Anda di halaman 1dari 155

Diandra Collins

Diandra memang sangat manis, setiap orang yang


memandanganya seperti tak ingin kehilangan salah satu
keindahan maha karya Tuhan ini. Begitulah orang-orang
terdekat Diandra mengungkapkan kekaguman tulusnya.

Lesung pipi di kedua pipi Diandra juga


menjadikannya semakin terlihat manis. Kulitnya putih bersih,
rambutnya gelap lurus di atas pinggang, hidungnya mancung,
bibirnya juga sangat cantik, dan matanya sejernih tetesan air.

Setiap mengunjungi tempat-tempat indah yang


meurutnya akan senang sekali jika memiliki rumah di sini ia
akan selalu, dan tak pernah lepas dari benda yang akan
mengabadikan kekagumannya itu. Karena menurutnya setiap
keindahan alam ini, memiliki makna tersendiri yang sengaja
diciptakan oleh Sang Pencipta, yang setiap maknanya akan
terpatri indah di hati setiap manusia, jika ia mau menyisihkan
sedikit waktunya untuk bersyukur kepada Pencipta yang telah
memberikan keindahan kepada semesta.

Diandra memang salah satu makhluk indah-Nya yang


senang sekali jika ia bisa selalu berfikir dengan hati. Ia selalu
bisa memadukan logika dengan hatinya, karena menurutnya
seorang manusia pada waktunya pasti akan memahami suatu
1
keadaan yang tidak bisa diartikan hanya dengan logika.
Diandra selalu berusaha memahami setiap quota-quota indah
atau sekedar nasihat dengan hati, dan selalu ingin menerapkan
makna tersiratnya, karena ia selalu ingin menjadi baik, lebih
baik, dan akhirnya menjadi yang terbaik. Dan ia sama sekali
tidak ingin menjadi orang yang merugi. Karena sebenarnya
manusia bisa memilih dan meraih apa yang menusia-manusia
itu inginkan. Itulah salah satu motto penyemangatnya.

Ferdinand Collins

Ferdinand memiliki sifat yang berbeda dengan


Diandra. Jika Diandra berpikir semua kritikan adalah sebuah
point kesuksesan yang harus diperbaikinya, dan akhirnya harus
ia raih kesuksesannya, berbeda dengan Ferdinand, yang selalu
memandang sebuah kritikan adalah rekayasa orang-orang yang
ingin menjatuhkannya. Tapi entah bagaimana, ia selalu bisa
meraih setiap cita dan harapannya. Ferdinand juga tipe orang
yang teguh pendirian, yang lebih mengandalkan logika
daripada nurani.

Tetapi keduanya memiliki wajah yang membuat setiap


orang yang memandangnya, berdesis kagum akan ciptaan-Nya.
Ferdinand juga sangat tampan. Wajahnya putih bersih,
2
rambutnya tertapa rapi meskipun dengan poni yang membelah
sebelah alisnya, dan matanya memiliki pandangan yang sangat
melindungi. Ia juga memiliki postur tubuh yang sangat bagus.
Tubuhnya tinggi jenjang 170 cm.

Ferdinand bukan tipe orang yang peduli terhadap


orang-orang disekelilingnya. Ia tidak pernah benar-benar suka
pada keluarganya. Ia selalu berpikir bahwa kedua orangtuanya
hidup untuk keegoisan diri mereka. Selalu mencari-cari sesuatu
yang akan sirna nantinya, yang hanya akan terlihat indah bila
masanya masih singgah. Menurutnya hidup yang kini saja
dijalani dengan pasti, bahagia bersama yang dikasihi, juga duka
yang selalu dibagi.

Anthonie

Anthonie berpostur tinggi tegap, kulitnya kuning


langsat, rambutnya di cat cokelat, dan akan terlihat terang jika
terkena sinar matahari. Bola mata Anthonie juga terlihat
cokelat, bila benar-benar dekat sekali memandangnya.
Wajahnya Anthonie mirip sekali dengan Diandra jika ia
mengganti cat rambut cokelatnya dengan warna hitam.

3
Anthonie adalah tipe orang yang setia, selalu berkata
dan bersifat apa adanya, selalu bisa memahami perasaan orang
lain, selalu bisa mengendalikan situasi, juga sangat
bertanggungjawab terhadap setiap hal yang dipilihnya.

Baginya hidup ini akan sangat terlihat indah, jika ia


bisa mengendalikan dan memahami setiap latar peristiwa-
peristiwa yang mengiringi langkah hidupnya. Juga apabila
semua orang yang dikasihinya, juga semua insan yang
menghiasi hidupnya, bisa ia temui dikehidupan yang
menghadiahkan kebahagiaan abadi.

Frizzy Covan

Frizzy adalah puteri tunggal dari keluarga Covan.


Sejak kecil ia tak pernah sedikitpun kekurangan kasih sayang
kedua orang tuanya. Kasih sayang dan perhatian yang benar-
benar berlebihan, membuat Frizzy sedikit jengah dan terkadang
bosan dengan kehidupannya.

Satu bagian kecil hatinya menginginkan yang berbeda,


menginginkan sedikit kebeasan, karena ingin meraih semua
yang ingin diraihnya, menapaki jalan terjal yang harus dilalui,

4
juga menghapus segala rasa takut yang sering kali hinggap
dibenaknya.

Semua itu yang menjadikan karakter tegar dan tidak


mudah mengatakan kata-kata menyarah, begitu terlihat kental
dalam dirinya. Sifat tegar dalam diri Frizzy juga sangat
menghiasi penampilannya yang terkasan tomboy.

Frizzy berkulit kuning langsat, rambutnya di cat blue


back dan dipotong rapi seperti kebanyakan siswa Roselord. Ia
juga memiliki mata belo yang sangat serasi dengan wajah
manisnya. Frizzy memang bukan gadis yang fanatik dengan
mode-mode rambut dan pakaian wanita yang sering berganti-
ganti. Karena menurutnya keindahan diluar bisa menyamarkan
keburukan hati, tetapi keindahan hati akan menghiasi diri yang
luar.

Oliver

Jika ada yang kemana-mana mengenakan headphone,


memimpin keempat temannya sebagai The Most Wanted
People In This School, selalu bergaya keren dengan senyum
penuh artinya, itu adalah Oliver.

5
Poni yang membelah sebelah alisnya, dengan rambut
hitam yang dipotong hampir 5 cm di bawah telinga, senyum
khasnya yang memiliki seribu arti, juga mata jernihnya yang
terlihat menyimpan berbagai kenangan, memang membuatnya
terlihat sangat tampan.

Ditambah lagi jabatannya sebagai ketua


ekstrakurikuler basket, menambah ketenarannya sebagai kakak
senior di Roselord. Tentu para siswinya. Mereka akan senang
sekali jika bisa menonton setiap pertandingan oliver.

Oliver memang sangat senang mendapatkan perhatian


seperti itu, karena sangat serasi dengan jiwa keartisannya. Tapi
ia selalu baik, selalu ramah, selalu membuat keonaran, selalu
membuat kekocakan, dan selalu membuat hidup lebih
berwarna.

Calista

Calista mempunyai rambut curly pirang sepunggung


yang sangat cantik, dengan poni menyamping sebelah ke
telinga yang menutupi sebagian alis kirinya. Matanya jernih
dengan bola mata cokelat gelap yang sangat indah. Ia juga

6
memiliki kulit kuning langsat yang khas, sehingga menjadikan
Calista terlihat manis sekali.

Calista adalah gadis yang selalu lebih mementingkan


orang lain daripada dirinya sendiri. Jika bisa membuat setiap
orang disekelilingnya merasa bahagia dengan kehadirannya,
atau hanya sekedar melihat semuanya tersenyum bahagia,
keduanya selalu bisa membuat Calista merasakan keindahan
tempat berpijaknya.

7
SATU
“Detik-detik waktu akan terasa sangat membosankan, jika
kita tak bisa menghidupkan kebahagiaan didalamnya.“

Diandra menutup buku hariannya, matanya sunnguh


berat menahan kantuk. Tapi, sedikitpun ia tak bisa
memejamkan kedua matanya. Jam dinding berbentuk bintang
dalam pangkuan sang dewi malam sudah menunjukkan pukul
01.30 pagi. Deru motor Ferdinand juga belum terdengar
kebisingannya. Menambah kesunyian rumah dan hati Diandra
yang memang benar-benar telah sunyi.

Mungkin menghirup basahnya udara malam bisa


membuatnya lebih nyaman.

Diandra membuka pintu kaca balkon kamarnya


dengan sebelah tangan dan mencoba menyisihkan tirai yang
tergerai dengan tangan kirinya. Ia menyilangkan kedua
tangannya untuk menyandarkan dada di atas pagar alumunim
balkonnya.

8
Diandra benar-benar terdiam dalam diam, matanya
berkaca-kaca memandang langit, berharap ada satu bintang
yang turun untuk menghibur hatinya. Pertengkarannya dengan
Ferdinand tadi pagi belum bisa benar-benar hilang dari
benaknya. Benar-benar mengusik ruang pikirnya yang sudah
sangat lelah tuk berpikir. “When the stars and moon loking
for.......“ Dering ponsel Diandra memecah kesunyian, sedikit
meramaikan keheningan malam.

“Hai Anthonie, kau belum tidur? ........ Entahlah, ia


keluar sejak pagi! Kau di rumah? ........ Ehm ....... Tentu,
sekarang sudah hampir pukul 02.00 ......... Ah, bibi memang
sangat menyayangi pasiennya .......... Sepertinya tidak ..........
Tentu .......... Oke, kau baik sekali Anthonie .......... Baiklah,
bye!“

Diandra segera menekan tombol merah di sudut


keypad ponselnya. Sepertinya berbicara dengan Anthonie,
membuatnya bisa melupakan hal buruk bersama Ferdinand,
juga bisa menghilangkan rasa enggan tidurnya. Segera juga ia
menutup pintu kaca balkonnya. Merapikan tirai putih dengan
sedikit motif lili-lili kecil berwarna biru muda, mematikan
lampu kamar, menyalakan satu lampu tidur di atas nakas,
mematikan Ac. Dan langsung menghamburkan diri di ranjang
doublebadnya.
9
****

Sayup-sayup terdengar kicauan makhluk Tuhan yang


bersahut-sahutan mengisi ruang hirup udara bebas. Rasa malas
dan kantuk bercampur baur dengan rasa enggan Diandra. Tak
ada niat untuk bangun pagi di hari minggu yang cerah ini.
Namun cahaya mentari yang menyelinap melalui celah-celah
tirai, memaksanya bangkit dari ranjang doublebad dengan
seprai biru muda bermotif lili-lili putih yang terlihat sangat
berantakan.

Ia mengerang lirih, menyipitkan sebelah matanya dan


menatap jam yang telah menunjukkan pukul 07.15

“Ah.........masih mengantuk“ Ucapnya lirih sambil


mengingat-ingat janjinya dengan Anthonie. Ia membalikkan
badan ke kanan mencoba menghindari sinar mentari yang
masuk.

“AAAAAAAA........FERDINAND! APA YANG


KAU LAKUKAN DISINI????“ Diandra berteriak sangat
keras saat menyadari Ferdinand masih tertidur pulas di
sampingnya. Tentu saja teriakannya membuat Ferdinand segera
terbangun.

“Apa-apaan kau ini? Mengapa teriak begitu keras?“

10
“KAU YANG APA-APAAN? KENAPA TIDUR
DISAMPINGKU?” Tetap dengan volume yang sama.

“Bisa lebih keras? Telingaku sudah hampir tuli karena


teriakanmu!“ Ferdinand berkata dengan kesal.

“Ini kan kamarku, kenapa kau cerewet sekali? Aku


juga tidak keberatan kau tidur diranjangku!“ Tambah
Ferdinand dengan mata terpejam dan merebahkan lagi
tubuhnya ke ranjang.

Diandra hanya diam, sibuk dengan kebingungannya,


benar-benar kesal dan sama sekali tidak ingin lagi menanggapi
kakaknya yang sangat menyebalkan.

Ia tetap diam, hanya bangkit dari ranjang dan


langsung menyambar handuk yang tergantung di depan pintu
kamar mandinya.

“Hey.....cepatlah keluar dari kamarku!“ Teriak


Diandra ketika memutar knop pintu yang sama sekali tidak
dihiraukan oleh Ferdinand.

03.15 malam

11
Hanya sepi dan gelap yang menyambutnya. Malam
sudah akan berlalu saat Ferdinand memarkir motor
kebanggaannya di garasi rumah. Kelopak matanya sudah
hampir setengah tertutup, ia hanya berharap bisa cepat-cepat
meraih ranjang favoritnya. Ia segera menaiki anak tangga
dalam gelap, tanpa terlebih dahulu menyalakan satu atau dua
lampu untuk menerangi langkahnya. Saat ini ia hanya ingin
segara menemukan pegangan pintu dan lansung
menghamburkan diri ke ranjang.

Ferdinand sudah tidak membuka matanya lagi setelah


pintu kamar terbuka, dan segera menghamburkan diri ke
ranjang tepat pukul 03.30.

Blus putih yang dipadukan dengan bolero biru muda berajut


bunga berwarna pink sebagai kancingnya, terlihat sangat rapi
dikenakan oleh Diandra. Juga rok jins biru tua di atas lutut
yang bergelombang bagian bawahnya. Rambutnya dibiarkan
tergerai, pita putih melingkar anggun dirambutnya. Poninya
bergoyang-goyang ke kanan dan kiri terlihat sangat manis.

“Mengapa Anthonie belum juga menelphon?“ Tanya


Diandra dalam pikirannya.

12
“Apa........?“ Sahut Ferdinand.

“Ah tidak,” ternyata ia telah menyuarakan pikirannya,


pikirnya heran. “Mau sampai kapan kau disini?“ Balas
Diandra, seakan baru menyadari ada sesuatu yang harus ia
singkirkan dari kamarnya. Ferdinand tetap bergeming, tak
peduli pada tatapan galak Diandra. Ia sudah benar-benar
tersadar dari rangkaian kisahnya semalam. Dan memilih untuk
tidak mendebat Diandra, karena ia tahu adiknya akan sangat
marah.

Ferdinand dan Diandra memang kakak adik, tapi


pancaran kebencian terlihat sangat jelas dari keduanya.
Keduanya tak akan membicarakan suatu hal yang serius jika
tidak untuk kepentingan masing-masing. Dan akan selalu
mempermasalahkan hal-hal tidak penting, hanya karena salah
satu pihak diantara mereka berbeda pendapat. Tanpa berpikir,
apakah hal yang tidak disepakati salah satu dari keduanya
membawa kebahagiaan untuknya?

Ferdinand memang lebih sering membuat Diandra


marah dengan peraturan-peraturan yang dibuat sesuai dengan
kehendak hatinya. Dan sangat sering mengundang teman-
temannya untuk bermalam, yang tentu saja membuat Diandra

13
tak nyaman. Bahkan saat Diandra mempermasalahkan hal itu,
Ferdinand hanya akan tetap bergeming dalam diamnya.

Tetap sama seperti diamnya saat ini, yang hanya


terpacu pada layar ponsel hitam merah metaliknya. Sama sekali
tak mendengarkan omelan panjang Diandra. Dan tetap
memanjakan tubuhnya di ranjang doublebad yang bertuankan
adiknya.

Diandra sebenarnya tak begitu kesal dengan kehadiran


Ferdinand di kamarnya, hanya saja menunggu telphon dari
Anthonie yang membuatnya sedikit uring-uringan.

“When the stars and moon.......” Ferdinand segera


menjawab ponsel Diandra dengan diam.

“...................“

“Hei berikan!“ Seru Diandra, segera merebut ponsel


miliknya.

“........... Halo! ............ Emmm iya? ........... Ah, tak


apa, aku .............. Iya aku tahu. ........... Tak apa, ......... Oke,
salam rinduku untuk kakek dan bibi. ........... Bye
Anthonie! .........”

14
Diandra benar-benar bisa menyembunyikan
kekecewaannya dengan senyuman, setiap ia menanggapi
argumen-argumen dari Anthonie. Ia memang kesal, tapi ia
berpikir tak ada gunanya berdiam diri di rumah bersama
Ferdinand yang selalu menyebalkan.

****

Anthonie memacu Audi R8 V10 miliknya dengan


sangat kencang. Jalur yang dilaluinya seakan-akan hanya ada
dalam kekuasaannya. Ia akan menjemput mamanya di Rumah
sakit Peter dan akan mengantarnya ke Rumah Sakit Xilon.
Jarak rumah sakit Peter dan Xilon cukup jauh, mungkin sekitar
250 km. Dan jalan yang dilalui banyak melewati tebing dan
jurang.

Kini mereka telah sampai di perbatasan kota Salz dan Grant.


Rumah Sakit Xilon berada di tepi utara kota Grant.

“Kenapa harus dipindahkan ke rumah sakit Xilon?”


Tanya Anthonie memecah kesunyian.

“Sebenarnya rumah sakit Peter sama sekali tidak


kekurangan dokter ahli ataupun mesin-mesin canggih untuk
menangani Annalise, tetapi ia yang meminta untuk dipindah
15
tangani di rumah sakit Xilon. Mungkin karena ia berasal dari
Grant dan juga semua keluarganya memang berada disana.“
Jawab Nyonya Emma dengan tetap menatap lurus ke depan.

“Bukannya mama bilang ia telah koma sejak dibawa


ke rumah sakit? Tapi tadi mama bilang, ia sendiri yang
meminta untuk dipindah tangani di rumah sakit Xilon?“

“Memang benar ia telah lama koma. Mama pernah


mengatakan padamu bukan bahwa ia akan segera di operasi?
Sehari sebelum dioperasi ia sadar dari koma dan meminta
untuk segera dipindah tangani di rumah sakit Xilon.
Sebenarnya ini memang sulit, tetapi kami para dokter
meyakini, apabila seorang pasien merasa senang maka ia akan
cepat pulih.“

Anthonie terdiam, mencoba bertanya-tanya kepada pikirannya.


Berusaha untuk memutuskan sebuah kesimpulan akan makna
kabahagiaan dari penjelasan mamanya.

“Tapi mengapa ia berada di Salz? Bukankah semua


keluarganya berada di Grant?“ Anthonie semakin serius
menanggapi, dan terus mencoba untuk mengerti keadaan
pasien mamanya.

16
“Itu karena ia mendapat undangan sekolah di Roselord,
kau tahu kan, Roselord adalah sekolah terbaik sepanjang abad.“

“Oh ya, kudengar dari tante Martha kecelakaannya


cukup parah?“

“Memang benar, beberapa tulang rusuknya patah dan


fungsi jantungnya melemah, karena terjadi kerusakan disalah
satu saraf jantungnya. Mungkin dadanya membentur paving
trotoar, karena paru-parunya juga mengalami kerusakan.”

“Ehm...., kasihan sekali.“ Nyonya Emma hanya


menjawab dengan anggukan.

Anthonie memang sering sekali bertanya-tanya


tentang pasien yang sedang ditangani oleh mamanya, karena
sejak kecil ia berharap bisa menjadi seorang dokter, yang
menurutnya adalah sebuah pekerjaan mulia.

Nyonya Emma masih terdiam sejak pertanyaan terakhir


Antonie. Jarak yang dilalui masih sangat jauh. Mereka masih
membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai di kota Grant. Diam-
diam Anthonie memperhatikan keadaan disekeliling jalan.
Sama sekali tak ada yang tinggal di daerah perbatasan ini,
batinnya. Sebelah kanan jalan hanya ada tebing yang sangat
tinggi. Dengan pinus yang mengelilinginya. Sedangkan sebelah

17
kirinya terdapat jurang yang sangat curam, dan dapat
dipastikan siapapun yang terperosok, tak akan bisa selamat.

Jalan raya yang adapun jarang dipilih pengendara


sebagai alternatif terdekat untuk menuju kota Grant.
Kebanyakan, mereka yang akan ke kota Grant memilih untuk
melalui Nevergant, meskipun jarak yang ditempuh dua kali
lebih jauh jika dibandingkan dengan jarak yang melalui daerah
perbatasan kota Salz dan Grant. Melalui Nevergant memang
lebih nyaman, karena kota ini merupakan pusat berlangsungnya
semua aktifitas di Lorenzio.

Semua penduduk Lorenzio memang gemar


beraktifitas, mereka adalah pekerja keras dan mereka akan
sangat malu jika terlihat tidak bekerja. Meskipun hanya
menggarap ladangnya, mereka akan merasa sangat bangga
dengan hasil kerja kerasnya.

Memang Lorenzio dikenal sebagai negara yang kaya


akan hasil perkebunannya. Hampir semua rumah di kota Salz,
Grant, Nevergant, Glazio, maupun Hexa memiliki ladang atau
sekedar kebun di halaman belakang rumah mereka. Mereka
akan menanam sayuran dan buah-buahan di ladang mereka,
tetapi juga tidak jarang dari mereka yang menanaminya dengan
bunga. Dan para penduduk Lorenzio tidak akan memburuhkan

18
ladang mereka, mereka lebih senang mengerjakan semuanya
sendiri. Seberapapun sibuk aktifitas di luar rumah, mereka akan
tetap mngerjakannya sendiri.

Dan ada lagi, penduduk Lorenzio sangat terkenal


dengan pemanajemenan waktu, jadilah keteraturan hidup yang
mereka miliki.

****

“Ahh...“ Diandra berkata lirih.

“Ups sorry.“ Jawab gadis di depan Diandra sambil


lalu. Ia terlihat tergesa-gesa, karena terus memandangi sesuatu
di luar cafe.

Kini blus putih Diandra terlihat kotor dengan noda-


noda cokelat di bagian dada. Ia segera beranjak dari tempat
duduknya, yang kini telah penuh dengan cairan cokelat kental
dari dalam gelas yang tadi dipesannya. Ia berlari-lari kecil
menghampiri Frizy yang bisa ia lihat dari kaca besar pembatas
toko bunga dan cafe milik keluarga Covan.

Toko bunga dan cafe milik keluaga Covan, memang


menjadi tempat favorit Diandra saat suasana hatinya sedang
tidak bersahabat.

19
Toko bunga dan cafe itu terletak di awal gerbang
masuk kompleks perumahan Morezsa. Yang disebelah
kanannya berdiri megah rumah keluarga Covan yang seluruh
bangunannya berwarna putih gading. Ayah Friz, Tuan Covan
memang sengaja mendesain rumahnya dengan warna putih
gading, agar setiap bunga warna-warni di taman maupun
disekeliling rumah tampak sangat jelas kecantikannya. Karena
background rumah yang berwarna putih akan menjadikan
bunga warna-warni yang ada semakin menampakkan berbagai
macam corak warnanya.

Nyonya Mary, mama Friz juga sangat menyukai


warna putih, karena itu setiap kursi dan meja di cafe mereka,
menggunakan batu marmer berwarna putih cerah. Juga setiap
bunga diatas mejanya selalu menggunakan mawar atau gerbera
putih.

Frizzy adalah salah satu teman dekat Diandra sejak


pindah di kompleks perumahan Morezsa. Yang ia yakini
bahwa kedekatannya dengan Friz jauh lebih dekat jika
dibandingkan dengan kakaknya, Ferdinand. Friz juga
merupakan salah satu siswi Roselord, III Desiner-4, yaitu
sekolah yang akan ia kepakkan sayap-sayap rapuhnya disana.
Ayah Friz adalah seorang desiner ternama di Lorenzio, karena
itu tidak perlu ditanyakan lagi mengapa Friz selalu mendapat
20
bintang designer setiap uji kelayakan semester. Sepertinya
bakat sang ayah memang menurun kepada putri terkasihnya.

“Kau sudah menyelesaikan rangkaian mawarmu


Friz?“ Tanya Diandra sesaat setelah membatalkan rencanya
untuk sedikit membuat Friz terkejut.

“Emm, sedikit lagi.“ Jawab Friz tanpa menoleh ke


arah suara Diandra yang berada disisinya.

