Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Sunday, 13 February 2005
tanya Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ketika Nabi saw. datang di Madinah beliau dapati orang-orang Yahudi melakukan puasa Asyura, lalu beliau berspuasa dan menyuruh berpuasa pada hari itu. Bagaimana hal ini bisa terjadi padahal beliau menyuruh umat Islam agar tidak meniru Ahli Kitab dalam banyak hal? Jawab Hadits yang dikemukakan saudara penanya itu adalah hadits muttafaq 'alaih dari Ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Nabi saw. tiba di Madinah dan beliau melihat orang-orang yahudi sedan gmelakukan puasa Asyura. Lalu beliau bertanya, "Apa ini?" Orang0orang menjawab, "hari yang baik. Pada hari itu Allah menymelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuh mereka, lalu Musa berpuasa pada hari itu." Kemudian beliau bersabda: "Saya lebih berhak terhadap Musa daripada kamu Lalu beliau berpuasa pad ahari itu dan menyuruh orang-orang berpuasa. Maka tidaklah mengherankan bila saudara menanyakan: bagaimana Nabi saw. bisa mengikuti kaum Yahudi dalam puasa Asyura padahal beliau berkeinginan keras untuk menjauhi orang-oran gkafr dari kalangan Ahli Kitab dan musyrikin. Beliau perintahkan umat Islam agar berbeda dengan mereka sebagaimana disebutkan dalam banyak hadits: "Berbedalah dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Berbedalah dengan orang-orang musyrik...." Tetapi orang yang mau menccermati hadits-hadits yang diriwayatkan mengenai puasa Asyura ini niscaya akan tahu bahwa Nabi saw. sudah biasa berpuasa pada hari itu (Asyura) sejak sebelum hijrah ke Madinah. Bahkan orang-orang Arab jahiliah berpuasa pada hari itu dan mengagungkannya serta pada hari itu pula mereka memberi kiswah pada Ka'bah. Ada yang mengatakan bahwa mereka menerima hal itu dari syari'at terdahulu. Diriwiyatkan dari Ikrimah bahwa bangsa Quraisy pernah melakukan dosa pada zaman jahiliah, lalu hal itu terasa berat di dalam hati mereka. Kemudian dikatakan kepada mereka, "Berpuasalah pada hari Asyura niscaya dosa itu akan dihapuskan dari kamu" Dengan demikian, Nabi saw. tidak memulai pausa Asyura setelah beliau tiba di Madinah. Beliau berpuasa pada hari itu bukan karena mengikuti orang-orang Yahudi. Kalau saja beliau mengatakan "saya lebih berhak terhadap Musa daripada kamu" dan beliau memerintahkan apa yang beliau perintahkan (berpuasa pada hari Asyura) hal itu adalah untuk mengakui keagungan dan kemuliaan Asyura. Juga untuk menegaskan dan mengajarkan kepada kaum Yahudi bahwa agama Allah itu adalah satu pada semua zaman, bahwa para Nabi itu adalah bersaudara yang masing-masing mereka adalah sebagai batu- bata bagi bangunan kebenaran, dan kaum muslimin adalah lebih berhak terhadap nabi daripada orang- orang lain yang mendakwakan diri mengikuti nabi dan mengganti agamanya. Apabila hari Asyura adalah hari kebinasaan Fir'aun dan kemenangan Musa, maka iapun adalah hari kemenangan bagi kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. sebagai utusan Allah. Apabila Musa berpuasa pada hari itu sebagai tanda syukur kepada Allah, maka kaum muslimin lebih berhak untuk mengikuti Musa daripada kaum Yahudi. Selain itu, Asyura merupakan hari yang penuh keamanan, yang pada hari itu banyak terjadi kemenangan bagi kebenaran atas kebatilan. Imam Ahmad meirwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa bahtera Nabi Nuh berhenti di atas gunung Judi pada hari itu, lalu Nabi Nuh a.s. berpuasa pada hari itu sebagai tanda syukur kepada Allah swt. Adapun soal kesamaan Nabi saw. dengan orang-orang Yahudi mengenai asal puasa itu terjadi pada awal periode Madinah, karena beliau ingin bersesuaian dengan Ahli Kitab dalam hal-hal yang beliau tidak dilarang memiliki kecenderungan ke sana, di samping juga untuk melunakkan hati mereka. Tetapi ketika Jama'ah Islam sudah kokoh dan telah tampak dengan jelas permusuhan Ahli Kitab terhadap Islam, nabi, dan pemeluknya, maka beliau menyuruh umat berbeda dengan mereka dalam hal puasa dengan tetap berpegang pada pokoknya guna menyambut makna agung sebagaimana yang kamu sebutkan tadi, Maka beliau bersabda: "Berpuasalah pada hari Asyura dan berbedalah dengan orang-orang yahudi, yaitu berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya" (HR Ahmad) Para sahabat sendiri pernah mengalami kebimbangan pada akhir periode Rasul--seperti yang dialami saudara penanya mengenai kesamaan Nabi saw. dengan Ahli kitab dalam hal puasa tadi, padahal beliau berkeinginan besar agar umat beliau berbeda dengan orang-orang non muslim dalam masalah aqidah. Sikap mereka ini tampak jelas sebagaimana yagn diriwayatkan Imam Muslim dari Ibnu Abbas. Menurut beliau, ketika Rasulullah saw berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya hari itu adalah hari yang diagungkan oleh kaum yahudi dan Nasrani." Lalu beliau bersabda, "pada tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada hari tanggal kesembilan." Kata Ibnu Abbas, "tetapi sebelum datang tahun depan, Rasulullah saw sudah wafat." Pendapat yang kuat yang dapat dipahami dari Jawaban ini dan dari riwayat-riwayat lain bahwa Nabi saw. tidak akan membatasi puasa itu pada hari Asyura saja, tetapi beliau menambahnya pula dengan tanggal sembilan agar berbeda dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Ibnu Qayyim berkata, "martabat puasa itu ada tiga tingkatan. Yang paling sempurna ialah berpuasa sehari sebelumya dan sehari sesudahnya (di samping hari Asyura itu), martabat berikutnya (di bawahnya) ialah berpuasa pada tanggal sembilan dan sepuluh, dan hal ini yang paling banyak ditunjuki oleh hadits, serta tingkatan bawahnya lagi ialah berpuasa pada tanggal sepuluh (As syura) saja. Dr Yusuf Qardhawi disarikan dari Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1 Gema Insani Pers Hal-Hal yang Membatalkan Keislaman Seseorang Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Sunday, 23 January 