Anda di halaman 1dari 4

Indonesia hari ini, …… selalu meributkan hal-hal yang akan membangkitkan perpecahan.

Apakah Islam mengajarkan umatnya agar memusuhi penganut lain? Apakah umat Islam hanya
fokus masalah-masalah perbedaan saja? Apa arti kemanusiaan bagi orang Islam?. Saat ini di
Indonesia, yang punya otoritas mengeluarkan fatwa adalah MUI. Sementara, hingga hari ini
MUI, belum pernah mengeluarkan fatwa tentang TIDAK BOLEHNYA mengucapkan Selamat
Natal.

Mengucapkan selamat Natal tidaklah menggugurkan syahadat. Mengucapkan syahadat berbeda


dengan mengucapkan selamat natal. Orang yang gugur syahadatnya itu kalau tidak lagi
mengakui Allah SWT dan Muhammad SAW. Sementara itu, setelah mengucapkan syahadat,
bukan berarti berhenti belajar dan merasa sudah pasti masuk surga , justru setelah bersyahadat,
kajian ilmu-ilmu agama terus digalakkan, memikirkan penciptaan Allah dan tujuan beragama itu
apa. Jadi setelah bersyahadat bukan berarti hanya fokus mempermasalahkan ucapan selamat
natal dan parahnya lagi, membangkitkan semangat kebencian dengan model-model tulisan yang
viral. Islam ini hadir justru bagaimana kita berdamai dengan segala perbedaan yang Allah
ciptakan di bumi ini. Apakah setelah bersyahadat, Allah melegalkan dirimu berkonflik dengan
orang lain yang berbeda?

Jadi, pemahaman tentang kalimat *“Siapa yang menyerupai suatu kaum berarti termasuk kaum
itu”* sebagai hadist yang melarang mengucapkan selamat natal dan sebagainya, maka siapa yang
*ikut libur di Hari Natal* berarti menyerupai kaum Nasrani. Siapa yang memakai *tanggal
Masehi* untuk gajian, berarti termasuk kaum Nasrasi, maka haram duitnya. Sepertinya tidak
begitu juga…….

Agama Islam itu mengajarkan toleransi dan hidup damai. Jika Islam itu damai, maka kita diminta
menunjukkan atau menerapkan perdamaian itu tanpa khawatir dengan simbol-simbol agama
orang lain. Islam bukan untuk membangkitkan konflik-konfilk dan menggeruskan pikiran-
pikiran rasional, tapi bagaimana konsep-konsep keadilan Ilahi itu tegak dan menjadi ummat
terbaik di muka bumi.

Selamat Natal yang diucapkan seorang Muslim kepada penganut agama Kristen dianggap haram
oleh sementara orang dan dinilai sesat dan menyesatkan siapa yang membolehkannya. Itu yang
biasa terdengar di Indonesia, tetapi tidak demikian di kalangan ulama di Timur Tengah. Berikut
tulisan ulama besar Suriah Mustafa az-Zarqa’ yang termuat dalam kumpulan fatwanya “Fatwa
Mustafa az-Zarqa”. Fatwa-fatwa itu dihimpun oleh Majed Ahmad Makky dan diantar oleh ulama
besar Mesir kenamaan: Yusuf al-Qardhawy. Al-Qardhawy mengakui az-Zarqa’ sebagai gurunya.
Fatwa ini adalah jawaban az-Zarqa’ kepada Anas Muhammad ash-Shabbagh yang bermukim di
Saudi Arabia. Terjemahannya sebagai berikut:

“Menjawab pertanyaan Anda tentang ucapan selamat yang diucapkan seorang Muslim berkaitan
dengan kelahiran Isa (Natal) dan Tahun Baru Masehi, maka menurut hemat saya: Ucapan
Selamat Natal seorang Muslim kepada kenalannya yang menganut agama Nasrani termasuk
dalam anjuran berbudi baik dalam interaksi dengan mereka. Sungguh Islam tidak melarang kita
menyangkut harmonisasi hubungan beragama dan perlakuan baik semacam ini terhadap mereka,
apalagi yang mulia al-Masih dalam pandangan aqidah kita adalah salah satu Rasul Allah yang
agung dan termasuk satu dari lima Nabi yang amat diagungkan. Siapa yang menduga
mengucapkan selamat kepada mereka pada hari kelahiran Isa as. haram—siapa yang menduga
demikian—maka dia salah karena tidak ada hubungan dalam ucapan itu dengan rincian aqidah
kaum Nasrani dan pandangan mereka terhadap Isa as.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika ada jenazah seorang Yahudi yang diusung di hadapan Nabi
saw., maka beliau berdiri. Berdirinya beliau itu merupakan ekspresi dari rasa agung dan dahsyat
terhadap kematian—tidak ada hubungannya dengan aqidah sosok Yahudi yang mati itu.

