Anda di halaman 1dari 20

Gustiawan (2011) mendefinisikan city branding sebagai strategi dari suatu negara

atau daerah untuk membuat positioning yang kuat di dalam benak target pasar mereka, seperti
layaknya positioning sebuah produk atau jasa, sehingga negara dan daerah tersebut dapat
dikenal secara luas di seluruh dunia. City branding dapat diartikan sebagai sebuah proses
pembentukan merek kota atau suatu daerah agar dikenal oleh target pasar (investor,
tourist, talent, event) kota tersebut dengan menggunakan ikon, slogan, eksibisi, serta
positioning yang baik, dalam berbagai bentuk media promosi.

Menurut Sugiarsono (2009) dalam membuat sebuah city branding, terdapat beberapa
kriteria yang harus dipenuhi, diantaranya:
1. Attributes:
Do they express a city’s brand character, affinity, style, and personality?
(menggambarkan sebuah karakter, daya tarik, gaya dan personalitas kota)
2. Message:
Do they tell a story in a clever, fun, and memorable way?
(menggambarkan sebuah cerita secara pintar, menyenangkan dan mudah atau selalu
diingat)
3. Differentiation:
Are they unique and original?
(unik dan berbeda dari kota-kotayang lain)
4. Ambassadorship:
Do they inspire you to visit there, live there, or learn more?
(menginsipirasi orang untuk datang dan ingin tinggal di kota tersebut)

Langkahlangkah
utama dalam membangun city branding yang kuat adalah sebagai berikut:
1. Mapping Survey; meliputi survey persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah baik
dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang mempunyai
keterkaitan dengan daerah itu.
2. Competitive Analysis; melakukan analisis daya saing baik di level makro maupun
mikro daerah itu sendiri.
3. Blueprint; penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang diinginkan, baik
logo, semboyan, ”nick names”, ”tag line”, dan lain sebagainya beserta strategi
branding dan strategi komunikasinya.
4. Implementation; pelaksanaan grand design dalam berbagai bentuk media, seperti
pembuatan media center, pembuatan events, iklan, dan lain sebagainya.

Kavaratzis (2004) mendeskripsikan 3 bentuk implementasi komunikasi dalam model


city branding, yaitu :
a. Komunikasi primer. Meliputi branding di bidang landscape, infrastruktur, organisasi
dan perilaku masyarakat.
b. Komunikasi sekunder. Meliputi kegiatan advertising, public relation, dan desain
visual
c. Komunikasi tersier. Komunikasi yang terkait dengan persepsi masyarakat, mouth to
mouth advertising, bentukan media (media trending) dan persepsi kota pesaing.
Kavaratzis, M. 2004. From city marketing to city branding: towards a theoretical framework
for developing city brands. Place Branding.
Sugiarsono, Joko. 2009. City branding Bukan Sekedar membuat Logo dan Slogan. Majalah
SWA. Jakarta.
Gustiawan, Willson. 2011. City Branding untuk Bukittinggi.
laman: http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article
&id=5228:city-branding-untuk-bukittinggi&catid=11:opini&Itemid=83

Menurut Handito (dalam sugiarsono, 2009) terdapat beberapa tujuan dalam pembentukan city
branding diantaranya adalah :23
1. Memperkenalkan kota atau daerah lebih dalam
2. Memperbaiki citra
3. Menarik wisatawan asing dan domestic
4. Menarik minat investor untuk berinvestasi
5. Meningkatkan perdagangan

23Novianti.2016.Analisis
City Brand Communication (studi pada city branding”Shining Batu”.Skripsi Ilmu
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.hlm.16

Kavaratzis mendefinisikan city btanding sebagai sarana dalam mencapai keunggulan kompetitif
dalam rangka untuk meningkatakan investasi dari bidang pariwisata dan sebagai pencapaian
pembangunan masyarakat.24 Sehingga dari definisi di atas Kavaratzis mendefinisikan city
branding sebagai sarana dalam mencapai sebuah keunggulan kompetitif daerah yang memiliki
tujuan untuk meningkatkan investasi dalam bidang pariwisata dan dalam kerangka pencapaian
peningkatan pembangunan masyarakat. Sehingga dengan adanya city branding maka
diharapkan dapat meningkatkan iklim investasi di bidang pariwisata dan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Kavaratzis berpendapat bahwa city branding pada umumnya
memfokuskan pada pengelolaan citra dari sebuah kota(city image), dimana tepatnya pada apa
dan bagaimana citra tersebut dapat dibentuk serta aspek komunikasi yang dilakukan dalam
proses pengelolaan citra.25
Kavaratzis, Michalis. 2004. From City Marketing To City Branding : Towards a Theoretical Framework
For Developing City Brands. Journal Of Place Branding Vol.1, No.1, pages 67

City Branding menurut Kavaratzis berfokus bagaimana sebuah citra kota dapat di bentuk dan di
komunikasikan. Terdapat tiga aspek/dimensi dari komunikasi dalam pembentukan city branding
yaitu komunikasi primer,sekunder dan tersier. 27
2
1. Komunikasi Primer berkaitan dengan efek komunikaif yang ditimbulkan dari semua “kegiatan"
kota, ketika komunikasi bukan merupakan tujuan utama dari aksi tersebut. Jenis komunikasi ini
dibagi menjadi 4 jenis wilayah intervensi yaitu :
a. Landscape Strategies berkaitan dengan keputusan ataupun tindakan yang berkaitan dengan
rancangan kota,arsitektur, ruang terbuka hijau dan ruang publik di kota.
b. Infrastructure Project berkaitan dengan proyek infrastuktur yang di buat dan dibangun oleh
pemerintah kota untuk meningkatkan dan memberi ciri khas sebuah kota untuk berbagai tipe
infrasturktur baik berupa meningkatkan aksebilitas baik berupa jalan, monumen maupun bandara
dan ketercukupan fasilitas yang ada baik kebudayaan maupun sarana pariwisata.
c. Organisational and Administrative Structure berkaitan dengan keefektifitasan dan kesiapan
struktur organisasi pemerintahan kota. Hal demikian merujuk pada peningkatan struktur
organisasi kota dalam kerangka branding. Yang di dalamnya ada beberapa elemen yaitu terkait
dengan jejaring komunitas, kerjasama pemerintah dengan swasta dan partisipasi masyarakat.
d. City’s Behaviour berkaitan dengan perilaku kota yang mana condong terhadap visi misi dari
pemerintahan kota dan strategi yang digunakan dan kesiapan finansial dalam sebuah kota bagi
berbagai stakholder. Yang signifikan terhadap tipe pelayanan yang disediakan oleh pemerintahan
dan bersamaan dengan efektiviras penyedia layanan tersebut dan jumlah dan jenis event dan
kegiatan (festival,kultural dll) yang dibuat.
2. Komunikasi Sekunder merupakan komunikasi formal yang biasanya sengaja dilakukan dalam
pemasarannya biasanya memanfaatkan berbagai tempat maupun event seperti pemasangan iklan
baik indoor mauoun outdoor , hubungan masyarakat maupun penggunaan logo.
3. Komunikasi Tersier merupakan komunikasi merujuk pada pemasaran dari mulut ke mulut. Hal
demikian juga merujuk pada bagaimana tanggapan masyarakat terhadap branding tersebut dan di
perkuat dengan adanya media. Komunikasi tersier ini merupakan jenis komunikasi yang sifatnya
tidak dapat di kontrol oleh pemasaran branding. Sehingga pada bagan di tunjukkan dengan garis
putus-putus. Komunikasi primer dan sekunder merupakan komunikasi yang dapat di kontrol dan
berfungsi menimbulkan tanggapan positif pada komunikasi tersier.

