Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HADITS TENTANG RELASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM DAN ALAM

SEMESTA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Al-Hadits

Oleh:

Husnul Hotimah

220601063

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah Subahanahu wata’ala yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Al-Hadits, dengan judul “ Hadits Tentang Negara dan Sistem
Pemerintahan “

Pada kesempatan ini kami mengucapkan sebesar-besarnya kepada dosen mata kuliah al-
hadits yang telah memberikan tugas dengan tema ini kepada kami. Kami juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak. Dan kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Fenomena pluralitas agama yang hadir di tengah kehidupan saat ini menuntut kita agar
mampu menyikapinya dengan bijaksana. Terlebih bagi umat muslim, di mana dewasa ini
Islam seringkali dituduh sebagai agama yang diskriminatif dan sulit menerima adanya
keberagaman. Bermula dari munculnya sebagian muslim yang mendakwahkan Islam dengan
jalan kekerasan, memerangi bahkan membunuh umat-umat lain yang tidak sejalan dengan
Islam. Sehingga tentu saja ini berimbas pada rusaknya citra Islam. Padahal, 14 abad yang lalu
Nabi Muhammad telah mengajarkan dan mempraktekkan langsung bagaimana seharusnya
sikap seorang muslim dalam berhubungan dengan umat-umat lain di luar Islam. Alhasil, Nabi
berhasil menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang menjunjung tinggi nilai-
nilai toleransi antar umat beragama. Di samping itu, perlu disadari bahwa sikap dan perilaku
Nabi tersebut tidak terlepas dari wahyu yang Allah turunkan kepadanya (al- - petunjuk bagi
Nabi dalam menentukan sikap yang harus dilakukan ketika berhubungan dengan non-muslim
ketika itu. Seperti misalnya dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9, di mana Allah
memberitahukan bahwa Nabi tidak dilarang untuk tetap berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang non-muslim yang tidak memeranginya. Maka, dari ayat ini muncullah
respon Nabi, baik itu berupa perkataan maupun sikap dan perbuatan. Sehingga respon
tersebut dijadikan tafsiran yang menjelaskan ayat-ayat alLebih lanjut, dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menganalisis hadis-hadis
Nabi yang menjelaskan ayat-ayat almengenai relasi muslim dan non-muslim tersebut, agar
nantinya dapat menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan toleransi antar umat beragama.

II. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana hubungan antara muslim dengan non-muslim dalam kehidupan sehari-
hari?
2. Bagaimana hubungan relasi manusia dengan alam semesta?

III. TUJUAN MASALAH


1. Untuk mengetahui batasan-batasan muslim dengan non-muslim
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan manusia dengan alam semesta
PEMBAHASAN
1. RELASI MUSLIM DENGAN NON MUSLIM

A. Relasi Muslim dengan Non Muslim Menurut Ali Mustafa Yaqub


1
KH. Ali Mustafa yaqub Menyebutkan bahwa agama (islam) tidak pernah
mengumumkan peperangan kepada non muslim hanya gara-gara perbedaan agama.
Memang benar umat islam pernah berperang dengan mereka, namun sebagian
besarnya disebabkan oleh hal-hal lain selain agama. Misalnya saja perang Badar yang
terjadi pada tahun kedua hijriah, terjadi gara-gara umat Islam di Madinah diserang oleh
kaum musyrik Mekah.

Begitu juga dengan perang Khabar pada tahun ketujuh hijriah, terjadi akibat orang-
orang Yahudi secara sepihak membatalkan perjanjian damai antara mereka dengan
umat Islam. Demikian pula halnya dengan perang-perang lain yang terjadi pasca
hijrahnya Nabi ke Madinah, semuanya terjadi sekali lagi bukan karena agama, namun
hanya sebagai usaha defensive dalam rangka mempertahankan diri dan keyakinan.
Lantas pernyataannya sekarang adalah, bagaimana sebenarnya relasi antara Nabi dan
kaum Muslimin dengan Non Muslim kala itu.?

