajiban Desa dan

Masyarakat Desa, Peraturan Desa, Keuangan Desa dan Aset Desa,

Pembangunan Desa dan Pembangunan Kawasan Perdesaan, Badan

Usaha Milik Desa, Kerja Sama Desa, Lembaga Kemasyarakatan Desa

dan Lembaga Adat Desa, serta Pembinaan dan Pengawasan. Selain itu,

41
Undang-Undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya

berlaku untuk Desa Adat sebagaimana diatur dalam Bab XII.

C. Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam rangka pembangunan

nasional

Undang-Undang Desa menjelaskan demokrasi: yaitu sistem

pengorganisasian masyarakat Desa dalam suatu sistem pemerintahan

yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan

masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin.35 Ini

menunjukkan bahwa prinsip utama pemerintahan di Desa adalah

dilakukan oleh masyarakat Desa. Penjelasan tersebut sambung dengan

definisi paling dasar dari kekuasaan demokratis yang menjadi prinsip

paling umum dan mendasar dalam setiap pemerintahan demokrasi, yaitu

kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Konsekuensi dari

prinsip umum itu adalah, (1) menolak anggapan atau klaim bahwa

kekuasaan dimiliki atau ditakdirkan untuk dijalankan oleh sebuah keluarga

beserta keturunannya, atau oleh kelompok tertentu. Konsekuensi (2)

setiap warga masyarakat berhak dan harus berpartisipasi dalam

pemerintahan, yaitu dalam pengambilan keputusan-keputusan yang

bersifat strategis. Partisipasi warga masyarakat juga dipastikan dalam

frase berikutnya, yaitu dengan persetujuan masyarakat Desa, yang berarti

masyarakat Desa bukan pihak yang pasif dalam pemerintahan.

35
Naeni Amanulloh, 2015, Demokratisasi Desa, Jakarta Pusat : Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, hlm. 16

42
Sebaliknya masyarakat Desa memiliki hak untuk setuju atau tidak setuju,

melalui mekanisme yang telah diatur dan disepakati, terhadap

penyelenggaraan Pemerintahan Desa.36

Berdasarkan paparan diatas tercatat bahwa undang-undang desa

tidak bisa dilepaskan dari unsur partisipasi masyarakat sebagai faktor vital

berlaku efektifnya undang-undang desa di masyarakat. Bentuk partisipasi

masyarakat, apabila dilihat dari proses pembangunan suatu

proyek/program pembangunan, mulai dari gagasan sampai pada

bentuknya sebagai bangunan, maka partisipasi itu menurt ndraha dapat

dibagi menjadi dua jenis, yaitu:37

(1) Partisipasi yang dilakukan sepanjang proses atau yang biasa

dinamakan partisipasi prosesional, dan

(2) Partisipasi yang biasa dilakukan pada satu atau beberapa fase

saja, yang biasanya dinamakan partisipasi parsial.

Kemudian Gaevanta dan Valderama dalam Nierras menegaskan bahwa

partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi”... dari sekedar

kepedulian terhadap penerima derma atau kaum tersisih menuju ke suatu

kepedulian dengan pelbagai bentuk keikutsertaan warga dalam

pembuatan kebijakan dan pengambian keputusan di berbagai

gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka.”

36
Ibid, hlm. 17
37
Moch. Solekhan loc.cit. hlm 152.

43
Lebih daripada itu, partisipasi warga juga terefleksikan dalam

berbagai bentuk, Rusidi dalam siregar mengatakan ada empat dimensi

dalam berpartisipasi, yang terdiri dari:

(1) Sumbangan pemikiran (ide atau gagasan)

(2) Sumbangan materi (dana,barang, dan alat)

(3) Sumbangan tenaga (bekerja)

(4) Memanfaatkan dan melaksanakan pelayanan pembangunan

Pandanngan lain tentang bentuk-bentuk partisipasi warga

disampaikan oleh Cohen dan Uphoff dalam Ndraha yang mengatakan

bahwa bentuk-bentuk partisipasi warga dapat dibagi menjadi 4(empat)

bentuk partisipasi, terdiri dari :38

(1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan (participation in

decision making)

(2) Partisipasi dalam pelaksanaan (participation in implementation)

(3) Partisipasi dalam menerima manfaat (participation in benefit)

(4) Partisipasi dalam evaluasi (participation in evaluation)

