Anda di halaman 1dari 12

Fatwa-Fatwa Seputar Khitbah dalam Kitab Fatawa Nisa’ Karangan

Syekh Ali Jum’ah dari Mesir


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas studi hukum perkawinan perbandingan

Oleh:

Radifa Isnain Nafila

(220201210017)

Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah


Program Magister
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
2023
Fatwa-Fatwa Seputar Khitbah dalam Kitab Fatawa Nisa’ Karangan
Syekh Ali Jum’ah dari Mesir
Radifa Isnain Nafila, Ahmad Izzuddin
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang
radifaisnain2@gmail.com, azharzudin@syariah.uin-malang.ac.id

Abstrak

Fatwa adalah berbagai pendapat ulama tentang permasalahan yang dialami


masyarakat, masalah ini biasanya dipertanyakan memalui badan yang menanganinya
yaitu MUI (Majlis Ulama Indonesia) jika berada di Indonesia atau Darul Ifta jika
berada di Mesir. Sebelum terjadi akad pernikahan biasanya seseorang akan
melakukan khitbah atau meminang. Permasalahan kontemporer khitbah terdapat pada
kitab Fatawa Nisa’ karangan Syekh Ali Jum’ah dari Mesir. Penelitian ini
menggunakan penelitian kajian kepustakaan, sumber penelitian ini ialah sumber
primer dan sumber sekunder, sumber primer yaitu buku fatawa nisa’ karangan Syekh
Ali Jum’ah, sumber sekunder yaitu artikel yang berkaitan dengan tema ini, dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan analisis diskriptif, tujuan penelitian ini ialah
untuk menjelaskan fatwa-fatwa seputar khitbah dalam kitab fatawa nisa’ karangan
Syekh Ali Jum’ah dari Mesir. Hasil penelitian: (1)Fatwa tentang menutupi aib dalam
khitbah, (2) Fatwa apakah diperbolehkan melihat rambut perempuan yang dikhitbah,
(3) Fatwa tentang khitbah dalam masa iddah, (4) Fatwa pembatalan khitbah sebab
tidak mampu memberikan keturunan.

Kata kunci: Fatwa, Khitbah, Syekh Ali Jum’ah

1. PENDAHULUAN

Fatwa adalah berbagai pendapat ulama tentang permasalahan yang dialami


masyarakat, masalah ini biasanya dipertanyakan memalui badan yang menanganinya
yaitu MUI (Majlis Ulama Indonesia) jika berada di Indonesia atau Darul Ifta jika
berada di Mesir. Sebelum terjadi akad pernikahan biasanya seseorang akan
melakukan khitbah atau meminang. Permasalahan kontemporer khitbah terdapat pada
kitab Fatawa Nisa’ karangan Syekh Ali Jum’ah dari Mesir.
Terdapat banyak penelitian mengenai khitbah artikel Hamdi tentang ta’aruf
dan khitbah sebelum perkawinan1. Artikel Darussalam tentang Peminangan dalam
Islam (Perspektif Hadis Nabi SAW)2. Artikel Sitiris tentang Stipulation of Right in
the Practice of Nikah Al-Khitbah According to the Fuqaha’ and the Islamic Family
Law in Malaysia (Penetapan Syarat di dalam amalan Nikah Khitbah menurut Fuqaha’
dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia)3.

Artikel Ismail tentang Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam 4. Artikel


Amin mengenai Studi Komparatif Empat Madzhab Fiqih tentang Hukum Putus
Khitbah5. Artikel Abdullah berjudul Nikah Khitbah : An Alternative To Resolve The
Illegitimate Child Births Issues6. Artikel Rabiu mengenai Islamic Principles on
Khitbah and Courtship Versus The Effect of Sosial Media on Muslim Marriages in
Northern Nigeria7 .

Oleh karena itu, tema ini penting untuk diangkat yaitu membahas fatwa-fatwa
yang berkaitan dengan khitbah. Apa saja kondisi yang dapat terjadi ketika khitbah?
Jika kejadian itu terjadi bagaimana solusinya menurut Syekh Ali Jum’ah? Bagaimana
beliau menyikapi masalah tersebut ? Apa saja saran yang beliau berikan sebagai fatwa
beliau?