2005 Pertanyaan: Apa yang menyebabkan Islam seseorang menjadi batal? Jawab: Setiap manusia, apabila telah mengucapkan dua kalimat Syahadat, maka dia menjadi orang Islam. Baginya wajib dan berlaku hukum-hukum Islam, yaitu beriman akan keadilan dan kesucian Islam. Wajib baginya menyerah dan mengamalkan hokum Islam yang jelas, yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As- Sunnah. Tidak ada pilihan baginya menerima atau meninggalkan sebagian. Dia harus menyerah pada semua hukum yang dihalalkan dan yang diharamkan, sebagaimana arti (maksud) dari ayat di bawah ini: "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi wanita yang Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka ..." (Q.s. Al-Ahzab: 36) . Perlu diketahui bahwa ada diantara hukum-hukum Islam yang sudah jelas menjadi kewajiban-kewajiban, atau yang sudah jelas diharamkan (dilarang), dan hal itu sudah menjadi ketetapan yang tidak diragukan lagi, yang telah diketahui oleh ummat Islam pada umumnya. Yang demikian itu dinamakan oleh para ulama: "Hukum-hukum agama yang sudah jelas diketahui." Misalnya, kewajiban salat, puasa, zakat dan sebagainya. Hal itu termasuk rukun-rukun Islam. Ada yang diharamkan, misalnya, membunuh, zina, melakukan riba, minum khamar dan sebagainya. Hal itu termasuk dalam dosa besar. Begitu juga hukum-hukum pernikahan, talak, waris dan qishash, semua itu termasuk perkara yang tidak diragukan lagi hukumnya. Barangsiapa yang mengingkari sesuatu dari hukum-hukum tersebut, menganggap ringan atau mengolok- olok, maka dia menjadi kafr dan murtad. Sebab, hukum-hukum tersebut telah diterangkan dengan jelas oleh Al-Qur'an dan dikuatkan dengan hadis-hadis Nabi saw. Yang shahih atau mutawatir, dan menjadi ijma' oleh ummat Muhammad saw. dari generasi ke generasi. Maka, barangsiapa yang mendustakan hal ini, berarti mendustakan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mendustakan (mengingkari) hal-hal tersebut dianggap kufur, kecuali bagi orang-orang yang baru masuk Islam (muallaf) dan jauh dari sumber informasi. Misalnya berdiam di hutan atau jauh dari kota dan masyarakat kaum Muslimin. Setelah mengetahui ajaran agama Islam, maka berlaku hukum baginya. Dr. Yusuf Al-Qardhawi Menggantikan Haji Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Monday, 26 July 2004 Tanya Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia, dan mereka belum menunaikan ibadah haji. Apakah saya boleh menggantikan haji salah seorang dari mereka? Jawab Pada dasarnya masalah ibadah khususnya ibadah badaniyah harus dikerjakan sendiri. Namun demikian, apabila seseorang tidak dapat mengerjakannya sendiri, maka anak-anaknya dapat menunaikannya sesudanya. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya anak-anakmu itu termasuk usahamu"(HR Abu Daud) Anak seseorang adalah bagian darinya, dan bagian dari amalannya. Selain itu anak dianggap sebagai pelanjutnya setelah ia meninggal dunia, sebagamana disebutkan dalam hadits: Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda: "Apabila anak Adam(manusia) meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali dari tiga perkara, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakan untuknya (HR Muslim) Maka anak yang saleh adalah penyambung kehidupan orang tuanya dan penyambugn keberadaannya. Karea itu anak boleh menghajikan orang tuanya. Kalau mereka tidak bisa melaksanakannya sendiri maka boleh mewakilkannya kepada orang lain. Pernah ada seorang wanita yang menanyakan hal ini kepada Nabi Saw. Ia mempunyai ayah yang berkewajiban menunaikan ibadah haji, tetapi tidak dapat menunaikannya karena telah tua renta. Sebelum menunaikan kewajibannya ayahnya meninggal dunia. Wanita itu bertanya apakah dia boleh menghajikannya (berhaji untuknya)? Beliau menjawab "Boleh, dan hajikanlah untuknya!" Selain itu ada pula wanita lain --sebagimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas-- yang menanyakan kepada Nabi Saw, apakah boleh menghajikan ibunya yang telah bernadzar akan berhaji karena Allah tetapi meninggal dunia terlebih dahulu. Beliau menjawab "Hajikanlah dia! Bagaimanakah pandanganmu seandainya dia mempunyai utang, apakah engkau boleh melunaisnya?" Wanita itu menjawab, "Ya," Beliau bersabda, "Maka tunaikanlah, Karena utang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi" Dalam riwayat lain dengan redaksi berikut: "Maka utang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi." Apabila seorang anak bisa mlunasi utang orang tuanya dalam urusan harta beda, maka begitu pula dalam urusan-urusan ruhiyah dan ibadah. Dengan demikian, anak wanita atau anak laki-laki dapat menghajikan orang tuanya, atau minimal mewakilkannya kepada orang lain untuk menghajikannya, dengan catatan harus berangkat dari negeri tempat tinggalnya. Misalnya orang Qatar, bila hendak mewakilkan kepada orang lain, maka hendaklah orang itu menghajikannya dengan berangkat dari Qatar, bukan dari negara lain; jika orang Syam maka hendaklah dia berkangkat haji dari Syam, dan begitu seterusnya. Akan tetapi jika keuangan si mati tidak mencukupi --jika ia dulu hendak naik haji dengan uangnya sendiri-- maka hal itu dapat ditunaikan jika memungkinkan. Apabila anak yang akan mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikan orang tuanya menggunakan uangnya sendiri, maka hal itu tergantung pada kemampuan keuangannya. Namun perlu diperhatikan, bagi orang yang akan menghajikan orang lain disyaratkan hendaklah ia sudah terlebih dahulu menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri . Wallahu a'lam Dr Yusuf Qardhawi DOA NISHFU SYA'BAAN Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Friday, 16 July 2004 Kafemuslimah.com Tanya: Di Masjid Jami' Banjarmasin, ada orang siarkan selebaran do'a nishfu Sya'baan. Bunyinya sebagai berikut, tertulis dengan huruf Arab: 1. Niat yang pertama, minta panjang umur, karena berbuat ta'at kepada Allah, kemudian membaca