Dalam bukunya Kerukunan Umat Perspektif al-Qur’an dan Hadis yang terbit pada
tahun 2000 silam, Ali Mustafa Yaqub telah menjelaskan dengan sangat apik relasi
tersebut. Pertama, beliau memetakan terlebih dahulu teks al-Qur’an dan Hadis kedalam
dua kategori besar, yaitu teks yang berbicara tentang peperangan dan teks yang
berbicara tentang perdamaian. Rumusan yang dipakai adalah setiap ayat atau hadis yang
berbicara tentang peperangan harus diterapkan dalam kondisi perang, sementara itu
ayat atau hadis yang membahas perdamaian maka harus diaplikasikan dalam situasi
yang damai pula.

Klasifikasi seperti ini menurut beliau, di dasarkan kepada QS. Al-Mumtahanah : 8-9
yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak melarang umat islam untuk berbuat baik dan
adil kepada non muslim yang tidak memerangi mereka. Oleh karena itu, ia mengeritik
keras oknum yang keliru dalam memahami klasifikasi ini, yaitu mereka yang
menggunakan teks-teks perang untuk situasi damai dan sebaliknya, menggunakan teks-
teks perdamaian pada situasi peperangan. Hal inilah yang disinyalir menjadi penyebab
utama munculnya gerakan-gerakan radikal yang menjadikan agama sebagai sumber
permusuhan dan peperangan.

1
Moh.Jurianto dan Yuna Isra, Relasi Muslim dan Non Muslim Dalam Pandangan Islam, Yayasan
Pengkajian Hadis el-Bukhari, Tangerang, 2015
Dengan demikian, ayat atau hadis yang memerintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka bersyahadat, pada hakikatnya harus dipahami sesuai dengan
konteksnya, yaitu peperangan. Hal ini terbukti dari sikap nabi yang selalu menjalin
hubungan baik dengan non muslim yang ada disekitar beliau, baik dengan golongan
Yahudi, Nasrani ataupun suku-suku Arab yang berada di Madinah ketika itu. Semua
riwayat yang menceritakan hubungan baik tersebut bernilai valid dan bisa
dipertanggung jawabkan. 2

Diantara contohnya adalah hubungan baik yang dijalin Nabi dengan Raja Najasyi,
seorang non muslim yang menjadi Raja Habasyah (Abbessenia), ketika umat islam hijrah
kesana untuk menyelamatkan diri dari gangguan orang-orang Quraisy pada tahun ke-8
sebelum hijrah. Hubungan yang harmonis juga ditujukkan Nabi dan istri beliau, Aisyah,
ketika menerima beberapa perempuan Yahudi didalam rumah beliau untuk berdiskusi
atau sekedar bertamu sebagai mana yang disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan
Muslim. Bahkan dalam bidang muamalah sehari-haripun Nabi pernah menerima hibah
dari seorang Yahudi yang bernama Mukhairiq dan mengizinkannya untuk ikut serta
memperkuat pasukan muslim dalam peperangan Uhud pada tahun ke-3 hijriah. Namun
meskipun Nabi menjalin hubungan harmonis dengan non muslim serta saling tolong-
menolong bersama mereka dalam hal muamalah sehari-hari, bukan berarti nabi
mengikuti akidah dan ibadah mereka. Ketika orang-orang non muslim Quraisy datang
dan mengajak Nabi unttuk menyembah tuhan mereka selama setahun dan merekapun
akan menyembah Allah selama setahun, maka dengan tegas Nabi mengucapkan, “lakum
dinukum waliyadin” (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Q.S al-Kafirun : 6).
Ungkapan ini adalah sebagai wujud komitmen yang kuat dalam menjaga akidah
islamiyah yang menjadi substansi ajarannya.

Setidaknya beberapa kisah diatas cukup bagi kita untuk membuktikan bahwa
ternyata Islam dan umatnya tidak seeksklusif yang disangkakan oleh sebagian pihak,
khususnya dalam menjalin relasi dengan pihak yang berbeda keyakinan dengan mereka.
Islam sangat menghargai perbedaan dan tidak menjadikannya sebagai penghalang
terwujudnya kerukunan antara kaum muslimin dengan mereka dalam hal muamalah.
Bukan dalam hal aqidah ataupun ibadah. Disisnilah letak prinsip dasar ajaran Islam yang
menjadi rahmat bagi sekalian alam. Wallahu A’lam

B. Beberapa Jenis Kafir (Non Muslim) Dan Relasi Muslim Dengan Mereka
a. Jenis Kafir (non muslim) dalam Al-Qur’an
Ditinjau dari segi sumber yang menjadi landasan dalam keberagamaan, agama
terbagi menjadi dua macam. Yaitu, pertama agama samawi, yaitu agama yang memiliki