“Hei, kenapa lengan bajumu?“ Tambah Friz, setelah


merasa perlu untuk sidikit menatap ke arah temannya yang
sepertinya memang menginginkan dirinya untuk melihat
keadaannya saat ini.

“Terkena cokelat, seseorang tak sengaja


menyenggolku. Apa kamar mandimu kosong?“

“Sepertinya kosong, lihat saja!“ Jawab Friz singkat


dengan senyum yang ditahan.

Ia tahu masalah kecil seperti ini adalah besar bagi


Diandra. Karena temannya yang satu ini benar-benar Miss
Fasion, yang memang selalu tampil menarik, tetapi sama sekali
tidak glamour. Tapi ia juga meyakini satu hal, ia benar-benar
yakin bahwa Diandra sedikitpun tak melontarkan kata-kata
marah pada seseorang yang mungkin secara tak sengaja
21
menyenggolnya tadi. Atau bisa juga seseorang yang tak
dikenalnya tadi, memang dengan sengaja menyenggolnya.
Karena sepertinya memang tak mungkin, apabila seorang gadis
yang memang merasa memeliki daya saing dengan yang lain,
membiarkan seorang gadis berparas ayu duduk sendiri sebagai
pusat perhatian pasangan mereka, dan juga kebanyakan lelaki
yang berada di dalam cafe bunga milik keluarga Covan di hari
minggu yang sangat cerah.

Pemikiran Friz memang selalu sangat panjang, selalu


menerka-nerka sesuatu yang menurutnya mungkin saja terjadi.

Diandra melihat Friz telah bersiap, dan menantinya


dengan menekan-nekan touchpad ponselnya. Sepertinya ia
akan melakukan panggilan atau sekedar mengirim pesan
singkat.

“Oh, sudah selesai?“ Seru Friz sedikit terkejut saat


mendapati Diandra telah berada tepat disampingnya. Dan
sedikit menahan tawa saat menyelesaikan kalimatnya.

Tentu saja, memang seharusnya kau sudah selesai berbenah.


Karena kau telah menghabiskan tiga puluh menit hanya untuk
mengganti blus putih yang terkena cokelat dengan blus yang
lain. Batin Frizzy geli dengan selera fasion temannya itu.

22
“Oh ya, dua hari lagi aku dan Ferdinand akan memulai
hari-hari baru yang......., kuharap akan menyenangkan di
Roselord.“ Diandra sedikit menegaskan sebuah kata harapan,
karena sebenarnya memang tak ingin satu sekolah dengan
Ferdinand.

“Oh ya? Wah senang sekali bisa satu sekolah dengan


gadis semanis, eh secantik, emm......, ah dua-duanyalah,
kamu.“ Sahut seseorang dibelakang Diandra yang memasang
tampang cool serta senyum yang penuh arti. Benar-benar
mengartikan kalau dirinya adalah play boy nomor satu di
Roselord.

Dira segera mendekati Friz setelah berbalik


memastikan asal sang pemilik suara.

“Emm, bukankah kau yang tadi pagi mencari


Ferdinand?” Tanya Diandra ragu-ragu setelah memastikan
siapa seseorang yang berada tepat di depannya itu.

“Yup, ternyata kau masih mengingatku. Baiklah aku


Oliver, kau?” Diandra sekilas menatap ke arah Friz, yang
akhirnya memberikan anggukan kepadanya. Dengan cepat ia
menerima jabat tangan Oliver karena telah merasa membiarkan
seseorang di depannya menunggu.

23
“Diandra.” Jawabnya singkat, segera melepas telapak
tangan Oliver yang dirasanya cukup hangat di pagi awal musim
semi tahun ini.

“Diandra ya.....? Kebahagiaan. Bagus.” Jawab Oliver


dengan mengartikan namanya.

“Oke, samapi jumpa di Roselord.” Tambah Oliver


dengan kedipan sebelah mata.

****

Diandra benar-benar bisa menyembunyikan


kekecewaannya dengan senyuman, setiap ia menanggapi
argumen-argumen dari Anthonie. Ia memang kesal, tapi ia
berpikir tak ada gunanya berdiam diri di rumah bersama
Ferdinand yang selalu menyebalkan.

Ia hampir saja melupakan Frizzy, temannya, yang


telah berjanji akan mengantarnya kemanapun jika ia
menginginkan. Akhirnya sebuah ide untuk memanjakan diri,
terlintas cepat di benaknya. Ia memutuskan untuk berbelanja di
pusat perbelanjaan kota.

Segera saja ia meraih kunci mobilnya yang tergeletak


di atas nakas sebelah kanan ranjang doublebadnya. Dan berlari
meninggalkan kamarnya dengan menuruni anak-anak tangga
24
yang berlapis karpet abu-abu dengan cepat. Ia melirik sekilas
ke arah dapur, memastikan ada seseorang yang akan
memasakkan untuknya ketika pulang nanti.

“Bibi, aku akan pulang siang nanti.” Ia melambaikan


sebelah tangannya yang memegang kunci mobil Ferrari
California merah miliknya.

Diandra membuka pintu dengan kasar ketika bel


rumah didengarnya berdenting. Hampir saja ia menubruk
seseorang yang berdiri di depan pintu rumahnya, yang kini
melihatnya dengan tatapan bingung.

Kenapa bisa lansung masuk? Bukankah tuan Nick


masih mengambil cuti? Ah, mungkin tuan Nick sudah kembali
dan mematikan interkomnya. Diandra berfikir sedikit lambat.

Ia terpaksa harus menghentikan langkahnya, demi


menghormati seorang tamu yang sama sekali belum
dikenalnya. “Maaf, mencari siapa?” Tanya Diandra berusaha
terdengar seramah mungkin, karena rasa kaget yang
meliputinya belum sepenuhnya hilang.

“Ferdinand, apakan ia ada dirumah?”

25
Tentu saja ada, sekarang kan masih benar-benar pagi untuk
memulai aktifitas dihari libur. Batinnya, sedikit sebal karena
merasa aktifitasnya sedikit terganggu.

“Oh, masuk saja!” Jawabnya segera, karena merasa


seseorang di depannya semakin merasa bingung karena ia tidak
juga menjawab.

Diandra segera melangkah menuju garasi mobil


rumahnya dengan cepat, merasa tak punya cukup waktu untuk
meladeni tamu yang tak dikenalnya. Ia takut Friz akan pergi ke
perkebunan Jeruk milik keluarganya, karena ayah dan
mamanya memang selalu berada disana setiap hari minggu. Ia
tak tahu dimana perkebunan milik keluarga Covan berada,
karena itu ia akan dengan cepat menuju cafe dan toko bunga
milik keluaga Friz, untuk memastikan Friz bersedia
mengantarnya ke pusat perbelanjaan hari ini.

****

Perasaan senang bercampur lega membanjiri hatinya,


Diandra melihat Friz sedang duduk tenang merangkai bunga
dari balik kaca yang berfungsi sebagai dinding ruangan
tersebut.

26
“Pagi Friz, apa kau sibuk hari ini?” Tanya Diandra
setelah memasuki sebuah ruang yang penuh sesak dengan
bunga mawar segar.

“Oh, pagi. Tidak, aku tidak ada acara hari ini, hanya
sedang menyelesaikan buket bunga ini. Ada apa? Ah,
sepertinya aku tahu, apakah kau menginginkan aku untuk
menemanimu ke suatu tempat, kunjungan, atau semacam
itulah!” Friz yang sudah mengerti arti senyum manis Diandra,
langsung mengatakannya tanpa sedikitpun kecanggungan.

“Ah, mengapa kau bisa tahu? Emm, tapi kau akan


mengantarkanku kan?” Pintanya dengan senyum yang sangat
mengembang dari wajahnya.

“Emm, oke, tunggulah sebentar aku masih akan


menyelasaikan buket yang satu ini.” Jawab Frizz, setelah
sedikit berpikir akhirnya memutuskan untuk menuruti
keinginan temannya itu.

Sepasang kursi yang berhadapan menarik perhatian Diandra


saat memasuki cafe yang hanya terpisah dinding kaca dengan
toko bunga, yang pagi itu telah dipenuhi oleh pasangan-
pasangan yang ingin menikmati hari libur yang cerah ini. Ia

27
memang hanya akan duduk di satu kursi dari sepasang kursi
yang disediakan, tapi kelopak gerbera putih berukuran kecil di
dalam sebuah wadah kaca yang menyerupai mengkuk, yang
berada di atas meja, benar-benar menarik perhatiannya. Ia tak
tahu mengapa dari sekian banyak meja yang ada, hanya meja
yang dipilihnya yang saat itu terdapat bunga gerbera putih di
atasnya. Kebanyakan meja yang ada, memiliki setangkai
mawar putih di atasnya.

Seorang pelayan menghampirinya ketika ia baru saja


duduk tenang mengamati jalan perumahan Morezsa yang
cukup ramai pagi itu dengan secangkir cokelat panas yang
masih mengepul.

“Maaf, meja ini sudah di pesan” Pelayan yang


mengenakan pasangan kemeja putih berlengan pendek dengan
rok hijau muda bermotif polkadot kecil berwarna pink selutut,
mengatakan bahwa meja itu sudah di pesan, dengan sangat
ramah tentunya. Terlihat sedikit kekecewaan dari raut wajah
Diandra saat mendengarnya.

“Benarkah? Oh, maaf.” Pelayan yang tadi


menghampirinya segera berlalu, hilang di balik pintu dapur
utama setelah ia menyelasaikan kalimatnya. Diandra akan

28
segera bangkit dari kursi yang baru saja di dudukinya ketika
seseorang dirasa menyenggolnya.

“Ahh...“ Diandra berkata lirih.

“Ups sorry“ Jawab gadis di depan Diandra sambil


lalu. Ia terlihat tergesa-gesa, karena terus memandangi sesuatu
di luar cafe.

29
DUA
“bisakah kepalsuan menjadi sebuah kekuatan untuk harapan
kebahagiaan? Kurasa setiap kepalsuan akan menemukan
masa berakhirnya, ketika sang pemilik kepalsuan menyadari
hadirnya sebuah kejujuran yang tak kan lekang olek waktu”

Meyra berlari-lari kecil menuruni anak tangga, dan


melewati koridor Flower dengan dua pom-pom putih yang
sengaja ia kibas-kibaskan berlawanan dengan gerak kakinya,
tentu saja juga dengan napas yang sedikit memburu. Koridor
Flower adalah koridor utama yang menjadi salah satu
kebanggaan sekolah ini. Di sepanjang koridor tergantung
bunga yang beraneka warna dengan pot marmer yang senada.
Di bawahnya terdapat semacam kolam ikan kecil berbentuk
persegi panjang, yang memanjang sepanjang koridor sebagai
dinding pembatas lantai 2 yang sering digunakan sebagai
sandaran siapa saja yang berbincang-bincang di koridor ini.
Gemericik air terdengar tenang dari setiap kran yang mengalir.
Menjadikan suasana tenang sangat terasa di koridor ini. Tepat
di depannya terdapat beberapa kursi marmer yang menempel
dengan kolam kecil sebagai dinding tadi. Pot besar yang
semuanya berisi Lili putih juga berdiri anggun di depan setiap
30
tiang koridor. Menjadikan kesan mewah, tenang juga asri
sangat terasa di koridor Flower. Jadi tidak heran meskipun
denting bel tanda semua kegiatan telah usai, siswa maupun
siswi Roselord masih banyak yang tak beranjak dari koridor
yang berada di depan Laboraturium Seni ini.

Meyra tahu, Mrs. Flow akan sangat marah kepadanya


karena terlambat mengikuti latihan Cheerleaders. Tapi ia
memang tak peduli dengan hal itu, Meyra selalu beranggapan,
dalam hal ini ialah yang dibutuhkan, jadi terserah saja jika ia
akan berbuat sesuka hati.

Derap langkah Meyra melambat, ia memang sengaja


memperlambat laju langkah kakinya karena merasa sepasang
mata sedang mengamatinya dari seberang ruangan yang hanya
terpisah dengan kaca yang super besar. Ia sedikit mengedarkan
pandang ke arah sepasang mata yang dirasa mengamatinya dari
tadi,

Mungkin seseorang itu tak bisa didefinisikan dengan


jelas, tapi mampu membuatnya tetap tak mengalihkan
pandangannya selama beberapa detik. Seseorang itu terlihat
sangat tampan, rambutnya tertata rapi, dan pandangan matanya
mampu membuat siapa saja yang menatapnya memiliki

31
perasaan yang......, entahlah kata-kata apa yang mampu
mewakili peeasaan Meyra saat ini.

“Meyra, cepatlah sedikit? Atau kau menginginkan


Mrs. Flow memarahimu tanpa ampun?” Teriakan Annalis
membuatnya sedikit tersentak dari pikiran tentang satu
makhluk sangat tampan yang baru saja ditemuinya. Ia memang
sudah tak menatap sepasang mata yang mungkin sudah cukup
lama memandanya, tapi pikirannya masih dipenuhi berbagai
macam pertanyaan yang tiba-tiba saja menyerbunya.
Seingatnnya ia tak pernah sekalipun bertemu dengan nya
selama menjadi siswi Roselord. Meyra cepat-cepat
mengalihkan pandangannya, dan berlari menghampiri Annalis
yang berdiri di ujung koridor dengan kedua tangan yang
disilangkan di depan dada.

****

Ferdinand melepas earphone yang sedari tadi


dipakainya, ia memang tak begitu berminat dengan tour
perkenalan sekolah barunya. Ia melihat Diandra begitu
berminat, sampai-sampai tak mendengar panggilan Ferdinand
yang disuarakannya beberapa kali. Diandra memang benar-
benar menyimak dengan baik penjelasan salah satu pengajar
Roselord yang sore itu menjadi pemandunya, memerkenalkan

32
seluk beluk Roselord. Dan Diandra semakin tak memedulikan
Ferdinand yang berjalan tepat dibelakangnya ketika mereka
mulai berjalan di sebuah koridor, yang hanya kata-kata indah
yang mampu menggambarkan keindahan kridor ini. Di dinding
sebelah kiri koridor tertuliskan tulisan LABORATURIUM
SENI yang ditulis dengan huruf yang indah dengan paduan cat
yang menjadikannya semakin terlihat cantik.

Kini mereka memasuki sebuah ruangan dari salah satu


ruangan dari laboraturium seni. Segala macam jenis lukisan
menyambut mereka ketika kali pertama mereka memaski
ruangan tersebut. Tak ada banyak orang di dalam ruangan ini,
hanya beberapa petugas dari galeri lukis dan beberapa gelintir
siswa Roselord. Memang saat itu kegiatan belajar mengajar
sudah dihentikan beberapa waktu yang lalu.

“Galeri lukis adalah salah satu ruang dari


Laboraturium Seni, bisa kalian lihat disini banyak sekali
lukisan dari berbagai macam jenis. Dan semua ini adalah karya
siswa, selama Roselord berdiri. Nah, itu adalah ruang Abstrak,
didalmnya memang hanya terdapat lukisan-lukisan abstrak.”
Jelas Mrs. Lucy dengan menunjuk salah satu ruangan yang ada
di dalam Galeri Lukis, juga dengan sesekali mengedarkan
pandangannya ke berbagai macam lukisan yang ada. Diandra
mendengarkannya dengan baik, dan sesekali mengajukan
33
beberapa pertanyaan yang disambut dengan baik pula oleh
Mrs. Lucy. Galeri Lukis ini memang cukup luas, membuatnya
semakin ingin tahu mengenai setiap ruangan di dalam galeri
ini, dan juga mengenai galeri seni yang lain. Yang tak kalah
luas dengan Galeri Lukis.

Ferdinand tertarik dengan salah satu lukisan yang


berada tepat di sebelah kanan dinding kaca yang super besar.
Lukisan tersebut juga dilukis di atas kanvas yang sangat besar,
yang menggambarkan rintik hujan dengan sangat deras, yang
membasahi tubuh seorang gadis yang berdiri di tepi jalan,
menatap sebuah keluarga yang terlihat sangat hangat, di sebuah
restaurant yang terlihat dari dinding kacanya. Entah mengapa
Ferdinand merasakan keharuan, meskipun seorang gadis dalam
lukisan tersebut berdiri membelakangi sang pelukis.

Derap langkah seseorang mengalihkan pandangan


Ferdinand, dengan cepat ia menoleh ke arah kiri seberang
ruangan. Seorang gadis terlihat berlari menuju Flower dengan
dua pom-pom yang dikibas-kibaskan berlawanan dengan arah
langkah kakinya, seragam cheersleader berwarna putih gading
yang dipadukan dengan ikat pinggang berwarna biru muda
yang terlihat manis dikenakan gadis yang baru dilihatnnya itu.
Rambutnya yang dikucir kuda terlihat sedikit keluar dari
ikatannya. Sepertinya ia memang sedang terburu-buru sampai-
34
sampai tak menyadari jika Ferdinand telah mengamatinya sejak
berada di ujung koridor. Ferdinand tetap mengamatinya,
sampai gadis berada tepat di depannya. Ia memperlambat laju
langkah kakinya dan mengedarkan pandangan sekilas ke arah
seberang ruangan Laboraturium Seni tepat di ruang Galeri
Lukis, dan kini matanya tertuju pada sepasang mata Ferdinand
yang sedari tadi mengamatinya. Selama beberapa detik mereka
berpandangan tak berkedip. Memcoba menafsirkan hati
masing-masing yang dengan tiba-tiba saling memburu
pertanyaan.

“Meyra, cepatlah sedikit? Atau kau menginginkan


Mrs. Flow memarahimu tanpa ampun?” Ferdinand sedikit
tersentak demi mendengar teriakan cukup kencang dari ujung
koridor yang lain. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangan,
sekilas ia melihat ke arah gadis yang tengah berdiri di
depannya, dan juga medapatinya sedang mengalihkan
pandangan ke ujung koridor dan segera berlari menghampiri
seseorang di ujung koridor.

35
“Sedang apa disini?” untuk kedua kalinya Ferdinand
tersentak, ia menoleh ke arah si pemilik suara, dan mendapati
Diandra telah berdiri tepat disampingnya.

“Bisa tidak kau tidak mengagetkanku?” Jawabnya


dengan balik bertanya.

“Mengagetkanmu? Aku berkali-kali memanggilmu,


dan kau sepertinya sama sekali tak mendengarkanku.” Gerutu
Diandra sambil lalu. Ia memang sering bingung dengan
Ferdinand, dan hal itu memang sering terjadi.

“Hey tunggu, kemana perginya Mrs. Lucy? Apa kita


sekarang sudah bisa pulang?” Ferdinand sedikit berlari
mengejar adiknya, demi mendapat jawaban atas pertanyaannya.
Diandra yang ditanya memang tak langsung menjawab, ia
terlebih dahulu memilih untuk menemukan sebuah kursi untuk
mengistirahatkan kedua kakinya yang mulai terasa lelah
menopang berat tubuhnya. Dan memilih untuk menjawab
pertanyaan Ferdinand setelah mengistirahatkan kedua kakinya.

Ferdinand menyusulnya dan segera duduk di samping


Diandra yang sedang menyelonjorkan kakinya.

“Kita bisa pulang sekarang, atau.......”

36
“Mengapa kau tak pernah bisa mencoba tuk
menghargai seseorang? Kau selalu saja menomorsatukan
dirimu sendiri, apa kau tak pernah berpikir tentang hal itu?”
Diandra segera memburu pertanyaan kepada kakaknya.
Sekejap Ferdinand hanya bisa menatapnya bingung, dan
mencoba untuk membela diri tapi diurungkannya.

“Kau tahu kan? Ini adalah sekolah baru kita. Dua hari
lagi kita akan resmi menjadi bagian dari Roselord. Seharusnya
kau bisa sedikit saja menghargai usaha Mrs. Lucy yang
mencoba untuk membantu kita disini. Aku tahu, kau memang
tak menginginkan berada disini, tapi setidaknya berpikirlah
bahwa suatu hari nanti kau juga akan hidup dengan dunia
sekitarmu, yang membutuhkanmu, mencarimu, yang akan
mencoba tuk memercayaimu, jika kau sekarang saja sudah
bersikap seperti ini, bagaimana seseorang akan menghargaimu
esok nanti”.

Kata-kata Diandra benar-benar mengejutkannya.


Sebagian saraf psikomotorik Ferdinand beberapa sepertinya
keluar dari jalur normal. Ia benar-benar terkejut demi
mendengar kata-kata adiknya. Dan sama sekali tak bisa
mengeluarkan satu kata pun, bahkan tak berani memandang
Diandra yang kini juga sudah tak memandangnya. Sangat jelas
terdengar keseriusan dalam nada bicara adiknya. Ia tak
37
menyangka Diandra bisa berkata dengan begitu tegas
kepadanya. Selama ini ia memang mengenal Diandra sebagai
salah seorang yang sangat menghargai jasa seseorang. Ia akan
sangat marah jika seseorang meremehkan seseorang lain yang
tanpa disadari akan menjadi salah satu orang pertama yang
mengulurkan tangan ketika ia jatuh terpuruk. Tapi ia tetap tak
percaya Diandra akan mengatakan hal itu padanya.

Gemuruh tepuk tangan menyambut mereka berdua ketika


menapakkan kaki di lapangan utama Roselor. Bukan untuk
menyambut kedatangan Ferdinand dan Diandra dihari pertama
mereka menjadi pelajar beralmamater Roselord, tetapi memang
saat itu para siswa dan siswi Roselord sedang mengadakan
acara yang memang selalu diadakan setiap tahun. Pekan
Kreatifitas Siswa memang dibuka hari ini, di hari rabu yang
sama sekali tak ada kesedihan di dunia langit. Tetapi Fedinand
dan Diandra memilih untuk melewatkan acara itu dengan
memutuskan untuk tidak bergabung dengan sorak sorai teman-
teman baru mereka.

Diandra segera pergi menuju kelas barunya, 3 Arsitek-


4. Kelas arsitek di Roselord adalah kelas arsitek terbaik di Salz.

38
Diandra segera memilih satu kursi kosong yang tepat
berada di sebelah kiri jendela kelasnya. Dari kursinya ia bisa
melihat taman belakang, gedung ruang kelasnya yang tertata
sangat rapi. Tak ada siswa yang berada di dalam kelas itu,
karena hari ini memang tak ada kegiatan belajar. Dan hal itu
memberikan sedikit kesempatan untuk mengenal lebih dulu
bagaimana kelas barunya. Karena jika ada pengajar, Diandra
sedikit merasa tak nyaman untuk memperkenalkan dirinya.

“Hai…., kau siswi baru?” Seseorang berambut hitam


yang dibiarkan tergerai sebahu, sedikit mngejutkannya.
Sepertinya ia tak menyadari kedatangan gadis itu. Diandra
segera mengulurkan tangan dan memperkenalkan dirinya
secara singkat. Gadis di depannya juga melakukan hal yang
sama, dan memperkenalkan dirinya sebagai Kanza. Sepertinya
Kanza bisa membantunya untuk lebih cepat beradaptasi di
lingkungan barunya, dan hal itu memang benar. Kanza segera
mengajaknya berkenalan kapada beberapa anak yang
ditemuinya, ketika mereka berdua melewati koridor saat
meninggalkan kelas untuk menonton pertunjukan acoustic dari
kelas 4 Seni-2 yang sedang berlangsung.

Gemuruh tepuk tangan terdengar kembali saat lagu


pertama selesai dibawakan dengan sangat baik. Dan saat itu
pula Kanza menarik kuat lengan kirinya untuk menorobos
39
sekerumunan siswa yang sepertinya tak lelah berdiri di bawah
terik hangat matahari. Dan mereka berdua berhasil berada di
barisan terdepan para penonton, tepat di tengah stage.

