net/publication/322077709
CITATION READS
1 74,302
1 author:
Jumal Ahmad
Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta
39 PUBLICATIONS 150 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Jumal Ahmad on 27 December 2017.
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Zainul Kamal, MA,
Dr. Yunasril Ali, Dr. Qomaruddin Hidayat
Jumal Ahmad
NIM: 21171200000008
SEKOLAH PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
-------------------------------------------------------------------------------------------
2
-------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dengan bahan
rujukan baik buku, jurnal, majalah atau makalah dari internet yang bisa kami
akses yang tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dosen
mata kuliah Islamic Thought, khususnya Bapak. Prof. Dr. Abdil Aziz Dahlan
yang menjadi dosen pembimbing dalam kelas Islamic Thought selama satu
semester. Kajian di kelas, saran dan nasehatnya sangat menginspirasi dalam
penulisan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini.
Jumal Ahmad
3
-------------------------------------------------------------------------------------------
PENDAHULUAN
Pihak luar Mu'tazilah menamakan mereka dengan kaum Mu‟attilah,
kaum al-Qadariyah, kaum al-Wa‟idiyah dan Jahmiyah. Sementara Mu'tazilah
menyebut dirinya sebagai Ahl al-„adl wa al-tauhid, Ahlul Haq, Al-Firqatun
Najiyah dan Al-Munazzihuun Allah „Anin Naqshi.
Ada dua pendapat tentang lahirnya Mu'tazilah. Pertama bahwa
Mu‟tazilah mulai muncul sejak peristiwa keluarnya Washil dari pengajian Hasan
al-Bashri, di mana dari Hasan Bashri muncul ucapan “I‟tazala „Anna”. Dari kata-
kata tersebut muncullah kemudian sebutan Mu‟tazilah bagi Washil dan para
pengikutnya. Kedua, Mu‟tazilah ditujukan kepada mereka yang tidak mau ikut
peperangan, baik perang Jamal antara pasukan Saidina Ali ibn Abi Thalib dengan
pasukan Siti Aisyah, maupun perang Siffin antara pasukan Saidina Ali ibn Abi
Thalib melawan pasukan Mu‟awiyah. Kedua peperangan ini terjadi karena
persoalan politik.
Mu‟tazilah sempat eksis pada masa dinasti Umayyah dan mengalami
puncaknya pada masa dinasti Abbasiyah. Pada masa Umayyah, Mu'tazilah masih
berkisar tentang pelaku dosa besar dan sudah muncul lima ajaran pokok
Mu‟tazilah yang harus dipegang oleh penganutnya. Pada masa Abbasiyah,
Mu'tazilah memiliki kebebasan dan leluasa dalam mengembangkan ajaran-
ajarannya.Bahkan pada masa Al-Ma'mun Mu‟tazilah berubah menjadi mazhab
resmi negara. Bahkan dalam mengekspresikan kefanatikannya terhadap
Mu‟tazilah, beliau menggunakan kekuasaannya memaksa rakyat untuk mengikuti
aliran kepercayaan yang dianutnya tersebut dengan melakukan Mihnah.
4
-------------------------------------------------------------------------------------------
PEMBAHASAN
PENAMAAN MUKTAZILAH
Tidak ada kesepakatan di antara para ahli tentang asal nama Muktazilah.
Tetapi nama itu sering dinisbahkan kepada sekelompok orang yang menganut
paham teologi rasional yang muncul setelah peristiwa perdebatan antara Hasan
Al-Bashri dan Washil bin Atha‟. Di sisi lain, masih diperdebatkan tentang siapa
yang memberikan nama Muktazilah kepada Washil dan pengikutnya, dari orang
yang menentang mereka, atau mereka sendiri yang mengambil nama itu.
1
QS. Ad-Dhukhan ayat 21
2
Qamus Al-Muhiith, Juz 4 Hal. 15
5
-------------------------------------------------------------------------------------------
dalam membahas teologi Islam. Pengikut Washil bin Atha3 yang keluar dari
Majlis Hasan Al-Bashri4.5
Ada anggapan lain bahwa kata Mu'tazilah mengandung arti tergelincir,
dan karena tergelincirnya aliran Mu'tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi
nama Mu'tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata
akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir.