2
Andi Rahman, Relasi Antara Muslim Dengan Non Muslim, PTIQ Jakarta,( 2016), hal.224
kitab suci yang bersumber dari wahyu Allah SWT seperti agama islam yang memiliki
kitab suci al-Qur’an, agama Kristen yang memiliki kitab injil dan agama Yahudi yang
memiliki kitab Taurat. Kedua agama Budaya, yaitu agama yang tidak memiliki kitab suci
yang bersumber dari wahyu Allah seperti agama Hindu, Budha, Konghucu, Shinto,
Zoroater (majusi) dan agama yang di peluk para penyembah patung berhala di kota suci
Makkah pada masa jahiliyah dulu yang dikenal dengan kaum musyrikin atau kafir
Quraisy. 3
Sungguhpun agama yang eksis dimuka bumi sangat banyak, tetapi Allah swt didalam
kitab suci al-qur’an secara lugas membagi manusia hanya menjadi dua golongan:
mukmin dan kafir (non muslim). Dalam pemaknaan sederhana, mukmin adalah orang
yang menerima dan mempercayai kerasulan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kafir
adalah orang yang menolak kerasulan Nabi Muhammad SAW. Lebih lanjut, Allah saw di
dalam kitab suci al-Qur’an membagi kaum kuffar (orang-orang kafir/non muslim )
menjadi beberapa jenis yaitu:
Pertama; kaum musyrikin, yaitu orang-orang kafir (non mislim) yang tidak berpedoman
pada kitab suci yang diturunkan oleh Allah SAW, tetapi semata-mata mengikuti tradisi
yang diwariskan oleh nenek moyangnya, sehingga mereka menyembah banyak tuhan.
Kedua; kafir ahli kitab, yaitu para pemeluk agama Yahudi yang berpegang pada kitab
taurat, dan para pemeluk agama Kristen yang berpedoman pada kitab Injil.

b. Kafir Dzimmi Dan Kafir Harbi


Sementara itu ditinjau dari segi perlakuan orang-orang kafir terhadap agama
islam dan para pemeluknya, agama Islam membagi orang-orang kafir (non muslim)
menjafi dua macam yaitu; kafir Dzimmi dan kafir Harbi. Kafir Dzimmi atau kafir
Mu’ahad atau kafir musta’man adalah pemeluk agama lain diluar agama Islam yang
terikat perjanjian untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat Islam. 4
Mereka tidak memusuhi atau memerangi agama Islam dan umatnya. Mereka juga
tidak mengusir umat Islam dari negerinya seperti pemeluk agama Kristen Protestan,
Katholik, Hindu, Budha dan sebagainya.
Sedangkan kafir Harbi adalah kaum kuffar (orang-orang kafir) yang memusuhi
atau memerangi agama Islam dan umatnya, orang-orang kafir yang mengusir umat
Islam dari negerinya. Dalam bahasa al-Qur’an mereka disebut dengan istilah kuffar,
seperti kaum kafir Quraisy yang memusuhi Rasulallah saw dan para sahabatnya
dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandak dan sebagainya.
Semua non muslim kecuali kafir harby, tidak boleh diperangi, didzalimi, dan
diganggu. Adapun kafir harby, maka kita wajib memerangi mereka selama mereka