Dilihatnya Kanza berteriak dengan sangat kencang,


mungkin ia sedang menyebutkan sebuah nama, dan sama sekali
tak terdengar jelas oleh Diandra karena semua penonton juga
berteriak dengan sangat keras. Tetapi pada saat itu juga
Diandra menyadari satu hal yang sedikit terlambat disadarinya,
bahkan setelah cukup lama berdiri bersama penonton yang lain.

Diandra sudah mendapati dirinya menjadi sorotan


seluruh pasang mata yang berada di depan stage. Vokalis yang
tadi membawakan acoustic dengan suara yang sangat merdu
kini tepat berada didepannya. Oliver benar-benar tak merasa
ragu untuk turun dari stage dan menghampiri Diandra yang
mungkin masih tak menyadari keberadaan Oliver di atas stage.
Dengan cepat Oliver memberinya setangkai bunga mawar
putih, juga tanpa mengucapkan satu patah kata pun dan segera
kembali ke atas stage dan menyanyikan lagu ketiganya.

Diandra sudah tak memedulikan tingkah Oliver yang


sangat mengejutkannya. Ia memang tak pernah ambil pusing
dengan hal semacam itu. Bahkan ia juga tak berniat untuk
meladeni tingkah Oliver.

40
Tetapi satu pikiran masih berkelebat ringan dalam
benaknya. Seorang gadis yang sepertinya menjadi pimpinan
ketiga temannya langsung memburunya dengan berbagai
pertanyaan saat ia dan Kanza melewati sebuah kelas. Dan pada
saat yang bersamaan, seorang siswa yang belum pernah
ditemuinya menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam dari
seberang koridor dan sama sekali tak bisa menyembunyikan
semburat kebencian dari wajahnya.

41
TIGA
“biarkan setiap kisah yang telah usai, tersimpam dalam bait-
bait kehidupan yang telah lalu. dan uraikan bait-bait yang
telah menanti, dengan kebahagiaan di dalamnya”

Bangunan yang berdiri megah di tepi utara kota Grant


itu tak begitu ramai, hanya beberapa gelintir orang saja yang
terlihat berlalu-lalang di depan lobi rumah sakit. Seorang
resepsionis muda duduk terdiam, menampakkan air muka letih
yang sangat kentara. Jam super besar yang menempel di
dinding, tepat di atas sang resepsionis sudah menunjukkan
waktu wajar untuk kebanyakan orang mengistirahatkan setiap
anggota tubuh mereka dari aktifitas yang melelahkan di
pertengahan musim semi yang akan segera berakhir.

Kehidupan langit sama sekali tak memberi keramaian,


semua terlihat sama, hitam, gelap. Mungkin perubahan musim
yang sepertinya datang lebih cepat, yang menjadikan langit
selalu menitikkan air mata, serta awan kelabu yang tak pernah
urung mengundurkan diri, menjadikan suasana malam ini
semakin terasa sunyi.

42
Cat putih yang hampir mendominasi semua ruangan
terlihat sedikit kusam karena cahaya lampu temaram yang
menerpa sepanjang koridor. Memantulkan cahaya kesedihan,
harapan, cemas, takut, semua berbaur menjadi satu dalam
benak setiap kerabat pasien yang berjaga malam itu. Juga para
dokter yang menjadi perantara nasib setiap pasien di rumh sakit
besar itu.

Rumah sakit Salz berada di tengah keramaian kota


Grant, memberikan kemudahan bagi penduduk kota Grant
untuk mengakses jalan mana saja yang akan dilauinya untuk
menuju rumah sakit besar itu.

Anthonie terdiam mengamati suasana rumah sakit yang


membuatnya segera ingin pulang. Tapi ia tahu, ia harus cepat-
cepat memendam rasa bosan yang sedari tadi menyerbunya. Ia
harus menunggu mamanya menyelesaikan semua tugas
peralihan, yang ia harap akan segera selesai. Bangku panjang
yang berjajar sepanjang koridor rumah sakit dijadikannya
sebagai pengganti ranjang empuk super besar yang ada di
kamarnya. Sebenarnya bukan tempat tidur yang
dipermasalahkannya, tapi rasa trauma tentang rumah sakit yang
masih sangat ia rasakan menjadi penghalang kedua matanya

43
untuk segera terpejam. Bayangan peristiwa yang dialaminya
dua tahun yang lalu, masih melekat utuh dalam benaknya.

****

“Kita harus segera melakukan operasi kedua dok,


karena sejauh ini belum ada perkembangan” suara itu pelan,
namun terdengar sangat tegas, menampilkan sebagian karakter
berwibawa yang dimilikinya. Dokter Emma yang menjadi
lawan bicaranya mengiyakan hanya dengan anggukan yang
juga terlihat sangat yakin terhadap keputusan dokter Freisha.
Pikirannya melayang jauh kepada pasiennya yang baru
dipindahkan sore tadi.

Dokter Emma segera meninggalkan ruangan setelah


memutuskan beberapa tindakan penanganan untuk pasiennya.
Dilihatnya Anthonie merapatkan jaket yang dikenkannya di
bangku panjang tepat di samping pintu ruang dokter spesialis
paru-paru yang baru saja ia masih berada di dalamnya.

“Kau belum tidur? Mengapa?” Anthonie segera


duduk dan menatap kosong lantai putih koridor rumah sakit
yang masih mengeluarkan aroma karbol. “Kita akan segera
pulang besok pagi”. Anthonie segera menatap mamanya
dengan ragu, “Aku, aku masih benar-benar bisa mengingat
semuanya. Sama sekali tak bisa hilang dari ingatanku,
44
sedikitpun”. Anthonie mengucapkan kata terakhirnya dengan
air mata yang ditahan. Dan pada detik berikutnya ia meluapkan
segala rasa takutnya dengan memeluk erat-erat mamanya serta
meluapkan tetes-tetes air mata tanpa bisa dihentikannya. Isakan
tangisnya sedikit tertahan, karena terlalu lama membendung air
mata yang sungguh sesak dirasakan.

45
EMPAT
“jika semua itu tak terjadi, apakah mungkin kita kan
bersama? tetapi satu hal yang kuyakini, bahwa tak ada
rencana buruk Tuhan untuk kita”

Pagi di Crysta, Februari

Desiran angin lembut akan menyapa setiap pijakan


kaki di Oxylander, sebuah kastil megah yang berdiri tegar di
daratan Cambira. Sebuah Negara yang masih menjalankan
sebuah system pemerintahan monarchi. Oxylander bukanlah
kastil kerajaan biasa, karena ia merupakan kastil termegah
sepanjang sejarah di Cambira, yang menjadi tempat tinggal
tetap dinasti Randsisz. Dengan tembok besi kokoh yang
dengan sigap mengelilingi sang kastil penuh pengabdian. Dan
dapat dipastikan tak seorang pun bisa melewatinya dengan
tangan kosomg.

Kastil Oxylander hanya memiliki satu pintu utama,


yang kemudian menuju empat gerbang satuan yang menuju
pavilium-pavilium keluarga. Gerbang pertama sudah pasti
menjadi daerah kekuasaan Kaisar Agung. Gerbang kedua

46
ditempati raja Ecancher sebagai kepala keluarga yang
merupakan putera pertama. Sedangkan gerbang ketiga
merupakan pavilium Ratu Ara, yang juga menjadi menjadi
seorang ratu di kerajaan Villenista . Dan gerbang keempat
merupakan pavilium legenda yang menjadi tempat tinggal Ratu
Lyana dan Raja Vorth. Pavilium ini memang merupakan
pavilium bersejarah, karena setiap pembaiatan pemimpin
dinasti harus dilakukan di pavilium ini, yang satu-satunya
memiliki ruang Abdi, tempat pembaiatan pemimpin dinasti.

****

Roselord

Ruang kelas memang tak lagi ramai, karena setiap


pengajar sudah memasuki ruangan sejak 15 menit yang lalu.
Semua siswa Roselord telah memulai aktifitas belajarnya
diawal pekan musim gugur yang akan segera berlalu.

Ferdinand membolak-balik kanvas yang akan


menjadi media belajarnya, selama masa sekolah, ia memang
tak pernah benar-benar suka dengan pelajaran seni. Kecuali
seni suara, karena memang salah satu dari hobinya.

Miss Frinska mulai menuangkan berbagai macam warna di


kanvasnya sebagai sketsa awal, yang mulai diikuti seluruh anak

47
didiknya di kelas 4 Music-2. Terkecuali Ferdinand yang
dengan asal mencampur aduk berbagai warna cat, dan
kemudian tak tahu harus berbuat apa? Tampang dan gayanya
memang tak sebanding dengn kemampuannya, itulah
Ferdinand. “Ah, mengapa harus ada pelajaran menyebalkan
seperti ini?” Tanyanya lirih kepada Calista, tetapi mampu
membuat beberapa penghuni ruang itu menatapnya penuh
Tanya. “Kau akan terbiasa dengan semua pelajaran seni disini,
karena kau masih sepuluh hari di kelas ini, menurutku wajar
jika kau tak menyukainya”. Calista menjawab pertanyaan
bosan Ferdinand tanpa benar-benar menatapnya. “Jangan
mencampur sembarang warna, pilihlah beberpa warna yang
mewakili perasaanmu saat ini. Karena ini lukisan abstrak, kau
harus bisa membuat penikmat lukisanmu mengerti tentang
perasaanmu”. Tambah Calista, yang kini disertai dengan
senyuman. Ferdinand sedikit tercengang dengan jawaban bijak
Calista. Selama ia di Roselord, Calista adalah salah satu gadis
yang tak mencoba menarik perhatiannya, dari hampir semua
gadis yang mencoba mendekatinya.

”Ehmm, kau suka melukis? Mengapa kau berada di


kelas ini?”. Tanya Ferdinand mencoba memulai pembicaraan.
Calista yang merasa menerima pertanyaan dari salah seorang
ciptaan Tuhan tertampan di Roselord hanya membalasnya

48
dengan sedikit tertawa. “Mengapa kau tertawa?” Ferdinand
masih menginginkan jawaban gadis cantik yang tak tertarik
padanya itu. “Mungkin kau akan tahu arti perjuangan dan
kesabaran setelah kau meraih apa yang ingin kau raih. Seperti
cita-cita misalnya, kau akan melewati beberapa hal yang kau
membencinya, demi meraih satu, bahkan semua hal yang
benar-benar kau inginkan”. Ferdinand masih menatap lekat-
lekat gadis berparas ayu disisi kanannya itu, dan masih
mencoba menafsirkan makna tersirat yang terkandung di dalam
kalimat bijaknya.

Diandra memfokuskan lensa kameranya kesembarang arah, ia


memang lebih suka mengambil gambar close up, karena lebih
terlihat alami. Ia masih saja mencari objek yang akan
dibidiknya, memperbesar, juga memperkecil fokus lensa
kameranya untuk mencari objek yang diinginkan.

Setelah mengambil beberapa gambar untuk pelajaran


seninya, Diandra segera bergabung kembali dengan beberapa
temannya di bungalou taman, yang lebih dulu menyelesaikan
tugas dari Mr. Roland, sebagi pengajar seni kelas 3 Architec-4.

“Kau sudah mendapatkan semua gambarmu?” Sebuah


suara dengan tiba-tiba mengejutkannya dengan sebuah
49
pertanyaan. Diandra segera menoleh dan dilihatnya Lusi telah
berada tepat disampingnya. “Oh tentu, aku mendapatkan semua
gambarku”. Seulas senyum kepuasan ditunjukkannya kepada
Lusi. “Kau bisa mencetaknya di rumahku, kakakku memiliki
ruang gelap dan studio foto”. Kini Diandra segera
menyunggingkan seulas senyum kebahagiaan, sebenarnya ia
juga memiliki ruang gelap di rumahnya, tetapi mungkin
mengerjakan bersama Lusi akan lebih menyenangkan. “Kau
baik sekali Lusi, aku akan ke rumahmu malam nanti”. “Tentu,
aku juga akan senang sekali”.

Semua kegiatan di Roselord sudah berakhir satu jam yang lalu,


tetapi Ferdinand yang tak segera berada di lapangan parkir,
membuat Diandra sedikit senewan menunggu kakaknya.

“Kau ingin membuatku kelaparan atau kekeringan?”


Ferdinand sama sekali tak menghiraukan pertanyaan sengit
adiknya dan langsung mengambil posisi di sebelah kanan
kemudi.

Ferrari California yang dikemudikan oleh Diandra


segera meluncur dengan cepat meninggalkan kampus elit
Roselord menuju perumahan Morezsa menjelang sore.
Perjalanan dari perumahan Morezsa menuju Roselord memang
50
tidak cukup menghabiskan sedikit waktu, tetapi hanya
melewati satu jalan lurus Roxname. Tangan kanan Ferdinand
mengalami sedikit cidera kemarin sore, karena bermain baket
sepanjang hari di lapangan Morezsa. Karena itu pula ia
memilih untuk tidak mendebat Diandra yang telah bersedia
memberikan tumpangan kepadanya.

Jalanan Roxname mulai dipadati oleh beberapa


pengunjung pagelaran seni yang setiap tahun diadakan
disepanjang jalan Roxname. Pagelaran seni yang diadakan oleh
menteri budaya Lorentzio itu selalu penuh dipadati oleh
pengunjung. Karena pengisi acara pagelaran yang dibuka untuk
umum dan untuk semua usia.

Perjalanan Diandra sore itu menjadi sedikit


terganggu. Jika pada jam normal tanpa satu jam menunggu
Ferdinand di lapangan parkir perjalanan dari Roselord menuju
perumahan Morezsa akan menghabiskan waktu satu jam. Dan
akan tiba di rumah pada pukul 17.00 sore, maka karena jalanan
Roxname yang penuh pejalan kaki dengan mengenakan
pakaian adat Lorentzio, dan telah menunggu Ferdinand satu
jam di lapangan parkir, maka sudah dapat dipastikan pukul
19.00 baru akan sampai di rumah.

51
Diandra beberapa kali membunyikan klakson.
Pagelaran seni memang baru akan dibuka pada pukul 16.00.
Tetapi tampaknya penduduk Salz sangat antusias dan bangga
terhadap budaya mereka. Diandra semakin memperlambat laju
mobilnya.“Sepertinya kau sedang bahagia? Bisa aku
mendengar ceritamu?” Diandra melihat Ferdinand yang terus-
terusan tersenyum dari kaca spion. “Ehmm, tidak ada.
Sudahlah, mengemudilah dengan benar”. “Ah, kau ini selalu
saja seperti itu!” Ferdinand hanya tertawa melihat raut muka
kecewa adiknya.

“Sepertinya kita akan lama disini, ah mengapa aku


melupakan pagelaran ini?” Diandra tak bisa menyembunyikan
kekesalannya. “Mengapa harus cemberut seperti itu? Baiklah,
sepertinya aku telah membuat harimu buruk”. Diandra hanya
menatap jalanan Roxname yang semakin sesak, seakan tak
memiliki penumpang disebelah kanannya. “Oke, karena hari
ini kau telah baik padaku aku akan membuatmu tersenyum.
Bagaimana?” Diandra tetap tak bergeming. “Apa malam ini
kau ada janji? Jika memang ada, sepertinya kau harus
membatalkannya”.

Dengan cepat Diandra menepikan mobil di sisi jalan


yang sedang tak berpengunjung. Ferdinand tertawa keras sekali
melihat tingkah marah adiknya. “Mengapa kau tertawa begitu
52
keras? Sekarang apa yang akan kau lakukan untuk mengganti
hariku yang menyebalkan?” Diandra menyilangkan kedua
tangannya di depan dada. “Sudah kubilang, kau harus
membatalkan janjimu malam ini. Jika memang ada”.
Sebenarnya ia tak ingin membatalkan janjinya dengan Lusi,
tetapi karena memang sepertinya ia tak bisa pulang dengan
cepat, tidak ada salahnya jika menerima tawaran dari
ferdinand.

“Kita akan benar-benar akan menjadi pengunjung


pagelaran seni ini dengan mengenakan seragam? Bagaimana
jika ada teman atau pengajar Roselord yang juga mengunjungi
pagelaran seni ini?” Diandra sedikit ragu, dan tetap berdiri
menghadap Ferdinand yang akan segera melangkahkan
kakinya. “Kita akan tetap berada disini”. Jawab Ferdinand
dengan mengenakan jaket yang yang tadi dipakainya kepada
Diandra setelah mengurungkan niatnya untuk segera
menikmati pertunjukan-pertunjukan seni yang ditampilkan.

Panggung-panggung berukuran sedang berada di kiri


jalan disetiap jarak 100 m. Dan stand-stand bazar dengan
berbagai jenis barang yang dijual berada penuh disebelah
kanan jalan. Diandra melangkah ringan di belakang Ferdinand
denagn mengenakan jaket yang lebih besar dari ukuran
seharusnya. “Tunggu, aku ingin melihat tarian itu”. Seru
53
Diandra, yang sontak membuat Ferdinand menghentikan
langkahnya. “Tarian apa itu? Apa bagusnya? Jalan saja terus,
disana ada pertunjukan musik ynag bagus” Ferdinand segera
melingkarkan lengan kanannya di leher Diandra, dan berjalan
dengan cepat menuju panggung-panggung yang lain. Tapi
Diandra senang, karena jarang sekali Ferdinand berlaku baik
padanya.

“Baiklah, baiklah. Tapi kau harus menceritakannya


kepadaku. Dan jangan tanyakan lagi apa, karena kau sudah
pasti tahu”. “Oke, tapi aku harus memulainya dari mana?”
“Terserah saja” Diandra menatap sekilas kakaknya yang masih
saja tersenyum sendiri. “Entahlah, aku juga bingung. Tapi hari
ini aku merasa hariku baik sekali. Aku bisa berbincang-bincang
dengannya. Aku merasa dekat dengannya, dan sepertinya
memang itu yang kuinginkan. Entahlah”. Ferdinand menyudahi
kalimatnya, dan menggelantungkan lengan kanannya di bahu
adiknya. “Sepertinya kau mulai.....” Diandra menggantungkan
kalimatnya dan tertawa penuh arti.

Pavilium Kaisar Agung, Agustus

Sang mentari seakan tak ingin keluar dari


peraduannya pagi ini. Burung-burung pagi juga lebih memilih
untuk menyimpan siul merdunya. Pinus-pinus taman juga sama

54
sekali tak ingin sedikitpun melambai kepada penghuni
pavilium, membuat situasi buruk, yang terasa semakin buruk.

“Ini tidak adil, mengapa Lyana yang mewarisi tahta


kerajaan?” Semua terdiam, tak ada yang ingin mendebat raja
Ecancher. Ia terlihat sangat marah atas keputusan Kaisar
Agung. “Kita semua tak akan menyalahi buku abdi
Zaranquesta. “Mengangkat Lyana sebagai penggantiku
bukanlah kehendakku. Semua telah diatur oleh para pendahulu
kita di buku abdi Zaranqueta, dan keturunan terakhirkulah yang
tertulis sebagai penggantiku untuk memimpin dinasti ini”.
Suara tegas Kaisar Agung benar-benar mampu membuat semua
semakin terdiam, sama sekali tak ada suara, bahkan bisikan
sekalipun.

Raja Ecancher dengan cepat meninggalkan ruang


keluarga pavilium utama, derap langkahnya masih terdengar
sampai ia menghilanh di balik pintu. Semua semakin terdiam,
tertunduk bingung tak tahu harus berbuat apa? Ratu Ara yang
duduk bersanding dengan Raja Karl juga tak tahu harus berbuat
apa? Terlebih ratu Diana dan Raja Vorth yang hanya terduduk
lesu menatap lantai marmer yang juga tak bisa bersua. Ratu
Carlye, istri Raja Ecancher menatap kosong kesembarang arah,
seakan menyesali tindakan suaminya. Ia menjadi canggung
berada diantara saudara-saudara ipar dan Ayahanda suaminya.
55
Ia takut hal ini akan membawa dampak uruk terhadap putera
tunggalnya, terlebih terhadap berlangsungnya dinasti ini.

“Pembaiatan akan tetap dilaksanakan jika


kekuasaanku tak lagi bisa berlangsung. Kuharap kalian bisa
benar-benar memahami penyebab kematianku”. Suara tegas
Kaisar Agung masih jelas terdengar sampai semua penghuni
meninggalkan ruang keluarga di pavilium utama yang sangat
megah.

“Aku sangat menyayangimu Ara, jadi jangan kau coba


libatkan dirimu dalam masalah ini”. Raja Ecancher berkata
sangat pelan kapadanya saat ia melewati gerbang pavilium
kakaknya untuk kembali ke paviliumnya.

Pagelaran seni, 23.00

Ferdinand dan Diandra menyulap bamper mobil


menjadi bangku taman dadakan.

“Hei, mengapa kau terus mengambil gula-gulaku?”


Gurau Diandra dengan menunjukkan senyum jenakanya.
“Gula-gulamu akan segera meleleh jika kau tidak memakannya
dengan cepat”. Ferdinand terus saja menggoda adiknya. Ia
merasa sangat senang hari ini, merasa sangat baik dan mencoba
terus meluapkan kegembiraannnya dengan tertawa. Dan

56
mungkin akan menjadi salah satu moment penting dalam
hidupnya, jika ia bisa bersama Diandra tanpa ada pertengkaran
yang sebenarnya hanya memperdebatkan masalah tidak
penting.

“Baiklah, sepertinya kita harus segera pulang.


Terimakasih telah membuat akhir hariku menjadi sangat
menyenangkan. Kau telah menjadi kakak yang sangat baik hari
ini” Diandra menatap Ferdinand lekat-lekat, dan pada detik
berikutnya ia memeluk erat Ferdinand dan merebahkan
kepalanya di dada hangat kakaknya. Ferdinand membalas pelan
pelukan Diandra.

57
LIMA
“satu pesan bagi para pemilik hati, keindahan hati mungkin
akan terpancar apabila sang hati tak bisa terayu oleh
indahnya pesona sesaat“

“Diandra, kau.... Ah, kemana dia?” Ferdinand


mendapati kamar adiknya tak berpenghuni setelah mendorong
dengan cepat pegangan pintu kamar Diandra. Hanya terdengar
alunan lagu yang tak ia mengerti bahasanya dari laptop adiknya
di atas ranjang.

Ferdinand berjalan pelan memasuki kamar adiknya,


telapak kakinya masing-masing menginjak pelan karpet
berbulu halus yang menenggelamkan kaki sampai mata kaki
setiap orang yang menginjaknya ketika pertama kali memasuki
ruangan berukuran 7×5 m itu. Terdapat satu pasang tempat
duduk dan meja yang juga beralaskan karpet di sebelah kiri
ranjang. Dan disebelah kirinya, terdapat pintu kaca besar yang
menuju ke balkon. Ferdinand menggerakkan touchpad laptop
Diandra dan mendapati proyek kerja Diandra yang belum
rampung.

58
Ia meminimize proyek kerja adikya, dan membuka file
foto close up hasil jepretan Diandra.

Beberapa foto ia bisa mengenalinya, yang menjadi


objek kebanyakan memang teman-teman satu kelas Diandra.
Ferdinand mengamati satu per satu foto hasil hobi adikya itu.
Siapa ini? Gumamnya dalam hati, saat melihat salah satu foto
teman Diandra yang ia perbesar gambarnya. Sepertinya ia tak
pernah sekalipun melihatnya di kampus Roselord. Di foto itu
tidak terlihat jelas wajah objek foto, karena Diandra
memotretnya dari arah punggung si objek. Lelaki itu duduk
dengan sedikit membungkuk seperti akan memasukkan sesuatu
ke dalam tas punggungnya.

Dan pada detik berikutnya, degup jantungnya seakan


berhenti. Ia menahan nafasnya, yang membuat dadanya
semakin sesak dirasakan. Sepasang matanya membuka sangat
lebar, seakan sangat takut jika objek penglihatannya akan
menghilang dengan sekejap, ia memutar ingatan, mencoba
menyusun puzzle-puzzle kisah masa lalunya, dan seakan ada
suatu kekuatan besar yang menghempaskan tubuhnya saat ia
benar-benar menyadari kisah sebuah benda yang sedang
dilihatnya.

