LATAR BELAKANG
PENDAHULUAN
Relasi muslim dengan non-muslim merupakan permasalahan klasik yang telah
muncul semenjak masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Meskipun
demikian, permasalahan ini masih tetap eksis dan masih ramai dibicarakan sampai
saat ini. Bahkan boleh jadi akan menjadi isu menarik dikarenakan masih banyaknya
kontroversi yang terkandung dalam permasalahan ini. Seperti misalnya terkait
batasan bolehnya seorang muslim melakukan interaksi pada non-muslim. Pada
kasus ini, terdapat pandangan yang begitu ketat membatasi relasi umat Islam serta
non-Islam. Di sisi lain, juga ada pandangan yang cukup terbuka dan toleran dalam
hal relasi umat Islam serta non-Islam ini. Bukan Cuma itu, melalui hubungan umat
Islam serta non-Islam, seringkali muncul beragam konflik antar umat beragama.
Bahkan hingga zaman modern saat ini. Sebut saja negara-negara di Timur Tengah,
Syiria, Iran, Mesir, bahkan di Indonesia pun tidak jarang kita temui konflik yang
disebabkan karena relasi antara muslim dengan non-muslim.
Bagi seorang muslim, tentunya menjadi suatu kewajiban bagi kita untuk mencontoh
dan meneladani Nabi Muhammad. Beliau ialah sosok panutan, akhlak serta
kepribadian baiknya telah dijamin oleh Allah SWT.
ْ ﻛَﺜِﯿْﺮًاۗ ﷲَّٰ وَذَﻛَﺮَ اﻻْٰﺧِﺮَ وَاﻟْﯿَﻮْمَ ﷲَّٰ ﯾَﺮْﺟُﻮا ﻛَﺎنَ ﻟﱢﻤَﻦْ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ اُﺳْﻮَةٌ ﷲِّٰ رَﺳُﻮْلِ ﻓِﻲْ ﻟَﻜُﻢْ ﻛَﺎنَ ﻟَﻘَﺪ٢
Artinya : “Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik
bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
Kiamat serta yang banyak mengingat Allah”. (QS. Al-Ahzab: 21).
Namun, perlu digaris bawahi bahwa mencontoh dan meneladani Nabi bukanlah
merupakan persoalan yang sederhana, terlebih dalam hal mencontoh bagaimana
sikap dan perilaku Nabi dalam berhubungan dengan orang-orang non- muslim.
Karena dalam sejarahnya, hubungan antara Nabi dengan non-muslim mengalami
pasang surut dan tidak berjalan mulus. Artinya, hubungan antara Nabi dan non-
muslim telah melewati masa-masa perdamaian dan pertikaian atau konflik.
Sehingga dalam memahami dan meneladaninya butuh adanya pemahaman
terhadap konteks yang melatarbelakangi sikap dan perilaku Nabi dalam
berhubungan dengan non-muslim tersebut.
Di samping itu, perlu diyakini bahwa sikap, perbuatan, perkataan serta seluruh
respon Nabi dalam menjalin hubungan dengan non-muslim ialah tidak terlepas dari
petunjuk Allah SWT berupa wahyu. Banyak sekali ayat yang berbicara tentang
hubungan antara umat Islam serta non-Islam. Baik itu ayat yang menceritakan
tentang hubungan yang harmonis, seperti QS. Al-Mumtahanah: 8- 9, maupun yang
berbicara tentang hubungan yang disharmonis, seperti peperangan dan lain
sebagainya, contohnya QS. At-Taubah: 36. Sementara itu, bila ayat-ayat semakna
diinterpretasikan dengan riwayat-riwayat Nabi SAW, maka juga akan dijumpai hadis-
hadis yang secara literal menjelaskan mengenai hubungan harmonis pada satu sisi,
serta disharmonis (tidak harmonis) pada sisi lainnya. Seperti hadis tentang
penghormatan Nabi kepada jenazah orang yahudi, dan pembebasan terhadap kaum
kafir Żimmī, di mana hadis ini jelas bercerita tentang hubungan baik Nabi dengan
non-muslim. Dan hadis tentang pemberlakuan jizyah, dan perintah memerangi non-
muslim, yang menunjukkan bahwa Nabi juga pernah melakukan hubungan
disharmonis dengan non-muslim. Terlepas dari konteks dari masing-masing hadis
tersebut.