Kata yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya
dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Mu'tazilah tidak bisa
berasal dari kata zalla.
Mu‟tazilah memiliki banyak nama, berikut ini penjelasan ringkas yang
menunjukkan dua pendapat tentang penamaan Mu‟tazilah. Satu pendapat berasal
dari pihak luar, dan satu pendapat lagi dari kaum Mu‟tazilah sendiri.
3
Washil bin Atha lahir tahun 80 H, murid dari Hasan Al-Bashri, tidak keluar
dari majlisnya sampai terjadi kasus al-manzilah bainal manzilatain. Pendiri kelompok
Muktazilah. Menulis beberapa kitab seperti Ashnaf Al-Murjiah, Ma’ani Al-Quran. Wafat
pada tahun 131 H.
4
Abu Said Al-Hasan bin Abi Hasan bin Yasar Al-Bashri, termasuk pembesar
pada masa Tabi‟in. Ayahnya adalah maula Zaid bin Tsabit ra dan ibnunya maula Ummu
Salamah ra. Wafat 110 di Bashrah.
5
Al-Jurjaani, At-Ta’riifaat, hal. 238
6
-------------------------------------------------------------------------------------------
6
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa
Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal. 21-24
7
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 90
8
Awad bin Abdullah Al-Mu‟tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum Al-Khamsah wa
Mauqifu Ahlus Sunnah Minha, hal.26
7
-------------------------------------------------------------------------------------------
9
Namanya adalah Abu Said Al-Hasan bin Abil Hasan bin Yasar Al-Bashri.
Sangat dihormati dan ulama besar dari kalangan Tabi‟in. Ayahnya maula Zaid bin Tsabit
dan ibunya maula dari Ummu Salamah. Wafat tahun 110 H.
10
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 93. Peristiwa tersebut
menurut Ahmad Amin semata- mata bertema agama, bukan bertema politik. Lihat
Ahmad Amin, Fajrul Islam, h. 288-289.
11
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
(Jakarta: UI Press, 1972), hal. 38-39. Lihat juga Wafayatul A’yan: 4 hal.85
12
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
8
-------------------------------------------------------------------------------------------
Mu'tazilah, yaitu “Ilmu Kalam” yang berisi perpaduan antara Filsafat dan Logika
dengan ajaran-ajaran agama Islam, sehingga merupakan gagasan-gagasan baru,
konsepsi-konsepsi filsafat mengenai teologi Islam .
13
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 89
14
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal
TAPIs Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011 hal.95
9
-------------------------------------------------------------------------------------------
15
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 40
16
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang,
Jakarta, 1973, hal.11
10
-------------------------------------------------------------------------------------------
17
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2000, hal. 57
18
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001, hal. 74
11
-------------------------------------------------------------------------------------------
19
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 64
20
Kata Mihnah berasal dari kata bahasa Arab yang artinya mencobai, menguji.
Sedangkan Mihnah dalam konteks aliran Mu‟tazilah adalah pengujian keyakinan
terhadap para ahli fiqh dan ahli Hadits tentang kemakhlukan Al Qur‟an, serta sangsi
hukum yang harus mereka terima sehubungan dengan keyakinan mereka tersebut.Lihat:
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, hal.77
12
-------------------------------------------------------------------------------------------
13
-------------------------------------------------------------------------------------------
Tokoh Muktazilah
Dalam perkembangannya, Muktazilah tidak hanya berpusat di kota
Basrah sebagai kota kelahirannya, tetapi juga berpusat di kota Bagdad, yang
merupakan ibu kota pemerintahan. Karena itu, jika berbicara tentang tokoh
pendukungnya maka kita harus melihatnya dari kedua kota tersebut.
Menurut analisa Yoesoef Sou‟yb, antara kedua daerah tersebut terdapat
beberapa perbedaan karakteristik, yaitu : Pertama, Pemuka Mu‟tazilah di Basrah
cenderung menghindari jabatan birokrasi di pemerintahan maupun di pengadilan.