59
Ferdinand mendongakkan kepala menjauh dari layar
laptop adiknya. Dan ia mendapati Diandra telah berada di
ambang pintu memperhatikannya, yang sedetik kemudian
tertawa jenaka melihatnya. Diandra menghampiri kakaknya
yang masih tengkurap di atas ranjang, yang sepasang matanya
kini telah berubah menjadi pandangan ingin melindungi kepada
adik semata wayangnya.

Diandra berdiri di ambang pintu, mengurungkan niatnya untuk


segera masuk ke kamarnya setelah melihat Ferdinand dengan
kedua mata melebar mengamati sesuatu di Laptopnya. Diandra
tak juga segera masuk, masih berdiri mengamati Ferdinand
yang kini terlihat tersakiti karena raut mukanya yang dengan
tiba-tiba berubah seperti melihat sesuatu yang benar-benar
mengusik jiwanya.

“Ada apa? Kenapa ada disini? Mencariku?” Diandra


segera duduk di tepi ranjang dan ikut mengamati objek di layar
laptopnya. “Foto siapa ini?” Tanya Ferdinand dengan suara
yang hampir berbisik. “Ini Jarvis, temanku. Kenapa? Ia
memang terlihat berbeda dengan yang lain. Jarvis seseorang
yang pendiam, sulit ditebak. Di hari pertama kita di Roselord ia
menatapku dengan pandangan yang sangat aneh, dan kupikir
aku dan Jarvis tak pernah bertemu sebelumnya. Tapi dugaanku
salah, Jarvis memang bukan orang asing bagiku, dan aku juga
60
tahu mengapa ia selalu menatapku dengan pandangan aneh
setelah aku mengamati foto itu. Sekarang Diandra mengerti
mengapa Ferdinand juga memasang tampang aneh saat
mengamati suatu objek dari layar laptopnya. “Jadi kau sudah
tahu?” Ferdinand meninggikan suaranya, bertanya pada
adiknya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop 14
inch yang masih menyala. Dan Diandra hanya mengangguk
serta sedikit tersenyum simpul sebagai ganti jawaban ya untuk
Ferdinand. Ferdiand tak tahu harus berkata apa? Diandra juga
semakin tertunduk lesu menahan air mata yang tak kuasa lagi
dibendungnya.

“Aku harus bagaimana?” Suaranya hampir tak


terdengar karena terus saja menangis, yang juga semakin
tenggelam dalam pelukan Ferdinand. “Kau akan baik-baik, kita
semua juga akan baik-baik saja. Aku berjanji”. Ferdinand
merenggangkan pelukannya, menatap Diandra lekat-lekat
seolah mengatakan ia akan selalu berada disisinya, selalu. Dan
Diandra memberikan anggukan seakan mampu membaca
pikiran kakaknya. Entah mengapa hal itu membuat Diandra
merasa nyaman, dan ia menyukai hal ini, menyukai ketika
Ferdinand benar-benar menjadi seorang kakak baginya.

Ferdinand melepaskan pelukannya, memegang lembut


bahu Diandra, menatapnya sangat dalam dan mengacak-ngacak
61
rambut adiknya dengan senyum yang sangat manis. Senyum
yang jarang sekali dilihatnya, bahkan Diandra merasa senyum
Ferdinand mampu mencairkan hati yang beku sekalipun.
Senyum yang juga mampu memperindah keindahan malam ini.
“Ah, rambutku jadi berantakan”. Diandra berkata dengan
senyum yang juga tersungging dibibirnya.

Oxylander

Malam semakin gelap, tapi tak ada satu pun penghuni


Oxylander yang mampu memejamkan kelopak matanya.
Semua terjaga, semua cemas, takut, khawatir, berjalan hilir,
mengira-ngira hal terburuk juga terbaik malam ini.

Semua pasukan keamanan berjaga-jaga di dalam kastil


maupun di luar tembok besi. Tuan Bronthous, sebagai kepala
bagian keamanan melipatgandakan jumlah pasukan siaga.
Semua tegap berdiri disemua area kastil dengan sebilah pedang
yang disarungkan di sebelah kiri pinggang mereka. Beberapa
juga ada yang berkeliling untuk lebih memastikan keamanan
kastil.

Semua tak ada yang pernah melihat Kiasar Agung


segeram ini sebelumnya.

62
Di ruang pertemuan pavilium utama, semua anggota
keluarga berkumpul, kecuali Raja Ecancher dan Ratu Lyana.
Kepala bagian keamanan, penasihat Kaisar Agung, Tuan
Collins dan kepala bagian intel, Nn. Elis juga berada disana.
Raja Vorth terduduk lemah, tak ingin mendengar suatu hal
buruk yang sangat mungkin terjadi. Oliver tak henti-henti
menenangkan adiknya yang sejak dua jam yang lalu terus
menangis. Meskipun kini hanya nafas beratnya yang terdengar,
Oliver tetap ingin menenangkan adiknya sampai benar-benar
merasa semua akan baik-baik saja.

****

Raja Vorth dan Ratu Lyana akan mengunjungi sebuah


pertunjukan musik klasik pada pukul 05.00 sore ketika mobil
mereka disergap beberapa orang bertopeng hitam yang
berpakaian hitam pula. Anehnya semua orang tersebut keluar
dari mobil pengawal yang berada di depan mobil yang
ditumpangi ratu Lyana dan dibelakang mobil yang ditumpangi
oleh raja Vorth. Ratu Lyana memang tak pernah mau menaiki
kendaraan yang sama dengan suaminya, karena menurutnya,
apabila terjadi suatu hal diantara mereka, maka akan tetap ada
kasih sayang untuk kedua buah hatinya. Para pengawal yang
mengendarai kendaraan beroda dua, yang berada di depan,

63
samping kanan kiri dan belakang juga merupakan anggota dari
kelompok pengawal bertopeng tersebut.

Hutan pinus Fixie tercekat menyaksikan kejadin yang


sangat singkat itu. Dahan-dahan pinus saling bersentuhan
mengeluarkan suara-suara kasar seakan ingin melakukan
sesuatu untuk seorang wanita yang akan menjadi penguasa
negerinya itu.

Para pengawal penghianat tadi, dengan cepat


membuka paksa pintu kemudi mobil yang ditumpangi ratu
Lyana. Sopir pribadi ratu Lyana berusaha sekuat mungkin
untuk melawan dua orang pengawal yang berusaha untuk
melemparnya ke jurang curam yang berada di sebelah kiri jalan
sepanjang hutan Fixie. Ratu Lyana tak tahu harus berbuat apa?
Semua kejadian yang sangat mengejutkannya terjadi dengan
begitu cepat. Dilihatnya para pengawal juga menyergap mobil
yang dirumpangi suaminya, tetapi dengan cepat tuan Nick yang
berada di balik kemudi membanting setir ke arah kanan dan
langsung menyelinap melewati para pengawal yang masih
fokus terhadap ratu Lyana, yang memang menjadi sasaran
mereka. Diam-diam ia merasa lega terhadap apa yang
dilihatnya, meskipun ia juga tak tahu hal buruk apa yang sudah
pasti akan menimpanya.

64
Nn. Elis berpikir keras menemukan jalan keluar
dengan otak super cepat dan jelinya, itulah mengapa meski
masih sangat muda ia telah diangkat menjadi kepala bagian
intel dinasti Randsisz. Tuan Bronthous dan Tuan Collins
masing-masing juga berunding dengan pikirannya. Sedang
anggota keluarga yang lain masih sangat terpukul, dan masih
belum sepenuhnya memepercayai terhadap kejadian yang
menimpa ratu Lyana adalah raja Ecancher yang begrada dibalik
semua.

Satu jam setelah kejadian yang menimpa ratu Lyana


dan raja Vorth, tepat ketika raja Vorth tiba di kastil setelah
memutar arah, seorang penjaga pintu utama kastil menerima
surat kaleng yang diperkirakan dikirim oleh anak buah raja
Ecancher. Surat tersebut berisi ancaman akan dibunuhnya ratu
Lyana, jika Kaisar Agung tetap melimpahkan jabatannya
kepada ratu Lyana.

Tetapi Kaisar Agung tidak akan menyalahi buku abdi


Zaranquesta, dan tertulis pada surat kaleng yang
mengatasnamakan raja Ecancher, juga akan terjadi hal buruk
terhadap Oliver dan Andira jika kekuasaan yang diinginkan
raja Ecancher tak didapatnya. Dan raja Ecancher juga akan
menunggu sampai keempat nyawa Kaisar Agung musnah.

65
“Semuanya akan baik-baik saja, aku berjanji. Dan
sebelum keadaan ini berubah menjadi lebih bak kuharap tak
ada satu pun yang meninggalkan kastil ini. Tuan Bronthous,
kurasa kau bisa memberi tahu semua kepala bagian untuk
memeberitahukan peraturan dadakan ini kepada bawahan
mereka”. Tuan Bronthous sedikit menunduk memberi hormat
sebelum meningalkan ruangan setelah menyatakan
kesanggupannya.

“Nn. Elis sepertinya kau juga bisa dengan cepat


mencari jalan keluar untuk masalah ini, dan kau juga bisa
bekerjasama dengan Tuan Collins”. Suara Kaisar Agung
terdengar sangat bijaksana dan juga sangat berwibawa, tetapi
tak mengurangi kehangatan yang juga selalu terpancar dari
wajah berwibawanya.

“Segera Kaisar, saya akan memastika yang terbaik


untuk penyelesaian masalah ini”. Nn. Elis menunduk memberi
hormat bersamaan dengan Tuan Collins.

“Dan kau Ara, kuharap kau tahu apa yang benar-benar


akan kau lakukan”. Kaisar Agung menatap tajam ratu Ara yang
masih tak sepenuhnya mengerti tentang ucapan Ayahandanya.
Tetapi ratu Ara bisa mengerti tentang apa yang dikhawatirkan
Ayahandanya, karena memang Kaisar Agung memiliki

66
kekuatan untuk bisa mengerti pikiran dan perasaan semua
keturunannya.

“Ah aku hampir saja melupakannya, aku juga sangat


berharap berita ini tak sampai terdengar cucuku di Verslague,
aku tak ingin masalah ini menjadi beban untuknya, dan
berpengaruh buruk untuk masa remajanya kelak.

Ratu Lusi semakin tak tahu harus berbuat apa? Ia


sudah cukup dibuat merasa bersalah dan benar-benar malu
karena tindakan suaminya, dan kini setelah mendegar kalimat
terakhir ayahanda mertuanya ia semakin merasa turut bersalah,
dan benar-benar terharu karena kebijaksanaan beliau. Putera
tunggalnya, memiliki usia yang sama dengan keponakannya,
Andira. Tetapi ia melaksanakan masa pengajaran pertama di
sekolah asrama Verslague, sebuah sekolah ternama di Laverfix,
negara kelahiran ratu Lusi.

Sebenarnya Kaisar Agung bukanlah sesrorang yang


keras kepala, tetapi ia memang sangat menjunjung tinggi
kedisiplinan, jadi beliau sangat marah jika raja Ecancher
bersikukuh untuk menyalahi aturan.

Semua meninggalkan ruang pertemuan di paviliun


Kaisar Agung setelah Kaisar Agung sekali lagi meyakinkan
semua akan baik-baik saja.
67
Andira juga sudah merasa sedikit tenang, sebelum
meninggalkan ruangan, Andira memang sempat menatap
kakeknya selama beberapa waktu. Ini memang kebiasaan
Andira, ia lebih senang menggunakan kelebihan yang sama ia
miliki dengan kakeknya untuk melakukan komunikasi.

68
ENAM
“bukan kita yang memilikiNya, tetapi kita yang dimilikiNya.
Kembalikan semua padaNya, maka semua akan baik-baik
saja. Karena Dia memberikan apa yang harus kita miliki,
bukan apa yang ingin kita miliki”

Ferdinand duduk terdiam di belakang kemudi, dengan


headphone yang terpasang di ipod classic biru muda milik
Diandra. Audi TT RS Coupé miliknya melaju santai di jalan
Katris, sama tenangnya dengan pantai Evora yang hanya
berjarak 100 m dari rumah mereka disebelah kiri jalan.

Diandra juga duduk tenang disamping kanan


Ferdinand. Jari-jari lentiknya menekan berulang-ulang keypad
touch ponselnya, dan berkali-kali nada pesan singkat terdengar
nyaring dari ponselnya.

“Kurasa aku ingin mengunjungi pantai ini”. Ferdinand


sedikit memalingkan wajahnya menatap pesona pantai Evora
yang sudah lama tak dikunjunginya. Ia benar-benar ingat dua
tahun yang lalu terakhir ia mengunjungi pantai ini. Dan saat itu
pula terakhir kali ia pergi dengan keluarganya. Keluarga

69
sebenarnya, bukan hanya ia dan Diandra. “Mengapa tak pergi
saja? Kau bisa pergi dengan teman-temanmu atau pacar-
pacarmu. Bukankah kau memiliki banyak pacar?” Ferdinand
terdiam, kesalahan baginya jika berbicara mengenai Evora
dengan adiknya.

Diam-diam Diandra mengamati salah satu keindahan


maha karya Tuhan yang telah menggoreskan salah satu
kenangan buruk dalam hidupnya. Hari itu untuk merayakan
ulang tahun Ferdinand yang baru menginjak masa awal sekolah
menengah atasnya, mereka sekeluarga pergi bertamasya ke
pantai Evora, karena juga kebetulan kedua orang tua mereka
sedang tidak berada di luar negeri, mereka juga mengajak
Anthonie yang saat itu baru menamatkan jenjang sekolah
menengah atasnya.

Diandra yang tak pernah ke pantai sebelumnya tak


membawa perlengkapan renang dengan benar. Tapi melihat
Anthonie yang sangat pandai bermain surfing, Diandra
memaksa untuk mengajarinya meski tanpa pelampung yang
seharusnya digunakan untuk pemula, apalagi Diandra juga
sama sekali tak bisa berenang. Awalnya Anthonie menolak,
tapi karena Diandra benar-benar memaksa, dengan terpaksa
pula Anthonie menurutinya. Dan sejak saat itulah Diandra jadi
tak pernah lagi ingin mengunjungi pantai manapun.
70
Saat itu Oliver benar-benar menyesal, ia sampai terus-
terusan menjaga Diandra selama koma di rumah sakit. Dokter
mengatakan kecil kemungkinan Diandra untuk bisa segera
sadar, karena bakteri yang masuk ke tubuh Diandra melalui air
laut itu telah mampu menembus selaput otaknya.

Tetapi pada hari kesepuluh Diandra telah sadar dari


komanya, dan telah mampu menepis semua kemungkinan
buruk yang selalu dikhawatirkan.

Suasana di mobil Ferdinand menjadi sedikit beku. Pantai Evora


masih saja menampilkan pesonanya, menampilkan keindahan
penghujung musim gugur di sore hari. Ferdinand masih terus
terdiam, juga tetap mengenakan headphone yang kini tak lagi
mengeluarkan suara.

Suasana rumah kakek yang ditinggali bersama bibi Emma dan


Anthonie masih tetap sama. Semua kelihatan indah, dan asri.
Rumah klasik yang ditingggalinya terlihat sangat anggun oleh
mawar putih yang banyak terdapat di halaman rumah. Kebun
strawberry kecil bersanding dengan pohon anggur hijau yang
merambat sebagai atap kebun kecil itu, dan kali ini sedang
berbuah juga terlihat sangat manis di beranda samping rumah
Oliver.
71
Kakek duduk tenang membaca koran, ketika
Ferdinand dan Diandra datang. Seakan telah lama menanti
kahadiran cucunya. Diandra langsung memeluk kakek dan
menceritakan semuan kekhawatirannya.

“Kau tak perlu secemas itu, kurasa Jarvis berada disini


bukan menjadi mata-mata ayahnya. Dan aku akan menjamin
itu, ia tak akan melakukan hal bodoh yang pernah dilakukan
ayahnya”. Diandra masih hangat dipelukan kakeknya. “Tapi
apakah ada kemungkinan seseorang akan membunuhmu disini?
Sepertinya kini tak hanya satu dua orang yang mengetahui
keberadaanmu?” Ferdinand juga mempertanyakan
kekhawatirannya. Kakek sedikit merenggangkan pelukannya,
dan menatap Ferdinand juga Diandra secara bergantian
meyakinkan. “Ya, memang hal itu sangat mungkin terjadi, dan
kurasa kini juga sudah tak sedikit yang mengetahui keberadaan
kita disini. Tapi juga perlu kalian ingat, selama Emerald masih
tersimpan dengan baik, kurasa tak ada yang perlu
dikhawatirkan. Dan kau Diandra, kau harus benar-benar
menyimpannya dengan baik”. Diandra sedikit memberi
anggukan yang masih dalam pelukan kakeknya.

Ferdinand dan Diandra hampir melupakan hal itu,


mereka memang seharusnya tak perlu terlalu menghawatirkan

72
kehadiran Jarvis. Dan harus benar-benar meyakini semua akan
bik-baik saja.

Setelah menumpah ruahkan semua kekhawatirannya,


Diandra merasa semua akan baik-baik saja, dan ia akan bisa
menyelesaikan semua.

Beranda lantai dua yang berhadapan dengan kamar Anthonie


memang menjadi tempat favorit Diandra di rumah kakeknya
ini. Terdapat berbagai macam bunga gantung disana, dan
ketika menghadap ke bawah akan terlihat kebun mawar putih
yang indah mengililingi rumah. Diandra memang sudah
terbiasa keluar masuk kamar Anthonie, meskipun si empunya
tak ada.

Anthonie dan bibi Emma tak ada di rumah, kakek dan


Ferdinand asik bermain catur di bungalou taman belakang.
Memang kakek selalu meminta Ferdinand menemaninya
bermain catur setiap kali Ferdinand mengunjunginya, dan dapat
dipastikan hal itu akan berlangsung sangat lama. Diandra selalu
bosan setiap kali mereka bermain catur.

****

73
Hari sudah menunjukkan pukul 07.00 malam saat
Diandra mendapati dirinya berada di dalam mobil Ferdinand
yang kini melintasi keramaian Thenzwei, sebuah kota kecil
yang berada disebelah barat Salz. Thenzwei adalah kota
pemisah antara Salz dan Thorque, kota yang ditinggali
kakeknya. Ferdinand memang tak melewati Thorque saat
berangkat tadi, tapi memilih melewatinya saat pulang. Karena
Thorque akan ramai dan indah pada malam hari.

Ferdinand sangat menyukai kota ini, katanya senang


sekali jika ia bisa sering-sering mengunjungi kota ini. Karena
Ferdinand juga sangat menyukai keramaian.

“Ehmm, mengapa aku sudah bisa berada disini?”


Diandra menggeliat ringan. Ferdinand memalingkan wajahnya
sebentar ke arah Diandra. “Kau tahu kan? Kalau sedang tidur
kau sulit sekali dibangunkan?” Diandra sedikit tersenyum, tak
ingin mendebat Ferdinand. Ia tahu, Ferdinand memang tak
pernah mencoba membangunkannya saat ia tertidur. Ferdinand
yang selalu bersikap jutek padanya, selalu menggendongnya ke
ranjang jika ia tertidur. Dan Diandra sangat menyukai
perhatian kakaknya yang satu ini.

“Baiklah, maafkan aku”. Diandra memohon dengan


senyum yang tertahan. Ferdinand memang tak pernah mau

74
menunjukkan perhatiannya kepada adiknya. “Oke, tapi kau
harus menurutiku malam ini”. Ferdinand menjawab acuh.
“Apa?” “Malam ini aku tak ingin segera pulang, jadi kau juga
tak bisa segera pulang. Kau tahu kan aku begitu mengagumi
malam di Thenzwei? Aku ingin mengunjungi Ferdylous,
sebentar saja. Setelah itu kita bisa pulang”.

Diandra tahu, Ferdylous banyak menyimpan kenangan


bagi Ferdinand. Setiap akhir pekan ia pasti akan mengunjungi
Ferdylous bersama Demon. Teman yang sangat dipercayainya.
Ferdinand selalu berkata, hanya Demon yang mengetahui
semua tentangnya.

Tapi bukan manusia yang menentukan sebuah takdir,


manusia hanya mampu berharap, berusaha, dan berdo’a. Segala
takdir telah menjadi kuasaNya. Dan itulah yang terjadi pada
Demon. Saat baru memasuki masa-masa indah, dan hanya
butuh dua tahun lagi ia bisa memasuki universitas favoritnya,
ia harus meninggalkan semua pesona dunia fana ini.

Saat itu Ferdinand sangat terpukul, saat itu pula sikap


Ferdinand tak lagi baik kapada Diandra. Dan sejak saat itu
pula, Ferdinand yang dulunya akan setia hanya pada satu gadis,
menjadi seseorang yang tak pernah bertahan lama pada satu

75
pilihannya. Ia seperti menggantikan posisi Demon sebagai
playboy.

Ferdylous sangat ramai, sekarang sudah menunjukkan


pukul 08.00 malam. Tapi taman ini akan menjadi sangat ramai
jika malam semakin kelam. Taman ini memiliki pesona yang
sangat indah. Taman yang sangat luas ini, seluruh daratannya
tertutupi oleh rumput taman yang sanagt hijau. Tepat di tengah
taman terdapat air mancur berukuran besar. Disebelah kiri
taman terdapat dua lapangan basket dan satu lapangan tennis.
Lapangan tennis itulah yang sering dikunjungi oleh Ferdinand
dan Demon. Ferdylous juga memiliki berbagai macam jenis
bunga yang semuanya sangat indah. Lampu taman menyebar
diseluruh penjuru taman dengan cahaya temaram yang sangat
memesona. Semuanya indah, bangku-bangku taman berukuran
kecil, sedang, juga sangat panjang yang menjadi saksi bisu
keindahan taman ini, berada disetiap naungan pohon-pohon
rindang kini sedikit ujungnya sedah mulai bersemi.

Ferdinand sudah turun dari mobil dan duduk di salah


satu bangku berukuran sedang yang menghadap lurus ke arah
air mancur. Diandra masih saja berdiri, ia melihat berkeliling
suasana Ferdylous malam ini.

76
“Hei duduklah, kenapa berdiri terus?” Diandra segera
duduk di samping Ferdinand. “Suasana hatiku sedang baik hari
ini. Taman ini indah sekali, jadi aku tidak keberatan jika kau
ingin berlama-lama disini”. “Tunggulah disini sebentar, aku
akan ke toilet. Takkan lama”. Diandra mengangguk patuh.

Ferdinand melangkah dengan cepat, toilet taman


berada di belakang lapangan basket, jadi jaraknya cukup jauh.
Ia segera masuk ke bilik yang sedang tak berpenghuni.

“Hai cantik”. Sapa seseorang saat Diandra masih asik


menikmati suasana indah Ferdylous malam ini. “Sendirian?”
Oliver langsung saja duduk di samping Diandra, tanpa terlebih
dahulu dipersilahkan. “Kau teman Ferdinand kan? Aku
bersama Ferdinand, tapi ia masih ke toilet”. “Ah rupanya kau
masih mengingatku. Ah tunggu sebentar, akan kubawakan
sesuatu untukmu”. “Tak usah, aku tahu kau tak mungkin
kemari sendirian bukan? Siapa gadis yang kau buat menunggu
saat ini?” Diandra tertawa, melihat raut muka Oliver yang
masih terlihat bingung. “Mengapa memasang tampang seperti
itu? Seseorang menatapku marah saat hari pertamaku di
Roselord. Aku berpikir dia adalah pacarmu. Semua siswi juga
memandangku marah saat kau memberiku setangkai mawar

77
waktu itu. Jadi mungkin aku bisa sedikit menyimpulkan kalau
kau ini seorang playboy di Roselord”. Diandra tak bisa lagi
menahan tawanya, Oliver tersenyum simpul mendengar
penjelasan Diandra.