Analisis pembentukna city branding the heart of east java, skripsi:


City Branding bukan hanya menjadi sesuatu yang baru utamanya di Indonesia. Dimana sudah
terdapat beberapa kota di Indonesia yang menggunakan sebuah branding untuk
mempromosikan wilayahnya dan diharapkan dapat menaikkan citra dan menaikkan daya saing
suatu wilayah.

Beberapa daerah tersebut telah berhasil di dalam proses peningkatan daya saing wilayah
melalui city branding. Dimana Kabupaten Banyuwangi dapat berhasil memperoleh pendapatan
asli daerah yang cukup tinggi dari adanya branding tersebut. Keberhasilan beberapa daerah di
dalam menerapkan city branding untuk mempromosikan potensi daerah menjadi pembelajaran
tersendiri bagi wilayah-wilayah di Indonesia yang belum memiliki branding

Terdapat potensi yang berbeda-beda di masing-masing daerah. Potensi daerah tersebut dapat
memberikan dampak positif ketika potensi daerah dapat di manfaatkan dengan baik.
Pemanfaatan potensi daerah tersebut dapat dilakukan dengan pengenalan potensi yang dimiliki
masing-masing daerah. Pengenalan potensi daerah dapat dilakukan dengan menggunakan city
branding. City Branding merupakan salah satu upaya daerah dalam meningkatkan daya saing
wilayahnya melalui pembuatan merk kota yang dapat dijadikan ciri khas daerah tersebut.

15 Lita
Ayu Wandani,dkk,2014. Pengaruh City Branding “Shining Batu Terhadap City Image dan Keputusan
Berkunjung Wisatawan Ke Kota Batu Tahun 2014.Jurnal Administrasi Bisnis Universitas Brawijaya.Vol.16.No.1
November 2014. ----- cari
12 LuthfiKurniawan.2015.Proses City Branding Yogyakarta (Studi Kualitatif Pada Merek “Jogja Istimewa”).
Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie Vol.3,No.03(2015);Agustus 2015.

Menurut Riyadi terdapat terdapat dua cakupan umum dalam city branding yaitu :
Cakupan city brand meliputi ke dalam dan ke luar. Secara internal adalah untuk memunculkan
kesadaran dan rasa memiliki.Sementara keluar (eksternal) idealnya mampu membangkitkan rasa
penasaran untuk mengenal lebih jauh dari wilayah terkait. Dengan memunculkan kesadaran dari
sisi internal, janji yang di kemas dalam brand akan mendekati kenyataan dan menjadi acuan
dalam berinteraksi dengan pihak eksternal. 7
Sehingga dari dua cakupan umum dalam city branding tersebut terlihat bahwa city branding
bukan hanya sebuah slogan yang difungsikan untuk mempromosikan suatu wilayah. Namun
untuk menjadikan sebuah city branding berhasil perlu diperhatikan cakupan dari city branding
tersebut. Yang mana meliputi cakupan internal dan eksternal.
7 Riyadi.Fenomena City Branding Pada Era Otonomi Daerah. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan Vol.5 No.1, Maret
2009.hlm.4

KONSEP CITY BRANDING DAN IDENTIFIKASI NILAI LOKAL PADA


KOTA-KOTA INDONESIA DALAM MENDUKUNG NATION BRANDING
INDONESIA
Firmanda satria

penelitian ini melihat tahapan yang dilakukan sebuah kota dalam merancang city branding, yang dalam hal ini
diwakili oleh salah satu aspek city branding yaitu tagline kota dan logo kota. Dari hasil analisis menunjukkan
bahwa tahapan perancang city branding yang dilakukan kota-kota di Indonesia masih belum melalui tahapan
yang terstandar terutama dalam hal pengikutsertaan masyarakat untuk ambil bagian dalam proses
perancangan. Selain itu, tampak sudah adanya usaha pemerintah kota untuk menggunakan identitas visual
kedaerahannya namun identitas tersebut belum menguatkan nation branding Indonesia.

p. 148

City branding didefinisikan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan kompetitif yang
memungkinkan sebuah kota meningkatkan daya tarik investasi dan pariwisata, serta memperkuat
identitas lokal dan menghindari adanya eksklusivitas sosial.

Banyak kota membangun konsep branding namun menjadi tidak efektif dan efisien karena tidak
cukup mendapatkan persepsi yang positif dari masyarakat. Konsep ini bahkan tidak pula
menimbulkan pengaruh yang besar terhadap pariwisata dan tidak memberikan efek yang signifikan
dalam hal meningkatkan ekonomi masyarakat di daerahnya.

Dalam konsep place branding, suatu tempat perlu dibedakan dengan tempat yang lain melalui
identitas yang unik bila ingin diketahui keberadaanya, identitas ini perlu dipersepsikan dalam benak
konsumen sebagai tempat yang memiliki kualitas lebih unggul daripada pesaing dan terakhir adalah
dapat dikonsumsi dengan cara yang sepadan dengan tujuan dari tempat tersebut (Kasapi and Cela
2017).

p.148-149

Terdapat lima Lima moderator utama dalam membuat konsep place branding yaitu persepsi politik,
media sosial dan berita, kesadaran akan tempat, asosiasi terhadap tempat, dan pengalaman
pariwisata (Foroudi et al. 2016). Tidak hanya strategi disusun dengan melihat dari sudut pandang
tempat tersebut saja, namun juga penyusunan strategi tersebut memperhatikan pihak khalayak
sasaran yang dituju (Zenker and Braun 2017).

p.149

Aitken and Campelo (2011) mengungkapkan pentingnya masyarakat berkontribusi dalam penciptaan
sebuah city branding yang merujuk pada teori “The Four Rs”. The Four R’s terdiri dari Rights, Roles,
Relationships dan Responsibilities, dimana keempatnya saling terkait dalam menentukan place
branding.

p.150

Moilanen and Rainisto (2009) menyebutkan bahwa proses place branding terdiri dari lima tahap: (a)
start-up dan pengorganisasian, (b) tahap penelitian, (c) membentuk identitas brand, (d) membuat
dan menguatkan identitas, dan akhirnya (e) implementasi dan tindak lanjut.