3
Muhammad Alan Juhri, Relasi Muslim Dan Non Muslim Perspektif Tafsir Nabawi Dalam
Mewujudkan Toleransi,(2018), hal. 258-259
4
Hamdan Rasyid, Relasi Muslim Dengan Non Muslim Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Sunnah,
Ponpes Baitul Hikmah, Kota Depok, 2021. Hal.30
memerangi umat Islam dan menghalangi dakwah Islam, hingga mereka menyatakan
tunduk kepada umat Islam. Rasulallah SAW bersabda:
‫ع ْم ٍرو حدثنا‬ َ ُ‫ َحدثنا الحسين َوه َُو ابْن‬: ‫وان قال‬ ْ ‫ أ ْنبأ َم ْر‬: ‫من ابْنُ إب َْراهيم د ُ َح ْي ٌم قال‬ ِ ْ‫الرح‬ َّ ُ ‫ع ْبد‬َ ‫أ َ ْخبَ َرنَا‬
‫علَ ْي ِه‬َ ُ‫صلَّى للا‬ َ ِ‫ قال َرسُ ْو ُل للا‬: ‫ع ْم ٍر وقال‬ َ ‫ع ْبدِهلل‬ َ ‫ع ْن‬ َ ‫ع ْن ُم َج ِه ِد عَ ْن ُجنادَة َ ب ِْن أَبِي أ ُ َميَّة‬ َ ُ‫سن‬ َ ‫ال َح‬
‫عا اما‬ َ َ‫ َو ِٕانَّ ِر ْي َح َهالَي ُْو َجد ُ ِم ْن َم ِسي َْر ِة ا َْٔر َب ِعيْن‬،‫ َم ْن قَت َ َل قَ ِتي اًْل ِم ْن أَ ْه ِل ال ِذِّ َّم ِة لَ ْم َي ِرحْ َر ِاى َحةَ ْال َجنَّ ِة‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫َو‬
Artinya : “Barang siapa membunuh seorang kafir dzimmy, maka dia tidak akan
mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan
empat puluh tahun.” (HR. Imam Ahmad)

Islam sangat menghargai dan menjunjung tinggi hak non-muslim, bahkan Rasulullah
saw. melarang penindasan dalam bentuk anarkis terhadap ahlu Dzimmah, sehingga para
ulama sepakat bahwa membunuh mereka adalah dosa besar. Ahlu Dzimmah dalam
istilah Islam ialah orang-orang yang di luar agama Islam. Kata dzimmah juga berarti
perjanjian, jaminan dan keamanan. Mereka dinamakan seperti ini karena memiliki
jaminan perjanjian terhadap Allah, Rasul-Nya, dan umat Islam untuk hidup dengan aman
dan tenteram di bawah perlindungan Islam dalam lingkungan masyarakat Islam.

C. Bentuk Relasi Muslim Kepada Non Muslim


1. Menjenguk non-muslim yang sakit
Mengunjungi non-muslim yang tidak memerangi umat islam adalah dibolehkan.
Bahkan sebagian ulama memandang hal ini sebagai amal kebaikan, karena termasuk
menunaikan hak-hak orang-orang kafir dzimmi yang harus diberikan kepada mereka.
Lebih dianjurkan lagi menjenguk ketika mereka sakit, bila dengan tujuan untuk
5
menuntun ia kepada hidayah islam, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dalam hadis
berikut :
َّ ‫صلَّى‬
ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ع ْنهُ أ َ َّن غُ ًَل اما ِليَ ُهود َ َكانَ يَ ْخد ُ ُم النَّب‬ َّ ‫ي‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫ع ْن أَن ٍَس َر‬ َ ‫ت‬ ٍ ِ‫ع ْن ثَاب‬ َ ‫ب َحدَّثَنَا َح َّماد ُ ْب ُن زَ ْي ٍد‬ ٍ ‫َحدَّثَنَا سُلَ ْي َما ُن ْب ُن َح ْر‬
‫ض َر أَبُو‬ ِ ‫ع ْن أَبِي ِه لَ َّما ُح‬ َ ِ‫سيَّب‬ َ ‫سعِيد ُ بْنُ ْال ُم‬
َ ‫سلَّ َم يَعُودُهُ فَقَا َل أ َ ْس ِل ْم فَأ َ ْسلَ َم َوقَا َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ض فَأَت َاهُ النَّ ِب‬
َ ‫سلَّ َم فَ َم ِر‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ
َّ‫سلم‬
َ ‫عل ْي ِه َو‬ َ َّ ‫صلى‬
َ ُ‫ّللا‬ َّ َ ‫ي‬ َّ
ُّ ‫ب َجا َءهُ الن ِب‬ َ
ٍ ‫طا ِل‬
Artinya : ”Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah menceritakan
kepada kami Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas radliallahu ‘anhu bahwa seorang
budak milik orang Yahudi pernah menjadi pelayannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
lalu dia jatuh sakit, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi menjenguknya sambil
bersabda: “Masuk Islamlah kamu.” Lalu dia masuk Islam.” Sa’id bin Musayyib berkata;
dari Ayahnya, Ketika Abu Thalib hendak meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
datang menjenguknya.” (HR. Bukhori)
2. Mengucap Salam Kepada Non Muslim
Dari Abu Hurairah r.a, Rasulullah SAW bersabda :
‫ض َي ِق ِه‬ ْ َ ‫ط ُّروهُ ِإلَى أ‬ َ ‫ض‬ ْ ‫ق فَا‬ َ ‫سًلَ ِم فَإِذَا لَقِيت ُ ْم أ َ َحدَهُ ْم ِفى‬
ٍ ‫ط ِري‬ َّ ‫ارى ِبال‬ َ ‫ص‬َ َّ‫الَ ت َ ْبدَ ُءوا ْال َي ُهودَ َوالَ الن‬