“Ah, aku tak seperti itu”. Wajah Oliver terlihat


memelas. Diandra terus saja tertawa. “Sudahlah, kau tak usah
merayuku. Kau tahu, aku sudah menyukai seseorang. Jadi
sudah tak ada tempat untukmu”. Diandra menyuarakan kalimat
terakhirnya dengan sedikit pelan, dan mendekatkan wajahnya
ke telinga kanan Oliver. Berlagak ingin merayu Oliver. “Kalau
begitu, aku akan bersaing dengannya, tapi kau harus
memberitahuku siapa seseorang itu?” “Ah, dia adalah
seseorang yang sangat istimewa. Aku sangat suka padanya”.
Diandra menatap tajam langit Ferdylous yang penuh dengan
bintang malam itu “Rupanya gadis kecil Ferdinand kini sudah
mulai merasakan cinta”. Oliver mengacak-acak rambut
Diandra. Mereka terus saja bercanda juga tak henti-hentinya
tertawa.

Ferdinand menghentikan langkah ketika melihat Oliver dan


Diandra berada beberapa meter saja di depannya. Perbincangan
diantara mereka terlihat sangat hangat, tawa khas Diandra juga

78
Oliver tak pernah lepas menghiasi wajah keduanya. Tak lama
kemudian dilihatnya Diandra mendekatkan wajahnya ke telinga
kiri Oliver, seperti sedang membisikkan sesuatu. Kemudian
mereka tertawa lagi. Percakapan mereka juga masih tetap
terlihat hangat sekali. Dilihatnya Oliver mengataka sesuatu
kepada Diandra sebelum mengacak-acak lembut rambut
Diandra.

“Hei Fedinand, cepatlah kemari”. Diandra segera


melambaikan tangan saat pandangan mereka bertemu.

“BRAAAK”. Ferdinand menutup pintu mobil di


samping kemudi dengan sangat keras. Diandra tak berani
sedikitpun menatapnya. Entahlah, Diandra juga tak mengerti
mengapa Ferdinand tiba-tiba uring-uringan. Tadi, setelah
menyapa Oliver sebentar, Ferdinand langsung mengajaknya
pulang. Diandra sudah tak berani lagi membantah, karena raut
muka Ferdinand yang kini terlihat sangat tidak menyenangkan.

****

“Tunggu, kau ini kenapa? Mengapa mediamkanku


seperti ini? Diandra sudah tak tahan untuk tidak bertanya.
Ferdinand tetap saja acuh, dan segera menaiki tangga menuju
kamarnya. Diandra segera mengejar Ferdinand dan menarik
lengan kirinya saat berada di undakan tangga ke delapan.
79
“Sudahlah tak apa, kau jangan bertanya lagi”.
Ferdinand berkata membentak. “Tapi kau tak bisa bersikap
seperti ini. Bersikap sesuka hatimu, tak pernah peduli dengan
perasaan orang-orang disekitarmu. Kau selalu memarahiku
tanpa aku pernah benar-benar mengerti apa salahku. Bukankah
seorang kakak harus melindungi adiknya? Tapi kau tak pernah
berlaku seperti itu, kau selalu saja bersenang-senang dengan
teman-temanmu, selalu saja memarahiku. Sebenarnya apa
maumu?”

Ferdinand benar-benar terkejut mendengar pengakuan


adiknya. Diandra tak kuasa lagi membendung air matanya,
dengan cepat ia melewati Ferdinand yang masih berdiri
terpaku. Sudah lama sekali ia ingin meluapkan amarahnya.

Ferdinand segera tersadar setelah mendengar pintu


kamar Diandra yang berdebam keras.

80
TUJUH
“setiap lekuk peristiwa yang terjadi, kau harus meyakininya
jika semua kan menghadiahkan sebuah kebahagiaan”

Andira berteriak histeris saat tuan Collins


membawanya dengan paksa. Malam telah menunjukkan pukul
12.30 saat Kaisar Agung tiba-tiba memutuskan agar tuan
Collins membawa Andira pergi dari Cambira. Tentu istri dan
putera tunggalnya juga harus ikut bersamanya.

Keadaan kastil sangat berbahaya bagi Andira, saat ini


ia masih berusia sembilan tahun, tapi sudah harus berada
ditengah-tengah masalah keluarga yang pasti akan berakibat
buruk baginya.

Anthonie sedikitpun tak berani bertemu Andira,


sekedar mengucapkan kata-kata perpisahan pun tak berani ia
melakukannya. Jika benar-benar harus melakukannya, ia
sendiri tak tahu harus sampai kapan mengeluarkan air mata
lebih banyak lagi. Ia akan sangat merindukan Andira.

81
Oxilander

Semua pasukan berjaga-jaga di sepanjang tembok besi


yang kini dipimpin oleh Tuan Bronthous. Semua pasukan, juga
Tuan Brounthos mengenakan baju besi lengkap dengan sebilah
pedang yang disarungakan di pinggang sebelah kanannya.
Tangan kiri mereka memegang tameng besi yang tak ada
keraguan ataupun rasa takut sedikitpun terpancar dari
wajahnya. Semua telah bersiap untuk mengerahkan serangan.

Kaisar Agung memimpin pasukan berkuda di


belakang bukit, untuk berjaga-jaga jika tiba-tib musuh
menyerang. Raja Vorth juga telah siap berada disamping Kisar
Agung.

Dua jam yang lalu, salah seorang utusan Kaisar


Agung membawakan pesan tertulis kepada raja Echancer.
Pesan itu berisikan permintaan Kaisar Agung untuk segera
melepaskan ratu Lyana. Dan dengan cepat surat itu dibalas juga
melalui utusan raja Ecancher. Raja Ecancher tetap meminta
untuk menyerahkan kekuasaan dinasti Ransisz berikutnya
kepadanya, atau sekarang juga perang yang akan banyak
menumpahkan darah terjadi. Kaisar Agung memilih penawaran
kedua raja Ecancher, tetapi dengan syarat jika pihak Kaisar
82
yang llebih banyak menumpahkan darah pihak lawan, maka
raja Ecancher harus melepaskan ratu Lyana.

Raja Ecancher segera mengerahkan pasukannya,


pasukan yang dibentuknya dengan iming-iming kekayaan jika
mau bergabung dengannya. Selama ini raja Ecancher juga
pasukannya mendirikan sebuah kastil yang tak begitu besar di
atas bukit Lirnzyx, tapi kastil yang didirikannya mampu
menampung semua pasukannya yang jumlahnya tak bisa
dibilang sedikit. Bukit Lirnzyx berada di sebelah timur kota
Northlez, dimana kastil Oxylander didirikan.

01.30 malam, di Oxylander

Tuan Bronthous dengan berani berada di urutan paling


depan melawan pasukan raja Ecancher yang jumlah hampir
menyamai pasukannya. Tuan Bronthous berkali-kali
mengarahkan pedangnya menghunus lawan. Satu-persatu
lawanya mulai berguguran, begitu pula dengan pasukannya.
Tapi mereka semua tetap berjuang membela panutan masing-
masing.

Kali ini pasukan dinasti Randsisz dibagi menadi tiga


pimpinan. Pimpinan pertama tentu dipimpin leh tuan
Bronthous, sedang pasukan kedua merupakan pasukan berkuda
yang dipimpin oleh Tuan Nikgole. Sedangkan pasukan ketiga
83
dipimpin langsung oleh Kaisar Agung. Pasukan ini merupakan
pasukan berkuda yang akan menyerang pasukan raja Ecancher
dari arah berlawanan, sehingga dapat lebih mudah
menumbangkan lawan

Raja Ecancher tak bergabung dengan pasukannya, ia


berdiri tenang disamping ratu Lyana mengamati semua
pasukan dari atas bukit yang berada disebelah kanan kastil
Oxylander. Tepat di bawah mereka pasukan berkuda yang
dipimpin Kaisar Agung menyerang pasukan berkuda raja
Ecancher dari arah berlawanan. Seketika raut muka raja
Ecancher berubah, ia sama sekali tak memperhitungkan
serangan tersembunyi yang menjadi siasat perang dari tuan
Bronthous. Ratu Lyana tak henti-hentinya memberontak.
Tangannya diikat kuat-kuat kebelakang dan tak sedetikpun raja
Ecancher melepaskan pegangan tangannya terhadap lengan
kanan ratu Lyana. Mulutnya juga disumpal, membuatnya tak
bisa berkata apa-apa.

Ratu Lyana benar-benar ingin berteriak sangat keras


saat melihat suaminya akan terhunus pedang oleh pasukan raja
Ecancher dari arah punggungnya. Tetapi dengan cepat salah
seorang pasukan yang dipimpin Kaisar Agung mengibaskan
pedangnya tepat ke arah leher, dan darah segar pun mengalir
lagi untuk yang kesekian kali.
84
Selama sedetik raja Vorth dapat bernafas lega, tapi
tidak untuk detik-detik berikutnya. Bertubi-tubi serangan
datang padanya, raja Vorth sedikit kelelahan membalas
serangan-serangan yang mengarah padanya. Kudanya dipacu
berbalik untuk menghadpi lawan yang berada di balik
punggungnya. Pedangnya beberapa kali diarahkan ke arah
lawan, sepertinya semangatnya telah benar-benar memuncak.
Beberapa kali ia berhasil menumpahkan darah lawannya,
meskipun mata pedang tak henti-henti melukai tubuhnya.

Raja Vorth memacu kudanya berbalik, tatapan


matanya langsung mengarah kepada Kaisar Agung yang
sedang mengayunkan pedangnya ke arah leher lawannya.
Seorang pasukan raja Vorth memacu kudanya perlahan, dan
mengarahkan lurus pedangnya dari arah punggung Kaisar,
membuat Kaisar tak mengetahui bahaya yang kini sedang
menghadangnya. Dengan cepat raja Vorth memacu kudanya ke
arah Kaisar, mencoba menghalau lawan yang seharusnya
dihadapi oleh ayahanda mertuanya. Pedangnya diangkat tinggi-
tinggi mencoba untuk memenggal leher lawan yang ingin
menumpahkan darah Kaisar.

Hampir saja raja Vorth akan mengayunkan


pedangnya, seseorang datang dari arah kirinya dan berhasil
menghunuskan pedangnya tepat mengenai hati raja Vorth yang
85
kini terkulai tak berdaya. Sekejap saja raja vorth mampu
bertahan.

Entah perasaan apa yang bisa dilukiskan ratu Lyana


saat ini. Sepertinya raganya takkan mampu lagi sebagai
termpat berpijak jiwa rapuhnya. Hatinya benar-benar telah
hancur. Tak tahu hal apa lagi yang bisa dilakukannya. Ratu
Lyana menangis terisak, air matanya begitu deras bercucuran
dari sapasang mata indahnya. Ia tak mampu sedikitpun
mengeluarkan suara. Rasa sakitnya terlalu sakit untuk
dirasakan. Kini hanya amarah dan benci yang tersisa dalam
hatinya.

Ratu Lyana terus saja terisak. Sekelebat kenangan


indah bersama suami juga putera puterinya menari-nari ringan
dalam benaknya. Tetapi hanya menyisakan rasa sakit yang luar
biasa sakit. Raja Ecancher tertawa penuh kemenangan.

Masa-masa bahagia bersama suami juga Anthonie


serta Andira, kembali memenuhi ruang pikirnya. Tetapi kini
secercah semangat kembali hadir memenuhi jiwa hampanya.
Wajah manis Anthonie juga Andira mampu memberikan
kehangatan yang mendalam dalam hatinya, rasa hangat yang
mampu mengaitkan kembali puing-puing harapann yang telah
hancur.

86
Selama beberapa detik beberapa pasukan di
sekelilingnya menghentikan penyerangan, pasukan musuh pun
sebentar menghentikan penyerangan mencoba menikmati
detik-detik kematian salah seorang raja negaranya yang
seharusnya dihormati bukan malah berusaha untuk
memusnahkannya.

Seperti ingin membalas kematian menantunya.


Dengan cepat Kaisar Agung mengayunkan berkali-kali
pedangnya, dan selalu berhasil menumpahkan darah lawan.
Seorang lawan memacu kudanya dari arah kirinya, ingin
membalas kematian kawan-kawannya, tapi dengan cepat
Kaisar Agung mengayunkan pedangnya dan berhasil
memenggal leher lawannya yang kini bercucuran darah.
Pasukan yang dipimpinnya juga seperti mendapat semangat
baru saat melihat pemimpinnya begitu bersemangat
mengalahkan lawannya.

Beberapa pasukan yang masih bertahan mengerahkan


seluruh kekuatannya yang masih tersisa, tuan Nickgole pun
berseru lantang untuk segera meraih kemenangan, dan selama
beberapa detik saja mereka mampu menggugurkan seluruh
pasukan raja Ecancher yang selama beberapa detik lalu tertawa
bangga atas kematian raja mereka.

87
Pasukan pimpinan tuan Bronthous juga mendapat
kemenangan setelah salah satu pasukannya berhasil
menghunuskan pedang tepat pada jantung pemimpin pasukan
raja Ecancher. Selama beberapa saat pasukan lawan lengah,
dan merupakan kesempatan emas bagi pasukan pimpinan tuan
Bronthous untuk menumbangkan lawan.

Dari atas bukit raja Ecancher tertawa penuh kelicikan.


Ratu Lyana merasakan sedikit ketenangan setelah melihat
pasukan raja Ecancher berhasil dikalahkan. Ia ingin segera
berlari memeluk ayahandanya. Menangis sedalam-dalamnya
dalam pelukan ayahanda tercintanya, yang selama ini selalu
bisa memberinya ketenangan.

Tawa licik raja Ecancher semakin keras, membuat


semua pasukan berkuda di bawah bukit yang masih tetap
bertahan, juga Kaisar Agung mendongakkan kepala. Semua
terkejut melihat raja Ecancher yang memang tak ditemui sejak
peperangan dimulai,ia berdiri tenang memandang ke bawah
dengan tawa yang tak pernah lepas dari bibirnya. Semua
pasukan bersiap memegang erat-erat pedang masing-masing.

Sebongkah rasa bahagia mengaliri seluruh bagian hati


Kaisar Agung beberapa saat yang lalu setelah berhasil
mengalahkan pasukan perang puteranya.

88
Entah pada detik behagia keberapa, semua keindahan
rasa yang pernah ia rasakan tiba-tiba musnah. Berganti dengan
rasa benci juga marah yang kini bersatu memenuhi setiap ruang
hatinya. Raja Ecancher tiba-tiba melepas pegangannya
terhadap lengan kanan ratu Lyana dan memutar cepat tubuh
adiknya agar tepat berada di depannya. Kemudian dengan
beberapa kedipan mata saja sebilah pedang menghunus dada
adiknya yang langsung menghembuskan napas tuk terakhir
kali.

Beberapa pasukan segera turun dari kuda dan


langsung berlari mengambil jarak terdekan untuk
menyelamatkan ratu Lyana. Beberapa pasukan yang lain
dengan cepat memacu kuda mereka, dan mengejar raja
Ecancher yang langsung menuruni bukit dengan kuda yang tadi
ditungganginya setelah membunuh adik kandungnya.

Malam sudah akan berlalu memendam segala


kenangan di hari yang lalu. Sang fajar telah bersiap untuk
meniggalkan singgasananya. Berkelana memberikan segala
harapan dengan sinarnya untuk semua insan penghuni alam tak
kekal ini. Pohon-pohon cemara yang menutupi seluruh bagian
bukit, saling bersenggolan menimbulkan suara riuh ranting-
ranting yang mengering di penghujung musim gugur ini.
Mereka seakan berbisik bersyukur karena malam kelam penuh
89
amarah yang mereka saksikan sejak awal dimulainya telah
usai. Beberapa juga berbisik untuk saling bertanya bagaimana
kehidupan raja dan ratu mereka juga para pasukan yang telah
gugur, di keabadian hari?

Semua tetap berbisik melontarkan kalimat tanya


masing-masing yang tak bisa terjawab. Semua tahu hanya Sang
Pencipta yang memiliki segala jawaban atas seluruh pertanyaan
tak terjawab.

90
DELAPAN
“bisakah kau merasakan melodi-melodi cinta yang
memberiku keraguan untuk mengungkapkannya? Andai saja
tak ada tabir penghalang diantara kita, kan kuungkap semua
desah tangis, juga bahagia makna kehidupan rapuhku ini”

Meyra benar-benar terkejut, detak jantungnya seakan


tak bisa berdetak lagi. Pom-pom putih yang tadi di pegangnya
terlepas begitu saja. Semua pasang mata juga menatapnya tak
percaya. Ferdinand masih berdiri tegap memandangnya tak
berkedip. Meyra benar-benar tak tahu harus berbuat apa?

Pertandingan basket antara Roselord dan Rotherhood


telah berakhir beberapa menit yang lalu. Masing-masing
pemandu sorak pun telah membubarkan anggotanya. Meyra
yang masih berada di tengah lapangan berjalan pelan menuju
ruang ganti bersama anggota yang lain. Masih berada di
lapangan, tiba-tiba Ferdinand menghalangi jalannya. Berada
tepat dihadapannya. Memandangnya dalam, hangat, ringan,
entah apa kata yang tepat untuk mengungkapkan tatapan penuh
arti Ferdinand. Sedetik kemudian bibir hangat Ferdinand telah
mengecup hangat kening Meyra. Dadanya sungguh berat
91
dirasakan, seperti tak ada oksigen yang mampu mengaliri
peredaran darahnya. Sekejap saja kehangatan luar biasa
merasuki pori-pori tubuhnya, mengalir halus hingga mampu
memenuhi setiap bagian terkecil organ tubuhnya.

Ferdinand segera berlalu entah kemana, setelah


memberikan senyuman penuh arti yang mampu menghadirkan
kehangatan luar biasa untuk kedua kalinya.

Jarvis berjalan pelan menghampiri Diandra yang berdiri


terdiam bersandar pada pagar alumunium di koridor lantai dua
ruang kelasnya. Matanya tak berkedip, mengamati setap lekuk
peristiwa yang terjadi selama pertandingan basket berlangsung.
Juga setelah beberap saat pertandingan basket usai. Ia benar-
benar tak mempercayai satu peristiwa tak terduga yang baru
saja diabadikan memori benaknya.

“Kurasa kau sudah menyadari kaberadaanku?” Jarvis


segera mengeluarkan kalimatnya setelah berada tepat
disamping Diandra. Diandra sedikit terkejut menyadari pemilik
suara yang sama sekali tak pernah menyapanya sebalum ini.
“Ah, kau. Ada apa? Kurasa ada suatu hal ingin kau katakan?”
Diandra langsung membidik arah pembicaraan Jarvis.

92
“Kau memang selalu mengerti pikiran semua orang”.
Jarvis sedikitpun tak memandang sepasang mata indah
Diandra. “Bukan semua orang, hanya keturunan dinasti
Randsisz yang tak memiliki kekutan sama sepertiku. Aku juga
tak bisa memahami pikiranmu, hanya menduga-duga saja”.
Diandra mengakhiri kalimatnya dengan sedikit senyum yang
tertahan. Semua kisah kelam yang mengisi salah satu lembaran
kisah hidupnya. Selalu berkelebat cepat saat memandang wajah
Jarvis, bahkan saat mendengar namanya saja semua kenangan
itu telah mampu menyiksa hatinya.

“Ya, aku tahu itu. Aku juga benar-benar mengerti rasa


bencimu. Tapi kali ini saja aku mohon agar kau
mendengarkanku”. “Suasana hatiku sedang buruk hari ini,
kuharap kau tak memaksaku”. Jarvis tertawa penuh arti sedikit
menggoda Diandra. “Pikiranku lebih kuat, jadi jangan pernah
mengelak tentang hal ini”. Diandra mendengus sebal,
seharusnya ia tak memikirkan hal itu. “Tak berpikir pun aku
akan mengerti”. Jarvis mencoba tetawa karab dengan Diandra.
“Baiklah, aku tak akan ikut campur tentang hal itu. Aku hanya
ingin mengajakmu ke suatu tempat. Besok tak usah datang
kesekolah, aku akan menjemputmu pukul 05.00 pagi. Kau tak
boleh mengatakan tak mau kali ini”. Jarvis menyelesaikan

93
kalimatnya, dan segera berlalu meninggalkan Diandra yang
masih sebal karena Javis yang serba tahu.

****

Oliver berjalan tenang dengan memutar-mutar bola


basket di atas jari telunjuk kanannya. Bibirnya
menyunggingkan senyum yang manis sekali. Beberapa siswa di
tepi lapangan melihatnya ragu-ragu. Oliver sebenarnya biasa-
biasa saja, ia sedikitpun tak merasa dikhianati. Oliver memang
teman dekat Ferdinand, juga kekasih Meyra. Tapi memang
dasar Oliver seorang playboy tampan, banyak gadis lain yang
mensyukuri hal ini.

Oliver menghentikan langkahnya saat melihat Diandra


yang berada beberapa meter di depannya, berjalan menuju
lapangan parkir siswa. Oliver segera berjalan cepat mengejar
Diandra, bola basket yang tadi menari-nari indah, dengan cepat
dilemparnya kesembarang arah. Di lapangan memang tak ada
yang sedang bertanding setelah ia memenangkan pertandingan
basket melawan para pemain basket Rotherhood.

Diandra telah menetapkan hari ini adalah hari yang sangat


menyebalkan dalam sejarah hidupnya. Ia tak ingin lagi

94
berlama-lama di sekolah. Karena memang tak ada perlombaan
yang mengharuskannya turut berpartisipasi.

Diandra berjalan pelan menuruni tangga, dan segera


menuju lapangan parkir siswa tanpa terlebih dahulu
memandang berkeliling barang sebentar.

Oliver membuka pintu seberang kemudi mobil


Diandra dengan cepat. Diandra baru saja akan mengenakan
sabuk pengaman saat Oliver tba-tiba saja duduk disampingnya.
“Kau?” Diandra memandang tak percaya. “Hari ini suasana
hatiku baik sekali, jadi aku akan mentraktirmu makan ice
cream, bagaimana?” Oliver memberikan penawaran yang sulit
untuk ditolak Diandra. “Hari ini suasana hatiku sedang kacau,
jadi jika kau akan mentraktirku es krim, aku akan melahapnya
sampai puas”. “Baiklah tak masalah, aku akan tetap
mentraktirmu”. Oliver menyunggingkan senyum yang sangat
manis, yang dibalas masam oleh Diandra.

Hanya butuh waktu 15 menit saja untuk sampai di caffe ice


cream La Toorsnday. Tak banyak pengunjung yang datang di
pagi hari. Jadi masih banyak meja kosong yang menghadap
menghadap pemandangan indah. La Toorsnday berada di atas
perkebun strawberry yang kini sedang berbuah. Oliver memilih
95
satu meja yang tepat berada di samping pohon leci yang sedang
ranum. Cafe ice cream ini memang berada di alam terbuka, jadi
berbagai macam jenis pohon berbuah berada di seluruh area
cafe.

Diandra memesan macha ice cream yang terbuat dari


teh hijau, sedang Oliver memesan ogura ice cream yang
terbuat dari kacang merah. Dan Diandra langsung
menyantapnya dengan lahap. Oliver hanya menahan tawa
melihat tingka Diandra hari ini.

Oliver selalu senang jika bersama Diandra. Entahlah,


ia juga tak mengenal Diandra sebelumnya, meskipun ia sudah
lama mengenal Ferdinand. Ia pertama kali bertemu dengan
Ferdinand saat festifal musik musim panas dua tahun yang lalu.
Saat itu Oliver juga Ferdinand masing-masing baru menginjak
masa pengajaran menengah atas. Tentu sebelum mereka
bertemu di Roselord.

“Ada apa? Kenapa terus menatapku seperti itu?”