Dengan demikian mereka dapat lebih fokus pada bidang agama dan keilmuan
dan dapat mengemukakan pemikiran secara leluasa tanpa terikat dengan
kepentingan pemerintah atau pihak lainnya. Sedangkan di Bagdad, mereka
menggunakan kesempatan untuk menduduki jabatan-jabatan dengan tujuan untuk
mendapat dukungan sekaligus perlindungan. Kedua, Pemuka di Basrah
menyebarkan paham tanpa pemaksaan dan kekerasan, melainkan lebih banyak
menanti kesadaran umat untuk mengikutinya. Sedangkan di Bagdad, terkadang
berusaha secara sungguh-sungguh dan melakukan kekerasan agar masyarakat
mengikuti aliran Mu‟tazilah.22
21
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta,
1996, hal. 82
22
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam,
(Jakarta: PustakaAl-Husna, 1982), cet.I, h.265.
14
-------------------------------------------------------------------------------------------
15
-------------------------------------------------------------------------------------------
4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah al-Hamazani al-
Asadi. (325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray
Teheran. Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Qadi Abdul Jabbar. Ia hidup
pada masa kemunduran Mu‟tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha
mengembangkan dan menghidupkan paham-paham Mu‟tazilah melalui
karya tulisnya yang sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan
berpengaruh adalah Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali
Wa al-Tauhid..
Secara umum Muktazilah adalah kelompok yang menolak sifat azali bagi
Allah SWT yang bertujuan untuk mempertahankan konsep Tauhid mutlak bagi
Allah SWT. Mereka berpendapat seperti ini karena: Pertama, Mengcounter
golongan Al-Musyabbihah dan Al-Mujassimah yang meyerupakan Allah dengan
makhluk dan menyamakan Allah dengan makhluk. Kedua, Menolak pendapat
agama Thanawi yaitu agama yang menduakan Allah yang keduanya adalah azali
dan qadim. Muktazilah berpendapat bahwa menetapkan ma‟na (setiap yang ada
pada zat dan wajib baginya dari segi hukum) akan menisbahkan dua Tuhan.
Muktazilah menafikan semua sifat Allah SWT, tetapi yang dinafikan adalah
ma‟na yang terkandung di dalam nama-nama itu yang dianggap akan
membawakan penisbahan berbilangnya qadim. Ketiga, Menolak pendapat
Kristen yang menganggap bahwa Tuhan ada oknum oknum yaitu Bapak, Anak
dan Ruh Kudus. Keempat, Menolak pendapat Yahudi yang menggambarkan
Allah SWT seperti makhluk.23
As-Sahrastani menjelaskan beberapa faktor terjadinya perbedaan
pandangan yang menyebabkan lahirnya sekte atau golongan dalam Islam:
Pertama, masalah sifat dan keesaan Allah SWT, termasuk sifat azali-Nya,
sebagian ada yang menerima atau mengakui sifat Allah dan sebagian ada yang
23
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal
Islamiyyat, Vol.15 No.3-14, hal. 4
16
-------------------------------------------------------------------------------------------
menolaknya. Begitu juga tentang sifat yang wajib, mustahil dan jaiz. Masalah ini
menjadi ajang perdebatan di antara golongan Asyariyah, Karamiyah, Mujassimah
dan Muktazilah. Kedua, masalah qadha, qadar, keadilan Allah, jabar dan kasab,
keinginan berbuat baik dan jahat dan masalah yang berada di luar kemampuan
manusia. Masalah ini diperdebatkan oleh Qadariyah, Najariyah, Asyariyah dan
Karamiyah. Ketiga, masalah janji (wa’ad), wa’id (ancaman) dan asma Allah.
Masalah ini diperdebatkan oleh Murji‟ah, Wa‟diyah, Muktazilah, Asyariyah dan
Karamiah. Keempat, masalah wahyu, akal, kenabian dan imamah. Sebagian
golongan menyatakan imam sudah ditunjuk oleh Nabi dan sebagian yang lain
menyatakan imam harus dipilih, sementara mengenai cara penggantian imam,
ada yang mengatakan melalui penunjukan dan ada yang mengatakan melalui
pemilihan. Masalah ini diperdebatkan oleh Syiah, Khawarij, Muktazilah,
Karmiyah dan Asyariyah.24
Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu‟tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap
masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal,
mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal mereka tolak.