PEMBAHASAN
1. Moderasi Beragama
Arti dari moderasi yaitu persetujuan kepada agama yang dianut tanpa berlebihan
dan harus mempertimbangkan ibadah dan berbuat baik kepada manusia. Tuhan
menciptakan manusia dengan berbeda-beda, meskipun dalam satu rahim yang
sama manusia akan berbeda karakter dan fisiknya. Sama seperti beragama yang
menjadi khas manusia tersebut. Setiap gerak-gerik manusia sudah ketetapan dari-
Nya, semua yang terjadi di muka bumi atas kehendak-Nya, berdasarkan realita
kehidupan, konsep moderasi beragama sangatlah penting dalam kehidupan pada
masa sekarang.
Karena moderasi merupakan titik tengah dan sesuai ajaran agama Islam dan
menurut sesuai kodratnya manusia. Umat manusia yang menganut agama Islam
disebut dengan ummatan wasatan yaitu umat pertengahan, karena mampu
menyatukan dua pemahaman agama yaitu Yahudi dan Nasrani. Cara beragama
jalan tengah maksudnya tidak ekstrim dan sesuai dengan kajian dan ajaran agama
yang dianut. Moderasi beragama dipahami oleh orang yang berbeda-beda dan
tergantung konteks yang ia pahami. Moderasi beragama merupakan pola sikap dan
perilaku beragama yang mengambil jalan tengah, sehingga bisa seimbang.
Menurut ajaran agama Islam, pelaku moderat dapat menciptakan kedamaian
dikehidupan sehari-hari dan sangat penting diterapkan dalam sikap toleransi dan
perbedaan yang terjadi di kalangan masyarakat kita seperti perbedaan suku, agama,
bahasa, sehingga dengan adanya konsep sikap toleransi dapat menghargai
perbedaan agama dan keberagamaan suku yang tersebar di Indonesia.
Pelaku moderasi harus memahami keberagamaan baik dari agama maupun
kebudayaan, dan tidak dibenarkan saling menghakimi dan melecehkan ajaran-
ajaran agama yang berbeda dan keberagaman budaya yang berbeda, jika adanya
sikap toleransi dapat mempererat persaudaraan yang melahirkan persatuan antar
sesama. Moderasi beragama sangat menghindari keekstriman dalam kehidupan
beragama, karena bahasa moderasi merupakan pengurangan keekstriman dan
menjauhi kekerasan. Hal ini biasanya kita sebut moderasi beragama, bukan
moderasi Islam. Berdasarkan fakta yang ada, keberagaman hal ini menimbulkan
adanya ekstriminisme dan sikap yang keras. Karena moderasi beragama itu upaya
untuk mengajak yang ekstrim ke arah jalan yang tengah, sehingga terciptanya sikap
toleran, menghormati atau menghargai keberagaman dan lebih harmonis. Dengan
adanya sikap-sikap tersebut kehidupan beragama jauh lebih baik dan menjadi
penengah bagi kehidupan bermasyarakat.
Moderasi Islam adalah cara pandang terminologi yang timbul dalam pandangan
Islam belakangan ini, karena munculnya pemahaman radikal yang dipahami dan di
eksekusi ajaran atau pesan-pesan agama. Keberagaman cara pandangan terhadap
keagamaan atau penafsiran keagamaan melahirkan cara tafsir yang terlalu keras,
dan tekstual karena berpedoman pada teks sehingga faham keagamaan yang
timbulnya menjadi ketat, ekstrim dan sempit, sehingga tidak menghargai cara
pandang agama lain.