Diandra merasa tak nyaman kerena Oliver terus menatapnya.
“Ah, aku tak menatapmu? Hari ini kau sama sekali tak
tersenyum, jadi untuk apa aku akan malas sekali jika berlama-
lama menatapmmu”. Oliver mengakhiri kalimatnya dengan
tawa, karena sedikit salah tingkah. “Terserah saja, sudah

96
kubilang hariku sedang buruk. Jadi cepat habiskan ice
creammu, dan aku akan segera pulang”. “Kau tak akan segera
pulang, karena aku akan mengajakmu ke suatu tempat”.
Dengan cepat Oliver menarik lengan kanan Diandra dan
meninggalkan ice creamnya yang masih tersisa.

Diandra sama sekali tak bisa menolak, karena Oliver


dengan kuat memegang erat lengannya. Kali ini Oliver yang
berada dibalik kemudi, setelah ia mengambil dengan paksa
kunci mobil Diandra.

****

Sang waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 sore,


tetapi Roselord masih saja dipenuhi oleh hiruk pikuk pekan
olah raga antar sekolah yang selalu diadakan dipenghujung
musim semi. Semua bersuka cita menyambut hari libur musim
panas yang hanya beberapa hari lagi.

Ferdinand telah menyelesaikan pertandingan


renangnya melawan salah satu perenang andalan Weirslhem,
yang menjadi salah satu sekolah lawannya. Weirslhem adalah
sekolah olah raga yang sangat baik di Nevergant. Berbeda
dengan Roselord yang merupakan sekolah seni terbaik
sepanjang abad Lorenzio.

97
Dalam pertandingan kali ini Roselord menduduki
posisi kedua dibawah Whirslhem. Meskipun Ferdinand yang
menjadi perwakilan Roselord dalam pertandingan kali ini
hanya mampu menduduki posisi kedua, semua pendukung
Roselord tetap saja berteriak histeris, lebih-lebih saat melihat
dada bidang Ferdinand ketika mengangkat tubuhnya dari
kolam renang. Tentu para pendukung wanitanya.

Ferdinand segera menuju ruang ganti, karena tak ingin


berlama-lama menjdi sorotan pasang mata yang membuatnya
sedikit jengah. Terlebih karena tak ingin mendegar omelan
Meyra yang telah resmi menjadi kekasihnya beberapa waktu
yang lalu.

Tepat setelah Meyra keluar dari ruang ganti usai


pertandingan basket, Ferdinand menyatakan cintanya didepan
siswa Roselord maupun sekolah lawan yang jumlahnya tak bisa
dibilang sedikit. Ferdinand menyatakan perasaannya dengan
penuh keyakinan. Dan memang benar, karena Meyra langsung
menerimanya.

Semua pasang mata kembali menatap ferdinand tak


percaya, beberapa memuji keberaniannya. Beberapa juga
berseru kecewa karena pujaan mereka tak bisa lagi sembarang
mereka puja.

98
****

Oliver menghentikan mobil Diandra di depan sebuah


rumah berukuran besar yang sama sekali belum pernah dilihat
Diandra sebelumnya. Meskipun berukuran besar, sepertinya tak
banyak yang menghuni rumag bergaya modern itu. Sama persis
dengan suasana rumahnya. Oliver segera mengajaknya masuk
setelah turun dari mobil. Tak ada seorangpun yang menyambut
mereka tepat setelah Oliver mendorong pelan pegangan pintu.
Berbagai macam guci berukuran besar terlihat di setiap sudut
rumah, juga beberapa lukisan klasik menempel anggun di
semua bagian dinding. Sangat mencerminkan si pemilik rumah
adalah penggemar barang-barang klasik. Semua perabotan
rumah juga terdiri dari berbagai macam barang klasik,
membuat Diandra semakin ingin mengedarkan pandangannya
lebih lama lagi.

Tapi Oliver segera menarik lengan Diandra untuk


menuju lantai dua rumahnya. Oliver mempersilahkan Diandra
untuk duduk di sofa yang menghadap sebuah pintu berdaun
dua. Diandra mengira ruang itu adalah kamar Oliver, karena
Oliver menghilang dibaliknya.

99
Hanya beberapa menit saja Diandra menunggu,
sebelum Oliver yang kini sudah berada disampingnya dengan
sebuah album foto berukuran cukum besar.

Oliver membuka halaman awal album foto tersebut.


Taka ada foto yang terpajang, hanya ada rangkaian huruf
bertuliskan nama Calista. Ferdinand membuka halaman kedua
album foto di tangannya. Foto seorang gadis berambut curly
pirang sepunggung yang sangat cantik, dengan poni
menyamping ke sebelah telinga yang menutupi sebagian alis
kirinya. Matanya jernih dengan bola mata cokelat gelap yang
sangat indah. Ia juga memiliki kulit kuning langsat yang khas,
sehingga menjadikan Calista terlihat manis sekali.

“Cantik sekali, siapa ia? Kekasihmu?” Oliver


tersenyum manis, seperti mengingat sebuah kenangan indah
yang pernah dilaluinya. “Kenapa diam?” Diandra bertanya
untuk kedua kalinya, karena Ferdinand yang masih tetap
bergeming menatap dalam gadis berambut curly yang berada di
halaman kedua album yang sedang di pegangnya. “Namanya
Calista, usianya sama persis dengan usiamu. Dulu ia juga
berada di kelas yang sama denganmu.....” Oliver
menggantungkan kalimatnya. “Dulu? Sekarang?” Diandra
bertanya bingung. “Calista dulunya juga salah seorang siswi
Roselord, ia mendapat undangan sekolah di Roselord pada
100
awal tahun ajaran. Tapi ia mendapat kecelakaan beberapa hari
sebelum kau juga Ferdinand berada di Roselord. Sejak saat itu
ia koma di rumah sakit Peter. Aku menjaganya selama
beberapa hari di rumah sakit. Dan pada hari keenam ia koma,
dokter yang menanganinya menghubungiku, dan memberi
tahuku bahwa Calista telah sadar dari komanya, kare memang
ia tak memiliki keluarga di sini. Tapi saat itu aku tak bisa
segera menemuinya karena harus mengikuti pelatihan ragam
olahraga selama satu minggu di Whirslhem”. “Selanjutnya
bagaimana? Sepertinya kau belum menyelesaikan ceritamu”.
“Selanjutnya aku tak pernah lagi bertemu dengannya, sampai
saat ini”. Terlihat pancaran kesedihan dari kedua sorot mata
Oliver. “Maafkan aku karena telah membuatmu menceritakan
kembali kesedihanmu”. Diandra berkata dengan lirih, sedikir
tak berani menatap sepasang mata Oliver yang sedari tadi
ditatapnya tajam.

“Kenapa harus meminta maaf? Kau sama sekali tak


membuatku bersedih. Aku senang bisa bertemu denganmu,
sebelumnya, saat masih bersama Calista, aku sering sekali
menghianatinya. Meskipun ia kekasihku, tak hanya satu, dua
kali aku dengan gadis lain. Calista tak pernah marah, bukan
karena tak mengetahui kehadiran gadis lain disisiku, bukan
juga karena takut berpisah denganku, ia hanya selalu lebih

101
mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Jika bisa
membuat setiap orang disekelilingnya merasa bahagia dengan
atau tanpa kehadirannya, atau hanya sekedar melihat semuanya
tersenyum bahagia, keduanya selalu bisa membuat Calista
merasakan keindahan tempat berpijaknya”.

“Saat kita bersama, Calista selalu berkata, ia senang


melihatku tersenyum. Dan selalu memintaku berjanji agar tak
pernah terpuruk dalam kesedihan. Entahlah, aku tak pernah
melupakan kata-kata itu, meskipun aku sama sekali tak
memahaminya”.

“Tapi kini kau bisa mengerti apa maksud Calista”


Diandra berkata penuh arti dengan menatap kosong balkon
yang menghadap ruang duduk lantai dua rumah Oliver. “Ya,
aku memang harus mengerti, meskipun Calista tak mengerti
rasa yang kurasakan”. Oliver menghirup nafas sangat dalam,
pandangannya mengarah lurus menatap langit-langit ruang
duduknya. Diandra tetap terdiam, merasa Oliver masih akan
melanjutkan kalimatnya. “Aku sangat menyayanginya, juga
benar-benar menyukainya. Ya, aku memang sering sekali
menghianatinya. Tapi aku tak pernah membagi hatiku selain
untuknya.” Diandra tertegun demi mendengar kalimat terakhir
Oliver.

102
“Tapi mengapa kau berkali-kali menghianatinya?”
Oliver sudah menebak jika Diandra akan menanyakan hali itu
padanya. “Aku hanya ingin tahu seberapa sakit hatiku jika
Calista meninggalkanku suatu hari nanti. Atau hanya sekedar
jika ia membenciku. Agar aku bisa segera mengetahui seberapa
indah kebahagiaan yang akan kuberikan untuknya, jika kita
memang tak ditakdirkan untuk bersama. Tapi setelah semua
penghianatan yang kulakukan, aku menjadi semakin mengerti,
tak ada kebahagiaan terindah dalam hidupku selain selalu bisa
bersamanya. Juga aku menjadi semakin mengerti, bahwa
semua kebahagiaan terindah dalam hidupku tak bisa mewakili
kebahagiaan yang seharusnya sudah kuhadiahkan untuk
Calista.”

“Tapi Calista tak pernah sedikitpun membicarakan


masalah ini, ia hanya terus mencoba tak mengerti apapun
tentang kehadiran seseorang lain disisiku. Dan ini semua yang
semakin menyiksaku, menumbuhkan rasa sakit yang benar-
benar sakit karena rasa bersalah yang belum pernah kumeraih
maafnya.”

103
SEMBILAN
“suatu keindahan akan bisa kau raih, jika kau
melakukannya dengan keindahan pula”

Keindahan mega menyambut Ferdinand saat ia baru


saja melewati gerbang tinggi rumahnya. Bunga-bunga lily
putih di sepanjang tepi jalan setapak menuju garasi, menunduk
ta’dzim seperti menyambut seorang pangeran yang sedang
mengunjungi negaranya. Burung-burung kecil saling bercericip
berlari-lari mengejar satu sama lain dari pohon pinus taman
satu, ke pohon pinus taman yang lain, yang berjejer rapi tepat
di depan dinding putih tinggi yang menjadi pagar samping juga
belakang yang mengelilingi rumah Ferdinand. Begitu
seterusnya.

Ferdinand segera menaiki tangga menuju ruang tidur


pribadinya. Dan langkah nya terhenti saat melihat pintu ruang
tidur adiknya, yang berada tepat disamping ruangannya tertutp
rapat. Ia menebak-nebak jika Diandra tak berada di kamarnya.
Muungkin memang Diandra belum pulang, pikirnya sejenak
sebelum memutuskan untuk mendorong pelan pegangan pintu
kamar adiknya.
104
Telapak kakinya masing-masing menginjak pelan
karpet berbulu halus yang menenggelamkan kaki sampai mata
kaki setiap orang yang menginjaknya ketika pertama kali
memasuki ruangan berukuran 7×5 m itu. seperti yang telah
menjadi dugaannya, Diandra tak berada di kamarnya,
sepertinya ia memang belum pulang.

Ferdinand memandang berkeliling kamar Diandra.


Semua perabotan yang ada memiliki warna senada putih juga
biru muda. Tak seperti kamarnya yang berdominasi berbagai
warna. Ferdinand masih berjalan pelan mengamati kamar
adiknya saat pandangannya terhenti tepat menangkap sebuah
buku berukuran sedang namun tebal berwarna putih dengan
sedikit corak berwarna emas, di atas nakas. Disampingnya pena
pemberian bunda yang sama dengan yang dimilikinya
bersanding tenang. Ferdinand menduga itu adalah buku harian
milik Dindra.

Dan lagi-lagi dugaan Ferdinand sama sekali tak salah.


Ia membuka halaman awal buku yang hanya berisikan tanda
tangan Diandra. Kemudian halaman kedua, ketiga, keempat
dan seterusnya sampai ia merampungkan membaca semua isi
buku itu.

105
Minggu ketiga musim gugur

27 Desember, 24.03

Musim gugur kali ini indah sekali, semua daun


mengering. Jika ada lagi daun yang runtuh, maka
akan saling menimbulkan bunyi saat bersentuhan
dengan daun-daun yang lebih dulu menimbun di
tanah.

Mereka menimbum di setiap pijakan akar


mereka. Bagiku semua terlihat sangat indah, sesuatu
yang takkan sering bisa kunikmati.

Hari ini, hari ulang tahunnya, tapi aku belum


juga mengucapkan selamat, juga tak tahu harus
memberinya apa. Karena tak mungkin memberinya
yang biasa-biasa saja, karena ia sangat berarti di
hatiku.

Tapi akan mencoba membuat sesuatu yang


indah untuknya. Aku bisa saja melakukannya sepulang
sekolah.

Ah, aku jadi mengingat hal ini. Di tahun


pertama pengajaran menengah atas, aku sudah
mendapat berbagai masalah. Sudah kukatakan pada
mereka, bahwa aku sama sekali tak menyukai si cover
106
boy sekolah itu, tapi beberapa gadis seniorku masih
saja suka menatapku benci. Membuatku tak nyaman
berada di sekolah ini.

****

Masih tetap di musim gugur yang indah

30 Desember, 21.00

Aku seudah menaruhnya di atas nakas.


Semoga saja ia bisa langsung mengetahui
pemberianku.

Sepulang sekolah aku memotret secara mozaik


salah satu pohon di tepi jalan yang daunnya sedang
berguguran. Aku memotretnya dari bagian atas,
hingga tanah yang hampir rata tertutupi daun-daun
kering yang menimbun.

Semalaman aku menyusunnya menjadi sebuah


gambar yang utuh.

Semoga saja ia bisa menyukainya.

****

Masih di musim gugur yang sama

107
15 Januari, 23.10

Aku bertengkar hebat dengannya. Dia selalu


saja begitu, selalu lebih mementingkan teman-
temannya, juga kekasihnya yang terus saja bergonta-
ganti.

Ia menjatuhkan kameraku, aku benar-benar


kesal, tapi ia sama sekali tak mencoba untuk sekedar
mengucapkan kata-kata maaf.

Benar-benar menyebalkan, selalu saja bersikap


buruk padaku.

Tuhan, mengapa rasa indah ini sungguh


menyiksa?

****

1 hari setelah hari ulang tahunku

20 Juni, 20.24

Hari ini aku merasa sebuah kebahagiaan


sedang memelukku erat. Dan benar-benar tak ingin
melepaskan pelukannya. Rasanya sungguh indah,
sama sekali tak terbayangkan sebelumnya.

108
Ia memang tak mengucapkan selamat di hari
ulang tahunku. Tapi sebuah kamera keluaran terbaru
yang memang sedang kuinginkan, menjadi hadiah
ulang tahunku yang ke 16.

Ia menyelipkan sebuah kertas kecil di dalam


bungkusan hadiahnya. Dan mengatakan ini sebagai
pengganti kamera yang dulu.

Terimakasih untukmu.

****

Ferdinand hanya membaca beberapa halaman saja. Dan mulai


menyadari sebuah nama yang berhasil merengkuh hati adiknya.

Ia memutuskan untuk membuka halaman terakhir


Diandra menulis harian.

Penghujung musim semi

23.05

Hari ini mengesalkan sekali. Ia tetap sama.

109
Tak bisakah sedikit saja ia memahami
perasaanku. Selalu saja membuat hatiku sakit, dengan
alasan yang tak pernah diungkapkannya.

Tuhan, samapi kapan aku akan memendam


perasaanku untuknya? Sesulit inikah untuk bisa
mencintai seseorang?

****

Ferdinand membacanya tak percaya. Sama sekali tak menduga


sebelumnya. Hanya membaca beberapa halaman saja, tapi ia
sudah bisa memahami perasaa adiknya. Ferdinand segera
menutup buku harian Diandra, karena mendengar deru mobil
adiknya yang sedang berhenti.

****

Jam dinding berbentuk bintang di pangkuan sang dewi


malam, telah menunjukkan pukul 07.20 saat Diandra
memasuki kamarnya.

Dengan cepat ia melonggarkan dasi pitanya berwarna


fuchsia mudanya, melepaskan rompi seragamnya berwarna
kebanyakan jins, juga kemeja putih berlengan pendek, dan rok
berwarna putih yang memiliki banyak garis horizontal

110
berwarna fuchsia muda maupun garis vertikal berwarna fuchsia
tua.

Diandra segera merendam tubuhnya dalam air hangat


di dalam bathup. Melepaskan kelelahan, juga penat yang
menyiksanya hari ini.

111
SEPULUH
“siapa kita

Jarvis telah lama menunggu Diandra di ruang duduk


yang ditemani oleh Ferdinand. Awalnya Ferdinand sama sekali
tak mengetahui jika Jarvis akan datang ke rumahnya, karena ia
belum bertemu Diandra sepulang dari Roselord. Ia juga baru
saja mengetahui, jika mereka berdua akan pergi bersama.

Tapi ia mencoba untuk menjadi tuan rumah yang baik.


Mencoba membawakan topik yang menyenangkan. “Aku baru
tahu kalau sekarang kau berada di Lorenzio, sejak kapan?”
Ferdinand menyunggingkan senyum di akhir kalimatnya. “Ah,
ku kira kau sudah mengetahuinya. Aku langsung menuju kota
ini saat berada di Lorenzio. Tepatnya sebelum kau pindah ke
Salz.” Jarvis juga menyunggingkan seulas senyum manisnya,
seperti memberikan kepercayaan yang memang Ferdinand
sedang mencarinya. “Ah, tentu saja, kau mengetahui kami akan
pindah ke kota ini. Pikiranmu lebih kuat dari Diandra, aku
hampir saja melupakan hal ini. Ah mengapa Diandra begitu
lama?” Ferdinand mengalihkan pembicaraannya. Tak ingin lagi
membicarakan sesuatu tentang keluarga mereka.
112
Diandra segera bergegas turun menemui Jarvis juga
Ferdinand yang sudah lama menunggunya. Libur sepekan di
awal musim panas baru dimulai hari ini. Diandra hampir saja
melupakan janjinya ini pada Jarvis, jika bukan Jarvis yang
menjemputnya.

Diandra berjalan pelan menghampiri Jarvis juga


Ferdinand yang masih berbincang-bincang santai. Dan
menyapa ramah keduanya.

Hari ini Diandra cantik sekali, sama seperti hari-hari


biasanya. Ia menggulung rambutnya ke atas, dan hanya
menyisakan beberapa rambut di sela telinga kanan juga di sela
kirinya yang tak sengaja tergerai. Poninya tertata rapi, sebuah
pita berwarna biru muda melingkar anggun di atas kepalanya,
dan ikatannya di biarkan tergerai di leher belakangnya. Kali ini
ia mengenakan kaus putih berlengan pendek dengan beberapa
motif bunga berwarna biru muda dibagian bawahnya, juga
celana selutut yang memiliki banyak saku, celananya berwarna
biru muda pula.

“Maaf membuatmu menunggu, bisa kita pergi


sekarang?” Diandra sampai tak sempat membiarkan dirinya
duduk barang sebentar. “Baiklah, aku akan mengantarnya
pulang sebelum tengah malam, tenang saja.” Oliver

113
menganggukkan kepala sebentar memandang Diandra,
kemudian memandang jenaka Ferdinand yang tiba-tiba
terlonjak dari sofa. “Ah, aku tak bermaksud seperti itu.
silahkan saja kalian pergi. Hati-hati.” Jarvis juga Diandra
segera meninggalkan ruang duduk, dan menghilang di balik
pintu rumah berdaun dua yang super besar.

****

“Berapa lama lagi? Sudah dua jam kau mengendarai


mobil ini.” Diandra akhirnya menggerutu setelah dua jam
penuh tak membuka mulut. Selama dua jam itu pula Diandra
hanya berkutat dengan ponsel dan ipod classicnya. Jarvis juga
tak mencoba untuk mengajaknya bicara. “Hanya tinggal
beberapa menit saja, sabarlah sebentar.” Jarvis kembali
memusatkan konsentrasi mengemudinya. “Baiklah.” Diandra
berkata pasrah.

****

45 menit berlalu sejak satu-satunya kalimat Jarvis di sepanjang


perjalanan.

Jarvis juga Diandra masing-masing melepaskan sabuk


pengaman mobil, Jarvis memarkir mobilnya di depan sebuah
rumah kecil yang terlihat tak berpenghuni. Jika dibandingkan

114
dengan garasi rumah Diandra, dapat dipastikan garasi rumah
Diandra berukuran lebih luas jika dibandingkan dengan rumah
yang kini tepat berada di depannya.

“Rumah siapa ini? Sepertinya tak berpenghuni!”


Jarvis berjalan pelan menuju pintu rumah yang tertutup.
Diandra mengikutinya di belakang. “Kau akan segera tahu,”
Jarvis berkata pelan sekali, seakan tak menginginkan satu
orang pun tahu keberadaan mereka. Ia mengambil kunci rumah
yang terselip di antara ventilasi udara yang sangat sempit di
atas daun pintu.

Diandra tak mendapati seorang pun berada di dalam,


tapi Diandra sedikit terkejut melihat semua perabotan yang
tertata rapi, bersih juga masih baik sekali tertata rapi di
tempatnya.

“Sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan


kepadaku?” Diandra meninggikan suaranya, sedikit kesal
karena Jarvis yang tak pernah menjawab pertanyaannya dari
awal mereka meninggalkan rumahnya. “Duduklah, aku akan
menunjukkan sesuatu kepadamu.” Jarvis berlalu, hilang di
balik pintu yang sudah tak memiliki daun. Sepertinya ia masuk
ke salah satu ruangan yang ada di balik pintu itu.

115
Diandra memandang berkeliling, mencoba mencari-
cari sesuatu yang mungkin saja ia kenali. Tapi ia sama sekali
tak menemukan sesuatu yang ingin sekali ditemukannya itu.

“Apa itu?” Jarvis tak langsung menjawa. Ia terlebih


dahulu merebahkan tubuhnya di sisi Diandra, dan meletakkan
sebuag kotak kayu berukuran persegi panjang yang penuh
dengan ukiran. “Ini adalah pedang Oryxone. Jika kau
meletakkan Emerald tepat di lubangnya, maka padang ini bisa
menghapus empat nyawa kakek sekaligus.” Dianndra terdiam,
berpikir tentang apa ag dilihatnya.

“Aku tak pernah mengetahuinya sebelum ini?”


“Sebenarnya Oryxone tak boleh dikeluarkan dari tempatnya,
kau tahu kan ada ruang rahasia di pavilium utama? Disitulah
kakek menyimpannya, ruang bawah tanah itu memang tak
sembarang orang boleh memasukinya, hanya beberapa orang
kepercayaan kakek saja.” Jarvis membuka pelan kotak
berukuran pas dengan sebilah pedang yang ada di dalamna.
Seperti ingin menunjukkan seuatu. “Jadi siapa yang
membawanya kemari? Bukannya tak boleh dikeluarkan dari
ruang bawah tanah itu?” Jarvis memandang sekilas diandra,
“Nona Elis yang membawanya, sebenarnya Oxylander dalam
keadaan baik-baik saja meskipun kakek berada di Lorenzio.
Tapi akhir-akhir ini, nona Elis mengindikasi ada beberapa
116
orang yang telah menjadi penghianat dinasti Randsisz. Jadi
dengan cepat ia membawanya kemari, dan menyerahkan
kepadaku.” Jarvis menarik nafas dalam, mencoba mengatur
kembali pernafasannya.

“Jadi mengapa kau menunjukkannya padaku?


Bukankah nona Elis menyerahkannya kepadamu?” Diandra
bertanya tak mengerti mengapa ia berada di tempat ini. “Nona
Elis memang menyerahkannya kepadaku, dan ia menyuruhku
untuk memeberikannya kepadamu.” “Ah, begitu ya? Jadi akui
harus menyimpannya dengan baik sekali.” Diandra menatap
tajam sebilah pedang yang ada di hadapannya. “Tentu saja, kau
harus benar-benar menjaganya. Karena memang hanya kau
yang memiliki kekuatan untuk menjaga pedang ini.”