Dengan demikian dapat ditarik suatu benang merah bahwa

partisipasi itu dapat terwujud jika struktur kelembagaan memungkinkan

warga untuk berpartisipasi dan memutuskan persoalan mereka sendiri,

dan adanya keterwakilan masyarakat secara proposional didalam setiap

38
Ibid

44
pengambilan kebijakan atas nama kepentingan bersama. Oleh karena itu,

partisipasi masyarakat harus didasarkan pada :39

(1) Pembuatan keputusan

(2) Penerapan keputusan

(3) Menikmati hasil

(4) Evaluasi hasil

Dalam konteks desa membangun,Kewenangan lokal berskala Desa

telah diatur melalui Permendes PDTT No. 1 Tahun 2015, yang

menyebutkan bahwakriteria kewenangan lokal berskala Desa meliputi:40

a. kewenangan yang mengutamakan kegiatan pelayanan dan

pemberdayaan masyarakat;

b. kewenangan yang mempunyai lingkup pengaturan dan kegiatan

hanya di dalam wilayah dan masyarakat Desa yang mempunyai

dampak internal Desa;

c. kewenangan yang berkaitan dengan kebutuhan dan kepentingan

sehari-hari masyarakat Desa;

d. kegiatan yang telah dijalankan oleh Desa atas dasar prakarsa

Desa;

e. Program kegiatan pemerintah, pemerintah provinsi, dan

pemerintah kabupaten/kota dan pihak ketiga yang telah

diserahkan dan dikelola oleh Desa; dan

39
Ibid
40
Wahyudin Kessa, 2015, Perencanaan Pembangunan Desa, Jakarta Pusat : Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, Hlm. 10

45
f. Kewenangan lokal berskala Desa yang telah diatur dalam

peraturan perundang-undangan tentang pembagian

kewenangan pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah

kabupaten/kota.

Untuk melaksanakan kewenangan lokal berskala desa tersebut,

maka Pemerintah Desa perlu menyusun perencanaan desa yang

melibatkan seluruh komponen masyarakat desa. Proses perencanaan

yang baik akan melahirkan pelaksanaan program yang baik, dan pada

gilirannya akan menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk terlbat dalam

pembangunan desa. Proses merencanakan, melaksanakan, dan

mengevaluasi sendiri kegiatan pembangunan desa merupakan wujud

nyata dari kewenangan mengatur dan mengurus pembangunan desa

yang berskala lokal desa.41

41
Ibid, hlm.11

46
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, penulis telah menetapkan suatu

tempat yang akan dijadikan sebagai studi kasus dalam melakukan

penelitian, yaitu di Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong,

Kabupaten Mamuju Tengah, Provinsi Sulawesi Barat. Desa Bojo

adalah sebuah desa transmigran yang rata-rata penduduknya

bermata pencaharian sebagai Petani, dan sebagian buruh

perkebunan serta sebagian penduduknya masih buta aksara, hal ini

dianggap oleh penulis sangat cocok dijadikan sebagai pusat lokasi

penelitian berkaitan dengan efektivitas Undang-Undang Desa.

Adapun lokasi penelitian lebih lanjut adalah sebagai berikut :

1. Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong.

2. Pemerintah Kabupaten Mamuju Tengah (Badan

Pemberdayaan Masyarakkat dan Pemerintahan Desa).

3. Kantor DPRD Kabupaten Mamuju Tengah.

B. Jenis Data dan Sumber Data

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini diperoleh

dari dua cara yaitu:

Data Primer adalah data utama, di mana penulis akan melakukan

observasi dan wawancara pada pihak yang terkait dengan permasalahan

yang akan diteliti.

47
Data Sekunder terdiri dari:Pertama, bahan hukum primer dimana

penulis akan mencari data dari sumber lain seperti dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan penelitian ini.Kedua, bahan

hukum Sekunder dimana penulis mencari data dari buku-buku, internet

dan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

C. Teknik Pengumpulan Data

a. Studi pustaka

Dalam hal ini penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan

cara studi pustaka melalui buku-buku, literatur yang menyangkut tentang

judul ini, dll.

b. Penelitian lapangan

Teknik penumpulan data melalui penelitian lapangan penulis

lakukan karena dalam judul ini menitik beratkan pada efektifitas undang-

undang yang dimana lebih banyak membahas soal tinjauan sosiologis

yang dimana penulis akan melakukan penelitian lewat wawancara dan

observasi.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh baik dari penelitian lapangan maupun dari

penelitian kepustakaan kemudian dianalisis dengan menggunakan

metode Analisis deskriptif kualitatif untuk menghasilkan kesimpulan dan

saran. Selanjutnya data tersebut ditulis secara deskriptif untuk

memberikan pemahaman yang jelas dari hasil penelitian.