Kavaratzis and Hatch (2013) memulai proses branding dimulai dengan perumusan visi untuk tempat
tersebut, yang kemudian terbuka untuk konsultasi dengan orang-orang yang bertanggung jawab
untuk branding, penduduk lokal, dan semua mitra potensial. Hal ini mengarah pada tindakan yang
relevan yang akan menyangkut satu atau lebih proyek fungsional-infrastruktur, intervensi lanskap,
dan insentif atau peluang terbuka untuk beberapa audiens mengemukakan idenya terkait city
branding dan akhirnya, semua tindakan dalam proses ini harus dikomunikasikan kepada penduduk
lokal.

Menurut Morgan et al. (2004), tahapan pembentukan branding suatu tempat merujuk pada lima
fase yaitu (1) Fase 1 : Investigasi pasar, analisis hasil investigasi dan pembuatan rekomendasi strategi
yang akan diambil, (2) Pembentukan identitas brand, (3) Peluncuran dan pengenalan brand, (4)
Implementasi brand dan terakhir (5) Pemantauan, evaluasi, dan peninjauan setelah implementasi.

p.151

Menurut Presiden, adalah penting untuk memikirkan branding negara tidak hanya sekedar logo dan
slogan namun juga perlu meningkatkan fasilitas dan infrastruktur yang mendukung kenaikan tingkat
minat wisata. Berdasarkan World Economic Forum 2016, Wonderful Indonesia berada pada
peringkat 47 dunia, mengalahkan Malaysia dan Thailand.

p.156
Selain itu, sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Aldianto menunjukkan bahwa
adanya kreativitas dan modernitas yang dominan dalam strategi city branding di Indonesia di satu
sisi memberikan efek postif terhadap perkembangan ekonomi daerah tersebut namun di sisi lain
menutupi kultur asli masyarakat, dimana strategi yang dipakai tidak secara total menyokong kultur
asli Indonesia dan cenderung tergantikan oleh kultur yang lebih modern (Aldianto et al. 2019).
Padahal, mencoba membuat desain city branding secara artifisial adalah proses yang berbahaya
karena pada dasarnya city branding tidak hanya tentang daya tarik tetapi juga tentang identifikasi
suatu lokal yang bahkan sebagai prasyaratnya (Alperytė and Išoraitė 2019).

p.156-157, simpulan

Jika melihat dari proses perancangan dan identitas visual yang digunakan dalam perancangan city
branding, maka dapat dikatakan bahwa proses perancangan city branding di Indonesia belum
memiliki tahapan yang terstandar satu sama lain. Beberapa konsep perancangan dari city branding
yang ada di Indonesia, memang mengusung nilai filosofi yang sama dan mendukung nation branding
Indonesia, namun sebagian besar tidak. Tiap-tiap kota masih mencari ramuan yang tepat dalam
perancangan city branding guna mendukung naiknya pendapatan ekonomi dan pariwisata kota
tersebut. Walaupun demikian, dalam perancangan city branding, tiap-tiap kota berusaha untuk
memaksimalkan identitas visual yang benar-benar mencerminkan nilai dan budaya masyarakatnya
sebagai usaha untuk dapat diterima oleh masyarakat kota tersebut maupun agar dapat memberikan
efek yang kuat sebagai kota dengan ciri khas yang unik sehingga lebih diingat oleh pihak luar.

Aldianto, Leo, Adi Asmariadi Budi, Grisna Anggadwita, Santi Novani, and Christina Wirawan. 2019.
"City Branding vs. Cultural Branding: Towards a Theoretical for Developing Bandung Identity."
KINERJA: Journal of Business and Economics 23 (1): 42-53.
https://ojs.uajy.ac.id/index.php/kinerja/article/view/2125.

Alperytė, Irena, and Margarita Išoraitė. 2019. "Developing a City Brand." Journal of Intercultural
Management 11 (4): 1-27. https://doi.org/10.2478/joim-2019-0022.

Kavaratzis, Mihalis, and Mary Jo Hatch. 2013. "The Dynamics of Place Brands: An Identity-Based
Approach to Place Branding Theory." Marketing Theory 13 (1): 69-86.
https://doi.org/10.1177/1470593112467268.

Moilanen, Teemu, and Seppo Rainisto. 2009. How to Brand Nations, Cities and Destinations. London:
Springer. https://link.springer.com/book/10.1057%2F9780230584594.

Morgan, Nigel, Annette Pritchard, and Roger Pride. 2004. Destination Branding: Creating the Unique
Destination Proposition. second ed.: Butterworth-Heinemann.

Zenker, Sebastian, and Erik Braun. 2017. "Questioning a “one size fits all” city brand: Developing a
branded house strategy for place brand management." Journal of Place Managem

Foroudi, Pantea, Suraksha Gupta, Philip Kitchen, M. Foroudi Mohammad, and Bang Nguyen. 2016.
"A Framework of Place Branding, Place Image, and Place Reputation: Antecedents and Moderators."
Qualitative Market Research: An International Journal 19 (2): 241-264.
https://doi.org/10.1108/QMR-02-2016-0020.
Aitken, Robert, and Adriana Campelo. 2011. "The four Rs of place branding." Journal of Marketing
Management 27 (9-10): 913-933. https://doi.org/10.1080/0267257X.2011.560718.

Kasapi, Irisi, and Ariana Cela. 2017. "Destination Branding: a Review of the City Branding Literature."
Mediterranean Journal of Social Sciences 8 (4): 129-142.
https://www.mcser.org/journal/index.php/mjss/article/view/10000.

