Olivia D. Purba
1|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
(Seluruh isi dari tulisan ini adalah karya asli dari Olivia D. Purba)
2|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Hidup Dani, seorang siswa SMU di Jakarta, agak berubah akhir-akhir ini.
Tepatnya semenjak kedatangan Miki, sepupunya yang cantik, dari Australia. Pasalnya
Dani sudah delapan tahun tidak bertemu dengan sepupunya yang blesteran Indo-Prancis-
Australia ini. Bersama Miki setiap hari sambil menemani hari-hari liburannya di
bersama Miki. Kenangan manis yang tidak dapat terhapus dari ingatannya. Ia sempat
kesal ketika menyadari bahwa Andre, saingannya dalam perbutan jabatan ketua OSIS di
sekolahnya tengah mendekati Miki. Suatu saat Dani pun sadar bahwa ia mencintai
sepupunya ini. Lebih jauh lagi, ternyata Miki juga memiliki perasaan yang sama dengan
Dani. Namun mungkinkah hubungan cinta dibina dengan saudara yang masih memiliki
hubungan darah? Akan tetapi cinta memang tidak mengenal rintangan, mereka bertahan
melanjutkan perasaan mereka meskipun terpisah oleh jarak. Namun, tiba-tiba saja sebuah
surat tua menyadarkan bahwa mereka tidak akan bisa terus bersama. Kenyataan yang
tertulis dalam surat itu menguak kemungkinan bahwa mereka adalah saudara kandung
membuat keduanya begitu syok! Sebenarnya apa rahasia yang disimpan oleh orangtua
mereka puluhan tahun yang lalu? Mampukah cinta mereka mengalahkan segala rintangan
dunia?
3|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Prolog
4|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
orang pria muda yang usianya terpaut tidak begitu jauh sedang berdiri
ujung satunya lagi. Pria yang satu lagi ini sedang memakai kaus
oblong dan celana bahan. Berbeda dengan pria yang satunya lagi, pria
ini menatap dengan pandangan mata sayu. Seperti ada rasa bersalah
di bawah sisi meja, dan begitu pula halnya akan gelas dan sendok.
Kedua pria itu masih terus bertatapan. Akhirnya pria yang memakai
meter dari posisinya. Pria yang satu lagi hanya menatap, terus
5|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
perlahan.
“Dik… kau lihat ini, Dik?” tanya pria itu sambil menunjukkan
sebuah cin-cin perak yang melingkar di jari manis tangan kirinya. ”Dik,
aku sudah bertunangan dengan Anya, Dik. Itu cuma cerita lama, Dik.
Dan aku tidak bermaksud merahasiakannya padamu.” Ujar pria itu lagi
dengan memelas.
sekitarnya.
Bukan Dik.” Pria yang satu ini terus memelas dan berusah menahan
menetes melalui sobekan kulit di telapak kakinya. Pria yang satu lagi
masih terus menggeleng. Hingga ketika pria yang sedari tadi terus
berbicara berada cukup dekat dengannya, pria yang satu lagi beranjak
Tapi pria itu pergi dengan membawa seserpih dari puing yang
6|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sore ini kedatangan tamu membuat Mama sangat sibuk menyiapkan segala sesuatunya:
membersihkan ini, membersihkan itu, membereskan barang-barang, mempersiapkan ruangan, dan lain
sebagainya. Mama juga telah memasak berbagai jenis makanan. Aku merasa seperti akan diadakan suatu
perjamuan besar saja di rumah ini. Aku sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu tenang. Bingung
entah kenapa aku jadi sedikit nervous. Bukannya biasanya kalau ada tamu yang datang, aku calm down
saja? Baik tamu itu datang dari negeri antah berantah ataupun dari sebelah tembok dinding alias
tetanggaku. Bukannya tamu ini cuma saudara dekatku yang sudah mengenal sifatku secara mendalam
dari kecil? Bukannya ia cuma saudara dekatku yang biasa saja? Apakah mungkin karena aku sudah tidak
bertemu delapan tahun dengannya? Atau mungkin karena dia telah datang jauh-jauh dari luar negeri,
dari Australia? Ah, sudahlah! Aku tidak mengerti. Lagipula kenapa aku harus bingung memikirkan itu.
Lebih baik aku sekarang memikirkan tentang proposal saja. Proposal yang harus ku buat untuk
memuaskan keinginan teman-temankuku agar aku ikut dalam pencalonan ketua OSIS. Bingung juga
kenapa harus aku? Aku sendiri masih ragu apakah aku harus benar-benar mengajukannya? Karena
sebenarnya aku tidak merasa mempunyai kelebihan khusus ataupun pribadi berkepemimpinan yang
7|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
mantap untuk menghimpun teman-teman di sekolah. Aku kan cuma Dani. Aku cuma pelajar SMU biasa-
biasa. Mungkin beberapa orang beranggapan aku anak yang baik dan ramah. Tapi, apakah modal
friendly ku ini saja cukup untuk mengatur kegiatan seisi sekolah? Ah, aku semakin bingung.
Tlit…tlit...tlit…pada saat pikiran Dani menerawang, tiba-tiba terdengar bunyi lagu standart
ponsel dari sumber bunyi yang tergeletak di depan meja belajarnya. Ia kemudian melirik sekilas,
“Napa Chik?” tanya Dani dengan suara beratnya begitu membuka flip ponsel clamshall
“Gak kok. Gue lagi bengong gak jelas aja, ada apa?”
“Gak, cuma mau ingatin aja soal pemilihan ketua OSIS-nya itu. Gue baru dapat kabar kalau
proposalnya harus ada CV lo yang jelas. Tadi ada kakak kelas yang laporin ke gue sekaligus nanyain lo.
Terus lo tahu gak, banyak yang bilang lo asli masuk dalam kategori ideal sebagai seorang ketua OSIS.
Ditambah lagi banyak anak kelas satu dan dua yang dukung lo.”
“Ya ampun Dan, lo kok kayak gak niat gitu? Semangat donk! Gue yakin kok lo pasti bisa, lo kan
cukup populer di sekolah. Secara lo The Best Capture klub fotografi kita…hehehe..” tawa Friska. Ia
“Biasa aja kok Chik, gue cuma lagi bimbang buat ngambil keputusan. Gue takut gak bisa
mengatur waktu dengan baik. Lagian sebentar lagi kita udah kelas tiga, gue pengennya lebih serius
8|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Dani!” tiba-tiba teriakan Mama yang masih terkesan lembut terdengar dari arah ruang tamu.
“Ok deh.”
“Apa?”
“Dani…..!!!” Mama memanggil kedua kalinya dengan nada yang lebih tinggi.
“Iya Mama, tunggu sebentar…” teriak Dani sembari menjauhi ponselnya.”Ingat tugas Kimia kita
besok dikumpul lo, jangan sampai telat lagi kayak kemaren ya Chika. Gimana sih, masak ketua kelas
kerjanya gak siap tugas melulu.” ledek Dani diselingi sedikit tawa ringan.
“OK, Sip Bos…!” balas Friska dengan nada sok tegas “Lo udah ingatin itu ke gue dua hari yang
lalu.”
Klik.. tut..tut..tut… Dani meletakkan gagang teleponnya setelah mendengar bunyi saluran ponsel
“Enggak, Mama cuma mau nanyain kamu aja. Kamu ingat kan sebentar lagi Om Rio dan
anaknya mau datang ke Jakarta?” Mama bertanya sembari membetulkan posisi meja diruang tamu.
“Iya.”
“Mama mau minta tolong sama kamu, dua hari lagi Om Rio tiba di Jakarta, jadi kamu temani
mereka jalan-jalan ya? Mama tahu akhir-akhir ini kamu sibuk dengan kegiatan kamu di sekolah, tapi gak
9|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
ada salahnya meluangkan sedikit waktu untuk Miki. Kamu udah lama kan gak main bareng lagi
dengannya kan? Kalau gak salah udah delapan tahun ya dari semenjak dia berangkat ke sana.”
Deg! Seketika itu juga jantungku seperti berhenti berdetak. Begitu Mama menyebutkan nama
Malam telah larut, lampu-lampu malam berpijar menghiasi tiap sudut kota. Malam selalu hadir
dengan kesunyian, namun malam segera berlalu dan pagi pun datang dengan terang fajar yang
menghangatkan tiap raga manusia. Pagi ini Dani sekolah seperti biasa. Langit masih mendung dan angin
dingin menusuk dibalik seragam sekolahnya. Langit seperti ini selalu menimbulkan rasa kelabu dalam
Udah hampir delapan tahun gak bertemu dengannya. Jujur saja aku rindu padanya. Mungkin dia
sekarang udah berubah ya? Terakhir bertemu sewaktu dia masih berumur delapan tahun. Pasti banyak
yang udah berubah. Aku rindu sekali dengannya. Selama ini hanya bisa berhubungan lewat chatting atau
telepon dan itupun jarang. Sesungguhnya aku tidak sabar lagi ingin bertemu dengannya.
“Doar…” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing lagi menyadarkan Dani dari lamunannya.
“Pagi-pagi udah ngelamun, ntar kesandung batu lho.” ejek Friska dengan senyuman lebarnya.
“Hei Chika! Gimana tugas lo, udah selesai lum?” balas Dani berkata dengan menyeringai
sembari mengacak rambut sobatnya ini dari belakang sebagai sebuah tanda persahabatan.
“Udah donk, kan udah diingatin kemaren. Hehehe..” jawab Friska. Setelah itu, selama beberapa
detik mereka berjalan menuju gerbang sekolah dengan diiringi diam. Tiba-tiba Friska teringat sesuatu
10 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Festival apa?” tanya Dani sembari mengerutkan keningnya, dicobanya mengigat sesuatu hal
“Festival musik sekolah kita!” seru Friska dengan nada agak tinggi seperti hendak menyadarkan
Dani akan hal yang sangat penting. “Bukannya lo ikut salah satu seksinya? Kok lo lupa sih?”
“Ya ampun!” seru Dani sambil menampar keningnya. “Gue ingat, tapi gak ingat kalau
festivalnya itu minggu depan! Gimana ya? Padahal gue udah janji ama Nyokap. Duh…” Dani langsung
“Om ama sepupu gue mau datang kesini, liburan gitu. Gue udah janji ama Nyokap mau nemenin
sepupu gue selama liburannnya di sini. Duh, gimana ya? Gue jadi bingung ni. Gue gak mungkin asal
ninggalin festival itu juga kan? Lagian gue masih punya tanggung jawab ngawasin jalannya acara.”
“Lo gak biasanya Dan keteteran gini. Lagi banyak pikiran ya? Gini aja, gimana kalau kamu ajak
“Ha??”
“Ayah… ayah… akhirnya suratnya datang, Ayah saya berhasil, saya lulus! Lihat…
lihat… di sini tertulis Rio Haryono. Ayah, saya berhasil Yah, Ayah!!!” teriak Rio sembari
berlari menyusuri tiap sudut rumah. Ia menaiki tangga dengan diikuti semua penghuni
11 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ada apa Rio?” tanya sebuah suara berat dari dalam kamar. Setelah mengangkat
cerutunya, pria itu kemudian keluar dari kamar emasnya. Sekilas dapat dilihat
kewibawaannya dibalik tubuh tegap yang sudah kropos, hasil perjuangannya di masa lalu.
”Liat Ayah, liat!” seru Rio antusias sembari membukakan selembar kertas yang
telah kusut teremuk. Seisi rumah menjadi heboh mendengar suara teriakan Rio. Tidak
luput juga Bibik kesayangan keluarga ini, yang telah mengabdikan hampir separuh dari
“Saya berhasil masuk universitas di Australia, saya bisa melanjutkan studi saya ke
luar negeri Ayah! Luar biasa kan, Yah?” Meskipun pria tua tadi hanya menganguk-anguk
tenang, namun dalam hatinya tertuang begitu banyak perasaan yang bercampur-aduk.
Tangannya terbujur kaku memandangi selembar kertas itu, dirasakannya waktu terhenti
dalam benaknya. Disaat seisi rumah melompat kegirangan akan berita menggembirakan
“Jadi, dia pergi juga ya, Yah?” ucap sebuah suara sembari memberikan sehelai sapu
tangan kepada pria tua di sebelahnya yang terlihat lara. Sambil menerima sapu tangan
yang melambai-lambai terhembus angin itu, pria tua itu memandang jauh ke arah
pesawat terbang yang meluncur pesat meninggalkan landasan. Setelah beberapa saat, ia
“Dia anakku, anak kesayanganku. Aku tahu aku akan jarang bertemu dia lagi. Akan
sangat susah bagiku bertemu dengan anak bungsuku yang manja, tumpuan harapanku.”
lelaki tua itu berusaha menahan tangisnya yang akhirnya menetes juga. Tangisan pria tua
selalu berbeda dengan tangisan-tangisan lain. Tangis yang berisi pengalaman yang penuh
akan suka dan duka dunia, akan pahit dan manisnya hidup, akan asinnya garam dunia.
12 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ayah tenang saja Yah, masih ada aku. Aku gak akan ninggalin Ayah, aku janji akan
selalu menemani Ayah dan ada di samping Ayah.” timpal pria muda itu sembari menepuk
Lelaki tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah anaknya yang satu ini
dengan air muka yang penuh haru dan senyuman getir, penuh usaha penghiburan diri
sendiri.
Sore yang cerah, angin berhembus begitu lirih dimusim penghujan ini. Entah kenapa sore ini
berbeda dengan biasanya. Biasanya di sore seperti ini, hujan akan turun membasahi sudut-sudut kota
walaupun hanya gerimis sejenak. Sebenarnya sore ini Dani hendak bersantai-santai di luar, ada
keinginan dalam dirinya untuk duduk sebentar di bangku taman yang sudah berkarat itu sambil
menikmati hembusan angin serta merasakan helai dedaunan yang masih hijau segar jatuh tertiup angin
dan menepis wajahnya. Hanya saja, ia terlalu lelah setelah melakukan tanggung jawab dan aktivitasnya
hari ini di sekolah. Kepalanya yang terasa berat seperti menuntunnya langsung menuju bantalnya di
sudut tempat tidur kamar. Pada akhirnya ia memutuskan untuk langsung saja berjalan kerumah daripada
sekeliling rumah.
“Mama...?!” ucapnya sekali lagi, kali ini lebih mirip kata tanya daripada seruan. Ia
memerhatikan sekelilingnya, seperti ada keganjialan dalam rumah ini. Biasanya rumah ini akan selalu
hangat menyambut kedatangannya. Mama yang perhatian selalu menunggu kehadiran seisi rumah
13 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
dengan kelembutan, memberi segala kerpeluan yang mungkin dibutuhkan dengan tangan penuh kasih.
Berhubung ibunda Dani tidak memiliki pekerjaan di luar rumah dan hanya bekerja sebagai ibu rumah
tangga biasa, secara tidak langsung membuat dirinya memiliki banyak waktu yang bisa diluangkan
“Bik..” panggil Dani lagi. “Bik…” kali ini dengan nada yang lebih panjang.
Kemudian ia hanya terdiam di tengah ruang tamu, terbujur kaku melihat pemandangan sekitar.
Isi kepalanya mulai berputar, tanggannya mulai dingin. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri
walaupun sebagian dirinya galau akan segala keanehan ini. Ia kemudian mulai memperhatikan tirai putih
jendela yang melambai terhembus angin. Keganjilan ini makin nyata baginya mengingat bagian jendela
itu jarang dibuka. Hal ini disebabkan jendela itu langsung menghadap ke arah jalan blok, sehingga abu
dengan mudahnya dapat masuk kedalam. Walaupun masih ada pembatas berupa taman kecil
dipekarangan depan, namun asap knalpot serta truk-truk tua yang mengangkut pasir dan tanah bangunan
dari toko pertukangan beberapa blok dari rumah mereka tetap saja dapat menimbulkan polusi ringan
dalam ruangan yang sangat dijaga sehigenis mungkin oleh ibu yang mantan perawat itu. Dani kemudian
berjalan perlahan mendekati tirai yang terhembus oleh angin semilir sore. Ia berjalan semakin dekat dan
semakin dekat menuju tirai itu. Terdengar dentuman suara langkah kaki berjalan dengan sepatu sekolah
yang belum dibukanya sedari tadi. Terasa getaran langkahnya yang berjalan semakin dekat dan semakin
Deg… Deg… Deg… kini bisa dirasakannya jantungnya semakin berdegup sementara berbagai
bayangan aneh mulai terbesit dipikirannya, langkahnya mulai tegang mengikuti logikanya. Semakin
dekat dan…
14 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sraaaaaapppp… tirai dibukanya dengan cepat. Kosong! Tak ada apa-apa, hanya jendela yang
terbuka. Namun sekilas kemudian, tersingkap bayangan yang hendak mendekatinya dengan gerakan
begitu cepat. Ia hendak mengelak namun sudah terlambat, dia sudah tidak dapat menghindar lagi dan…
“Doar!!!!!” kejut suara itu dengan nada tinggi sembari mendorongkan kedua tangan kecilnya di
punggung Dani. Dani terhuyung sebentar dan dengan segenap usaha koordinasi keseimbangan
“We meet again…” ucap suara itu, memberikan jeda nada lalu memiringkan kepalanya. “..Dani.”
lanjutnya.
Dani hanya terdiam, tekejut dan terpaku pada posisi tegapnya semula. Matanya sampai tidak bisa
berkedip. Pikirannya berputar dengan ingatan masa lalu. Bayangan hitam putih yang memilukan
hatinya, yang membawa dia pada kerinduan. Kerinduan yang tiba-tiba saja datang kepadanya. Kini
hitam putih itu menjadi nyata, menjadi spektrum penuh warna disekitarnya, dihadapannya tepatnya.
“It’s been a long time I’m not seeing you, ” ucap suara ini lagi dengan nada sayup-sayup suara
kecilnya “I miss you so much.” lanjutnya sembari berjalan cepat ke arah Dani, memeluk tubuh sekitar
lehernya dan tiba-tiba saja mengecup pipi kanannya, sangat dekat ke bibir.
“I miss you so much my brother… Dani.” ucapnya dengan posisi tetap memeluk Dani,
menyandarkan kepalnya ke bahu Dani, tersenyum dan memejamkan matanya untuk menikmati saat-saat
langka itu.
Dani masih membisu dan tidak tahu lagi berbuat apa. Jantungnya semakin berdegup kencang
melebihi yang tadi dirasakannya. Akhirnya dengan nuraninya ia membalas memeluk gadis ini dan
membelai punggungnya dengan sedikit keraguan. Sementara gadis itu dengan segala kegembiraannya
menghentakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri yang secara tidak langsung menggerakan juga tubuh
15 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Suasana saat itu sangat klasik. Sinar mentari yang terbenam masuk melalui celah-celah tirai
jendela yang terus bergoyang dihembus angin sepoi. Mereka berdua berpelukan, mengayunkan tubuh
mereka, dan melepas segala rindu yang terpendam. Masih dalam posisi memeluk tubuh Dani dan masih
Dani tidak bisa membalas satu kata apapun. Hanya tetap memeluk dan membelai tubuhnya, kali
ini tanpa keraguan lagi. Ia menatap ke langit-langit rumah dengan pandangan kosong. Ia menghela nafas
“Yakin Pa, Miki gak apa-apa ditinggalin di rumah sendiri? Kita belum ada bilangin ke Dani lho
“Gak apa-apa kok Ma, lagian Miki sendiri kan yang ngotot gak mau diberi tahu.”
“Habisnya mau gimana lagi, Miki maksa sih. Katanya pengen cepat-cepat ketemu sama Dani.
Dibiarin aja lah Ma, lagian masih ada Bibik kok di rumah.”
“Iya ya, anak itu mirip sekali dengan Ibunya. Keras kepala gak ketulungan.” ucap suara lain yang
berada di sisi depan bangku mobil sambil tertawa khas orang tua.
“Hahaha… kamu sadar juga ya? Mungkin itu bukan karena faktor genetik, mungkin kamu saja
yang terlalu memanjakkannya Rio. Hahaha…” balas pria yang berbicara tadi. Ia sedang duduk di bagian
“Ah, kamu bisa aja.” timpalnya lagi kali dengan menyeringai lebar.
16 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dan seisi mobil tertawa membayangkan bagaiman reaksi putra-putri mereka yang tengah
“Ya sudahlah Pak, sekarang kasih tahu dulu sopirnya yang mana jalannya ke rumah tua kita itu.”
“Hoi Daniel, apa kabar Man?” tanya Joe sewaktu keduanya berjalam masuk menuju
ruangan kelas. Joe adalah teman satu kelas Dani yang sekaligus sahabat Dani.
“Sehat Bos!” seru Dani sembari membalas jotosan tangan temannya, khas anak SMU.
“Lho, mata loe kok bengkak gitu? Ada lingkaran hitamnya lagi. Loe pasti kurang tidur
buat nyiapin bahan buat propososal ketua OSIS ya? Ceile… yang mau jadi ketua OSIS…” ledek Joe
sembari tertawa lebar yang disusul beberapa anak kelas lainnya yang tak sengaja mendengarkan
pembicaraan mereka.
“Enggak kok! Kemaren saudara gue baru datang, jadi gue semalam kurang tidur.” jawab
Dani sembari berjalan menuju ke kantin usai mengantarkan tasnya. Keduanya terus berbicara sambil
berjalan.
“Emang loe bareng saudara loe tu ngobrol semalaman?” tanya Joe yang menyusul Dani
dari belakang.
17 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“A… gua tau, pasti saudara loe tuh cewek kan? Yang umurnya gak jauh sama umur loe
kan?”
Glek… Uhuk… seketika itu juga Dani tersedak kopi yang baru aja dihirupya.
“Ya tau lah. Ingat man, kita ini sobatan, udah sekelas dua tahun. Mana mungkin gua gak
kenal elo. Lagian akhir-akhir ini gua ngerasa pikiran loe agak kacau. Bukannya selama ini loe orang
paling teratur yang pernah gue kenal. Biar loe tau ja ye, si Andre saingan loe dalam hal perebutan tahta
ketua OSIS, udah mulai menjalankan aksi kempanye tersembunyinya dari kemaren-kemaren hari. Kalo
loe masih dalam posisi bimbang gini, gue gak yakin loe bisa ngalahin dia.” Joe bercerita panjang lebar
Dani hanya terdiam mendengar tanggapan temannya ini, tetap dengan memegang gelas
Kring…kring… terdengar suara lonceng berdering yang selalu memaksa setipa murid di
terasa ya festival musik kita itu udah dekat?” Joe memulai pembicaraan lagi selama di jalan kembali ke
dalam kelas.
“E, loe jangan lupa bawa cewek elo ya pas festival, sekalian elo kenalin ke kita-kita.” Joe berkata
sembari menaik-naikkan kedua alisnya. Kini mereka berdua telah sampai di dalam kelas dan duduk di
18 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ah, yang benar aja lo. Katanya lo sobatan ama gue dua tahun. Lo kok gak tau gue gak punya
“Yaelah.. mana gua tau. Bisa aja kan elo diam-diam udah punya cewek. Gimana sih lo, bagi-bagi
“Ah lo bisa aja. Gue gak ada.” Dani membalas perkataan Joe sambil senyum. Sejenak kemudian
“Elo serius ya sampek sekarang belum punya cewek?” tanya Joe lagi penasaran. Dipandanginya
“Ah payah loe, Dan. Padahal cewek-cewek udah pada ngantri di hadapan loe. Malah loe sia-
siain. Kalau gua jadi loe, gue pasti udah terkenal sebagai si Mr.Don Juan sekolah.”
Sambil mendongkakkan tubuh Joe dengan kepalan tinju tangannya, Dani berkata “Ah, lo bisa aja
Joe.”
“Ok..ok.. man, gini aja,” ucap Joe dengan mengangkat kedua belah telapak tangganya kedepan,
kearah dada, seperti dalam posisi ingin menyerah.”..lo pokoknya janji harus bawa satu cewek kefestival
musik ini ya? Gue gak mau tau, atu aja. Gue gak peduli deh mau dari adek kelas, kakak kelas, dari
sekolah lain, emak kribo, tante-tante atau siapa aja, yang penting satu orang doang. Supaya gue gak
“Hahaha… gampang la man. Gue juga sebenarnya udah berencana sih. Kebetulan elo ngingatin
gue.”
“Ok.. sip man. Ketemu di lapangan dua hari lagi dengan bawa cewek masing-masing.”
Keduanya pun tertawa mengakak namun sejurus kemudian mereka berdua dan seisi kelas hening
sebab guru Kimia yang hendak mengajar pagi ternyata telah sedari tadi masuk kelas dan baru saja
19 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
melemparkan sebatang penghapus papan tulis tepat di meja Joe yang kemudian memantul ke atas meja
Dani.
di- Jakarta
Salam hangat,
Hallo Kak, apa kabar sekeluarga? Kabarku disini baik-baik saja. Tidak terasa ya sudah enam bulan aku
meninggalkan rumah itu. Aku kangen dengan keadaan rumah yang hangat, dengan masakan Bibik yang lezat,
kangen juga akan gurauanmu yang khas, tapi terutama kangen dengar nasehat-nasehat Ayah. Bagaimana kabar
Kak, sejujurnya aku ingin Kakak tahu perasaanku tentang betapa kwatirnya aku akan keadaan Ayah. Aku
tahu hatinya masih sangat menderita sepeninggalan Ibunda beberapa tahun yang lalu. Aku sadar mungkin aku
egois meninggalkan dia pada saat-saat dirinya masih rapuh. Tapi ini kesempatan yang jarang bagiku dan
mungkin tidak selalu bisa kudapatkan. Aku ingin Kakak bisa menggantikan peranku untuk membantu Ayah dan
menopangnya agar dapat bangkit dari kesedihan. Tidak seharusnya ia terlarut dalam kesedihannya itu. Kisah lalu
biarlah berlalu, biarlah lembar baru terbuka untuk menutup segala luka-luka hati yang lama. Karena lembaran
hari terus berganti, dan tidak seharusnya disia-siakan dengan renungan dan tangisan duka.
Oya, aku ada kabar bahagia di sini. Aku bertemu dengan seorang gadis cantik, teman sekampusku. Dia
baik dan lembut sekali. Benar-benar tipe yang selama ini kita idam-idamkan. Dia bukan seperti aku, orang
Indonesia yang melanjutkan studinya di luar negeri. Ya, dia kita sebut orang Barat, lebih tepatnya peranakan
Prancis-Australia. Aku sekarang sudah lumayan dekat dengannya, tapi katanya ia masih butuh waktu untuk
20 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
menjalin ikatan denganku. Itu bukan suatu masalah besar bagiku, karena suatu hari aku yakin dia pasti bisa
menerimaku.
Kakak dan Ayah kapan datang ke sini? Aku tidak sempat berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat ini,
Kak. Selain uang kiriman Ayah tidak mencukupi, aku juga memiliki banyak kegiatan di sini yang tidak mungkin
Salam hangat,
(Rio T)
“Ngomong-ngomong Dan, loe kok ngeliatin cewek yang di panggung itu mulu sih? Loe naksir
ya? Atau jangan-jangan itu gandengan loe? Ha… ya kan? Gua bener kan? Itu pasti gandengan loe yang
“Eh.. bukan.”
sesosok gadis yang tengah asyik menyanyikan lagu-lagu asing namun tidak asing di telinga.
“Cantik ya!” seru Joe yang nadanya lebih mirip suatu pertanyaan yang ingin meyakinkan. Tanpa
21 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“He-eh.” Pikiran Dani masih berputar dan tidak terfokus pada pertanyaan-pertanyaan Joe.
Ia tidak berubah, masih tetap banci panggung seperti waktu masih kecil. Ia senang sekali tampil
di depan Mama dan Papa sambil menyanyi riang. Dan semua orang akan tetap berkata kalau dia cantik.
“Iya, tapi….” sebelum Dani menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja muncul seseorang yang
“Hoi Dani! Joe!” panggilnya. Pria ini kemudian berjalan mendekati kedua orang itu.
“Datang juga lo, Dan. Gue kira lo gak datang, soalnya gue dengar dari Friska, lo lagi sibuk akhir-
akhir ini.”
“Ya gue sempatin la datang, gak mungkin dong gue lepas tangan dari tanggung jawab gue. Bisa-
“Hahaha…bisa aja lo. By the way, lo datang berdua neh? Mana cewek-cewek lo? Hati-hati, ntar
lo dikatain hombreng lho. Sekarang aja mulai terhembus gosip-gosip tak jelas sejenis itu. Ingat Dan, kita
Joe tidak bisa mengelak karena ia gagal membawa serta seorang gadis ke festival itu meskipun
“Bareng siapa?”
“Bareng…” Namun sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba muncul seorang
22 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hai Dani, How’s my song?” Ia pun menghampiridengan langkah lincah sembari tersenyum
lebar. Gadis itu menerobos masuk kedalam kelompok yang sedang asyik berdiskusi itu. Ketiga pria itu
terdiam dengan ekspresinya masing-masing. Andre tersenyum setengah hati dan tidak tahu berbuat apa.
Sementara yang lainnya terbengong seperti baru saja melihat mujizat dihadapannya.
“Ehm…,” sentak Dani, berusaha memecahkan perhatian mereka. “Kenalin, ini sepupu gue.”
Beberapa detik kemudian uluran tangan itu pun disabut, disusul dengan sebentuk suara, “Andre.”
Sekilas dan cepat tidak ada yang menyadari apa yang terjadi. Tangan Miki tiba-tiba saja telah
berada di bahu Andre dan dengan cepat ia mulai merapatkan pipinya ke kanan dan ke kiri. Spontan
Andre terkejut, mukanya memerah dan ia terbengong heran. Begitu pula dengan kedua pria yang sedari
tadi masih mematung di sana. Mungkin tradisi yang biasa bagi Miki berkenalan dengan cara begitu,
namun tidak bagi sebagian besar orang Timur. Sejenak kemudian, perhatian Miki tertuju pada teman
“Miki!” serunya lagi dengan senyuman lebar yang sama dan tangan yang terjulur panjang.
“Joe.”
Sebelum kejadian tadi terulang lagi, Dani dengan sigap menghadang tubuh Joe dengan sebelah
tangannya dan maju melangkah menyisip kehadapan Miki, diantara Miki dan Joe.
Miki hanya diam saja, celingak celinguk melihat kelakuan sepupunya yang satu ini. Hanya
dengan dalam sepersekian detik, pehatiannya beralih pada aksesoris dan pernak-pernik yang dipajang
tepat beberapa meter di balik tubuh Dani dan Joe yang kini berdiri sebaris seperti hendak mengikuti
barisan Paskibraka.
23 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Wah… ada barang bagus. Miki mau lihat, Miki mau!” serunya ringan dan ceria seperti yang
tadi-tadi. Ketiga pria yang dari tadi mendapat terapi syok melihat kelakuan gadis itu, masih tetap
mematung dan membujur kaku di posisinya. Menyadari tidak ada yang mengikuti langkahnya dari
Joe dan Andre masih tetap di tempat semula dan akhirnya tersadar ketika beberapa orang teman
mereka memanggil-manggil nama mereka dari kejauhan. Meskipun begitu, perhatian mereka masih di
tujukan pada Dani dan Miki yang telah sibuk melihat-lihat barang-barang yang diobralkan di bazar
sekolah.
“Wah… imutnya. Ini keren sekali!” ucap Miki ketika melihat sebuah gelang bernuansa etnik.