48
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

di Desa Bojo

Desa Bojo adalah Desa di kabupaten Mamuju Tengah Provinsi

Sulawesi Barat dengan luas wilayah 1.715 m 2 dengan jumlah penduduk

2783 jiwa terdiri dari 548 Kepala keluarga, dari sebelas dusun dan satu

rukun tetangga, dengan Dusun Tanah Merah sebagai Ibukota Desa yang

merupakan daerah perkebunan penghasil sawit di Sulawesi barat,

sebagian besar penduduk Desa Bojo berprofesi sebagai petani

perkebunan. Desa Bojo dikenal sebagai Desa transmigran. Sehingga

terdiri dari berbagai suku, agama dan juga kebiasaan-kebiasaan. 42

Hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

diharapkan menjadi instrumen hukum yang dapat mengubah masyarakat

baik di bidang ekonomi maupun sosial masyarakat. Dikarenakan jika

dibandingkan dengan Undang-Undang Desa sebelumnya, Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 dianggap memiliki penyempurnaan dalam

berbagai hal, diantaranya di bidang anggaran yang diberikan kepada

Desa, kewenangan yang dimiliki oleh Desa, dengan beberapa

penyempurnaan tersebut semangat partisipasi masyarakat diharapkan

dapat hadir dalam rangka membangun Desa secara partisipatif dalam

suasana gotong royong berbasis kearifan lokal.

42
Data Sekretaris Desa Bojo, Abdal. Diambil pada saat wawancara tanggal 5 Oktober 2016

49
Peran partisipasi masyarakat dalam membangun Desa sangatlah

vital. Dikarenakan tanpa partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Desa akan menghasilkan capaian yang kering akan visi dan semangat

perubahan. Conyers menyebutkan terdapat tiga alasan utama mengapa

partisipasi masyarakat mempunyai arti yang sangat penting dalam

pembangunan, yaitu: 1) Partisipasi Masyarakat merupakan suatu alat

guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap

masyarakat setempat yang tanpa kehadirannya proyek pembangunan

serta proyek akan gagal, 2) Masyarakat akan lebih mempercayai program

atau proyek pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan

dan perencanaan, karena mereka akan leih mengetahui seluk beluk

proyek tersebut dan akan mempunyai rasa memiliki terhadap proyek

tertentu, dan 3) dalam perspektif demokrasi bahwa partisipasi itu

merupakan hak masyarakat untuk dapat terlibat dalam pembangunan.43

Penerapan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 di Desa

Bojo dalam hal partisipasi masyarakat dapat kita lihat dari tingkat

kehadiran masyarakat di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh

Pemerintah Desa, sebagai berikut:

43
Moch Solekhan, Loc.cit , Hlm.141

50
Tabel 1.1

Jenis Kegiatan dan Tingkat Partisipasi Masyarakat

JENIS KEGIATAN JUMLAH KEHADIRAN

Rapat Musyawarah Pembangunan Tidak dihadiri satupun warga

Desa (Musrembang) (yang hadir hanya mereka yang

memiliki jabatan dalam struktur

Pemerintahan Desa dan Dusun)

Kerja Bakti 16 orang

Pekerjaan Fisik 7 orang

(bangun jembatan)

Pekerjaan fisik 3 orang

(timbun jalanan)