Adapun orang-orang yang liberal, dan tidak terlalu liberal, kedua ini sama-sama
ekstrim, sehingga yang terlalu tekstual pemahamannya dapat diseimbangkan dan
tidak terlalu tekstualis. Begitu juga dengan yang terlalu liberal, ia bisa menghargai
teks-teks keagamaan dari konteksnya. Adapun contohnya seperti kelompok salafi
yang terlalu tekstual, sehingga pandangan mereka dengan sholat saja kadang
ditinggalkan, yang penting ingat dengan Tuhan, namun syariat banyak yang
diabaikan. Sementara yang sisi terlalu ketat, sampai maqosid syariahnya tidak
diabaikan, contohnya saat dia mengamalkan yang sunnah namun ia tidak
menghargai orang lain dan merasa benar, ini perilaku tidak sehat dan cara
beragama yang seperti harus dimoderasikan. pemahaman tentang moderasi
beragama berlaku, dengan adanya moderasi beragama tidak luput dari
keberagaman dan pemahaman seseorang tentang eksistensi beragama dengan
pemahaman tentang moderasi yang membutuhkan wawasan tentang keberagaman
kebudayaan dan agama dalam hal moderasi beragama.
Menurut Yusuf Al Qardhawi, wasatiyyah dengan at-tawazun merupakan upaya yang
dilakukan untuk menyeimbangkan antara dua sisi yang berlawanan, agar dapat
menyeimbangkan dan memberikan ketegasan bagi yang lain. Adanya perselisihan
seperti kejiwaan dan duniawi, keegoisan dan persatuan, realistik dan idealis.
Menyikapi keseimbangan itu dengan berlaku adil kepada bidang tertentu.
Dengan demikian, moderasi dikaitkan dengan adanya keberagaman dan
pemahaman seseorang tentang eksistensi beragama dan membutuhkan
pengetahuan tentang keberagaman budaya dan agama hal ini menjadi pedoman
penting dari moderasi beragama.
Moderasi beragama menjadi konsep penting dalam menjaga kerukunan dan
persaudaraan antar umat berbeda agama di tanah air. Dalam perspektif komunikasi
Islam, penting untuk memahami bagaimana masyarakat beda agama dapat
memaknai moderasi beragama agar tercapai keharmonisan dan keberagaman yang
sehat.
Artikel ini menjelaskan bagaimana moderasi beragama dapat dimaknai oleh orang
yang berbeda agama dalam perspektif komunikasi Islam.
Pengertian Moderasi Beragama Moderasi beragama yang sudah dijelaskan diatas
dapat diambil kesimbulan bahwa moderasi beragama adalah sikap yang
menyeimbangkan prinsip keagamaan dengan berbagai realitas sosial.
Hal ini tidak berarti mengikuti agama secara teoritis dan ketat, namun lebih kepada
praktik keagamaan yang inklusif, toleran, dan saling menghormati di antara orang-
orang yang berbeda agama. Pentingnya komunikasi dalam memahami moderasi
beragama Komunikasi memegang peranan yang sangat penting dalam memahami
dan mengamalkan moderasi beragama.
Dalam konteks ini, komunikasi mengacu pada dialog, pemahaman, dan pertukaran
gagasan antara orang-orang yang berbeda agama. Komunikasi yang efektif dan
terbuka dapat meningkatkan pemahaman dan mengatasi kesalahpahaman antar
agama.
Dengan adannya program ini nantinnya bisa lebih mengedukasi Masyarakat terkait
pentingnnya memahami moderasi dan mengedepankan kebersamaan tanpa melihat
dan memandang latar belakang dari pada siapa yang ada dalam lingkup Masyarakat
kita. Sehingga nantinnya bisa Bersama sama beriringan dengan pemerintah
mewujudkan lingkungan masyrarakat yang toleran, saling bekerja sama aman
nyaman, damai, dan menghindari adannya gesekan dan perpecahan yang terjadi di
Tengah Tengah Masyarakat.
Sumber :
Juhril,Alan M. 2018, Aplikasi Moderasi Beragama Dalam Interaksi Muslim Dan Non
Musilm, 4(2), 145-163