Tidak jauh berbeda dengan reaksi Joe dan Andre, para penjaga stand bazar hanya terbengong
melihat kelakuan gadis ini. Tidak jelas heran karena apa. Apakah karena pada saat Miki melafalkan kata
‘keren’ lebih mirip kata ’keyen’. Sebab ia sendiri tidak begitu fasih menggunakan intonasi konsonon ‘r’
dalam bahasa Indonesia. Atau karena bentuk fisiknya yang jarang dijumpai di lingkungan itu, lebih
tepatnya di Indonesia. Tentu saja ia memukau semua orang dengan rambut hitam panjang mengkilat
sepinggul, mata yang bulat namun membiru alamiah seperti warna laut dan tanpa efek kontak lens,
tubuhnya yang kecil mungil, bentuk wajah tidak seperti bangsa keturunan Mongoloit pada umumnya,
sebaliknya tulang wajahnya lonjong dan bersiku cenderung seperti bangsa Kaukasoit, bibirnya yang
Kenyataannya tidak hanya Joe, Andre dan penjaga stand itu yang bereaksi seperti itu. Seisi
penonton serta pengisi acaranya sekalian yang melihat Miki dan Dani sedang berjalan, tidak dapat
menyembunyikan rasa heran mereka. Seperti berucap dalam hati “Dari mana panitia memesan malaikat
24 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
untuk mengamankan jalannya acara ini?” atau “Peri dari mana yang di doakan panitia agar turun
menangkal hujan demi kelancaran acara?” Walaupun kedua kalimat itu terdengar berlebihan, namun
kurang lebih seperti itu lah yang mungkin terbersit dari pikiran orang-orang itu bila melihat sendiri
ekspresi mereka.
“Dan, kalau di ingat-ingat lagi, kayaknya gue gak asing deh ama muka sepupu lo.” Joe berbisik
di telinga Dani.
“Dia kan…”
“Wa… Dani ini bagus ya!?” pekik Miki sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya.
“Mas, ini harganya berapa?” tanya sebuah suara di belakang. Itu Andre! Ia kemudian menjuntai-
“I’ll take it for you,” ujar Andre. “For such a beautiful girl.” lanjutnya.
“Surprise!!!!” kejut sebuah suara ketika Rio sedang membuka pintu flatnya. Ia
benar-benar terkejut melihat sesuatu yang ada di hadapannya. Ia terpelongo selagi satu
“Baik, kamu apa kabar Richard?” balasnya bertanya setelah sadar dari
keterkejutannya. Kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar flat yang sesak dan
25 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Jadi, kenapa tiba-tiba datang kesini?” tanya Rio setelah mengisap kopi dingin
“Tentu saja karena kangen denganmu. Lagipula Ayah memintaku untuk meninjau
keadaanmu di sini.”
“Sebegitunya kah?”
“Hm…” jawab Richard cuek sembari meyeduh kopi dengan karamel yang masih
“Gimana kuliahmu di sini?” tanya Richard lagi. Nada bertanyanya terdengar bukan
sekedar basa-basi
“Baik.”
“Udah dapat pacar?” tanyanya lagi. Mendengar pertanyaan itu, Rio menunduk
malu. Canggung dengan pertanyaan itu, ia kembali mengambil cangkir kopinya dan
“Kenapa kamu gak jawab pertanyaan tadi? Dari suratmu itu sepertinya kamu
terbang ke seorang gadis. Gadis yang manis sekali. Gadis yang membuatnya berdebar
setiap mengingatnya.
“Ah kamu Rio, jangan menyimpan sesuatu dari aku. Aku bisa membaca
“Hahaha…,” spontan Rio tertawa lepas.”Iya Richard, aku sampai lupa kalau kamu
“Ahahahaha…”
yang cerah sebagai penutup hari itu menjadi saksi kehangatan keduanya.
26 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Mama… kami pulang!” teriak Dani sembari masuk ke dalam rumah. Dibukakannya
“Wah, rumah jadi rame ya semenjak kedatangan kalian berdua?” ujar Papa yang saat itu
“Iya Pa, gak terbiasa kayak gini kan? Soalnya selama ini rumah biasanya kosong. Kita
bertiga sibuk dengan urusan masing-masing.” Dani menanggapi perkataan Papa. Saat itu ia telah duduk
di sofa sambil mengamati tingkah laku Miki yang sedang asyik menyomoti makanan yang terhidang di
ruang makan.
27 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Tiba-tiba jadi rame gini, syok juga ya?” lanjut Mama sambil membantu Bik Inem menyiapkan
makan malam.
“Ya dinikmati aja lah. Kita juga gak bakalan lama disini.” sambung Om Rio yang juga sedang
duduk-duduk di sofa. Suasana di ruangan itu begitu hangat kala itu. Seluruh keluarga berkumpul di
ruang tengah yang hanya disekati dengan lemari kaca ke arah dapur.
“Ya, kira-kira dua atau tiga hari lagi. Aku masih banyak kerjaan di sana. Nanti aku titipkan Miki
“Kok cepat banget Pa?” protes Miki. Ia kemudian menjilat sisa-sisa makanan di jari-jarinya.
“Urusan Papa kan udah selesai di sini, Ki. Kamu nanti bareng Dani aja biar gak bosan.”
“Oiya Rio, gimana akhirnya soal rumah itu?” tanya Papa ke Om Rio begitu teringat segala
‘urusan-urusan’ orangtua.
“Miki, naik yuk.” Pinta Dani ke Miki diluar pembicaraan kedua orang tua mereka.
Di dalam kamar Miki, diam-diam Dani memperhatikan wajah Miki. Diamatinya perubahan yang
ada dalam diri gadis ini. Miki memang telah menjelma jadi gadis dewasa yang cantik.
“Hm…?” Miki melihat ke arah Dani, tampaknya ia kurang mendengar perkataan Dani barusan.
Dani menundukkan wajahnya mendekati wajah Miki yang sedang duduk di atas sofa kamar.
Dihapusnya dengan tangan bekas karamel yang menempel di dekat wajah Miki. Ditatapnya wajah gadis
“….”
28 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“….”
Miki terdiam, Dani pun demikian adanya. Keduanya hanya saling berpandangan.
“Hm..?” Dani mengerang dengan nada sebuah pertanyan, “Déjà vu?” tanyanya.
“….”
“Waktu di taman itu. Aku bawa es cream besar banget. Terus karena aku takut es nya mencair
aku makan es krim-nya banyak-banyak. Eh, gak tahunya jadi celomotan deh, terus Dani yang mengelap
“….”
Dani masih terdiam. Iya, dia ingat saat itu. Mana mungkin dia lupa. Waktu itu dia mengelap
wajah Miki yang belepotan dengan lengan kemejanya yang berwarna putih. Es krim itu dia yang belikan
ke Miki. Sebab waktu itu Miki tidak berhenti menangis karena ditinggalkan Om Rio.
“Kamu ingat Dani?” tanya Miki. Dimiringkannya kepalanya ingin memastikan Dani.
“Eh Dani, kamu masih nyimpan foto-foto kita dulu gak? Foto waktu kita masih kecil? Aku
“Iya, masih disimpan Miki. Ada dikamarku. Kamu mau lihat, Ki?”
“Lho, bukannya kamu udah selalu lihat ya? Kamu kan juga punya separoh foto waktu kecil kita
yang kamu bawa ke Aussie.” kata Dani ingin menjahili sepupunya ini.
29 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Mau lihat?”
“Iya!”
“Mau ?”
“He-eh.”
“He-eh?”
“Ih, Dani!!” Miki berteriak sambil melemparkan bantal ke arah Dani. Dengan segera Dani berlari
Gebruk… gebrak... terdengar suara gerupuh dari atas loteng rumah yang sebagian besar terbuat
dari kayu itu. Tak lama kemudian suara itu disusul oleh suara tawa yang meledak.
“Aduh… aduh… ributnya...” Mama seolah-olah berbicara sendiri dari ruang tamu, karena tidak
mungkin si biang keributan ‘Dani dan Miki’ dapat mendengar keluhan Mama dari jarak segitu.
“Hahaha… nikmati saja dulu Ma keadaan rumah kita yang seperti ini” ujar Papa yang masih
“Iya..iya..”
“Ahahaha..”
Ketiga orang tua itu pun saling tersenyum hangat menikmati keadaan itu.
Zzzt… terdengar suara dengkuran keras dari arah kamar. Malam semakin larut, bintang mulai
tampak banyak bermunculan. Miki dan Dani tertidur dalam kamar itu. Tidur dalam satu selimut di
bawah lantai dengan ditemani tumpukan foto-foto lama yang dirawat dengan baik. Keduanya tampak
lelap dengan senyuman dalam tidur masing-masing. Terlelap setelah lelah tertawa dan bercerita akan
ingatan masa lalu. Tidurlah… biarkan kenangan manis mewarnai tidur kalian masing-masing. Biarkan
30 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
ingatan yang indah menjadi mimpi dalam tidur kalian. Dan biarkan sinar rembulan yang menjadi saksi
indahnya hari yang kalian alami tadi. Biarlah.. biarlah menikmati semuanya sebelum badai datang dan
Melbourne kota yang multietnik dan penuh dengan wisata alam yang
menghibur jutaan wisatawan yang tiap tahun datang menyemarakkan kota ini.
Dan di kota ini juga lah aku jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis yang cantik
sekali. Ia tinggal tidak berapa jauh dari apartemenku. Dia gadis yang ceria dengan
Kebaikannya itu pulalah yang meluluhkan hatiku. Pertama sekali aku bertemu
dengannya, aku sudah dapat merasakan pancaran kebaikannya. Waktu itu musim
panas dan terik sekali di Melbourne. Aku menenteng topi baseball serta bolanya
digenggamanku. Setelah tidak beberapa jauh aku berjalan, tanpa sengaja aku
jaraknya jauh dari dia, meskipun aku tidak mengenalnya, dan meskipun begitu pun
halnya dengan dia tidak mengenal aku, namun dia begitu baik. Dengan tulus
berikannya topi itu padaku. Seketika itu juga aku jatuh cinta padanya.
31 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oh… Ho.. udah siang ya?” jawab Rio pada kakaknya. Matanya masih
“Hem… iya, tapi kalau tidurnya nyenyak kayak gini, aku jadi malas ke
tubuh.
“Mimpi tentang gadis yang sedang membuatku jatuh cinta.” jawab Rio.
“Ma… pigi dulu ya?” teriak Dani sambil berlari menuruni tangga. Mama yang sedang
“Wah… mau pergi ke mana lagi ni?” tanya Mama dengan nada mengejek.
“Ke mol tante!” jawab Miki yang tiba-tiba muncul dari atas tangga.
32 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Yoa.” Jawab Dani dengan gaya cueknya sambil diputar-putarkannya kunci mobil.
Didalam mobil Dani berkonsentrasi pada jalanan sementara Miki asyik mengguman
sendiri dalam suatu irama lagu di i-pod nya. Sekilas Dani menatap Miki, berusaha membaca bahasa
“Miki, udah nyampe ne, turun yuk.” pinta Dani begitu memarkirkan mobilnya.
“O… ya udah,”
Miki dan Dani pun berjalan beriringan ke arah sebuah mol. Dan seperti biasa beberapa
pasang mata melirik ke arah Miki sewaktu gadis itu berjalan. Tentu saja dengan rambut hitam yang
panjang lurus, dagu lancip dan mata biru laut yang dalam serta segala kecantikannya yang lain, begitu
“Ki, masuk yuk. Itu ada toko bagus.” ujar Dani sembari menunjuk ke arah gerai pakaian.
33 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hm...” jawab Miki mengiyakan. Ia kemudian melompat riang masuk ke dalam toko
tersebut.
Di dalam toko, Dani terlihat begitu asyik melihat-lihat aksesoris yang dipajang. Mungkin
karena terlalu lama atau tidak tertarik dengan isi toko tersebut, Miki melangkah keluar dari toko tersebut
dan berjalan-jalan sendirian di sekitar toko tersebut. Perhatiannya beralih ketika ia melihat sebuah toko
kaset yang besar. Dan tanpa ragu ia melangkah masuk. Dengan teliti di pandanginya kaset-kaset yang
berjejer dari A sampai Z. Karena telinganya tertutup earphone, ia menjadi kurang peka pada orang-
orang sekitar yang sedang memperhatikannya. Ia pun tidak sadar bahwa ada seseorang sedang berdiri
tepat di sampingnya. Fan dalam beberapa detik mereka pun bertubrukan ringan.
“Ups, sorry.” jawab pria tersebut. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada
tumpukan kaset, namun seperti menyadari sesuatu ia tersentak dan memandangi Miki lama sekali. Miki
yang menyadari pandangan itu kemudian balas memandangnya. Untuk beberapa detik mereka terdiam
sambil berpikir.
“Miki?”
“Temannya Daniel?”
“O iya iya, Andre ya?” Miki menganguk-anguk sambil melepaskan earphone yang
melekat di telinganya.
“Lihat-lihat aja.”
“Sendiri?”
34 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“O…”
Pip..pip piririp.. tiba-tiba ponsel Andre berbunyi, pertanda pesan masuk. Sebentar Andrew
merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya. Setelah sejenak diliriknya maka dimasukkannya
“HP nya bagus.” puji Miki dengan lafal H dan P yang aneh.
“Oh ini?” kata Andrew sambil mengeluarkan kembali ponselnya. Andrew tersenyum
“Tapi lebih bagus lagi kalau ada nomor kamu.” katanya sambil menyeringai lebih lebar.
“Gak bisa.”
“Jadi?”
“Why?”
“Hmm…” Miki memutar-mutar bola matanya mencari alasan. “I wan’t to choose my own
number.”
35 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hehe..” Miki pun ikut tertawa garing melihat Andre tertawa. Miki tidak sadar bahwa selagi ia
asyik berbicara dengan Andre, Dani yang sedari tadi bingung karena tidak melihat wajah Miki, sedang
sibuk mondar-mondar di depan toko kaset itu tanpa menyadari Miki sedang berada di sana.
“Begini aja, ntar aku beli nomor, terus aku ngubungin kamu. Deal?”
Setelah berkata seperti itu, Miki celingak-celinguk ke arah luar toko kaset untuk mencari
“Dani kemana, kok ninggalin kamu lama banget?” tanya Andre begitu melihat wajah
“Gak tahu, tadi masih asyik milih-milih baju disini. E, Aku pergi dulu ya cari dia.”
“Apa?”
Hampir sekitar lima belas menit keduanya mengitari serta masuk ke dalam beberapa toko yang
ada di situ hingga akhirnya ia mendengar panggilan dari operator meja informasi lewat speaker.
“Panggilan ditujukan kepada saudari Milcy Daniella. Kedatangan Anda di tunggu oleh saudara
Mendengar panggilan itu, keduanya pun turun lewat esklator menuju meja informasi. Andre
yang berjalan beriringan dengan Miki tidak dapat berhenti memusatkan pandangan matanya pada gadis
ini. Terkadang kalau Miki menoleh padanya, ia akan berpura-pura sedang melihat sessuatu.
36 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Di sisi lain, Dani saat itu terlihat sekali tidak tenang. Ia sedari tadi mengotok-ngetokkan jarinya
di atas meja informasi. Kakinya berusaha didiamkannya, namun tetap bergoyang tidak tenang. Hingga
ketidaksabarannya itu berubah menjadi keterkejutan ketika mendapati Miki berdiri sejajar dengan Andre
“Dari toko kaset.” jawab Miki datar dan tanpa nada bersalah.
“Heehh, anak ini.” geram Dani sambil menepuk-nepuk kepala Miki dengan lembut.
“Dani, kamu berterimakasih donk ama Andre. Tadi dia udah niat buat ngantarin Miki lho.” Miki
memotong pembicaraan keduanya. Dani diam sejenak dan menatap lama ke arah Miki.
“Thanks buat ngantarin.” Akhirnya Dani mengalah, terdengar nada bicaranya agak terpaksa.
“Yuk, sama-sama.” jawab Andre datar. Sebelum membalikkan badan ia sempat mengucapkan
“Miki.. I’ll wait.” U\ujarnya sambil menirukan bentuk telepon dengan tangan kanannya.
Matanya mengerdip.
“OK.” jawab Miki dan membalas Andre mengerdipkan matanya juga. Spontan Dani gelisah
Muka Dani langsung cemberut saat itu juga. Ia tidak suka Miki merahasiakan sesuatu dari
37 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sementara itu, si penjaga meja informasi yang sedari tadi berdiri di situ dan mendengar semua isi
“Kak Richard, aku mau berangkat ke kampus. Kalau kakak masih capai,
istirahat dahulu saja di flat. Nanti kalau kakak bosan, kakak bisa nyusul aku ke
“Ergh…” pria yang di ajak Rio berbicara mengerang dari balik selimut di
dalam kamarnya.
“Kak, jangan lupa ya Kak, datang ke kampus. Banyak yang mau kutujukkan
seutuhnya sadar dari alam mimpi. Meskipun terburu-buru, Rio menyempatkan diri
masuk ke dalam kamar lagi untuk menghampiri Richard, kakaknya itu. Diguncang-
“Kak, hari ini ada pekan kebudayaan lho di kampus, jadi kakak bakal nyesal
kalau gak datang.” katanya lagi, setelah itu dia langsung berlari menghamburkan
38 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
langit-langit kamar tidur cukup lama. Setelah itu dia bangkit dari tempat tidur, di
dapur dan diseduhnya teh dengan air panas. Ia berpikir sembari memandangi
tinggal di tempat seperti ini. Setelah bosan, ia berjalan menuju balkon dan di
Dari balkon flat yang berlantai dua itu, pemandangan Melbourne di musim
dingin terlihat begitu indah. Ini pertama sekalinya bagi Richard datang ke Australia
dan dia cukup kagum akan semua keunikan tempat itu. Richard memandangi
orang-orang yang hilir-mudik pagi itu sambil sesekali dihirupnya teh hangat dari
cangkir di tangannya. Hampir semua orang yang lewat mengenakan mantel yang
tebal. Salju tipis belum turun pagi ini, namun tumpukan salju yang turun kemarin-
melaluinya. Richard terus memerhatikan orang yang lewat di jalan. Ada yang
berjalan dengan cepat dan terburu-buru, namun ada yang lambat sambil
menikmati suasana pagi. Ada yang berjalan bersama-sama dan ada juga yang
sendiri. Dan mereka semua berjalan dengan ekspresi yang berbeda-beda. Richard
Tiba-tiba mata Richard terpaku pada sesosok gadis yang tengah berjalan
sendirian. Gadis ini memakai mantel merah yang mencolok. Kedua tangannya di
masukkannya ke dalam mantel itu. Selain itu, ia juga memakai topi hangat serta
sepatu bot berbahan beludru yang berwarna sama. Sebenarnya tidak ada yang
aneh dalam penampilannya, hanya saja dia berjalan begitu anggunnya sehingga
39 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
memang gadis asing biasa, namun seperti ada sesuatu yang berbeda daam dirinya
“Miki, apa sih yang tadi kamu rahasiakan?” Dani kembali bertanya penasaran dengan segala
Awalnya Miki tidak berniat merahasiakannya ini namun melihat rasa penasaraan Dani, ia jadi
“Iya.”
Sewaktu Dani tengah melekatkan telingganya ke Miki, Miki yang mengatupkan tangannya di
“HWA!!!”
“Auch..”
“Ahahaha…” Miki masih tertawa. Tampaknya kelakuan jahilnya tidak berubah dari kecil.
“Ah, curang!”
40 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Yach… Dani ngambek!” Miki meledek Dani. Raut wajah Dani terlihat begitu jelek, bibirnya
sedikit di kedepankan dan alisnya berkerut. Dani tidak berniat menunjukkan perasaan hatinya, namun
ekspresinya muncul begitu saja karena Dani memang orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan
hatinya. Miki diam sejenak melihat Dani, kemudian ia menyerah dan mulai mengaku.
APA? Menghubungi Andre? Hati kecil Dani berteriak, dia tidak terima ini. Mikinya yang lucu
“Terus mau jalan.” jawab Miki datar sambil memandang ke arah depan, ia tidak peduli dengan
tanggapan Dani.
“Hah, kemana?” Kali ini Dani tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.
“Mm…?” Miki tersentak sebenar heran akan reaksi Dani. “What’s wrong?”
“Em..em… enggak, aku cuma mau tahu aja,” elak Dani berusaha untuk menghilangkan
“Miki juga gak tahu pastinya. Hm… yang penting jalan-jalan.” jawab Miki tanpa peduli reaksi
Dani.
“O…ngapa…”
“Look at that, Dani!’ sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, Miki sudah terlebih
dahulu berteriak ketika melihat ke arah penjual es krim keliling. “Dani, Dani, belik yuk!” bujuk Miki
sambil menarik-narik lengan Dani lalu menunjuk-nunjuk ke arah penjual es krim itu.
41 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Minggu yang cerah buat jalan-jalan, pikir Dani. Hari minggu ini Om Rio balik ke
Australia lagi. Katanya ada bisnis yang gak bisa ditinggalkannya. Om Rio memang punya jabatan
penting di salah satu perusahaan export-import yang berafiliasi di Indonesia, jadi wajar kalau dia sangat
sibuk. Jadi sehabis ngantar Om Rio ke Bandara, rencananya aku pengen ngajak Miki jalan-jalan. Satu
harian jalan bareng Miki: nonton, ke mol, nonkrong. Wuah rencana yang mantap, guman Dani dalam
hati.
“I’ll take care.” Kemudian Om Rio mengalihkan pandangannya pada pria yang berdiri di
samping Miki.
“Ya Om?”
“Tenang aja Om. Aku pastiin liburan satu bulan Miki bakal jadi pengalaman berharga.”
Wing… pesawat pun terbang meninggalkan debu-debu yang terbawa angin. Aku menatap Miki
yang memandang jauh ke arah pesawat. Aku tahu sekali ia tidak suka terbang. Waktu kecil, ia selalu
membawa obat penenang kalau terbang. Apalagi semenjak tragedi itu, ia tidak pernah lagi terbang. Tapi
ia suka melihat pesawat terbang. Apalagi ketika burung besi itu take off. Ia jadi bisa melihat dengan
seksama. Aku lihat rambutnya yang panjang sepinggul terbang melambai terbawa angin. Pemandangan
42 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
yang begitu sejuk. Rasanya aku ingin lebih lama seperti ini. Ketika mata biru Miki kosong dan bibirnya
“Dani..” Miki memanggil Dani tanpa menoleh kepadanya. Panggilan itu menyadarkan Dani dari
khayalannya.
“Ya?”
“Layang-layang yang kita mainin kemarin, masih aku simpan di rumahku,” Kemudian Miki
memiringkannya lehernya agar dapat dipandangnya Dani dengan tatapan yang dalam. “Aku simpan di
Mendengar pernyataan itu, Dani hanya bisa diam. Ditatapnya gadis itu terus, namun
pikirannya terbang ke alam lain. Semua ingatan-ingatan masa kecilnya terkumpul jadi satu.
“Hum… Dani kita jalan-jalan yuk?” pinta Miki dengan nada yang riang. Sambil beranjak
“Terserah kamu aja. Tapi kita makan dulu ya?” pintanya lagi sambil tersenyum lebar dan
mengadah ke arah Dani. Dani yang agak jangkung dengan tinggi sekitar 180an cm sementara Miki yang
hanya 160an cm membuat Miki selalu harus mengadah ke atas bila ingin melihat wajah Dani dengan
jelas.
Sewaktu berjalan ke luar bandara, tanpa mereka sadari beberapa orang melihat ke arah mereka.
Ada yang hanya melirik sekilas dan ada yang terang-terangan memelototi mereka berdua. Miki memang
cantik. Samar terdengar seseorang berbisik dalam gerombolannya, “Cocok ya pasangan itu?”
Tampaknya Dani mendengar perkataan itu. Ia melirik sejenak ke gerembolan itu dan
tersenyum.
43 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Aku bawa I-pod lho!” seru Miki ceria ketika berada di dalam mobil.
“Ada musik apa aja sih di I-pod kamu?” tanya Dani sambil tetap berusaha
memperhatikan jalan.
“Oya?”
“Hm... iya.”
“Masi’ suka Beautiful Girl?” Dani bertanya sambil berkonsentrasi mengemudi, sesekali
“Hehehe… iya.” Iya, mana ada yang ku lupa darimu, sebut Dani dalam hati.
Dani terdiam, teringat lagi ia akan kejadian itu. Delapan tahun lalu, begitu berita
kematian Ibu Miki santer terdengar, Miki begitu syok. Ia menangis seharian di dalam kamar. Kamarnya
selalu terkunci. Bahkan Om Rio sendiri tidak diizinkan masuk. Selama seminggu setiap pulang sekolah
aku selalu berdiri di depan kamarnya menunggu ia keluar dari kamar. Namun kamarnya selalu terkunci.
Ia hanya membuka pintu kalau ingin mengambil makanan yang diletakkan Bibik di depan kamarnya. Ia
bahkan sempat dua hari tidak makan. Waktu itu aku khawatir setengah mati. Hingga satu hari, aku
melihatnya bersandar di bawah pohon sambil kedua kupingnya ditutupi earphone. Aliran musik yang
berputar di Walkman-nya semakin menyayat hatinya. Samar-samar aku bisa mendengar alunan lagu itu.
Itu adalah lagu ‘Beautuful Girl’ yang dinyanyikan Jose Mari-Chan, lagu kesukaan Mamanya. Dari jauh
aku bisa melihat air mata jatuh dari pelupuk matanya. Rasanya aku ikut sedih. Aku tidak ingin melihat ia
menangis. Aku sama sekali tidak ingin melihat ia menangis. Melihat itu, aku memberanikan diriku
mendekatinya. Ia hanya terdiam begitu melihatku berdiri di hadapannya. Setelah lama terdiam dan
44 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
hening, ia kemudian menawarkan sebelah earphone-nya padaku. Aku sangat senang ia masih mau
membagi perasaannya padaku. Lama kami berdua mendengar alunan lagu itu sambil membisu menatap
“Mamaku… cantik ya?” itu kata pertama yang terucap di bibirnya setelah seminggu
membisu.
Hatiku ikut tersayat melihatnya sedih begitu. Pandangannya matanya kosong meskipun ia
menatap ke arah langit mendung itu. Air matanya kembali jatuh tanpa ia mengeluarkan suara.
“Miki… masih ada aku,” hiburku berusaha menenangkan dia. “Aku janji gak akan buat
Lama ia menatapku. Matanya yang biru itu menyiratkan arti mendalam. Baru setelah beberapa
detik mematung, ia pun tersenyum padaku. Senyuman lega yang ikut membahagiakanku. Aku senang
sekali melihatnya tersenyum lagi. Ya, aku pernah berjanji suatu hal padanya.
“Dan…?“ Sayup-sayup aku mendengar panggilan dari sebuah suara yang selalu
“Ah Dani gak berubah. Kamu masih suka melamun ya? Kita udah dekat lho. Aku liat
“Iya, kita keterusan.” jawab Dani santai. Di garuk-garuknya kepalanya sambil tersenyum
bodoh.
45 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Keduanya duduk di bawah pohon beringin rindang sambil mendengarkan lagu yang
berasal dari dalam I-pod. Tampak di hadapan mereka anak-anak berlarian bersama orang tuanya. Air
berciprat dari dalam sebuah kolam. Keduanya menutup mata menikmati angin semilir yang berhembus
kencang sore itu. Angan mereka tampaknya tertuju pada kejadian yang sama. Kejadian delapan tahun
lalu sewaktu mereka sama-sama mendengarkan lagu ini. Tampaknya mereka mengulang peristiwa yang
pernah mereka lakukan dulu: mendengarkan lagu ini bersama-sama. Tapi kali ini tanpa tangisan, namun
“Mau aku beliin es cream?” Dani menawarkan diri. Perkataan Dani yang tiba-tiba
Seketika itu juga Dani mencopot earphone dari telinga kirinya, memberikannya kepada
Miki dan pergi berlalu. Miki tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari Dani ketika pria itu
sedang berjalan menjauh. Dani memang tampak menawan dengan balutan kemeja hitam plus kaus putih
46 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
di dalamnya. Miki terus memandangi bagian belakang tubuh Dani. Bahunya, pundaknya, lengannya,
kakinya, semuanya memang tampak begitu berubah dari delapan tahun yang lalu. Dari kejauhan Miki
mencoba membaca bahasa bibir Dani yang sedang berbicara dengan Bapak Penjual Es.
“Dan, kayaknya gua udah ingat deh dimana gue pernah lihat sepupu loe.” kata Joe tiba-
“Di toko sport di mol dekat rumah gua!” seru Joe. “Sepupu loe model ya?” lanjutnya
bertanya.
“Iya.” jawab Dani acuh tidak acuh. Setelah itu ia langsung beranjak menuju pintu kelas.
Meskipun Miki tidak terlalu tinggi, namun parasnya yang unik cukup dijadikan modal berkarier.
“Dan, loe langsung pulang lagi hari ini?” tanya Joe menyusul Dani dari belakang.
“Iya neh.” jawab Dani sambil terus berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.
“Pasti mau jalan ama sepupu loe yang cantik itu lagi kan?” ledeknya.
“Kemaren udah gue urus kok. Tim sukses gue udah ngurus semuanya, kayaknya aman
47 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Eh loe jangan gitu dong, Dan. Loe cuma nyerahin ama tim sukses loe sementara loe
“Gue kan gak lepas tangan gitu aja, Joe. Sesekali gue juga masih tanya-tanya ini-itu. Gue
“Iya, yang gua bilang juga loe gak sepenuhnya lepas tangan, Dan. Masalahnya yang gua
dengar neh si Andre udah ngerencanain kampanye gila-gilaan. Sebagai teman loe, gua gak pengen loe
“Dan… Dani!” Miki setengah berteriak memanggil Dani di dalam mobil. “Tuh kan
melamun lagi.”
“No.. No.. I’m just remembering at something.” jawab Dani sambil menatap ke depan
dengan pandangan kosong. “Hum… anyway, bosan juga ya Ki, kalau jalan-jalan berdua mulu dengan
kamu. Gimana kalau senin ntar kita jalan-jalan bareng sama teman-temanku. Waktu di festival kemaren
kan kamu udah aku kenalin banyak teman, nah aku pengennya jalan ramai-ramai ama sobat-sobatku biar
48 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Senin ini semuanya sudah berkumpul bersama: Dani, Miki, Joe dan Friska. Mereka
bertiga berdiri di samping loket penjualan 21 sementara Joe berdiri diantara para antrian lainnya. Dani
cengar-cengir sendiri melihat keadaan ini. Diingatnya usahanya membujuk ke dua sobatnya untuk ikutan
nonton hari jumat lalu. Kembali terbayang olehnya ekspresi kedua orang sahabatnya itu.
“Nomat???” tanya Joe lagi dengan ekspresi heran yang tak kalah hebohnya dengan
Friska.
“He-eh” jawab Dani dengan nada yang tidak beda dengan sebelumnya.