Perayaan 17 Agustus Dihadiri oleh hampir semua

masyarakat, baik yang terlibat

dalam kegiatan maupun sekedar

untuk menonton

Kegiatan pelatihan dari dinas 12 orang

Pertanian Kab.Mamuju Tengah

Sumber Data: Sekretaris Desa Bojo Tahun per juni 2015-2016

. Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa tingkat partisipasi

masyarakat dalam kegiatan di Desa masih tergolong sangat rendah,

dalam beberapa kegiatan yang dilakukan tercatat bahwa hanya sedikit

masyarakat yang ikut berpartisipasi didalamnya. Pada saat rapat

51
musyawarah pembangunan desa ( Musrembang Desa), data yang penulis

peroleh menunjukkan bahwa tidak satupun warga biasa yang hadir,

kecuali mereka yang memiliki jabatan langsung dalam struktur

pemerintahan Desa. Pada saat kerja bakti di Dusun Sipatuo, yang

merupakan kegiatan Pemerintah Desa, namun yang hadir hanya 16

orang, dari total 2783 jiwa warga. Juga yang hadir hanya warga dusun

Sipatuo, warga dusun lainnya tidak satupun yang hadir. Juga dalam

kegiatan pekerjaan jembatan yang sudah rusak di Dusun Pajelele,

ternyata warga yang hadir hanya 7 orang, diluar dari Kepala Desa dan

jajarannya, padahal jembatan ini merupakan jembatan di jalan utama desa

yang menghubungkan Desa Bojo dengan desa lainnya. Juga pada saat

penimbunan jalan, warga yang hadir hanya 3 orang untuk membantu

mengerjakan pekerjaan tersebut, karena dalam pekerjaan tersebut

diharuskan adanya partisipasi masyarakat melalui swadaya tenaga

masyarakat. Pada saat pelatihan pertanian, disini juga warga yang hadir

sangat sedikit, hanya 12 orang yang hadir, padahal sebagian besar warga

desa adalah petani. Dan kegiatan perayaan 17 agustus ( HUT RI), hanya

pada kegiatan inilah banyak sekali warga yang hadir, sebagian besar

warga masyarakat hadir, baik yang terlibat dalam kegiatan maupun

sekedar untuk hadir menonton dan memberi dukungan kepada pemain

yang mengikuti kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa jika di kaji dari

tingkat partisipasi masyarakat, maka Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa tidaklah efektif dalam masyarakat Desa Bojo.

52
Penulis juga melakukan wawancara terkait partisipasi masyarakat

di Desa Bojo dengan melakukan wawancara dengan salah satu Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Mamuju Tengah dari Daerah pemilihan

(Dapil IV) Kecamatan Budong-Budong dan Pangale Kabupaten Mamuju

tengah, Alamsyah Arifin, A.Md,kep.44, beliau mengatakan “ bahwa

berdasarkan pengamatan saya, warga masyarakat di Desa Bojo secara

umum tidak mengetahui bahwa telah berlaku Undang-Undang Tentang

Desa ini, apalagi untuk mengetahui isi dan tujuan dari Undang-Undang

tersebut, jika dipresentasekan maka menurut saya warga yang tahu

adanya Undang Desa hanya sebesar 30% , yang pernah baca mungkin

sekitar 5%. seandainya pun mereka telah melakukan ataupun tidak

melakukan perintah dari Undang-Undang Desa tersebut, hal itu adalah

sesuatu yang berjalan apa adanya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan

yang selalu dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari”.

Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada

Kepala Badan BPMPD ( Badan Pemberdayaan masyarakat dan

Pemerintah Desa Kab. Mamuju Tengah)45, mengatakan bahwa Undang-

Undang Desanya cukup bagus, meskipun masih perlu adanya perbaikan-

perbaikan dalam hal mengenai kriteri perangkat Desa, beliau mengatakan

bahwa saat ini untuk menjadi Kepala Desa seharusnya mengggunakan

syarat harus lulusan Sarjana, agar mereka mampu menafsirkan Undang-

Undang dan menjalankannya, saat ini di Kabupaten Mamuju Tengah tidak

44
Alamsyah Arifin,A.Md,Kep. Anggota DPRD Kab. Mamuju Tengah
45
Zulkifli,S.Sos. Kepala BPMPD Kab. Mamuju Tengah, pada wawancara 31 September 2016

53
sampai 10 orang Kepala Desa yang lulusan sarjana, demikian juga di

Desa Bojo yang Kepala Desanya, bahkan seluruh aparatur Desa tidak ada

yang bergelar sarjana, bagaimana mereka bisa mengerti dan paham akan

Undang-Undang, meskipun mereka paham setelah mengikuti sosialisasi,

tapi mereka kesulitan lagi untuk menyampaikan kepada masyarakatnya,

yang juga kebanyakan petani yang tidak bersekolah. Saya melihat di Desa

Bojo bahwa dari sekian banyak hal yang diatur dalam Undang-Undang

Desa, hanya bagian anggaranlah yang dilakukan dan sedikit dipahami,

karena kalau tidak, Kepala Desa tidak bisa mencairkan dana Desanya.