1
Isnadul Hamdi, ‘TA’ARUF DAN KHITBAH SEBELUM PERKAWINAN’, JURIS (Jurnal Ilmiah
Syariah), 16.1 (2017) <https://doi.org/10.31958/juris.v16i1.959>.
2
Andi Darussalam, ‘PEMINANGAN DALAM ISLAM (PERSPEKTIF HADIS NABI SAW)’,
Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 9.2 (2019) <https://doi.org/10.24252/tahdis.v9i2.7537>.
3
Miszairi Sitiris, Mustafa bin Mat Jubri @ Shamsuddin, and Mohd Afandi Bin Awang Hamat,
‘Stipulation of Rights in the Practice of Nikah Al-Khitbah According to the Fuqaha’ and the Islamic
Family Law in Malaysia (Penetapan Syarat Di Dalam Amalan Nikah Khitbah Menurut Fuqaha’ Dan
Undang-Undang Keluarga Islam Di Malaysia)’, Journal of Islam in Asia (E-ISSN 2289-8077), 17.1
(2020) <https://doi.org/10.31436/jia.v17i1.847>.
4
Ismail, ‘Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam’, Islamic Studies, 1.17 (2018).
5
Faris El Amin, ‘STUDI KOMPARATIF EMPAT MADZHAB FIQIH TENTANG HUKUM PUTUS
KHITBAH’, Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum, 15.1 (2021)
<https://doi.org/10.24239/blc.v15i1.699>.
6
Muhamad Mu’izz Bin Abdullah, Muhammad Saiful Adlie Bin Misnan, and Abdul Bari Bin Awang,
‘Nikah Khitbah: An Alternative To Resolve The Illegitimate Child Births Issues’, Journal of Fatwa
Management and Research |, 24.1 (2021).
7
Aliyu Alhaji Rabiu, Dahiru Inuwa Ibrahim, and Jaafar Sa’ad, ‘ISLAMIC PRINCIPLES ON
KHIṬBAH AND COURTSHIP VERSUS THE EFFECTS OF SOCIAL MEDIA ON MUSLIM
MARRIAGES IN NORTHERN NIGERIA’, Jurnal Syariah, 27.1 (2019)
<https://doi.org/10.22452/js.vol27no1.5>.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kajian kepustakaan, dengan
menggunakan pendekatan analisis diskriptif. Sumber penelitian ini yaitu sumber
primer dan sekunder berupa, primer yaitu buku fatawa nisa’, dan sekunder yaitu
artikel dan referensi tambahan yang berkaitan dengan tema ini. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui beberapa fatwa tentang khitbah dalam kitab fatawa nisa’
karangan syekh Ali Jum’ah dari mesir. Ada dua asumsi yang menjadi dasar penelitian
ini bahwa khitbah memiliki berbagai permasalahan dan kondisi. Beberapa kondisi
dalam khitbah adalah ketika perempuan yang akan dikhitbah memiliki kecatatan atau
mandul.

2. PEMBAHASAN

2.1. Fatwa tentang Menutupi Aib dalam Khitbah

Dalam kitab Fatawa Nisa’ karya Syekh Ali Jum’ah Bab ke-7 menerangkan
tentang Fatwa khitbah dan nikah, pasal pertama menjelaskan tentang hukum-hukum
khitbah, pertanyaan kedua berisi tentang menutupi aib dalam khitbah. Dalam kitab ini
ditanyakan tentang apakah hukum seorang pemudi yang beranjak dari umur dua
puluh dua tahun, Dia dilahirkan dengan sedikit kecatatan pada bagian dada, dada
kanan lebih kecil dari bagian dada kiri dan semakin nampak ketika dia beranjak
dewasa. Kemudian dokter yang ahli dalam bidangnya memberikan saran untuk
operasi agar memperbaiki bagian tubuh yang cacat tersebut.

