Anda di halaman 1dari 70

KOREKSI

PERINGATAN MAULID
NABI MUHAMMAD SAW

Terjemahan
Kitab Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’ al-
Maulid bi al-Munkarat
karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad
Hasyim Asy’ari

Penerjemah:
Dr. Rosidin, M.Pd.I
KOREKSI
PERINGATAN MAULID
NABI MUHAMMAD SAW

Terjemahan
Kitab Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’ al-
Maulid bi al-Munkarat
karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad
Hasyim Asy’ari

Penerjemah:
Dr. Rosidin, M.Pd.I

www.tedisobandi.blogspot.com
Koreksi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW :
Terjemahan Kitab Tanbihat al-Wajibat li Man Yashna’
al-Maulid bi al-Munkarat
karya Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim
Asy’ari

Penerjemah : Dr. Rosidin, M.Pd.I

© 2013

Diterbitkan oleh:
Bayumedia Publishing
Anggota IKAPI
Jl. Bukit Barisan No. 23 Malang
Telp/Fax (0341) 568323
Email: bayumedia@yahoo.com

Bekerja sama dengan:


Pure Smart Publishing
Malang

Cetakan Pertama, September 2013

Desain Sampul dan Penata Isi,


Tim Bayumedia

ISBN : 978-602-284-022-0

Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak


atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam
bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk
fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya,
tanpa izin tertulis dari Penerbit.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab
XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)

ii
PRAKATA

A
lhamdulillah, segala puji bagi Allah ‘Azza
wa Jalla yang telah mengutus Nabi
Muhammad SAW sebagai Rahmatan lil
‘Alamin. Shalawat dan Salam senantiasa
terhaturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
setiap butir ajarannya akan menjadi Rahmatan lil
‘Alamin bagi komunitas manapun dan kapanpun
yang istiqamah memeganginya. Amma Ba’du.
Manusia dikenal sebagai homo festivus,
yaitu makhluk yang menyukai perayaan, pesta,
peringatan dan sebagainya. Oleh sebab itu, sejak
zaman dahulu hingga saat ini, kita mendapati di
berbagai belahan bumi, manusia melakukan
ritual-ritual, pesta-pesta, perayaan-perayaan,
peringatan-peringatan dan sebagainya.
Peringatan maulid Nabi Muhammad SAW
menimbulkan dua respon umat Islam yang
berseberangan, ada yang pro dan ada yang
kontra. Masing-masing kubu memiliki landasan
al-Qur’an maupun Hadits yang mendukung opini
yang dipegangi.
Melalui karya yang sudah diterjemah-kan
ini, Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim
Asy’ari mendukung pendapat yang membolehkan

iii
–bahkan menyunahkan– peringatan maulid Nabi
SAW, akan tetapi beliau memberikan catatan-
catatan kritis terhadap kegiatan peringatan
maulid Nabi SAW yang ketika itu disusupi oleh
hal-hal yang tidak selaras dengan syari’at Islam,
seperti memainkan alat musik, berjoget, dan
kemungkaran-kemungkaran lainnya.
Unsur manfaat yang kiranya dapat diraih
dari pembacaan karya terjemahan ini antara lain:
Pertama, meneguhkan keyakin-an bahwasanya
peringatan maulid Nabi SAW tergolong bid’ah
hasanah. Kedua, memberi panduan bagi
kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk
memperingati maulid Nabi SAW, agar tidak
keluar dari jalur-jalur syari’at Islam yang jelas-
jelas merusak kemuliaan maulid Nabi SAW.
Selaras dengan tema maulid Nabi SAW,
penerjemah terlecut untuk mengutip kembali
pernyataan seorang tokoh agama yang namanya
juga harum dalam lintasan sejarah, Mahatma
Gandhi:
“Saya takjub, manusia seperti apakah yang hingga
hari ini menawan hati jutaan manusia… Saya
menjadi lebih daripada sekedar yakin bahwa bukan
pedang yang membuat Islam berjaya.
Kebersahajaan, pelenyapan ego sang Nabi, tekad
kuat untuk memenuhi semua janjinya,
pelayanannya yang amat mendalam kepada para
sahabat dan pengikutnya, keberaniannya yang tak
mengenal rasa takut, keyakinan penuhnya kepada

iv
Tuhan dan kepada misinya. Semua inilah, dan
bukannya pedang, yang menyebabkan umat
Muslim berjaya dan mampu menyingkirkan segala
penghalang. Ketika menamatkan biografi sang
Nabi, saya sedih karena taka da lagi yang bisa saya
baca tentang kehidupan nan agung itu”. [Karen
Amstrong Muhammad: Prophet for Our Time,
Bandung: Mizan, 2007].

Akhirul kalam, penerjemah sampaikan


terima kasih yang setulus-tulusnya kepada
seluruh pihak yang telah memberi inspirasi,
motivasi dan fasilitasi terhadap penerbitan karya
terjemahan ini. Semoga Allah SWT memberikan
balasan yang terbaik di dunia dan akhirat, Amin
ya Rabbal ‘Alamin.

Singosari, 17 September 2013

v
DAFTAR ISI

Prakata ............................................................ iii


Daftar isi .......................................................... vi
Muqaddimah .................................................. 1
Peringatan Pertama ....................................... 4
Peringatan Kedua ........................................... 11
Peringatan Ketiga ........................................... 14
Peringatan Keempat ...................................... 17
Peringatan Kelima .......................................... 19
Peringatan Keenam ........................................ 23
Peringatan Ketujuh ........................................ 25
Peringatan Kedelapan .................................... 28
Peringatan Kesembilan .................................. 31 
Peringatan Kesepuluh .................................... 33
Penutup ........................................................... 44
Catatan Tambahan () ........................... 55

vi
 

  
    

Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang


telah menghancurkan kegelapan perkara-perkara
Jahiliyah dengan cahaya Syari’at yang dibawa oleh
junjungan umat manusia dan jin [yaitu Nabi
Muhammad SAW]. Maha Suci Allah SWT; yang
begitu agung keadaan-Nya dan setiap waktu Dia
dalam kesibukan. Saya memuji kepada Allah
SWT dengan pujian yang berturut-turut dari
lubuk hati terdalam dan dari lisan yang jernih.
Saya bersyukur kepada Allah SWT dengan rasa
syukur yang berturut-turut melalui hati dan
anggota tubuh.
Saya bersaksi bahwa tiada tuhan yang
berhak disembah selain Allah Yang Mahaesa;
tiada sekutu bagi-Nya; yang disucikan dari [segala
unsur] jasmaniah, arah, waktu dan tempat. Saya
bersaksi bahwa junjungan kita, [Nabi]
Muhammad SAW adalah hamba Allah dan Rasul-
Nya; sang Nabi pembawa Rahmat; pemberi
syafa’at umat; dan akhlaknya adalah al-Qur’an.
Shalawat serta Salam semoga tetap
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarga, Shahabat, seluruh Nabi dan Rasul,
seluruh hamba Allah yang shalih, para malaikat
al-Muqarrabin, dan siapapun yang mengikuti
1
mereka dengan ihsan hingga hari kiamat; selagi
tempat-tempat masih berpenghuni; waktu masih
terus berputar; siang dan malam masih terus
saling berganti. Amma Ba’du.
Seorang hamba yang lemah, sudah tua
renta [pikun], penuh kekurangan, keteledoran,
dan kelemahan; Muhammad Hasyim bin
Muhammad Asy’ary Jombang –semoga Allah
SWT memperlakukannya dengan belas kasih-Nya
yang samar lagi dekat– berkata:
Pada malam senin, 25 Rabi’ul Awwal 1355
H, saya melihat sekelompok santri di sebagian
pesantren mengadakan peringatan Maulid Nabi
SAW. Dalam acara itu, mereka menghadirkan
alat-alat permainan; lalu membaca sedikit ayat al-
Qur’an dan Hadits-hadits yang berkaitan dengan
permulaan sejarah Nabi SAW; serta ayat-ayat
yang berkaitan dengan hari kelahiran Nabi SAW
dan sejarah hidup beliau sesudah itu yang penuh
dengan keberkahan.
Selanjutnya para santri itu melakukan
berbagai kemungkaran, misalnya: saling
memukul dan menangkis, yang mereka sebut
dengan istilah pencak [silat]; tinju; dan menabuh
rebana [bahasa Jawa: terbang]. Semua itu
dilakukan di hadapan wanita-wanita lain
( ) yang berada di dekat mereka untuk
menonton pertunjukan tersebut. Ada juga acara
musik, saterik [sandiwara kuno], dan permainan
seperti judi. Saat itu bercampur-baur antara kaum
2
laki-laki dengan wanita; mereka menonton
bersama; saling menari [berjoget] dan tenggelam
dalam permainan, canda-tawa, mengeraskan
suara, serta berteriak-teriak di masjid dan
sekitarnya.
Lalu saya melarang dan mengingkari
[memberi peringatan keras] mereka atas
perbuatan mungkar di atas; akhirnya mereka
berpencar dan membubarkan diri.
Ketika terjadi suatu kegiatan seperti yang
saya jelaskan di atas, maka saya khawatir perilaku
terhina ini menyebar ke banyak tempat dan para
pelakunya menambah jenis-jenis kemaksiatan
[dalam kegiatan tersebut]; bahkan bisa jadi,
perilaku terhina tersebut akan mengantar-kan
mereka keluar dari agama Islam. Oleh karena itu,
saya menyusun peringatan-peringatan ini sebagai
nasehat [yakni mengharapkan kebaikan] bagi
agama dan sebagai petunjuk bagi kaum
muslimin.
Kepada Allah SWT, saya memohon agar
kitab ini dijadikan ikhlash semata-mata karena
mengharap ridha Allah al-Karim, sesungguhnya
Allah SWT adalah Dzat yang mempunyai
anugerah yang agung.