Diluar daripada itu masyarakat dan Pemerintah Desa tidak menjalankan

perintah Undang-Undang sebagaimana seharusnya. Contoh, dalam hal

Musyawarah Desa (perencanaan), absen-absen rapat yang kami terima

dalam laporan pertanggung jawaban jarang sekali dihadiri oleh

masyarakat biasa, dalam hal pekerjaan membangun Desa (pelaksanaan),

kami jarang menemui masyarakat melakukan swadaya, ketika tidak ada

angggaran dan tidak diberi upah, masyarakat seolah-olah tidak mau

membantu, padahal mereka yang akan menggunakan dan menikmati

fasilitas yang dikerjakan. Dan dalam hal hal pengawasan kegiatan,

biasanya konsultan ataupun tim dari inspektorat menemukan kontraktor-

kontraktor nakal ketika melakukan pekerjaan dilapangan, namun sejauh

ini, masyarakat tidak pernah melakukan pelaporan atau mengaduh

kepada kami selaku Pemerintah kabupaten. Padahal masyarakat berhak

54
mengawasi dan melaporkan ketika ada pekerjaan yang tidak sesuai

berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Menghadapi semua persoalan itu, sesungguhnya telah ada upaya

yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait, yaitu Pemerintah Kabupaten

Mamuju Tengah, Pemerintah Desa Bojo dan juga dari Dewan Perwakilan

Rakyat daerah Kabupaten Mamuju Tengah. Alamsyah Arifin,Amd,kep

(Anggota DPRD Kab. Mamuju Tengah) mengatakan bahwa saya sudah

tiga kali melakukan kunjungan ke Desa Bojo sejak tahun 2014-sekarang

dan selalu memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk

menjalankan amanat Undang-Undang demi kemajuan Desa kita sesuai

dengan program Nasional dari Bapak Presiden, yaitu membangun

Indonesia dimulai dari Desa dengan cara ikut terlibat langsung dalam

setiap kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di Desa, terlepas dari

tersedianya anggaran atau tidak, juga kami selalu menekankan bahwa

ketika Pemerintah Desa tidak menjalankan fungsinya dengan baik dan

benar, segera untuk dilaporkan kepada BPD ( Badan Permusyawaratan

Desa), dan ketika itu tidak ditanggapi, maka Kantor DPRD Kab. Mamuju

Tengah terbuka lebar kepada masyarakat Desa Bojo untuk

menyampaikan aspirasi dan keluhan serta laporannya kepada kami. Agar

kami dapat menyampaikan kepada instansi terkait bahwa ada

pelanggaran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat di Desa. Demikian

juga dengan Pihak pemerintah Kabupaten Mamuju Tengah melalui Badan

Pemberdayaan Masyarakat Dan Pemerinah Desa Kabupaten Mamuju

55
Tengah. Kami selalu memberikan pemahaman kepada Pemerintah Desa

disetiap kesempatan ketika kita melakukan pertemuan, dengan harapan

bahwa pemahaman yang kami berikan dapat disampaikan juga kepada

masyarakat. Kata Kepala Badan BPMPD Kab. Mamuju Tengah. Meskipun

baru melakukan satu kali sosialisasi tentang Undang-Undang Desa

dengan materi proses pencairan dana Desa dan pelaporan penggunaan

dana yang sudah diterima, setidaknya langkah ini merupakan upaya yang

dilakukan pihak pemerintah secara bertahap, sebab ketika dilakukan

sosialisasi secara keseluruhan isi Undang-Undang, kami khawatir bahwa

mereka tidak dapat memahami apa yang disampaikan karena latar

belakang pendidikan yang masih rendah di tataran para Kepala Desa.

Sedangkan menurut Kepala Desa Bojo46, dalam setiap kesempatan

maupun kegiatan dia selalu mengingatkan warganya untuk ikut terlibat

dan bereperan aktif dalam kegiatan-kegiatan di Desa, namun hanya

beberapa saja yang melakukan hal tersebut, selebihnya memiliki banyak

alasan untuk tidak berperan aktif dalam kegiatan di Desa, namun ketika

kegiatan di Desa merupakan perayaan atau pertandingan, mereka relah

meninggalkan kesibukan masing-masing untuk ikut bergabung, sehingga

menurut saya bahwa mereka hanya akan berpartisipasi ketika mereka

memiliki kepentingan langsung dan juga melihat kegiatan yang dilakukan

tidak berat. Khususnya dalam hal rapat atau musyawarah Desa, sangat

jarang masyarakat yang hadir, meskipun di ajak berkali-kali tapi mereka

46
Yonathan T, Kepala Desa Bojo, Kecamatan Budong-Budong, Kab. Mamuju Tengah. Wawancara
4 Oktober 2016

56
tetap tidak mau mengikuti rapat. Kebanyakan masyarakat hanya mau

menerima hasil tanpa mau terlibat dalam kegiatan yang dilakukan,

padahal seharusnya mereka juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan di

Desa, khususnya kegiatan pembangunan desa, dalam hal perencanaan,

pelaksanaan dan pengawasan kegiatan tesebut, katanya.