Kemudian anak perempuan ini meminta ayahnya jika ada seseorang yang
melamarnya untuk memberitahukan apa yang pernah dia alami dan operasi yang telah
dia jalani. Kemudian ada seorang pemuda yang melamarnya, dalam pertemuan
pertama antara kedua keluarga sudah saling ridho dan cocok. Pada pertemuan
selanjutnya sang ayah memberitahukan tentang operasi yang pernah dialami putrinya,
ketika mengetahuinya pemuda yang melamar ini menolaknya. Muncul pertanyaan
apakah diwajibkan untuk memberitahukan kepada pemuda yang melamar perkara-
perkara seperti aib tersebut ? Dalam hadis Nabi diterangkan bahwa : “Barang siapa
yang curang maka mereka bukanlah dari golongan kita” Ataukah tidak diharuskan
untuk memberi tahu aib tersebut ?

Dijawab oleh Syekh Ali Jum’ah dalam kitab fatawa nisa’ bahwa jika operasi
tersebut sukses dan berjalan lancar maka tidak ada kecacatan dalam dirinya. Oleh
karena itu, tidak perlu memberitahukan tentang operasi tersebut kepada pemuda yang
sedang melamar putrinya. Hal ini tidak termasuk dalam kecurangan, karena kondisi
sakit yang dialami putrinya telah sembuh dengan operasi yang dijalaninya. Aib yang
ada pada dirinya tidak berpengaruh pada akad nikah. [1]

2.2. Fatwa apakah diperbolehkan seorang yang mengkhitbah melihat rambut


perempuan yang dikhitbah

Pertanyaan yang muncul dalam kitab fatawa nisa’ berikutnya adalah tentang
seorang laki-laki yang mengkhitbah dan ingin melihat rambut perempuan yang ia
khitbah. Perempuan ini bercerita saya seorang perempuan berhijab yang dikhitbah
dan pemuda yang mengkhitbah saya ingin melihat rambut saya, maka apakah
hukumnya ketika melihat rambut saya? Dijawab oleh Syekh Ali Jum’ah dalam
kitabnya bahwa tentang melihat rambut orang yang dikhitbah terdapat keluasan fikih
didalamnya.

Diperbolehkan menurut syariat untuk duduk bersama orang yang dikhitbah


dengan batasan terdapat keluarga yang menemani. Melihat orang yang dikhitbah
adalah haknya. Hak melihat ini bertujuan untuk menyambung hubungan diantara
keduanya dan membuka jalan kasih sayang diantara keduanya.

Maka diperbolehkan seorang pemudi berhijab untuk memperlihatkan sebagian


rambutnya atau melepas hijabnya didepan keluarga yang mengkhitbah selama
keluarga tersebut mahrom dengannya atau sesama perempuan. Hal ini diperbolehkan
secara syariat, namun para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam hal
ini, pendapat ini mempermudah segala perkara. Jika perkara ini dimaksudkan baik
untuk khitbah maka diperbolehkan, namun jika hal ini untuk mempermalukan atau
hal yang kurang baik maka dilarang. Tetapi jika Allah telah mempertemukan mereka
untuk memberi rasa sayang diantara keduanya maka diperbolehkan, Wallahu A’lam.

Kemudian muncul pertanyaan : “Bukankah rambut itu aurat?”, Kami


menjawab Jika Allah telah mempertemukan dua hati pamuda yang sedang khitbah,
maka boleh melihatnya seperti apa yang nampak pada mahrom dan dengan dibatasi
atau ditemani oleh keluarga. Dari Mughiroh sesungguhnya dia mengkhitbah seorang
perempuan, Maka Nabi Muhammad bersabda : “Lihatlah kepadanya sesungguhnya
akan menentramkan hati kalian”.

Muncul pertanyaan kembali : “Apakah melihat yang dimaksud disini adalah


melihat wajah dan kedua telapak tangan saja ?”. Kami menjawab : “ Ya, itu menurut
pendapat sebagian ahli fikih, tetapi ada beberapa ahli fikih yang memiliki pendapat
yang lebih luas tentang ini, dan memiliki ketentuan yang mudah dan tidak
mempermasalahkan jika dari kedua belah pihak bersedia. Para ulama empat mazhab
telah bersepakat bahwa wajah dan kedua telapak tangan adalah bagian yang dapat
dilihat.