3
PERINGATAN PERTAMA

B
erdasarkan pendapat ulama’ yang nanti
akan disebutkan, bahwa kegiatan Maulid
[Nabi Muhammad SAW] yang dinilai
sunnah oleh para imam adalah berkumpulnya
orang-orang untuk membaca al-Qur’an dan
riwayat Hadits-hadits yang berkaitan dengan
permulaan kehidupan Nabi [Muhammad] SAW;
keistimewaan-keistimewaan pra-kenabian
() yang terjadi ketika beliau masih berada
dalam kandungan dan pada saat kelahiran beliau;
serta perjalanan hidup beliau sesudah itu, yang
penuh dengan keberkahan.
Selanjutnya dihidangkan makanan untuk
dimakan bersama-sama, kemudian mereka
membubarkan diri. Jika mereka menambah
kegiatan Maulid Nabi dengan menabuh rebana
dengan tetap menjaga tata krama, maka
hukumnya tidak mengapa.
Syaikh Syihabuddin Abu Muhammad
Abdurrahman bin Isma’il yang terkenal dengan
sebutan Abu Syamah RA dalam kitabnya yang
berjudul  menyatakan:

4
Di antara bid’ah yang paling bagus pada masa kita ini
adalah apa yang dilakukan di Kota Irbil –semoga
Allah SWT menyempurnakan kota ini– setiap tahun,
bertepatan dengan hari Maulid Nabi [Muhammad]
SAW; yaitu bershadaqah, melakukan perbuatan yang
baik (ma’ruf), menampakkan perhiasan dan suka
cita. Sesungguhnya kegiatan tersebut, di samping
berbuat baik kepada kaum fakir miskin; juga
menunjukkan rasa cinta, pengagungan dan
penghormatan kepada Nabi [Muhammad] SAW di
hati setiap peserta kegiatan Maulid; serta rasa syukur
kepada Allah SWT atas anugerah-Nya yang
menciptakan seorang Rasul yang diutus sebagai
rahmat bagi semesta alam (  ). Semoga
Shalawat dan Salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi SAW dan seluruh rasul. Adapun orang yang
pertama kali mengadakan kegiatan Maulid di atas
adalah Syaikh Umar bin Muhammad al-Mulla; salah
seorang ulama’ shalih yang terkenal. Kemudian
kegiatan Maulid [versi Syaikh Umar] itu diikuti oleh
penduduk kota Irbil dan kota-kota lainnya. Semoga
Allah SWT memberi rahmat kepada mereka semua.

Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhany


Rahimahullahu berkomentar dalam kitab-nya
yang berjudul  :

Nabi [Muhammad] SAW dilahirkan di rumah milik


Muhammad bin Yusuf dan disusui oleh Tsuwaibah,
seorang budak yang dimerdekakan oleh Abu Lahab.

5
Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena telah
memberi kabar gembira kepada Abu Lahab atas
kelahiran Nabi SAW. Setelah kematian Abu Lahab,
ada seseorang yang bermimpi bertemu dengan Abu
Lahab. Abu Lahab ditanya: “Bagaimana
keadaanmu?”. Abu Lahab menjawab: “Saya ada di
neraka, hanya saja siksaku diringankan setiap malam
senin; dan saya dapat menghisap air dari kedua jariku
ini –Abu Lahab memberi isyarat menunjuk pada
ujung jari-jemari–. Sesungguhnya semua itu [saya
peroleh] dikarenakan saya telah memerdekakan
Tsuwaibah ketika dia memberi kabar gembira
kepadaku atas kelahiran Nabi SAW dan juga
dikarenakan Tsuwaibah-lah yang telah menyusui
Nabi SAW”. Ibnu Al-Jazary berkata: “Jika Abu
Lahab yang kafir dan yang al-Qur'an turun untuk
mencelanya, memperoleh balasan [yang sedemikian
rupa] sebab kegembiraannya pada malam kelahiran
Nabi SAW, maka bagaimana keadaan seorang
muslim yang meng-esa-kan Allah SWT dari umat
Nabi SAW, yang bergembira atas hari Maulid Nabi
SAW dan mengerahkan segenap kemampuan-nya
dalam mencintai Nabi SAW? Demi umurku!,
sesungguhnya balasan bagi orang muslim yang
seperti itu adalah Allah SWT akan memasukkannya
–sebab anugerah-Nya yang meliputi [segala sesuatu]–
ke dalam surga. 1 Oleh karena itu, umat Islam

1
Ada sebuah syair yang menunjukkan kisah Abu Lahab
tersebut yang digubah oleh salah seorang ulama’ besar,
Syaikh Yusuf al-Dahwy:

6
senantiasa memperingati bulan Maulid Nabi SAW;
mengadakan berbagai kegiatan Maulid; bershadaqah
dengan berbagai macam shadaqah; menampakkan
suka cita; menambah amal-amal kebaikan; dan
bersungguh-sungguh untuk membaca [riwayat]
Maulid Nabi SAW. Tampak jelas mereka
mendapatkan barokah Nabi SAW, berupa anugerah
yang merata.

Al-‘Allamah Ahmad bin Hajar


Rahimahullah menegaskan dalam kitabnya yang
berjudul :

{DIBERBOLEHKAN REBANA} yakni menabuh


dan mendengarkan rebana {UNTUK ACARA
PERNIKAHAN}, karena sesungguhnya Nabi SAW
sudah mentaqrir [menyetujui] para budak wanita
yang menabuh rebana pada saat Ali bin Abi Thalib

 

 
Jika [balasan yang sedemikian rupa] ini diberikan
kepada orang kafir yang telah dicela [al-Qur’an] *
dan binasa kedua tangannya, lagi kekal di neraka
Jahim;
Maka apa dugaan [Anda] dengan seorang hamba
yang menghabiskan usianya * dengan bergembira
[mencintai] Ahmad [yakni Nabi Muhammad SAW]
dan wafat dalam keadaan mengeesakan Allah SWT.
7
RA menikahi Fathimah RA. Bahkan Nabi SAW
bersabda kepada wanita yang berkomentar, ‘Di
hadapan kita ada Nabi yang mengetahui apa yang
terjadi di masa depan’: “Biarkan saja [penabuhan
rebana] ini, dan dendangkanlah apa yang biasanya
kalian dendangkan”, yaitu memuji-muji sebagian
orang yang gugur di [medan] Badar. (HR. Bukhari).
Ada Hadits Shahih:

 
Pemisah antara haram dan halal adalah menabuh
rebana.
Dan Hadits:

   

 
Umumkanlah pernikahan ini; selenggarakan-lah di
masjid-masjid; dan tabuh-lah rebana pada [acara]
pernikahan.
Hadits ini sanadnya Hasan, sedangkan penilaian
Imam al-Tirmidzi yang menilai Hadits ini sebagai
Hadits Dha'if adalah tertolak. Dari sini, Al-Baghawi
dan ulama’ lain berpendapat bahwa menabuh rebana
itu sunnah dalam acara pernikahan dan sejenisnya.
{DAN KHITAN}, karena sesungguhnya Umar RA
juga mentaqrir [menyetujui] penabuhan rebana pada

8
acara khitan, sebagaimana dalam acara pernikahan;
dan Umar RA mengingkari penabuhan rebana pada
selain kedua acara ini [pernikahan dan khitan]. (HR.
Ibnu Abi Syaibah). {DAN JUGA PADA SELAIN
PERNIKAHAN DAN KHITAN} yaitu pada setiap
acara yang bernuansa suka-cita ()
{MENURUT PENDAPAT YANG ASHAH}
berdasarkan Hadits al-Tirmidzi dan Ibnu Hibban
bahwa sesungguhnya ketika [Nabi] SAW kembali ke
Madinah dari sebagian perang, ada seorang wanita
berkulit hitam berkata kepada Nabi SAW:
“Sesungguhnya saya bernadzar, yaitu jika Allah
mengembali-kan Anda dalam keadaan selamat, maka
saya akan menabuh rebana di hadapan Anda”. Lalu
Nabi SAW bersabda: “Jika engkau memang sudah
bernadzar, maka penuhilah nadzarmu!”. Hadits ini
juga memperkuat pendapat al-Bulqiny yang
berpendapat bahwa menabuh rebana untuk
menghormati kedatangan orang alim atau pejabat,
tidak ada khilaf (perbedaan pendapat) di dalamnya.
Bahkan Hadits di atas juga memperkuat kesunahan
menabuh rebana dengan tujuan [menunjukkan] rasa
gembira atas kedatangan orang alim yang memberi
banyak manfaat kepada kaum muslimin; karena
tidak sah bernadzar dengan perkara mubah, dan
tidak dituntut untuk memenuhinya {AKAN
TETAPI DALAM PENDAPAT ASHAH DALAM
[BAB] NADZAR, ADA TAMBAHAN YANG
HARUS DISAMPAIKAN DI SINI}, dan
diperbolehkan atau disunnahkan [untuk menabuh
rebana], menurut ulama' yang berpendapat sunnah

9
menabuh rebana {[YAITU] MESKIPUN REBANA
ITU MEMILIKI KECER} karena Hadits di atas
bersifat umum. Pernyataan bahwa rebana [yang
diperbolehkan atau disunnahkan] itu tidak ada kecer-
nya, maka pernyataan tersebut membutuhkan
penegasan; bahwa ada kalanya kecer itu berupa
kelintingan yang diletakkan di dalam rebana seperti
rebana Arab; atau kecer itu berupa kecer lebar yang
terbuat dari kuningan dan diletakkan di lubang-
lubang sekeliling rebana seperti rebana ‘Ajam [selain
Arab]. Di samping kehalalan [kebolehan menabuh
rebana] yang memiliki kecer ini, al-Hawy al-Shaghir
dan [kitab] lainnya menegaskan –namun disanggah
oleh al-Adzra’i– bahwa rebana itu lebih mampu
membuat orang bergoyang dibandingkan dengan
alat-alat permainan lain yang sudah disepakati
keharamannya. Al-Hawy al-Shaghir juga menjelaskan
secara panjang lebar dan menukil pendapat dari
sekelompok ulama’ yang mengharamkan [menabuh]
rebana; serta tidak ada perbedaan antara laki-laki
maupun wanita terkait hukum menabuh rebana ini.
Adapun pendapat al-Halimy yang mengkhususkan
kehalalan rebana bagi kaum wanita saja, disanggah
oleh Imam al-Subky.