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Masyarakat Desa Tidak

Berpartisipasi Dalam Kegiatan di Desa Bojo

Hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah

perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah

ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam

bidang ini adalah, apabila terjadi apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal

sebagai softdevelopment , dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk

dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan

timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-

faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum,

para pencari keadilan (justitabelen), maupun golongan-golongan lain

dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan,

karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-

tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk

mencapai tujuan-tujuan tersebut. Kalau hukum merupakan sarana yang

dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak

hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali

pengetahuan yang mantap tentang sifat-hakikat hukum, juga perlu

57
diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai

sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga

masyarakat). Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan,

sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah yang tepat untuk

dipergunakan.47

Berbicara mengenai efektivitas hukum maka kita berbicara tentang

sebuah penilaian terhadap sistem hukum yang kompleks.Terdapat

berbagai macam komponen/faktor/unsur yang bekerja dalam sebuah

sistem hukum, komponen/faktor/unsur tersebut bekerja,saling

berhubungan dan saling mempengaruhi dalam suatu sistem hukum yang

mana ketika semua faktor bekerja dengan baik maka dapatlah dikatakan

bahwa suatu hukum bekerja secara efektif.

Lawrence M. Friedman membeberkan tiga komponen masing-

masing:

a. Struktur, keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta

aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan polisinya,

kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para

hakimnya, dan lain-lain.

b. Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan

asas hukum, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis,

termasuk putusan pengadilan.

47
Soerjono Soekanto, 2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,hlm.136

58
c. Kultur Hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan

(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan

bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena fenomena

yang berkaitan dengan hukum.48

Dalam kaitannya berlaku efektifnya hukum dengan budaya hukum

masyarakat, maka kita berbicara sejauh mana aturan hukum itu ditaati

atau tidak ditaaati untuk dapat mengatakan bahwa hukum berlaku efektif

dalam masyarakat.49oleh H.C. kelman jenis ketaatan diurai sebagai

berikut:

a. Ketaatan yang bersifat complience, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, hanya karena ia takut terkena sanksi. Kelemahan

ketaatan jenis ini, karena ia membutuhkan pengawasan yang terus

menerus.

b. Ketaatan yang bersifat Identification, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, hanya karena takut hubungan baiknya dengan pihak

lain menjadi rusak.

48
Achmad Ali,2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence)
Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence),Kencana Prenada Media
Group,Jakarta,204
49
Achmad Ali,Op.cit, Hlm. 375.

59
c. Ketaatan yang bersifat Internalization, yaitu jika seseorang menaati

suatu aturan, benar-benar karena ia merasa bahwa aturan itu

sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya50

Secara Yuridis dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa menjelaskan bahwa salah satu tujuan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 hadir adalah untuk “ mendorong

prakarsa,gerakan, dan partisipasi masyaraka Desa untuk pengemangan

poensi dan aset Desa guna kesejahteraan bersama” bahkan terdapat

pula asas paritisipasi sebagai salah satu asas pengaturan Undan-Undang

Desa dengan pejelasan partisipasi yaitu turut berperan aktif dalam suatu

kegiatan .

Lebih lanjut mengenai partisipasi masyarakat Desa dapat kita lihat

dalam BAB IV mengenai HAK DAN KEWAJIBAN DESA DAN

MASYARAKAT DESA, pasal 68 Masyarakat Desa Berkewajiban :

a. Membangun diri dan memelihara lingkunganDesa;

b. Mendorong terciptanya kegiatan penyelenggaraan Desa,

pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan

Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa yang baik;

c. Mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan

tenteram di Desa

50
Ibid, Hal.348.

60
d. Memelihara dang mengembangkan nilai permusyawaratan,

permufakatan, kekeluargaaan dan kegotongroyongan di Desa;

dan

e. Berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di Desa.