Akhirnya dengan segala bujuk rayu maut akhirnya ia berhasil meyakinkan kedua
kompaknya tersebut untuk ikut nonton dengan sepupunya. Sebenarnya nonton bioskop bukanlah
masalah besar, masalahnya ke-dua orang sahabatnya ini memang anti banget sama yang namanya
‘nomat’ maupun nonton bioskop biasa. Alasannya berbeda-beda. Kalau Joe karena memang pada
dasarnya gak suka nonton. Mungkin juga karena trauma dua kali diputusin cewek di bioskop. Beda
dengan Friska yang sifatnya protektif dan suka parno sendiri. Alasan Friska sih karena takut terkena
virus HIV/AIDS. Pasalnya Friska terlalu sering baca koran atau nonton berita yang mengabarkan kalau
banyak jarum suntik yang di letakkan dengan sengaja oleh para orang jahil. Katanya jarum tersebut telah
dipakai oleh si para penderita HIV/AIDS dan digeletakkan begitu saja di kursi bioskop dengan
meningalkan tulisan ‘Welcome to The Death’. Memang seram sih, namun ketakutan Friska terkesan
agak berlebihan.
49 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Got it!” seru Joe sambil melompat ke arah mereka bertiga. Di julurkannya empat buah
tiket yang berhasil didapatkannya setelah ngantri berdiri hampir lima belas menit.
“Wah, tempat duduknya pas banget berderet untuk berempat ya?” ujar Friska.
“Oh iya juga ya, baru nyadar neh.” Joe ikut menyambung.
“I’m with Dani!” seru Miki lincah sambil memeluk lengan Dani sedang memasukkan
tangannya ke kantong jins. Sekilas tampak ekspresi masam dari wajah Friska.
“Kalau gitu gua bareng Chika donk! Hahaha..” canda Joe sambil menggandeng lengan
“Ih, gak mau deh gue bareng elo. Dari tadi pagi lo kan belum mandi.” elak Friska sambil
“Heh, enak-enak aja lo Joe manggil Chika dengan panggilan sayang dari gue.” Dani
berkata dengan nada jutek. Miki kemudian menyadari wajah Friska yang agak memerah, dipandangnya
gadis itu lama. Friska langsung menoleh begitu menyadari bahwa sedari tadi ia diperhatikan oleh Miki.
Dengan secepat mungkin Miki mengalihkan pandangnya begitu matanya dan Friska beradu.
“Eh masuk yuk, studio satu udah buka tuh.” timpal Joe memotong pembicaraan mereka
berempat.
“Popcorn?” Dani menawarkan pada Miki yang duduk paling sudut kanan barisan tempat
50 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Thank You.” jawab Miki sambil mengambil popcorn tersebut dengan tangan kanannya.
Friska yang duduk diapit oleh Dani dan Joe semenjak film di mulai tidak bisa serius
menyaksikannya. Pandangannya lebih lama ke samping kanan daripada ke depan. Terkadang dia bahkan
ekstrim memiringkan badannya ke samping agar bisa melihat keadaan dengan jelas. Takut-takut Dani
dan Miki melakukan adegan mesum karena kebawa suasana, pikirnya. Friska menganggap hal seperti itu
mungkin biasa aja bagi Miki meskipun dilakukan dengan sepupunya. Soalnya budaya Miki memang
beda dengan di Indonesia, ditambah lagi dia seorang model pikirnya. Dia pun terus mengawasi ke arah
mereka berdua. Ia takut tiba-tiba Miki terlalu menghayati adengan film romantis itu sehingga tidak sadar
diri.
“HAAH!!!” Friska berteriak kencang dan bangkit dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja ia
tersentak ketika melihat punggung tangan Miki berada di bawah tangan Dani. Ternyata dugaannya benar
meskipun tidak separah bayangannya. Dani, Miki dan Joe langsung menoleh ke arah Friska yang
bersikap aneh. Penonton lain yang sedang asyik menonton adengan film yang sedang seru-serunya itu
“Kenapa Fris? lo nemuin jarum suntik?” tanya Dani dengan penuh keherenan dan
keseriusan.
51 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Enggak, gue gak apa-apa kok.” elak Friska sambil tersenyum kecut. Ia kemudian duduk
Tampaknya Dani dan Miki memang benar-benar tidak mengerti dasar keterkejutan
Friska. Bukankah mereka sudah sering bergandengan tangan ketika berjalan berdua. Bagi Miki hal
tersebut lumrah adanya. Dari kecil mereka sudah terbiasa jalan berdua sambil bergandengan tangan.
Dani pribadi, karena sudah lama tidak bersama Miki dan karena bentuk fisik Miki sekarang memang
menanggap agak ganjil. Namun berhubung Miki adalah seorang gadis yang ceroboh plus ada kekwatiran
Dani yang berlebih kalau-kalau Miki hilang saat sedang berjalan dikeramaian, jadi Dani membisakan
diri saja menggandeng tangan Miki. Kesimpulannya, Dani dan Miki sudah terbiasa saling menggandeng
tangan. Tapi yang baru saja terjadi tadi memang murni ketidaksengajaan. Sangkin seriusnya menonton
tiap adegan dalam film tersebut, mereka bahkan tidak sadar kalau tangan mereka sedang bersentuhan.
Aku berjalan menyusuri tempat itu. Begitu banyak orang dengan berbagai
pakaian khas yang bervariasi membuat kagum akan tempat itu. Ada yang
memakai pakaian renda dengan belahan dada yang lebar, ada yang memakai
pakaian khas negara yang tidak aku tahu berasal dari mana. Namun kebanyakan
prianya hanya memakai jas dan celana bahan berwarna hitam. Aku terus berjalan
sambil memperhatikan sekelilingku. Saat ini aku sedang sendiri dan memang
sedang ingin sendiri. Aku memang berjanji dengan Rio bertemu di tempat ini,
namun aku senang dengan suasana ini. Jadi sekarang aku tidak sedang mencari
Rio.
52 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
tolak. Jas Rio yang pas dikenanakan dibadanku membuatku nyaman berjalan di
tempat ini. Aku terdiam sejenak ketika melihat orang-orang berkerumun di suatu
tempat. Aku berjalan perlahan mendekati tempat itu. Kulihat samar-samar dari
balik punggung orang-orang yang berdiri mengitarinya, terlihat sebuah rok hitam
kucoba semakin mendekat. Akhirnya aku sampai di pinggiran lantai dansa itu. Dari
dekat, dapat ku perhatikan tubuh yang di balut gaun beludru hitam menari begitu
memfokuskan mata untuk melihat sosok yang menari di depanku. Sepertinya aku
pernah melihatnya. Diakah itu? dia… Iya, dia gadis yang tadi pagi berjalan
melewati flatku. Gadis dengan aura yang sangat kuat. Aku tertegun di tempat itu
dalam posisiku. Mataku tidak dapat beralih dari dia. Dalam tariannya, setiap lekuk
tubuhnya begitu anggun dan begitu ayu. Aku terus menatapnya, kupandangi
itu. Ia sangat cocok dengan mengenakan paduan celana hitam, kemeja putih
dilapisi jas hitam, serta dasi bergaris. Ia sangat sesuai berada di antara orang-
orang ini
53 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oh, enggak. Aku baru saja mau melihat tarian itu.” jawabku. Sekilas ku lirik
“Kakak lihat penari itu, cantik kan?” tanya Rio padaku. Ia memiringkan
“Hm..” jawabku.
padaku. Aku hanya terdiam, tidak mengerti maksud dari bahasa tubuhnya
tersebut.
“Chik, terus yang diperlukan udah lengkap semua?” tanya Dani dari ujung telepon
“Sip, Dan. Gue udah siapin semuanya.” jawab sebuah suara wanita dari ujung telepon.
“You’re welcome.”
54 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Bye…”
“De..”
“Siapa Dan?” tanya Miki yang ternyata berdiri di samping Dani sedari tadi. Suara Miki
tidak jelas ketika bertanya. Hal itu karena ia berkata-kata sembari menguyah keripik dengan bungkusan
“Gak Ki, aku dah kenyang. Hum.. dari tadi ngapain aja?” tanya Dani sembari
memiringkan badan ke arah Miki. Diperhatikan seluruh tubuh Miki. Saat itu Miki hanya memakai
celana jins pendek dan tank top putih milik. Menyadari sesuatu, tiba-tiba jantung Dani berdetak lebih
kencang. Memang fisik Miki secara keseluruhan hampir sempurna. Pantas saja dia jadi model, pikir
Dani.
“Mau jalan?”
“Iya… iya, mau!” Miki langsung loncat kegirangan, pasalnya semenjak acara nonton
bareng kemaren itu, Dani tidak pernah lagi ngajak Miki jalan-jalan. Sepertinya dia sibuk mengurus
Sore itu, Miki dan Dani pun langsung beranjak dengan menggunakan mobil sporty
merahnya. Miki hanya mengubah tatanan rambutnya menjadi sedikit lebih rapi. Meskipun ia tidak
mengganti baju dan berdandan, namun ia tetap kelihatan modis. Disisi lain, Dani juga kelihatan gagah
55 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
meskipun hanya memakai setelan rumahan: kaus oblong dan celana boxer. Kacamata yang selalu
“Udah sampai Miki, yuk!” kata Dani usai memarkirkan mobilnya di depan sebuah mol.
Setelah lama mereka berdua berkeliling melihat-lihat di dalam mol yang masih baru
didirikan itu, Miki mulai berani menanyakan sesuatu yang dari tadi di pikirkannnya.
“Hmm…? Iya, aku suka banget kamera digital kayak gini. Aku lagi serius neh pengen
“Hmm…?” Dani menjadi agak heran. Ia meletakkan kembali kamera yang sudah
“Hah?” sejenak Dani terdiam mendengar pertanyaan Miki. “Uh… eh.. Ahahaha….”
Miki terdiam melihat tingkah laku Dani. Ia mendengus dan bibirnya semakin
56 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Are you dating with her?” tanyanya lagi untuk memastikan. Berusaha di hilangkannya
ekspresi sedihnya.
sebelah tangannya. “Miki… Chika itu temanku, teman baikku, sama seperti Joe. Hanya saja Friska itu
cewek, sementara Joe cowok. Ngerti kan?” Dani menjelaskan secara pelan dan lembut.
“Hm…” jawab Miki kurang yakin. Diperbaikinya rambut lurusnya yang kusut karena
Tidak beberapa lama meranjakkan kaki dari situ, Miki bertanya lagi, “Do you have a
girlfriend?”
Dengan tenangnya, Dani menjawab, “No, but I have many friends which are girls.”
Kemudian dilemparkan senyum lebarnya ke Miki. “How about you?” tanyanya masih dengan nada
datar. Sebenarnya saat itu jantung Dani berdegup kencang. Takut tiba-tiba Miki menjawab “Yes, I do.”
“Ha?” Dani tersentak “Simka?” Dani mengira Miki menyebutkan nama pria yang
menjadi kekasihnya adalah si Simka. Dalam pikirannya terbayang Simka adalah seorang pria keturunan
“Yes, SIM card. Itu, disitu ada jual kartu SIM baru Dan, Miki pengen beli.” Miki berceloteh
“Oo…” dari nada bicaranya Dani tak bisa menyembunyikan kelegaannya terhadap penjelasan
Miki barusan.
57 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ki, aku kesana dulu ya?” Dani berkata begitu menyadari ada stand penjual es krim di sudut
kanan counter ponsel tersebut. Miki yang sedang sibuk bertanya-tanya dengan mbak-mbak penjual pulsa
dan berkombinasi dengan suasana hiruk-pihuk sore di mol itu menjadi kurang memperhatikan Dani.
“Miki, aku kesana dulu beli es krim. Kamu yang Vanilla kan?” Dani mengulang pertanyaannya.
“Ha?? Iya.. iya.” Miki menjawab cepat. Padahal sebenarnya ia kurang mendengar petanyaan
“Thankyou so much.” ujar Miki dengan wajah cerianya setelah berhasil membeli kartu
perdana nomor Indonesia pertamanya. Sewaktu ia membuka dompetnya, mencuat suatu kertas. Itu
kertas nomor telepon Andre yang dulu pernah diberinya. Hm… sekalian aja, pikir Miki.
“This is Miki. This is my new number. You’re the lucky number one! Ahahaha..” tawanya.
Andre yang saat itu sedang nyupir langsung menyungging senyum. “Ah, that’s you Miki!
“He-e.”
58 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oiya, Dani mana ya?” Miki melirik ke samping kanan dan kirnya. “He’s gone!”
“Hm.. I’ll find him first. Call u latter. See Ya!” Dengan buru-buru Miki menutup
ponselnya. Dia pun berlari semakin jauh dari counter pulsa tempatnya membeli kartu tadi. Ia berjalan
mencari-cari, namun tidak ada sosok yang mirip Dani yang ia temui. Ia berlari di antara kerumunan
orang. Begitu ia melihat seseorang memakai celana boxer, ia pun mengejarnya. Ditegurnya dan ternyata
bukan Dani! Ia semakin panik. Semakin lama ia mencari semakin ia tidak menemukan. Ia semakin
panik, rasanya mol itu seperti berputar. Ia sudah nak-turun eskalator dua kali, tapi ia tetap tidak
menemukan Dani.
Sementara itu Andre yang masih mengendarai mobil masih memikirkan kata-kata
terakhir Miki. Ia sepertinya cukup kwatir dengan kondisi Miki. Dia mengerti perasaan Miki yang hilang
di tempat yang asing baginya. Dibukanya ponselnya, dilihatnya telepon masuk terakhir, kemudian di
Di sisi lain lagi, Dani juga mengalami hal yang sama. Ia jadi panik karena Miki menghilang.
Dalam pikirannya Miki sedang di culik oleh orang-orang jahat yang mungkin mengira kalau Miki adalah
anak pengusaha kaya. Es krim yang ada ditangan Dani mulai mencair.
Miki akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di depan toko buku.
Kakinya sudah letih selama lebih dari empat puluh menit memutari mol itu. Ia menunduk kepalanya
lalu diremasnya rambut panjangnyanya dengan kedua tangannya. Huff… di hembuskan nafasnya
“Hallo Miki, udah ketemu Daninya?” tanya suara yang menelepon itu.
59 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
namun tidak diangakat. Dani sepertinya lupa mengubah menu ‘silence’ di ponselnya semenjak pulang
dari sekolah. Lagipula Dani tidak begitu memperhatikan ponselnya karena sibuk mencari-cari. Karena
kehabisan akal, Dani kemudian mendatangi meja informasi. Ini kedua kalinya ia dan Miki mengalami
“Mbak… tolong berita panggilan pada Milcy Daniella mbak ditunggu Daniel Roberto di
meja informasi. Buruan Mbak! Saudara gue tuh gak tahu mol Jakarta!” Dani begitu panik sehingga
Sewaktu Dani mencoba menghubungi rumahnya dengan menggunakan ponsel nya, Dani
“Dari Andre? Aduh tunggu dulu, gue nelpon rumah dulu deh.” Dani berguman sendiri.
Tut.. tut… tepat dua kali nada sambung berbunyi ketika Dani mengadahkan wajahnya dan
“Miki? Andre?” Dani menutup kembali flip ponselnnya dengan gerakan lambat ketika melihat
kedua orang itu tengah berjalan berdua dari arah esklator menuju ke arah Dani.
“Andre? Lo kok disini?” tanya Dani sambil melangkah menuju mereka berdua. Samar-samar
“Miki, kamu kemana?” lanjutnya bertanya pada Miki tanpa menunggu jawaban Andre.
“Aku gak kemana-mana.” Miki menjawab dengan nada malas dan sedikit ketus.
“Kamu.. gak pa-pa kan?” tanyanya lagi sambil memperhatikan sekujur tubuh Miki, diremasnya
lengan Miki.
60 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Andre, kok…?” Dani melongo heran melihat sosok pria tersebut dihadapannya.
“Dani, I’m very tired and I wan’t to get home quickly.” Tanpa menunggu apapun, Miki langsung
“Andre, entar gue hubungin elo.” ucap Dani cepat. Buru-buru ia menyusul Miki.
Dari jauh Andre bisa melihat Dani menarik lengan Miki yang berjalan sangat cepat. Miki
menghentikan langkahnya dan mematung di tempat ia barusan berdiri. Dani kemudian membujuknya
lembut dan menarik tanggannya keluar dari mol itu menuju parkiran. Andre masih memandangi mereka
Didalam mobil Dani dan Miki membisu. Hanya suara musik dari band kenamaan di radio yang
membunuh kekakuan keduanya. Miki sepertinya begtitu kesal dengan Dani. Sementara Dani bingung
“Miki, kamu tadi kemana sih?” tanya Dani mulai membuka pembicaraan dengan nada
membujuk.
“Aku gak kemana-mana, kamu yang kemana?” jawab Miki ketus tanpa memandang ke arah
Dani. Melalui kaca jendela mobil yang tertutup dipandanginya terus pemandangan di jalan.
“Aku tadi beli es-krim Miki dan aku udah pamit sama kamu. Kamu ingat gak?” tanya Dani lagi.
“Gak peduli kamu pergi jauh atau enggak. Kamu harusnya nunggu!” kali ini Miki menoleh ke
“Kamu yang harusnya tetap nunggu di sana. Kamu kan gak tahu jalan, aku kwatir.”
61 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“You did’t have to go if you afraid of me!” Miki membentak ke arah Dani. “I’m afraid to losing
you. Im afraid if I’m not be able to see every people that I care.” lanjutnya dengan nada lirih.
Dani terdiam mendengar itu semua. Dipandangnya Miki dalam, namun tak bisa di ucapkannya
satu katapun.
Sesampainya di rumah Miki dengan setengah berlari langsung menaiki loteng menuju kamarnya.
Dibentamkannya wajahnya ke bantal. Setetes air mata menitik dari mata birunya. Tiba-tiba ia teringat
sesuatu yang terlupa. Di ambilnya ponselnya dan dengan cekatan diketiknya sesuatu. Sesudah itu di
Sesudah itu dipasangnya musik jazz dari stereo tapenya dan kembali direbahkannya tubuhnya ke tempat
tidur.
Sementara itu di sudut mol yang tadi, Andre yang sedang bercanda dengan teman para tim
Thank
Thankyou,
Di dalam rumah malam itu, Dani tidak berhenti berpikir. Ia merasa heran sekali, kenapa Miki
jadi marah seperti itu padanya. Pasalnya Miki kan hanya hilang sejam. Dani tidak habisnya pikir kenapa
62 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Besok paginya Dani bangun cukup cepat. Dikenakannya pakaian trainingnya kemudian ia
beranjak keluar rumah. Sebelum menuruni tangga, sempat ia menghentikan langkahnya di depan kamar
Miki. Lampu kamar itu masih hidup dan tidak ada suara apa-apa dari dalam. Sempat terbesit dalam
pikiran Dani untuk mengetok dan mengajak Miki olahraga pagi seperti yang biasa dilakukannya. Namun
begitu tangannya mengepal di depan pintu kamar Miki, diurungkannya lagi niatnya.
Tiga puluh menit kemudian, Dani telah sampai kembali di rumah dengan nafas terburu-buru.
Sebentar ia lakukan gerakan pendinginan di ruang tengah keluarga yang televisinya sedang dihidupkan
“Kok cepat sekali?” tanya Mama sembari mengerjakaan berbagai hal di dapur
“Gak.”
“Napa Dan?”
Tlilit… tlilit… Dani masih melakukan berbagai gerakan ketika telepon yang ada di ruang tamu
berbunyi.
“Dan, ada telepon tuh diangkat!” teriak Mama. Tanpa menjawab apapun Dani beranjak dari
63 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Halo!! Dani ya?” tanya suara di ujung telepon dengan nada yang ceria.
“Iya. Siapa ya?” tanya Dani sambil mengelap keringatnya yang hampir menetes di sela-sela
telinganya.
“Hm.. masih tidur ya? Tumben, biasanya kalau di Indonesia anak itu cepat bangun, soalnya dia
“Oh… kita jalan-jalan terus kok Om. Malah udah bingung mau kemana lagi sangkin banyaknya
“O.. bagus lah kalau Miki senang disana. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu Dan.” Om Rio
berkata dengan nada sok seram. Dani diam saja mendengar pernyataan Om Rio ini. Ekspresi sedikit
“Hah?”
“Masa sih Om?” tanya Dani tidak percaya. Pasalnya kalau tidak salah dari kemaren Dani selalu
“Iya,” Om Rio mempertegas. “Kamu masih ingat kan waktu Ibunya Miki meninggal delapan
tahun lalu?”
64 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Nah, Miki yang terpukul dengan kematian Ibunya itu selama di Aussie kerjanya menyendiri
“Oya?”
“Iya Belakangan ini aja Miki baru mulai bisa bergaul. Teman-temannya mulai banyak sejak ia
jadi model.”
“Makanya kamu jangan heran ya kalau Miki itu hobinya suka gandeng-gandeng orang.”
kemaren.
“Sekarang kamu udah tahu kan Dan, jadi Om titipin Miki sama kamu selama di sana ya?
Om percaya kok sama kamu. Nah, sekarang tolong kasiin teleponnya sama Papa kamu, Om pengen
Setelah memberikan gagang teleponnya pada Papa, Dani hanya terdiam dan duduk di
sofa ruang tengah. Pipinya di tumpukan pada tanggannya yang dikepal, pandangan matanya kosong.
Mama yang di dapur dan Papa yang sedang ayik bertelepon diam saja melihat kelakuan Dani yang aneh.
Mereka mengerti bahwa anak semata wayangnya ini tidak ingin di ajak bicara bila memunculkan
ekspresi yang seperti ini. Akhirnya dengan tekat bulat, Dani beranjak dari sofa tersebut dan langsung
melompat menuju loteng. Di depan kamar Miki, sejenak di hempaskan nafas panjangnya. Pelan-pelan di
Tok.. tok… di ketukanya pintu kamar itu secara pelan. Lima belas detik ditunggu, tidak
ada jawaban. Di ketukkannya dua kali dan kali ini lebih keras. Tok…tok… Setelah sepuluh detik
ditunggu, tidak ada jawaban. Untuk yang ketiga kali diketuknya lagi. Tok…tok..tok…!Setelah ditunggu
65 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
beberapa saat, ternyata tetap tidak ada jawaban. Akhirnya kesabaran Dani habis, diketok-ketoknya pintu
itu secara keras. Sepuluh detik ditunggunya, tetap tidak ada jawaban, sunyi. Akhirnya Dani menjadi
“Miki! Miki! Bukain pintu Miki. Miki! Bukain pintunya.” capai Dani berteriak, namun
ternyata masih tidak ada jawaban juga. Dani menjadi super kwatir, terbesit dalam pikirannya hal yang
mengerikan terjadi pad Miki. Kali ini ia menggedor lebih kuat dan dengan berteriak ia memanggil nama
gadis itu.
“MIKI!” Mama dan Papa yang heran mendengar itu kemudian naik ke atas loteng untuk
melihat hal yang terjadi di sana. Dani menghentikan ketokannya ketika ia bertatapan dengan Ibu dan
Ayah yang datang dengan ekspresi takjub melihat tingkah laku anaknya itu. Tangan Dani masih
mengejang dengan bentuk terkepal di depan pintu kamar Miki. Dan disaat itu juga pintu kamar Miki
tiba-tiba terbuka.
“Ada apa sih?” tanya Miki dengan muka mengantuk. Terlihat di telinganya melekat
earphone yang dari dalamnya keluar suara-suara dentuman berisik. Bahkan sangkin kuatnya, suara
musik yang keluar dari lubang-lubang earphone itu masih bisa di dengar oleh Dani samar-samar. Mama
dan Papa pun sayu-sayup dapat mendengarkan suara musik keras yang mengalun meskipun berdiri jarak
beberapa meter dari mereka. Ke-empatnya terdiam dalam posisinya, saling bertatapan dan bertukar
Chapter 6. Sorry
Tap.. tap.. tap.. terdengar langah Dani menuruni anak tangga dengan perlahan. Minggu
yang indah, pikirnya. Hari ini dia bangun telat. Jam telah menunujukkan pukul 11 pagi. Dani
66 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
melangkahkan kakinya keluar rumah menuju teras. Dilihatnya Mama sedang sibuk mengurusi
“Ehehehe… udah siang ya Ma? Mama sih gak bangunin aku.” Dani berdalih sambil menggaruk-
garukkan kepalanya.
Mama mendengus melihat kelakuan anaknya yang satu ini. “Habisnya kamu nyenyak banget
tidurnya Dan. Mama tadinya pengen bangunin kamu, tapi kamu tidurnya kayak gitu, ya…. Mama biarin
aja.”
Whoa.. Dani malah menanggapi perkataan Mama nya dengan menguap. “Iya Mama, aku banyak
“Ya sudah, mandi sana! Cari kegitaan gih sekarang.” perintah Mama.
“Oya Dani,” panggil Mama sebelum Dani menarik daun pintu. “.. tadi teman kamu nelpon.”
“Siapa?”
“Katanya namanya Friska, terus Mama bilang supaya nelpon kamu lagi nanti.”
“Hm.. biar Dani telpon aja ntar.” Dani memutar posisi badannya. Namun sebelum berhasil
menarik pintu, ternyata ada seseorang yang mendorong dari dalam rumah.
BRAAAKK!
“Owch!”
“Ups.” sebuah suara kecil menyambut di balik pintu. “Are you OK?” tanyanya.
“Miki?” Dani berkata hampir berteriak. ”Mau kemana?” lanjutnya sambil berusaha
berdiri.
67 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Gak apa-apa kan Dan?” tanya Miki sambil meraih lengan Dani dengan satu tangannya.
“Iya, aku gak apa-apa. Kamu mau kemana?” tanya Dani setelah benar-benar bangkit berdiri.
“Kemana?”
“Nonton.”
“Sama siapa?”
“Andre.”
“Terus?”
“Terus apa Dan? Kok kamu nanyaknya kayak introgasi gitu. Aku cuma pergi berdua dengan
“Ya cuma ditanyain gitu doang kamu udah gak senang.” Dani ikut-ikutan menjadi kesal.
“Of course I do!” kali ini ekspresi Miki benar-benar kesal. Ia melipatkan kedua tangannya di
depan dada.
“Gak!” jawab Miki dengan tegas sambil berlalu begitu saja. Tampaknya Miki tidak sadar
Dani terus memandangi punggung Miki sampai gadis itu berlalu dengan sebuah mobil sedan
hitam. Tampaknya Miki masih menyimpan kekesalan pada Dani. Sebenarnya Dani sudah berniat minta
maaf atas perbuatannya kemaren. Akan tetapi, kelakuan Miki barusan malah membuatnya jadi
68 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Miki… hari ini kamu mau nonton film apa?” tanya Andre begitu menyadari Miki sedang
“Hm..?” tanya Miki yang kurang mendengar perkataan Andre tanpa melihat kepada
Andre.
“Mau nonton film apa?” ulang Andre dengan nada lembut dan penuh perhatian.
“Mm… apa aja.” jawab Miki tidak peduli. Sejurus kemudian ia mulai menoleh ke arah
Andre.
“Ya udah, gak usah terlalu dipaksain. Kalau gak mau nonton, hari ini kita kerjakan hal-
“Hm…” jawab Miki dengan senyum lebar yang terpaksa. Setelah itu mereka mereka
hanya terdiam dalam mobil, terhanyut dalam lagu-lagu jazz yang di putar Andre.
“Ya?”
69 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Selama beberapa hari ini, Dani memang sibuk (menyibukkan) diri dengan kegiatan di
sekolahnya. Ia memang punya alasan. Sebagai calon ketua OSIS yang baru, tentunya ia memiliki
segudang hal yang harus dikerjakan. Ia bahkan hanya sempat menyapa Miki di pagi hari sewaktu
sarapan. Dani biasanya pulang sore ke rumah. Tidak berbeda dengan Dani, Miki juga sedang asyik
dengan kesibukannya sendiri. Ya, dia lagi sibuk ikutan kursus merajut. Semua yang ada di kursus
menyukai tingkah laku Miki yang lucu. Dan kalau Miki sedang malas berada di rumah, ia biasanya
mengajak Andre, namun lebih sering Andre sendiri yang mengajak Miki. Miki sudah merasa cukup
dekat dengan Andre. Mereka sudah cukup sering melakukan aktivitas bersama: jalan-jalan ke mol,
nonton di bioskop, liat pementasan band di jalanan hingga cuma jalan-jalan sore, semua sudah dilalukan
bersama Andre. Sebenanya Dani cukup kesal dengan segala tindak tanduk Andre terhadap sepupunya
itu, namun ia tidak dapat berbuat banyak. Hal ini diperparah keadaan yang membuat komunikasi di
antara Dani dan Miki berkurang. Mereka berdua kerap pulang larut dan keduanya sering tidak makan
malam bersama.
Hari ini pun Dani pulang sekolah dengan wajah manyun. Air mukanya menunjukkan
sepertinya dia mempunyai banyak beban. Mama yang sedang duduk-duduk di rumah menyambut
“Iya Ma, Dani pulang.” jawab Dani masih dengan raut wajah suntuk. Setelah
mencampakkan tasnya ke atas meja, direbahkannya badannya di sofa, dekat kaki Mama.
“Dirumah ada siapa?” tanyanya berharap bisa menjumpai Miki siang itu.
70 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ooh…” setelah mendengar jawaban itu, Dani memejamkan matanya. Ia berusaha menenangkan
segala pikirannya. Sinar matahari yang terik masuk melalui sela-sela jendela dan menyilaukan
Siang terik sepuluh tahun yang lalu, aku dan Miki sedang dirumah itu. Tertawa berkejar-kejaran
di atas rerumputan. Pikiran Dani terus menerawang. Senyumnya melebar sejenak membayangkan
kenangan indah dalam hidupnya. Mama masih berada di samping Dani sambil membaca tabloit.
Akhirnya Mama meletakkan tabloit yang sudah dibacanya itu ke samping dan ia memulai pembicaraan
“Dani, akhir-akhir ini muka kamu kok sering cemberut? Kenapa, ada masalah ya Nak?” tanya
“Enggak kok Ma, mungkin karena kecapean aja. Akhir-akhir ini aku banyak kegiatan di
sekolah, Ma.” Dani menjawab dengan mata yang masih terpejam. Sadar akan sesuatu, Dani kemudian
menggeserkan posisi tubuhnya sehingga ia dapat merebahkan kepalanya di paha Mamanya. Dani
memang cukup sering memanjakan diri pada Mama, terutama kalau sedang dalam masalah.
“Dan, sebenarnya kamu kenapa dengan Miki? Kamu berantam ya? Akhir-akhir ini Mama jarang
sekali lihat kamu jalan bareng sama Miki lagi. Dia sering keluar sama teman kamu itu kan yang
namanya A..A..”
“Andre? Ya baguslah Ma, jadi Miki gak bosen di rumah terus. Lagian aku juga jadi
tenang kok Ma, gak harus ngantarin Miki ke sana ke mari. Lagian Andre juga orangnya bertanggung
Mama curiga dengan perkataan Dani tersebut, pasalnya Dani bercerita panjang lebar
71 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Loh, kamu kok ngomong kayak gitu, Dan? Kamu cemburu ya?” ledek Mama
“Enggak kok! Enggak, enggak! Kok mama bisa berpikiran kayak gitu?” tanya Dani, kali
“Kelihatan banget Dan kalau kamu cemburu. Kamu memang orang yang paling gak bisa
Mendengar hal itu, Dani hanya bisa diam sambil mangut-mangut sendiri.
“Kalau Mama sih ngerasa Miki sebenarnya pengen jalan-jalannya sama kamu kok, Dan.