Muslim dituntut untuk menggambarkan kebaikan Islam dan moderasinya terhadap Non-Muslim.
Di samping itu, keadaan kaum Muslim dewasa ini yang sungguh lemah di antara negara-negara
di dunia ini serta konspirasi dan tuduhan bahwa kaum Muslim adalah teroris, fanatik, dan lain-
lain—kesemuanya menuntut kaum Muslim mengubah image buruk itu, apalagi pada Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha bisa jadi seorang Muslim memiliki teman-teman yang mengucapkan
selamat kepadanya, sehingga bila ia tidak membalas sikap baik mereka itu dengan berkunjung
kepada yang berkunjung kepadanya pada Hari Lebaran, maka sikap itu akan semakin
mendukung tuduhan yang ditujukan kepada kaum Muslim,” demikian antara lain Mustafa az-
Zarqa’.

Saling mengucapkan selamat, bahkan kunjung-mengunjungi itulah yang dilakukan juga oleh
pimpinan al-Azhar Mesir. Apakah mereka salah dan sesat? Saya menduga keras bahwa ulama-
ulama itu jauh lebih mengerti agama dan lebih bijaksana daripada mereka yang mengharamkan
ucapan Selamat Natal, apalagi menyesatkan siapa yang membolehkan mengucapkan Selamat
Natal itu. Semoga hidayah Allah tercurah kepada kita semua.

Ada hadits- antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim
memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut
menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu
mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salâm  karya
Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian
ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka
membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga
pendapat sahabat Nabi, Ibnu ‘Abbâs. Qadhi ‘Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan
mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh
‘Alqamah dan al-Auza‘i.

Pendapat yang membolehkan itu, mendasarkan bahwa larangan tersebut timbul dari sikap
bermusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam
riwayat Bukhârî dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu ‘Umar, yang menyampaikan sabda Nabi
bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata,
“Assalâmu‘alaikum,” tetapi “Assâmu‘alaikum,” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk
Anda”.

Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan
menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “‘Alaikum,” sehingga jika yang mereka
maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima
adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).”

Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang
melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.

Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ: Salam sejahtera (semoga)
dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan
hidup kembali. (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat
Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan
dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak
terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang
ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini
jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat
menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari
kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin
dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak
disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di
kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan
sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian
wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs.

Ucapan selamat atas kelahiran ‘Îsâ (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam
al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya
terhadap ‘Îsâ al-Masîh berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal”
atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita
kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masîh, satu
keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah
larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang
beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu
terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan.

Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika
mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan
‘Îsâ, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku
seorang Nabi” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an
telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ,
Hârûn, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada
seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat
dan salam untuk ‘Îsâ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak
bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) ‘Îsâ as.? Bukankah Nabi saw. juga merayakan hari
keselamatan Mûsâ dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa ‘Âsyûra’, sambil bersabda kepada
orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut
Mûsâ (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),”  maka
Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhârî, Muslim, dan
Abû Dâwûd, melalui Ibnu ‘Abbâs—lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).

Bukankah “Para nabi,” sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., “bersaudara, hanya ibunya
yang berbeda?” Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan
menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang
digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal”
selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud
oleh al- Qur’an sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu?

Itulah, antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau
menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran
kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan
kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika
mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan
“Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia
diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—
maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang
membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi. Di sini, kalaupun
non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah
demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan
penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila
larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga
salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya,
lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallâhu a‘lam. 

Sumber:

https://quraishshihab.com/article/selamat-natal-2/

Anda mungkin juga menyukai