Berkaca pada tinjauan yuridis diatas , ternyata tidak sejalan dengan

kenyataan yang di himpun penulis dilapangan atau ketika Undang-Undang

tersebut diberlakukan di Desa Bojo , penerapan undang-Undang Desa

terhalang oleh beberapa faktor :

1. Kondisi warga Desa mayoritas petani dan sebagian jadi buruh di

perusahaan perkebunan hal ini menyebabkan kurangnya waktu-

waktu senggang bagi warga untuk turut berpartisipasi pada

program-program maupun rapat-rapat terkait pengembangan

Desa, adapun keikutsertaan beberapa warga maysyarakat

dikarenakan memiliki jabatan dalam pemerintahan desa dan

karena faktor tidak enak hati dengan kepala desa setempat.

2. Mayoritas warga masih buta aksara dan belum terlalu fasih

berbahasa Indonesia menyebabkan warga menjadi rendah diri

untuk hadir dalam kegiatan-kegiatan formal. Hal tersebut

ditegaskan oleh sekretaris Desa Bojo Abdal “ biasa undangan

kertas tidak dibaca oleh warga, makanya saya sering

melakukan penyampaian secara langsung ketika ada kegiatan-

kegiatan di Desa” beliau menambahkan, “pernah ada kegiatan

semacam sosialisasi pertanian tapi warga yang ikut kurang aktif

61
bertanya karena banyak yang tidak paham bahasa Indonesia

yang disampaikan oleh fasilitator pemerintah daerah “.

3. Kurangnya sosialisasi tentang keberadaan Undang-Undang

Desa dinilai juga ikut mempengaruhi efektifitas Undang-Undang

Desa. Kondisi masyarakat yang terbiasa menunggu bola (pasif)

sehingga informasi mengenai keberadaan Undang-Undang

Desa di Desa Bojo tidak diketahui oleh masyarakat.

4. Kurangnya rasa kebersamaan yan dimiliki oleh warga antar

dusun, biasanya kalau dilakukan kerja bakti atau kegiatan

lainnya di dusun yang lain, maka warga dusun tetangga tidak

ada yang hadir untuk membantu.

5. Warga yang Merasa tidak ada kepentingan langsung ataupun

keuntungan pribadi yang dapat diperoleh dari kegiatan

membangun desa, sehingga mereka jarang berpartisipasi dalam

kegiatan di Desa.

Secara umum dalam kenyataanya faktor penghambat tercapainya

tujuan Undang-Undang Desa di Desa Bojo adalah faktor budaya perilaku

masyarakat yang telah terbiasa pasif serta kondisi ekonomi yang

mengharuskan masyarakat Desa Bojo untuk lebih memilih melakukan

pekerjaan mereka daripada berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan Desa.

serta rendahnya Sumber Daya Masyarakat dalam hal Baca tulis dan

keterampilan individu turut pula menjadi faktor penghambat tercapainya

62
tujuan Undang-Undang Desa serta motivasi yang dimiliki kurang baik

untuk dapat mewujudkan kebersamaan yang sesungguhnya.

Berdasar atas teori efektivitas dan derajat ketaatan kepada hukum,

tinjauan Yuridis serta kondisi penerapan Undang-Undang Desa dalam

kenyataannya. Penulis menarik kesimpulan bahwa Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2014 dalam hal partisipasi masyarakat belum berlaku

efektif di Desa Bojo , Kecamatan Budong-Budong Kabupaten Mamuju

Tengah, Provinsi Sulawesi Barat.

63
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa di

Desa Bojo pada dasarnya dapat dikatakan tidaklah berjalan dengan

Efektif. Penulis mengambil kesimpulan tersebut karena terlihat dari realitas

kehidupan masyarakat Desa sebagai berikut :

1. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan

yang dilaksanakan di Desa, baik itu dalam hal perencanaan

kegiatan, pelaksanaan kegiatan maupun dalam hal pengawasan

kegiatan di Desa.

2. masyarakat yang tidak mengetahui akan keberadaan dari Undang-

Undang Desa yang sudah berlaku didalam kehidupan masyarakat

Desa.

3. Masyarakat tidak paham akan isi Undang-Undang Desa tersebut,

baik dari segi teks maupun pelaksanaannya.

Ada beberapa hal yang menjadi faktor penghambat yang membuat

penerapan undang-undang ini tidak efektif, diantaranya adalah :

1. Proses sosialisasi terhadap masyarakat mengenai apa keseluruhan

isi, maksud dan tujuan dari undang-undang ini, serta manfaat dari

undang-undang tidak pernah disampaikan kepada masyarakat

Desa secara langsung dalam satu momentum atau kegiatan.