10
PERINGATAN KEDUA

M
emperingati maulid [Nabi SAW]
sebagaimana yang saya jelaskan
pertama kali [yakni pada bagian
Muqaddimah] adalah haram. Tidak ada
perbedaan pendapat terkait keharamannya; tidak
ada yang menentang untuk melarangnya dan
tidak dinilai baik oleh orang yang mempunyai
harga diri dan keimanan. Sesungguhnya yang
menyukai peringatan maulid seperti itu hanyalah
orang-orang yang mata hatinya sudah dibutakan;
sangat gemar makan dan minum saja; tidak takut
bermaksiat meskipun dicerca oleh orang-orang
yang mencerca; serta tidak peduli bahwa
peringatan maulid seperti di atas termasuk dosa
besar. Demikian juga dengan orang yang melihat,
menghadiri, dan memberi [bantuan] harta benda
demi peringatan maulid tersebut; sesungguhnya
semua itu hukumnya sangat diharamkan, karena
mengandung kerusakan-kerusakan yang Insya
Allah akan dijelaskan pada bagian akhir
peringatan-peringatan ini.
Imam al-Baidhawy Rahimahullahu
berkomentar dalam kitab tafsirnya tentang
firman Allah SWT [Surat al-An’am: 108]

11
      

108      


Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.

Menurut satu pendapat (), kaum muslimin


mencaci-maki berhala-berhala kaum kafir; lalu
mereka dilarang melakukan hal itu, agar hinaan
mereka tidak menjadi sebab penghinaan kepada
Allah SWT [yang dilakukan oleh kaum kafir]. Ayat
ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya ketaatan,
jika kemungkinan besar mendatangkan kemaksiatan,
maka wajib ditinggalkan; karena sesungguhnya
perkara yang mendatangkan pada keburukan juga
dinilai sebagai keburukan.
Jika Anda sudah mengetahui hal itu, maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya memperingati
maulid [Nabi SAW], jika kemungkinan besar
dapat mendatangkan kemaksiatan, misalnya:
kemungkaran-kemungkaran, maka wajib
ditinggalkan dan haram diselenggarakan.
Saya mendapatkan informasi dari orang
yang saya percayai, bahwa di sebuah desa
kabupaten Madiun, diselenggarakan peringatan
maulid yang penuh dengan kemungkaran, yaitu

12
bercampurnya kaum laki-laki dengan kaum
wanita; dalam salah satu permainannya, para
pemuda memakai pakaian wanita; sehingga
terjadi fitnah pada sebagian penonton, baik kaum
laki-laki maupun kaum wanita; dan terjadi fitnah
pada kedua belah pihak; serta menimbul-kan
berbagai kerusakan yang tidak terhitung
jumlahnya sampai-sampai menimbulkan
perceraian di antara suami dan istri. Semua
kerusakan ini adalah kerusakan-kerusakan yang
disebabkan peringatan maulid [Nabi SAW] yang
disertai berbagai kemungkaran–kemungkaran.

13
PERINGATAN KETIGA

S
yaikh Tajuddin ‘Umar bin Ali al-Lakhamy al-
Sakandary yang terkenal dengan [julukan]
al-Fakihany Rahimahullah, salah seorang
pemuka ulama’ Malikiyah menjelaskan
keharaman peringatan maulid seperti keterangan
di atas.
Al-Fakihany berkomentar dalam kitab yang
berjudul :

Pembahasan tentang maulid [Nabi SAW] ini terbagi


menjadi dua bagian dan dibedakan antara dua
keadaan. Pertama: Jika peringatan maulid dilakukan
oleh seorang laki-laki dengan menggunakan uangnya
sendiri untuk diberikan kepada keluarga, para
shahabat dan kerabatnya; lalu mereka tidak
melampaui batas dalam mengkonsumsi makanan
dalam peringatan maulid tersebut dan tidak
melakukan dosa sedikit pun. Maka inilah maulid
yang kami nilai sebagai bid’ah yang makruh 2, karena

2
Menurut salah seorang ulama’ besar, Syaikh Yusuf al-
Dahwi, pendapat ini tidak mempunyai pijakan (),
sehingga yang benar adalah seperti keterangan
sebelumnya [yaitu sunnah atau mubah].

14
tidak ada satu pun ahli ketaatan () masa
lampau yang melakukannya, yaitu para Fuqaha’ dan
ulama’, para lentera zaman dan perhiasan tempat.
Kedua: Maulid yang dimasuki oleh jinayat [tindak
pidana] dan dapat menimbulkan kesulitan, sehingga
salah seorang anggota masyarakat [terpaksa] memberi
sesuatu, raganya memang memberi namun hatinya
merasa sedih [tidak rela] dan merasa sakit karena
pedihnya penganiayaan. Seorang ulama’ berkata:
“Mengambil harta dengan [memanfaatkan] jabatan
itu seperti mengambil harta dengan pedang”. Apalagi
jika peringatan maulid tersebut disertai dengan lagu-
lagu, kondisi perut [para peserta maulid] serba
kekenyangan, dengan diiringi alat-alat [musik] yang
bathil, seperti rebana dan seruling; bercampurnya
kaum laki-laki dengan para pemuda amrad [anak
atau orang laki0-laki yang berwajah ‘cantik’, mirip
wanita] dan para wanita yang dapat menimbulkan
fitnah; mereka saling berbaur atau saling melihat;
berjoget dengan bergoyang-goyang maupun
berlenggak-lenggok; tenggelam dalam permainan dan
melupakan hari kiamat. Demikian juga dengan
kaum wanita, ketika mereka mengadakan peringatan
maulid khusus wanita, mereka mengeraskan suara
dengan berteriak-teriak dan mendendangkan lagu-
lagu; dan melewati batas dalam membaca [al-Qur’an]
maupun dzikir, dari apa yang sudah disyari’atkan
atau dari apa yang berlaku pada umumnya. Semua
ini adalah peringatan maulid yang tidak
diperselisihkan lagi keharamannya oleh siapapun.

15
Pendapat al-Fakihany di atas diikuti Syaikh
Jalaluddin al-Suyuthy Rahimahullah, maka
sesungguhnya Imam al-Suyuthy berkomentar
setelah pernyataan Syaikh Tajuddin [al-Fakihany]
di atas:

Penyataan al-Fakihany:    [yakni


penjelasannya tentang peringatan maulid bagian
kedua]. Penyataan tersebut adalah pendapat yang
shahih; hanya saja, sesungguhnya pengharaman di
sini hanya dari segi perkara-perkara haram yang
terkumpul [terjadi] pada suatu peringatan maulid,
bukan dari segi berkumpul untuk menampakkan
syi’ar maulid [Nabi SAW].3

 [Intinya, Imam al-Suyuthy tidak mengharamkan


3

peringatan maulid Nabi SAW yang bebas dari hal-hal


yang diharamkan selama berlangsungnya peringatan
maulid tersebut].

16
PERINGATAN KEEMPAT

D
i antara ulama’ yang menjelaskan
keharaman peringatan maulid [Nabi
SAW] yang disertai perbuatan
kemungkaran-kemungkaran adalah Syaikh Abu
Abdillah bin al-Haj al-Maliky. Beliau berkomentar
dalam kitab  pada Pasal maulid:

Di antara bagian bid’ah yang dibuat-buat oleh suatu


kaum dengan disertai keyakinan bahwa bid’ah
tersebut termasuk ibadah yang paling agung dan
menampakkan syi’ar-syi’ar [Islam] adalah peringatan
maulid yang mereka adakan pada bulan Rabi'ul
Awwal, yang memuat bid’ah-bid’ah dan perbuatan-
perbuatan haram yang sangat banyak, antara lain:
menampilkan nyanyian-nyanyian dan diiringi
dengan alat-alat berjoget [alat musik] seperti rebana
yang nyaring suaranya, seruling, dan alat-alat musik
lainnya. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan
tercela pada saat peringatan maulid, karena mereka
menghabiskan banyak waktu yang dianugerahkan
dan diagungken oleh Allah SWT dengan bid’ah-
bid’ah dan perbuatan-perbuatan haram. Seandainya
saja mereka tidak menampilkan nyanyian-nyanyian
seperti itu. Bahkan sebagian mereka menyangka
bahwa sesungguhnya dia bertata-krama; dia memulai

17
maulid [Nabi SAW] dengan bacaan al-Qur'an;
melihat kepada orang yang lebih banyak
pengetahuannya dengan bingung; dan [membuat]
jalan-jalan yang dihias indah untuk menyenang-kan
hati; kemudian mereka berpendapat bahwa semua itu
termasuk ibadah, bukan termasuk perkara-perkara
mungkar yang diharamkan. Sesungguhnya kami
milik Allah, dan sesungguhnya kami kembali
kepadanya (). Islam itu asing pada
permulaannya dan akan kembali asing seperti semula.