Buku – strategi city branding


p.2

City branding merupakan sebuah slogan atau kampanye promosi, suatu


gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari
benak seseorang ketika seseorang tersebut melihat atau mendengar sebuah
nama, logo, produk layanan, event, ataupun berbagai simbol dan rancangan
yang menggambarkan sebuah kota atau wilayah
Penggunaan slogan dan logo baru sebagai salah satu komponen city
branding pada akhirnya menjadi sebuah trend dan menjadi kebutuhan
mendesak bagi sebagian besar kota di Indonesia
Fenomena city branding di Indonesia sedang menjadi tren (Riyadi,
2009). Berbagai alasan pun menjadi latar belakangnya. Seperti
meningkatkan daya saing daerah, agar lebih dikenal, mengangkat potensi
daerah, adanya keinginan tiap daerah untuk menjadi sebuah tempat tujuan
dan menambah penghasilan asli daerah. Mengkonstruksi city branding bukanlah hal yang
mudah karena
idealnya tiap daerah harus memilih potensi yang paling unik atau baru untuk
diangkat. Banyak daerah yang belum menyadari potensi unggulan
daerahnya. Beberapa daerah yang memilih potensi unggulan untuk
dikembangkan sebagai icon branding namun karena ada kemiripan dengan
potensi daerah-daerah lain membuatnya tidak cukup kuat menjadi sebuah
brand.
p.4
City branding dapat diartikan sebagai sebuah proses pembentukan
merek kota atau suatu daerah agar dikenal oleh target pasar (investo tourist,
talent, event) kota tersebut dengan menggunakan ikon, slogan, eksibisi, serta
positioning yang baik, dalam berbagai bentuk media promosi. Sebuah city
branding bukan hanya sebuah slogan atau kampanye promosi, akan tetapi
suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang
dari benak seseorang ketika seseorang tersebut melihat atau mendengar
sebuah nama, logo, produk layanan, event, ataupun berbagai simbol dan
rancangan yang menggambarkannya. Konsep city branding merupakan
tujuan dari sebuah citra yang merupakan strategi dari suatu kota untuk
membuat positioning di benak target sasaran. Bukan hanya itu, city
branding juga memasukkan ruh dari kota itu sendiri. (Putra, 2015, hlm. 15)
Menurut Gustiawan (2011) mendefinisikan city branding sebagai
strategi dari suatu negara atau daerah untuk membuat positioning yang kuat
di dalam benak target pasar mereka, seperti layaknya positioning sebuah
produk atau jasa, sehingga negara dan daerah tersebut dapat dikenal secara
luas di seluruh dunia. (http://blog.unnes.ac.id/rahinadkv/2016/04/01/peranakademisi-
dalam-kontruksi-city-branding/ Diakses pada 14 Januari 2019)
p.5
Menurut Miller dan Herington (2009), city branding adalah tentang tata
cara berkomunikasi yang tepat untuk membangun merek kota, daerah,
masyarakat yang tinggal didalamnya berdasarkan pasar entitas mereka.
Sedangkan menurut pandangan Murfianti (2010), city branding banyak
digunakan oleh kota–kota dunia dalam upaya meningkatkan atau mengubah
citra suatu tempat/wilayah/ kota, dengan menonjolkan kelebihan dan
keunikan daerah tersebut. City branding adalah tentang tata cara
berkomunikasi untuk membangun city brand, mengedepankan kelebihan
dan keunikan serta identitas lokal untuk mencapai keunggulan yang
kompetitif dan meningkatkan investasi, citra kota, kunjungan wisata dan
pembangunan masyarakat.
p.6-7
Menurut Yananda & Salamah (2014:1) menyatakan bahwa City
branding adalah perangkat pembangunan ekonomi perkotaan yang dipinjam
dari praktik-praktik pemasaran oleh para perencana dan perancang kota
beserta semua pemangku kepentingan. Sebagaimana produk, jasa dan
organisasi, kota membutuhkan citra dan reputasi yang kuat dan berbeda demi mengatasi
persaingan kota memperebutkan sumber daya ekonomi di
tingkat lokal, regional, nasional dan global. Aktivitas branding merupakan
temuan ilmu pemasaran, dan dengan sendirinya city/place branding
merupakan salah satu program dari city/place marketing (pemasaran
tempat/kota), city branding memiliki pemangku kepentingan yang lebih
kompleks daripada product/corporate branding, yang kesemuanya itu harus
mampu dan bersedia untuk berkolaborasi.
p.7
Dalam persaingan global, Kavaratzis dan Ashworth (2005) mengatakan
bahwa city branding adalah upaya untuk memposisikan kota ditengah
persaingan global yang intens sebagai tanggapan terhadap dinamika
ekonomi, politik dan sosial. Sehingga kota-kota perlu melakukan city
branding karena banyak keuntungan yang akan diperolehnya yaitu
kota/daerah dapat dikenal luas (high awareness). Untuk tujuan-tujuan
khusus (specific purposes), kota dipandang tepat untuk tempat investasi,
tujuan wisata, tujuan tempat tinggal, tempat penyelenggaraan
kegiatan/events, serta dipersepsikan sebagai tempat dengan kemakmuran
dan keamanan yang tinggi.

Eshuis dan Klijn (2012) mengatakan bahwa city branding menjadi


strategi baru dalam bidang pemerintahan dan belum diterapkan secara luas
dalam proses pemerintahan. Jika mengingat persaingan globalisasi dan
keuntungan yang diperoleh, maka city branding menjadi penting untuk
dilakukan pemerintah maupun pihak yang mempunyai kepentingan
terhadap eksistensi suatu kota agar tidak tergerus arus globalisasi. Kota
secara konsisten dapat mengkomunikasikan dan menunjukkan tujuan dari
city branding.
p.8
Suatu
tempat/kota dapat memunculkan keunikannya dan dapat tampil berbeda
dengan para kompetitornya. Keunikan tidak hanya dalam slogan saja,
namun dalam kemampuan menawarkan sesuatu yang berbeda dan
mengkristalisasi sebagai identitas yang kuat dalam benak khalayaknya.
p.8-9
City branding mengadaptasi dari corporate branding, maka city
branding dipahami sebagai jaringan asosiasi atau persepsi di dalam benak
konsumen (wisatawan, investor, dan lain sebagainya), sehingga city
branding dapat didefinisikan sebagai sebuah jaringan asosiasi di dalam
benak konsumen, yang didasarkan atas visual, verbal, serta ekspresi behavorial dari
suatu tempat, yang diwujudkan melalui tujuan, komunikasi,
nilai-nilai, dan budaya umum stakeholder, serta desain tempat/kota secara
keseluruhan (Zenker & Braun, 2011; Yananda & Salamah, 2014:62).
p.23

Gelder (2003) menyebutkan ada beberapa langkah utama dalam


membangun dan merencanakan city branding yaitu sebagai berikut:
1. Mapping Survey, langkah ini meliputi survei persepsi dan ekspektasi tentang suatu daerah,
baik dari masyarakat daerah itu sendiri maupun pihak-pihak luar yang
mempunyai keterkaitan dengan daerah itu.
2. Competitive Analysis, melakukan analisis daya saing, baik level
makro maupun mikro daerah itu sendiri.biasanya menggunakan analisis SWOT (2.1).
p.31. Blueprint (2.2) adalah penyusunan cetak biru atau grand design daerah yang
diinginkan, baik logo, semboyan, "nick names", "tag line", dan lain
sebagainya beserta strategi branding dan strategi komunikasinya.
(Wibawanto, Wandah. 2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City
Branding. Semarang: Universitas Negeri Semarang).
p.34. Kegiatan strategi branding (2.3) meliputi kegiatan menciptakan,
mengembangkan, mengimplementasikan dan mengelola brand secara terus
menerus sampai brand tersebut menjadi kuat atau bisa dikatakan dengan
istilah brand equity. Membangun brand yang kuat menurut Rangkuti (2004)
dilakukan dengan cara yaitu:
a) Memiliki positioning yang tepat.
b) Memiliki brand values yang tepat.
c) Memiliki konsep yang tepat.
Jadi, strategi branding adalah suatu manajemen brand yang bertujuan
untuk mengatur semua elemen brand dalam kaitannya dengan sikap dan
perilaku konsumen. Dapat juga diartikan sebagai suatu sistem komunikasi
yang mengatur semua kontak point dengan suatu produk atau jasa atau
organisasi itu sendiri dengan stakeholder dan secara langsung mendukung
bisnis strategi secara keseluruhan.
p.36. strategi komunikasi. (2.4)