Tetapi sebagian ahli fikih yang lain berdalil dengan hadis yang shohih, dari
Jabir bin Abdullah Al Anshari berkata : Saya mendengar dari Rasulullah bersabda :
“Jika salah seorang dari kalian mengkhitbah seorang perempuan maka diperbolehkan
melihat apa-apa yang membuatmu tertarik kepadanya maka lakukanlah”.
Diriwayatkan dari Jabir sesungguhnya jika kalian ingin mengkhitbah seorang
perempuan, maka diperbolehkan untuk melihat apa yang mereka inginkan, disini
yang dimaksudkan adalah tidak hanya rambut saja, pendapat ini menurut Ibn Hazm.

Pendapat sebagian yang lain menyatakan bahwa zaman sekarang amat


berbeda, yaitu zaman yang memerlukan untuk melihat kepada perempuan yang
dikhitbah. Oleh karena itu, ada pendapat yang melarang dan ada pendapat yang
memperbolehkan, maka kita ambil pendapat yang memperbolehkan. Seumpama
seorang perempuan dikhitbah oleh orang yang bisu, maka tidak akan tenang dan
sempurna ketika mereka menikah dan sebelumnya belum melihat kepada perempuan
yang dikhitbah. Fikih dalam hal ini sangatlah luas.

Maka pada zaman sekarang ini diperbolehkan mengkuti pendapat, walaupun


pendapat itu bukanlah pendapat yang diambil oleh sebagian besar ulama empat
mazhab. Ketika muncul pertanyaan mereka menjawab begini, dan ketika muncul
pertanyaan lagi mereka menjawab begitu. Oleh karena itu, kita harus paham bahwa
pesoalan ini berbeda pendapat, maka jika terdapat sebuah perbedaan pendapat kita
ambil pendapat yang memperbolehkannya. [1]

2.3. Fatwa khitbah ketika dalam masa iddah

Terdapat sebuah kejadian seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak


bain bainunah sugho. Semenjak ditalak, terdapat seorang laki-laki yang
mengkhitbahnya ketika masih dalam masa iddah. Maka apakah diperbolehkan
seorang laki-laki mengkhitbah perempuan yang sedang dalam masa iddah ataukah
tidak diperbolehkan? Serta apakah berbeda perkara jika hanya bermaksud
mengkhitbah namun tidak sampai menyempurnakan khitbahnya?

Ketetapan syariat bahwa diharakam mengkhitbah secara jelas baik itu dalam
masa iddah talak raj’i atau talak bain atau talak yang ditinggal meninggal oleh
suaminya, dan ini adalah kesepatakan para ulama. Namun, jika khitbahnya secara
ta’rid atau hanya memberikan isyarat dan sindiran saja maka diperbolehkan menurut
dalil surat al-baqarah ayat 235 yang maknanya “Dan tidak ada dosa bagimu
meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran”. Makna dari kalimat akhir
pada ayat tersebut boleh meminang secara sindiran atau isyarat dan tidak diucapkan
secara langsung atau terang-terangan.

Maksud dari kata nisa’ atau perempuan pada ayat ini adalah perempuan yang
ditalak karena ditinggal meninggal oleh suaminya, makna ini berdasarkan surat al-
baqarah ayat 234 yang maknanya “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta
meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh
hari”. Menurut pendapat Syafiiyah sindiran atau isyarat dalam khitbah perempuan
yang sedang dalam masa iddah dari talak bain maka terputus kuasa seorang suami
dengan disamakan dengan iddah perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya.
Sindiran dalam khitbah adalah menyampaikan khitbah kepada perempuan dengan
perkataan yang tidak terang-terangan dengan kalimat khitbah, namun kata-kata ini
bisa bermakna khitbah dan juga bisa bermakna lain, kecuali terdapat kata yang
menunjukkan khitbah.

Contoh kata-kata sindiran dalam khitbah InsyaAllah akan ada pengganti yang
lebih baik atau akan digantikan dengan semisal. Jika seorang laki-laki mengkhitbah
kepada perempuan yang tidak diperbolehkan untuk dikhitbah, ia akan mendapat dosa
menurut kesepakatan para ahli fikih. Dikecualikan, jika akad nikah telah terjadi dan
sah, menurut pendapat sebagian besar ulama dengan memenuhi rukun dan syarat.
Maka, keharaman khitbah tidak berdampak pada pernikahan dengan akad yang sah
dan pembatalannya karena khitbah bukanlah rukun dari pernikahan dan juga tidak
termasuk syarat sah dalam pernikahan. [1]

2.4. Fatwa pembatalan khitbah sebab tidak mampu memberikan keturunan

Terdapat pasangan yang telah berkhitbah, namun dalam perjalanannya sang


perempuan akan melakukan operasi. Kemudian dokter memberikan pesan jika
melakukan operasi maka tidak dapat hamil atau melahirkan serta tidak dapat
memberikan keturunan. Akhirnya laki-laki yang telah mengkhitbahnya ingin
mengakhiri khitbah tersebut. Muncul pertanyaan, apakah akan mendapat dosa jika
membatalkan khitbah tersebut?