18
PERINGATAN KELIMA

D
i antara ulama’ yang mengharamkan
peringatan maulid [Nabi SAW] yang
disertai perbuatan-perbuatan mungkar
adalah Syaikhul Islam, Hafizh al-‘Ashr, Abu al-
Fadhl Ahmad Ibnu Hajar al-‘Asqalany
Rahimahullah. Sesungguhnya beliau ditanya
tentang peringatan maulid, lalu beliau menjawab
dengan keterangan berikut:
Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang
tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari
generasi Salafush Shalih dari 3 kurun [yakni
Shahabat, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in]; meskipun
peringatan maulid itu bid’ah, namun mengandung
kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan.
Barangsiapa bersungguh-sungguh melakukan
kebaikan-kebaikan pada waktu peringatan maulid
dan menjauhi keburukan-keburukan, maka
peringatan maulid tersebut adalah bid’ah hasanah.
Jika tidak demikian, berarti bukan tergolong bid’ah
hasanah. Saya memperoleh dasar yang kuat terkait
masalah ini, yaitu Hadits dalam kitab Shahih
Bukhari-Muslim berikut:

19
       



 


Sesungguhnya Nabi SAW datang ke Madinah, lalu
beliau mendapati kaum Yahudi berpuasa pada hari
‘Asyura [10 Muharram]. Nabi SAW bertanya
kepada mereka [tentang hal itu], lalu mereka
menjawab: “Hari ‘Asyura adalah hari di mana Allah
[SWT] telah menenggelamkan Fir’aun dan
menyelamatkan [Nabi] Musa. Maka kami berpuasa
pada hari ‘Asyura sebagai rasa syukur kepada Allah
SWT.
Dari Hadits ini dapat diambil kesimpulan [yakni
menjadi dasar pijakan atas kebolehan]
mengungkapkan rasa syukur kepada Allah [SWT]
atas apa yang telah dianugerahkan Allah [SWT] pada
hari tertentu, baik berupa pemberian kenikmatan
maupun tercegahnya siksaan [musibah]; dan
pengungkapan rasa syukur tersebut diperingati lagi
pada hari yang sama dalam setiap tahun. Ungkapan
rasa syukur kepada Allah [SWT] dapat dilakukan
dengan berbagai macam ibadah, misalnya: sujud,
puasa, shadaqah dan membaca al-Qur'an. Lalu
nikmat apa lagi yang lebih agung daripada nikmat

20
kelahiran Nabi sang pembawa rahmat ini [yaitu Nabi
Muhammad SAW] yang bertepatan dengan hari
maulid. Oleh karena itu, hendaknya seseorang benar-
benar memperhatikan peringatan maulid ini,
sehingga sesuai dengan kisah Nabi Musa AS pada
Hari ‘Asyura. Barangsiapa tidak memperhatikan hal
itu, maka dia tidak peduli terhadap peringatan
maulid, pada hari apa saja dilaksanakan, asalkan pada
bulan [Rabi’ul Awwal]; bahkan suatu kaum bersikap
leluasa, sehingga memindahkan peringatan maulid
Nabi [SAW] pada hari apa saja sepanjang tahun. Ini
adalah bahasan tentang apa yang berhubungan
dengan dasar [dalil] peringatan maulid [Nabi SAW].
Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada peringatan
maulid, maka hendaknya terbatas pada hal-hal yang
dipahami sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT seperti keterangan sebelumnya, misalnya:
membaca al-Qur'an, memberi makan orang lain,
shadaqah, mendendangkan sya’ir-sya’ir pujian
nabawiyyah [yakni sya’ir pujian kepada Nabi SAW]
dan zuhdiyah [yakni sya’ir yang mengajak sikap
zuhud] yang dapat menggerakkan hati untuk
melakukan perbuatan baik dan amal akhirat. Adapun
perkara-perkara yang mengikuti peringatan maulid
[Nabi SAW] tersebut, baik berupa ‘suara-suara’ yang
diperdengarkan ( ), permainan, dan lain-lain;
maka seyogyanya dikatakan: Jika hal-hal tersebut
hukumnya mubah sekira dapat mendatangkan
kebahagiaan atas hari maulid [Nabi SAW], maka
tidak mengapa untuk dilakukan pada peringatan
maulid. Jika hal-hal tersebut hukumnya haram atau

21
makruh, maka hendaknya dilarang; demikian juga
dengan hal-hal yang hukumnya khilaful aula [kurang
baik, yakni hukum yang statusnya di bawah
makruh].

22
PERINGATAN KEENAM

A
l-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan kewajiban
menghormati, memuliakan dan
mengagungkan Nabi SAW pada saat
peringatan maulid beliau; ketika mengingat
Hadits dan Sunnah beliau; dan ketika mendengar
nama beliau [disebut]. Al-Qadhi ‘Iyadh
berkomentar dalam kitabnya yang berjudul
:

Ketahuilah bahwa sesungguhnya meng-hormati,


memuliakan dan mengagungkan Nabi SAW sesudah
wafatnya beliau adalah wajib sebagaimana ketika
beliau masih hidup. Pengagungan dan penghormatan
tersebut diberikan ketika mengingat Nabi SAW;
mengingat Hadits atau Sunnah beliau; dan ketika
mendengar nama beliau. Ibrahim al-Tujiby berkata:
“Wajib bagi setiap mukmin, ketika dia mengingat
Nabi SAW atau [nama] beliau disebut di
sampingnya, untuk bersikap rendah diri, khusyu’,
memuliakan, tenang, dan merasakan wibawa dan
keagungan Nabi SAW seolah-olah dia berada di
hadapan Nabi SAW, yakni menghadiri majlis beliau.
Lalu setiap orang mukmin mewajibkan hal itu,
memperhatikannya dan melaksanakan-nya seakan-
akan dia berada di sisi Nabi SAW; dan hendaknya

23
dia bertata krama dengan tata krama yang diajarkan
oleh Allah SWT kepada kita, yaitu mengagung-
kannya, memulyakannya, melirihkan suara, dan
sejenisnya.
Penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh dan Ibrahim al-
Tujiby di atas jelas menunjukkan keharaman
memperingati maulid [Nabi SAW] yang disertai
dengan perbuatan kemungkaran-kemungkaran.

24
PERINGATAN KETUJUH

S
yaikh Ibn al-Haj al-Fasiy dalam Hasyiyah-
nya, [yaitu]  4
menjelaskan:
“Sesungguhnya menggunakan sesuatu yang
dipakai untuk mengagungkan bukan pada
tempatnya adalah haram”. Sesungguhnya Syaikh
Ibnu al-Haj al-Fasiy berkomentar dalam
Hasyiyah-nya:
Di antara kebiasaan yang sangat buruk adalah apa
yang dilakukan oleh para pemain alat musik kecapi,
dan sebagai-nya. Mereka memulai ‘lagu-lagu’ ()
atau sebagian ‘lagu’ dengan memuji kepada Allah
SWT atau pujian-pujian kenabian maupun Shalawat
kepada Nabi [Muhammad] SAW; serta mengkhiri
dengan do'a-do'a. Sesungguhnya jika mereka
bermaksud melakukan itu semua dalam rangka
menghalakan alat-alat [musik] yang diharamkan di
atas, maka sungguh dekat pada kekufuran; semoga
Allah menjaga kita [dari hal tersebut]. Jika mereka
bermaksud melebur dosa, maka yang demikian itu

4
Sayyid Murtadha dalam Syarh al-Qamus
berkomentar: “Mayyarah adalah kakek guru dari para
guru kita, [yaitu] al-Imam al-Mu’ammar al-Muhaddits,
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Fasiy.

25
adalah kebodohan besar, bahkan hal itu lebih dekat
pada pernghinaan; sehingga dosa [mereka] semakin
bertambah dari segi penggunaan sesuatu yang semula
untuk pengagungan, [digunakan] bukan pada
tempatnya.

Dapat diambil kesimpulan dari ketetapan


hukum di atas, yaitu hukum haram dan
bertambahnya dosa dalam penggunaan sesuatu
yang semula ditujukan untuk pengagungan,
bukan pada tempatnya; bahwa ketetapan hukum
tersebut [yaitu hukum haram dan bertambahnya
dosa] juga berlaku pada penggunaan sesuatu yang
digunakan untuk menghina atau menyakiti,
seperti menabuh alat permainan-permainan dan
kemungkaran-kemungkaran lainnya pada saat
momen pengagungan seperti maulid Nabi SAW.
Dari sini Anda mengetahui bahwa perbuatan
kemungkaran-kemungkaran yang dilakukan pada
saat maulid Nabi SAW, adalah lebih dekat pada
sikap meremehkan, menghina dan menyakiti
Nabi SAW; karena pengagungan terhadap Nabi
SAW adalah bertata-krama kepada beliau dengan
tata krama yang pantas bagi beliau.
Al-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas RA
bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW keluar
menemui para Shahabat beliau dari golongan
Muhajirin dan Anshar. Saat itu mereka sedang
duduk, dan di antara mereka ada Abu Bakar RA
dan Umar RA. Tidak ada seorang pun di antara
mereka yang [berani] mengangkat pandangan
26
mata untuk menatap Nabi SAW, kecuali Abu
Bakar dan Umar RA. Sesungguhnya mereka
berdua melihat Nabi SAW; dan beliau juga
menatap keduanya. Mereka berdua tersenyum
kepada Nabi SAW, dan beliau juga tersenyum
kepada keduanya.
Usamah bin Syarik RA berkata: “Saya
datang menemui Nabi SAW, sedangkan para
Shahabat berada di sekeliling beliau; seakan-akan
di atas kepala mereka ada burung”. Maksudnya:
Mereka bersikap begitu tenang dan diam.