Diandra merasa akan ada hal besar yang terjadi.

Jarvis mengambil sebilah pedang yang kini kedua


telapak tangan Jarvis sudah memegangnya. “Boleh aku
bertanya lagi? Dimana tempat Emeraldnya?” Diandra bertanya
tanpa menuggu Jarvis mengiyakan. “Perhatikanlah baik-baik,
lubang Emerald berada di atas pegangan bagian depan.
Lihatlah, ada semacam lempengan tipis disini, memang tak
terlalu menonjol, karena ukiran pedang yang rumit
menutupinya. Jika kau membuka lempengan ini, maka akan

117
ada lubang yang sama berukuran dengan ukuran Emerald yang
kau bawa. Seperti ini.” Diandra terdiam, takjub melihat sebilah
pedang yang sungguh indah.

Mata pedangnya berkilauan, dan terlihat sangat tajam.


pegangannya terbuat dari titan, dan memiliki ukiran yang
dialiri oleh emas. Juga terdapat beberapa intan berukuran
sangat kecil yang mengelilingi tepi pegangannya. Panjangnya
hampir melebihi satu meter, memang benr-benar pedang yang
disediakan untuk petarung-petarung besar, Kaisar Agung
misalnya.

“Jadi sampai kapan aku harus menyimpan Emerald,


juga pedang ini” jarvis terdiam sejenak sebelum memutuakan
untuk menjawab pertanyaan Diandra. “Sampai ayahku benar-
benar tak mengingikan lagi kedudukan Kaisar.” Jarvis
memandang kosong, pikirannya melayang tak tentu arah,
mungkin ia ia juga menyesali tindakan ayahnya, seperti yang
dirasakan ibundanya.

****

Diandra berjalan sangat pelan melewati ruang duduk,


semua lampu sudah dipadamkan. Ia sama sekali tak bisa
melihat dengan jelas, berkali-kali ia menginjak sesuatu yang
hampir saja membuatnya terpeleset.
118
Butuh beberapa menit waktu yang tak seperti biasanya
untuk sampai di tangga menuju kamarnya. Lampu kecil di atas
nakas, disamping sofa panjang yang menghadap kamarnya
memberi sedikit penerangan meski masih saja semua terlihat
remang-remang. Seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak di
atas sofa itu. Diandra menajamkan penglihatannya dengan
tetap menaiki tangga dalam gelap.

Ferdinand terlihat tidur sangat pulas di atas sofa


panjang, Diandra menghampirinya pelan, mencoba
memastikan Ferdinandlah yang memang sedang
diperhatikannya. Diandra menduduk, mendekatkan wajahnya
memcoba menyibakkan poni yang menutupi sebagian wajah
Ferdinand.

“Ah, lepaskan, lepaskan kenapa kau ini? Lepaskan,


atau aku akan berteriak sangat kencang, Ferdinand lepaskan
aku,” dengan cepat Ferdinand menarik tangan kiri Diandra,
sedang tangan kanan Diandra yang sedang menyibakkan
rambutnya.

Diandra sangat terkejut, sama sekali tak bisa menahan


tubuhnya untuk tetap berdiri. Dalam hitungan detik saja wajah
cantiknya benar-benar sangat dekat dengan wajah tampan
Ferdinand yang masih memejamkan mata. Diandra berusaha

119
menarik tubuhnya, tetapi kedua lengan Ferdinand
mendekapnya sangat erat, memberikan sensasi luar biasa yang
mampu membuatnya berada di ketinggian yang tak terhitung
berapa jarak jauhnya terhadap tempat berpijaknya. Nafasnya
terasa berat, tubuh Ferdinand terasa sangat hangat sekali
mendekap erat tubuhnya, memberikan kehangatan yang tak
biasa, juga memberikan sensasi luar biasa yang menjalari
seluruh ruang tubuhnya.

Berkali-kali Diandra mengerang lirih karena khawatir


bibi San dan paman Louise, mendengarnya. Karena jika
mendengar sesuatu yang tak biasa, maka bibi San juga paman
Louise biasanya akan langsung terbangun dan memastikan
sumber suara.

“Ferdianand lepaskan, sudah kubilang aku akan


berteriak jika kau tak segera melepaskanku.” Diandra
memukul-kukul lengan Ferdinand yang mendekapnya erat,
mencoba melepaskan pelukan Ferdinand. Ferdinand sama
sekali tak membalas, hanya semakin merapatkan pelukannya.

Ferdinand diam tak menjawab, kemudian membuka


seapasang mata yang memiliki pandangan tak terartikannya
malam ini. Ferdinand menatap Diandra tajam, sangat dekat,
sampai ujung hidungnya menyentuh pipi kanan Diandra.

120
Diandra memalingkan muka, tak tahan dengan tatapan tak
terartikan Ferdinand, juga terus bergerak-gerak ingin
melepaskan kedua lengan Ferdinand yang melingkari
punggungnya erat. Wajah Diandra dirasakannya memanas.

Ferdinand hanya tersenyum melihat tingkah Diandra.


“Kenapa malah tersenyum? Lepaskan aku!” Diandra tetap
memalingkan muka, melirik Ferdinand yang sedang tersenyum
juga dengan senyum yang tak teratikan. Ia juga sedikit
meninggikan suaranya di akhir kalimat yang terdengar putus
asa.

Ferdinand tak menjawab pertanyaan Diandra, juga tak


menghiraukan ancaman adiknya.

Pelan, sangat pelan, juga sangat dalam perasaan


Ferdinand yang terbawa karenanya. Terasa seperti mimpi bagi
Diandra. Pelukan Ferdinand tetap terasa hangat, messki
Ferdinand telah melepaskan sebelah tangannya yang lama
mendekap Diandra. Kemudian menyibak lembut rambut
Diandra yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Baru saja
Diandra akan melepaskan pelukan Ferdinand, tak sampai
hitungan detik bibir Ferdinand yang terasa sedikit basah
mencium hangat pipinya.

121
Ferdinand merasakan nafasnya berat sekali, pipi halus
Diandra mampu melumpuhkan seluruh saraf psikomotoriknya.
Tapi Ferdinand merasakan semuanya indah. Ia hanya terdiam
menatap sepasang mata indah Diandra yang tak juga
memandangnya. Sekejap saja ia merasa seluruh ruang
tubuhnya semakin menghangat.

Semua yang terjadi benar-benar mampu membuat


Diandra langsung tersontak melepaskan pelukan Ferdinand,
dan segera berjalan mundur menjauhinya. Ferdinand juga
tersontak karena gerakan Diandra yang begitu cepat.

Diandra akan berjalan cepat menuju ruang tidurnya


ketika sesuatu yang tergeletak di lantai membuatnya terjungkal.
Baru saja ia akan berdiri menopang berat tubuhnya saat tangan
hangat Ferdinand meraih bahunya, mengangkat tubuhnya
menuju ruang tidur, merebahkan pelan tubuhnya tanpa berkata
barang satu, dua patah kata pun. Pandangannya sudah tak tajam
menatapnya, membuat Diandra sedikit lega karena tak harus
bertatapan dengan pandangan tak terartikan Ferdinand.

Ferdinand berjalan pelan meninggalkan kamar


Diandra yang masih dalam gelap saat Diandra menyadari butuh
penjelasan logis atas semua yang terjadi malam ini.

122
“Ferdinand, mau kemana kau? Tidakkah kau ingin
menjelaskan semua ini terlebih dahulu?” Diandra tak
merebahkan lagi tubuhnya, mencoba menegaskan nada
suaranya yang memang ketegasan yang ia utuhkan saat ini.

Ferdinand hanya membalik sebentar tubuhnya, dan


tersenyum jenaka, menatap dalam sepasang mata Diandra. Dan
pada detik berikutnya ia sudah menutup rapat pintu kamar
adiknya. Diandra semakin bingung dengan tingkah Ferdinand
yang sangat aneh, ia tak habis pikit atas semua yang terjadi
malam ini. Semua terasa begitu nyata, tetapi semua juga terasa
hanyalah bagian dari sebuah ilusi.

Oxylander

Semua aktifitas di Oxylander masih sama seperti hari-


hari sebelumnya. Para pasukan pun sudah kembali menjalani
tugas masing-masig dengan penuh pengabdian. Hanya
beberapa yang mengalami luka parah saja, yang tidak
melaksanakan tugasnya seperti biasa.

Hiruk pikuk para pekerja perkebunan juga peternakan,


sama ramainya dengan hari sebelum malam kemarin dimulai.

123
Malam yang hanya meninggalkan kenangan yang sama sekali
tak indah bila dikenang.

Di kamar Oliver, Bibi Emma, pengasuh Oliver juga


Andira sejak kecil, juga merupakan tabib kastil, sedikit
disibukkan, menyiapkan beberapa perlengkapan Oliver yang
akan dibawa. Oliver memang tak memiliki banyak
perlengkapan yang harus dibawa. Karena usia Oliver yang
masih 13 tahun, jadi tak akan banyak perlengkapan yang
dibawanya.

Bibi Emma juga akan ikut bersama Oliver dan Kaisar


Agung yang mungkin akan tinggal untuk beberapa waktu
bersama Andira.

Kaisar Agung memutuskan untuk meninggalkan


Cambira, dan menyerahkan kepempinannya untuk sementara
kepada Tuan Bronthous. Meskipun berada di tempat yang
berbeda Kaisar Agung akan terus mengawasi Cambira, terlebih
lagi Oxylander.

Tertapi sudah diputuskan mereka tidak akan tinggal


bersama, hal ini akan sangat membahayakan bagi keselamatan
Andira. Karena sudah dapat dipastikan Andira adalah pewaris
tahta Kaisar agung, menggantikan ratu Lyana. Begitulah yang
tertulis di buku abdi Zaranquesta. Juga sudah diputuskan
124
mereka akan mengganti semua identitas diri masing-masing.
Karena raja Ecancher takkan berhenti sampai disini saja.
Begitulah Kaisar Agung mengatakannya.

Rumah Ferdinand

Cahaya hangat mentari menyelinap lembut menembus


korden yang menutupi seluruh permukaan pintu kaca yang
menghadap balkon kamar Diandra. Tak ada bangun pagi hari
ini, karena memang tak ada kegiaan belajat mengajar di
Roselord. Pekan awal musim panas, Roselord selalu
meniadakan kegiatan belajar mengajar.

Diandra meraih ponselnya yang tergelatak


sembarangan di ranjang. Jam digital di ponselnya telah
menunjukkan pukul 09.00. Diandra segera bangkit dari
ranjang, dengan cepat merapikan diri di kamar mandi, karena
perutnya sudah tak lagi bisa menahan untuk tidak segera
menyantap masakan pagi bibi San yang selalu saja lezat.

Diandra berjalan pelan menuruni tangga. Peristiwa


semalam berkelebat cepat memenuhi ruang pikirnya.
Membuatnya bergidik sendiri mengingat semua yang terjadi

125
semalam. Dan memutuskan semua itu hanyalah mimpi, karena
ia memang sudah sangat mengantuk malam itu.

Selama beberapa detik pandangannya sama sekali tak


fokus terhadap apa yang dilihatnya. Dan benar-benar terkejut
saat menyadari apa yang sedang menjadi objek
pengelihatannya.

Ruang keluarga berada tepat di depan undakan tangga


terakhir.

Beberapa teman laki-laki Ferdinand tidur pulas di sofa


ruang keluarga yang menghadap sebuah televisi plasma super
besar. Diandra sama sekali tak mengenali semuanya. Pintu
kamar tamu yang berada tepat di sebelah kanan ruang keluarga
juga terbuka, Diandra sedikit menengokkan pandangannya
mencobaba mengetahui siapa yang sedang tertidur pulas di
dalamnya. Dan benar-benar terkejut saat melihat dua orang
teman perempuan Ferdinand yang masih tertidur pulas. Diam-
diam Diandra bersyukur, karena mereka tak tidur pulas di
ruang keluarga bersama yang lain.

Diandra meninggalkan ruang keluarga, dan berjalan


pelan menuju ruang tamu yang kini terlihat sangat berantakan.
Berbagai macam kantong makanan plasti tak berisi berserakan
dimana-mana. Rupanya ini yang membuatnya hampir
126
terpeleset berkali-kali. Diandra tak tahu harus berkata apa atas
semua ini. Mana mungkin ia menyuruh bibi San yang sudah
pasti lelah memasak. Biasanya memang ia yang akan
membersihkan ruang tamu, ruang duduk, juga ruang keluarga
yang berada di lantai bawah sebelum pergi ke sekolah. Tetapi
kali ini semua terlihat sangat berantakan, membuatnya malas
untuk membersihkan semua.

Diandra berlalu meninggakan ruang tamu, dan


berjalan dengan kesal menemui bibi San yang pastinya sudah
menyiapkan sarapan untuknya di ruant makan. Ruang makan
rumahnya berada di balik bar kecil yang berada di ujung ruang
tamu. Ruang makan rumahnya tak bersebelahan dengan dapur,
karena ruang makan rumahnya menghadap taman yang cukup
luas di bagian belakang rumah mereka. Sedangkan dapur
berada di ujung taman bersebelahan dengan tempat
penyimpanan segala peralatan dapur yang semuanya adalah
hightec. Juga tempat penyimpanan semua bahan-bahan
memasak yang berada di ruang bersuhu tinggi.

Diandra sangat menyuka taman belakang rumahnya,


karena terdapat sebuah bungalou di tengah taman. Di
sekelilingnya berbagai macam bunga lily putih juga mawar
merah menyebar ke seluruh area taman. Sebuah kolam ikan
cukup luas dengan jembatan kayu yang sedikit melengkung
127
melintas di atasnya, juga terlihat tenang di ujung sudut kanan
taman.

Semua selalu terlihat indah, memberikan sedikit


ketenangan di hatinya.

“Bibi San,” Diandra memanggil pelan bibi San yang


mungkin sedang berada di dapur. Semua hidangan untuk
sarapan telah siap di atas meja kaca berbentuk persegi panjang
yang dilapisi alumunium disekelilingnya, juga sebagai
penyangganya. Biansanya setelah menyiapkan sarapan, bibi
San akan memasak lagi untuk sarapan para pekerja perkebunan
Strawberry yang sangat luas milik keluarga Collins yang
berada di tepi jalan ujung perumahan Morezsa.

“Ada apa?” Baru saja Diandra akan menghampiri bibi


San, saat bibi San tiba-tiba saja mengejutkannya dari belakang.
“Ah, bibi San mengejutkanku,” mereka berdua saling
melempar senyum, “apa Ferdinand sudah bangun bi?” Bibi San
meletakkan pelan kantong-kantong susu segar di dalam kardus
steril yang baru saja dikirimkan. “Sepertinya belum, teman-
teman Ferdinand juga belum ada yang bangun. Oh ya, semalam
Diandra datang jam berapa? Kenapa sampai larut belum
pulang? Bibi sampai khawatir.” Diandra menyungingkan
senyum permintaan maafnya. “Maafkan aku bi, ehm, apa

128
teman-teman Ferdinand datang sejak pagi?” Bibi San berpikir
sejenak, “sepertinya tidak, beberapa datnag saat makan siang
dan yang lain sepertinya baru datang sore hari.” Bibi San
menyunggingkan senyum tidak suka. “Oh. Baiklah aku akan
menyantap semua sarapan yang bibi buat. Terimakasih.”
Diandra mengakhiri kalimatnya dengan senyum yang sangat
manis. “Tentu saja, kau harus melahap semuanya.” Mereka
berdua tertawa riang sebelum bibi San berlalu menuju dapur.

Diandra melahap habis sarapannya membuat bibi San


tersenyum senang. Diandra memang selalu mencoba untuk
menghargai seseorang yang berjasa dalam kehidupannya.

****

Meyra berjalan pelan menaiki undakan tangga menuju


kamar Ferdinand. Mungkin Ferdinand masih tertidur pulas,
batinnya dalam hati. Semalam Meyra dan yang lain terlalu asik
menyanyi keras-keras dengan microfound yang tak lepas-lepas
dipegangnya, sampai tak menyadari Ferdinand yang
meninggalkan mereka.

129
Meyra mendorong pelan pegangan pintu kamar
Ferdinand yang memang tak pernah terkunci, dan tak
menutupnya lagi.

Diandra memutuskan untuk membersihkan ruang


tamu yang memang sangat berantakan setelah mengganti kaus
oblong yang dipakainya sejak kemarin dengan tanktop saja,
karena memang cuaca hari ini sangat panas. Baru saja ia
menutup pintu kamarnya, saat mendengar pintu kamar
Ferdinand yang sepertinya baru saja terbuka.

Ferdinand masih tertidur pulas, selimutnya terjatuh ke lantai,


satu bantalnya juga terjatuh. Meyra menghampirinya pelan,
menyibakkan sebagian rambut Ferdinand yang menutupi
wajahnya. Membuat Ferdinand sedikit terusik tidurnya.
Ferdinand memang sama sekali tak bisa diganggu jika tidur,
karena akan langsung terbangun. Tapi sekarang ia tak
membuka matanya sedikitpun, masih enggan merasakan
hangatnya sinar mentari.

Meyra terus saja membelai-belai pipi Ferdinand, dan


tertawa ringan menikmati wajah tampan Ferdinand yang tak
juga bangun.

130
Ferdinand merasakan telapak tangan lembut yang
terus-terusan menyentuh pipinya. Dan dengan cepat meraih
lengan yang mungkin sedang menyangga tubuh pemiliknya
yang berada di samping pinggang Ferdinand. Dalam hitungan
detik saja bibirnya telah menyentuh lembut bibir seseorang
yang terasa sedikit basah menyantuh bibirnya.

Ferdinand tetap saja tak membuka matanya, malah


melingkarkan pelan kedua lengannya di punggung seseorang
yang masih saja tak menjauhkan wajahnya. Lama ia rasakan
kehangatan yang dengan cepat menjalari seluruh sudut
tubuhnya itu.

Lama sebelum Meyra menjauhkan wajahnya pelan,


dan merebahkannya di dada bidang Ferdinand. Menjadikan
Ferdinand sedikit terlepas dari perasaannya yang terasa begitu
sesak. Degup jantungnya berdetak lebih cepat, melemahkan
saraf berpikirnya, ia sama sekali tak tahu harus berbuat apa?
Membuka sepasang kelopak matanya juga tak segera ia
lakukan. Sampai pada detik berikutnya ia memutuskan untuk
mengucapkan sesuatu yang mungkin bisa sedikit meringankan
perasaannya yang tak karuan.

****

131
Diandra benar-benar tak tahan lagi untuk terus-terusan
melihat objek penglihatan yang menyesakkan dadanya. Degub
jantungnya tiba-tiba saja berhenti, seakan ada sesuatu maha
besar yang menimpa tubuhnya seketika. Kali ini ia benar-benar
merasa yakin, bahwa semua hal yang semalam terjadi hanyalah
mimpi atau bahkan ilusi semata.

“Kau benar-benar ingin terus-terusan memelukku Dira?”


Ferdinand tetap tak membuka matanya, tetapi seulas senyum
mengakhiri kalimatnya terlihat sangat manis sekali. “Andira?
Kau sedang mengigau Ferdinand?” Meyra menyipitkan kedua
matanya. Ferdinand benar-benar terkejut mendengarnya,
dengan cepat ia membuka kedua matanya, dan terlonjak kaget
saat menyadari Meyra yang masih saja merebahkan kepala di
dadanya.

“Oh maafkan aku Meyra, sepertinya aku kurang tidur


semalam. Bisa kau tinggalkan aku sebentar? Nanti aku akan
segera ke bawah menemui kalian.” Ferdinand segera bangkit
dan meminta Meyra untuk segera keluar dari kamarnya. Meyra
memasang muka bingung tak mengerti.

Ferdinand segera berlari menuju kamar mandi dan


mencuci bersih wajahnya. Ia juga berkali-kali mengusap
132
bibirnya, seperti menyesali sesuatu sangat buruk yang baru saja
terjadi. Perasaan tak terlukiskannya sekejap saja meluap tak
tersisa sedikitpun.

133
SEBELAS
Pagi-pagi sekali, bahkan mentari sedikitpun belum
membagi sinar hangatnya, Jarvis sudah berada di depan
gerbang rumah Diandra juga Fedinand. Bahkan penjaga pintu
gerbang, tuan Nick masih tertidur pulas di dalam ruangannya.
Sepertinya ia sangat kelelahan karena terus berjaga. Suara
Diandra yang terdentar dari interkom menyambutnya saat
Jarvis masih akan menekan tombol interkom.

“Ada apa? Kenapa datang pagi-pagi?” Jarvis sedikit


terkejut mendengar suara Diandra yang sama sekali tak
terdengar mengantuk. “Ada yang harus segera kau lakukan.
Sudahlah, bukakan saja pintunya.” Diandra tak membalas lagi.
Pintu gerbang sangat tinggi terbuka secara otomatis di depan
Jarvis. Dengan cepat ia memasukkan mobilnya dan
menghentikannya sembarangan di halaman rumah Diandra.

Diandra sudah berada di depan pintu saat Jarvis turun


dari mobilnya.

“Ada masalah apa? Kenapa pagi-pagi sekali sudah kemari?”


Diandra langsung memburunya dengan pertanyaan begitu
mereka berdua duduk berhadapan di ruang tamu. “Semalam
bunda memberitahuku bahwa ayahanda akan segera kemari
134
untuk mencari Oryxone juga Emerald. Jadi kupikir, sudah tak
ada waktu lagi untuk berlama-lama menyimpannya sendiri.
Kita harus menyimpannya di tempat lain. Karena Ayahanda
sudah pasti mengetahui keberadaanmu.

Diandra terlihat berpikir cepat untuk segera


memutuskan tindakan apa yang harus mereka lakukan dengan
tepat. “Baiklah kita akan segera pergi pagi ini juga. Oh iya
waktu itu kau bilang nona Elis yang membawa Oryxone
kemari, apa ia masih ada disini?” Diandra bertanya
memastikan. “Ah, waktu itu aku lupa memberitahumu. Tentu
saja nona Elis masih berada disini. Pagi ini ia juga akan ikut
bersama kita.” “Begitu ya? Jadi siapa saja yang akan ikut, bisa
kau memberitahuku?” Jarvis terlihat sedikit berfikir sebelum
menjawab pertanyaan Diandra. “Anthonie juga Ferdinand tentu
juga harus ikut pagi ini. Sebaiknya kau segera membangunkan
Ferdinand juga segera memberitahu Anthonie, karena aku
masih belum pernah bertemu dengan Anthonie sampai saat ini.
“Kenapa Ferdinand juga harus ikut?” Diandra berkata malas,
sudah dua hari sejak ia melihat Ferdinand bersama Meyra,
Diandra belum pernah benar-benar berbicara dengan
Ferdinand. “Sudahlah, saat ini kau simpan dulu masalahmu
dengan Ferdinand. Yang kita butuhkan saat ini adalah
kebersamaan, juga rasa saling percaya, siapa lagi yang benar-

135
benar bisa kita percaya saat ini selain orang yang benar-benar
sudah lama kita kenal?” Diandra mengangguk pelan, ia
memang harus bisa membagi antara masalah pribadi dan
keluarga. Saat ini ia bukan anak usia 8 tahun lagi, yang
bersembunyi dari masalah seperti tujuhbelas tahun yang lalu
saat ia harus pergi bersama tuan Collins, bibi Carlotte juga
Ferdinand yang sekarang menjadi keluarga angkatnya. Saat itu
ia memang tak bisa berbuat apa-apa, tapi kini ia harus bisa. Ia
harus bisa meneruskan kejayaan dinasti Randsisz yang menjadi
penguasa tunggal di negara besar Cambira. Setidaknya hal ini
adalah langkah awak kepemimpinannya. Kaisar Agung
memang memiliki empat nyawa, tapi jika sudah waktunya, ia
akan mengalihkan kekuasaannya kepada penerus dinasti
Randsisz selanjutnya.