p.37
City branding adalah strategi yang membuat suatu tempat “berbicara‟
kepada masyarakat (Yananda & Salamah). Sebuah kota tampak seperti
berkomunikasi dengan masyarakat mengenai dirinya. Maka city branding
dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah sebagai salah satu strategi komunikasi
pemerintahan dalam menyampaikan program pembangunan yang ada di
daaerahnya. Artinya dalam city branding terdapat pesan (visi, misi, tujuan
dan manfaat program pemerintah) disampaikan kepada masyarakat secara
baik dan tepat agar mencapai persamaan persepsi dan dukungan dari
pemangku kepentingan/stakeholder (masyarakat, pihak swasta, pemerintah).
Maka dapat kita tangkap substansi dari komunikasi yaitu bagaimana
identitas yang dibangun pemerintah dalam city branding dapat diterima.
Pemerintah berupaya mengkonstruksi identitasnya dan
mengkomunikasikannya kepada publiknya.
p.37-38
Upaya tersebut bukanlah hal yang mudah. Banyak daerah di Indonesia
saat ini yang membuat brand, ada yang berhasil seperti Kota Bandung
“Paris van Java” namun banyak pula yang belum berhasil. Bagi daerah yang belum berhasil
harus terus mencari dan menemukan fomula yang tepat
untuk mengkonstruksi identitasnya sedangkan yang telah berhasil pun terus
berinovasi (rebranding) demi kelanggengannya. Penting bagi pemerintah
agar mengkomunikasikan secara konsisten tentang eksistensi suatu kota dan
menunjukkan maksud dari suatu brand sebuah kota, sehingga tidak
memunculkan kebingungan masyarakat terhadap brand sebuah kota melalui
city branding.

p.38. Implementation(2.5)

Kavaratzis (2004) mendeskripsikan 3 bentuk implementasi komunikasi


dalam model city branding, yaitu :
1. Komunikasi primer. Meliputi branding di bidang landscape,
infrastruktur, organisasi dan perilaku masyarakat.
2. Komunikasi sekunder. Meliputi
kegiatan advertising, public relation, dan desain visual
3. Komunikasi tersier. Komunikasi yang terkait dengan persepsi
masyarakat, mouth to mouth advertising, bentukan media (media
trending) dan persepsi kota pesaing.
Dalam 10 tahun terakhir beberapa kota di Indonesia memiliki beberapa
variasi dalam mengimplementasikan city branding. Komunikasi primer dan
sekunder adalah yang paling umum dilakukan yaitu dengan
mengkombinasikan antara landscape, elemen branding seperti logo dan
slogan, dan diikuti dengan kegiatan periklanan (advertising).
p.39
Dalam konsep city branding, sebuah kota/daerah sedapat mungkin
dikemas untuk bisa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan target, sehingga
kerap kali sebuah kota harus mengalami transformasi demi mencapai
konsep marketing yang diinginkan. Namun di satu sisi, pertimbangan
tersebut juga berpotensi mengaburkan nilai-nilai yang seharusnya melekat
pada suatu daerah. Dengan kata lain, melalui branding yang dibangun
sebuah daerah justru bisa menalami krisis identitas.
p.40-41
Membangun branding yang tidak berdasar pada nilai-nilai yang
seharusnya menjadi pembeda suatu daerah dengan daerah lain, atau dalam
istilah komunikasi pemasaran disebut sebagai sebagai USP (Unique Selling
Preposition) menjadi salah satu faktor yang menyebabkan mengapa city branding sebuah
daerah yang sudah diupayakan oleh sebuah daerah justru
tidak memberikan efek yang positif pada suatu kota. (Wibawanto, Wandah.
2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City Branding. Semarang:
Universitas Negeri Semarang)
p.50-51
Menurut Robert Govers dan Frank M. Go (2009:2), Place branding
adalah sebuah kegiatan marketing yang mendukung sebuah nama,
simbol, logo, tanda khusus atau gambar lain yang mengidentifikasikan
sebuah tempat tujuan wisata dengan menyampaian janji pengalaman
perjalanan yang tidak terlupakan dan unik terkait dengan tujuan disebuah tempat. Sedangkan
menurut buku Kamus Brand karangan Mendiola B.
Wiryawan (2008) pengertian dari Place Branding adalah penerapan
konsep dan model branding pada suatu lokasi tertentu (bisa berupa
negara, kota, propinsi atau wilayah).

p.51
Tujuan dari Place Branding adalah memaksimalkan potensi suatu
wilayah agar terjadi peningkatan kunjungan (wisata maupun bisnis)
yang akhirnya meningkatkan devisa dan nilai ekonomi wilayah tersebut.
Place Branding memiliki kekuatan untuk merubah presepsi dan
merubah cara pandang seseorang terhadap suatu tempat tujuan
termasuk melihat perbedaan sebuah tempat dengan tempat lainnya
untuk di pilih sebagai tujuan. Pentingnya branding yang dilambangkan
dengan logo atau symbol adalah memvisualisasikan gagasan dan citacita
menjadi sebuah icon yang mampu mengimajinasikan atau
menggambarkan cita-cita tersebut.
Seperti halnya branding produk, place
branding adalah kombinasi karakteristik tempat dan nilai tambah, fungsional
dan non-fungsional
p.52
Melalui branding, sebuah kota mampu membangun ruh kota yang
dapat ditunjukkan melalui infrastruktur kota untuk menarik wisatawan.
Menurut Roll Martin (2006), sebuah kota perlu membentuk identitas yang
berbeda di benak calon turis, pebisnis, pedagang, importer, dan konsumen.
Roll Martin mendefinisikan branding kota sebagai berikut. Branding kota
merupakan jawaban karena brand adalah jalan pintas mental yang
memudahkan pengambilan keputusan yang perlu dilakukan.Branding juga
dapat memenuhi sasaran di pasar dunia melalui menarik investasi dan
pekerja yang memiliki keterampilan tinggi (skilled worker).

p.59
Salah satu upaya untuk mewujudkan dan melancarkan misi tersebut
adalah melalui pemberdayaan potensi pariwisata, budaya dan karakteristik
daerah yang ada di seluruh wilayah Negara Kesatuan.
p.62
Pemanfaatan potensi alam, budaya dari suatu daerah dapat dikemas
secara optimal melalui kegiatan kepariwisataan. Aktivitas atau kegiatan
kepariwisataan ini tentunya sangat diharapkan akan dapat menimbulkan
multiple effect atau efek ganda, yaitu:
a. Menjaga agar kelestarian potensi lokal yang dimiliki dapat terjaga
b. Meningkatkan pendapatan masyarakat, dari kegiatan
kepariwisataan tersebut. Menurut Gunn pariwisata sebagai
aktivitas ekonomi yang harus dilihat dari dua sisi yakni sisi
permintaan (demand side) dan sisi pasokan (supply side). Lebih
lanjut dia mengemukakan bahwa keberhasilan dalam
pengembangan pariwisata di suatu daerah sangat tergantung
kepada kemampuan perencana dalam mengintegrasikan kedua sisi
tersebut secara berimbang ke dalam sebuah rencana
pengembangan pariwisata.(Suradnya, 2006)

p.70. simpulan
Sebuah city branding bukan hanya sebuah slogan atau kampanye
promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran, perasaan, asosiasi dan
ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika seseorang tersebut
melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk layanan, event, ataupun
berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya.