64
2. Bahwa sifat masyarakat yang sangat pasif dalam mengikuti

kegiatan dan program di Desa mengakibatkan masyarakat Desa

tidak banyak paham akan perkembangan di dalam Desa, juga tidak

mengetahui akan undang-undang desa yang baru, sehingga hak

dan kewajibannyapun tidak dilakukan.

3. Masyarakat seolah-olah tidak mementingkan urusan atau kegiatan

yang dilakukan di Desa jika tidak memiliki kepentingan langsung

kepada pribadinya atau keluarganya, sehingga masyarakat jarang

mengikuti rapat-rapat di Desa, kerja bakti dan juga kegiatan lainnya

diluar dari kegiatan perayaan. Juga karena waktu yang dimiliki

masyarakat lebih banyak dihabiskan untuk bekerja di kebunnya

masing-masing.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan oleh penulis kepada semua pihak

terkait dalam hal penerapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

Tentang Desa di Desa Bojo agar dapat berjalan efektif adalah sebagai

berikut :

1. Bahwa perlunya dilakukan sosialisasi yang menyeluruh terhadap isi

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan secara

berkelanjutan kepada masyarakat Desa Bojo, baik dari Pemerintah

Kabupaten maupun dari Pemerintah Desa, agar masyarakat dapat

memahami apa maksud dan tujuan dari Undang-Undang tersebut,

65
apa hak dan kewajiban masyarakat dan agar mereka dapat

melakukan perintah Undang-Undang Desa tersebut.

2. Perlunya memberikan pemahaman agar masyarakat tidak pasif dan

mau bertindak aktif untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan Desa,

membangun komunikasi yang dialogis harmonis untuk memberikan

pemahaman tentang hak dan kewajiban masyarakat dan

penjelasan tentang tujuan pembangunan di Desa.

3. Perlunya dibangun rasa kebersamaan antara masyarakat dan

Pemerintah Desa, sehingga setiap kegiatan di Desa dapat

dilakukan secara bersama-sama, dan peran aktif keterlibatan

masyarakat dapat terasa melalui kegiatan kebersamaan (rapat-

rapat dan musyawarah Desa, kerja bakti, dan kegiatan

pembangunan lainnya) dan perlunya pemahaman akan hak dan

kewajiban masyarakat agar berperan aktif dalam kegiatan di Desa

tanpa melihat kepentingan pribadi masyarakat, namun untuk

kepentingan bersama demi kamajuan Desa.

66
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Ali,Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,Jakarta:Chandra


Pratama, 1998.

---------------- Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan


(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence),Kencana Prenada Media Group,Jakarta,2010.

Acmad Ruslan,Teori dan panduan praktik pembentukan peraturan


perundang-undangan di Indonesia Rangkang Education,
Yogyakarta.

Fuady Munir, Sosiologi Hukum Kontemporer, Interaksi Hukum, Kekuasaan


dan Masyarakat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007
.
L.M Friedman, On Legal Development, (Rutgers Law Review,1969).

------------------ American Law An Introduction (Penerjemah Wisnu Basuki),


(Jakarta-Indonesia: PT. Tanusa,2001).

Moch Mushofa ihsan, Ketahanan Masyarakat Desa, Jakarta Pusat,


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015

Moch. Solekhan, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Berbasis


Partisipasi Masyarakat, edisi revisi, cetakan pertama, Malang :
Setara Press, 2014.

Mochammad Zaini Mustakim, Kepemimpinan Desa, Jakarta Pusat:


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015.

Naeni Amanulloh, Demokratisasi Desa, Jakarta Pusat : Kementerian


Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik
Indonesia, 2015.

Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, Semarang:PT.Citra Aditya Bakti, 2014.

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali


Pers, 2012.

------------------------- Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan


Hukum,cet.II (Bandung:Alumni,1979).

67
Suparto Wijoyo, Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi, Surabaya :
Airlangga University Press, 2006

Sutoro Eko, Regulasi baru, Desa baru, ide, misi dan semangat Undang-
Undang Desa, Jakarta Pusat, Kementrian Desa Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015

Wahyuddin Kessa, Perencanaan Pembanguna Desa, Jakarta Pusat :


Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015

Sumber lain :

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Kemendes.go.id

68

Anda mungkin juga menyukai