Muktazilah sering disebut filosof Islam karena banyak dipengaruhi oleh
pemikiran filsafat Yunani dan logika dalam menemukan landasan-landasan
paham mereka. Penyebabnya adalah karena mereka menemukan dalam filsafat
Yunani, keserasian dengan kecenderungan pemikiran mereka, kemudian mereka
jadikan sebagai metode berpikir dan berargumentasi. Dan ketika pihak dari luar
Islam berusaha meruntuhkan dasar ajaran Islam dengan argumentasi logis,
Muktazilah dengan gigih menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi
dan debat.25
24
Zuhelmi, Epistimologi Pemikiran Muktazilah Pengaruhnya terhadap
Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia, Jurnal LIA, No.2, Desember 2013, Th
XIV, hal. 128
25
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013, hal. 94
17
-------------------------------------------------------------------------------------------
26
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah,
1966), h.22.
27
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal
An-Nur, Vol.4 No.2, 2015, hal. 241.
18
-------------------------------------------------------------------------------------------
Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain- Nya, tiada
pembantu bagi-Nya dalam menciptakan.28
Dari pengertian di atas, nampak jelas bahwa pikiran-pikiran Mu'tazilah
mengambil istilah-istilah filsafat seperti syahs, jauhar, aradl, teladan
(contah/idea) dan sebagainya. Prinsip Tauhid ini dipertahankan dan diberi
argumentasi sedemikian rupa, sehingga betul betul murni.
Pemahaman Tauhid di atas juga berimplkasi pada pernyataan
kemakhlukan Al-Quran sebagai konsekuensi peniadaan tajsim dan nafyus shifat
karena dianggap mengotori keesaan Allah.
Beberapa contoh pendapat Mu‟tazilah terkait konsep Tauhid pendapat
Muktazilah tentang ayat yang menunjukkan Tuhan punya tangan, tangan di sini
diartikan kekuasaan dan dalam ayat yang menunjukkan Tuhan bertempat dalam
Arsy‟ diartikan bahwa Tuhan menguasai dan sebagainya. Alasan Mu'tazilah
menta‟wilkan ayat-ayat tersebut, karena apabila diartikan secara harfiah tidak
masuk akal dan bertentangan dengan ayat yang lain serta akan mengurangi
kesucian Tuhan sendiri. oleh sebab itu di dalam menjabarkan Tuhan Yang Maha
Esa ini mensifatinya dengan sifat-sifat salbiyah (negatif) seperti tidak berjisim,
tidak berarah, tidak berupa, tidak dan sebagainya yang pada prinsipnya tidak
sama dengan sifat makhluk.
Contoh lainnya dalam masalah melihat Tuhan. dikatakan bahwa Tuhan
tidak berjisim, maka juga tidak berarah. Jika Tuhan tidak berarah, maka manusia
tidak dapat melihat-Nya karena setiap sesuatu yang dapat dilihat itu pasti berada
pada suatu tempat atau arah, disamping dibutuhkan beberapa syarat seperti
adanya cahaya, warna dan sebagainya, dan yang demikian itu mustahil bagi
Allah.29
28
Imam Al-Asy‟ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushalliin, (Dar
Faraznir, 1980, cet.3), hal.156
29
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013, hal. 92
19
-------------------------------------------------------------------------------------------
30
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 48
20
-------------------------------------------------------------------------------------------
jawab manusia. Menurut mereka, tidak adil jika manusia tidak menciptakan
perbuatannya sehingga Tuhan menghukumnya atas sesuatu yang ia tidak berdaya
apa apa terhadapnya. Konsekuensi selanjutnya Muktazilah memberikan
penghargaam yang tinggi kepada kemampuan manusia dan kompetensi akalnya
untuk mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Muktazilah baik dan
buruk itu bersifat dzati (objektif), padanya terdapat suatu kualitas yang dapat
dipatoki untuk menentukan baik dan buruk.31
31
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid
Edisi Pertama, September- Desember 1993, hal. 13
21
-------------------------------------------------------------------------------------------
perkara kafir dan mengkafirkan orang muslim yang kedapatan telah melakukan
dosa besar (fasik).