Yaasien, satu kali. 2. Niat yang kedua, minta terkaya dari pada segala manusia serta jauh dari bala (mara bahaya), kemudian membaca Yaasien, satu kali. 3. Niat yang ketiga, minta ditetapkan iman serta mati di dalam husnul-khatimah, kemudian membaca Yaasien, satu kali. Maka tiap-tiap habis membaca surah Yaasien sekali dibaca doa ini: Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma Yaa dzalmanni walaayumannualayhi sampai tamat doa itu. Betulkah begitu? Jawab: Do'a itu, biasanya orang-orang baca dengan berkumpul dalam masjid-masjid sesudah sembahyang Maghrib, pada malam nishfu Sya'ban (tanggal 15 Sya'ban). Biasanya mereka baca doa tersebut dengan pakai imam dan suara yang keras. Terkadang sebelum membaca doa itu, mereka sembahyang dua rakaat. Dan ada pula yang sembahyang sampai seratus rakaat. Selain dari itu, mereka hiasi pula masjid-masjid dengan penerangan-penerangan. Menurut keterangan yang tersebut dalam kitab Ishlaahul-Masaajid, aturan-aturan itu, orang adakan kira- kira dalam tahun 448 Hijriah. Jadi, dengan tarikh ini, terang bagi kita, bahwa di zaman Nabi dan sahabat dan Tabiin, tidak ada seorangpun yang mengamalkannya. Begitu pula, tidak ada imam-imam yang empat mengamalkannya atau membenarkannya. Oleh karena itu, patutlah dikatakan tidak ada contohnya dari agama. Hadits-hadits tentang malam nishfu syabaan itu, ada dikatakan dalam kitab ISHLAAHUL MASAAJID, hal 107, begini: Artinya: Tidak ada satupun hadits yang shah tentang malam nishfu Syabaan. Malah ada pula ahli hadits, yang menganggap, bahwa sekalian hadits-hadits nishfu Syabaan itu, palsu. Tentang doanya itu, pengarang kitab tersebut berkata begini: Artinya: Adapun doa Nishfu Syaban yang masyur itu, tidak lah diriwayatkan dari jalan yang shahih, dan tidak dari yang lainnya: doa itu hanya bikinan sebagian dari guru-guru. Tentu diantara pembaca akan ada yang bertanya: Bukankah Agama membenarkan seseorang berdoa? Kami jawab, memang selain dari doa yang sudah tertentu bacaan dan tempatnya, diijinkan juga kita berdoa. Doa ini, boleh kita kerjakan kapan saja kita suka dan dengan bahasa apa saja yang kita mau, asal kita bisa mengerti. Sudah tentu doa=doa yang dijinkan itu,boleh kita kerjakan dimana-mana ada keperluan. Orang yang berdoa, dengan menentukan malam Nishfu Syabaan serta beberapa cara itu, tentu mempunyai kepercayaan, bahwa dalam mengerjakannya itu, ia akan mendapat pahala dan sebagainya. Kalau sekiranya ia tidak ada mempunyai kepercayaan demikian, perlu apakah ia tetapkan mesti berdoa pada malam 15 Syaban itu? Ini berarti ia sudah mengerjakan satu amal yang tidak ada dalam Islam dan tidak dibenarkan oleh Nabi. Orang yang mengerjakan sesuatu amal yang tidak diperintah itu, dikatakan orang itu mengerjakan bidah. Ringkasnya: Sekalian nita, bacaan Yaasien dan doa yang orang-orang kerjakan pada malam 15 Syabaan itu, sama sekali tidak ada dalam Islam. Bagaimana untuk mengetahui apakah Allah mengabulkan Doa Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Sunday, 18 July 2004 Kafemuslimah.com Soal: Saya berdoa kepada Allah, minta dipanjangkan umur atau minta ditambah rizki, adakah dikabulkan oleh-Nya akan permintaan saya itu Jawab: Doa. Yang dimaksud dengan doa dalam Islam adalah meminta dengan hati yang ikhlas kepada Allah, dengan keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang bisa mengabulkan permintaannya itu. Yang harus diingat berkenaan dengan isi permintaan disini adalah bahwa permintaan tersebut bukanlah sesuatu yang keluar dari ketentuan atau peraturan yang berkenaan dengan sebab-sebab yang telah diatur oleh Allah. Allah telah menerangkan dalam Quram, bahwa Ia tidaklah akan mengubah aturan yang telah diperbuat-Nya. Firman Allah: Tidaklah engkau akan memperoleh perubahan pada peraturan Allah itu. (Al-Ahzab: 62) Seorang yang meminta supaya bertambah rizki atau ilmu itu, mestilah lebih dahulu berusaha bekerja, untuk mencari rizki itu, mestilah lebih dahulu berusaha bekerja untuk mencari rizki atau ilmu, karena Allah tidaklah akan menurunkan hujan mas atau perak atau ilmu dari langit. Orang yang bermaksud supaya bertambah hartanya atau ilmunya, tidaklah cukup dengan membaca doa saja. Dengarlah kata Umar ra: Janganlah kamu tinggal diam daripada mencari rizki dengan berkata: ya Allah! Berilah aku rizki, karena kamu telah ketahui bahwa langit itu tidaklah menurunkan hujan mas atau perak. Dan sabda Nabi saw: Artinya: Kalau kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka Ia akan memberi rizki kepada kamu sebagaimana Ia beri rizki kepada burung, yang pagi-pagi berjalan dengan perut kosong, dan petang- petang kembali dengan perut yang penuh. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah) Di hadits itu, dinyatakan oleh Nabi saw bahwa burung itu diberi rizki, karena usahanya, yaitu ia meninggalkan tempatnya pergi berjalan ke lain tempat buat berusaha mencari rizki, tetapi bukanlah ia tinggal diam di tempatnya saja. Dan frman Allah: Allah menjadikan kamu dari dari bumi dan Ia tuntut supaya kamu usahakan dia (makmurkan dia) (qs Hud: 60) Dan frman Allah:Kami telah jadikan siang hari itu buat tempat usaha (qs An-Naba: 11) Dan sabda Nabi saw: Sebaik-baik usaha itu adalah usaha orang yang bekerja dengan jujur. Dalam Quran dan hadits-hadits Nabi, banyaklah yang menyuruh kita berusaha dan bekerja. Kalau sekiranya rizki itu bisa didapati dengan semata-mata doa saja, tentulah kita tidak disuruh Allah berusaha, seperti dengan jalan berdagang, bertani, bertukang, tetapi bukan meminta-minta, karena meminta-minta itu dilarang oleh Agama,kecuali bagi orang yang miskin. Dengarlah sabda Nabi saw: Siapa yang meminta-minta padahal ada padanya makanan yang cukup, maka berarti ia mengumpul-ngumpulkan bara jahannam. (Di waktu itu) berkata sahabat-sahabat (yang mendengar): Ya Rasulullah! Bagaimanakah orang mempunyai makanan yang cukup itu? Jawab Rasulullah: Yaitu orang yang ada