Anda di halaman 1dari 3

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Brandingnya sebuah kota dapat dikatakan sebagai strategi dari suatu negara
atau daerah untuk membuat positioning yang kuat didalam benak target pasar
mereka, seperti layaknya positioning sebuah produk atau jasa, sehingga negara dan
daerah tersebut dapat dikenal secara luas diseluruh dunia.Berdasarkan definisi city
branding di atas, City branding dapat diartikan sebagai sebuah proses pembentukan
merek kota atau suatu daerah agar dikenal oleh target pasar (investor, tourist, talent,
event) kota tersebut dengan menggunakan ikon, slogan, eksibisi, serta positioning
yang baik, dalam berbagai bentuk media promosi. Sebuah city branding bukan hanya
sebuah slogan atau kampanye promosi, akan tetapi suatu gambaran dari pikiran,
perasaan, asosiasi dan ekspektasi yang datang dari benak seseorang ketika
seseorang tersebut melihat atau mendengar sebuah nama, logo, produk layanan,
event, ataupun berbagai simbol dan rancangan yang menggambarkannya.

Cavia Fernandez et al. (2013) menjelaskan branding tidak dipandang sebagai


cara untuk mengelola suatu kota, melainkan dipandang sebagai alat untuk
menyampaikan citra positif yang bertujuan untuk meningkatkan persepsi yang dimiliki
oleh berbagai pemangku kepentingan, dimana branding tidak dapat mengubah suatu
kota tetapi dapat membantu meningkatkan daya saing secara keseluruhan.

Identitas kota ialah image yang melekat pada kota. Image merupakan
visualisasi yang diberikan dan dipersepsikan oleh orang lain mengenai sebuah kota
baik berupa citra, reputasi dan kredibilitas. Terbentuknya sebuah citra adalah hasil
dari persepsi yang berkembang dalam benak masyarakat terhadap realitas kawasan
yang ada. Realitas yang baik akan memiliki citra yang positif atas sebuah brand begitu
sebaliknya.
Pada kota besar telah menjadi pelaku utama dalam hubungan geografis baik
itu tingkat regional maupun global dalam suatu negara. Setiap kota adalah suatu
sistem berbeda dan setiap komponennya melakukan penetrasi dan bersinggungan
satu sama lainnya yang terefleksikan pada kesan ruang tersebut.

Membentuk Identitas Kota dengan City Branding bukannya hal yang mudah
mengingat tantangan yang utama adalah berada di sekitar persoalan, bagaimana
usaha untuk membentuk suatu perlindungan citra kota yang berkoherensi dalam
ragam lintas area yang berbeda dari kegiatan dengan beragam target pengguna,
namun di saat yang sama membentuk komunikasi citra kota yang sektor-spesifik. Dan
itu adalah hal yang unik karena semua kota juga tidak dapat melakukan dengan cara
yang sama untuk membentuk identitas kota.

Saat ini masih banyak konsep city branding kota-kota di Indonesia terindikasi
masih parsial dengan sekedar penggunaan logo atau slogan, untuk itu perlu
ditingkatkan penerapannya. Diperlukan suatu perencanaan pembentukan citra yang
lebih mendalam untuk mewujudkan city branding yang optimal. Secara umum terdapat
tiga karakteristik dalam tahap city branding yang sedang berkembang, yaitu substansi
citra, konsumen citra dan bagaimana citra dapat dikonsumsi. Tiga karakteristik ini
perlu diakomodasi oleh perencanaan citra kota yang kuat.

Sehingga terkait dengan identitas budaya, masyarakat kota Makassar saat ini
dihadapkan pada tiga tantangan identitas, “yaitu Makassar Kota Sombere”, “Makassar
Smart City”, ”Makassar Kota Dunia”. Yang menjadi problem adalah bagaimana
melahirkan “Santri City” sebagai budaya yang sarat dengan nilai-nilai luhur yang akan
menjadi spirit untuk membangun perekonomian masyarakat sekitar dan juga
menunjang dalam mempertahankan kekuatan branding dari kota makassar namun
tetap bisa hidup selaras dengan nilai-nilai luhur keislaman.

Munculnya karakter sebagai kota santri dijelaskan melalui beberapa indikator


diantaranya tumbuhnya perilaku masyarakat yang sejuk, santun dan saling
menghormati dengan di landasi oleh nilai-nilai agama serta budaya dalam kehidupan
masyarakat untuk menumbuhkan perilaku yang berakhlak mulia. Pembentukan nilai-
nilai agama salah satunya merupakan peran terbesar dari pesantren sebagai sistem
pendidikan tertua di Indonesia, secara definisi pesantren merupakan lembaga
pendidikan tradisional islam untuk belajar memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran agama islam dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai
pedoman hidup sehari-hari dalam masyarakat .

Pada kota Makassar terdapat 26 jumlah pesantren yang tersebar di beberapa


kecamatan antara lain kec. Bringkanaya, Kec. Bontoala, Kec. Rappocini, Kec.
Panakkukang, Kec. Tallo, Kec. Tamlanrea, Kec. Manggala, Kec. Tamalate, dan Kec.
Wajo. Jumlah pesantren yang cukup banyak ini dapat menjadi pedoman pendorong
untuk menumbuhkan perilaku masyarakat yang sejuk, santun, dan saling
menghormati. Santri sebutan bagi orang yang belajar kepada kiai (pemangku,
pengajar, dan pendidik) bisa menjadi jembatan interaksi nilai-nilai islam yang diajarkan
dalam pesantren kepada masyarakat sekitar, sehingga citra positif terbentuk pada
masyarakat dan memberi pengaruh terhadap identitas kota Makassar bagi kota
lainnya.

Selain daripada peran membentuk perilaku masyarakat interaksi atau


kolaborasi santri dan masyarakat juga dapat berorientasi pada peningkatan
perekonomian dengan menghasilkan produk-produk yang menjadi brand lokal yang
khas bernuansa islami misalnya peci, sarung tenun, mukenah, sorban, kerudung,
snack, sajian makanan khas kota makassar dan lain sebagainya yang kerap dijadikan
sebagai “identitas kaum muslim. Masyarakat sekitar kawasan pesantren merupakan
mitra jejaring yang akan membuka peluang bagi semua kalangan dari beragam latar
belakang kelas untuk terlibat aktif dalam meningkatkan perekonomian masyarakat
secara merata.

Anda mungkin juga menyukai