Dijawab dalam kitab ini bahwa pertanyaan ini sering terulang dalam khitbah,
terdapat seorang laki-laki yang sedang mengkhitbah perempuan ia mengetahui bahwa
seseorang yang sedang dipinangnya tidak dapat memberikan keturunan atau bisa
dikatakan mandul. Kemudian kami menjawab kepadanya kamu memiliki kebebasan
apakah akan meneruskan khitbah atau tidak. Hal seperti ini tergantung pada hati sang
pelamar, jika memang mencintai, menyayangi dan ingin tetap berhubungan
selamanya diperbolehkan.

Kemudian terdapat orang lain yang bertanya kepada saya, dan berkata :
“Sesungguhnya saya telah pergi ke dokter dan bercerita padanya bahwa kami telah
menjadi sepasang suami istri namun mandul atau tidak dapat memiliki keturunan”,
Dokter menjawab : “Sesungguhnya kemungkinan kalian memiliki keturunan
diibaratkan satu dari seribu kemungkinan, atau tidak ada satu persen dan itu adalah
kemungkinan yang sangat kecil”. Mereka berdua memiliki kemampuan untuk
menjadi sepasang suami istri. Namun, para dokter mengabarkan kepada mereka
bahwa mereka tidak dapat memiliki keturunan.

Muncul pertanyaan apakah mereka wajib memberitahukan kepada calon


mempelai dengan penjelasan dokter tersebut?, Jawaban menurut fikih bahwa
sesungguhnya tidak diwajibkan untuk memberikan kabar kepada keluarga mempelai
tentang hal tersebut, karena Allah akan menciptakan segala sesuatu sesuai dengan
kehendak-Nya. Kemudian datang orang lain berkata : apakah kamu akan
memberitahukan kepada istrimu tentang hal ini?”. Lalu ia berkata : “Aku tidak
memberitahukan kepadanya”. Dikemudian hari ia menikahinya dan melahirkan
keturunan darinya, ini adalah perkataannya dua puluh lima tahun lalu dan sekarang
kondisinya sehat dan baik-baik saja, tidak terdapat sesuatu apapun.

Dalam berbagai peristiwa segala kemungkinan bisa terjadi, banyak pasangan


yang awalnya difonis tidak bisa memiliki keturunan. Namun, seiring berjalannya
waktu mereka dikaruniai keturunan. Muncul pertanyaan lain apakah termasuk curang
jika tidak memberitahukan kondisi ini kepada istri, Beliau menjawab tidak, tidak ada
kecurangan dalam hal tersebut. Jika ingin memberitahukan diperbolehkan, Namun
jika ingin tidak memberitahukan juga diperbolehkan.

Permasalahan yang lain adalah ketika seorang laki-laki yang tidak dapat
menjalankan peran suami dengan baik. Disini sang perempuan dapat memilih apakah
ingin melanjutkan atau tidak, karena pilihan ini merupakan haknya. Hak disini
amatlah penting dan harus diperjelas, jika sang suami tidak dapat menjalakan
kewajibannya hal ini dapat membatalkan akadnya. [1]

3. PENUTUP

1. Kesimpulan

Fatwa adalah berbagai pendapat ulama tentang permasalahan yang dialami


masyarakat, masalah ini biasanya dipertanyakan memalui badan yang
menanganinya yaitu MUI (Majlis Ulama Indonesia) jika berada di Indonesia atau
Darul Ifta jika berada di Mesir. Sebelum terjadi akad pernikahan biasanya
seseorang akan melakukan khitbah atau meminang. Permasalahan kontemporer
khitbah terdapat pada kitab Fatawa Nisa’ karangan Syekh Ali Jum’ah dari Mesir.