Kan selama ini kamu yang paling dekat sama dia. Kamu, jangan menyianyiakan kesempatanmu bersama
dia. Kamu itu udah kayak bagian hidup Miki. Mama yakin Miki sebenarnya pengen banget pergi bareng
kamu. Dani, di sela-sela kesibukanmu, bukan hal yang susah menyisahkan waktu buat Miki Lagian Miki
Dani tetap membisu mendengar semua pernyataan Mama. Pikirannya berputar dalam
ingatan terhadap gadis kecil itu. Gadis kecil yang menemaninya sejak kecil. Gadis yang memberi
bayangan masa lalu yang indah. Gadis yang selalu memberi kegembiraan padanya.
Miki yang tiba-tiba saja dihadang pagi itu syok dengan sergapan Dani. Pasalnya sewaktu
lagi berjalan ke teras untuk ngambil sapu guna membantu Mama membersihkan sarang laba-laba di
dapur, tiba-tiba saja Dani membukakan pintu mobil dan memintanya masuk.
72 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dengan pasrah akhirnya Miki masuk kedalam mobil. Di dalam kendaraan merah tersebut,
keduanya masih diam membisu. Berupaya memecahkan keheningan Dani memasang kaset dalam
mobilnya. Setelah itu, dipasangnya kacamata hitam menggantukan kacamata minus miliknya. Dengan
gaya yakin, semakin kencang diinjakkannya pedal gas. Miki yang sedari tadi bingung dengan kelakuan
Dani hanya bisa memperhatikan sikap Dani dengan pandangan mata aneh. Bibirnya sedikit
dikedepankannya dan sesekali ia mendengus. Sepertinya dia masih kesal dengan segala tingkah laku
Dani yang terdahulu. Jalanan pagi itu begitu ramai. Mobil terus melaju dan mereka masih tetap diam.
Minggu pagi memang waktu yang paling tepat untuk rekonsiliasi, pikir Dani. Tanpa sadar ia tersenyum
Akhrinya mereka sampai disatu tempat. Miki tertegun sejenak. Ia melangkahkan kakinya
lambat. Ditutupinya sebagian pipinya dengan telapak tangannya. Tempat itu, rumah itu, bangunan itu
semua yang ada di situ bagai memaksanya memutar kembali ingatan masa lalunya. Semua kenangan
indah yang dilaluinya bersama orang-orang yang dicintainya. Terutama Mamanya yang pernah ada
disitu. Tidak sanggup sepatah katapun ia berbicara. Dilangkahkannya kakinya hendak memasuki
ruangan itu. Namun tiba-tiba diurungkannya niatnya, dihentikannya langkahnya sejenak. Ia pun berbalik
Menjawab pertanyaannya itu, dibukakan Dani kacamatanya yang selama ini setia melekat
“Aku.. cuma ingin memperlihatkan betapa pentingnya kamu dalam hidupku.” ujar Dani
tulus. Baru kali ini dia berbicara begitu pada Miki. Walaupun agak mengganjal, namun perasaannya
73 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Setelah mendengar pernyaataan Dani itu, Miki terdiam sejenak dan sejurus kemudian
kembali membalikkan badannya. Ia pun melanjutkan berjalan menuju rumah tua itu.
Rumah itu sudah tua, tidak terawat. Plesternya ada yang sudah terkelupas dan catnya
sudah tidak jelas lagi. Alang-alang mulai tumbuh dibagian dalam rumah itu. Dengan sangat perlahan,
mereka melangkahkannya kakinya kedalam ruangan. Ingatan indah masa lalu serasa memenuhi pikiran
meraka. Saat-saat kebersamaan dengan Dani. Tertawa, bercanda, bermain. Semua ingatan dalam rumah
itu.
“Rumah itu… sebenarnya gak jauh dari taman bermain kita.“ kata Dani sambil
Miki yang masih memakai pakaian tidur merasa senang bergoyang di atas ayunan
tersebut. Namun pandangannya kosong. Ia hanya melihat ke depan, ke arah jalannan yang jauh.
“Tapi kalau jalan kaki lumayan jauh juga,” akhrinya Miki membuka suara terhadap Dani.
“Mungkin karena kita dulu masih kecil, jadi kalau berlari ke sini gak terasa jauh ya?” lanjutnya
“Hm.. kalau jalan kaki bisa sampai lima belas menit.” ujar Dani
“Iya sampai lima menit kalau pakai kaki manusia. Kalau pakai kaki semut?” canda Miki.
“Hahahaha…” tawa Dani semakin keras sebab menyadari Miki kembali tertawa di hadapannya
“Hehehe...” tawa Miki semakin kencang sebab menyadari suasananya yang mulai membaik.
Keduanya pun saling tertawa lepas pagi itu. Suara mereka penuh mendera taman itu. Bagaikan
paduan suara yang diringi musik-musik dari suara perkusi burung-burung serta serangga-serangga darat.
Sementara kupu-kupu menari sebagai latar yang memeriahkan suasana saat itu.
74 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki hanya memandangi Dani, ia terus melihatnya, melihatnya sambil tersenyum. Pagi
Aku masuk ke flat itu dengan perasaan bahagia. Wajah gadis itu terkenang
terus dalam tiap rupa yang kutemui di jalan. Baru saja aku menjabat tangannya,
kurasakan tangannya yang putih dan lembut. Hampir jantungku berhenti ketika
“Kak, gimana kesanmu pada gadis tadi?” tanya Rio padaku. Kulihat Rio
“Hm.. cantik.” Aku tidak berkata sebenarnya pada Rio. Seharusnya aku
“Ahahaha…,” tiba -tiba tawa Rio meledak. “Bahkan kamu yang tidak bisa
gadis. Tidak dapat kupikiri juga kenyataan bahwa gadis-gadis yang menjadi
kekasihnya selalu cantik. Sementara aku, dari dulu aku hanya memiliki seorang
75 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Kak… gadis itu tinggal beberapa blok dari rumah kita lho, Kak.” Kata Rio
“Oh…” jawabku. Teringat aku pertemuan dengannya di balkon dua hari lalu.
“Aku naksir dia, Kak,” Kata Rio dan seketika itu juga aku melihat ke arah Rio.
berkata sendiri.
Aku terdiam, tidak tahu harus menanggapi apa dari pernyataannya itu. Tiba-
tiba hatiku sesak. Ku rasakan sesuatu yang sakit dalam hatiku. Mungkinkah aku
patah hati hanya sebentar setelah aku jatuh cinta? Gadis itu, gadis berambut
pirang keemasan, telah membuat hatiku tidak karuan dengan hebatnya. Belum
pernah aku alami seperti ini. Apakah kekuatan cinta sedahsyat ini?
76 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sudah cukup lama Miki melewati liburannya bersama Dani. Tiap hari rasanya dilewati dengan
perasaan bahagia. Setiap hari bangun dengan perasaan senang, seolah ada hal yang baru yang menanti.
Padahal hari yang dilalui mereka berdua tidak terlalu istimewa. Hanya mondar-mandir keliling Jakarta.
Kerjaan yang dilakukan mereka berdua juga sama. Hanya berjalan, membeli sesuatu untuk oleh-oleh
dan bila ketemu es krim akan langsung membelinya. Kadang mereka sering hanya duduk berdua di satu
tempat sambil mendengarkan alunan music yang berasal dari I-pod milik Miki. Mama sempat kwatir
begitu mengetahui bahwa Dani keseringan membelikan es krim pada Miki. Awalnya Dani sempat
menolak untuk sering-sering membelikan es-krim lagi pada Miki. Namun pada dasarnya Miki memang
sangat menyukai es krim. Ia tidak akan berhenti merengek bila tidak di belikan es-krim, padahal ia sadar
tenggorokannya sudah meradang. Namun Miki tetap tidak peduli dan merahasiakannya pada seisi
rumah. Beberapa hari saja radangnya sembuh sendiri. Dan tidak ada yang tahu kalau selama di Jakarta,
Tiga minggu telah dilewati Miki dengan riang. Rasanya sudah seperti kegiatan wajib bagi Dani
tiap hari sepulang sekolah mendapati Miki sedang di rumah menyambut Dani. Tiap sore mereka akan
jalan di sekitar rumah bila sedang bosan berjalan jauh. Kadang-kadang mereka terigat masa lalu
kemudian bercerita tentang masa itu. Tiap hari Senin, Dani akan mengajak Miki menonton. Terkadang
barsama dengan teman-temannya sehingga sudah hampir semua teman dekat Dani kenal dengan Miki,
baik karena di kenalkan langsung atau hanya kesemprot ceritanya saja. Karena sifat Miki yang terbuka,
77 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
teman-teman Dani jadi gampang bergaul dengan Miki. Batin Dani semakin dekat pada Miki. Rasanya ia
Lima hari lagi adalah hari kepulangan Miki ke Australia. Dani bertekat untuk menjadikan hari-
hari terakhir Miki di Indonesia menjadi hari terbaik baginya. Jadi, hari ini Dani buru-buru pulang ke
rumah agar bisa segera menjumpai Miki. Hari ini Dani hanya mengajak Miki berjalan-jalan di sekitar
kompleks rumahnya sebab keduanya sudah jenuh berjalan jauh. Siang itu Dani memakai setelan yang
terkesan sporty. Meskipun hanya kaus oblong dengan design garis-garis, celana jins hitam, sepatu kets
plus topi dengan symbol check list di kepalanya, dia tampak begitu keren. Mungkin kesan dari kacamata
hitam Dani selalu menjadi nilai plus bagi penampilan Dani. Sejenak Miki terdiam memperhatikan Dani.
Sebenarnya gadis ini bukan tipe orang yang suka memperhatikan penampilan orang, namun tampaknya
“Huah… Panas sekali ya?” Miki berkata sambil mengipas-ngipaskan dirinya dengan jari-jari
tangannya.
“Habisnya kamu juga ngapain pakai setelan seperti itu siang bolong gini, Ki?” Dani menanggapi
sambil mentap ke Miki yang berjalan di sebelahnya. Pakaian Miki memang bisa di bilang cukup aneh. Ia
kemaren baru saja diberikan Mama sweater hitam berbulu sebagai oleh-oleh untuk di bawa ke Australia.
Tentu ia merasa senang dengan pakaian itu. Sangkin senangnya ia ingin cepat-cepat memakainya.
Namun sungguh tidak tepat bila ia memakai pakaian itu di siang bolong yang panas di negara tropis.
“Habisnya Miki gak nyangka bakal sepanas ini kalau makai baju ini,” ujarnya. “Um… aku punya
“Apa?” tanya Dani santai masih dengan stylenya memasukkan tangannya ke dalam kantong
jinsnya.
78 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hah? Lagi?”
Sebenanrya Dani ingin menolak permintaan Miki saat itu juga, hanya saja ia tidak rela
mengecewakan gadis itu. Dani akhirnya menyerah setelah bergelut sendiri dalam hati. Setelah berjalan
beberapa blok, mereka akhirnya sampai di sebuah swalayan yang berada di sekitar situ.
“Bisa dibantu, Mbak?” tanya seorang pelayan yang sedari tadi berdiri dalam posisisnya
menunggu pelanggan.
“Ice cream-nya, Mbak.” jawab Miki. Matanya mengintip-intip ke dalam etalase, setelah itu
dibalikkannya kepalanya agar dapat menghadap Dani. Saat itu Dani sedang berdiri di samping Miki
“Dani mau?” tanyanya. Dani menjawab pertanyaan Miki tersebut hanya dengan sebuah angukan
kecil.
“Dua ya, Mbak?” pinta Miki sambil membuat huruf V di kedua jari kanannya. “Rasa Coklat dan
Vanilla.”
Miki sedang asyik memperhatikan pelayan yang sedang menggaruk-garuk es krim tersebut
ketika tiba-tiba ponsel Dani berbunyi. Tertulis di layar ponselnya nama ‘Chika’. Dani berjalan terburu-
buru keluar swalayan tersebut. Ia hendak menjawab panggilan Friska, namun ia tahu bahwa lagu dari
speakerphone yang ada di swalayan tersebut akan menggangu pembicaraannya. Akhirnya Dani beranjak
beberapa meter dari swalayan tersebut. Miki yang masih asyik memperhatikan es krim yang sedang di
corongkan tersebut, tidak menyadari bahwa Dani telah beranjak dari sisinya.
“Halo Chika.” jawab Dani ketika dirasanya posisinya sudah mantap untuk menerima telepon.
79 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hei Dan. Gue mau tanya neh bahan buat kampanye lo.” kata Friska terdengar dengan nada
terburu-buru.
“Oh… kalau sterioformnya udah di belik ama Joe. Ada di simpan ama dia.”
Selagi Dani asyik membicarakan perihal kampaye ketua OSIS-nya dengan Friska, Dani tidak
sadar bahwa Miki sedang mencari-cari dia. Miki berjalan berlawanan arah dengan posisi Dani yang
membelakangi swalayan tersbut. Kedua tangan Miki penuh dengan es krim berwarna coklat kehitaman
dan putih. Miki malah berjalan dan berjalan semakin menjauh dari Dani.
“Iya. Thanks ya, Chik.” ucap Dani mengakhiri pembicaraanya. Segera ditutupnya flip ponselnya
kemudian ia berjalan masuk kembali ke dalam swalayan tersebut. Ia akhirnya tersadar sesuatu, Miki gak
ada! Ia hilang! Lagi! Dani berusaha tenang. Ia kemudian mendatangi Mbak Pelayan yang berdiri di
“Mbak, tadi cewek yang pakai baju hitam, yang beli es krimnya, kemana ya Mbak?”
“Oh… udah pergi Mas. Ke sana tadi arahnya.” jawab Mbak tersebut sambil menunjukkan arah
yang berlawanan.
“Iya iya, makasih ya Mbak.” jawab Dani terburu-buru. Ia kemudian berlari cepat dan sekencang
mungkin. Dicari-carinya cewek yang sedang memakai baju hitam dengan nafas terengah-engah.
Beberapa meter dari situ, Miki sedang berjalan sambil mencari-cari Dani. Karena hari itu
memang sangat panas sehingga menyebabkan es krim dalam genggaman Miki meleleh dengan cepat.
Miki yang takut lelehan es krim itu menetes ketangannya segera menjilati kedua es krim yang ada di
tangannya tersebut. Wajahnya terlihat cukup belepotan. Tanpa terasa, es krim yang ada di salah satu sisi
tangannya telah habis di makannya. Miki juga telah cukup lelah berjalan. Ia akhirnya berpikir untuk
80 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
mencari alternatif menghubungi Dani. Namun saat itu juga ia tersadar bahwa ia belum menyimpan
nomor Dani dalam phonebook ponselnya. Akhrinya Miki memutuskan untuk duduk di satu taman di
tempat itu. Taman itu kecil, tapi ada banyak tempat duduk dan ada beberapa ayunan di sana. Sayangnya
ia tidak sendiri, banyak orang yang juga sedang bersantai di tempat itu. Orang-orang itu memandangi
Miki dengan pandangan mata tak berkedip. Perasaan Miki menjadi ciut seketika. Dirasanya tempat itu
berputar. Seolah-olah semua orang sedang berusaha menerkamnya. Miki jadi panik. Namun di tengah
perasaan galaunya itu, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri seperti yang telah sering dilakukannya
bila ia tiba-tiba menjadi tidak tenang dalam keramaian. Dibukanya ponselnya dan dicarinya contact
name yang ada di dalam. Ketika telah menemukan satu nama, dengan ligat di tekannya tombol hijau.
Dani masih berlari dan berlari dengan kencang. Beberapa pasang mata melihat dia dengan
pandangan heran. Mungkin orang-orang itu merasa aneh bila disiang bolong begini ada saja orang yang
sedang berolahraga lari. Namun Dani tidak peduli, ia terus berlari sambil matanya mencari-cari. Miki
tidak mungkin pergi jauh dari sini, pikirnya. Akhirnya badan Dani capai juga. Ia berhenti sebentar.
Ditepanya tangannya di lutut kemudian di helanya nafas capainya. Dimana dia? tanyanya dalam hati.
“Halo Miki.” Jawab Andre heran ketika sedang dalam perjalanan pulangnya di dalam mobil, ia
mendapat layar ponselnya berbunyi yang menunjukkan bahwa pemilik nama ‘Miki’ sedang melakukan
panggilan masuk.
“Iya Andre, it’s me, Miki.” jawab Miki begitu panggilannya tersambung.
“Miki hilang.”
“Hah? Lagi?”
81 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“He-e. Miki gak tahu ini dimana.” adu Miki sambil memanyunkan bibirnya. Dipandangnya
orang-orang sekitarnya yang pada saat itu masih tetap memandangi dirinya.
Samar-samar dari jauh terlihat oleh Miki seorang pria yang berlari dengan nafas tersengal-
sengal. Miki menyipitkan matanya agar dapat melihat lebih fokus lagi. Ya, ternyata itu dia, ucap Miki
dalam hatinya.
“Andre, itu dia Dani!” teriak Miki memotong Andre yang sedang bertanya panjang lebar di
telepon. “Iya, itu Dani. I’ll call you later.” kata Miki sambil buru-buru menutup ponselnya. Dengan
“Dani!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Dani. Bertolak belakang dengan
Miki, reaksi Dani begitu melihat Miki, ia langsung menunjukkan raut mata tidak senang. Ketika Miki
telah berada cukup dekat dengan Dani, ia pun beteriak dengan riang.
Dani tidak beraksi apa pun pada perkataan Miki. Ia hanya memandang gadis itu dengan
pandangan agak kesal. Sebenarnya ia begitu kwatir akan kebaradaan Miki tadi. Dani kemudian berjalan
tanpa mengacuhkan Miki berbicara. Miki yang menyadari hal ini langsung memajang muka cemberut.
Ia berjalan cepat mengikuti langkah Dani. Miki hanya mengikuti langkah Dani entah kenapa pun pria ini
berjalan. Matahari masih tepat berada di atas ketika mereka berdua berjalan beriringan dalam bisu.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di gerbang rumah yang bercorak kayu, rumah
Dani. Dani hendak membukakan gerbang untuk mempersilahkan Miki masuk ketika tiba-tiba ponselnya
82 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Miki….!”
“Oh, iya.”
“Kenapa?” tanya Dani dengan nada meninggi. Emosinya tampak memuncak akumulasi dari
“Aa?” Miki terheran melihat raut wajah Dani yang dirasanya berlebihan.
“A… habisnya Miki gak tahu mau hubungin sapa.” jawabnya polos.
“Aku... gak tahu nomormu, Dani.” jawab Miki dengan wajah memelas.
83 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Kenapa gak hubungin Mama atau Papa aja?” tanya Dani terus menerus dengan nada
membentak.
Mendapatkan bentakan bekali-kali yang baru pertama kali bagi Miki membuatnya cukup syok.
Dia pun mendengus, semakin cemberut dan menatap Dani dengan tatapan sebal. Dani terdiam
mendapati ekspresi Miki. Akhirnya ia tersadar bahwa dirinya terlalu berlebihan. Selama beberapa lama
“Miki…” panggil Dani lagi. Kali ini dengan lembut sambil menarik kedua tangan Miki. Namun
sepertinya sudah terlambat, perkataan Dani sudah menancap masuk dalam hati Miki. Ditepiskannya
“Miki…!” panggil Dani lagi sambil terus memandangi punggung Miki. Sebelum Miki benar-
GEBRAK! Dan pintu depan rumah dibantingnya dengan sekuat tenaga. Dengan segera Miki
berlari ke dalam kamarnya sementara Dani masih memantung dalam posisinya. Bik Inem yang sedang
bersih-bersih di ruang tamu ternyata sedari tadi mendengar pembicaraan keduanya. Ia pun hanya
Malam itu untuk kedua kalinya Miki menangis di rumah itu. Ia membenamkan wajahnya ke
dalam bantal untuk merendam suara tangisnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Setelah capai menangis ia
Dikamar lain malam itu ternyata Dani juga tidak bisa tidur. Matanya menatap ke langit-langit.
Begitu menyesal ia akan perbuatannya hari ini. Awalnya ia berencana untuk menyenangkan hati Miki,
84 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
namun sebaliknya ia malah membuat Miki menjadi sedih. Di putar-putarkannya badannya agar
mendapat posisi nyaman untuk tidur. Malam cepat berlalu dan hari baru datang untuk mereka berdua.
Hari ini keadaan di rumah Dani sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti pagi sebelumnya
juga, pagi ini Dani berangkat ke sekolah sementara Miki di tinggal di rumah. Dani telah siap dengan
pakaian seragamnya ketika hendak menuruni tangga. Namun sejenak Dani menghentikan langkahnya di
depan kamar Miki yang memang letaknya dekat dengan tangga rumah. Aneh, pikir Dani. Pagi itu tidak
seperti biasanya, lampu kamar Miki mati. Biasanya Miki tidak pernah mematikan lampu kamarnya.
Dani tahu kebiasaan Miki. Miki takut kegelapan, dari kecil sampai sekarang. Sebenarnya Dani hendak
mengecek keadaan di kamar Miki, namun di urungkannya niatnya begitu melihat jam yang sudah
“Ma… Dani pergi dulu ya Ma!” teriak Dani sembari mengikat tali sepatunya.
Dengan terburu-buru Dani berlari menyusuri jalan di kompleks tersebut. Sekolah Dani berjarak
hanya beberapa blok dari rumahnya. Keadaan itu membuatnya selalu ingin berlama-lama berangkat
sekolah, sebab ia tidak perlu naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi seperti kebayakan temannya
yang lain. Dani hendak mencapai gerbang sekolah ketika samar-samar dilihatnya dua sosok orang yang
tidak asing lagi baginya. Sempat ia berniat untuk menghampiri ke dua orang lelaki dan wanita yang
sedang mengobrol di halaman samping sekolahnya itu, namun akhirna ditepiskannya niat tersebut
85 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Oh selamat juga, pikir Dani ketika di detik terakhir lonceng sekolah berbunyi, ia berhasil
mencapai pagar.
“Selamat pagi calon ketua OSIS!” teriak beberapa gadis berseragam dari dalam gedung sekolah.
“Heh, ketua OSIS! Lo baru mau kepilih aja udah coba-coba telat.” ceramah Friska dari antara
“Iya… Maap ketua kelas.” ucap Dani memelas sambil berjalan menuju ruang kelas. “Hm.. udah
selesai tugas Chik?” tanya Dani ketika ia dan Friska berjalan beriring berduaan ke kelas. Barusan Friska
“Udah donk! Gue gak pernah ketinggalan ngerjain PR lagi kok, Dan. Gue udah mandiri neh.”
“Eh,” tiba-tiba Dani menghentikan langkahnya. Pandangan matanya menerawang, menatap jauh.
“Hah?” Friska jadi ikut-ikutan melihat ke arah yang dipandang Dani. Disadarinya ada sesuatu
“Miki!” teriak Dani ketika ia yakin bahwa gadis yang berbicara dengan seorang pria di halaman
sekolah itu adalah sepupunya. Dani masih berjalan pelan ke arah gadis tersebut sebab belum begitu
yakin dengan penglihatannya. Semakin lama semakin diperhatikannya maka semakin yakinlah ia. Tiba-
tiba gadis itu menjatuhkan tetesan air dari matanya. Ia menangis! Iya, itu Miki! Dani semakin yakin.
Miki menangis dan yang membuatnya menangis adalah seorang pria yang sedang berdiri di depannya. Ia
membelakagi Dani dan ketika ia berbalik Dani dapat melihat wajahnya. Dan dia adalah… Andre!
“Miki!!!” teriak Dani semakin kencang sambil berlari menuju ke arah kedua orang tersebut.
Namun di belokan tiba-tiba saja ia dihadang oleh Pak Darius, guru Biologi yang mengajar di
86 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Mau kemana Daniel?” Tanya Pak Darius yang berdiri tepat di depan Dani. Dani tidak dapat
bertindak apa-apa lagi selain hanya dapat melihat Miki dan Andre dari balik bahu Pak Darius.
Sementara itu, Friska yang sedari tadi melihat apa yang terjadi hanya mematung melihat sikap Dani
Selama jam pelajaran sekolah berlangsung, Dani tidak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian
yang tadi. Dani terus menghayal-hayalkan apa yang barusan terjadi. Berbagai pertanyaan berkecamuk
dalam benaknya. Benarkah itu Miki? Apa yang di lakukan Andre terhadapnya? Kenapa ia bisa
Friska yang duduk tepat dua bangku di belakang Dani terus memandang dengan pandangan
KRING... KRING… akhirnya bel sekolah pertanda istirahat pertama berbunyi juga. Bel yang
sedari tadi tidak sabar ditunggu Dani. Sangkin buru-burunya mau pergi, Dani tidak merasa perlu
menyusun bukunya dulu sebelum keluar dari ruangan kelas tersebut. Begitu bel berbunyi, ia langsung
bangkit dan pergi dengan tujuan menjumpai Andre. Dengan langkah kaki berat dan dada yang
membusung, Dani berjalan mengitari sekolah. Dicari-carinya sosok Andre keseluruh ruangan di kelas.
Ke ruang kelasnya, tidak ada. Kekantor guru, tidak ada. Di lapangan, tidak ada juga. Dani menjadi
semakin tidak sabar. Dengan langkah cepat, Dani melangkahkan kakinya ke kantin. Kali ini tebakannya
tepat. Ya, disitu dilihatnya sesosok pria jangkung dengan rambut lurus hitam dan wajah maskulinnya.
Wajah yang paling dibencinya belakangan ini. Seketika itu juga disampirinya cowok itu. Ditepuk Dani
“Andre, elu jangan macem-macem ama sepupu gue ya!” Andre yang menyadari keganjilan dari
perkataan Dani langsung bereaksi. Ia bangkit berdiri sambil menepis tangan Dani di bahunya.
87 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Eh dengar ya, Miki itu sepupu gue! Lu jangan seenaknya buat nangis sepupu gue!” teriak Dani
“Maksud lo apa seh?” tanya Andre tidak mengerti. Dani yang emosinya sudah meluap tidak lagi
“Gue tekankan sekali lagi, MIKI SEPUPU GUE! Jangan sembarangan lo memperlakuin sepupu
gue.” Dani berucap sambil menghembuskan nafasnya yang tidak beraturan lagi.
“So what? Emang dia nganggap lo sepupu? Lo yang selama ini nelantarin dia, tau gak lo!”
“Eh kampret lo! Jaga mulut lo!” teriak Dani lagi, kali ini emosinya benar-benar memuncak,
“Lu yang jaga mulut!” Andre ikutan berteriak dan mendorong Dani sampai jatuh. Tidak dapat
dikuasainya lagi emosinya, Dani buru-buru bangkit lalu berjalan cepat ke arah Andre dan meninjunya
Gebrak… Gedebuk... Gubrak... puluhan tinjuan dan tendangan mendarat begitu saja
disekujur tubuh Andre dan Dani. Pertempuran mereka yang sengit dan imbang membuat isi kantin
semakin ribut bersorak-sorai. Pukulan-pukulan diantara keduanya diiringin maki-makian ala hewan
kebun binatang. Masing-masing berdarah dan terluka namun masing-masing juga tidak ada yang mau
mengalah. Joe dan beberapa anak lain yang melihat pertempuran seru itu berusaha meleraikan keduanya,
“Eh, bajingan lo!” maki Andre sambil terus mengepalkan tinjunya di atas angin. Tidak dapat di
jangkaunya Dani karena didorong oleh teman lainnya yang berusaha memisahkan mereka berdua.
88 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Lu yang bajingan!” seru Dani balik sambil melakukan hal serupa.
“Agrh… ahduh sakiit…” Dani memelas sewaktu Friska mengkompres lukanya dengan batu es.
“Tahan donk! Makanya jangan asal berantam membabi buta gitu.” Friska mulai menasehati ala
ibu-ibu.
“Iya Dan, habisnya loe pake acara main pukul aja.” timpal Joe. Mereka hanya bertiga di ruangan
kelas sore itu. Seisi peghuni sekolah telah pergi dan hanya tinggal para penjaga sekolah yang memang
menginap di tempat itu setiap hari. Matahari senja begitu terik, sangat berlawanan dengan suasana hati
“Loe bisa pulang sendiri gak dengan kondisi kayak gini.” tanya Joe.
“Em... bisha si thapi gue kwatir ama Bokap Nyokap guweh.” Dani berusaha berbicara dengan
“Ya udah, gini aja kita berdua ngantarin lo pakai alasan kalau lo tadi ketabrak apa gitu.” usul
Friska.
“Emang bisa ketabrak pakek apa Fris sampai bonyok gitu?” tanya Joe meledek Friska
“Ckk.. apa aja kek, ditabrak kreta kuda kek. Kreatif donk lu!” balas Friska tidak mau kalah.
“Heeh..heh..he..” Dani ingin tertawa melihat kelakuan lucu dua sahabatnya ini, hanya saja
“Jadi lo di scors berapa hari Dan?” tanya Friska sambil terus mengompres bengkak-bengkak di
89 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Gak papa nih, Dan? Urusan ketua OSIS loe gimana?” tanya Joe penuh prihatin.
“Ih gimana sih lo, gak konsisten banget!” Friska yang kesal dengan kelakuan sobatnya satu ini
“Eh, sori.”
“…”
“…”
“…”
Ketiganya tiba-tiba hening sambil menatap mentari yang semakin terbenam. Warna langit yang
berpadu antara kuning dan merah membuat mereka tertegun menikmati suasana itu.
“Huff.. udah makin gelap aja nih,” Joe mulai membuka pembicaraan. “Pulang yuk?”
“Ya ngantar elu lah begok!” bentak Joe sambil melirik sinis ke arah Dani.
Mereka kemudian berjalan beriringan. Melihat Dani yang jalannnya agak terpincang, Friska
“Iya.”
90 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sesampai di rumah, Mama histeris melihat kondisi Dani. Papa hanya geleng-geleng
kepala maklum. Papa yang berjiwa bebas masih mewajari kelakuan anaknya ini. Maklum emosi remaja,
katanya. Hanya Mama saja yang histeris melihat Dani. Joe dan Friska harus berulang kali menceritakan
kronologis kejadian karangan mereka agar Mama bisa tenang. Tapi tak sekalipun nama Miki (yang
merupakan biang keroknya) disebut-sebut dalam berita acara tersebut. Mama merekomendasikan Dani
dibawa ke rumah sakit. Tapi Dani bertekak tidak ingin ke rumah sakit. Ia berdalih bahwa yang di
dapatinya ini hanya luka biasa. Padahal kenyataannya memar dan bengkak di sekujur tubuh Dani
memang cukup parah. Akhirnya mereka setuju mengambil alternatif dengan memanggil dokter kenalan
Papa ke rumah. Setelah Mama tenang, Joe dan Friska berpamitan pulang.
Suasana di rumah sudah menjadi tenang ketika dokter kenalan Papa tersebut selesai memeriksa
Dani. Kata dokter itu, Dani menderita memar akibat benturan biasa, namun tetap saja Dani harus
istirahat. Sewaktu sedang tidur-tiduran di kamar, tiba-tiba pikiran Dani menuju pada satu sosok, Miki.
Memang sudah ditunggu-tunggunya sedari tadi, namun Miki tetap tidak muncul juga. Sudah jam
setengah tujuh malam. Ah tunggu sebentar lagi, pikirnya, soalnya Miki juga pernah kelamaan pulang
hingga jam delapan malam. Namun setelah di tunggu lima menit, sepuluh menit, lima belas menit
setengah jam dan satu jam, Miki belum muncul juga. Dani menjadi kwatir setengah mati. Dengan sekuat
tenaga ia bangkit dari tempat tidur, dipanggilnya Mama dan Papa. Ia lalu menelpon kedua orang
sobatnya, Joe dan Friska, yang tidak berapa selang waktu kemudian sudah tiba kembali di rumah Dani.