27
PERINGATAN KEDELAPAN

A
l-Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah menjelaskan
[kebolehan] membunuh orang yang
merendahkan derajat dan menyakiti Nabi
SAW. Sesungguhnya Al-Qadhi ‘Iyadh
berkomentar dalam kitab :

Di antara perkara wajib yang termasuk hak-hak Nabi


SAW dan bagian dari berbuat baik, menghormati,
mengagung-kan dan memuliakan Nabi SAW adalah
Allah SWT mengharamkan [perilaku] menyakiti
beliau dalam kitab-Nya [al-Qur’an]; dan umat Islam
sepakat [Ijma’] atas [kebolehan] membunuh orang
yang merendahkan derajat Nabi SAW dengan suatu
jenis penghinaan apapun.

Selanjutnya Al-Qadhi ‘Iyadh RA


menyebutkan Hadits Abu Barzah Al-Aslamy yang
berkata:
Pada suatu hari saya duduk bersama Abu Bakar al-
Shiddiq. Kemudian Abu Bakar marah kepada
seorang laki-laki muslim, namun laki-laki itu
membalas memarahi beliau. Lalu saya berkata:
‘Wahai Khalifah Rasulullah, biarkan saya memenggal
kepala orang itu’. Abu Bakar RA berkata: ‘Duduklah.

28
Tidak boleh berbuat demikian (yaitu membunuh
sesama manusia demi orang lain), kecuali demi
Rasulullah SAW’. Al-Qadhi Abu Muhammad bin
Nahsr berkata: “Tidak ada yang seorangpun yang
mengingkari [kebolehan] untuk membunuh orang
yang menghina Nabi SAW, sehingga hal ini menjadi
Ijma’. Para imam menggunakan Hadits ini sebagai
dalil atas kebolehan membunuh orang yang
membuat marah Nabi SAW dengan perilaku apapun
yang membuat marah, menyakiti maupun menghina
beliau”.

Lalu Al-Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah


berkomentar:
[Kebolehan] membunuh orang yang menyakiti Nabi
SAW di atas, dari segi logika (penalaran akal) dan
i’tibar (penalaran Qiyas), menunjukkan bahwa orang
yang menghina atau merendahkan derajat Nabi
SAW, sungguh telah menampakkan tanda-tanda
penyakit sakit dan menunjukkan bukti keburukan
hatinya serta kekufurannya.

Maka renungkanlah! –semoga Allah SWT


memberi Taufiq kepada Anda– terhadap 3
peringatan yang saya sebutkan di atas tentang
kewajiban memuliakan, menghormati dan
mengagungkan Nabi SAW dalam peringatan
maulid beliau; ketika mengingat Hadits maupun
Sunnah beliau; dan ketika mendengar nama
beliau [disebut]. Dan juga mengingat keharaman

29
melakukan sesuatu yang semula untuk
pengagungan, bukan pada tempatnya;
sesungguhnya yang demikian itu lebih dekat pada
sikap menghina dan merendah-kan. Serta
mengingat [kebolehan] membunuh orang yang
merendahkan derajat maupun menyakiti Nabi
SAW menurut Ijma’. Maka sudah jelas bagi Anda
–jika Anda memiliki mata hati ( ), sekecil
apapun– buruknya perilaku ini, begitu keji dan
begitu berat siksaannya. Jika hal itu sudah jelas
bagi Anda, maka [segeralah] Anda kembali dan
bertaubat kepada Allah SWT dari perilaku-
perilaku keji ini yang membinasakan, baik di
dunia maupun di akhirat.

30
PERINGATAN KESEMBILAN

(Tajuddin al-Subky RA menyebutkan dalam kitab


:

Sesungguhnya Imam al-Syafi’i RA berkata dalam


sebagian kitab-kitabnya:



   


Rasulullah SAW memotong tangan seorang wanita
yang terhormat [karena kasus pencurian]. Lalu
beliau diminta pendapat tentang wanita itu, maka
beliau bersabda: “Seandainya Fulanah, seorang
wanita yang terhormat, niscaya aku potong
tangannya”.
Al-Taj As-Subky berkata: “Perhatikanlah pada
perkataan Imam Syafi’i RA yang menyebut ‘Fulanah’,
dan tidak menyebut nama ‘Fathimah RA’ [secara
langsung], karena Imam Syafi’i RA bertata krama
kepada Fathimah RA dalam Hadits ini; meskipun sang

31
ayah, yaitu Nabi SAW, menyebut nama Fathimah RA
[secara langsung], karena penyebutan nama Fathimah
[secara langsung] oleh Nabi SAW dinilai baik dan
menunjukkan bahwa [seluruh] makhluk di sisi Nabi
SAW dalam hal syari’at adalah setara.)

Apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i RA


dan didukung oleh al-Subky ini –yaitu pernyataan
[al-Subky] bahwa apa yang dilakukan Imam
Syafi’i RA adalah untuk bertata-krama ()
[kepada Fathimah RA], menunjukkan bahwa
sikap yang sebaliknya [yakni menyebut nama
Fathimah RA secara langsung dalam Hadits di
atas] menunjuk-kan tidak adanya tata krama.
Sedangkan pernyataan [al-Subky] bahwa
penyebutan nama Fathimah RA [secara langsung]
oleh Nabi SAW adalah baik, menunjukkan bahwa
penyebutan nama Fathimah RA [secara langsung]
oleh selain Nabi SAW adalah buruk– adalah dasar
yang agung dan teladan yang bagus dalam
kaitannya dengan kewajiban kita untuk bertata-
krama kepada Rasulullah SAW dan para Ahlul
Bait beliau; serta menunjukkan bahwa peringatan
maulid [Nabi SAW] yang disertai perbuatan
kemungkaran-kemungkaran adalah buruk
[perbuatan tercela], bahkan sangat buruk.

32
PERINGATAN KESEPULUH

T
elah saya sebutkan pada Peringatan Kedua,
bahwa sesungguhnya dampak-dampak
buruk () dari peringatan maulid [Nabi
SAW] yang disertai perbuatan kemungkaran-
kemungkaran akan dijelaskan pada akhir
peringatan. Dan inilah saatnya untuk
menyebutkannya.
Saya berpendapat –dan hanya kepada Allah
saya memohon Taufiq–: “Di antara dampak-
dampak buruk tersebut adalah:
1. Apa yang sudah dijelaskan sebelum-nya, mulai
dari musik, saterik, permainan yang sejenis
judi, dan kemungkaran-kemungkaran lainnya.
2. Mubadzir, yaitu mentasharufkan harta bukan
pada tempatnya, yaitu ditasharufkan untuk
hal-hal yang diharamkan, misalnya:
mentasharufkan harta untuk berzina,
meminum khamr maupun untuk
memperingati maulid seperti yang dijelaskan
pada bagian pendahuluan / muqaddimah
[yakni peringatan maulid yang penuh
kemungkaran]. Menghabiskan harta untuk
hal-hal yang diharamkan tersebut merupakan

33
sikap mubadzir yang diharamkan. Allah SWT
berfirman [QS. al-Isra’: 27]

     

    

27
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah
sangat ingkar kepada Tuhannya.

Sesungguhnya memberikan harta untuk


[membiayai] peringatan maulid seperti di atas
adalah haram, karena hal itu berarti menolong
pada kemaksiatan; sedangkan orang yang
menolong kemaksiatan itu bersekutu dalam
[dosanya] kemaksiatan. Demikian halnya
haram melihat maupun menghadiri maulid
yang demikian itu, karena ada qa’idah:
“Sesungguhnya setiap perkara yang haram,
maka haram untuk melihat maupun
menghadirinya”.
3. Menampakkan kemaksiatan. Nabi SAW
bersabda:

34


     

 
Seluruh umatku selamat (yakni seluruhnya
selamat dari [keburukan] lisan dan tangan
manusia), kecuali orang-orang yang
menampakkan, yakni orang-orang yang
menampakkan kemaksiatan. Sesungguhnya
mereka itu tidak akan selamat [dari keburukan
lisan dan tangan manusia].

(Ibnu Baththal berkata: “Hadits ini


menjelaskan tentang tercelanya orang yang
menampakkan kemaksiatan; karena
menampakkan kemaksiatan berarti
meremehkan hak Allah [SWT], Rasulullah
[SAW] dan orang-orang mukmin yang
shalih. Menampakkan kemaksiatan juga
merupakan salah satu bentuk penentangan
atau kedurhakaan kepada mereka semua”.
4. Maulid [yang dipenuhi kemungkaran]
termasuk kemunafikan, yaitu menampilkan
sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada di
hati; karena secara lahiriah (zhahir), seseorang
memperingati maulid [Nabi SAW] karena rasa

35
cinta dan memuliakan Rasulullah SAW;
sedangkan secara batiniah, orang tersebut
menghimpun berbagai permainan dalam
peringatan maulid tersebut dan melakukan
berbagai kemaksiatan di dalamnya.
5. Sesungguhnya jika para santri memperingati
maulid [yang dipenuhi kemungkaran] seperti
itu, sedangkan orang alim [guru]
mendiamkannya, maka hal itu menyebabkan
timbulnya dugaan masyarakat awam bahwa
peringatan maulid [yang dipenuhi
kemungkaran tersebut] hukumnya boleh dan
dinilai baik menurut syari’at. Peringatan
maulid yang seperti itu menimbulkan
pengabaian syari’at, lepas dari syari’at,
mendorong kebatilan serta membantu
kebatilan. Yang demikian itu dilarang oleh
syari’at. Orang yang alim haram mendiamkan
hal itu, karena sikapnya tersebut
menyebabkan masyarakat awam terjerumus
pada keyakinan yang menyalahi syari’at.
6. Sesungguhnya peringatan maulid [yang
dipenuhi kemungkaran] itu mengandung tata
krama yang buruk dan termasuk jenis
penghinaan serta perbuatan yang menyakiti
Rasulullah SAW. Karena sesungguhnya peng-
hinaan kepada Nabi SAW dapat dilakukan
melalui perkataan maupun perbuatan [dan
keduanya sama-sama haram]. Allah SWT
berfirman [QS. al-Ahzab: 57]:

36
     

      

57  


Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti
Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya
di dunia dan di akhirat, dan menyediakan
baginya siksa yang menghinakan.