5
Ahmad Sarwat, Fiqih Interaksi Muslim Dengan Non Muslim, Rumah Fiqih Publishing,2018
Artinya : “Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada Yahudi dan
Nashrani. Jika kalian berjumpa salah seorang di antara mereka di jalan, maka pepetlah
hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim)
Dari segi sanad, Hadits di atas masuk ke dalam Hadits Sahih, tapi tentu
menjadi musykil untuk dipatuhi dalam konteks masyarakat yang majemuk.
Bayangkan kalau Hadits di atas dipahami secara apa adanya maka orang-orang kafir
akan dipaksa minggir bahkan kita akan memepet mereka di jalan raya baik dengan
motor dan mobil. Bahkan untuk mengetahui mereka kafir atau bukan (sehingga layak
dipepet ke pinggir jalan) akan ada razia KTP yang memeriksa agama pengguna jalan.
Dari segi matan, sebagian memahami apa adanya larangan dalam Hadits di
atas, sebagian lagi mengatakan memulai salam jangan, tapi menjawabnya tidak
mengapa (meski dengan lafaz yang sekedarnya saja). Namun ada pula ulama yang
membolehkan mendahului mengucapkan salam, tapi hanya sebatas ‘selamat pagi’
atau ‘sore’ bukan berupa assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Ada pula
sebagian ulama yang membolehkan mendahului mengucapkan salam.
Dalam konteks sosio-historis perawi, Abu Hurairah bergabung setelah perang
Khaibar. Dalam periode akhir kehidupan Rasul, memang relasi umat Islam dengan
Yahudi berubah menjadi tegang akibat pengkhianatan kaum Yahudi terhadap
perjanjian yang ada. Untuk itulah Syekh Yusuf al-Qaradhawi mengatakan Hadits
riwayat Abu Hurairah di atas itu diucapkan Rasul dalam konteks perang.
Indikasinya terdapat dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam
Kitab Adab al-Mufrad bahwa Rasulullah hendak pergi berperang dengan menaiki
kendaraannya ke tempat perkampungan Yahudi dan mengatakan jangan memulai
salam kepada mereka. Dalam suasana akan berangkat perang, jika bertemu dengan
musuh tentu kita harus tunjukkan kebesaran dengan menguasai jalan hingga mereka
terdesak ke pinggir. Jadi, konteksnya adalah suasana perang, bukan suasana normal
sehari-hari.
Itu sebabnya para ulama seperti Ibn Abbas, Imam al-Thabari, Sufyan bin
Uyainah, Abu Umamah, Ibn Abi Syaibah, Imam Malik dan Imam Abu Hanifah tidak
melarang kita memulai ucapan salam kepada pihak non-Muslim.
3. Mendo’akan Non Muslim
Mendoakan non-muslim dengan maksud agar non-muslim mendapat hidayah adalah
dibolehkan. , sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah dalam hadis berikut :

‫ص ِل ُح‬
ْ ُ‫ّللاُ َوي‬ ‫س َّل َم يَ ْر ُج ْونَ ا َْٔن َيقُ ْو َل لَ ُه ْم يَ ْر َح ُمكُ ْم ه‬
‫ّللاُ فَيَقُ ْو ُل يَ ْه ِد ْي ُك ْم ه‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلَّى ه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ي‬ َ ‫َكانَ ْاليَ ُه ْود ُ يَت َ َعا‬
ِِّ ‫طسُ ْونَ ِع ْندَالنَّ ِب‬
‫بَالَكُ ْم‬
Artinya : “Kaum Yahudi bersin dekat Rasulullah SAW dengan harapan supaya beliau
berdo’a dilimpah rahmat untuk mereka, maka beliau mengatakan : “Yahdikumullah
wa yushlih baalakum (Semoga Allah memberi kalian hidayah dan memperbaiki
keadaan kalian)” (HR. Abu Daud)
Imam Nawawi berpendapat bahwa diperbolehkan mendoakan non-muslim dengan
doa-doa yang bersifat duniawi. Misalnya, doa agar diberikan petunjuk, doa kesehatan,
banyak rezeki dan lain sebagainya.[9] Sebaliknya, haram mendoakan non-muslim
dengan maksud agar mendapatkan ampunan dari Allah, mendapatkan surga, atau apa
saja yang berkaitan dengan urusan akhirat.