Mama sewot, Papa juga, Dani apalagi. Joe dan Friska jadi ikut-ikutan.
91 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Miki dimana? Dimana? Menghilang dimana?” kata-kata itu terus terucap dan terngiang dalam
hati Dani. Semua nomor telepon teman-teman yang mengenal Miki telah dihubunginya.
Joe dan Friska yang sedari tadi berada di rumah Dani ikut-ikutan heboh. Dani yang paling sibuk
memencet nomor telepon teman-teman ataupun berdiskusi sendiri memikirkan dimana kemungkinan
perginya Miki. Tentu saja mereka sangat gempar, pasalnya Miki sama sekali gak tahu jalanan di Jakarta,
nyasar beberapa blok saja mungkin bisa tersesat apalagi jalan jauh. Tentu saja kemungkinan ia diculik
cukup besar. Ia kan bukan warga negara Indonesia. Maksudnya walaupun ia bukan WNI, tetapi dari
bentuk fisiknya ia kelihatan sekali pasti bukan WNI. Jangankan jalan sendiri, jalan berdua aja dengan
Dani berpasang-pasang mata pasti melihat atau memandanginya. Camkan, bukan melirik!
Berbagai bayangan aneh mulai berputar lagi dalam pikiran Dani. Tangannya mulai dingin, ia tak
bisa menghentikan langkahnya mondar-mandir ruang tamu sekitar meja telepon yang letaknya tak jauh
dibawah tangga. Mama mulai memunculkan batang hidungnya karena gelisah mendengar suara langkah
Dani yang sudah sedari tadi mondar-mandir ruang tamu. Mama menjadi lebih kwatir lagi setelah melihat
Di lain tempat, Andre menghembuskan nafas capainya setelah ngos-ngosan berlari kesana
kemari. Barusan ia dari arah taman komplek, tapi hanya mendapat kecewa setelah melihat hanya
92 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
beberapa pasangan sedang berkencan untuk melunasi jadwal apel malam minggu nya di sana. Ia
kemudian membalikkan badan dan berlari ke arah sekolah meskipun jarak dari taman tersebut ke
sekolah cukup jauh. Namun mengingat hari telah petang, maka akan menghabiskan waktu bila harus
menunggu bus menuju sekolah yang jarang sekali datang. Kalaupun ada, bus tersebut akan melalui
jalan yang berkelok-kelok yang akan menghabiskan banyak waktu juga. Jadi dengan segala tekat dan
keberanian yang dimilikinya, Andre memutuskan untuk berlari menuju sekolah dan menyusuri ruangan
sekolah sendirian. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Pak Kanto, satpam sekolah, sudah pulang
dari tadi dengan meninggalkan pintu gerbang sekolah yang tertutup. Hanya si Suko, si penjaga malam,
yang biasanya ada disekolah jam segini. Agak susah dan membutuhkan waktu lama untuk memanggil
Pak Suko, jadi Andre memutuskan untuk mamanjat guna menerobos pagar. Setelah berhasil melompat,
ia tidak membuang-buang waktu berlari menyusuri seantaro sekolah. Walaupun sebenarnya ada rasa
takut dalam dirinya teringat akan gosip-gosip mistik diseolahnya, tapi tampaknya keinginannya untuk
menemukan Miki lebih besar dari ketakutan lainnya. Ia berlari dan terus berlari, mencoba mencari di
lapangan, tidak ada. Ia beranjak keruangan kelas, tetapi terkunci. Kantin juga kosong, bahkan sampai
dicari ke kamar mandi sekalipun namun tetap saja hasilnya nihil. Nafas Andre kembali terengah-engah,
ia kemudain mencoba beristirahat sebentar menatap kelangit, keringatnya mulai bercucuran jatuh
menetes di atas kursi taman tempat ia duduk. Masih dengan posisi duduk dan nafas tidak teratur, tiba-
Kring…kring… dengan secepat yang dibisa, Dani menyambar gagang telepon dan dengan segera
menjawab,
93 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hallo… selamat malam. Apa Anda mau memberi kabar tentang Miki?” sepertinya Dani
menduga telepon ini berasal dari kepolisian, padahal tentu saja tidak mungkin karena baru lima menit
“Andre, gimana jadinya Miki udah ditemukan?” tanyanya dengan penuh pengharapan seolah-
Mendengar pernyataan Dani itu, Joe dan Friska langsung bangkit dari tempat duduknya
di ruang tamu dan mendekati Dani. Mereka berudua melekatkan telinga masing-masing ke gagang
telepon.
“Dan, gue gak nemuin Miki dimanapun. Gue udah cari-cari ke taman dan seisi sekolah,
tapi gue gak nemuin jejak apapun.” lapor Andre dengan nafas yan tergopoh-gopoh. Mendengar
perkataan Andre tersebut, air muka Dani langsung berubah menjadi pucat. Padahal tadinya ia berharap
banyak pada Andre. Pelan-pelan ia longgarkan gagang telepon yang sedari tadi di genggamnya erat.
“Coba lo ingat-ingat lagi Dan. Biasanya kalau Miki ngambek, dia pergi kemana. Lo pasti
tahu kan Dan? Lo kan sepupunya. Coba lo ingat-ingat lagi, biasanya Miki pergi kemana?” tanya Andre.
Miki ngambek pergi kemana? Miki ngambek pergi kemana? Pertanyaan itu terngiang-
ngiang di kepala Dani. Pikirannya kembali berputar dalam lingkaran hitam dan putih. Sepertinya ia
teringat pemandangan masa lalu lagi. Saat indah masa kanak-kanaknya bersama Miki.
“Miki, ayuk kita balik ke rumah?” pinta sebuah suara lelaki kecil sembari mengulurkan
tangan mungilnya.
“Huhuhu…. Miki gak mau. Miki sebal sama Dani. Miki gak mau… Huhuhu..” ucap
seorang gadis kecl dari atas ayunan papan. Lengannya masih memeluk rantai besi ayunan kayu,
94 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
sementara jari-jarinya mencoba menghapus air mata yang mengalir di wajahnya dengan cara mengucek-
ucek matanya.
“Iya, Dani tahu Dani salah, lain kali Dani gak akan lakukan kesalahan yang sama.” bujuk
Mendengar bujukan itu, gadis kecil yang rambutnya dikucir dua tersebut terdiam. Ia
“Ya, Dani janji.” Ucap bocah lelaki ini mantap sembari menundukkan wajahnya
mendekati wajah sang gadis kecil. Satu tangannya memegang rantai ayunan mencoba menghentikan
goyangannya. Si gadis cilik tersenyum pada bocah lelaki tersebut kemudian ia menantang dengan
“Kalau kamu langgar janji, Miki bakal pergi dari sini dan gak mau balik ke rumah lagi.”
ancamnya dengan mata disipitkan dan bibir agak dicibirkan untuk menunujukkan keseriusannya.
“Sumpeh lo? Dimana?” tanya Friska penasaran. Namun sebelum Friska berhasil
menyelesaikan pertanyaannya, Dani telah melesatkan kakinya cepat menuju pintu depan. Ia juga
meninggalkan telepon yang di ujung sambungannya masih terngiang suara Andre yang semakin bingung
95 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Kreak… kreak... terdengar suara karat besi tua yang berat seolah tidak dapat lagi menahan beban
menggoyangkan kakinya ke depan dan ke belakang. Ia menarik kursi kayu ayunan dengan beban
karena bintang tidak ada. Mukanya kusut dan pandangannya kosong. Tampak aura kesedihan terpancar
dirinya. Meskipun begitu, wajahnya tetap memancarkan kecantikannya di setiap ekspresi. Tiba-tiba
sesuatu mengejutkannya.
“Ngapain malam-malam keluyuran, Miss?” tanya sebuah suara berat dari belakang. Suara
itu berbicara sembari menutupi tubuh mungil gadis ini dengan sebuah jaket berbahan wol tebal. Spontan
sang gadis membalikkan wajahnya ke belakang. Dipandanginya sesosok wajah yang hitam dan tidak
kelihatan. Mungkin karena pepohonan di sekitar situ mulai tumbuh lebat sehingga menutupi masuknya
“Miki, ayo kita kembali kerumah?” ucap suara itu lagi sembari menundukkan wajahnya
ke arah wajah sang gadis sehingga kini gadis tersebut dapat melihat dengan jelas siapa sosok di balik
bayangan tersebut.
Seperti mengulang drama lama, pikiran gadis itu berputar pada ingatan masa lalunya.
Keduanya lalu terdiam membisu, saling memandang. Beberapa detik kemudian bulir air mata mulai
turun dari pelipis sang gadis, tanpa suara. Kemudian dengan gerakan cepat ia membalikkan tubuhnya
dari ayunan dan memeluk tubuh pria itu. Satu lututnya menekuk diantara gelantungan kayu ayunan
sementara kaki lain menjaga keseimbangannya di tanah. Ia pun menangis sejadi-jadinya di atas bahu
pria itu. Dan sang pria membalas memeluknya serta membelai punggungnya. Kemudian pria itu
96 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
tersenyum dengan penuh kelegaan sambil memandang ke arah langit. Dikecupnya kening gadis ini dan
Miki hanya menganguk mengiyakan dengan bibir yang dimanyunkan. Dani memandang
dalam ke wajah Miki. Setelah Dani menghapuskan airmata Miki, mereka kemudian berpelukan. Kali ini
Kreak... terdengar suara pintu depan yang mendesis ketika dibuka. Dari balik itu muncul dua
sosok orang, Dani dan Miki. Dani menuntun Miki masuk ke dalam rumah. Jaketnya masih terus
bergelantung di atas bahu Miki. Sementara itu Miki berjalan beriringan di samping Dani dengan mata
yang sembab. Keduanya berjalan dalam pikirannya masing-masing. Keduanya berjalan dalam diam.
Begitu pun seisi rumah yang sedari tadi mengkwatirkan keberadaan mereka berdua, terdiam begitu
melihat keduanya masuk. Mama, Papa, Friska dan Joe hanya bisa menatap kedua orang yang berjalan
menaiki nak-anak tangga tersebut dalam diam. Sepertinya orang-orang yang terheran tersebut punya
Bum..! Terdengar suara bunyi pintu kamar yang d tutup, seketika itu juga ke-empat orang
Dani mengantarkan Miki sampai ke kamarnya. Diselimutinya gadis itu ketika Miki
merebahkan badannya di atas tempat tidur. Miki tidak begitu saja memejamkan matanya. Selama
beberapa lama di pandanginya ubun-ubun kamarnya. Begitu pula hanya dengan Dani, sejenak hanya
terdiam sambil memandangi Miki. Beberapa saat kemudian, Dani bangkit dari tempat duduknya. Namun
dengan cekatan, Miki langsung mencegah Dani. Dicengkramnya pergelangan tangan Dani begitu erat.
97 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Dan, Miki belum ingin pulang Dani, belum! Miki masih pengen di sini sama Dani. Miki
gak mau sedih lagi. Miki gak mau merasakan kesunyian lagi. Gak mau!” rengek Miki.
Dani tidak tahu harus menjawab apa mendengar pernyataan gadis tersebut. Ia hanya
menatap mata gadis tersebut dengan tatapan yang dalam sekali. Dipandanginya terus dalam diam.
Malam ini Dani hendak mampir ke rumah Friska. Karena itu Friska menjadi sibuk sejak
tadi sore. Sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Ia berusaha merapikan rumahnya, ia berusaha membuat
ruangan itu seindah mungkin. Jangan sampai setitik debu pun terlihat oleh Dani, pikirnya. Sebenarnya
ini bukan pertama kalinya Dani datang ke rumahnya. Memang kedatangan Dani kerumahnya masih bisa
dihitung dengan jari. Hanya saja ini pertama kalinya Dani datang ke rumah Friska semenjak gadis itu
menyadari perasaannya semakin mendalam pada Dani. Entah sejak kapan bila di dekat Dani, jantung
Friska tidak dapat berhenti berdetak kencang. Semua perhatian Dani padanya semakin mempertebal
perasaannya pada Dani. Walaupun ia sadar bahwa Dani berbuat baik pada semua gadis yang dikenalnya
yang secara tidak langsung dan tanpa disadari Dani membuatnya menjadi pujaan banyak gadis di
sekolah. Friska juga sepenuhnya sadar bahwa mungkin cintanya tidak akan berbalas. Akan tetapi, dia
Friska menatap lama di depan kaca. Dilihatnya bayangan dirinya: rambutnya yang hitam
legam dan dipotong pendek, badannya yang proporsional dengan tinggi 170 cm, ukuran yang cukup
tinggi untuk orang Asia, matanya yang bulat dan hitam, hidungnya, bibirnya, semuanya sempurna. Ia
menyadari kecantikan yang ada didirinya. Akan tetapi, ia menjadi merasa minder bila membandingkan
98 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
dirinya dengan Miki. Terlihat bayangan cemberut dari pantulan kaca ketika ia memikirkan nama gadis
itu ‘Miki’. Namun sejurus kemudian, diteguhkan kembali hatinya. Diacungkannya tinju ke arah cermin.
Ting.. tong.. bel rumah berbunyi. Jantungnya berdegup kencang. Tidak dapat ia menahan
debaran itu. Ia memang berdandan malam ini, tapi ia berusaha agar dandanan yang ditampilkannya itu
tampak senatural mungkin. Dengan berlari kecil ia menuruni belasan anak tangga yang terbuat dari
rangka-rangka besi. Ketika telah berdiri di ambang pintu utama rumah, ia sejenak menghentikan gerakan
tangannya yang tengah memegang daun pintu. Diambilnya ancang-ancang dan ditunggunya beberapa
saat.
Ting..tong didengarnya lagi bunyi bel itu dan kali ini dengan mantap dibukakannya pintu
tersebut. Nafasnya terhenti sejenak. Baginya saat itu waktu pun ikut berhenti. Angannya bagai berada
dalam dunia dongeng. Didapatinya pangeran berdiri tepat di teras rumahnya. Pangeran impian yang
selama ini dinantikannya. Pangeran yang baik dan cakep. Semuanya yang selama ini diharapkannya ada
dalam diri Sang Pangeran. Hanya saja kali ini Pangeran tidak datang dengan kuda putih, ia juga tidak
mengenakan jubah kerajaan serta tidak membawakan seutas mawar. Pangeran yang ini hanya memakai
T-shirt oblong dan celana butut. Namun bagi Friska, dia adalah pangeran segalanya. Chika’s prince
charming.
“Chik… chika.. hallow Chika…” panggil Dani berusaha menyadarkan Chika dari
“Hm.. hm… ah Dani! Masuk, masuk….” ujar Chika begitu terlepas dari pesona Dani.
Pada saat itu Dani memang tidak mengenakan sesuatu yang spesial. Mungkin karena terbawa suasana
romantis yang berasal dari langit yang penuh dengan bintang serta bulan purnama yang terang
99 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah Friska tidak begitu
luas, tetapi padat karena dihiasi penuh dengan perabotan-perabotan antik. Rumah itu terkesan sangat
klasik.
“Nyokap lo pecinta barang antik ya? Sejak terakhir gue datang, makin banyak aja barang
antik disini.” komentar Dani sambil mendudukkan dirinya di atas sofa coklat yang empuk.
“Anyway, bonyok lo lagi dimana?” tanya Dani lagi sambil terus menerawang ke segala
“Kerja.”
“Belum.”
“Em… sebenarnya bokap gue lagi dinas keluar kota. Terus karena nyokap gue kwatir, ya
nyokap gue ikutan deh. Jadi mungkin hari ini gak pulang.” jawab Friska berusaha terlihat sebiasa
mungkin.
“Hm… jadi ceritanya gue malam mingguan sendiri neh ketempat lo.” canda Dani sambil
Deg… spontan jantung Friska berdegup kencang. Pernyataan sembarangan dari Dani
“Anyway kuadarat, minum gue mana ya, Chik?” Dani mengelus-elus lehernya sebagai
tanda kehausan.
100 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oh iya.. iya.. tunggu sebentar ya?” Friska segera berlari kedapur. Di sana di
hembuskannya nafasnya kencang berusaha melegakan diri, lalu setelah merasa cukup dilanjutkannya
“Jadi, apa yang mau lo omongin?” tanya Friska sekembalinya dari dapur.
merasa begitu haus. Tampaknya Dani memang sudah tidak meminum apapun sejak tadi siang.
“Malam-malam gini jamuran banget ya kalau harus nongkrong di rumah mulu.” Dani
“Lo emang biasanya di rumah mulu ya, Chik?” tanya Dani tanpa mengalihkan
pandangannya ke luar ruangan, ke arah langit yang penuh dengan kerlip bintang dan sinar rembulan.
“Mau keluar?” Dani mengajak sambil memasang mata tajamnya memandang Friska.
Tanpa menungu jawaban Friska, ditariknya lengan gadis itu menuju keluar rumah. Jantung Friska
kembali berdegup kencang. Rasanya seluruh tubuhnya lemas tidak berdaya. Dihidupkan Dani mesin
Sudah beberapa hari aku tinggal di Australia. Dan beberapa hari lagi aku
akan segera pulang, karena urusanku disini untuk memantau Rio atas perintah
Ayah telah selesai. Rio anak yang baik, prestasinya di kampus juga baik, dia juga
ikut dan aktif dalam beberapa kegiatan di kampus. Tidak ada yang perlu di
kwatirkan darinya. Dari dulu dia memang anak yang pintar dan baik sehingga
101 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
selalu jadi kesayangan semua orang. Aku pun sangat menyayangi adikku ini.
Meskipun….
“Kak.. aku berangkat dulu ya?” teriak Rio dari dalam kamar flat sehingga
membuatku terhenyak dari lamunanku. Saat itu aku tengah menikmati kopi di
berenda depan, seperti yang selalu aku lakukan selama berada di sana.
“OK Kak. Oya, kalau bosan, Kakak datang saja ke kampusku, nanti aku
temani jalan-jalan lagi di sana.” Saran Rio sambil berjalan terburu-buru ke arah
pintu keluar.
“Iya. Lihat nanti saja, Rio.” Jawabku kurang antusias. Sejenak kemudian
Sepeninggalan Rio, aku sendirian di kamar flat itu. Meskipun begitu, aku
menikmati tiap suasana di sana yang akan jarang aku alami. Angin musim dingin
yang sejuk merasuk ke dalam tubuhku. Kurasakan tubuhku merinding, namun aku
kembali pandanganku ke jalan raya. Ku perhatikan tiap sosok orang yang lewat
seperti yang kulakukan sudah-sudah. Tiba-tiba mataku terpaku pada sesosok gadis
dengan mantel merah dan berbulu putih dipinggirannya. Kufokuskan mataku dan
berdetak keras sewaktu ia melihat ke arahku. Ia benar, dia tidak melihat lurus ke
depan, ia melihat ke atas, ke branda flat ini, ke wajahku! Dia adalah Michelle,
gadis yang aku lihat di beranda dua hari lalu, gadis yang juga dikenalkan Rio
padaku. Aku terdiam. Aku ingin tersenyum, namun entah kenapa senyumku
102 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
berlalu begitu saja. Berjalan terus dan meninggalkan jejak-jejak kaki di atas salju.
Begitukah dia, akan meninggalkan kesan saja padaku tanpa aku bisa lebih
mengenalnya? Tidak! Aku ingin tahu siapa dia. Aku ingin mengenalnya. Dari mana
Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Aku berlari terburu-buru melewati
pintu kamar flat. Sangkin ingin cepatnya, aku bahkan lupa untuk mengunci
kembali kamar flat tersebut. Aku berlari melewati anak tangga dan mendobrak
pintu depan gedung flat. Aku berlari dan berlari menginjaki salju putih yang mulai
sebenarnya dia? Bolehkan aku mengenalnya lebih? Aku berlari dan terus berlari
Lelah aku berlari, aku pun berjalan lesu melewati jalan trotoar yang tadi telah aku
lalui. Wajahku tertunduk dan tak kuperhatikan lagi orang-orang yang berjalan di
sekelilingku. Aku berbelok di tikungan itu dan tanpa sengaja aku menabrak
sesuatu.
BTAAKK.. Auw.. tabrakan itu terasa renyah sekali. Aku terjatuh di atas
tumpukan salju, begitupula sesuatu yang kutabrak itu. Sesuatu yang berwarna
103 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“I’m sorry.” katanya. Aku terpana. Aku tidak bisa bergerak. Bahkan mataku
tidak berkedip dan mulutku tidak dapat berbicara. Dia… si gadis itu.
“Ini tempat apa, Dan?” tanya Friska sembil mengamati sekelilingnya. Udara dingin yang
“Ini tempat kenanganku. Kenangan manisku.” jawab Dani dengan wajah senang. Ia pun
Sraaap… dibukakannya resleting jaketnya dan dipakaikannya pada Friska yang saat itu
tengah menggigil. Muka Friska tiba-tiba saja memerah namun hal itu tidak disadari Dani karena
“Gue cuma pengen bagi cerita ke sahabat gue. Karena menurut gue, dalam kasus ini gak
ada lagi yang bisa bersimpati ama gue selain lo, Chik.’
Lama Dani baru menjawab pertanyaan itu. Keduanya diam tanpa gerakan di bawah
“Ini taman rahasiaku dan Miki,” jawab Dani sambil kembali menggoyangkan
ayunan.“Tapi sekarang bukan rahasia lagi, kan lu sudah tahu.” sambung Dani. Pandangnya kosong dan
“Ah, sebenarnya ini sudah lama bukan rahasia lagi. Anak-anak sekitar sini dari dulu udah sering
104 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“….”
“….”
Dani masih membisu dan tatapannya tetap hampa ke bawah tanah yang berumput itu. Friska jadi
sensitif itu. Ia sepenuhnya sadar pertanyaan itu akan berbuntut sakit hati pada dirinya, namun ia tidak
dapat lagi menahannya dan kata-kata itu pun meluncur saja dari bibirnya.
Mendengar pertanyaan itu, Dani masih laut dalam diam, namun tidak lama kemudian dia mulai
bersuara.
“Gue..,” Dani tampaknya ingin bercerita panjang. ”Gue sendiri gak tahu gimana perasaan gue
yang sebenarnya ke Miki. Gue sayang dia. Sayang… sekali. Sayang… sekali. Rasanya gue pengen
ngelindungin dia dengan segala yang ada didiri gue. Tapi akhir-akhir ini semua yang gue lakukin malah
ngelukain dia. Gue takut ke-egoisan gue melebihi segalanya. Gue takut rasa ingin memiliki dia lebih
besar dari segalanya dan pada akhirnya malah ngejerumisin gue. Gue takut Chika..” Dani bercerita
Mendengar semuanya itu, Friska hanya bisa diam, dadanya seperti tertusuk. Friska tahu
perasaan Dani pada Miki dari dulu. Dari dulu… sekali. Semenjak pertama mereka dekat. Semenjak
pertama kali Dani menceritakan tentang sepupunya yang bernama ‘Miki’. Kala itu mata Dani bersinar,
seolah ada magic dalam tiap nama ‘Miki’. Mata Friska meredup dan sayu. Ia berjalan perlahan ke arah
Dani, didekati pria itu. Sementara Dani masih diam membisu dalam lamunannya. Sejurus kemudian,
105 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Friska telah duduk di atas ayunan yang bersebelahan dengan Dani. Kreak… bunyi rantai ayunan yang
sudah berkarat memecahkan kesunyiam malam itu, diantara keheningan dua orang itu.
“Gue rasa,” Friska mulai membuka suara ”… lo suka sepupu lo, Dan.”
Mendengar pernyataan itu, Dani langsung mengadahkan wajahnya ke arah Friska dengan
mata terbelalak. Keduanya diam dan tetap dengan posisi saling memandang, saling menunggu jawaban.
“Rasa suka lo bukan sebagai adik sepupu. Lo cinta sama Miki kan, Dan?”
“Jangan bohongi diri sendiri Dani. Sejak kecil bersamanya, ditemani olehnya. Perasaan
kalian tumbuh. Bukan tidak mungkin Miki juga merasakan hal yang sama.”
“….”
“….”
Selama lima menit keduanya diam dalam kesunyian. Hanya ada suara jangkik serta serangga-
serangga malam yang lain yang seakan tahu perasaan kedua orang itu. Bulan purnama tampak terang di
“Lo… jangan sia-siain dia.“ Tidak sanggup menahan perasaannya, Friska akhirnya
beranjak pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan Dani, Friska memberanikan diri menungkapkan
perasaannya
“Dani…” panggil Friska ke Dani yang sedari tadi menunduk. Dani kemudian menoleh
“Aku… sayang kamu,” Friska lalu terdiam. Lima detik kemudian baru Friska
melanjutkan pernyataannya “… sayang kamu lebih dari sekedar teman.” Dan seketika itu juga ia pergi
106 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
menjauh dari tempat itu. Berlari secepat mungkin dan menghindar dari Dani. Rasanya malu sekali
mengungkapkan perasaan pada seseorang dimana orang tersebut sudah jelas-jelas menyukai orang lain.
Dalam perjalanan pulang, Friska tidak sanggup menahan air matanya. Friska pun
menangis di tengah jalan. Rasanya kesal sekali mendukung urusan cinta orang lain, terutama bila kita
“Kamu kenapa Friska?” tanya Ibu pada Friska ketika ia masuk ke rumah dengan mata
sembab.
“Gak papa kok, Bu” jawab Friska tanpa melihat ke arah Ibu.
“Urusan cowok ya?” tanya Ibu penuh kelembutan. Friska mematung terdiam sambil
menatapi Ibu. Keduanya terdiam. Ibu tersenyum dan matanya berkilat melihat kelakuan putrinya yang
Di taman itu, Dani ditinggal sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekarang
udah terlalu larut, pikirnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirannya masih
berputar-putar. Ditatapnya ke langit mencoba mencari penyegaran. Udaranya yang dingin membuatnya
107 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana nya. Huff… dihembuskannya lagi nafas panjangnya.
Rahang yang keras itu sedikit menggigil menahan udara dingin yang menebus ke dalam kulit.
Aku suka Miki. Chika suka aku. Apakah Miki suka padaku? Tanyanya dalam hati.
Sesampainya dirumah, hari sudah terlalu larut. Jam telah menunjukkan pukul dua belas
malam. Setelah berganti baju dan membereskan segala kerpeluan untuk besok, Dani merebahkan
badannya ke atas tempat tidur. Ia mencoba untuk tidur, namun ia tidak bisa memejamkan mata. Hatinya
berkecamuk. Akhirnya ia bangkit lagi dari tempat tidur. Ia turun ke bawah tangga, kemudian ia berjalan
perlahan ke arah rumah tamu melewati ruang keluarga dan naik kembali ke loteng, lewat ke arah kamar
Miki. Awalnya ia ragu untuk masuk ke dalam. Awalnya ia berniat untuk mengetok kamar tersebut.
Namun sewaktu daun pintunya digerakkan, ternyata pintunya tidak terkuci. Dani memberanikan diri
untuk masuk kedalam. Dengan ekstra perlahan, ia menginjakkan kakinya ke dalam ruangan itu. Setelah
beberapa langkah masuk, didapatinya Miki sedang tertidur dengan lelapnya. Dani tersenyum lembut
mendapati wajah malaikat di kamar itu. Rambut Miki panjang terurai di sisinya. Poninya berantakan.
Wajahnya begitu pulas. Tak kuasa Dani untuk tidak menyentuh wajah Miki yang putih dan lembut
seperti bayi. Sejenak kemudian diberanikannya dirinya untuk mengecup kening Miki. Dalam tidurnya,
Miki bermimpi tentang masa kanak-kanaknya. Ia berlari girang bersama Dani, tertawa dan bermain.
Miki pun tersenyum dalam tidurnya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.
Selamat malam Miki, mimpi yang indah! ujarnya dalam hati sebelum menutup pintu kamar itu.
“Slamat pagi semua!” seru Miki riang pagi itu. Suasana pagi begitu cerah hari itu.
Matahari tersenyum dengan silaunya. Seluruh anggota keluarga sibuk mempersiapkan diri untuk
memulai kegiatan-kegiatan hari itu di ruang makan. Hayam… Miki menguap sambil mentup mulutnya
108 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
dengan sebelah tangan kirinya. Duster milik Mama yang tengah dipakainya terlihat kebesaran di
tangannya.
“Pagi ini riang sekali Miki. Kamu mimpi indah ya?” tanya Papa.
Di sisi lain, Dani tidak dapat berhenti menatap Miki semenjak ia turun dari tangga.
Sambil makan, sambil mengoles margarin di roti, sambil mengunyah, matanya tidak bisa dialihkannya
dari wajah Miki. Senyum terus mengembang di wajahnya. Miki yang merasa seperti ada sesuatu yang
sedari tadi memperhatikan dirinya akhirnya tersadar. Ia melihat ke arah Dani, mengeryitkan dahi
“Kenapa Dani? Ada yang salah?” Mendapati reaksi Miki tersebut, Dani semakin
“Gak papa kok, Miki. Cuma kayaknya ada coklat yang menempel di pipimu.” jawabnya
hitam.
Pagi ini Dani berjalan sendiri memasuki gerbang sekolah sambil bersiul-siul ringan.
Sesudah dari kamar Miki kemaren, tidurnya nyenyak sekali. Akhinrya ia menyadari perasaan yang
selama ini membingungkannya. Hari ini juga dia berniat untuk mengucapkan terimakasih pada Friska.
Langkahnya ringan menuju ruang kelas. Begitu sampai, ia langsung mengantarkan tas ke atas mejaunya
dan kemudian berjalan ke arah kelas lain. Friska memang suka nongkorong di kelas lain bersama
sahabat ceweknya. Di kelas sebelah itu memang didapatinya Friska yang sedang menulis sesuatu
109 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Brak…! Dipukulkan Dani meja yang sedang digunakan Friska dengan agak kencang
dalam rangka mencoba merebut perhatiannya. Hal itu memang berhasil membuat Friska mengadahkan
wajahnya keatas.
“Hwoh.. sang calon ketua OSIS datang. Selamat pagi, Bos!” serunya.
“Hehehe.. lo bisa aja pagi-pagi gini. Lagi ngerjain apa?” tanya Dani sambil
“Hm… ini laporan absen buat guru.” jawab Friska sambil melanjutkan pekerjaannya.
Setelah itu mereka berdua hanya diam. Friska terus menulis dan Dani hanya mengamati pekerjaan Fika.
“Semalam, setelah aku renungkan… aku rasa yang kamu memang benar. Kamu benar,
Mendengar pernyataan spontan itu, Friska sempat membeku beberapa detik, tangannya
mengejang di atas meja. Namun tidak berapa lama kemudian, ia berhasil menyadarkan dirinya dan
“….”
“Oya Dan, proposal ketua OSIS yang lo kasi’ kemaren masih banyak yang kurang, jadi
masih harus ditambahin dengan ini-itu…” potong Friska dengan cepat. Ia bercerita panjang lebar seolah
110 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani terdiam melihat reaksi Friska. Ia jadi semakin memahami anak yang satu ini,
pikirnya.
Sore yang cerah, seluruh keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Dani sedang
diam di depan televisi. Matanya memang mengarah pada acara di televisi namun pandangannya kosong,
sesekali ia tersenyum sendiri. Mama dan Papa saling tukar pandangan lalu menggeleng-gelengkan
“Dan..” Mama membuka suara di antara bunyi-bunyi yang keluar dari televisi.