Penerapan city brand yang tepat dapat menarik pemangku


kepentingan eksternal kota termasuk wisatawan domestik maupun asing, hal
ini dikarenakan wisatawan memandang merek merupakan pembeda satu
dengan yang lainnya sehingga akan memilih suatu tempat dengan keunikan
atau ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota lain. Tujuan lain dari city
branding untuk mendapatkan investasi guna meningkatkan pengembangan
kota baik itu dari sektor ekonomi, sosial, atau yang lainnya.

Frank, M. Go., Robert, Govers. 2009. Place Branding: Global, Virtual And
Physical Identities, Constructructed, Imagined And Experienced. New
York : Palgrave Macmillan.
Gelder, Sicco Van. 2003. Global Brand Strategy: Unlocking Brand Potential
Across Countries,
Hendra Setia Putra, Pengaruh Event Marketing terhadap City Branding
Kota Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, 2015) hal. 15.
Kavaratzis, M. 2004. From city marketing to city branding: Towards a
theoretical framework for developing city brands. Henry Stewart
Publications – Place Branding. 1(1): 58–73.

Kavaratzis, M, Ashworth GJ. 2005. City branding: an effective assertion of


identity or a transitory marketing Trick?. Tijdschrift voor
Economische en Sociale Geografie. 96(5): 506-514.
Miller, Merrilees D and Herington. 2009. Antecedents of residents city
brand attitudes. Journal of Business Research. 1(62): hal. 362
Rangkuti, Fredy. 2004. The Power of Brand. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Wibawanto, Wandah. 2015. Peran Akademisi dalam Konstruksi City
Branding. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Wiryawan, B., Mendiola. (2008). Kamus Brand. Jakarta: Red & White
Publishing.

Yananda, M. Rahmat dan Salamah, Ummi, Branding Tempat: Membangun


Kota. Jakarta: PT. Grafindo, 2014) dalam hal. 34.
Eshuis, Jasper, Klijn, Erik-Hans, & Braun, Erik. (2014). Place Marketing
And Citizen Participation: Branding As Strategy To Address The
Emotional Dimension Of Policy Making. International Review Of
Administrative Sciences, 80(1), 153-174.

Buku – Membangun Persepsi Publik melalui CB


p.1-2
Place branding diperlukan dalam place
marketing sebagai suatu upaya strategis dalam membentuk kesan positif
dari suatu tempat. “Place branding should inform place marketing and
function as a strategic compass. One needs to think about how tourism, export or
investment policy can contribute to building a strong corporate brand.“ (Anholt,
2006). Place branding sebagai langkah untuk membentuk reputasi baik.
Tentunya place branding tidak cukup hanya dengan simbol atau tagline
belaka namun juga harus diimbangi dengan produk dan pelayanan yang
baik.

p.2
Strategi penentuan place branding harus dipastikan dapat
menarik dan menunjukkan nilai lebih yang mendorong wisatawan,
investor, dan eksportir untuk mempercayakan pilihannya pada daerah
tersebut. “Positive place image in short makes it cheaper and easier for producers
to export and attract, so place marketers need to improve their respective images
and hence desire a place brand with which they often mean to argue for a
destination brand, appellation the origine or investment brand” (Govers, 2011).
p.2
City branding menekankan pada upaya mengenalkan dan
memasarkan sebuah kota untuk menjadi tempat berkunjung, berbisnis
dan berinvestasi (Merrilees, Miller, & Herington, 2010).
P.2-3
City branding mengangkat dan mengembangkan ciri khas kota sebagai nilai jual yang
tinggi, meningkatkan kesan yang menarik dari sebuah kota untuk
memperoleh sumberdaya potensial yang mampu mendorong
perkembangan kota (Hidayana, 2016).

p.3
Kriteria dasar dalam penilaian city branding yaitu (Juanim & Rahmawati, 2015):
1. Attributes yaitu mampu menggambarkan sebuah karakter, daya
tarik, gaya, dan ciri khas kota
2. Message yaitu menggambarkan pesan secara pintar dan mudah atau
selalu diingat
3. Differentiation dan ambassadorship yaitu memberikan kesan positif,
berbeda dengan kota lain dan menginspirasi orang untuk datang
dan ingin tinggal di kota tersebut

p.4
otonomi daerah memberi harapan baru bagi daerah untuk bergerak lebih leluasa
menyusun program pembangunan yang sesuai prioritas daerah termasuk
menyusun strategi melalui city branding.

p.5-6
Tahapan pengembangan brand yang lebih lengkap dengan
cakupan yang lebih luas dijelaskan pada gambar berikut:

Gambar tersebut menunjukkan bahwa city branding ditentukan


dengan menganalisis faktor-faktor internal seperti sejarah, budaya,
produk unggulan, rencana-rencana negara, harapan, keinginan, serta
mempertimbangkan pula kondisi eksternal sehingga dapat merumuskan
strategi meningkatkan reputasi, diferensiasi, dan daya tarik yang
diwujudkan dalam city branding dengan pesan, simbol, dan tagline yang
mudah di ingat dan mudah dipahami. (Rivas, 2013)

p.7
Hasil penelitian Ekklesia Hendra Pratama (2016) berjudul “Evaluasi Branding
Jogja Never Ending Asia Sebagai Strategi Memasarkan Daerah Di Era
Otonomi” menunjukkan hasil bahwa brand tersebut tidak
terimplementasi dengan baik karena sosialisasi yang tidak efektif, tidak
ada partisipasi dan koordinasi dalam proses lahir hingga implementasi
brand tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masalah komunikasi,
koordinasi, dan partisipasi memegang peran penting dalam
implementasi city branding. Masyarakat dalam suatu kota jumlahnya
lebih dominan dibandingkan jumlah aparat. Untuk keberhasilan city
branding tentunya jumlah yang lebih dominan itulah yang harus
dilibatkan. Jika upaya city branding hanya melibatkan aparat tentu saja
implementasinya tidak akan efektif.

p.7-8
Mayoritas kota-kota di Indonesia menjadikan potensi wisata
sebagai dasar pembentukan city branding. Hal ini juga dapat menjadi
masalah atau kurang efektifnya pencapaian tujuan dari branding jika
potensi wisata yang ditonjolkan dan dijadikan daya tarik dalam city
branding bisa di jumpai di kota lain atau tidak memiliki keunikan
dibandingkan tempat lain. Destinasi wisata yang unik dan menarik pun
jika tidak di dukung pelayanan yang baik juga menjadi kendala dalam
keberhasilan implementasi city branding.