2. Relasi Manusia Dengan Alam Semesta


A. Manusia Dan Alam
Sebagai mahluk yang paling mulia dan paling sempurna dengan dibekali akal
pikiran dan perasaan, manusia dijadikan oleh Allah sebagai khalifah atau pemimpin di
muka bumi (alam) ini. Makna khalifah ini bukan berarti untuk merusak dan
menumpahkan darah, sebagaimana klaim malaikat, tetapi untuk membangun
peradaban yang damai, sejahtera dan berkeadilan.

Allah swt. mengetahui potensi yang dimiliki manusia sehingga lebih


mengutamakannya dari malaikat yang notabene adalah mahluk Allah yang selalu
melaksanakan apapun yang diperintahkan oleh Allah dan menjauhi apa pun yang
dilarang-Nya. Mereka tidak pernah membantah Allah sama sekali. Dan ketika Allah
menginformasikan kepada para malaikat bahwa Dia akan menjadikan manusia
sebagai khalifah di muka bumi, mereka bertanya-tanya kepada Allah. Hal ini
digambarkan dengan jelas di dalam firman-Nya.6

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS Al-Baqarah [2] : 30).

Dari ayat di atas, dapat diketahui dengan jelas bahwa kekhawatiran para
malaikat sudah dijawab oleh Allah swt. Dia lebih mengetahui potensi yang ada di
dalam diri manusia, maka dari itu memercayakan bumi ini kepadanya, bukan yang
lain. menyebutkan bahwa keberatan malaikat itu dijawab dengan sebuah kompetisi
epistemologis yang Dia ajukan kepada keduanya. Dia meminta malaikat untuk
menyebutkan nama-nama benda dan menjelaskan karakteristiknya. Malaikat ternyata
tidak bisa memberikan jawaban atas pertanyaan itu, sedangkan Adam bisa
menjawabnya. Sejak saat itu, malaikat pun diperintahkan untuk menghormati manusia
karena keunggulan tersebut.

Oleh karena Allah swt. telah mengetahui potensi yang ada di dalam manusia,
maka Dia memberi amanat kepadanya agar mengemban dan melaksanakan semua
tugas-tugas keagamaan dan tugas-tugas kemanusiaan.

6
Titis Rosowulan,Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduanya Dalam Perspektif Al-
Qur’an,Jurnal Studi Islam (2019), hal.34
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-
gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS Al-Ahzâb [33] : 72).

Amanat yang dimaksudkan di dalam ayat di atas memiliki makna yang luas,
tidak hanya terbatas pada praktik-praktik individual keberagamaan, tetapi juga
praktik-praktik sosial kemasyarakatan. Termasuk di dalamnya juga tugas untuk
menjaga alam dan melestarikannya sehingga menjadi hunian yang nyaman dan indah.
Oleh karena itu, Allah swt. memerintahkan kepada manusia agar melestarikan dan
memakmurkan bumi yang menjadi tempat pijakannya dengan cara-cara yang arif dan
tidak membuat rusak lingkungan. Misalnya dengan melakukan kegiatan pertanian,
perkebunan, perikanan, dan lain sebagainya yang dapat digunakan dan juga
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Bahkan, Allah swt. dengan
tegas melarang segala bentuk pengrusakan terhadap alam raya ini. 7
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)
memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima)
dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada
orang-orang yang berbuat baik” (QS Al-A`râf [7] : 56).

“Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. ia
berkata: ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-
Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka
sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi
manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya, yang demikian itu lebih
baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”
(QS Al-A`râf [7] : 85).