“Hm..?” Dani membelalakkan matanya, bukan karena heran tapi kurang mendengarkan
perkataan Mamanya.
“Iya, dari kemaren dia seharian baca buku, mungkin dia udah bosan. Ajak jalan-jalan
Tidak berapa lama kemudian terlihat mobil merah yang telah dimofikasi itu keluar dari
rumah itu.
“Kita kemana Dan?” tanya Miki yang tengah menyisir rambutnya dengan di bantu
dengan cermin di balik sun roof mobil. Sore itu cukup panas sehingga Miki hanya mengenakan kaus
putih dan hot pants hitam yang membuat kulit putihnya terlihat jelas.
111 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
teriaknya.
Miki melompat keluar begitu tiba di kebun binatang tersebut. Di pandanginya beberapa
kera yang seliweran di sana-sini. Ia tertawa dengan riang. Sore itu tidak begitu ramai di tempat itu,
namun Miki tetap saja kembali menggandeng tangan Dani bila sedang tertarik melihat suatu objek,
seperti yang selalu dilakukannya. Sejenak Dani teringat perkataan Om Rio. Dipandanginya jari-jari Miki
yang tengah bergelantung di lengannya, ia kemudian tersenyum. Menyadari sedang di perhatikan, Miki
“Hm.. napa?”
Namun wajahnya yang memerah tidak dapat di sembunyikannya dari penglihatan Miki.
Sore itu daun-daun yang kering berguguran dan meringis ketika terinjak oleh langkah dua
anak muda itu. Angin semilir seolah-olah melantunkan tembang menemani perjalanan mereka. Sesekali
keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Entah apa yang disenyumkan, entahlah…
Aku pikir, aku tidak bisa berlama-lama di kamar flat ini. Pikiranku terus
sekali. Aku merasa agak malu tadi ketika aku tidak bisa membalas ucapannya.
Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu? Aku ingin berbicara
dengan dia. Aku ingin mengoborol dengan dia. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.
112 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Huff… Aku tidak bisa tenang sendiri di sini. Aku ingin segera menjumpainya.
Mungkin ada baiknya aku ikuti saja ajakan Rio untuk datang ke kampusnya.
pakainya sepatu hitamnya dan ia pun berjalan ke luar rumah. Udara dingin di luar
susurinya jalan yang tadi pagi di lewati saat bertemu dengan gadis yang sedari
tadi ada dalam benaknya. Mungkin rumah gadis itu tidak jauh dari sini, pikirnya. Di
pandanginya jejak-jejak salju bekas pejalan kaki yang baru saja menginjakkan
kakinya di sana. Sebenarnya ia tidak terlalu ingat jalan menuju kampus adiknya,
Sudah beberapa blok ia berjalan dan ia menjadi ragu pada ingatannya. Ia menjadi
sedikit cemas. Letih ia berjalan, ia pun berhenti sejenak di depan sebuah rumah
berpagar rendah dan berwarna merah. Meskipun sebagian pagar itu telah tertutup
salju, namun warna merah mencolok tersebut tetap menarik perhatian orang-
orang yang melintasinya. Dipandangi Richard pagar itu dengan tatapan kosong. Ia
bersandar pada sebatang pohon kayu yang daun-daunnya telah rontok sambil
sesuatu dari dalam rumah itu mengalihkan perhatian Richard. Dari dalam rumah
tersebut, keluar sesosok wanita yang juga bermantel merah. Deg… Richard
113 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dari biasanya. Dia… gadis itu! Betapa
berjodohnya.
wajahnya.
“Looking for someone?” tanya gadis itu dengan senyuman hangat dan
Hari ini Miki janjian bertemu dengan Andre dan tampaknya ini bakal menjadi jalan-jalan
terakhirnya dengan Andre. Besok adalah hari kepulangannya ke Australia. Awal tahun ajaran baru
sekolah di Australia akan segera dimulai. Meskipun begitu, sebenarnya Miki ingin menghabisakn sisa
waktunya bersama Dani. Sayangnya ia telah terlanjur berjanji dengan Andre dan atas bujukan Andre
juga.
Sekarang masih jam satu, jadi masih ada sekitar setengah jam lagi dengan janji bertemu
Andre. Haah.. bosan dirumah, tapi gak mau gangu Dani yang lagi sibuk di sekolah juga. Jadi, lebih OK
kalau hari ini jalan-jalan bareng Andre, guman Miki dalam hati. Dilangkahkannya kaki menuruni anak
tangga.
Ketika hendak keluar dari rumah, tiba-tiba Miki merasa ada yang menarik pintu dari luar.
Sementara dari dalam rumah, Miki juga hendak menarik pintu. Jadi pintu itu tetap tidak terbuka karena
adanya tarik menarik antara dua orang yang berada di sisi dalam dan luar rumah. Selama beberapa saat
kondisi itu terus berlanjut. Dani yang berada di sisi luar rumah tidak merasa bahwa ada seseorang yang
114 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
juga sedang menarik gagang pintu dari dalam. Ia dengan cepat menyimpulkan bahwa pintu depan rumah
tersebut sedang rusak. Jadi dengan sekuat tenanga ditariknya daun pintu tersebut dan...
“Aw… !” Miki berteriak dan nyaris terjatuh ke lantai karena terseret. Untungnya Dani langsung
tanggap akan kondisi tersebut. Ia langsung membungkuk guna menopang Miki yang nyaris terjatuh
lantai.
“Are u OK?” tanya Dani sambil berusaha membetulkan posisi berdiri Miki. Jantungnya
berdegup kencang menyadari wajah gadis tersebut berada begitu dekat dengan dirinya. Namun Dani
“Yeah, I’m OK.” jawab Miki sambil mengelus-elus sikunya. “Baru pulang Dani?” tanya Miki
“Mm...iya. Kamu mau kemana?” tanya Dani yang curiga dengan penampilan Miki. Meskipun
hari itu Miki berdandan seadanya - ia hanya mengenakan jins belel plus kaus bali tipis yang di belinya
sewaktu sedang jalan-jalan dengan Dani tempo hari-, namun Dani tahu ada sesuatu yang berbeda dari
“Yeah.”
“Kan Miki udah janji nya sama Andre dari kemaren-kemaren. Lagian kamu bukannya masih ada
kerjaan buat kampanye ketua OSIS. Ada yang belum selesai kan?”
115 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Tapi…,”
“Miki!” seru seseorang dari dalam mobil hitam yang di parkir di depan rumah Dani. Itu Andre!
“Hei!” sapa Miki sambil berjalan menuju mobil Andre. Rasanya Dani ingin mencegat Miki pergi
dengan menarik tangannya. Namun ditahannya keinginannya itu. Ia hanya bisa menatap Miki
“Dani, Miki pergi dulu ya?” Mendengar pernyataan itu Dani hanya terdiam sambil tetap
memandang ke arah mereka berdua. Roman wajah Miki pun ikut berubah melihat reaksi Dani.
“It’s OK, Dani. I’ll always support you from back” ujar Miki terakhir kali dan mobil pun melaju.
Dalam pikiran Miki, Dani mungkin sedang berpikir saingannya dalam perebutan tahta ketua OSIS
Melangkah ke kamar, perasaan Dani gak karuan. Rasanya ingin sekali menonjok Andre saat itu.
Anak itu sepertinya tidak ingin jadi saingan di OSIS saja. Kalau dia mau ngerebut Miki dariku, dia tidak
akan bisa, guman Dani dalam hati. Sebelum mencapai kamarnya, Dani terdiam di depan kamar Miki.
Dipandangingya kamar itu lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Mulanya ia tidak
berniat karena ia berpikir bahwa kamar Miki sedang dikunci. Namun sewaktu Dani iseng memutar
gagang pintu kamar tersebut, ternyata kamar tersebut tidak dikunci. Dani pun memberanikan dirinya
melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut. Dinyalakannya saklar lampu agar dapat melihat dengan
jelas seisi kamar itu. Sebenarnya kamar yang dihuni Miki sekarang adalah kamar cadangan yang
memang disediakan sebagai kamar tamu darurat. Biasanya bila tidak ada penghuninya, kamar ini
berantakan. Namun, semenjak dihuni oleh Miki, kamar ini menjadi rapi dan terkesan feminin. Memang
Mama sengaja merapikan kamar ini dengan sebaik-baiknya sebelum dihuni Miki. Bahkan Mama sengaja
menambahkan kelambu berupa jaring-jaring berwarna merah jambu di bagian depan tempat tidur Miki.
116 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani memperhatikan kamar Miki dengan seksama. Begitu banyak barang-barang bertumpuk di
kamar itu. Kebanyakan barang yang ada memang barang-barang yang ditujukan untuk wanita seperti
majalah, kosemetik, boneka bergambar Teddy Bear, pakaian gaun, sepatu high heels serta barang wanita
lainnya. Ada pula di sudut lain barang-barang unik khas Indonesia yang dibeli Miki sewaktu jalan-jalan
dengan Dani tempo hari, mungkin mau dijadikannya oleh-oleh. Dani melangkahkan kakinya lagi dan
sejenak duduk di atas tempat tidur Miki. Dihembuskan Dani nafasnya sambil berpikir. Miki akan
berangkat besok dan mungkin ia akan butuh waktu yang panjang lagi agar bisa bersama dengan Miki.
Mengapa disaat seperti ini dia masih sempat berpikiran negatif pada Andre. Mungkin Miki hanya ingin
menyampaikan salam perpisahannya pada Andre. Hal itu tidak salah kan mengingat Andre cukup
banyak membantu Miki selama ia berada di sini. Setelah beberapa lama di kamar Miki, Dani beranjak ke
kamarnya. Dani terbengong di dalam kamarnya. Sesungguhnya ia tidak ingin merasakan perasaan yang
seperti ini lagi. Perasaan yang dulu pernah di alaminya. Perasaan ditinggalkan seseorang yang sangat
disayanginya. Akhirnya Dani memutuskan dalam hati akan membuat Miki senang hari ini. Nanti
sekembalinya ia bersama Andre, akan diajaknya Miki jalan bersamanya sambil menikmati setumpuk es-
117 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Jadi barang-barangnya udah lengkap kan, Ki?” tanya Mama dengan posisi badan tegap. Ia
Miki menganguk dua kali untuk meyakinkan Mama. Bagasi penuh dengan koper-koper
yang berisi baju dan oleh-oleh untuk GrandMa Miki di Australia. Miki berdiri di samping barang
bertumpuk itu untuk kemudian menaikkannya ke dalam bagasi mobil. Mama masih berdiri mengamati
di samping teras sementara Dani membantu Miki menaikkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.
Plok… Plok… Dani menepukkan kedua tapak tanggannya tanda kepuasannya berhasil
“Jadi,” Dani mulai pembicaraan dengan memandang mata Miki “Udah siap berangkat
Nona Muda?”
“Come on girl, get in into the car!” lanjut Om Rio yang berjalan dari dalam rumah. Om
Rio kemudian menarik lengan Miki, namun Miki malah menepiskan tangan Om Rio.
118 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki kemudian menarik lengan Dani yang berada dihadapannya sehingga sebentar Dani
terdorong mundur.
“It’s OK. Kamu gak bakal kangen aku lagi kalau udah ketemu Mr. Teddy.” bujuk Dani
berusaha menenangkan Miki. Mr.Teddy adalah boneka Teddy Bear super besar pemberian almarhum
“No, no, it’s different between Mr. Tedd and you. Aku sayang Mr. Tedd tapi lebih sayang
Senyum Dani perlahan-lahan menghilang, ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Miki pun
balas menatapnya. Rasanya ada sesuatu dalam dirinya, seperti mendorongnya untuk memeluk Miki erat-
erat dan tidak ingin melepasnya. Seperti ada keinginan dalam dirinya untuk menahan Miki sebisanya
dan terus bersamanya sepanjang waktu. Tapi hal itu tidak mungkin, logika mengalahkan intuisinya.
Dipegangnya bahu gadis itu dan dipandangnya bola mata gadis itu lama.
Untuk beberapa waktu Miki masih memandang hitam bola mata Dani. Kemudian
dipeluknya tubuh lelaki itu erat, erat sekali. Lama mereka saling bertukar pandangan lalu Miki
Saat Dani melangkahkan kakinya menuju teras masih bisa terlihat olehnya tangan Om
Rio melambai ke arah mereka. Miki yang duduk di jok belakang hanya menoleh sekilas ke samping, ke
Fyuuh… dihembuskan Dani nafas panjangnya. Matanya kini sayu menatap ke bawah.
Beberapa saat kemudian, ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum
119 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
berangkat ke sekolah. Mama yang sedari tadi berdiri di samping Dani merasa heran melihat ekspresi
Aku tidak tahu hal apa yang membawaku begitu dekat dengannya
dengan pagar-pagar pohon yang daunnya rontok itu, selalu dapat membuat
jantungku berdegup kencang. Setelah itu membawa badanku terbujur kaku. Hanya
bisa memandanginya dan dengan susah payah tersenyum. Bagiku sudah cukup
beruntung pula bagiku ketika dari atas balkon itu dia mendadahkan tangannya
padaku, menyapaku dan bertanya padaku. Pagi berikutnya seperti biasa dia
menyapaku dan aku menyapanya. Tapi tidak biasa ketika aku dan dia mulai
bercerita panjang lebar. Entah dari mana aku bisa mengumpulkan keberanian
tertawa, aku tersanjung. Ia terdiam dan aku sadar bahwa tidak seharusnya aku
berada di sini. Seharusnya aku berada di sisi Ayah, di dalam rumah tua kami yang
hangat atau di kampus Rio untuk mengawasi kegiatannya. Tapi biarlah, mungkin
Tuhan sedang berbaik hati padaku dengan mengirimkan malaikat ini untuk
120 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani berjalan lesu menuju ruangan kelas melewati koridor-koridor sekolah serta lapangan
kecil yang telah menjadi pemandangan sehari-hari baginya selama beberapa tahun ini. Satu tangannya
dimasukkannya ke kantong saku celananya sementara yang lagi memegangi jaket katunnya yang
setengahnya tergantung dekat bahu, seloyoran dibalik punggungnya. Entah lupa memasukkan atau
sedang ingin mengikuti trend, ia tidak seperti biasanya mengeluarkan baju seragamnya dari balik celana.
Sesampainya di kelas dicampkannya tas seta jaketnya. Tanpa merasa perlu repot-repot melihat keadaan
di kanan dan kirinya, dikeluarkannya sebuah buku catatan dan dibalik-baliknya tanpa membaca sepatah
“Miki udah pulang?” tanya sebuah suara wanita yang berada tepat satu bangku
dibelakangnya.
Dani pun menoleh dan menjawab singkat, “Udah.” Kemudian ia kembali sibuk
membolak-balikkan catatannya.
Tidak menyerah begitu saja, gadis yang tadi bertanya melangakah maju dan
“Udah.”
Gadis itu terdiam, sepertinya kehilangan ide untuk memulai pembicaraan dengan Dani.
121 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Tjep… tiba-tiba saja sebelah tangan Dani telah berada di atas tangan Friska, gadis yang
“Chik, gue boleh gak main ke rumah lo hari ini? Udah lama kan gue gak bertamu ke
rumah lo?”
Dengan semua gelagat aneh Dani itu, membuat wajah Friska tiba-tiba bersemu merah.
menganggukkan kepalanya.
Semenjak menyatakan cintanya entah kenapa Friska semakin gugup berada di dekat
Gosip pertengkaran antara Dani dan Andre yang bisa dibilang basi itu telah menyebar
luas di sekolah. Banyak yang bilang kalau mereka bertengkar dalam perebutan tahta sebagai ketua OSIS.
Namun tidak sedikit pula yang mengetahui bahwa pertengkaran mereka berdua masih ada sangkut
pautnya dengan urusan cewek. Pasalnya ada beberapa orang yang sempat melihat Andre tengah
mengobrol dengan cewek yang pernah diajak Dani ke festival tempo hari. Hal-hal yang tidak nyambung
pun dikaitkan oleh siswa-siswi di sekolah tersebut kemudian dihubungkan dengan pertengkaran antara
Dani dan Andre. Maklum dibangku SMU gosip memang menyebar lebih cepat dan gosip itu sering kali
pakai untuk mengejar ketinggalannya dari Andre. Kerap Dani harus datang malam-malam ke rumah
Friska untuk membantu ini-itu. Hari-hari berikutnya Dani sibuk menyebarkan brosur, leaflet spanduk
122 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
serta aksesoris-aksesoris lainnya. Hari lain Dani berkampanye di depan lapangan dan di sambut dengan
riuhan tepuk tangan. Dengan segala kesibukannya itu, Dani mulai dapat menepis kesedihan karena
Hari ini semua guru rapat untuk memilih siapa ketua OSIS periode ini. Perwakilan murid
dari masing-masing kelas serta ekskul telah datang ke ruang rapat. Hari ini mungkin Dani merasa sedikit
berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan tahu hasil dari perjuangannya selama ini. Rapat
berjalan cukup lancar hingga tibalah saatnya kepala sekolah berdiri di atas podium dan mengumumkan
“HORE!!!” terdengar teriakan dari beberapa anak yang berkerumun di baris kanan.
Mereka adalah rombongan pendukung Dani. Yup, Dani menang tipis sebagai ketua OSIS periode baru.
Sepulang sekolah, Dani pulang beriringan dengan Friska. Tidak bisa ditahannya
senyuman dari wajahnya. Senyum itu tersungging terus dari semenjak ia berada di ruang kelas hingga
pulang sekolah.
“Akhirnya gue menang juga, Chik. Padahal kelakuaan gue udah ancur banget akhir-akhir ne. Ini
pasti karena bantuan tim sukses gue. Karena elu Chik.” tawa Dani riang. Di pukul-pukulnya kepala
Friska. Melihat raut wajah Dani yang seperti itu secara tidak langsung juga membuat wajah Friska ikut
memerah.
Dari kejauhan tampak Andre datang menghampiri Dani. Dani, Frika dan Joe yang sedari
tadi berdiri di pojokan tersebut tampak mematung menunggu kedatangan Andre. Mereka bertiga
“Iya.. makasih ya, Bro.” balas Dani sambil menepuk-nepukkan pundak Andre. Selama
masa kampanye ini sepertinya Dani terlalu banyak berpikiran jahat terhadap Andre terutama setelah apa
123 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
yang dilakukan pria tersebut terhadap Miki tempo hari. Dani menyadarinya dan membuatnya merasa
sedikit bersalah terhadap Andre. Ia ingin menebusnya dengan setidaknya bersikap manis terhadap
Andre.
“Dan, gue pengan ngomong sesuatu nih.” kata Andre sembari mengantongkan kedua
tangannya dalam saku celananya. Sekilas dipandang Dani kedua temannya satu
persatu.
“Kita ngomong disana.” pinta Andre sambil menunjuk ke arah sebuah bangku di taman
dengan dagunya.
“Hm…” jawab Dani. Ia pun mengikuti langkah Andre menuju bangku tersebut.
Setibanya di tempat itu, mereka berdua langsung mengambil posisi masing-masing. Dari
kejauhan terlihat Joe dan Friska memandang penasaran ke arah kedua orang tersebut.
“Dan, gue sebenarnya mau minta maaf soal yang kemaren itu.”
“O... soal itu,” kata Dani yang mengerti maksud Andre. Sebenarnya dari dulu ia sudah
berniat minta maaf pada Andre, tapi sekarang sudah terlambat karena sudah keduluan Andre. “… gak
papa kok. Gue juga minta maaf, gue langsung mukul lo tanpa babibu gitu aja.”
“Tapi lo harus tau satu hal, Dan.” ujar Andre dengan nada serius.
“Apa? “
“….”
“Waktu itu Miki sendiri yang tiba-tiba datang ke sekolah. Gue emang udah janji mau ngasih
kenang-kenangan untuk dia, tapi dia tiba-tiba aja sms gue bilang mau datang ke sekolah.”
124 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Lo bingung ya napa dia sampe nangis? Nah, itu dia gue juga bingung. Waktu gue kasih tu
barang dia malah langsung ngeluarin air mata. Gue jadi bingung. Terkejut lah.”
“Oh, itu…”
Aku takut bila-bila aku bisa lupa diri karena ini. Aku mulai merasa terlalu
dalam dengan perasaanku. Aku hanya takut bila-bila aku tidak tersadar dengan
diriku dan aku pun terjatuh. Dia begitu indah. Setiap pandangan matanya
setiap gerakan tubuhnya adalah berarti bagiku. Inikah cinta sebenarnya? Ataukah
hanya aku saja yang terlalu dalam mencintainya. Aku tidak mengerti. Aku juga
tidak tahu. Aku hanya suka ketika aku dan dia berjalan berdua di atas tumpukan
salju sekarang. Kulihat ke atas dan butiran-butiran putih lainnya mulai jatuh dari
tersenyum, manis sekali. Pandangan matanya yang dalam dan biru menyiratkan
sesuatu yang misterius bagiku. Apa mungkin ia mengerti perasaanku. Apa ia tahu
bahwa aku telah menyukainya bahkan ketika aku baru pertama sekali bertemu
dengannya. Ah, aku tidak tahu dan aku tidak akan menceritakannya padanya. Aku
125 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sudah sekitar enam bulan semenjak Miki kembali ke Australia. Selama ini Dani cuma
bisa mengirimkan sms, ngobrol lewat chatting atau sesekali menelepon. Sepertinya Miki juga sibuk
dengan kegiatan sekolahnya. Mungkin sama seperti Dani, selain sedang ingin berkonsentasi ke pelajaran
sekolah juga bingung melanjutkan ke universitas yang mana setelah lulus. Maklum problema klasik
anak kelas tiga SMU. Sejujurnya Dani ingin sekali bersama Miki di Australia, tapi mungkin mustahil
baginya meninggalkan Mama-Papa sendiri. Dani berpikir dalam hati, betapa aku bisa menjelma menjadi
anak durhaka meninggalkan kedua orang tuaku sendiri sementara aku merantau ke negeri lain.
Hah.. Udah lama gak chatting dengan Miki. Aku sebenarnya kangen ingin mengobrol
panjang dengannya lagi. Untung pagi tadi aku sudah mengirimkan sms minta agar dia online malam ini.
Tapi sebenarnya sore bagiku, karena ada perbedaan waktu sekitar tiga jam dengan Miki di Australia.
Kucoba connect lewat messager, namun ternyata servernya sedang mengalami gangguan. Karena lama
akhirnya kubuka e-mailku. Hm… wah ada paket penawaran penerbangan murah ke Prancis. Asyik…
bisa sekalian ajak Miki neh. GrandPanya Miki kan masih di Prancis, mungkin bisa sekalian berkunjung
juga kapan-kapan. Mungkin kalau aku liburan panjang setelah SPMB. Eh, akhirnya connect juga..
126 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
BlackWhite_413:Yup, lagi banyak kegiatan di sekolah. Bakal ada banyak acara. Kamu
gimana?
Dani_elle: Yup
BlackWhite_413: Kapan?
BlackWhite_413:: Oya? Email aku yang isinya foto hasil bidikanku itu ya? How do you
think?
Dani_elle:Aku suka angel fotonya Dan. Pemandangannya bagus. Kapan kamu ke puncak?
BlackWhite_413: O itu sebulan yang lalu, diajakin ama anak pencinta alam.
127 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani_elle: What?
BlackWhite_413: Kamu ingat rumah tua itu? Rumah bercorak hitam putih tempat kita
sering bersama?
Dani_elle: Oya?
BlackWhite_413: Yup. Sebenarnnya kerusakannya gak banyak kok. Rumah itu cuma gak
terawat saja. Soalnya semenjak kakek ninggal, Papa Mama kan mutusin pindah ke rumah
yang lebih dekat sama kantor Papa biar gampang. Hasilnya rumah itu lama dibiarkan kosong
BlackWhite_413: Kayaknya gitu. Mama dan Papa ngerahasiakannya selama ini. Padahal Om
BlackWhite_413: Lagipula Miki, aku punya satu mantra yang bakal buat kamu pengen
128 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
BlackWhite_413: yup.
BlackWhite_413:: …
Dani_elle: ???
Dani_elle: hihihi
Dani_elle: Um…
BlackWhite_413: What?
Dani_elle: Me too.
Pip.. (Disconnected)
Pagi ini Dani melangkahkan kakinya riang ke gedung sekolah. Senyum bahagia
mengembang terus di wajahnya dari semenjak berangkat dari rumah hingga duduk di meja kelasnya.
“Kenapa sih lo Dan, dari tadi senyam-senyum mulu?” tanya Joe yang sedari tadi aneh
“Hehehe.. gak papa kok. Gue lagi senang aja.” jawab Dani tidak dapat menyembunyikan
perasaan senangnya.
129 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oo.. ya ya ya. Gue tahu, gue tahu.” Seketika itu juga Joe beranjak meninggalkan Dani
Enam bulan tanpa Miki dilewati Dani dengan menjalani kehidupan anak SMU biasa seperti
sebelum Miki datang. Mengerjakan tugas di sekolah, tanggung jawab di OSIS serta aktif di klub
fotografi. Ia juga sudah jarang sekali pergi jalan-jalan ke luar. Mungkin ia sudah cukup jenuh
menjelajahi kota itu sewaktu bersama Miki. Jadi ia putuskan untuk berkonsentrasi pada pelajaran di
sekolah dan kegiatan sampingannya. Dani tampaknya mulai menikmati status barunya di sekolah, ketua
OSIS. Apalagi semenjak mendapat jabatan itu, makin banyak cewek yang ngantri ingin nempel padanya.
Mekipun begitu, tidak satupun yang dekat dengan Dani berhasil jadi pacarnya. Entah apa yang ditunggu
atau dicari Dani. Enam bulan sudah ia tidak bertemu dengan Miki dan ia harus bersabar untuk bertemu
lagi dengan gadis itu. Kadang terbersit dalam pikiran Dani untuk melakukan perjalanan ke negeri
Kangguru tersebut. Namun mengigat aktifitasnya yang segudang, mungkin agak sulit baginya. Enam
bulan Dani dan Miki tidak bertemu, namun mereka tetap saling berhubungan lewat komunikasi yang
berkembang cepat dengan kemajuan IPTEK. Enam bulan lamanya mereka tetap saling mengirim pesan
lewat sms, e-mail atau chatting. Hingga akhrinya berita duka itu sampai juga ke rumah Dani. Berita
130 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
yang cukup mengejutkan Dani. Berita bahwa GrandMom Miki yang menjadi figur pengganti Ibunya
“Eh, loe gila ya Dan? Maksud loe, elo mau nyusul Miki ke Australia?” tanya Joe dengan ekspresi
super heran.
“Tapi ujian lo gimana?” tanyanya lagi sambil duduk di bangku sebelah Dani.
“Hah? Loe gila ya? Terus alasan loe apa?” Joe terpelongo dengan jawaban Dani yang
terkesan cuek itu. “Dan, gue tahu loe sayang banget ama sepupu loe itu. Tapi loe gak boleh gini donk.
Pikirin masa depan loe.” lanjut Joe sambil menunjuk-nunjuk jidatnya dengan jari telunjuk.
“Jadi solusi lo gimana?” tanya Dani, kali ini dia mulai mempertimbangkan kata-kata Joe
“Loe tunggu sampai selesai ujian, titik. Apa salahnya sih Dani pending keberangkatan loe
dua minggu?“
“Gua tau, gua ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang disayangi.” Joe
menghempaskan nafas panjangnya teringat kenangan pahitnya sewaktu kehilangan Ibu di masa SD dulu.
“Tapi Dan, loe gak harus ikut-ikutan merasa gitu kan?” lanjutnya.
“Joe, dengar ya gue gak ke sana selama setahun kok. Gue ke sana palingan seminggu.
Gue cuma mau nenangin Miki aja. Gue rasa dia syok banget. Dari kemaren kemaren gue telepon, gak di
angkat. Gue sms juga gak di balas. Gue kwatir banget Joe.”
“Ya iyalah Dan. Wajar kalau loe kwatir. Tapi loe ada atau enggak di samping dia sama
aja kan? Neneknya udah ninggal. Lo kan gak bisa ngerubah keadaan.”
131 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ih, loe gila ya? Gak abis pikir gue. Emang kalo soal Miki elo gak mikir panjang ya,
“Apa? Ke Aussie cuma modal nekat? Serius Dan? Gue gak setuju!” Rentetan protes di
utaran Friska sewaktu berjalan menuju ke arah gerbang bersama Dani. Siang itu semua orang di sekolah
langsung balik ke rumah masing-masing. Maklum, masa-masa menjelang ujian semester semua murid
tampak sibuk mempersiapkan diri, terkecuali beberapa murid yang menganggap dunia kiamat pun tidak
perlu belajar.
“Dan, stop jadi orang yang plin-plan. Lo harusnya punya pendirian! Stop nanya-nanyain
ama orang-orang disekitar lo. Lo kan ketua OSIS, gimana sih?” Mendengar nasehat Friska tersebut,
Dani hanya bisa terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Pandangan matanya kosong. Menyadari reaksi
Dani itu, Friska jadi ikut terdiam. Jangan-jangan gue salah ngomong, pikirnya.
“Dan…” panggil Friska lembut. Dani diam saja. Tampaknya Dani tidak mendengarkan
panggilan Friska.
“Daniel…” panggilnya lagi masih dengan nada lembut. Tidak lama kemudian ditariknya
lengan Dani.
“Hmm?” Dani akhrinya tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Friska.
“Hm…” jawab Dani hanya dengan berdehem. Friska menghentikan langkah kakinya,
begitupun Dani.
“Perhatikan diri kamu juga.” pesan Friska dengan menatap mata Dani penuh prihatin.
132 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Papa dan Mama sudah berangkat ke Australia seminggu yang lalu. Mungkin besok Papa
dan Mama sudah akan kembali ke Jakarta. Mereka berdua sudah berusaha menghibur Om Rio dan Miki,
tapi mereka tidak bisa berlama-lama karena memang masih banyak yang harus dikerjakan di sini.
Sementara Dani saat itu masih berada di dalam kamar, berusaha berkonsentrasi untuk ujian hari
pertamanya besok.
Huff… dihembuskannya nafas panjang. Dari tadi ia telah berusaha berkonsentrasi belajar,
namun tetap tidak bisa. Tidak ada satupun yang sedari tadi dihafalnya masuk dalam otaknya. Ujian
hafalan memang yang paling berat bagi Dani, karena ia memang bukan orang yang pintar menghafal.
Berbeda dengan ujian hitungan seperti Matematika dan Fisika, ia akan dengan sukacita mengerjakan
soal-soal hitungan tersebut dengan mengaduk-aduk rumus yang entah kenapa sudah dihafalkannya luar
kepala.
Disaat seperti ini asyiknya mengubungi Chika, pikir Dani ketika kepalanya sudah tidak
mampu lagi berpikir. Akhrirnya diputuskan Dani lah untuk menelpon nomor itu.
Tut… tut… tut.. tiga kali telepon berdering baru Friska mengangakat telepon rumahnya.
“Eh Dani. Gue lagi belajar nih, lo lagi paen? Gak belajar?”
“Iya, tapi gue gak bisa belajar neh. Gue lagi gak konsen. Lo lagi belajar apa? Lo udah
nguasain belum?”
“Hm.. belum semua. Gue lagi belajar dari buku paket Sosiologi bab lima neh.”