[QS. al-Taubah: 61]:

     

61  


Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah
itu, bagi mereka azab yang pedih.

[QS. al-Ahzab: 53]

37
     

      

       

53 
Dan kalian tidak boleh menyakiti Rasulullah
(dengan suatu jenis perbuatan yang dapat
menyakiti beliau, baik ketika beliau masih
hidup maupun setelah wafat) dan tidak pula
mengawini isteri-isterinya selama-lamanya
sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu
(yakni perbuatan kalian yang dapat menyakiti
beliau) adalah amat besar di sisi Allah (yakni
dosa besar).

Imam Bukhari meriwayatkan [Hadits


Qudsi] dari Anas dan Abu Hurairah RA
bahwa Nabi SAW bersabda yang
diriwayatkan dari Allah SWT.

  

 
38
Allah SWT berfirman: “Barangsiapa menghina
kekasih (wali)-Ku, maka sungguh dia telah
mengajak perang dengan-Ku”.

Dalam riwayat Imam Bukhari lain


disebutkan:

        


 
Allah SWT berfirman: “Barangsiapa memusuhi
kekasih (wali)-Ku, maka sungguh Aku telah
mengajaknya untuk berperang”.

Nabi SAW adalah pemimpin setiap wali


[kekasih Allah]; setiap Nabi dan Rasul
termasuk bagian dari wali yang dilarang
[haram] untuk menghinanya maupun
memusuhinya.
Al-Thabarany meriwayatkan Hadits
dengan sanad yang dinilai Hasan oleh al-
Tirmidzi, dari Abu Umamah RA bahwa
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:

39
        


Tiga orang yang tidak akan diremehkan kecuali
oleh orang munafik: [1] Orang yang sudah tua
[senior] dalam Islam; [2] orang yang
mempunyai ilmu; dan [3] imam [pejabat] yang
adil.

Dalam kitab Fatawi al-Badi’iy, salah


seorang ulama’ Hanafiyah disebutkan:
Barangsiapa meremehkan orang alim, maka
istrinya telah tercerai-kan.

Seakan-akan al-Badi’iy menjadikan sikap


meremehkan orang alim sebagai tindakan
kemurtadan.

Dalam kitab  karya Mulla Ali al-Qary


dinyatakan:
Barangsiapa menyebut rambut Nabi SAW
dengan sebutan “rambut yang kecil ()”,
maka sungguh dia telah kafir.

40
Abu Hafsh Al-Kabir berkata:
Barangsiapa menghina Nabi SAW dengan
sehelai rambut dari rambut-rambut beliau yang
mulia, maka sungguh dia telah kafir.

Maka merenungkanlah ancaman ini yang


disebutkan oleh Rasulullah SAW dalam
kedua Hadits Shahih ini; yang tidak ada
perilaku yang lebih berat dibandingkan
perilaku menghina Nabi SAW; karena
Allah SWT tidak pernah menyebut
memerangi hamba-Nya kecuali dalam
kasus memakan riba dan memusuhi para
kekasih (wali)-Nya. Barangsiapa dimusuhi
Allah [SWT], niscaya dia tidak akan pernah
beruntung selamanya; bahkan pasti akan
mati dalam keadaan kafir, Na’udzu Billahi.
Yang dimaksud dengan ‘Perang Allah
[SWT] terhadap hamba-Nya’ adalah bahasa
kinayah [metonimi / kiasan] yang berarti
Allah [SWT] menjauhkan seseorang dari
tempat-tempat rahmat-Nya dan
menempatkan orang itu pada jurang-
jurang kecelakaan. Semoga Allah [SWT]
menyelamatkan kita dari hal itu atas
anugerah dan kedermawanan-Nya.
Dari ayat-ayat dan Hadits-hadits di atas
serta memperhatikan penegasan saya pada
akhir bahasan tentang dampak-dampak
buruk [maulid yang dipenuhi
41
kemungkaran], dapat diambil faidah
[pemahaman], bahwa sesungguhnya
peringatan maulid yang disertai perbuatan
kemungkaran-kemungkaran merupakan
tata krama yang buruk, suatu jenis
penghinaan serta perilaku yang menyakiti
Rasulullah SAW. Sesungguhnya orang-
orang yang melakukan maulid yang penuh
kemungkaran tersebut telah terjerumus
dalam dosa yang besar, yang dekat dengan
kekufuran, dan dikhawatirkan mereka
akan meninggal dunia dalam keadaan su’ul
khatimah [kematian yang tercela]. Tidak
ada yang dapat menyelamatkan mereka
dari itu semua, kecuali taubat dan
ampunan Allah SWT.
Jika mereka bermaksud memperingati
maulid yang dipenuhi kemungkaran
tersebut dengan tujuan merendahkan dan
menghina Rasulullah SAW, maka tidak
diragukan lagi kekufuran mereka. [QS. al-
Nur: 63]

     

      

63

42
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau
ditimpa azab yang pedih.

Maka kewajiban bagi para penguasa


[pemimpin, pejabat] umat Islam dan orang
yang mempunyai kekuasaan terhadap
mereka –semoga Allah SWT menegakkan
kembali pilar-pilar agama Islam dan
menghancurkan perilaku-perilaku syubhat
yang dilakukan oleh orang-orang yang
durhaka, melalui para penguasa umat
Islam tersebut– [kewajiban mereka adalah]
mengingkari dan menghukum (men-ta’zir)
orang-orang yang ikut memperingati
maulid yang dipenuhi kemungkaran di atas
dengan ta’zir atau hukuman yang sangat
berat dan pantas diterima oleh orang-
orang seperti mereka, agar mereka
tercegah dari melakukan perbuatan-
perbuatan tercela lagi terhina seperti ini,
yang hampir-hampir saja menyebabkan
manusia keluar dari lingkaran keimanan.

43
PENUTUP
Kami Memohon Penutup yang Baik kepada
Allah SWT

T
entang tradisi yang dilakukan oleh warga
Jam’iyyah NU –Atas anugerah Allah SWT,
mereka adalah orang-orang yang
berpegang teguh pada madzhab Ahlussunnah wal
Jama’ah [ASWAJA]. Semoga Allah SWT
menyampaikan mereka pada setiap tujuan, yang
berupa kebaikan-kebaikan dunia dan akhirat; dan
semoga Allah SWT memperkuat tali [agama]
Islam melalui lantara mereka, atas nama
junjungan kita, [Nabi] Muhammad [SAW], sang
manusia terbaik. Semoga Shalawat yang suci dan
Salam yang paripurna terlimpahkan kepada Nabi
SAW, serta seluruh Nabi dan Rasul– dalam acara-
acara warga NU ketika hendak membuka
pengajian [ceramah agama; mau’izhah hasanah],
yaitu meminta [seseorang] untuk membaca al-
Qur’an yang bagus dengan suara yang merdu
[yakni Qira’atul Qur’an yang biasanya dibaca
sebelum acara inti].
Imam Nawawy Rahimahullah berkomentar
dalam kitab beliau yang berjudul
 :

44
Ketahuilah bahwa sekelompok generasi salaf biasanya
meminta para ahli Qira’ah yang bersuara merdu agar
membacakan al-Qur'an kepada mereka, sedangkan
mereka mendengarkannya. Kebiasaan ini sudah
disepakati (  ) kesunahannya dan merupakan
kebiasaan orang-orang pilihan, para ahli ibadah dan
orang-orang yang shalih. Kebiasaan ini merupakan
sunnah yang ditetapkan dari Rasulullah SAW. Ada
sebuah Hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Abdullah
bin Mas’ud RA yang berkata: “Rasulullah SAW
bersabda kepadaku”: “Bacakan al-Qur'an kepada-ku!”.
Lalu saya bertanya: “Wahai Rasulullah, [apakah pantas]
saya membacakan al-Qur'an kepada Anda, padahal al-
Qur'an diturunkan kepada Anda?”. Rasulullah SAW
menjawab: “Sesungguhnya aku senang mendengar-kan
al-Qur'an dari orang lain”. Lalu saya membacakan
Surat al-Nisa’ kepada beliau hingga sampai pada Ayat
[QS. al-Nisa’: 41]

       

41     


Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti),
apabila kami mendatangkan seseorang saksi (rasul)
dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkanmu
(Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai
umatmu)

45
Saat itu Nabi SAW bersabda: “Engkau cukupkan
[bacaanmu] sekarang”. Lalu saya menoleh kepada
beliau, ternyata kedua mata beliau mencucurkan air
mata. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Para ulama’ menilai sunnah untuk


membuka dan menutup majlis [pengajian] Hadits
Nabi SAW dengan Qira’atul Qur’an oleh seorang
Qari’ yang merdu suaranya dengan membaca
ayat-ayat tertentu. Lalu sebaiknya seorang Qari’
di tempat-tempat [pengajian] tersebut membaca
ayat-ayat yang pantas dan sesuai dengan majlis
[pengajian]. Dan ayat yang dibaca Qari’
hendaknya ayat-ayat tentang sikap khauf [penuh
ketakutan kepada Allah SWT] dan raja’ [penuh
harap kepada Allah SWT]; nasehat-nasehat;
mendorong sikap zuhud di dunia; mencintai
akhirat dan bersiap-siap untuk kehidupan
akhirat; sedikit angan-angan dan akhlak-akhlak
terpuji.
Seorang ulama’ Rahimahullah berkata:
Disunnahkan untuk membaca al-Qur'an dengan
suara merdu dan tertib; selagi tidak keluar dari
batasan membaca al-Qur’an [semisal] dengan
memanjangkan bacaan. Jika Qari’ melampaui batas
sehingga menambah satu huruf atau menyamarkan
satu huruf, maka hukumnya haram. Sedangkan
membaca al-Qur'an dengan nada-nada atau melodi-
melodi (), maka Imam Syafi’i Rahimahullah

46
berkomentar dalam satu keterangan: “Saya
menilainya makruh”, namun pada keterangan lain
beliau berkomentar: “Saya tidak menilainya
makruh”. Menurut ulama’ Syafi’iyyah: “Hukum
membaca al-Qur’an dengan nada-nada [menurut
Imam Syafi’i] bukanlah dua pendapat, melainkan ada
perincian di dalamnya [yaitu] jika Qari’ melampaui
batas dalam memanjangkan bacaan, sehingga
melewati batasan membaca al-Qur’an, maka itulah
yang dimakruhkan oleh Imam Syafi’i; sedang-kan
jika tidak melewati batasan membaca al-Qur'an,
maka Imam Syafi’i tidak menilainya makruh.