Meskipun Allah telah melarang berbuat kerusakan di muka bumi, masih ada
manusia yang selalu berbuat kerusakan dan kekacauan di muka bumi. Mereka adalah
orang-orang yang tidak bertanggungjawab atas kelestarian alam semesta ini, merusak
alam menurut kemauannya sendiri, melakukan penebangan-penebangan hutan,
mengeksploitasi kekayaan laut dengan cara yang tidak bijak, mencemari udara dengan
berbagai macam pembakaran dan lain sebagainya. Karena ulah manusia yang tidak
bertanggungjawab itulah, ahirnya keseimbangan alam semesta menjadi tidak
berfungsi dan rusak. Semua itu juga diakibatkan oleh tangan-tangan manusia yang
tidak bertanggungjawab.

7
Titis Rosowulan,Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduanya Dalam Perspektif Al-
Qur’an,Jurnal Studi Islam (2019), hal.35
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(QS Al-Rûm [30] : 41).
Kerusakan-kerusakan yang terjadi di alam ini adalah akibat ulah perbuatan
manusia. Sifat manusia yang selalu rakus, tamak, dzalim dan lain sebagainya adalah
sisi jelek dari mahluk yang bernama manusia. Dalam kacamata humanisme,
kerusakan dan ketidakseimbangan lingkungan ini terjadi akibat manusia terlalu
mengedepankan egonya dan ingin menguasai segala-galanya). Dan memang Allah
telah menyematkan dua karakter sifat yang bertolak belakang di dalam diri manusia.
Keduanya akan senantiasa berperang untuk mendominasi diri manusia. Maka dari itu,
agar dominasi dimenangkan oleh karakter yang baik, harus senantiasa diasah dengan
hikmah-hikmah ilahiyah dan nilai-nilai spiritualitas yang bersumber dari Allah yang
maha pengasih.
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya” (QS Al-Syams [91] :7-10).

Selain itu, jiwa manusia senantiasa lebih cenderung kepada hal-hal yang tidak
baik, kecuali yang benar-benar mendapatkan rahmat dari Tuhannya.
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu
selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
(QS Yusuf [12] : 53)

Mengingat akan karakter jiwa yang senantiasa cenderung pada hal-hal yang
jelek, maka manusia hendaklah senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya agar
bisa mengemban amanat untuk menjaga dan melestarikan alam raya ini dengan
Cakrawala: Jurnal Studi Islam) segala daya dan upaya yang dimilikinya sehingga
bencana alam-bencana alam yang kerap melanda alam ini dapat dihindari. 8
Jika menengok karakteristik dasar manusia yang aktif, kreatif dan inovatif
serta peran yang harus diembannya sebagai khalifah, semestinya dia harus
memperlakukan alam raya yang bersifat pasif reseptif ini dengan perlakuan yang
positif dan afirmatif. Perlakuan positif afirmatif inilah yang menjadi bentuk ideal
relasi manusia dan alam.

Hanya saja, dalam konteks pembangunan--terutama pembangunan


infrastruktur--di zaman seperti sekarang ini, sangat sulit untuk meniadakan aspek
ifsâd secara totalitas. Ini artinya, seberapa pun usaha untuk membangun alam raya ini

8
Titis Rosowulan,Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduanya Dalam Perspektif Al-
Qur’an,Jurnal Studi Islam (2019), hal.37
juga memiliki ekses negatif terhadap alam itu sendiri, dan ini tidak bisa terhindarkan
sama sekali. Ini juga berarti bahwa relasi negatif antara manusia dan alam tidak dapat
dihindarkan.

Hal yang perlu diperhatikan lebih jauh terkait relasi negatif alam dan manusia
dalam kerangka ta’mîr atau pembangunan adalah usaha-usaha meminimalisir
kerusakan yang berdampak masif. Jadi, sebelum melakukan pembangunan perlu
dilakukan kajian yang mendalam terkait dampak lingkungan yang menjadi eksesnya.
Upaya demikian ini harus mendapatkan perhatian yang luas, agar nantinya
pembangunan yang menjadi aktualisasi makna kekhalifahan manusia ini tidak
menimbulkan dampak buruk yang besar