Anholt, S. (2006). The Anholt-GMI City Brands Index How the World
Sees the World ’ s Cities. Place Branding, 2(1), 18–31.

Govers, R. (2011). From Place Marketing To Place Branding And Back.


Place Branding and Public Diplomacy, 7(4), 227–231.
https://doi.org/10.1057/pb.2011.28

Hidayana. (2016). Peran Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan


Pariwisata Kota mengenai City Branding dalam Menarik
Wisatawan di Kota Balikpapan. EJournal Ilmu Komunikasi, 4(3),
389–398.

Juanim, & Rahmawati, N. L. (2015). Pengaruh City Branding terhadap


Image Of Urban Destination dan Dampaknya pada Post-Visit
Behavior. Trikonomika, 14(1), 66–75.

Merrilees, B., Miller, D., & Herington, C. (2010). City Branding : A


Facilitating Framework For Stressed Satellite Cities. Journal of
Business Research, 61(November 2009), 1–15.

Pratama, E. H. (2016). Evaluasi Branding Jogja Never Ending Asia


Sebagai Srategi Memasarkan Daerah Di Era Otonomi. Jurnal Ilmu
Sosial MAHAKAM, 5(1), 1–20.
Rivas, M. (2013). Introductory Note Integrated City-Brand building :
Beyond the Marketing Approach Reporting Note On the CityLogo-
Eurocities Thematic Workshop. Connecting Cities Building Successes,
(October), 1–25.

Strategi CB humas pemerintah kota bandung sbg smart city

p.25
Menurut Simon Anholt (2006) dalam Pramiyanti (2013:5) menegaskan bahwa city branding
adalah upaya pemerintah suatu kota untuk menciptakan identitas tempat, wilayah, kemudian
mempromosikannya kepada publik, baik publik internal maupun publik eksternal. Menurut
Sugiarsono (2009) dalam Pramiyanti (2013:5) mewujudkan sebuah city branding, bagi suatu
kota terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, antara lain :
__ Attributes: Do they express a city’s brand character, affinity, style, and personality?
(Bagaimana kota tersebut menggambarkan sebuah karakter, daya tarik, gaya dan personalitas
kota).
__ Message: Do they tell a story in a clever, fun and memorable way?
(menyampaikan pesan yang dengan cara yang menarik dan mudah diingat).
__ Differentiation: Are they unique and original? (berkaitan dengan diferensiasi pesan yang
ditawarkan oleh kota tersebut apakah unik dan berbeda dari kota-kota yang lain).
__ Ambassadorship: Do they inspire you to visit there, live there, or learn more. (Menginspirasi
orang untuk datang kembali dan ingin tinggal di kota tersebut).

p.25-26
Kriteria City Branding tersebut merupakan kriteria yang harus dimiliki
oleh sebuah kota yaitu bagaimana sebuah kota harus memiliki personality
yang kuat, pengemasan pesan yang menarik, memiliki ciri khas yang menjadi
identitas, dan juga mampu menjadi daya tarik bagi orang lain untuk mengetahui
lebih banyak mengenai kota tersebut.

Pramiyanti, Alila. (2013). Strategi Word Of Mouth Communication Dalam City Branding Kota
Bandung. Prosiding. Bandung: Telkom University.

Strategi pencitraan kota (city branding) berbasis kearifan lokal

p.34
Permasalahannya, pencitraan sebuah kota sering terjebak sekedar pada aktivitas yang
sifatnya artifisial. Misal sekedar membuat jargon tetapi tidak relevan dengan
karakteristik kota atau tidak mengintegrasikan jargon tersebut dengan master plan
pembangunan kota, atau prinsip pelayanan kepada masyarakat dan sebagainya.
Padahal menurut Kavaratzis (2004: 66) penggunaan jargon, iklan, humas, dan
sejenisnya itu adalah tahapan kedua/ sekunder dari proses pencitraan kota. Tahapan
utama/ primer adalah justru pada pengelolaan ruang, perilaku, infrastruktur, dan
struktur organisasi.

Salah satu contoh kasus pencitraan kota yang tidak berhasil dapat ditemukan di kota
Bandung. Bandung sebagai kota yang dikenal sebagai Paris van Java di masa silam,
yang kemudian mencanangkan Bandung Bersih Hijau Berbunga sebagai identitas
kotanya, justru bermasalah dengan lingkungan. Penelitian Setiansah (2006) tentang
Strategi Kehumasan Pemerintah di DIY, mengungkapkan bahwa masih banyak
anggota masyarakat bahkan staf humas yang tidak memahami sepenuhnya apa
maksud jargon Jogja Never Ending Asia, dan bagaimana jargon tersebut harus
diimplementasikan dalam aktivitas pemerintahan maupun kehidupan sehari-hari.
Pencitraan Jogja sebagai Never Ending Asia kemudian diakui oleh Gubernur
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri sebagai proyek gagal (Suara
Merdeka, 10 April 2007).

Secara khusus, dalam jangka pendek, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
gambaran yang komprehensif tentang pemahaman pemerintah kota/kabupaten tentang
pencitraan kota, mendapatkan gambaran tentang strategi pencitraan kota yang
dilakukan, serta mendapatkan gambaran kesan/ citra yang dimiliki warga masyarakat
tentang kotanya.

p.35
Citra secara sederhana sering dipahami sebagai kesan, pandangan, gambaran
seseorang tentang sesuatu atau tentang orang lain. Berdasarkan sejumlah literatur
kehumasan, konsep citra memiliki beberapa kategori. Frank Jefkins (1992: 17)
menguraikan citra menjadi empat kategori. Pertama mirror image, yaitu citra yang
dibayangkan (ada dalam benak) orang dalam (diri pribadi) tentang kesan orang luar
(orang lain) terhadap dirinya atau organisasinya. Kedua, current image, merupakan
citra yang sebenarnya yang ada pada pihak luar atau pihak lain tentang diri atau
organisasi kita. Kategori citra yang ketiga, wish image, merupakan citra yang kita
inginkan bisa kita dapatkan dari orang lain. Untuk bisa mewujudkan wish image inilah
seseorang, atau organisasi kemudian melakukan strategi pencitraan, melakukan
perbaikan diri, dan sebagainya agar wish image yang diharapkan bisa menjadi current
image, citra yang diberikan oleh orang lain.