Aqdha al-Qudhat al-Mawardi berkomentar


dalam kitabnya  :

Membaca al-Qur’an dengan nada-nada atau melodi-


melodi yang dibuat, maka jika bacaannya itu
menyebabkan keluarnya lafazh al-Qur'an dari shighat
[bentuk kalimat]-nya, maka hukumnya haram, Qari’
dinilai fasiq sebab bacaan tersebut, dan orang yang
mendengarnya dinilai berdosa; karena Qari’ telah
mengganti bacaan al-Qur’an dari jalan yang lurus
[yakni bacaan al-Qur’an yang benar] menjadi
bengkok [yakni bacaan al-Qur’an yang salah]. Allah
SWT berfirman [QS. al-Zumar: 28]

47
      

28 
(Ialah) al-Qur’an dalam bahasa Arab yang tidak ada
kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka
bertakwa.

Jika nada atau melodi tidak menyebab-kan bacaan al-


Qur'an keluar dari lafazh-nya maupun dari bacaan al-
Qur’an secara tartil, maka hukumnya mubah; karena
sesungguhnya Qari’ menambah nada-nada untuk
memperbagus bacaan al-Qur’an semata [tanpa
mengubah lafazh-nya]. Ini adalah pendapat Aqdha al-
Qudhat [Imam al-Mawardi].

Bagian pertama dari membaca al-Qur’an


dengan nada-nada atau melodi-melodi yang
diharamkan ini merupakan musibah yang
menimpa sebagian orang-orang yang tidak
mengerti dari masyarakat awam yang bertindak
sembrono yang membacakan al-Qur’an kepada
jenazah dan pada sebagian acara-acara
peringatan tertentu. Ini adalah bid’ah yang
diharamkan secara gamblang; setiap orang yang
mendengarnya ikut berdosa; demikian juga
dengan setiap orang yang mampu untuk
membasmi atau melarang pembacaan al-Qur’an

48
dengan nada-nada atau melodi-melodi yang
diharamkan di atas, jika dia tidak mau membasmi
atau melarangnya. Saya sendiri telah
mengerahkan sebagian kemampuanku untuk
membasmi atau melarangnya. Saya
mengharapkan anugerah Allah al-Karim, semoga
Dia memberi Taufiq dan kesehatan kepada orang
yang memang ahlinya untuk membasmi
pembacaan al-Qur’an dengan nada-nada atau
melodi-melodi yang diharamkan tersebut.
Al-‘Allamah al-Qasthallaniy ber-pendapat
dalam  dari [Shahih] Bukhari,
setelah menyebutkan pendapat Imam al-Nawawy
Rahimahullah:
Sungguh dapat diketahui dari apa yang kami jelaskan
bahwa sesungguhnya apa yang dibuat-buat oleh
orang-orang yang memaksakan diri dengan
[berbekal] pengetahuan tentang wazan-wazan [nada-
nada] dan musik [untuk menerap-kannya] dalam
Kalamullah [al-Qur’an] dalam bentuk nada-nada
[melodi-melodi], joget dan lagu-lagu yang digunakan
dalam nyanyian-nyanyian yang dibawakan bersama
lawan jenis; dengan menggunakan irama-irama
tertentu dan nada-nada yang dibuat-buat;
sesungguhnya semua itu termasuk sejelek-jeleknya
bid’ah dan seburuk-buruknya perilaku.
Sesungguhnya pembacaan al-Qur’an seperti di atas
mewajibkan untuk mengingkari orang yang
mendengarnya dan menghukum (ta’zir) kepada
orang yang membacanya.

49
Imam al-Nawawy Rahimahullah ber-
komentar dalam kitab :

Dan di antara perkara yang harus diperhatikan dan


merupakan perkara penting adalah memuliakan al-
Qur’an dari perkara-perkara yang terkadang
diremehkan oleh sebagian para pembaca al-Qur’an
yang lalai dalam suatu perkumpulan, antara lain:
Menjauhi tertawa, ramai dan berbicara di tengah-
tengah bacaan Al-Qur’an, kecuali pembicaraan yang
sifatnya mendesak. Hendaklah orang tersebut
melaksanakan firman Allah SWT [QS. al-A’raf: 204]

    

    

204
Dan apabila dibacakan al-Quran, Maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat.

Dan hendaklah dia mengikuti Hadits yang


diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya
dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar RA:

50



Sesungguhnya ketika Ibnu ‘Umar RA membaca al-
Qur’an, beliau tidak akan berbicara dengan orang
lain sampai selesai membaca apa yang ingin beliau
baca.

Di antara perkara-perkara yang sering diremehkan


adalah bermain-main dengan tangan dan yang lain;
sesungguhnya dia [yakni orang yang membaca al-
Qur’an itu] sedang berbisik-bisik [munajat] dengan
Allah SWT, maka janganlah dia bermain-main di
hadapan-Nya.
Di antara perkara yang sering diremehkan adalah
melihat kepada sesuatu yang melalaikan dan memecah
konsentrasi; yang lebih buruk dari itu adalah melihat
kepada sesuatu yang tidak boleh untuk dilihat,
misalnya: amrad [anak atau orang laki-laki yang
berwajah ‘cantik’, mirip wanita], dan lain-lain.
Sesungguhnya melihat kepada amrad yang tampan
tanpa ada hajat adalah haram, baik disertai syahwat
maupun tidak; baik aman dari fitnah maupun tidak.
Jika orang-orang yang hadir dalam majlis Qira’atul
Qur’an melihat salah satu dari berbagai kemungkaran
yang disebutkan di atas atau jenis kemungkaran
lainnya, maka hendaklah dia mencegahnya sesuai

51
kemampuan, dengan tangan [kekuasaan] bagi yang
mampu; dengan lisan [peringatan atau nasihat], bagi
orang yang tidak mampu mencegahnya dengan tangan,
namun mampu mencegahnya dengan lisan; dan jika
tidak mampu semua, maka dia harus mengingkari
dengan hatinya.

Firman Allah SWT [QS. al-A’raf: 204]

    

    

204
Dan apabila dibacakan al-Quran, Maka
dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan
tenang agar kamu mendapat rahmat.

Al-Baidhawi Rahimahullah berpendapat dalam


kitab tafsirnya [terkait ayat di atas]:
Redaksi lahiriah [zhahir] ayat menunjuk-kan
kewajiban untuk mendengar dan memperhatikan al-
Qur'an yang sedang dibaca secara mutlak [di mana
saja dan kapan saja]; dan mayoritas Fuqaha’
berpendapat kesunahan mendengar dan
memperhatikan bacaan al-Qur’an di luar shalat

52
Syaikh Zainuddin al-Malibary dalam Bab al-
Jumu’ah dari kitab  berkomentar:

Disunnahkan untuk berdiam, yakni berdiam sambil


memperhatikan khutbah [Jum’at], dan makruh
berbicara.

Demikian juga perkataan sebagian orang-


orang yang mendengarkan bacaan al-Qur’an
terhadap orang yang membacanya: ‘ ’

[sungguh bagus bacaanmu], ‘’ [bagus,


bagus] dan sebagainya; hukumnya adalah
makruh, sebagaimana berbicara ketika sedang
mendengarkan khutbah. Hukum makruh di sini
berlaku jika bacaan al-Qur’annya memang bagus,
baik sifatnya sunnah maupun mubah; adapun
jika bacaan al-Qur’an dengan nada-nada [melodi-
melodi] yang diharamkan, maka komentar
seseorang: ‘’, ‘’ adalah haram; karena
sesungguhnya menilai baik atau bagus pada
perkara haram adalah haram secara mutlak.

Dalam  dari kitab

 disebutkan: Diriwayatkan dari


Zhahiruddin al-Marghinany, salah seorang ulama’
Hanafiyah terkemuka, [yang berkomentar]:

53
Sesungguhnya orang yang berkata kepada Qari’ pada
zaman kita ini ketika membaca al-Qur’an dengan
perkataan: ‘’ [sungguh bagus bacaanmu], maka
dia dinilai kafir. Dan alasan mengkafirkan orang yang
menilai bagus bacaan Qari’ zaman ini adalah sedikit
sekali bacaan para Qari’ dalam majlis-majlis maupun
acara-acara [festival] yang bebas dari nada-nada
[melodi-melodi] manusia. Mengingat pembacaan al-
Qur’an dengan nada-nada tersebut adalah haram
berdasarkan Ijma’, maka keharaman tersebut bersifat
Qath’iy [pasti; sehingga orang yang menyalahinya
dinilai kafir].

Menurut saya [Hadlratus Syaikh K.H.