Bagi kaum khawarij, mereka yang fasik itu (para pendosa) bisa
digolongkan kedalam orang-orang yang kufur, oleh karena itu mereka sama saja
dengan orang kafir. Atau tegasnya, menurut kaum khawarij mereka itu adalah
kafir.
Sebaliknya, menurut kelompok murjiah, sepanjang imannya masih utuh
walaupun seseorang telah melakukan kejahatan dan berdosa besar maka dia
masih tetap dianggap orang muslim. Alasan kelompok ini sederhana, bahwa
urusan hati siapa yang tahu. Dan iman adalah urusan hati. Jadi sepanjang hatinya
masih beriman maka dia adalah tetap orang muslim.
Kaum Mu‟tazilah tampil ditengah-tengah mereka dengan mengatakan
bahwa untuk perkara seperti itu maka manzilah wal manziltain- lah dia. Orang
yang melakukan perbuatan dosa besar itu adalah ada diantara dua posisi, yakni
antara kafir dan muslim. Orang yang melakukan perbuatan fasik itu bukanlah
termasuk kedalam golongan kaum muslimin dan bukan pula termasuk kedalam
golongan kafir, mereka ada diantara dua posisi itu.
Doktrin inilah yang kemudian melahirkan aliran Mu‟tazilah yang digagas
oleh Washil ibn Atha. Wasil memutuskan bahwa orang yang berbuat dosa besar
selain syirik, tidak mukmin tidak pula kafir, tetapi fasik. Jadi kefasikan adalah
suatu hal yang berdiri sendiri antara iman dan kafir. Tingkatan orang fasik di
bawah orang mukmin dan di atas orang kafir. jalan tengah ini diambilnya dari:
1. Ayat-ayat Quran dan hadis-hadis yang menganjurkan kita mengambil
jalan tengah dalam segala sesuatu.
2. Pikiran-pikiran Aristoteles yang mengatakan bahwa ke-utamaan (fadilah)
ialah jalan tengah antara dua jalan yang berlebih-lebihan.
3. Plato yang mengatakan bahwa ada suatu tempat diantara baik dan buruk.
22
-------------------------------------------------------------------------------------------
32
Drs. H. Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta
Press, Ciputat, hal. 49
23
-------------------------------------------------------------------------------------------
Bahan Rujukan
Buku
A Hanafi, Pengantar teologi Islam, Al husna Dzikra, Jakarta, 2001
Achmad Ghalib, M.A, Rekonstruksi Pemikiran Islam, UIN Jakarta Press,
Ciputat, Cet. 1 tanpa tahun.
Ahmad Zaeny, Idiologi dan Politik Kekuasaan Kaum Muktazilah, Jurnal TAPIs
Vol.7 No.13 Juli-Desember 2011
Analiansyah, Peran Akal dan Kebebasan Bertindak dalam Filsafat Ketuhanan
Muktazilah, Jurnal Substantia, Vol.15 No.1, April, 2013
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Raja Grafindo
Persada Jakarta, 2000
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di
Indonedia Abad XX, Serambi Ilmu Semesta, Cet. 1, 2004
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1973
Harun Nasution, Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Antara Pustaka, Jakarta, 1996
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan
Jakarta: UI Press, 1972
Joesoef Sou‟yb, Peranan Aliran Iktizal dalam Perkembangan Pikiran Islam,
(Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1982), cet.I.
Jurnal
Khaitunnas Jamal, Peran Muktazilah dalam Menafsirkan Al-Quran, Jurnal
An-Nur, Vol.4 No.2, 2015
Mawardy Hatta, Aliran Muktazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Jurnal Ilmu Ushuluddin, Vol.12 No.1, Januari 2013
Mudasir bin Rosder, Masalah Uluhiyah dalam Aliran Muktazilah, Jurnal
Islamiyyat, Vol.15 No.3-14
Syamsul Anwar, Tiga Aliran Epistemologi Hukum Islam, Jurnal Al-Mawarid
Edisi Pertama, September- Desember 1993
24