“Chik, gue datang ke rumah lo ya? Gue pengen belajar bareng biar ngerti. Gue gak bisa
133 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Ah, lo tau aja Chik, Hehehe… Yaudah, gue kesana sekarang ya?”
“OK bye…”
“Bye…”
Klik. Sesaat terdengar suara gagang telepon yang diletakkan pada posisinya.
Dani segera mengambil jaketnya, memakainya, mengambil kunci motor dan berangkat ke
rumah Friska. Sementara itu, di rumahnya Friska jadi tidak bisa belajar lagi semenjak mengangkat
telepon Dani barusan. Hatinya gundah menunggu kedatangan Dani. Agak menyesal dia menerima
permintaan Dani tadi. Namun ia memang tidak kuasa menolaknya. Mungkin masih ada rasa dalam
Akhirnya tiba juga hari terakhir ujian semeter. Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-
tunggu murid-murid di sekolah itu. Mereka menjuluki hari ini sebagai ‘hari pembebasan’. Bebas dari
tugas-tugas dan bebas dari segala urusan-urusan sekolah (untuk sementara). Liburan semester memang
hal yang paling dinantikan oleh sebagain besar murid sekolah. Apalagi untuk Dani kali ini. Ia merasa
tidak perlu menunggu siapapun juga begitu bel pertanda ujian telah selesai dibunyikan. Ia langsung
berlari kencang menuju pintu gerbang, menyusuri jalan-jalan yang setiap hari dilalui dan tidak berapa
“Ya?” jawab Mama dari ruang tamu, setengah terkejut mendengar teriakan Dani yang
begitu bersemangat.
134 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Napa Dan?”
Aku pikir tidak bisa aku dalam kondisi tidak jelas seperti ini terus dengannya.
Aku tidak tega dengan perasaan orang-orang di sekelilingku. Aku tidak boleh egois
dan hanya memikirkan kepentingan sendiri saja. Aku memang menyayanginya dan
aku pikir hal itu juga berlaku sama dengannya. Namun aku dan dia tidak akan
mungkin. Banyak hal-hal yang membatasi kami, terutama Rio. Aku pikir sepucuk
surat yang dikirimkan setiap dua minggunya tidak akan cukup menyatakukan
perasaanku terhadapnya. Lagipula ada telah memiliki sebuah janji pada seorang
gadis lain di tempat yang jauh dari sini. Janji yang mungkin akan ditagihnya
beberapa tahun ke depan. Gadis itu tulus menyayangiku seperti juga aku padanya.
Namun ada yang beda dari perasaanku padamu Michelle. Aku menyayangimu
terlalu dalam. Hingga aku sendiri takut pada perasaanku ini. Aku takut kalau-kalau
aku akan melukai diriku sendiri. Terutama aku lebih takut bila aku melukaimu atau
melukai Rio bila dia tahu perasaanku padamu. Apa lebih baik ku lenyapkan saja
Aku pikir jika itu memang terbaik untuk semuanya, tidak ada salahnya. Aku tahu
Michelle, menyakitkan ketika kau mendapatkan sesuatu yang kurang baik dariku.
135 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Namun aku tidak berdaya Michelle. Aku mencintaimu dan aku tidak akan
memilikimu.
Di Australia sore itu, angin musim gugur berhembus di bandara. Meskipun saat itu di
sana sedang musim dingin, namun udara tidak sedingin musim dingin di Eropa. Sebuah pesawat dengan
bendera Singapura di ekornya baru mendarat di tempat itu beberapa saat yang lalu. Orang-orang terliht
berjalan mondar-mandir melewati ruangan di bandara tersebut. Dari kejauhan terlihat seorang anak
muda tengah membawa koper. Perawakannya tinggi namun sedikit kurus. Ia mengenakan topi dan
memakai kaca mata berframe hitam yang kemungkinan besar berminus. Tangannya penuh dengan koper
serta barang bawaan lainnya. Dari jauh terlihat sesosok gadis menyambutnya. Rambut gadis itu yang
hitam dan panjang lurus sepinggul bergoyang seiring derap langkahnya. Anak muda itu segera
meletaknya koper dan tasnya ke lantai begitu bertemu melihat gadis itu. Tidak berapa lama kemudian,
keduanya berpelukan melepas rindu. Dani menatap mata Miki sedalam-dalamnya ketika mereka
merenggangkan pelukannya.
“Are you OK, Miki?” tanya Dani membuka pembicaraan di petang itu. Miki hanya
mengangguk-angguk mengiyakan. Sorot wajahnya yang lembut memang menunjukkan perasaan letih
namun senyumnya tampaknya menepis semua itu. Terlihat ia tegar selepas kepergian neneknya.
“Miki, aku terlupa sesuatu sewaktu kamu di Jakarta. Aku datang untuk menyampaikan
reaksi apapun lagi, Dani mendekati wajah Miki. Miki hanya mematung. Dani menundukkan badannya
kemudian dirapatkannya dagunya di bahu Miki. Bibirnya begitu dekat dengan telinga Miki. Selama
136 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
beberapa detik, mereka berdiam dalam posisi seperti itu. Dalam otak keduanya sedang berkecamuk
berbagai pikiran dan pertanyaan. Terselip dalam angan mereka hayalan dan ingatan. Ingatan tentang
Miki hanya bisa terus mematung mendengar pernyataan spontan itu. Matanya kosong dan
wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia sungguh terkejut mendengarkan pernyataan tiba-tiba
tersebut. Berbagai peristiwa terus terjadi silih berganti dalam hidupnya. Perasaan yang ada dalam
dirinya menderu dan bergejolak. Dani terus menatap Miki sambil berjanji dalam hati bahwa ia akan
Sewaktu berjalan ke rumah Miki, Dani menyadari sesuatu yang mengganjal di tangan
“Miki itu…”
“Oh ini?” Miki menjulurkan tangannya. Di pergelangan tangannya terlilit dua gelang
bermotif etnik. “ Ini gelang kenang-kenangan waktu Miki di Jakarta. Ini.. yang dari Dani, yang ini dari
Andre.” Miki menjelaskan sambil mengayun-ayun pergelangan tangannya. Dani sendiri terus
“Oya Dan, masih ingat gak waktu Miki hilang dan kamu nyusul di taman itu?” tanya
“Waktu itu paginya aku sempat nangis lho di sekolah kamu. Miki nangis gara-gara Andre
ngasih gelang yang sama dengan Dani. Miki sedih karena akan segera ninggalin Jakarta.”
“….”
137 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Salju turun seperti menghiasi senyuman Miki ketika ia telah menyelesaikan kalimatnya.
Dani terpesona akan keindahan sore itu. Bukan hanya karena indahnya salju yang menari di atas udara,
tapi juga karena indahnya senyuman gadis yang sedang berdiri dihadapannya.
“Pip.. Pip.. new SMS!” Miki yang sedari tadi tidur-tiduran sendiri di kamarnya akhrinya
terhenyak oleh bunyi yang berasal dari ponselnya tersebut. Ia pun segera bangkit. Sinar matahari yang
cerah masuk melalui jendela kamarnya yang bernuansa merah jambu menyala. Musim panas di
Australia selalu membuat Miki ingin lama bersantai di kamarnya sambil membaca buku-buku
koleksinya. Dilihat Miki tombol ‘Option’ yang tertera diponselnya. Muncul tulisan baru di layar tersebut
138 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
From: Dani_yummy
today.
Di sebuha café di belahan benua lain siang itu, terdengar suara nada ponsel berbunyi dengan
I rush in line
Only to..
Pip… sebuah tangan menekan tombol di layar ponsel sehingga membuat lagu ‘Beautiful Girl’
yang menjadi nada dering pesan masuk di ponsel itu terhenti. Tertulis dalam layar:
139 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Just…
ice cream
Dani tersenyum, ditutupnya flip ponselnya. Dilanjutkannya menikmati hidangan yang tersaji di
“Dari siapa Dan?” tanya seorang gadis yang duduk di sampingnya dengan muka
penasaran.
“Sepupu gue Chik,” jawab Dani dengan senyum lebar “..namanya, Miki.”
“Oh Miki ya? Apa kabar dia?” tanya Friska dengan berusaha menyembunyikan rasa
kecewanya.
“Baik.”
Siang itu Dani sedang bersama dengan teman-teman sekelas lainnya sedang mengadakan reuni.
Dani duduk di sebelah Friska. Keduanya menunggu kedatangan teman yang lain, terutama Joe. Dani dan
Joe cukup sering bertemu semenjak berada di jenjang kuliah. Keduanya mengambil universitas negeri
yang sama dan jurusan yang sama. Kebetulan pula keduanya lulus di pilihan tersebut. Sementara Friska
atas saran ibundanya, ia memilih untuk kuliah di jurusan design sebuah universitas swasta di negeri Jiran
140 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Udah setahun ya Chik, lo gak pernah balik. Akhirnya ketemu juga.” ujar Dani sambil
“Iya, lo juga jarang ngubungin sih.” balas Friska sambil berusaha melepaskan dirinya dari
“Ahahaha.. tapi gue kangen kok ama lo.” ucap Dani jujur. Seperti biasa Dani selalu
Kangen samaku? Dani kangen samaku? Benar kah itu? Udah setahun ya? Waktu yang
cukup lama buat bisa ketemu Dani lagi, Friska berbicara dalam hatinya.
Ingatan Friska kini terbuai peristiwa-peristiwa yang pernah dilewatinya dengan teman-
teman sekelasnya selama tiga tahun dulu dan terutama dengan Dani. Tidak dapat terlupakannya
peristiwa itu. Ketika takdir mempertemukannya dengan seorang pria yang hingga kini memiliki suatu
Friska kemudian terbayang pertemuan pertamanya dengan Dani. Waktu itu mereka
masih kelas satu SMU dan Friska belum begitu dekat dengan Dani. Mereka berdua hanya sesekali
ngoborol, itupun kalau ada keperluan yang berhubungan dengan inventaris kelas. Hari itu ada
pertandingan three on three di sekolah. Dani ditunjuk mewakili kelas soalnya anak-anak klub basket
sudah pada tahu kalau Dani pintar main basket meskipun ia tidak bergabung dalam eskul basket di
SMU. Pasalnya di SMP-nya dulu –yang masih dalam satu yayasan dengan SMU mereka- , Dani sudah
Seperti yang sudah terduga, kelas mereka menang telak. Seusai menonton pertandingan, Friska
baru ingat kalau dompetnya ketinggalan di kelas. Friska pun berlari ke kelas dan berusaha mencari,
141 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
namun tidak ketemu. Semakin lama Friska mencari, ia pun semakin gelisah. Saat itulah Dani masuk ke
kelas untuk mengambil tasnya yang sengaja ditinggalkan di bangku kelas. Melihat Friska dengan
eskpresi pucat, Dani segera bertanya kepadanya. Akhrinya Dani rela bela-belain gak ikutan timnya
ngerayain kemenangan agar dapat membantu Friska mencari dompetnya yang hilang. Ternyata walau
sudah susah payah dibantu Dani, dompet Friska tetap gak ketemu juga. Friska nangis sejadi-jadinya,
soalnya di dalam dompet itu ada uang serta kartu identitas yang penting bagi Friska. Dani langsung
sewot begitu melihat Friska menangis. Dengan penuh rasa canggung, ia berusaha sebisanya menghibur.
“Udah.. udah jangan nangis donk! Uang kan masih bisa diganti. Soal kartu identitas ntar masih
bisa di urus kok. Jangan nangis ya?” pintanya. Namun ternyata rayuan seperti itu tidak bisa
“Ya udah, udah gue antarin pulang gimana?” tawarnya. Namun Friska tetap menangis terisak.
“He-eh. Sebentar ya!” Dan seketika itu juga Dani beranjak dari bangku taman tempat
mereka sedari tadi duduk dan merenung. Dani pun berlari sekencang mungkin.
“ Nih…gue beli dua. Satu sama lo.” tawar Dani sekembalinya ke bangku taman tersebut
sambil memberikan secorong es krim rasa Vanilla. Sementara yang rasa Coklat dinikmatinya sendiri. Es
krim ternyata cukup ampuh untuk meredam tangisan para gadis. Saat itu juga tangis Friska pun terhenti.
Mereka berdua akhrinya mengobrol sambil menjilati es krim. Senja itu para pemain maupun suporter
sudah pada berpulangan. Hanya tinggal beberapa murid yang sedang sibuk membersihkan sisa-sisa
142 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Eh, buruan tuh makan es krim lo sebelum meleleh.” Dani menyelak di tengah-tengah
pembicaraan.
“Iya, dampak global warming ya?” canda Dani dan ia pun tertawa lepas. Friska
memperhatikan keringat Dani yang mengucur dari atas wajahnya. Dani bukan hanya pintar main basket.
Dia baik, ramah dan humoris. Saat itulah Friska merasa pertama kali jatuh cinta dengan Dani.
“Lo mesen es-krim nya gede banget tuh. Extra large ya? curang!”
“He-eh.” jawab Dani disela-sela menjilati es-krimnya.“Dulu gue dan sepupu gue sering
dibeliin es krim ama bokap nyokap. Selalunya gue dibeliin rasa Coklat terus sepupu gue yang rasa
Vanilla. Mungkin karena kulit gue item sementara sepupu gue putih ya? Hehehe..” canda Dani.
“Gak nyambung kali!” ledek Friska. “Lagian lo gak item-item amat.” lanjutnya.
“Sepupu gue paling suka es krim, soalnya dia cengeng,” Dani masih melanjutkan ceritanya
tentang sepupunya “Jadi, satu-satunya cara meredam tangisannya ya dengan ngebeliin dia es-krim.”
“Eh, ngomong-ngomong nama lo siapa? Kalau gak salah Chika ya?” tanya Dani tanpa merasa
bersalah.
“Oh Friska ya? Gue kira Chika, tapi gue rasa lebih bagus Chika.“ ujar Dani seolah berkata
143 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Chik… Chik… Chika...” Panggilan Dani yang lembut akhirnya menyadarkan Friska dari
lamunannya. “Chika, lo tunggu disini ya? Gue mau beli es krim dulu.” Segera setelah itu Dani beranjak
“Tunggu Dan!” teriak Friska mencegat Dani. Secara tidak sadar, Friska ikut menarik lengan
Dani sebelum Dani sempat beranjak jauh. Selama beberapa detik mereka berdua mematung dalam
posisinya.
“Em…. gue es krim yang rasa Stroberi aja ya?” pinta Friska. Selama beberapa detik, Dani
“OK.” jawab Dani akhirnya dengan nada riang. Sambil tersenyum ia langsung beranjak dari
tempat duduk mereka menuju ke arah counter es krim yang berada di seberang meja.
Dani merindukanku? Aku ragu akan hal itu. Friska bergelut dalam hati. Aku pikir, satu-satunya
“Ngomong-ngomong Dan, apa kabar dengan sepupu lo yang model itu?” tanya seseorang
mantan teman kelas mereka sekembalinya Dani dari counter es-krim. Ia akhirnya hanya membelikan
satu untuk Friska. Mungkin karena café itu gak menjual yang rasa Coklat.
“Uhhuk.” Dani tersentak ketika salah satu teman sekelasnya menanyakan pertanyaan sensitif itu
padanya.
“Maksud lo Miki?” tanya Dani memastikan setelah meletakkan kembali gelasnya ke atas meja.
“Kalau gak salah namanya Milcy Daniella kan?” tanya yang lainnya.
“Iya, kemaren gue liat fotonya di majalah yang di bawa nyokap gue dari Aussie. Tenar juga ya
dia?”
144 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Iya.. iya.. asyik juga ya kalau jadian ama cewek indon gitu. Model lagi.” celoteh yang lainnya
lagi.
“Emang sepupu lo tu udah punya pacar belum, Dan?” tanya salah seorang cowok yang sedari
“Uhhuk-uhuk.” Untuk kedua kalinya Dani tersentak, kali ini batuknya lebih keras.
Pesta reuni berlangsung dengan penuh warna. Begitu banyak kenangan manis masa SMU
yang kalaupun terus diceritakan tidak akan habisnya. Akhirnya waktu memang selalu menjadi pemisah
setiap pertemuan. Pesta berakhir meninggalkan tumpukan piring dan gelas yang berantakan di atas meja.
Gerombolan orang itu berjalan melalui pintu depan café. Orang-orang dalam gerombolan saling tertawa
dan melambai-lambai pada yang lainnya. Hanya Friska satu-satunya gadis yang menatap kosong pada
sesosok punggung pria. Ditatapnya lekat-lekat Dani dari belakang. Sampai kapanpun tidak pernah
kumiliki, pikirnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengung tapat ditelinga, suara serak milik…. Andre.
“A..” Friska tidak dapat berkata apapun mendengar pertanyaan Andre ini. Sebenarnya
bukan hanya pertanyaan Andre yang membuat Friska terkejut, namun juga perawakannya. Andre terlihat
begitu berbeda sekarang. Ia terlihat lebih tinggi dan jauh lebih dewasa, apalagi dengan mantel kulit
berwarna hitam yang dipakaikannya saat itu. Bila diperhatikan lebih dekat, otot-otot badan Andre
terlihat lebih berbentuk. Ditambah dengan rahangnya yang begitu kekar, Andre benar-benar tampak
gagah.
Andre. Andre mungkin bukan salah satu dari antara teman sekelas Friska yang mengadakan reuni hari
145 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
itu, tapi entah kenapa Andre ada di sana. Mungkin karena di undang oleh seorang teman sekelas Friska
“Mau tahu rahasia?” tanya Andre dengan tatapan menggoda pada Friska.
Malam ini Dani pulang ke rumah dengan perasaan yang berwarna-warni. Pikirannya dipenuhi
ingatan akan kenangan SMU. Tersenyum ia mengingat semua kenakalannya dulu dan semua kelucuan
sewaktu pertama kali diterima di sekolah itu, sewaktu pertama sekali bertemu kedua sahabatnya, Joe dan
Friska, sewaktu kampanya pemilihan OSIS, sewaktu ia tepilih jadi ketua OSIS, juga sewaktu Miki
Miki… apa kabar gadis itu di sana? Aku rindu padanya… Waktu serasa begitu lama berputar
Dani segera bangkit dari tempat tidurnya dan menghidupkan layar komputernya. Segera setelah
Dani_elle: What?
146 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
BlackWhite_413: You!
BlackWhite_413: Jangan suka menghindari masalah Ki. Aku tahu kamu bingung, tapi kamu
harus bijak.
BlackWhite_413: Aku juga ingin banget kamu di sini Ki. Bisa kulihatin terus.
Dani_elle: Iya. Papa juga gak mau pindah lagi. Dia…. udah terlampau cinta sama semua
kenangan Mom.
BlackWhite_413:Kenangan?
BlackWhite_413: Miki, kamu gak usah kesini. Biar aku saja yang kesana.
147 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani_elle: Don’t say that u would like to take the last flight to here?
BlackWhite_413: Ki, aku pengen kuliah serius biar bisa ngelanjut ke sana.
Dani_elle: GREAT!
BlackWhite_ 413: Ato mungkin aku boleh berharap dapat scholarship ke Oz.
Dani_elle: Greatest idea!!! I’ll pray for U.. (icon semyum malaikat)
BlackWhite_413: Eh tahu gak Ki, aku sekarang sedang mengetik di salah satu kamar rumah
Dani_elle: Woa…
Dani_elle: Pasti kamar yang di lantai dua, yang menghadap ke halaman rumah.
BlackWhite_413: Weitz. Aku sedang gak pakai webcam lho, tahu dari mana?
Dani_ elle: Itu kamar tempat kita sering bermain dulu kan?
148 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
BlackWhite_413: Miki…
Dani_elle: Hmm…
Dani_elle: Dani, bagi Miki kenangan waktu kamu ngasih Miki ice-cream gak ternilai
harganya.
Dani_elle: Mungkin kalau aku suatu hari mendapatkan kecelakaan dan tiba-tiba amnesia,
terus aku akan lupa cara mengikat tali sepatu tapi aku gak akan lupa kenagan kita.
BlackWhite_ 413:Hehehe… you just making me wanna take the last flight than go there
to your place.
BlackWhite_413: I love U
Pip… (Disconnected)
149 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sementara itu di tempat lain yang tidak jauh dari café reuni tersebut di bawah langit malam
yang sama…
“Serius masih mau pesan lagi?” tanya Andre pada sesosok gadis manis yang duduk di depannya.
“Loh? Yang tadi nantangin lomba makan terbanyak siapa?” Friska kembali membalas
pertanyaan Andre.
“Iya deh gue nyerah, gue nyerah. Gue enggak tahan lagi udah kekenyangan,” kata Andre sambil
mengelus-elus perutnya. Lu emang gak terkalahkan, Fris. Padahal baru aja kita makan di café. Emang lu
“Nah, sekarang buruan kasi tahu rahasianya apa? Gue kan udah menang.” tagih Friska
“Miki.” jawab Andre singkat. Seketika itu juga Friska terdiam dan terus menatap Andre. Nama
“Yah, berhubung kita kecil kemungkinan bakal ketemu dia lagi. Lagian gue kira ini bukan
rahasia besar karena sepertinya si tokoh utama sudah tahu, makanya gue ceritain aja ama lo biar lo gak
“Kenapa?” tanya Friska dengan nada yang lebih rendah dari yang biasa disuarakannya.
150 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Miki sebenernya udah naksir Dani dari dulu Fris, dari semenjak ia kecil. Dia udah suka Dani
jauh sebelum Dani nyatakan perasaannya ke Miki. Hanya saja dia memang gadis yang pintar yang bisa
nyembunyiin perasaannya. Cinta mereka memang aneh karena mereka sepupuan. Tapi bukannya
beberapa suku di Indonesia malah menganjurkan pernikahan dengan sepupu sedarah, Fris?”
Firska terdiam dengan tatapan yang kosong, diresapinya semua perkataan Andre.
“Friska…” panggil Andre lagi berusaha mendapatkan perhatian Friska. Seketika itu juga Friska
melihat ke arah Andre, terlihat matanya sayu dan berkaca-kaca seperti berusaha menahan tangis.
Andre menjadi kalang kabut mendapati ekspresi Friska yang seperti itu. Ia tidak menyangka
“Gak papa kok Fris, masih ada gue.” bujuk Andre sambil menepuk-nepuk kepala Friska. Segera
Friska menangis sejadi-jadinya dipelukan Andre. Beberapa orang yang sedang asyik duduk makan di
warung nasi Padang itu spontan melihat ke arah mereka berdua. Andre hanya dapat tersenyum segan
Richard berlari kecil menyusuri jalan kecil yang berkerikil itu. Tidak bisa
garis wajahnya. Sudah setahun berlalu dan dia sangat merindukan adiknya. Rio
adiknya akan kembali dari Australia hari ini. Perasaan dalam dirinya meluap
itu. Beberapa orang yang berlewatan dan melewatinya menampakkan wajah yang
sedikit heran padanya. Dilirik Richard sekilas pada arloji hitamnya. Jarum pendek
menunjukkan angka tiga sementara jarum panjang tepat di angka dua belas.
151 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Diperkirakan Rio akan datang ke rumah pukul tiga sore. Richard berusaha
depan rumah yang bernomor 413 itu, senyumnya langsung merekah. Ia berhenti
lembut ke atas, ke arah palang rumah yang terpaku kuat. Setelah menyakinkan
hati, perlahan-lahan ia mulai menjajaki kakinya memasuki setiap inci dari rumah
dahinya menyadari keganjilan suasana ini. Kemana semua orang? Beberapa saat
berjalan menuju lorong lain dalam rumah. Kemudian masuk menuju ke halaman
“Ya?” wanita tua berusia sekitar 57 tahun itu menjawab setengah terkejut.
“Bapak mana?”
“Iya Mas, tapi sepertinya udah keduluan. Mas Rionya udah di dalem.”
152 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Tadi sedang di kamarnya Mas terus saya sempat lihat Mas Rio sedang di
kamar Mas Richard juga. Kalau sekarang saya kurang tahu juga.” jawab Mbok Anik
“Oh, iya Mbok. Makasih ya Mbok.” jawab Richard sekenanya dan dengan
Ia berjalan ke arah loteng dengan ditemani suara deritan kayu. Setelah itu ia
membuka pintu kamarnya dan kamar sebelahnya yang tidak lain adalah kamar
melewati ruang tamu dan melewati ruangan lainnya dalam rumah itu yang diseka
oleh kayu-kayu tipis nan artistik. Setelah melewati rangkainya kursi-kursi yang
tersebut. Namun sekilas kemudian ia pun tersadar pada keganjilan yang terjadi.
“Rio?” panggil Richard lagi, namun suaranya lebih terdengar seperti sebuah
bisikan.
153 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Akhirnya Richard sadar apa sulut dari keganjilan ini. Pandangannya jatuh
pada secarik surat merah jambu. Surat yang sangat dikenalinya karena selama ini
tersimpan rapi di dalam mejanya. Surat itu satu-satunya surat yang tertinggal
untuknya dari Michelle. Pikiran Richard tiba-tiba saja menjadi buntu, lidahnya kelu,
sekujur tubuhnya kaku. Tapi ia harus berbuat sesuatu untuk menghindari hal buruk
“Rio?” suara Richard memanggil lagi dan kali ini lebih terdengar seperti
penjelasan namun terhenti karena tiba-tiba sebuah bundaran putih dari keramik
telah melayang ke arah dirinya lalu berdentum keras ketika bertubrukan dengan
Sore itu di selatan benua terkecil di dunia, seorang gadis berambut panjang sedang tersenyum
sendiri memandangi daun berguguran dari atas ayunannya. Di perhatikannnya satu per satu daun-daun
yang berguguran di halaman itu. Suasana hati yang gembira itu datang entah karena hari ini udara
memang cerah atau karena ia teringat pada sesosok pria yang berada di benua lain yang dengan kata-
kata sederhana selalu bisa membuat Miki tersenyum. Tiba-tiba Miki menghentikan gerakan ayunannya.
Di ambilnya sebuah surat yang sedari tadi diselipkannya di dalam saku jinsnya. Surat tersebut tidak
sengaja dipungutnya sewaktu hendak membersihkan gudang yang dulu pernah di pakai menjadi kamar
Ibunya. Saat ini Miki memang sedang berada di kamar GrandMa-nya, di pinggiran kota yang berjarak
beberapa km dari Melbourne. Perlahan-lahan dibukakannya surat tua yang masih utuh itu agar tidak
lecek. Di sapunya isi surat itu dengan matanya yang biru. Tidak beberapa detik kemudian ia melototkan
154 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
matanya. Miki begitu terkejutnya mendapati kalimat-kalimat dalam surat itu. Dibacanya lagi surat itu
dari awal berharap ia melakukan kesalahan membaca. Tapi tidak, penglihatannya tidak salah, kalimat
dalam surat itu juga tidak ada yang salah. Yang salah adalah….
Seketika itu juga Miki bergidik, gemetar. Ditutupkannya mulutnya dengan kedua
tangannya, segera ia bangkit dari ayunananya itu. Dengan kaki yang bergetar ia berusaha berjalan
memasuki rumah yang sudah tua itu. Meskipun tanpa suara namun ia menangis. Hal itu bisa bisa tampak
dari bahunya yang naik turun. Perlahan daun-daun yang berguguran itu mulai tampak buruk dan suram,
Sudah hampir dua minggu Miki sama sekali tidak bisa di hubungin. Padahal Dani merasa baru
saja kemaren mereka chatting. Namun tiba-tiba Miki tidak bisa dihubungin kemanapun. Ponselnya gak
pernah tersambung, begitu pula di internet, Miki tidak pernah on-line. Dani jadi kalang kabut. Pasalnya
Dani tidak pernah lepas berhubungan dengan Miki. Mungkin pernah karena berbagai kesibukannya Dani
tidak menghubungi Miki seminggu, tapi kali ini sudah hampir dua minggu! Dani jadi pusing
Hari ini Dani pulang dengan wajah lesu dan badan kuyu. Ia tidak pulang ke rumahnya yang
berada di kompleks itu. Sudah semenjak kuliah ia bersama keluarganya tinggal di rumah tua yang telah
155 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
direnovasi tersebut. Persoalannya kampus Dani serta tempat kerja Papa yang baru lebih dekat dengan
rumah tua itu daripada rumah mereka yang di kompleks. Sebenarnya ada alasan lain juga mengapa Dani
memilih untuk tinggal di rumah tua itu. Sesungguhnya ia ingin lebih dekat dengan kenangan masa
lalunya.
Kiiikt… pintu depan rumah tua itu mendesis ketika Dani membukanya. Begitu berada di dalam,
Dani tidak langsung masuk ke dalam kamar, namun ia menghempaskan badannya di atas sofa ruang
tamu terlebih dahulu. Lama ia berpikir sambil memejamkan matanya sebelum akhirnya ia bangkit
berdiri. Dia berjalan sambil mengamati isi rumah tersebut. Rumah ini bisa dibilang rumah dengan mode
klasik, terutama bila tanpa perabotan yang memberikan kesan modern pada rumah ini. Masih banyak sisi
dalam rumah ini yang masih asli dan tidak direnovasi karena masih bagus bentuknya: tangga-tangganya
yang masih utuh serta berbagai sisi lain dalam rumah itu. Dani melanjutkan dengan melangkahkan kaki
menjejali setiap sudut dalam rumah itu. Dibiarkannya kakinya berjalan mengikuti perasaannya.
Pikirannya terkenang akan masa lalu. Dahulu ia sering berlari-lari di sini. Ia tidak sendirian, namun
bersama Miki. Dia dan Miki yang masih kecil sering berlari-lari di tangga ini, berkejar-kejaran sambil
tertawa. Dani tersenyum sendiri. Dalam pandangan Dani, kenangan itu begitu nyata di depanya.
Terlihat senyuman manis Miki kecil begitu indah. Sinar matahari yang menyusup lewat jendela
memantulkan wajah bulat Miki. Dani melangkahkan kakinya ke atas tangga mengikuti langkah lari dua
anak kecil dalam bayangannya yang tidak lain adalah dia sendiri dan Miki. Ia melangkah kaki satu
persatu melewati anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga tersebut, seperti yang sering
dilakukannya dengan Miki dulu. Tidak lama ia telah tiba diatas. Kemudian dibelokkannya kakinya
melewati ruang kamarnya. Sesampainya ia di satu kamar di ujung loteng, ia pun terdiam. Bayangan
kedua bocah tadi tiba-tiba lenyap bersama terik sinar matahari yang semakin menyilaukan
pandangannya. Kamar itu jarang disentuhnya. Bahkan semenjak kepindahannya kembali ke rumah ini,
156 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
dia sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Kamar itu adalah gudang tempat menyimpan segala
perabotan lama serta barang-barang kuno lainnya. Dani memang tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke
sana, namun ia ingat bahwa ia dan Miki sering bermain di sana dulu. Dengan sedikit rasa ragu, Dani
Kreak.. kerek… kreak.. bunyinya begitu ngilu. Engsel itu cukup sulit di buka berhubung orang-
orang di rumah itu juga jarang memasukinya. Bunyi mendesis terus keluar dari engsel pintu itu hingga
Dani berhasil membukakannya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya ke dalam. Begitu banyak debu
dan sarang laba-laba di sana. Terlihat benar bahwa kamar ini jarang didatangi. Mungkin pernah
beberapa kali sewaktu memindahkan barang-barang yang ingin direnovasi ke dalam. Akan tetapi,
selama beberapa bulan belakangan ini sudah tidak pernah lagi orang masuk ke dalam sehingga semua
debu menumpuk di dalamnya. Semakin jauh Dani melangkahkan kakinya, semakin besar rasa
penasaranya pada isi ruangan tersebut. Semua perabot-perabot tua di dalam ini memiliki kenangan
sendiri pada dirinya. Dirabanya satu persatu perabotan tua yang berdebu tersebut. Jari-jari tangannya
kini telah hitam penuh dengan debu, begitu pula dengan kakinya yang telanjang. Dani terus
melangkahkan kakinya hingga tiba di suatu sudut. Ia melihat tumpukan kardus yang berada di situ. Di
dalam kardus tersebut terdapat berbagai jenis barang. Mama Dani memang tidak suka membuang segala
sesuatunya. Ia bahkan memiliki kebiasaan menyimpan barang-barang, meskipun barang tersebut sudah
rusak. Menurutnya barang-barang tersebut memiliki kenangan yang berbeda-beda yang tidak boleh
dilupakan.