mempunyai makanan cukup untku pagi dan petangnya. (HR Ahmad dan Abu Dawud) dan sabda Rasulullah: Barangsiapa meminta-minta akan harta manusia untuk dikumpul, sesungguhnya berarti ia telah meminta-minta akan bara api neraka. Oleh sebab itu bolehlah ia pilih, apakah ia mau sedikit dari bara itu atau ia mau banyak. (HR Ahmad dan Muslim) Adapun doa itu memang perlu, karena Nabi namakan dia ibadat dengan sabdanya: Doa itu ialah ibadat, seraya Nabi membaca akan frman Allah Berdoalah kepadaKu, niscaya Aku akan terima permintaan kamu. (HR Abu Dawud) Doa seseorang itu bisa dikabulkan oelh Allah, kalau ia berdoa dengan sungguh-sungguh dan ikhlas sambiil mengerjakan sebab-sebab yang bisa menyampaikan kepada maksud itu. Umpama: bekerja, berdagang, bertani, menjaga kesehatan, belajar atau sebagainya sambil berdoa kepada Allah mudah- mudahan Ia hasilkan (wujudkan) maksud itu. Dan kalau seorang mau panjang umur, maka hendaklah ia jaga kesehatannya, dengan mengatur makan, minum, pekerjaan, tidur dan menjaga kebersihan di badan, pakaian, makan, minum dan sebagainya, sambil ia meminta, mudah-mudahan Allah panjangkan umurnya. -------- semoga bermanfaat Disunting dari buku A. Hassan, Soal Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Penerbit: CV. Diponegoro. Dimanakah Neraka? Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 17 March 2004 tanya Allah Swt Berfrman: "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. "Ali Imran: 133 Kalau dalam ayat di atas disebutkan bahwa surga itu luasnya seluas langit dan bumi, bagaimana dengan neraka? Dimanakah letaknya? Jawab Sebenarnya yang disebut alam semesta ini tidak hanya terbatas pada langit dan bumi. Pengetahuan kita memang sangat terbatas mengenai alam ini. Hingga kini pemahaman kita masih gelap tentang langit, sehingga kita tidak mengerti apa sebenarnya langit itu. Kita hanya percaya bahwa diatas langit ada malaikat Allah, yang tidak dapat kita capai dengan akal dan ilmu kita. Sehubungan dengan ini, Nabi saw. menganjurkan kita agar setelah bangkit dari ruku (dalam shalat) mengucapkan: "Ya Allah, ya Rabb kami, kepunyaan-Mulah segala puji sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki sesudah itu" (HR Muslim dari hadits Abu Sa'id dan Ibnu Abi Aufa) Masalah langit --dan planet lain selain bumi-- kini tengah menjadi bahan penelitian ilmu pengetahuan modern. Salah satu penemuan dari hasil penelitian ini ialah mengenai ukuran jarak antara bumi dengan planet lain, yakni dengan berjuta-juta tahun cahaya. Jarak antara kita dengan sebagian bintang bisa mencapai berjuta-juta bahkan bermiliar-miliar tahun cahaya. Kalau dikatakan luas surga seluas langit dan bumi, ini tidak berarti bahwa Allah tidak berkuasa menggambarkan luas dan letak neraka. Bahkan lebih dari itu pun Allah sangat berkuasa. Pertanyaan Anda ini sebenarnya pertanyaan klasik yang pernah diajukan para sahabat kepada Rasulullah saw. Demikian pula sebagian ahli kitab pernah bertanya kepada Rasulullah mengenai makna ayat: "Surga yang luasnya seluas langit dan bumi." "Dimanakah neraka?" tanya mereka. Rasulullah menjawab (dengan pertanyaan lagi), "Dimanakah malam hari ketika siang?" Abu Hurairah dari Al Bazzar secara marfu' meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menanyakan hal ini kepada Rasulullah saw. lalu beliau menjawab, "Tahukah engkau ketika malam tiba danmenyelimuti segala sesuatu, di manakah siang hari berada?" Penanya itu menjawab, "siang berada di mana Allah menghendakinya." Kemudian nabi bersabda, "Demikian pula neraka, ia berada di mana Allah menghendakinya." Ibu Katsir dalam tafsirnya mengomentari riwayat tersebut dengan mengatakan, "Ini mengandung dua pengertian. Pertama, jika kita tidak menyaksikan atau tidak mengetahui malam hari pada waktu siang, hal ini tidak berarti bahwa malam hari itu tidak ada di suatu tempat. Demikian pula dengan neraka, ia berada di tempat yang dikehendakli oleh Alla Azza wa Jalla. Hal ini sangat jelas. Kedua, jika siang hari terjadi pada salah satu belahan duni ini, malam hari berada pada belahan duni yagn lain. Demikian juga surga, ia berasa di tempat 'illiyyin yang paling tinggi, di atas semua langit, di bawah 'Arsy, neraka berada di bawah tempat yang paling bawah. Dengan demikian, pertanyaan keberadaan surga yang luasnya seluas alngit dan bumi itu tidak menafkan adanya neraka". Wallahu a'lam Apa Saja Yang Boleh Dikerjakan Oleh Wanita? Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 03 March 2004 Kafemuslimah.com Pertanyaan: Bagaimana hukum wanita bekerja menurut syara`? Maksudnya: bekerja di luar rumah seperti laki-laki. Apakah dia boleh bekerja dan ikut andil dalam produksi, pembangunan dan kegiatan kemasyarakatan? Ataukah dia harus terus-menerus menjadi tawanan dalam rumah, tidak boleh melakukan aktivitas apapun? Sementara kami sering mendengar bahwa agama Islam memuliakan wanita dan memberikan hak-hak kemanusiaan kepadanya jauh beberapa abad sebelumbangsa barat mengenalnya. Apakah aktivitas yang ia lakukan itu tidak dapat dianggap sebagai haknya yang akan menjernihkan air mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar ketika menjadi barang dagangan yang diperjual-belikan seenaknya ketika dibutuhkan atau dikurbankan ketika darurat? Mengapa wanita (muslimah) tidak boleh terjun ke kancah kehidupan sebagaimana yang dilakukan wanita-wanita barat, untuk menjernihkan kepribadiannya dan memperoleh hak-haknya, agar dapat mengurus dirinya sendiri dan ikut andil dalam memajukan masyarakat? Kami ingin mengetahui batas-batas syariah terhadap aktivitas yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk dunianya tanpa merugikan agamanya, lepas dari kekolotan orang-orang ekstreem yang atidak menghendaki kaum wanita belajar dan ikut bekerja serta keluar rumah walau ke masjid sekalipun. Juga jnauh dari orang-orang yang menghendaki agar wanita muslimah lepas bebas dari segala ikatan sehingga menjadi