“Baiklah aku akan segera kembali, kau bisa


menungguku disini, atau dimana saja terserah. Oh ya, kau bisa
mengambil minum sendiri kan? Di bar ada berbagai macam
minuman, aku bisa memilihnya. Aku tak akan lama.” Diandra
berlalu dengan meninggalkan seulas senyum yang sangat
manis.

****

136
Baru saja Anthonie menutup ponselnya, Diandra menceritkan
semuanya dengan cepat. Membuat Anthonie juga harus bersiap
dengan cepat. Ia memutuskan untuk tak memberitahu siapapun
di rumahnya, karena tak ingin membuat semuanya khawatir.
Meski kakeknya sudah pasti mengetahuinya.

****

Diandra mencuci mukanya dengan cepat, ia tak


mengganti tanktop juga celana jins pendek di atas lutut yang
sudah di kenakannya dari tadi. bibi San mungkin masih
membangunkan Ferdinand, jadi Diandra memutuskan untuk
merapikan rambutnya sebelum pergi.

Diandra berlalu dengan meninggalkan seulas senyum yang


sangat manis. Ia memutuskan untuk meminta bibi San
membangunkan Ferdinand, karena masih enggan berbicara
dengannya. Ia segera memasuki kamarnya setelah memastikan
bibi San memasuki kamar Ferdinand untuk
membangunkannya.

“Ah, baiklah-baiklah aku akan segera mengganti


pakaianku.” Ferdinand berkata malas setelah mendengar
penjelasan bibi San yang tak sepenuhnya di mengerti.

137
****

Jalanan perumahan Morezsa masih sangat lengang,


lampu-lampu taman juga belum ada yang dimatikan. Sedikit
cahaya bulan masih mengintip muram, seakan tak mau berganti
tempat dengan sang mentari yang sudah pasti akan
mengalahkan cahayanya.

Semua terdiam mengamati situasi sunyi di balik


jendela. Jarvis menatap lurus jalanand Morezsa di balik
kemudi, memfokuskan penuh konsentrasinya di balik kemudi.
Di sampingnya Ferdinand duduk terdiam menatap kosong
jalanan morezsa yang juga masih kosong. Diandra duduk
tenang menyandarkan kepala ke kaca di samping kanannya,
matanya terpejam, kedua lengannya merangkul erat kedua lutut
yang diangkat menginjak bantalan kursi mobil. Nona Elis yang
berada di sampingnya, berpikir keras mencari solusi untuk
memecahkan masalah keluarga Randsisz yang ia sudah
mengabdikan hidupnya untuk dinasti ini.

Mereka akan menjemput Anthonie di pertigaan jalan


menuju rumahnya, setelah itu mereka akan bersama-sama
membicarakan dimana mereka harus menyembunyikan
Oryxone yang sebelumnya Diandra mempercayakannya

138
kepada Jarvis untuk menyimpannya, juga Emerald yang sudah
lama disembunyikannya.

Anthonie sudah berada tepat disamping Diandra yang


masih memejamkan kedua matanya. Tapi kali ini Diandra
menyandarkan kepalanya di bahu kiri Anthonie.

“Ehm, apa kalian sudah memikirkan tempat yang tepat


untuk menyembunyikannya?” Nona Elis tiba-tiba saja
mencairkan pengapuran diantara mereka. “Sepertinya aku sama
sekali tak bisa menyumbangkan ide untuk masalah ini.”
Ferdinand menjawab dengan suara terahan. “Mengapa tak
bisa? Kurasa semua harus mengeluarkan pendapatnya untuk
masalah ini?” Nona Elis berkata tegas, Ferdinand menjadi tak
enak hati karenanya, tapi ia memutuskan untuk tetap menjawab
pertanyaan nona Elis, “maafkan aku, tapi suasana hatiku
sedang buruk.” Satu kalimat tegas Ferdinand seakan hanya
tegas ditujukan untuk Diandra. Diandra hanya terdiam, tetap
memejamkan kedua matanya.

“Baiklah, aku juga tak bisa memaksakannya.


Sebenarnya aku sudah mendapatkan sebuah ide untuk masalah
ini, aku hanya belum menemukan tempatnya saja,” nona Elis
menarik nafas pelan memandang satu persatu wajah Anthonie
juga Ferdinand yang memandangnya penuh tanya, “seseorang

139
biasanya akan menyimpan sesuatu yang berharga di suatu
tempat yang sulit dijangkau, jadi kita jangan melakukan hal itu.
Kita bisa menyembunyikannya di dua tempat yang berbeda.
Jadi jika salah satunya dapat ditemukan, raja Ecancher masih
harus mencari lagi yang lain.” Nona Elis mengakhiri
kalimatnya yang disambut setuju oleh semua penumpang mobil
Audi R8 V10 milik Jarvis.

“Jadi dimana kita harus menyembunyikannya?”


Diandra tiba-tiba saja mengeluarkan suaranya, meski masih
tetap terpejam dengan menyandarkan kepalanya di bahu kiri
Anthonie. “Kurasa kalian lebih memahami negara ini, jadi
kalian saja yang memutuskan.” Nona Elis memutar pertanyaan
yang diajukan Diandra kepada yang lain. Semua terdiam
sampai akhirnya Anthonie mengeluarkan pendapatnya ragu-
ragu. “Rumah sakit bagaimana? Apa raja Ecancher bisa
menebaknya?” Semua menimbang-nimbang usulan Anthonie
dan serempak menyetujuinya saat nona Elis juga
menyetujuinya.

Mereka pun juga langsung menyetujui usulan kedua


Anthonie, yaitu rumah sakit ilon yang berada di kota Grant.
Anthonie mamang sudah pernah kesana sebelumnya, jadi kali
ini Anthonielah yang menjadi pemandu perjalanan, yang
langsung bertukar tempat dengan Ferdinand. Diandra benar-
140
benar menyesalkan hal ini. Karena ia akan semakin tak bisa
berbuat apa-apa.

Jarak anatara kota Salz dengan rumah sakit Xilon


cukup jauh, mungkin sekitar 250 km. Dan jalan yang dilalui
banyak melewati tebing dan jurang. Jadi Jarvis akan lebih
waspada terhadap apapun yang mereka temui di jalan. Dan
beruasaha agar tak ada satupun yang menginginka keluar dari
mobil, meskipun hanya beberapa detik saja.

Jarvis memeperkirakan mereka akan tiba sore hari.


Jika tak ada halangan dalam perjalanan mereka. Karena ia
merasakan sesuatu yang mungkin juga Diandra sedang
merasakanya.

****

Kaisar Agung duduk tenang di balkon ruang keluarga


yang ada di lantai dua. Tak ada yang menemaninya pagi ini,
tapi memang inilah rutinitas paginya, duduk bersanati di
balkon keluarga dengan secangkit teh hangat dan surat kabar
baru yang menemaninya.

Beberapa kali ia tersenyum, merasakan kebersamaan


cucunya yang akan menjadi penerus dinasi Randsisz. Tapi
salah satu sudut hatinya menyimpan kekhawatirannya yang

141
cukup mendalam. Ia juga tak tahu bagaimana
menyembunyikan perasaan ini, tapi ia berusaha untuk meyakini
bahwa cucu-cucunya pasti bisa.

****

Mereka hampir sampai di perbatasan kota Sals dan


Grant. Kanan kini jalan sudah mulai dipenuhi oleh tumbuh-
tumbuhan liar. Membuat Diandra bergidik, karena hanya hutan
belantara yang akan mereka lewati sebelum tiba di tepi kota
Salz, juga tak ada kendaraan lain yang sedang menggunakan
jalan. Beberapa tebing yang menanjak sangat tinggi terlihat
menakutkan. Jurang yang berada di sebelah kiri jalan juga
terlihat curam sekali, membuat Diandra sama sekali tak ingin
melihanya.

Ferdinand yang tepat berada di sampingnya sedikit


melongokkan kepala ingin mengetahui seberapa dalam jurang
di tepi jalan yang sedang mereka lalui ini.

Diandra merasakan sesuatu yang mungkin juga sedang


dirasakan leh Jarvis. Kemudian ia mengambil Oryxone yang
masih tetap tersimpan di dalam kotaknya, di jok belakang
mobil Jarvis dan memegangnya erat-erat. Kemudian
memegang kuat-kuat lengan kanan Ferdinand, dan

142
menyandarkan kepalanya di bahu kanan Ferdinand yang
membuat Ferdinand benar-benar terkejut karena itu.

“Kau sudah tak marah lagi?” Ferdinand berbisik pelan


sekali kepada Diandra. Diandra diam tak menjawab, ia hanya
semakin menguatkan pegangan tangan kirinya di lengan kanan
Ferdinand. Wajahnya menunduk dengan sepasang mata yang
terpejam. Membuat Ferdinand menjadi semakin ingin tahu apa
yang sedang menjadi beban pikiran Diandra.

“Ada apa?” Ferdinand kembali bertanya. Yang tetap


tak dijawab oleh Diandra.

Jalanan semakin menanjak, tepat di sisi kiri mereka


jurang yang benar-benar curam terlihat jelas. Tebing-tebing
sangat tinggi yang sama seklai tak terlihat indah, kini semakin
terlihat menakutkan.

Diandra semakin menundukkan kepalanya hampir di


antara ketiak Ferdinand, sebelum Ferdinand memilih untuk
memeluknya erat. Diandra merasa sangat nyaman berada
dalam pelukan Ferdinand, ia merasa bahasa kenestetik
Ferdinand mengatakan semua akan baik-baik saja. Entah apa
yang mampu memutar aturan pikir Diandra yang sebelumya
benar-benar merasa takut, juga sangat khawatir tiba-tiba saja
semua lenyap, digantikan oleh pikiran semua akan baik-baik
143
saja yang bersesakan penuh dalam benaknya. Mungkin pelukan
hangat Ferdinand mampu memberinya sugesti positif yang
memang sangat dibutuhkan saat ini.

“Pastikan semua pintu terkunci dengan benar.” Suara


Jarvi terdengar tegas membelah kesunyian yang sudah lama
mereka ciptakan. Untuk sampai di kota Grant, kita masih
membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga jam lagi. Jadi
lebih baik semmua tidur atau apalah yang bisa membuat kalian
tenang. Setelah ini kita akan melewati jalan berkelok yang
sanga terjal, jadi bersiaplah. Semua pintu harus benar-benar
terkunci, semua sabuk pengaman juga harus dipakai dengan
benar.

Diandra sedikit meregangkan pegangannya, kali ini ia


telah bersiap diri atas segala sesuatu yang tak bisa kita hindari
ketentuannya.

Selama beberapa detik mereka terdiam, sedikit


menhan nafas menikmati mobil Jarvis yang sedang menanjak
dalam kelokan jalan yang sangat menakutkan.

“Oh ya, nagaimana keadaan kakek disana?” Anthonie


tiba-tiba bertanya, membuat semua ketegangan yang berhasil
diciptakan situasi sedikit terlupakan karena pertranyaan tiba-tia

144
Ferdinand yang membuat semuanya harus mencari jawaban
untuk pertanyaan itu.

Jarvis sebenarnya mengetahui bagaimana keadaan


kakeknya dengan pasti, tapi ia msih terlalu menfokuskan
seluruh pikirannya untuk mengemudi dengan benar. “Kakek
akan selalu baik-baik saja, tak usah menghawarirkan hal itu.”
Diandra menjadi penjawab tunggal yang memang bisa
memberikan jawaban dengan pasti.

Anthonie terlihat lega mendengar jawaban Diandra


yang terdengar sangat tenang.

Situasi dalam mobil Jarvis kembali sangat tenang.

“Ah, mengapa menjadi seperti ini? Dari mana mereka


semua datang?” Nona Elis benar-benar terkejut melihat
sekawanan orang berpakaian hitam yang kini telah
menghadang tepat di depan mobil Jarvis. Semua juga terkejut,
tak menyangka akan mendapat penyerangan secepat ini.

Nona Elis berpikir cepat, memutar strategi untuk


segera bisa meloloskan diri dari kepungan sekawanan orang
berpakaian hitam yang sudah dapat dipastikan mereka semua
adalah orang-orang bayaran raja Ecancher. Semua berpikir

145
keras mencoba mencari jalan keluar atas penyerangan yang
sama sekali tak mereka duga akan datang secepat ini.

Baru saja nona Elis akan mengatakan sesuatu untuk


menyelesaikan masalah yang tiba-tiba saja muncul ini,
sekawana orang berpakaian yang lain datang dan menghadang
mobil Jarvis bagian belakang. Mereka sama sekali tak bisa
berkutik, jalan satu-satunya untuk keluar dari kepungan orang-
orang bayaran ayahanda Jarvis adalah melupakan keberadaan
mereka, dan terus melaju menindas semua sekawanan orang
berpakaian hitam yang saat ini ada di depan mereka.

Tapi tak mungkin seorang yang baru akan menginjak


usia 18 tahun melakukan hal buruk seperti itu.

Sekali lagi semuanya berpikir cepat, tapi sepertinya


memang tak ada lagi jalan keluar yang mau menghampiri
mereka, bahkan bersimpangan pun sepertinya enggan.

Diandra tertunduk lesu, tak tahu harus berbuat apa,


tangan kanannya menggenggam erat Oryxone yang berada di
dalam kotak kayu penuh ukiran. Sedang Ferdinand
menggenggam erat telapak tangan kiri Ferdinand yang terasa
dingin.

146
Anthonie juga terduduk pasrah menerima segala hal
terburuk yang mungkin saja terjadi. Jarvis terlihat sangat
kebingungan di balik kemudi, berkali-kali ia menginjak pagas
mobil, tapi selalu urung untuk dijalankan.

Nona Elis duduk terdiam mengamati semua orang


bayaran raja Ecancher. Semua orang itu juga diam, tak ada
yang berkutik satu pun, atau bahkan sekedar memberi
komando untuk segera menyerang. Nona Elis mengira-ngira
mereka hanyalah orang-orang bodoh yang memang ingin
mendapatkan uang. Mereka sepertinya juga tak akan
menyerang, mereka terlihat seperti sedang menunggu.

Ya, mereka memang sedang menunggu, mereka


sedang menunggu raja Ecancher yang belum juga nampak
sedari tadi. Nona Elis memangdang berkelilig, memastikan
bahwa raja Ecancher memang tak berada di sekitar mereka.

Nina Elis tersenyum penuh kemenangan. Sebuah ide


terlintas dengan cepat dalam benaknya.

“Baikalah, kita memang tak akan mampu mengalakan


semua orang ini. Tapi kita bisa pergi dengan cepat, kau teobos
saja mereka, mereka tak akan berani berdiam diri jika mobilmu
bergerak. Mereka pasti akan menyisih.” Nona Elis berkata
dengan cepat kepada Jarvis yang masih menatap tajam wanita
147
berusia 37 tahun, yang masih belum juga berpasangan itu.
Jarvis mengerti, setidaknya ia sering menonton adegan-adegan
seperti ini di film action.

Jarvis menginjak pegas mobilnya kencang, dan


dengan cepat dapat membelah orang-orang berpakaian hitam
yang tadi berada tepat di depan mobilnya.

Dugaan nona Elis tepat sekali, mereka akan langsung


menyisih, begitu Jarvis menginjak kencang pegas mobilnya.
Dan dugaan pertama nona Elis juga sama sekali tak meleset,
mereka hanyalah orang-orang bodoh yang hanya akan
bertindak atas komando raja Ecancher. Mereka sama sekali tak
bisa berpikir tindakan apa yang benar-benar harus segera
mereka lakukan.

“Tindakan anda benar nona, terimakasih.” Diandra


menyunggingkan senyumnya yang sangat manis. “Tak
masalah, sudah menjadi tugasku sejak dulu.” Nona Elis juga
menyunggingkan senyumnya, terlihat sangat berwibawa.

Jarvis mengemudikan mobilnya sangat kencang,


berusaha meninggalkan semua orang bayaran raja Ecancher.

****

148
Raja Ecancher sangat marah, ia sangat kecewa
terhadap semua orang bayarannya. Benar-benar tak bisa
berpikir dengan cepat. Raja Ecancher memutar otak untuk
segera menemukan cara merebut Oryxone juga Emerald.

****

Diandra menjerit histeris saat beberapa orang bayaran


raja Ecancher memukul keras Anthonie yang baru saja turun
dari mobil. Beberapa orang yang sedang berlalu lalang di area
parkir rumah sakit Xilon menatap ketakutann, dan dengan
cepat berlari meninggalkan area parkir tumah sakit karena
khawatir akan terlibat dalam masalah yang sudah dapat
dipastikan rumit.

Mobil Jarvis berhenti di area parkir rumah sakit Xilon


yang berada di bawah bangunan utama rumah sakit. Tak ada
banyak orang yang sedang berlalulalang di area parkir bawah
tanah rumah sakit Xilon. Karena kebanyakan orang lebih
senang memarkir kendaraannya di area parkir, tepat di depan
lobi rumah sakit Xilon.

Jarvis segera berlari mencoba membantu Anthonie.


Diandra juga nona Elis tetap berada di dalam mobil menahan
histeris ketakutan. Ferdinand juga tak turun dari mobil,
mencoba mereka-reka kemungkinan terburuk jika Diandra
149
hanya ditemani nona Elis yang sudah dapat dipastikan tak
mungkin dapat menghalau serangan seorang diri.

Diandra terisak, menahan dalam isakan tangisnya. Ia


sama sekali tak tahu harus berbuat apa. Anthonie terus
mencoba untuk bangkit saat beberapa orang kembali memukul
keras rahang kanannya. Seseorang di belakangnya juga baru
saja memukul keras tengkuk Anthonie, menambah rasa sakit
yang memang sudah benar-benar terasa sakit.

Jarvis berusaha keras berkali-kali memukul salah


seorang yang sedang berusaha mengakhiri nyawa Anthonie.
Orang-orang bayaran ayahandanya benar-benar tak punya hati,
pikirnya sengit. Begitu juga dengan ayahandanya, yang begitu
silau oleh keindahan dunia fana. Yang sama sekali takkan
membawa kebahagiaan untuk selamanya.

Anthonie sudah benar-benar tak berdaya, orang-orang


bayaran raja Ecancher berkali-kali memukulnya. Darah segar
mengalir dari sudut kanan kiri bibirnya. Jarvis juga sudah tak
tahan lagi, ia sudah tak bisa menopang berat tubuhnya lagi.

Diandra menberanikan turun dari mobil dan baru akan


berlari menghamburkan diri ke arah Anthonie saat Ferdinand
menarik erat lengannya. Nona Elis juga segera turun dari mobil
menyusul Diandra dan Ferdinand. Diandra menangis histeris
150
melihat Anthonie dan Jarvis yang sama sekali sudah tak
berdaya, tetapi orang-orang bayaran raja Ecancher tetap saja
memukuli mereka.

“Ah,” tiba-tiba saja salah seorang orang bayaran raja


Ecancher memukul keras tengkuk Ferdinand juga nona Elis,
membuat keduanya langsung tersungkur tak sadarkan diri tepat
di samping Diandra. Diandra benar-benar terkejut, juga benar-
benar marah melihat semua orang bayaran raja Ecancher yang
kini tertawa senang penuh kemenangannya.

Raja Ecancher berjalan pelan menghampiri mereka,


dibelakangnya seorang lelaki bertubuh tinggi juga berjalan
pelan mengikutinya, mungkin usianya sekitar akhir 40 tahunan.
Sedikit lebih muda dari raja Ecancher yang berusia di awal 50
tahunan.

Wajah Diandra memanas, sepertinya hanya amarah


dan benci yang kini menguasai hatinya. Oryxone yang tak lagi
dalam kotak penuh ukirannya kini erat dipeganggnya. Mata
pedang Oryxone berkilauan diterpa sedikit sinar mentari yang
menyusup halus melalui celah-celah fentilasi udara area parkir
tersebut.

Semua orang-orang bayaran raja Ecancher dengan


cepat mengelilingi Diandra yang kini hanya seorang diri.
151
“Sebenarnya apa yang kau inginkan? Bukankah kau hanya
menginginkan pedang ini? Mengapa kau juga ingin membunuh
membunuh kami semua?” Diandra bertriak sangat lantang,
nada suaranya terdengar tegas, sama sekali tak ada keraguan
yang terdengar. “Ah, rupanya kau sudah besar nak,” raja
Ecancher berjalan pelan menghampiri Diandra, dengan senyum
licik yang tersungging dari bibirnya. Diandra semakin geram
melihatnya. “Aku takkan menyakiti kalian semua jika kau
memberikan Oryxone juga Emerald sekarang juga kepadaku.
Diandra tak langsung menjawab, dilihatnya seseorang yang
berjalan tepat di belakang raja Ecancher tadi membisikkan
sesuatu kepada raja Ecancher, yang kemudian disusul
senyuman licik oleh keduanya.

Diandra terdiam, menatpa lurus keduanya, mencoa


mencari cara untuk tak menyerahkan Oryxone ke tangan raja
Ecancher yang sudah pasti akan membunuhnya saat ini juga
setelah mendapat semua yang diinginkannya. “Baiklah, aku
akan menyerahkan Oryxone juga Emerald kepadamu, tapi kau
harus melepaskan Anthonie juga Jarvis.” Raja Ecancher lagi-
lagi berjalan pelan menghampiri Diandra, dan berhenti di jarak
2 m dari Diandra. “Tentu saja aku akan melepaskannya
untukmu, aku juga tak akan menyimpan lama-lama sampah

152
yang tak berguna ini.” Diandra menahan geram atas apa yang
baru saja memenuhi indera pendengarannya.

Seorang laki-laki yang tadi berjalan di belakangnya


kini tepat berada di samping raja Ecancher. Semua orang
bayaran raja Ecancher pun praktis mengelilingi Diandra.

Diandra tak mungkin lari untuk menyelamatkan diri.


Karena yang harus dilakukannya saat ini bukanlah berlari,
tetapi harus tetap bertarung sampai mati. Ia sama-sekali tak
merasa takut, yang diingatnya hanyalah ibunda juga
ayahandanya. Dan kali ini adalah kesempatannya untuk
membalas dendam semua yang telah dilakukan raja Ecancher
kepada keluarganya di masa lalu.

Diandra berjalan mendekat, meletakkan pelan


Oryxone di lantai. Masih dekat dengan tempatnya berpijak.
Raja Ecancher juga berjalan menghampiri, kemudian sedikit
membungkuk untuk memungut Oryxone yang tergeletak di
lantai saat, Diandra dengan cepat menginja pegangan pedang
Oryxone yang kemudian membuat mata pedang Oryxone
terangkat.

Diandra segera meraih pegangan pedang Oryxone, dan


dengan cepat melakukan sedikit gerakan memutar yang sering
dilakukan para penari balet dengan mata pedang yang
153
mengarah pada semua orang bayaran raja Ecacher. Praktis
semua dada mereka terluka, mengeluarkan banyak sekali darah
karena memang mata pedang Oryxone yang sangat tajam.
kemudian tanpa menghentikan gerakannya terlebih dahulu,
Diandra menghunuskan keras mata pedang Oryxone yang tepat
mengenai dada raja Ecancher sampai ujung mata pedang
Oryxone menembus dadanya.

Diandra benra-benra telah melakukannya, semua


orang bayaran raja Ecancher satu pun tak ada yang hidup, juga
raja Ecancher, yang sudah dapat di pastikan akan
menghembuskan nafas terakhir saat itu juga.

Diandra segera berlari, memeluk erat-erat Anthonie


yang benar-benar sudah tak berdaya. Anthonie segera
tersenyum sangat bahagia dengan sedikit kesadaran yang masih
tersisa, saat Diandra erat memeluknya.

154
DUABELAS
“dan semua akan berakhir indah, jika melakukannya dengan
penuh keindahan yang terpatri indah pula”

155

Anda mungkin juga menyukai