B. Alam Adalah Tanda


Seorang muslim akan melihat alam sebagai tanda-tanda dari kekuasaan Allah
yang maha agung, semua ciptaan yang berada didalamnya merupakan bukti dari
kebesaran-Nya, bias dari sebuah pengaruh, sebagaimana yang difirmankan Allah Swt
ِ َ‫ت ِِّْل ُ ۟ولِى ْٱْل َ ْل َٰب‬ َٰ
‫ب‬ ِ ‫ض َوٱ ْختِلَفِ ٱلَّي ِْل َوٱلنَّ َه‬
ٍ َ‫ار َل َءا َٰي‬ ِ ‫ت َو ْٱْل َ ْر‬
ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬
َّ ‫ق ٱل‬ِ ‫إِ َّن فِى خ َْل‬
Artinya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
(Ali Imran: 190)
Para ulama kita terdahulu berkata, “Alam itu adalah kitab yang tersirat, sedangkan al-
qur’an adalah kitab yang tersurat”.
Jadi hubungan seorang muslim dengan alam, sangat tampak dalam bentuk
I’tibar, renungan, dan piker. Sebagiman firman Allah SWT
ِِّ َ ‫ب أ َ َجلُ ُه ْم ۖ فَ ِبأ‬
‫ى‬ َ ‫س َٰ ٰٓى أَن َيكُونَ قَ ِد ٱ ْقت ََر‬ َ ‫ىءٍ َوأ َ ْن‬
َ ‫ع‬ ْ ‫ش‬
َ ‫ٱَّللُ مِن‬ َّ َ‫ض َو َما َخلَق‬ ِ ‫ت َو ْٱْل َ ْر‬ ِ ‫س َٰ َم َٰ َو‬َّ ‫ت ٱل‬ِ ‫وا فِى َملَكُو‬ ۟ ‫أ َ َولَ ْم َينظُ ُر‬
َ‫ث َب ْعدَ ۥهُ يُؤْ ِمنُون‬ ٍ ٍۭ ‫َحدِي‬
Artinya: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan
segala apa yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya waktu
(kebinasaan) mereka? Lalu berita mana lagi setelah ini yang akan mereka percayai?”
(QS. al-A’raf: 185) 9

C. Alam Itu Nikmat


Seorang muslim harus memandang alam sebagai nikmat yang dikaruniakan
Allah SWT pada mereka. Atau paling tidak, sebagai wujud dari nikmat Allah yang
lahir dan yang batin. Maka sikap seorang muslim dalam interaksinya dengan alam
sekitar ada dua, yaitu dengan mengambil i’tibar dan bersyukur.
Pandangan terhadap alam ini berpengaruh terhadap diri manusia, akal dan
nuraninya. Maka pada hakekatnya, alam bukanlah tuhan, yang harus dimohon dan
ditakuti, sebagaimana yang tampak pada sebagian agama-agama, yang menuhankan
sebagian dari alam semesta. Semisal matahari, bulan, bintang-bintang di langit, juga
pegunungan, sungai-sungai, pepohonan dan hewan-hewan diatas bumi.

9
Yusuf Al-Qaradhawi, Islam Agama Ramah Lingkungan, Pustaka Al-Kautsar,2002
Namun disisi lain, alam bukan pula musuh bagi manusia, sebagaimana yang
digambarkan sebagian orang-orang barat dengan kepercayaan akan “Pemaksaan
alam”. Alam adalah makhluk yang ditundukkan untuk manusia, untuk melayani
manusia, dan kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Jurianto, 2015.Relasi Muslim dan Non Muslim Dalam Pandangan Islam, Yayasan Pengkajian Hadis
el-Bukhari, Tangerang

Rahman, 2016.Relasi Antara Muslim Dengan Non Muslim, PTIQ Jakarta

Alan Juhri, 2018. Relasi Muslim Dan Non Muslim Perspektif Tafsir Nabawi Dalam Mewujudkan
Toleransi

Rasyid, 2021.Relasi Muslim Dengan Non Muslim Dalam Perspektif Al-Qur’an Dan Sunnah, Ponpes
Baitul Hikmah, Kota Depok

Sarwat, 2018. Fiqih Interaksi Muslim Dengan Non Muslim, Rumah Fiqih Publishing

Rosowulan, 2019.Konsep Manusia Dan Alam Serta Relasi Keduanya Dalam Perspektif Al-
Qur’an,Jurnal Studi Islam

Al-Qaradhawi, 2002.Islam Agama Ramah Lingkungan, Pustaka Al-Kautsar

Anda mungkin juga menyukai