barang murahan di pasar-pasar. Kami ingin mengetahui hukum syara yang benar mengenai masalah ii dengan tidak melebih-lebihkan dan tidak mengurang-ngurangkan. Jawaban dari Qardhawy: Wanita adalah manusia juga sebagaimana laki-laki. Wanita merupakan bagian dari laki-laki dan laki-laki merupakan bagian dari wanita, sebagaimana dikatakan Al Quran: sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. (Ali Imran: 195) Manusia merupakan makhluk hidup yang di antara tabiatnya ialah berpikir dan bekerja (melakukan aktivitas). Jika tidak demikian, maka bukanlah dia manusia. Sesungguhnya Allah taala menjadikan manusia agar mereka beramal, bahkan Dia tidak menciptakan mereka melainkan untuk menguji siapa di antara mereka yang paling baik amalannya. Oleh karena itu, wanita diberi tugas untuk beramal sebagaimana laki-laki dan dengan amal yang lebih baik secara khusus untuk memperoleh pahala dari Allah Azza wa Jalla sebagaimana laki-laki. Allah SWT berfrman: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfrman) Sesungguhnya Aku tidak menyia- nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan. (Ali Imran: 195) Siapa pun yang beramal baik, mereka akan mendapatkan pahala di akhirat dan balasan yang baik di dunia: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (an-Nahl: 97) Selain itu, wanita sebagaimana biasa dikatakanjuga merupakan separo dari masyarakat manusia, dan Islam tidak pernah tergambarkan akan mengabaikan separo anggota masyarakatnya serta menetapkannya beku dan lumpuh, lantas dirampas kehidupannya, dirusak kebaikannya dan tidak diberi sesuatu pun. Hanya saja tigas wanita yang pertama dan utama yang tidak diperselisihkan lagi ialah mendidik generasi- generasi baru. Mereka memang disiapkan oleh Allah untuk tugas itu, baik secara fsik maupun mental dan tugas yang agung ini tidak boleh dilupakan atau diabaikan oleh faktor material dan kultural apa pun. Sebab, tidak ada seorangpun yang dapat menggantikan peran kaum wanita dalam tugas besarnya ini, yang padanyalah bergantungnya masa depan umat, dan dengannyalah pula terwujud kekayaan yang paling besar, yaitu kekayaan yang berupa manusia (sumberdaya manusia). Semoga Allah memberi rahmat kepada penyair Sungai Nil, yaitu Hafzh Ibrahim, ketika ia berkata: Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan Jika Anda mempersiapkannya dengan baik, Maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya. Di antara aktivitas wanita ialah memelihara rumah tangganya, membahagiakan suaminya, dan membentuk keluarga bahagia yang tenteram damai, penuh cinta dan kasih sayang. Hingga terkenal dalam peribahasa, Bagusnya pelayanan seorang wanita terhadap suaminya dinilai sebagai jihad fsabilillah. Namun demikian, tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara. Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash syara yang shahih periwatannya dan sharih (jelas) petunjuknya. Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh sebagaimana yang sudah dimaklumi. Berdasarkan prinsip ini, maka saya katakan bahwa wanita bekerja atau melakukan aktivitas dibolehkan (jaiz). Bahkan kadang ia dituntut dengan tuntutan sunnah atau wajib apabila ia membutuhkannya. Misalnya, karena ia seorang janda atau diceraikan suaminya, sedangkan tidak ada orang atau keluarga yang menanggung kebutuhan ekonominya dan dia sendiri dapat melakukan suatu usaha untuk mencukupi dirinya dari minta-minta atau menunggu uluran tangan orang lain. Selain itu, kadang-kadang pihak keluarga membutuhkan wanita untuk bekerja, seprti membantu suaminya, mengasuh anak-anaknya atau saudara-saudaranya yang masih kecil-kecil, atau membantu ayahnya yang sudah tua sebagaimana kisah dua orang putri seorang syekh yang sudah lanjut usia yang menggembalakan kambing ayahnya, seperti dalam Al Quran surat Al- Qashash: Kedua wanita itu menjawab, Kami tidak dapat meminumi (ternak kami) sebelum penggembala- penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya. (al-Qashash: 23) Diriwayatkan pula bahwa Asma binti Abu Bakar yang mempunyai dua ikat pinggangbiasa membantu suaminya Zuabir bin Awwam dalammengurus kudanya,menumbuk biji-bijian untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun yang jauh di Madinah. Masyarakat sendiri kadang-kadang memerlukan pekerjaan wanita, seperti dalam mengobati dan merawat orang-orang wanita, mengajar anak-anak putri, dan kegiatan lain yang memerlukan tenaga khusus wanita. Maka yang utama adalah wanita bermuamalah dengan sesama wanita, bukan dengan laki-laki. Sedangkan diterimanya (diperkenankannya) laki-laki bekerja pada sektor wanita dalam beberapa hal adalah karena dalam kondisi darurat seyogyanya dibatasi sesuai dnegan kebutuhan, jangan dijadikan kaidah umum. Apabila kita memperbolehkan wanita bekerja, maka wajib diikat dengan beberapa syarat, yaitu: 1. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan.Artinya, pekerjaan itu tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram seperti wanita bekerja untuk melayani laki-laki bujang atau wanita menjadi sekretaris khusus seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering berkhalwat (berduaan), atau karena menjadi penari yang merangsang nafsu hanya demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk menghidangkan minum-minuman keras padahal Rasulullah saw telah melaknat orang-orang yang menuangkannya, membawa dan menjualnya. Atau pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa mahram, bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya. 2. Memenuhi adaab wanita muslimah ketika keluar rumah, dalam berpakaian, berjalan, dan melakukan gerak-gerik. Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya.(An-Nur:31) ..dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An- Nur: 31) ..Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Al Ahzab: 32) 3. Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikannya kewajiban-kewajiban lain yang tidak boleh diabaikan, seperti kewajiban terhadap suaminya atau anaknya yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya. Wabillahi taufq. Diambill dari buku: Dr. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 2, Penerbit: PT Gema Insani Press, hal. 420. Menyanggah penafsiran yang Merendahkan Wanita Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 03 March 2004 Pertanyaan: Siapakah yang dimaksud dengan sufaha dalam frman Allah: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (sufaha) harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (An- Nisa:5) Majalah Al-Ummah nomor 49 memuat artikel Saudara Hanan Ilham, yang mengutip keterangan Ibnu Katsir dari pakar umat dan penerjemah Al Quran, Abdullah Ibnu Abbas, bahwa as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) itu ialah wanita dan anak-anak. Penulis tersebut menyangkal penafsiran itu, meskipun diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Menurutnya, penafsiran tersebut jauh dari kebenaran, sebab wanita secara umum disifati sebagai tidak sempurna akalnya/bodoh (safah), padahal di antara kaum wanita itu terdapat orang-orang seperti Khadijah, Ummu Salamah, dan Aisyah dari kalangan istri Nabi dan wanita-wanita salihah lalinnya. Sebagian teman ada yang mengirim surat kepada saya untuk menanyakan penafsiran yang disebutkan Ibnu Katsir tersebut. Apakah itu benar? Bagaimana komentar Ustadz terhadap hal itu? Jawaban: Penafsiran kata sufaha dalam ayat tersebut dengan pengertian yang dimaksud adalah kaum wanita secara khusus, atau wanita dan anak-anak, adalah penafsiran yang lemah, meskipun diriwayatkan daripakar umat, yaitu Ibnu Abbas r.a; walaupun sahih penisbatan kepadanya atau kepada penafsiran-penafsiran salaf lainnya. Kebenaran yang menjadi pegangan mayoritas umat ialah bahwa penafsiran sahabat terhadap Al-Quranul Karim itu tidak secara otomatis menjadi hujjah bagi dirinya danmengikat terhadap yang lain. Ia tidak dihukumi sebagai hadits marfu, walaupun sebagian ahli pikiran ada yang beranggapan demikian. Ia hanya merupakan buah pikiran dan ijtihad pelakunya, yang kelak akan mendapatkan pahala meskipun keliru. Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sendiri dan dari sebagian sahabat-sahabatnya bahwa Tiap-tiap orang boleh diterima dan ditolak perkataannya, kecuali Nabi saw.(yang wajib diterima perkataannya). Doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas agar Allah mengajarinya takwil, tidak berarti bahwa Allah memberinya kemaksumam (terpelihara dari kesalahan) dalam takwil yang dilakukannya, tetapi makna doa itu ialah Allah memberinya taufk untuk memperoleh kebenaran dalam sebagian besar takwilnya, bukan seluruhnya. Karena itu, tidak mengherankan kalau ada beberapa pendapat dari ijtihad Ibnu Abbas mengenai tafsir dan fqih yang tidak disetujui oleh mayoritas sahabat dan ummat sesudah mereka. Kelemahan takwil yang dikemukakan Ibnu Abbas dan orang yang mengikutinya bahwa yang dimaksud dengan as-sufaha (orang-orang yang belum sempurna akalnya) adalah wanita atau wanita dan anak-anak, tampak nyata dari beberapa segi. Pertama, bahwa lafal sufaha adalah bentuk jamak taksir untuk isim mudzakkar (laki-laki), mufratnya (bentuk tunggalnya) adalah safhu, bukan safihati yang merupakan isim muannats (perempuan). Kalau mufradnya safihatu, maka bentuk jamaknya adalah mengikuti jamak muannats, sehingga bentuk jamak lafal tersebut adalah safihaatu atau safaaihu. Kedua, bahwa kata sufaha adalah isim zaman (kata untuk mencela), karena arati kekurangsempurnaan akal dan buruk tindakannya. Karena itu, kata-kata ini tidak disebutkan dalam Al Quran melainkan untuk menunjukkah celaan, seperti dalam frman Allah: Apabila dikatakan kepada mereka, Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman, mereka menjawab, Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?. Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak tahu. (Al-Baqarah:13) Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata, Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya? Katakanlah, Kepunyaan Allah-lah timur dan barat, dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (Al-Baqarah:142) Apabila lafal sufaha itu untuk mencela, maka bagaimanakah manusia akan dicela karena sesuatu yang tidak ia usahakan? Bagaiman seorang perempuan akan dicela karena semata-mata ia perempuan, padahal ia bukan yang menciptakan dirinya, melainkan ia diciptakan oleh Penciptanya? Allah berfrman: sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain (Ali Imran:195) Dan disebutkan dalam suatu hadits: Sesungguhnya wanita adalah belahan (mitra) laki-laki. (HR Ahmad bin Hanbal 6:256 dan Baihaqi I:168. Disebutkan pula dalam kanzul Ummal nomor 45559) Demikian pula halnya anak-anak. Allah menciptakan manusia dari kondisi yang lemah dan dijadikan- Nya kehidupan itu bertahap, dari bayi berkembang menjadi kanak-kanak, kemudian meningkat remaja lalu dewasa. Sebab itu, bagaimana mungkin seorang anak akan dicela karena ia masih kanak-kanak padahal ia tidak pernah berusaha untuk menjadi kanak-kanak (melainkan sudah merupakan proses yang ditetapkan Allah)? Kalau kita kembali kepada tafsir-tafsir modern, akan kita dapati semuanya menguatkan pendapat Syekhul Mufassirin, Imam ath-Thabari. Dalam tafsir al-Manar karya Sayid Rasyid Ridha disebutkan: yang dimaksud dengan as-sufaha di sini ialah orang-orang yang pemboros yang menghambur- hamburkan hartanya untuk sesuatu yang tidak perlu dan tidak seyogyanya, dan membelanjakannya dengan cara yang buruk dan tidak berusaha mengembangkannya. Beliau (Rasyid Ridha) juga mengemukakan perbedaan pendapat di kalangan salaf mengenai maksud lafal sufaha. Kemudian beliau menguatkan pendapat yagn dipilih Ibnu Jarir (ath-Thabari) bahwa ayat itu bersifat umum, meliputi semua orang yang kurang akal, baik masih kanak-kanak maupun sudah dewasa,laki-laki maupun perempuan. Ustadz al-Imam (Muhammad Abdud) berkata, Dalam ayat-ayat terdahulu Allah menyuruh kita memberikan kepada anak-anak yatim harta-harta mereka dan memberikan kepada orang-orang perempuan akan mahar mereka. Dalam frman-Nya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kebiasanmu) (an-Nisa:5) Al-Imam mensyaratkan kedua hal di atas. Artinya, berikanlah kepada setiap anak yatim akan hartanya bisa telah dewasa, dan berikan pada tiap-tiap perempuan akan maharnya, kecuali apabila salah satunya belum sempurna akalnya sehingga tidak dapat menggunakan hartanya dengan baik. Pada kondisi demikian kamu dilarang memberikan harta kepadanya agar tidak disia-siakannya, dan kamu wajib memelihara hartanya itu sehingga ia dewasa. Perkataan amwaalakum (hartamu) bukan amwaalahum (harta mereka), yang berarti frman itu ditujukan kepada para wali,se dangkan harta itu milik as-sufaha yang ada di dalam kekuasaana mereka, menunjukkan beberapa hal. Pertama, bahwa apabila harta itu habis dan tidak ada sisanya bagi si safh (anak yang belum/kurang sempurna akalnya) untuk memenuhi kebutuhannya, maka wajib bagi si wali untuk memberinya nafkah dari hartanya sendiri. Dengan demikian, habisnya harta si safh menyebabkan ikut habis (berkurang) pula harta si wali. Alhasil, harta si safh itu seakan-akan haratanya sendiri. Kedua, bahwa apabila as-sufaha itu telah dewasa dan harta mereka masih terpelihara, lantas mereka dapat menggunakannya sebagaimana layaknya orang dewasa (normal), dan dapat menginfakkannya sesuai dengan tuntunan syariat untuk kemaslahatan umum atau khusus, maka para walit itu juga mendapatkan bagian pahalanya. Ketiga, kesetiakawanan sosial dan menjadikan kemaslahatan dari masing-masing pribagi bagi yang lain, sebagaimana telah kami katakan dalam membicarakan ayat-ayat yang lain. (Tafsir al-Manar4: 379-380) Sumber: DR Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid 2, Penerbit: Gema Insasi Press. Mohon Kelapangan Dada, Kemudahan Menyelesaikan Urusan Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Wednesday, 03 March 2004 <KAFEMUSLIMAH.COM< b>Rabbisyrah lil shadrii, wa yassir lii amrii, Wahluluqdatam mil lisaanii, yafqahuu qaulii artinya: Wahai Tuhanku, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah segala urusanku. Lepaskanlah halangan dari lidahku, agar mereka memahami ucapanku. (Qs Thaaha 20: 25-28). Penjelasan: Ketika Nabi Musa as, diperintahkan Allah untuk mendatangi Firaun dan pengikutnya guna menyampaikan seruan tauhid dan melakukan keadilan, beliau memohon kepada Allah supaya dibebaskan dari rasa gugup dan rasa takut. Musa memohon kepada Allah agar dadanya dilapangkan dan pekerjaannya dimudahkan supaya dapat menyampaikan seruan kepada Firaun dan pengikutnya dengan sikap tegas dan dengan cara yang mudah. Selain itu, Nabi Musa yang kelu lidahnya memohon agar lidahnya dijadikan lancar mengucapkan kata-kata apa saja. Karena kelancaran lidah dalam mengucapkan kata-kata sangat berperan besar dalam memudahkan pendengarnya memahami ucapannya. Nabi Musa menyadari bahwa orang yang mendengar ucapan yang keluar dari lidah yang kelu bisa menimbulkan kesalahpahaman terhadap pengucapannya. Karena itu, orang yang berbicara dengan orang lain sangat perlu mengucapkan kata-katanya dengan jelas. Dengan kata-kata yang jelas itu pendengar dapat mengerti apa yang dimaksud oleh pengucapnya. Itulah sebabnya Nabi Musa memohon kepada Allah agar lidahnya dijadikan lancar dalam mengucapkan semua kata yang ingin dikeluarkannya dan pendengarnya dijadikan mudah memahaminya. Doa Nabi Musa as di atas memberi pedoman bahwa bila kita merasa gugup dan takut menyampaikan kebenaran kepada orang lain, maka hendaklah kita memohon kepada Allah supaya rasa gugup dan takut itu dihilangkan dari hati kita. Dengan demikian, kita dapat menyampaikan kebenaran dan peringatan dengan jelas dan mudah kepada orang yang menjadi sasaran kita sehingga maksud kita menyampaikan seruan dan pembicaraan kepada mereka tercapai. 1.Doa Nabi Musa di atas memberikan pelajaran kepada kita, antara lain: Ketika kita menyampaikan pembicaraan dan isi hati kepada lawan bicara, kita perlu bersikap tenang dan berpikiran jernih. 2.lawan bicara akan mudah memahami maksud pembicaraan kita bila kita dapat menyampaikannya dengan sikap tenang dan ucapan yang jelas. Doa Nabi Musa di atas bisa kita contoh dalam menghadapi siapa saja yang menjadi lawan bicara. Sering kali bila kita berbicara dengan orang lain timbul perasaan gugup dan sulit mengungkapkan isi hati kepada yagn bersangkutan. Ini terjadi terutama bila kita berbicara di hadapan umum. DI hadapan lawan bicara yang jumlahnya banyak sangat memerlukan kata-kata yang jelas danmudah dipahami. Supaya harapan kita tercapai, hendaklah kita berdoa dengan doa di atas sebelum kita menyampaikan pembicaraan kepada lawan bicara atau berpidato di hadapan orang banyak. Insya Allah, dengan doa tersebut pembicaraan kita dapat dipahami oleh lawan bicara sehingga tujuan kita berbicara kepada yang bersangkutan berhasil dengan baik. Wallahualam. Sumber: Drs. Muhammad Thalib, Doa dalam Al Quran dan Penjelasannya, penerbit: Irsyad Baitus Salam. Pasangan Yang Telah Hamil. Wanita Bertanya Ulama Menjawab - Saturday, 26 February 2005 Assalamualaikum Wr.Wb Pak Ustad pembimbing, saya mau menanyakan perihal pernikahan, saya pernah mendengar bahwa pasangan yang wanitanya telah hamil duluan tidak boleh dinikahkan sebelum bayi yang dikandungnya dilahirkan, Benarkah demikian?? Mohon penjelasan. Wassalamu'alaikum. Abdullah Jakarta 2003-11-07 13:19:33 Jawaban: Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Washshalatu Wassalamu Ala sayyidil Mursalin Wa alaa Aalihi Wa Ashabihi ajmaien. Wa Badu Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang hamil karena hubungan di luar nikah boleh menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. Dan jika anak yang dikandungnya lahir setelah enam bulan dari aqad nikah, maka anak tersebut dinisbahkan kepada bapaknya. Tetapi jika anak tersebut lahir kurang dari 6 bulan dari akad nikah maka anak tersebut tidak dapat dinisbahkan kepada bapaknya kecuali jika laki-laki tersebut menyatakan dengan tegas bahwa anak tersebut adalah anaknya dan bukan hasil perzinahan. Karena adanya pengakuan (iqrar) tersebut menjadi sebab penisbahan anak tersebut kepada bapaknya, karena ada kemungkinan telah terjadi aqad sebelumnya atau adanya hubungan yang samar (wathu syabhah), dan ini juga berdasar kepada keadaan orang muslim yang biasanya sholeh dan untuk menjaga kehormatan orang tersebut. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, jika nasab anak tersebut dinisbahkan kepada bapaknya (laki- laki yang menzinahi ibunya) maka ia berhak menjadi wali. Jika tidak, maka ia tidak boleh menjadi wali bagi anak tersebut. Sedangkan boleh tidaknya perempuan yang berzina menikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya, para ulama berbeda pendapat terhadap hal tersebut: Pendapat pertama menyatakan bahwa hal tersebut diharamkan, pendapat ini adalah pendapatnya Hasan al-Bishry dan lain-lainya. Mereka berdasar pada frman Allah SWT : Dan perempuan yang berzina tidak menikahinya kecuali laki-laki yang berzina atau pun musrik dan hal tersebut diharamkan bagi orang-orang yang beriman (An-Nur: 3). Ayat ini menurut mereka menyatakan akan keharaman menikahnya perempuan yang berzina dengan laki-laki yang bukan menzinahinya. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal tersebut dibolehkan. Sedang ayat di atas bukan menjelaskan keharaman hal tersebut tetapi mununjukan atas pencelaan orang yang melakukannya. Pendapat ini dikemukakan oleh Jumhur Ulama. Mereka pun berdasar kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Nasay dari Ibnu Abbas, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, ia berkata: Sesungguhnya istriku tidak bisa menjaga dirinya dari perbuatan zinah. Nabi pun bersabda: Jauhkalah dia. Orang itu menjawab: aku khawatir jiwaku akan mengikutinya (karena kecintaannya). Nabi pun bersabda padanya: Kalau begitu bersenang-senanglah dengannya (Nailul Author 6/145) Juga hadits yang diriwayatkan dari Aisyah: Sesuatu yang harom tidak dapat menghalalkan yang haram. (HR Baihaqy) Akan tetapi mereka yang berpendapat tentang kebolehan menikahnya seorang wanit yang berzinah dengan laki-laki yang bukan menzinahinya dalam beberapa hal; 1. Fuqoha Hanafyah menyatakan: Jika wanita yang berzina tidak hamil. Maka aqad nikahnya dengan laki-laki yang bukan menzinahinya adalah sah. Demikian juga jika si wanita tersebut sedang hamil, demikian menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Akan tetapi ia tidak boleh menggaulinya selama belum melahirkan. Dengan dalil sebagain berikut: a. perempuan yang berzina tidak termasuk wanita yang haram dinikahi. Oleh karena itu hukumnya mubah (boleh) dan termasuk dalam frman-Nya: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) b. Tidak ada keharaman karena disebabkan air (sperma) hasil zina. Dengan dalil hal tersebut tidak bisa menjadi sebab penasaban anak tersebut kepada bapaknya. Oleh karena itu zina tidak bisa menjadi penghalang pernikahan. Adapun sebab tidak bolehnya laki-laki tersebut menggauli wanita tersebut sampai ia melahirkan, adalah sabda Rasulullah SAW : Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain (HR Abu Daud dan at- Tirmidzy) yang dimaksud adalah wanita hamil disebabkan orang lain. 2. Abu Yusuf dan Zufar berpendapat: tidak bolah melakukan aqad nikah terhadap wanita yang hamil karena zina. Karena kehamilan tersebut menghalanginya untuk menggauli wanita tersebut dan juga menghalangi aqad dengannya. Sebagimana halnya kehamilan yang sah, yaitu; sebagaimana tidak bolehnya melaksankan aqad nikah dengan wanita yang hamil bukan karena zina maka dengan wanita yang hamil karena zina pun tidak sah. 3. Fuqoha Malikiyah menyatakan: tidak boleh melaksanakan aqad nikah dengan wanita yang berzina sebelum diketahui bahwa wanita tersebut tidak sedang hamil (istibraa), hal tersebut diketahui dengah haid sebanyak tiga kali atau ditunggui tiga bulan. Karena aqad dengannya sebelum istibra adalah aqad yang fasid dan harus digugurkan. Baik sudah nampak tanda-tanda kehamilan atau belum karena dua sebab, pertama adalah kehamilannya sebagimana hadits janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain atau dikhawatirkan dapat tercampurnya nasab jika belum nampak tanda-tanda kehamilan. 4. Fuqoha Syafiyah: Jika ia berzina dengan seorang wanita, maka tidak diharamkan menikah dengannya, hal tersebut berdasr pada frman Allah: Dan kami menghalalkan bagi kalian selain dari itu (an-Nisaa: 24) juga sabda Rasulullah SAW : sesuatu yang haram tidak dapat mengharamkan yang halal 5. Fuqoha Hanabilah berpendapat jika seorang wanita berzinahm maka tidak boleh bagi laki-laki yang mengetahu hal tersebut menikahinya, kecuali dengan dua syarat: a. Selesai masa iddahnya dengan dalil di atas, janganlah ia menyirami dengan airnya ladang orang lain dan hadit shohih Wanita yang hamil tidak boleh digauli sampai ia melahirkan b. Wanita tersebut bertaubat dari zinanya berdasarkan frman Allah SWT: dan hal tersebut diharmkan bagi orang-orang mumin (an-Nur: 3) dan ayat tersebut berlaku sebelum ia bertaubat. Jika sudah bertaubat hilanglah keharaman menikahinya sebab Rasulullah SAW bersabda: Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak memiliki dosa Jika hukum hudud belum diterapkan di negeri ini, maka orang yang melakukannya harus banyak beristigfar dan segera bertaubat kepada Allah dengan taubat nasuha, dan tidak boleh mengulangi lagi hal tersebut. Karena tidak mungkin orang tersebut melakukan hukuman hudud atau dirinya sendiri. Karena hukum hudud harus dilaksanakn oleh negara dalam hal ini mahkamah khusus yang telah ditunjuk. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. sumber: Syariahonline