Beberapa Fatwa seputar khitbah adalah (1)Fatwa tentang menutupi aib dalam
khitbah, dengan hasil bahwa, jika aib berupa penyakit, dan penyakit tersebut telah
sembuh maka tidak perlu disampaikan aib tersebut ketika khitbah, (2)Fatwa
selanjutnya apakah diperbolehkan melihat rambut perempuan yang dikhitbah?,
terdapat beberapa pendapat, ada yang berpendapat hanya dapat melihat wajah dan
kedua telapak tangan. Namun, pendapat lain menyatakan dapat melihat rambut.
Pendapat yang diambil oleh Syekh Ali Jumah adalah boleh. Menurut beliau jika
terdapat perbedaan pendapat maka kita mengambil pendapat yang
memperbolehkan.

Fatwa selanjutnya (3)Fatwa tentang khitbah dalam masa iddah. Para ulama
bersepakat bahwa mengkhitbah seorang perempuan dalam masa iddah secara
langsung atau terang-terangan tidak diperbolekan. Namun, terdapat perbedaan
pendapat jika mengkhitbah secara isyarat atau sindiran, terdapat pendapat yang
membolehkannya. (4)Fatwa pembatalan khitbah sebab tidak mampu memberikan
keturunan. Disini kalian harus melihat kondisi dari para pasangan. Jika mereka
tidak ingin melanjutkan pernikahan maka tidaklah mengapa. Namun, jika mereka
ingin melanjutkannya walaupun tidak memiliki keturunan juga tidak apa-apa.
Beberapa kondisi mereka awalnya tidak diberi keturunan, namun seiring
berjalannya waktu mereka dikarunai keturunan.

Daftar Rujukan

Jum’ah, ali. Fatawa an-nisa., al-muqottom, 2018.

Abdullah, Muhamad Mu’izz Bin, Muhammad Saiful Adlie Bin Misnan, and Abdul
Bari Bin Awang, ‘Nikah Khitbah: An Alternative To Resolve The Illegitimate
Child Births Issues’, Journal of Fatwa Management and Research |, 24.1 (2021)

Amin, Faris El, ‘STUDI KOMPARATIF EMPAT MADZHAB FIQIH TENTANG


HUKUM PUTUS KHITBAH’, Bilancia: Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum,
15.1 (2021) <https://doi.org/10.24239/blc.v15i1.699>

Darussalam, Andi, ‘PEMINANGAN DALAM ISLAM (PERSPEKTIF HADIS NABI


SAW)’, Tahdis: Jurnal Kajian Ilmu Al-Hadis, 9.2 (2019)
<https://doi.org/10.24252/tahdis.v9i2.7537>

Hamdi, Isnadul, ‘TA’ARUF DAN KHITBAH SEBELUM PERKAWINAN’, JURIS


(Jurnal Ilmiah Syariah), 16.1 (2017) <https://doi.org/10.31958/juris.v16i1.959>

Ismail, ‘Khitbah Menurut Perspektif Hukum Islam’, Islamic Studies, 1.17 (2018)

Rabiu, Aliyu Alhaji, Dahiru Inuwa Ibrahim, and Jaafar Sa’ad, ‘ISLAMIC
PRINCIPLES ON KHIṬBAH AND COURTSHIP VERSUS THE EFFECTS OF
SOCIAL MEDIA ON MUSLIM MARRIAGES IN NORTHERN NIGERIA’,
Jurnal Syariah, 27.1 (2019) <https://doi.org/10.22452/js.vol27no1.5>

Sitiris, Miszairi, Mustafa bin Mat Jubri @ Shamsuddin, and Mohd Afandi Bin Awang
Hamat, ‘Stipulation of Rights in the Practice of Nikah Al-Khitbah According to
the Fuqaha’ and the Islamic Family Law in Malaysia (Penetapan Syarat Di
Dalam Amalan Nikah Khitbah Menurut Fuqaha’ Dan Undang-Undang Keluarga
Islam Di Malaysia)’, Journal of Islam in Asia (E-ISSN 2289-8077), 17.1 (2020)
<https://doi.org/10.31436/jia.v17i1.847>

Anda mungkin juga menyukai