Muhammad Hasyim Asy’ari], hukum kafir di sini
ditujukan kepada orang yang menghalalkan
pembacaan al-Qur’an dengan nada-nada atau
melodi-melodi yang diharamkan di atas.

54
CATATAN TAMBAHAN ()

S
yaikh ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam
Rahimahullah berkomentar dalam kitabnya
yang berjudul  :

Ketika Allah SWT mengetahui bahwa sesungguhnya


Dia telah memberi watak kepada para hamba-Nya
yang cenderung kepada bersenang-senang, berenak-
enak; menjauhi kesusahan-kesusahan dan
penderitaan-penderitaan; dan sesungguh-nya surga
itu dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci, sedangkan
neraka dikelilingi oleh syahwat-syahwat [hal-hal yang
disenangi syahwat]; maka Allah SWT berjanji kepada
orang mendurhakai hawa nafsu-nya dan taat kepada
tuhannya [Allah SWT], dengan apa yang sudah Dia
siapkan di surga, yaitu berupa pahala dan ridho-Nya;
untuk memotivasi dalam ketaatan-ketaatan agar
mereka tabah [menanggung] hal-hal yang dibenci
dan kesulitan-kesulitan dalam [melaksanakan]
ketaatan-ketaatan tersebut. Allah SWT mengancam
kepada orang yang durhaka kepada tuhannya [Allah
SWT] dan taat kepada hawa nafsunya, dengan apa
yang sudah Dia siapkan di neraka, yaitu berupa siksa
dan kehinaan; untuk mencegah dari kedurhakaan-
kedurhakaan agar mereka menjauhi kelezatan-

55
kelezatan dan keenakan-keenakan dalam
[melakukan] kedurhakaan-kedurhakaan tersebut.
Allah SWT memuji orang-orang yang taat untuk
motivasi [agar mereka] masuk dalam pujian-Nya;
dan Allah SWT mencela orang-orang yang durhaka,
untuk membuat mereka menjauh dari masuk dalam
cercaan dan celaan-Nya. Demikian halnya, Allah
SWT menetapkan had-had (hukuman) dan siksa-
siksa di dunia ini sebagai pencegahan dari perbuatan-
perbuatan buruk. Kewajiban para hamba-Nya adalah
mengikuti sebab-sebab [yang mendatangkan]
petunjuk dan menjauhi sebab-sebab [yang
menimbulkan] kerusakan. Di antara [sebab yang
mendatangkan] keselamatan atau kebahagiaan adalah
seseorang memilih untuk menekuni amalan-amalan
yang paling utama. [Tolok ukur] amalan yang paling
utama adalah amalan yang sekira seseorang tidak
menempatkan lagi amalan lain yang pantas untuk
didahulu-kan daripada amalan tersebut. Seluruh
keselamatan atau kebahagiaan itu adalah mengikuti
syari’at dalam setiap hal yang terjadi maupun yang
akan terjadi; serta membuang hawa nafsu dalam hal
yang menyalahi syari’at. Sungguh Allah SWT
berfirman [QS. Thha: 123]

       

123

56
Lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia
tidak akan sesat dan tidak akan celaka.
Maksudnya: Dia tidak akan tersesat dari jalan yang
benar ketika di dunia; dan dia tidak akan celaka
terkena siksa ketika di akhirat. Ibnu ‘Abbas RA
menafsiri firman Allah SWT berikut [QS. al-A’raf:
3]:

3      


Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu

Yaitu [mengikuti] al-Qur’an dan Hadits.


Dan firman Allah SWT [QS. al-Ahzab: 71]

      

71  


Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya,
Maka Sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar.

Tidak ada satu ketaatan pun yang dilakukan oleh


seseorang sesuai dengan tata caranya, kecuali ketaatan
itu akan membekaskan seberkas cahaya di hatinya; dan

57
ketika ketaatan-ketaatan itu semakin bertambah
banyak, maka cahaya-cahaya [dalam hati] juga semakin
bertumpuk-tumpuk, sehingga orang yang taat tersebut
() akan mencapai pada derajat orang-orang yang

‘arif lagi baik (). [QS. al-‘Ankabut: 69]

    

69
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) kami, benar-benar akan kami
tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.

Yang demikian ini telah diketahui oleh orang-orang


yang taat lagi ikhlash.
Apabila amalan-amalan itu hampa dari keikhlasan,
maka justru akan semakin menambah kegelapan di
dalam hati orang-orang yang melakukannya, karena
mereka telah bermaksiat dengan meninggalkan sikap
ikhlash; membatal-kan atau merusak amalan dengan
riya’; dan berpura-pura dalam amalan-amalannya.
Kesimpulannya: Barangsiapa menghadap kepada
Allah SWT, maka Allah SWT menerimanya; dan
barangsiapa berpaling dari Allah SWT, maka Allah
SWT juga berpaling darinya; barang siapa
bertaqarrub kepada Allah SWT dengan satu jengkal
[bahasa Jawa, sekilan], maka Allah SWT akan

58
mendekat kepadanya dengan satu hasta [satu lengan
tangan, yaitu kira-kira 1.8 inci]; barangsiapa
bertaqarrub kepada Allah SWT dengan satu hasta,
maka Allah SWT akan mendekat kepadanya dengan
satu depa; barangsiapa ‘berjalan kaki’ kepada Allah
SWT, maka Allah SWT akan ‘berlari’ kepadanya;
barangsiapa menisbatkan sesuatu kepada dirinya
sendiri, maka dia itu salah dan tersesat; barangsiapa
menisbatkan segala sesuatu kepada Sang Pencipta
[Allah SWT] dan Sang Pemberi Nikmat, maka dia
akan memperoleh tambahan. Karena sesungguhnya
Allah SWT berfirman [QS. Ibrahim: 7]

7   


Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambah (nikmat) kepadamu

Amalan yang paling utama dalam rangka bertaqarrub


kepada Allah SWT adalah bersikap rendah diri
terhadap kemuliaan Allah SWT; bersikap tunduk di
hadapan keagungan-Nya; bersikap penuh resah
karena takut kepada-Nya; melepaskan diri dari segala
daya dan upaya kecuali kepada Allah SWT. Ini
adalah perilaku orang-orang ‘arif [ma’rifat];
sedangkan perilaku yang keluar dari batasan ini,
berarti jalan [perilaku] orang-orang yang bodoh lagi
lalai.

59


 
Ya Allah, semoga Engkau menjadikan kami termasuk
orang-orang yang ‘arif, ahli haqiqat, yang beramal
lagi ikhlash; atas nama junjungan kami, [Nabi]
Muhammad [SAW], keluarga beliau dan para
shahabat seluruhnya. Amin.



Kitab al-Tanbihat ini selesai [ditulis] pada


hari Ahad, 14 Rabi’ al-Tsani 1355 H di rumah saya
[Hadlratus Syaikh K.H. Muhammad Hasyim
Asy’ari], Tebuireng Jombang. Semoga penulis
dijaga oleh Allah SWT dari keburukan dan
kerusakan.







60
Akhir do’a kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta alam. Semoga Shalawat dan Salam tetap
tercurahkan kepada Rasulullah, junjungan kami, [Nabi]
Muhammad [SAW], keluarga beliau dan para shahabat
beliau seluruhnya. Amin.



Alhamdulillah, atas izin Allah ‘Azza wa Jalla, buku


terjemahan kitab al-Tanbihat ini selesai pada hari
Rabu, 14 Agustus 2013 yang bertepatan dengan 7
Syawwal 1434 H. Semoga buku terjemahan ini
dapat bermanfaat bagi seluruh umat Islam pada
umumnya, dan bagi penerjemah sekeluarga pada
khususnya; baik di dunia maupun di akhirat.
Amin ya Rabbal ’Alamin.
Malang, 14 Agustus 2013

61
Profil Penerjemah
Lahir di Malang, pada 9 Agustus
1985 dari ibu, Hj. Khatimah dan
ayah, H. Sucipto. Terlahir sebagai
anak kedua dari 3 bersaudara.
Penerjemah menempuh pendidikan
formal tingkat SD di MI Almaarif XI Gunung Rejo
Singosari Malang [1991-1997]; MTs Almaarif
Singosari Malang [1997-2000]; dan MA Almaarif
Singosari Malang [2000-2003]. S1 di STAIMA Al-
Hikam Malang jurusan Pendidikan Agama Islam
[2004-2008], S2 di PPs IAIN Sunan Ampel Surabaya
dengan konsentrasi Pendidikan Islam [2008-2010]
dan S3 Dirasah Islamiyah di PPs IAIN Sunan Ampel
Surabaya [2010-2012].
Pendidikan non-formal dimulai dari TPQ di
desa tempat tinggal; Pondok Pesantren Hidayatul
Mubtadi’in (PPHM) Kembang Singosari Malang
[1997-2004]; Pesantren Mahasiswa Al-Hikam
Malang [2004-2008] dan Pesantren Mahasiswa An-
Nur Surabaya [2009].
Sekarang penerjemah adalah dosen di
fakultas Tarbiyah UIN Maulana Malik Ibrahim
(Maliki) Malang dan STAI Ma’had Aly Al-Hikam
Malang, di samping tenaga didik di Madrasah Aliyah
Almaarif Singosari, Pondok Pesantren Hidayatul
Mubtadi’in (PPHM) Kembang Singosari, Pondok
Pesantren Nurul Huda (PPNH) Singosari, Yayasan
Panti Asuhan Darussalam serta Pesantren
Mahasiswa Al-Hikam Malang.

62
Di bidang organisasi, penerjemah didaulat
sebagai Wakil Sekretaris GP Ansor Kabupaten
Malang dan Koordinator ISNU MWC Singosari di
awal kepengurusan baru tahun 2013 ini.

63

Anda mungkin juga menyukai