Dalam konteks pencitraan kota (City Branding), slogan dan visi kota dapat dipahami
sebagai the wish image, citra yang diharapkan dapat diwujudkan dan dimiliki oleh
kota tersebut.

p.35-36
Berdasarkan penuturan dari dua pejabat pemkab Badung ini, setidaknya dapat
disimpulkan adanya perbedaan pemahaman tentang pencitraan kota di Solo dan di
Badung. Di Kota Solo, slogan spirit of Java yang dijadikan sebagai branding
(identitas) kota dipandang hanya menjadi bagian dari tugas pokok dinas pariwisata.
Sementara di Badung, konsep tri hita karana menjadi konsep yang terintegrasi dalam
program kerja semua dinas/ SKPD.

p.36
Kavaratzis (2004: 66) menyebutkan bahwa city branding dalam konteks komunikasi
dibangun melalui tiga tahapan komunikasi, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Pada
tahapan primer (primary communication) maka citra kota sangat terkait dengan
permasalahan landscape strategies (desain, arsitektur, ruang publik, pertunjukan
seni), dengan behavior (kualitas pelayanan, peristiwa, insentif finansial, dan peluang
yang tersedia), infrastructure (aksesibilitas, fasilitas budaya dan pariwisata) serta
organizational structure (budaya internal, komunitas lokal, sinergi, dan partisipasi
warga kota).

p.38
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di dalam mewujudkan Solo sebagai The
Spirit of Java, partisipasi warga nampak belum maksimal. Upaya mewujudkan kota
Solo sebagai Jiwanya Jawa masih lebih banyak dilakukan oleh pemerintah saja,
khususnya dalam tataran simbol. Misalnya dalam penerapan desain dan arsitektur
Jawa pada bangunan-bangunan baru (revitalisasi pasar), penggunaan tulisan jawa
pada papan nama kantor, penggunaan baju beskap dan kebaya pada hari tertentu di
lingkungan pemerintah kota Solo, dan pemunculan ikon-ikon jawa dalam
pembangunan taman-taman kota, serta penyelenggaraan event-event budaya.
Namun spirit yang sama belum muncul atau dimunculkan secara maksimal dalam
kehidupan sehari-hari warga kota.

Dengan menggunakan indikator yang sama, yaitu level primer dari konsep city
branding Kavaratzis tentang landscape strategies (desain bangunan, sarana,
infrastruktur, dan partisipasi warga) maka dapat dibuat simpulan sementara bahwa
Kabupaten Badung telah memenuhi level pertama dari city branding ini. Konsep tri
hita karana tertuang secara eksplisit di dalam visi misi kota dan diterapkan di dalam
penataan ruang kota maupun bangunan.

p.41
Kavaratzis (2004: 66) menyebutkan bahwa setelah tahap primer dilalui tahap
berikutnya dalam pencitraan kota adalah tahapan sekunder (secondary
communication) ketika citra kota dibentuk melalui iklan, humas, desain grafis logo,
slogan dan sebagainya.

Di sinilah timbul bias bahwa keberhasilan Solo di dalam menarik wisatawan dan
investor ke Solo bisa jadi bukan semata-mata hasil dari upaya pencitraan (city
branding) yang dilakukan melalui pembentukan logo dan slogan Solo the Spirit of
Java melainkan karena popularitas Jokowi secara individual yang membuat orang
kemudian penasaran dan datang ke Solo. Di sinilah strategi city branding level tersier
(tertiary communication) dari Kavaratzis (2006) bahwa citra kota akan ikut dibentuk
melalui penerapan strategi word of mouth kemudian mendapat perwujudannya.

Pemahaman dan citra masyarakat tentang kotanya akan turut berpengaruh terhadap
perilaku dan partisipasi warga kota dalam mewujudkan citra kota yang diinginkan.
Slogan Solo the Spirit of Java pada umumnya sudah dipahami masyarakat sebagai
sebuah slogan untuk promosi pariwisata, namun apa maksud dari slogan itu dan
bagaimana perwujudannya, nampaknya masih belum jelas dipahami oleh
masyarakatnya sendiri.
p.42
Mencermati sejumlah pendapat di atas, Maka dapat dikatakan bahwa bagi masyarakat
warga kota Solo, slogan Solo the Spirit of Java lebih merupakan program pemerintah
atau lebih khusus lagi program Jokowi. Spirit of Java tampak seolah-olah tidak ada
hubungannya sama sekali dengan kehidupan masyarakat. Maka sangat mudah
dipahami jika masyarakat tidak memiliki semacam sense of belonging terhadap slogan
tersebut dan kemudian mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam dokumen sosialisasi identitas wilayah Subosukowonosraten, disebutkan


bahwa Solo the Spirit of Java dibuat sebagai slogan dan identitas wilayah untuk
menumbuhkan kesadaran (awareness) masyarakat terhadap kawasan
Subosukowonosraten, baik dalam skala nasional internasional, serta dapat
dimanfaatkan oleh seluruh stakeholder di wilayah ini dalam
mempromosikan wilayah Subosukawonosraten. Namun demikian, sehebat apapun
sebuah identitas wilayah (city branding) tanpa adanya dukungan dari pihak terkait
dalam mensosialisasikannya, tidak akan berarti apa-apa. Hal demikian
dapat saja terjadi pada kota Solo. Ketika branding Solo the spirit of Java hanya
dipandang sebagai program pemerintah dan atau bahkan program Jokowi, bukan tidak
mungkin pada akhirnya program tersebut hanya akan berakhir sebatas slogan saja
karena tidak betul-betul menjadi jiwa/ spirit dari masyarakatnya sebagai entitas
terbesar dalam sebuah kota.

Harapan yang berbeda muncul di Kabupaten Badung. Tri hita karana yang menjadi
visi pemerintah dan dituangkan dalam tiga misi utama, yaitu bidang parahyangan,
pawongan, dan palemahan berjalan seiring dengan kehidupan keagamaan
maupun budaya masyarakat. Masyarakat memahami tri hita karana bukan sebagai
program pemerintah atau sekedar branding bagi kotanya. Mereka memahami tri hita
karana sebagai pedoman hidup dan bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Anak-
anak Bali belajar tarian, nyanyian, gamelan, membuat bantenan, canang, penjor dan
benda-benda kerajinan dan seni bukan sekedar untuk memenuhi slogan atau program
pemerintah namun untuk kebutuhan ritual keagamaan, budaya dan kehidupan mereka
sehari-hari.

Ketika masyarakat sudah menjadikan konsep tri hita karana sebagai ruh dalam
kehidupan mereka sehari-hari, Kabupaten Badung tidak lagi memerlukan tahapan city
branding yang kedua, yaitu menjadikan tri hita karana sebagai program komunikasi,
melalui desain grafis, logo dan bentuk-bentuk simbolik lainnya. Citra Kabupaten
Badung sebagai kota yang memiliki keharmonisan di antara tiga unsur kehidupan
yaitu dalam hubungan manusia dengan tuhan (parahyangan), hubungan manusia
dengan manusia (pawongan) dan hubungan manusia dengan alam (palemahan) akan
terbentuk dengan sendirinya.

Jefkins, Frank. 1992. Public Relations. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga

Kavaratzis, Mihalis. 2004. “From City Marketing to City Branding: Towards a


Theoritical Framework for Developing City Brands”. Place Branding. Vol. 1, No. 1

Anda mungkin juga menyukai