Dani akhirnya mengambil kardus-kardus tersebut dan pelan-pelan dibukanya. Kardus yang
pertama berisi tumpukan mainan: robot-robotan, miniatur rumah serta pistol-pistolan yang semuanya
sudah rusak. Di ambilnya kardus satu lagi. Kardus ini berisi buku-buku tua. Kemungkinan besar ini
adalah buku kuliah Papa dan Mama. Soalnya Dani sempat melihat nama lengkap orangtuanya berikut
157 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
nomor mahasiswanya di depan sampul buku-buku tersebut. Di bukanya kardus ketiga. Kardus tersebut
berisi surat-surat lama. Dari perangkonya tertera tanggal pengiriman surat tersebut sekitar hampir dua
puluh tahun yang lalu. Surat-surat itu ada yang masih utuh bersama isinya namun ada juga yang hanya
tinggal amplopnya saja. Dani mengambil sebuah amplop yang berwarna merah jambu. Namun betapa
terkejutnya dia mendapat kata-kata yang tertera dalam amplop tersebut, disana tertulis:
To:
Richard H T
From:
Michelle Laura
158 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dear:
Richard H T
Dani agak berdegup ketika membalikkan amplop tersebut dan ternyata sama. Pengirimnya tidak
lain dan tidak bukan adalah Michelle, mendiang ibunda Miki. Kini dengan gerakan cepat Dani
mengucek-ucek isi kardus tersebut. Memang ada surat dari orang lain yang di tujukan pada Papa Dani.
Namun kenapa semua surat yang dikirmkan dari Mama Miki tujuannya adalah Papaku, pikir Dani. Ia
terdiam sejenak. Keringat menetes lewat dahinya dalam ruangan yang panas itu. Namun Dani tidak
peduli lagi dengan ruangan yang panas itu. Ia sibuk memikirkan segala kemungkinan yang lahir dari
amplop tersebut. Akhirnya dengan tangan yang sedikit gemetar, Dani mengambil sepucuk amplop yang
masih berisi. Disitu tertulis bahwa pengirmnya adalah Michelle dan di tujukan pada Richard. Dani
menelan ludah sebentar sebelum ia berani membacanya. Dibukanya dan sejenak ia mengernyitkan dahi.
Ternyata isinya bukan dari Michelle. Dicari-carinya lagi surat yang mungkin ada tulisan Michelle.
Diraba-rabanya seluruh surat yang ada. Hampir sekitar lima belas menit ia berjongkok dalam posisi
tersebut, namun hasilnya nihil. Dengan wajah pucat, Dani bangkit dari posisinya. Di langkahkannya
kakinya yang lemas ke arah kamarnya. Sesampainya di kamar, dibukanya pintu kamarnya dan segera ia
merebahkan tubuhnya di sana. Matanya terpejam namun tidak dengan otaknya. Begitu banyak hal yang
dipikirkannya saat itu. Tanpa terasa mentari telah turun ke ufuk barat.
“Dani… kenapa di kamar terus, Nak? Makan dulu Dan…” teriak Mama dari bawah loteng. Dani
sedikit tergugah ketika mendegar suara Mama. Ia memang sedari tadi menyibukkan diri di kamar
159 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
dengan berbagai kegiatan: menulis, main gitar, membaca dalam upaya menghilangkan tanda tanya besar
dalam kepalanya.
“Dani… turun dong, Nak.” pinta Mama lagi dengan berteriak tepat di bawah loteng.
Dani akhirnya menyerah, ia bangit dari meja belajar dan berjalan turun. Tampangnya cukup
berantakan. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya kusut. Ia juga tidak memakai kacamata yang selalu
melekat di wajahnya. Mama yang melihat Dani turun dengan penampilan seperti itu merasa sedikit aneh.
Tidak biasanya Dani kelihatan kusam, karena ia selalu menjaga penampilannya rapi.
“Belum Ma.” Jawab Dani sambil menyerbu gorengan yang dihidangkan di atas meja makan
bundar itu.
“Mandi dong, Dan. Dari tadi kan udah beraktifitas, entar jadi daki lho.” Mama menasehati
dengan lembut. Ia kemudian berjalan ke arah Dani dan di kucek-kuceknya rambut Dani yang kucel.
“Iya Ma, bentar lagi ya?” Dani berkata dengan suara tertahan, sebab makanan yang ada di
Setelah itu, Dani kembali menyapu pandangannya ke sekililing ruangan itu. Ia teringat peristiwa
tadi siang. Kemudian ia terpaku pada pesawat telepon yang diletakkan beberapa meter dari ruangan
makan. Tiba-tiba sebuah gagasan mampir di otaknya. Ia pun berjalan menghampiri telepon itu.
Diangkatnya gagang telepon itu dan ia bersiap-siap untuk memijit sebuah nomor telepon yang sudah
dihapalnya.
Kiikt… Tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka. Dani tidak jadi menekan nomor itu, namun
berkonsentrasi pada orang yang akan menyeludukkan kepalanya dari balik pintu rumah.
“Wah… udah pulang, Pa?” tanya Mama ketika melihat wajah pria itu muncul. Ternyata Papa.
160 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Iya Ma, diluar gerimis lho.” lapor Papa sambil mengecup kedua pipi Mama yang datang
menghampirinya.
Dani mematung di depan meja telepon. Gagang telepon masih terangkat di tangannya yang satu
lagi. Dani terbayang pada surat-surat yang tadi siang ditemukannya. Dipandanginya terus Papanya
“Mau telepon siapa, Dan?” tanya Papa ketika ia berjalan melewati Dani, masuk menuju ke ruang
dapur. Mama segera menyusul Papa sambil mempersiapkan hidangn malam untuk keluarga.
“Eh... Oh…” Dani segera sadar dari imaginasinya. “Mau telepon Om Rio, Pa.” jawab Dani
“Om Rio? Buat apa Dan?” tanya Papa lagi. Kali ini Papa telah duduk dengan rapi di meja
“Em… enggak Pa. Cuma mau tahu kabar Miki aja.” jawab Dani. Ia tidak jadi menelepon.
“Loh, memangnya kamu gak tau ya Dan? Om Rio dan Miki kan sedang di Prancis.”
“Aneh ya, Dan. Padahal Miki itu kan pobia naik pesawat terbang semenjak peristiwa kecelakaan
almarhum mamanya. Papa juga lumayan terkejut waktu tahu dua tahun lalu Miki ke sini via pesawat. Ia
kan paling takut pesawat.” cerita Papa sembari melonggarkan tali dasinya.
Mama kemudian ikut menyambungkan pembicaraan dengan tangan yang di penuhi dengan
hidangan makan malam. “Tapi mungkin GrandPa-nya udah kangen banget sama Miki ya? Soalnya
161 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
semenjak cerai dengan GrandMa-nya kan GrandPa-nya Miki kembali ke Prancis dan udah lama gak
“Tapi bukannya GrandPa-nya datang ke pemakaman GrandMa Miki ya Ma?” tanya Papa
mengingatkan.
“Iya, baru dua tahun yang lalu GrandPa-nya baru bisa ketemu lagi dengan Miki setelah lama.
Dari situ katanya GrandPa nya minta Miki ikut ke Prancis bersamanya. Karena cucu-cucu GrandPa-nya
yang lain alias saudara tiri Miki sudah cukup dewasa, jadi gak bisa bareng nemenin GrandPa nya terus.”
“Mungkin selama ini Miki masih berpikir atas tawaran GrandPa itu ya Pa?” Mama menerka-
Sementara dalam keterkejutan Dani mendengar pembicaraan kedua orangtuanya itu, ia tidak
dapat berkata apapun dan teus mematung dalam posisinya. Ia terus bergulat dalam hati. Miki tinggal di
Prancis? Di Prancis? Jauh sekali. Lebih jauh dari Australia. Mungkin tepat bila Miki memutuskan untuk
ke Prancis sekarang ini. Mungkin Miki telah memutuskan untuk melanjutkan kulihanya di negara mode
tersebut. Baguslah. Pendidikan di Prancis kan cukup bagus. Apalagi kalau Miki di sana bersama dengan
GrandPa serta keluarganya yang lain. Tapi.. kenapa selama ini Miki tidak cerita padaku? Kenapa begitu
banyak hal tentang Miki tidak aku ketahui. Kenapa waktu chatting dengan Miki kemaren ia tidak jujur
saja bahwa ia ingin kuliah di Prancis? Kenapa harus berpura-pura merasa ingin berada di sisiku? Aku
tidak mengerti, aku tidak mengerti! Dani masih terus bergelut dengan pikirannya.
“Dani, kenapa berdiri di situ terus? Sini kita makan malam yuk.” ajak Mama yang telah siap di
meja makan.
melangkahkan kakinya yang berat. Anak-anak tangga yang terbuat dari kayu itu pun berbunyi keras saat
162 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani melangkahkan kakinya. Sepeninggalannya, Mama dan Papa hanya bisa melemparkan tatapan
Hari ini adalah tepat hari ke-15 semenjak Dani benar-benar hilang komunikasi dengan Miki. Dan
memang terlihat bahwa semakin hari ia tampak semakin uring-uringan. Teman-teman sekampus Dani
melihat ada yang berbeda dalam diri Dani. Biasanya ia rajin mencatat dan memperhatikan dosen di
kelas, namun belakangan ia hanya mencoret-coret bukunya dengan gambar yang tidak jelas. Mama dan
Papa pun sama bingungnya. Mereka selalu memperhatikan kelakuan Dani yang ganjil, namun tidak
sekalipun mereka menayakannnya pada Dani. Mereka sadar pasti ada sesuatu yang membuat Dani
163 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
gundah dan mereka tidak perlu menanyakannya pada Dani karena mereka yakin Dani dapat
Pagi ini Dani hendak berangkat ke kampus ketika Pak Pos yang mengendarai sepeda motor
berhenti tepat di depan rumah Dani. Diselipkannya sebuah surat di kotak yang berada di depan teras
rumah Dani -yang memang di buat untuk menampung surat yang masuk-. Dani tidak langsung
menghiraukan keberadaan surat itu. Setelah ia pamit pada Mama dan Papa, barulah ia berjalan ke luar
menuju pagar. Di sempatkannya sebentar melihat surat yang tergeletak di dalam kotak tersebut dengan
niat untuk mengantarkannya ke dalam rumah. Akan tetapi, Dani sedikit heran begitu menyadari bahwa
orang yang dituju surat itu adalah dirinya sendiri. Ia jarang mendapatkan surat pribadi. Biasanya surat
yang masuk adalah berupa tagihan pulsa ponsel Papa atau berkaitan dengan urusan kantor Papa. Namun
kali ini benar-benar untuk dirinya dan lebih anehnya lagi dalam surat tersebut tidak ada nama
pengirimnya hanya alamat pengirimnya saja. Dani tidak mengetahui alamat rumah siapa itu. Lagipula
alamatnya di... Australia. Hah, Australia? Dani tersadar akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada
Miki. Buru-buru disobeknya amplop itu dan dibukakannya. Di dalam amplop itu masih ada amplop
lainnya lagi. Namun amplop yang didalamnya terlihat sudah tua. Dani semakin heran dan bertanya-
tanya dalam hati. Dengan seksama di perhatikannya amplop itu. Dan betapa makin terkejutnya ia begitu
menyadari bahwa alamat pengirim surat yang tertera dalam amplop tua itu adalah rumah no. 413.
Rumah itu tidak lain adalah rumah yang sekarang ditempatinya. Dan yang lebih mengherankan lagi, si
pengirim sendiri adalah… Richard, AYAHNYA! Di balikkannya lagi surat itu dan di bacanya tujuan
surat itu adalah… Michelle, IBU MIKI! Dirasakan Dani jantungnya berdetak semakin kencang.
Tangannya sedikit bergetar. Dalam angannya terbersit berbagai pikiran-pikiran yang mungkin belum
pernah dipikirkannya sebelumnya. Setelah menghirup udara panjang dan menelan ludahnya, ia
memberanikan diri membaca isi surat itu. Dibukakannya surat tua itu dengan hati-hati agar tidak lecek.
164 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Bunyi gemersik terdengar ketika ia membolak-balikkan lipatan surat itu. Di tahannya nafasnya ketika
Dear Michele,
Maybe this is the last letter that I send to you. I don’t wanna hurt you or my
brother, Rio. But I also won’t deny that I love u so much. I will always miss you
Babe. Truly I am sincere love you. And I don’t expect anything from you. I do love
you.
Michelle, you should know that it is very hard for me to tell you the truth. It
is as hard as my decision to choose this choice. But in the end I think this is the only
165 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
right choice. I will forget you even though I know that I cannot forget all the things
about you for all of my life. In the moment when I write this letter, I realize the
really truth. Love hurts, I am on hurt and I don’t want you to be either being in
hurt. The memory about you is carved deep in my heart that can make me
unconscious of myself. That’s why before all the things becomes so wrong, I chose to
past you. I will start my life without you here. In the place where we are separates
about thousand miles. I hope you do also get your happiness there. The last, I’ m
asking you to take care of my brother because I know that he loves you more than
anything.
Richard H T
Dani terpaku di depan teras rumahnya, tepat ditengah-tengah pagar, begitu menyelesaikan
kalimat akhir surat tadi. Badannya mengejang dan tangannya masih bergetar. Matanya menatap tajam ke
depan, namun mata itu kosong. Mata itu penuh dengan pikiran-pikiran yang tiba-tiba saja memenuhi
otaknya. Dengan posisi badan yang sama, Dani melangkahkan kakinya ke depan. Entah mengapa kali
itu kakinya terasa begitu berat untuk digerakkan. Dani tidak tahu kemana arah langkah kakinya, tiba-tiba
saja ia lupa bahwa ia hendak pergi ke kampus pagi ini. Angannya melayang entah kemana dan dadanya
166 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Dani, masih di sana?” tiba-tiba Mama menyadarkan Dani dari rasa syoknya. Spontan Dani
membalikkan badannya menghadap ke Mama. Matanya menatap Mama penuh arti. Mungkinkah selama
“Dani, tadi ada Pak Pos ya? Ada surat dari siapa, Dan?” tanya Mama lagi tanpa curiga. Dani pun
tersadar akan pertanyaan Mama. Pelan-pelan disembunyikkannya surat tadi ke balik pungggungnya.
“Enggak, enggak ada surat kok Ma,” jawabnya berusaha tanpa terlihat ganjil. “Ma, Dani
berangkat ya?” pamitnya dengan nada sebiasa mungkin. Meskipun begitu, masih terlihat kekakuan
dalam ucapan Dani. Apalagi langkah Dani uring-uringan membuat Mama tmabah curiga sehingga
wanita separuh baya ini tidak langsung masuk ke dalam rumah, namun terus memandangi Dani dari
Pagi itu Dani tidak berangkat ke kampus. Ia hanya melangkahkan kakinya tanpa arah. Pikirannya
begitu kusut dan terlalu banyak tanda tanya dalam kepalanya. Tanpa ia sadari, kakinya menuntutnya
suatu tempat. Tanpa terasa ia telah tiba di sebuah taman. Taman yang sangat dikenalinya. Itu adalah
taman rahasianya dengan Miki. Taman itu mungkin sedikit berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Taman
itu tidak selebar dulu karena banyaknya pembangunan di sana-sini. Beberapa wahana di tambahkan dan
bangku taman itu di cat dengan ornamen warna-warni. Hanya ayunan kayunya saja yang tampak tetap
seperti dulu meskipun dengan cat yang telah dipugari. Dani kemudian duduk di atasnya. Ia berpikir lama
Digoyangkannya perlahan ayunan itu sambil berusaha menenangkan pikirannya. Namun pertanyaan-
pertanyaan tetap tidak berhenti berputar di kepalanya: kenapa Miki mengirimkan itu? Adakah
hubungannya dengan keberangkatannya ke Prancis? Mungkinkah Miki baru membacanya dan merasa
167 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani pun berkata-kata dalam hatinya. Sejujurnya aku juga merasa terpukul. Selama ini Papa dan
Mama pasangan yang mesra. Bahkan aku berharap kalau kelak menikah aku ingin seperti Papa dan
Mama. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku kalau Papa bisa mencintai wanita lain selain Mama. Papa
pernah cerita kalau ia sudah mengenal Mama sejak lama, sejak masih di desa. Aku juga tidak tahu desa
mana yang Papa maksud karena ia tidak pernah cerita panjang lebar tentang masa kecilnya. Tapi kalau
soal cinta Papa, aku sejak dahulu berkesimpulan bahwa Papa tidak pernah mencintai orang lain selain
Mama. Apalagi bila orang itu adalah Mom-nya Miki. Atau…. jangan-jangan aku dan Miki bukan hanya
Ah, aku tidak boleh berpikir seperti itu. Tidak mungkin Papa seperti itu. Dani dihantui dengan
segala pertanyaanya hingga tiba-tiba ia tersadar. Tapi bila Miki berpikir seperti itu gimana? Dan kalau
Di Paris, ibu kota Prancis malam itu, cuaca yang mendung membuat pemandangan
malam di kota itu semakin suram. Aura Paris yang keemasan tertutup butiran kristal salju yang sedari
tadi telah turun mendinginkan suasana kota. Dari jendela lantai tiga sebuah rumah yang bermodel batu
bata dan sengaja tidak di plaster, seorang gadis berambut hitam panjang dengan mata biru tajam
memandang kosong keluar jendela. Matanya tertunduk kebawah menatap ke tumpukan salju di jalanan.
“Miki, kenapa kamu dari tadi berdiam saja nak?” sebuah suara serak bertanya sambil berjalan
mendekati Miki. Miki tidak beranjak dari posisinya. Ia terus berdiam di depan jendela kaca tersebut.
“Miki, sudah tiga minggu kamu ada disini. Bukannya kamu masih punya urusan di hi school?”
barusan.
168 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Seketika itu juga tubuh Om Rio mengejang, seketika mendengar pernyataan Miki tadi. Ia pun
“Pa…” Miki memanggil masih dengan pandangan mata yang kosong menatap ke butiran salju di
luar.
“Ya?” jawab Om Rio berusaha tegar karena tiba-tiba ia juga ikut-ikutan teringat pada almarhum
istrinya tersebut.
“…..”
“…..”
“…..” Keduanya terdiam dalam bisu. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.
“…..”
Om Rio masih terdiam sambil memandang dalam pada Miki. Sementara Miki masih tetap
“Miki, sebenarnya kenapa kamu tanya itu semua?” Akhirnya setelah berpikir panjang Om Rio
“….?”
169 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Om Rio menjadi pilu mendengarkan ucapan putri tunggalnya ini. Dilihatnya ekspresi Miki yang
sudah cukup menceritakan rasa di hatinya. Dihampirinya lagi Miki dan diperhatikannya gadis tersebut
“Miki my lovely dauther, Papa tahu rasanya sakit hati. Papa paham, Ki.”
“…..”
“Sejujurnya Miki, hingga hari kematian Mamamu, Papa masih tidak tahu perasaannya pada
Papa. Dia... tidak sekalipun pernah mengatakan kata cinta pada Papa.” Om Rio menghembuskan lagi
nafas panjangnya. Seolah bebannya dapat keluar dalam tiap uap air di nafas yang dihembuskannya.
“Tapi Miki, Papa yakin,” Om Rio menyisipkan jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya
“…bila kita dengan tulus mencintai seseorang, mungkin dari situ akan kita dapat segala sesuatu yang tak
kalah baiknya. Ya Miki, bila kamu terus menerus dengan tulus mencintai seseorang, tulus memberikan
yang ada pada kita, maka yang terbaik akan datang padamu, Miki.”
Kali ini Miki tidak lagi mematung dengan pandangan kosong. Dia berbalik, dipandanginya Om
Rio yang berdiri tepat di sampingnya. Dia mengadahkan kepalanya agar dapat melihat Om Rio dengan
lebih jelas. Untuk sejenak keduanya hanya saling bertatapan penuh makna.
“Hm… belum tahu Pa. Tapi mungkin setelah Miki ke-Indonesia dulu.”
“Urusan kantor Papa belum selesai disini, jadi mungkin kamu harus berangkat sendiri, Miki.”
“Yeah, You’ve told me. Don’t be afraid, I can take care of my self now.”
“But are you sure that you won’t tell Dani first, hum?”
170 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki terdiam sejenak mendengar pertanyaan Om Rio. Dialihkannya pandangannya ke depan dan
Dani akhirnya pulang ke rumah begitu matahari tidak menampakkan sinarnya lagi. Ia
melangkahkan kakinya dengan berat. Seharian ini dia hanya mondar-mandir entah kemana, dia sendiri
pun tidak ingat lagi. Ia berjalan, naik kendaraan umum, berajalan lagi, keliling-keliling dan berjalan
lurus. Suasana yang dilewatinya silih berganti, namun ia hanya memikirkan hal yang sama sedari tadi.
Kriiitk… Terdengar lagi engsel dari pintu rumah tua itu ketika Dani memasukinya. Dani berjalan
lesu ke dalam. Dani bahkan tidak menatap ke depan ketika hendak masuk.
“Sudah pulang, Nak?” terdengar suara Mama menayai Dani. Dari tempat berdirinya di dalam
rumah, Dani juga dapat melihat Papa sedang duduk di meja makan. Terlihat baju kemeja serta dasi Papa
masih melekat di tubuhnya. Sebenarnya Dani sedikit terkejut ketika melihat Papanya di dalam rumah.
Dani baru sadar ketika melirik ke arah jam yang telah menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya jam
sekarang Papa memang telah pulang ke rumah. Artinya Dani yang kelamaan pulang hari ini.
“Kamu mau makan? Yuk kita makan sama-sama aja.” ajak Mama sambil menggiring Dani ke
meja makan.
Dani pun mengikuti Mama dengan langkah yang agak kaku. Sesampainya di meja makan, ia
duduk tidak seperti biasa, dipandanginya Papa dengan mimik aneh. Menyadari sedang diperhatikan,
Papa balas menatap ke arah Dani. Dan dengan segera Dani memalingkan mukanya.
171 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Kamu belum makan di luar kan, Dan?” Papa bertanya tanpa menyadari sesuatu yang ganjil
“Ah… e… belum Pa.” jawab Dani. Memang selama di luar Dani tidak menyicipi apapun.
Selama mondar-mandir di jalanan ia lebih banyak hanyut dalam pikirannya sendiri sehingga jadi lupa
makan. Ketika ditanyai soal makanan barusan Dani baru menyadari bahwa perutnya memang kosong
“Ya udah kita makan sama-sama Dan. Sudah lama ya kita gak makan sama-sama? Habis kamu
terlalu sibuk dengan segala kegiatanmu.” Papa berujar dengan mata yang lembut dan sayu. Dani
tertegun menatap mata itu. Papa begitu penuh kasih, ia selalu menunjukkan ekspresi yang menyejukkan
hati. Bagaimana bisa aku membenci Papa? Ucap Dani dalam hati. Gak mungkin aku membenci Papa,
pikirnya.
“Dani, ini piring kamu. Mau Mama ambilin nasinya?” tanya Mama.
Setelah itu Mama mengambil piring Papa dan menaruhkan nasi ke atasnya. Sebelum
memberi kembali piringnya kepada Papa, Mama menyempatkan mengecup pipi Papa. Dani dengan
seksama memperhatikannya. Sebenarnya ini sudah sering terjadi di rumahnya dan Dani sudah terbiasa
melihatnya. Mama dan Papa benar-benar pasangan yang mesra. Papa benar-benar mencintai Mama dan
juga sebaliknya. Waktu kecil, melihat Mama dan Papa yang selalu seperti itu membuat Dani
menganggap bahwa semua orang memang diciptakan berpasangan untuk saling menyayangi. Dani kecil
selalu bingung kalau melihat anak yang berjalan tanpa kedua orangtuanya, sebab kedua orangtuanya
Selesai makan Dani tidak ingin berlama-lama di ruangan makan. Dia kwatir bila ia berbicara
banyak dengan Mama dan Papa malam itu, dia bisa saja keceplosan dan menanyakan soal surat itu.
172 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Pasalnya otaknya sudah terlalu penuh dengan isi surat itu sehingga tidak mustahil bila ia keceplosan.
Sebelum melangkahkan kakinya ke atas loteng rumah, sempat dilihatnya Mama dan Papa sedang
Sesampainya di atas kamar, Dani segera merebahkan tubuhnya. Bagaimana caranya aku
menanyainya pada Papa? Apa arti surat ini? Pikir Dani. Di ambilnya surat kontroversial yang sedari tadi
disimpannya dibalik saku jinsnya. Tidak mungkin aku menanyakannya ini pada Papa. Kalau nanti
Mama sampai tahu, pasti dia akan sangat sakit hati. Aku kwatir hanya dengan satu pertanyaanku dapat
menghancurkan kehidupan rumah tangga Papa dan Mama yang harmonis. Lagipula peristiwa itu kan
sudah lama terjadi, jadi mungkin saja itu hanya kisah lama yang sudah dilupakan. Tapi, kenapa harus
sekarang Miki mengirimkan surat itu padaku? Kenapa begitu tiba-tiba? Apa maksudnya? Aku tidak
mengerti. Dani terlalu lelah berpikir, dipendamkannya wajahnya dalam bantal. Tiba-tiba sebuah ide
tidak terduga terlintas di pikirannya. Tunggu, jika Miki yang mengirimkan surat ini, pasti dia yang
paling mengerti soal isi surat ini. Kenapa tidak kutanyakan langsung saja padanya? Kenapa harus aku
ganggu Papa akan sesuatu hal yang tidak pasti? pikir Dani. Ia sadar mungkin itu adalah ide tergila yang
pernah di pikirkannya. Tapi, memang begitulah sifat Dani: orang yang nekad soal cinta.
Malam semakin larut dan Dani masih tidak bisa memejamkan matanya. Dani berjalan menuju
lemari yang bertumpuk buku-buku. Dibukanya lemari kecil yang ada di bagian bawah meja itu. Di
dalam didapatinya map plastik yang berisi surat-surat berharganya: ijazah SD, SMP dan SMUnya, rapot-
rapotnya, sertifikat, dll. Dibongkarnya map itu sehingga kertas-kertasnya berhamburan di atas lantai.
Setelah Dani mengacak-acak kertas-kertas itu, akhirnya berhasil ditemukannya pasportnya. Setelah itu
Dani beranjak dan berjalan menuju sebuah meja di dekat pintu kamarnya, dibukakannya laci meja
belajarnya yang bertumpuk barang-barang, dibongkarnya dan dikutipnya sebuah buku kecil di dalam. Di
bukakannya buku kecil tersebut, angka terakhir yang tertulis disitu adalah 32.350.500,00. Angka
173 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
tersebut adalah jumlah saldo terakhir dalam rekeningnya. Dalam hitungan Dani, uang ini kemungkin
Bulan sabit mulai menghilang dari langit malam. Ia terganti oleh sinar fajar yang berkilauan.
Pagi ini Dani, Mama dan Papa sarapan bersama di ruang makan. Seperti biasanya suasana hangat
mengantar hari baru di rumah itu. Mama membantu Bi Inem menghidangkan sarapan. Papa dengan
pakaian yang rapi duduk di atas kursi sembari membaca koran pagi. Hanya Dani yang terlihati tidak
biasa. Ia duduk di hadapan Papa sambil termenung. Kedua tangannya ditumpukan di atas dagunya dan
matanya menatap kosong di atas meja makan. Mama menghampiri Dani sembari menghidangkan
sepiring roti bakar di mejanya. Sepertinya Mama sadar keganjilan sikap Dani dari kemaren-kamaren.
Setelah itu Dani kembali melamun dan Mama kembali sibuk membantu Bi Inem. Papa
“Ma… aku pergi dulu ya?” ucap Dani selesai melahap sarapannya.
“Kamu mau pergi Dan? Gak bareng Papa saja?” Papa menawarkan diri.
“Enggak usah Pa, Dani sekalian olahraga pagi.” ujar Dani. Kampus Dani memang cukup dekat
dengan rumah tua yang baru saja direnoasi tersebut sehingga dapat di tempuh dengan berjalan sekitar
dua puluh menit dan kalau sambil lari pagi mungkin lebih cepat lagi.
174 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Kriiiitk…. Lagi-lagi terdengar bunyi engsel pintu yang memang selalu mendesis ketika pintu tua
rumah itu dibuka atau ditutup. Mama dan Papa masih menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup
“Iya, tadinya Papa juga mau tanyakan, tapi keburu Dani udah pergi.” jawab Papa dengan koran
“Apa Papa gak merasa ada yang berbeda sama Dani?” tanya Mama lagi.
“Atau jangan-jangan dia ada masalah di kampus ya?” Papa balas bertanya.
Bi Inem yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu hanya diam saja. Keluarga Bi Inem
sudah turun temurun menjaga keluarga ini. Ibunya yang telah meninggal mengabdi pada kelurga ini.
Dari kecil ia sudah sering dibawa ibunya membantu-bantu keluarga tersebut. Bisa dibilang ia juga
tumbuh bersama keluarga ini. Ia telah merawat Dani semenjak Dani masih kecil sehingga dia sangat
mengenal kepribadian Dani. Dari kemaren ia telah sadar ada sesuatu yang membebani hati Dani dan ia
Sementara itu Dani yang masih berjalan beberapa meter dari rumah tidak sadar bahwa ia
meninggalkan kekwatiran pada orang-orang di rumahnya. Ia terus berjalan dengan kedua tangan
dimasukkan ke dalam jins belelnya. Angin dingin yang bertiup pagi itu seolah menghadang langkahnya.
Namun keingininannya lebih kuat. Hari ini ia akan mengurus segala sesuatunya dan secepatnya
175 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Pesawat terbang dengan meninggalkan debu-debu yang terhempas bersama angin. Dani
masih larut dalam lamuannya di atas rangka besi tersebut. Berbagai bayangan kenangan masa lalu
terbesit dalam pikirannya. Perjalanan ke Prancis yang bagi sebagian orang merupakan perjalanan yang
menyenangkan, tidak begitu halnya bagi Dani. Bahkan Dani merasa perjalanan ini sangat lama. Apalagi
176 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
untuk sampai di Prancis, Dani masih harus transit dulu di Singapura dan mungkin di perhentian lainnya.
Di dalam ruang tunggu bandara, Dani yang sedang bosan mengambil secarik kertas lalu mencorat-
coretkan sesuatu di atasnya. Belakangan ini Dani memang senang menulis sesuatu dalam agendanya.
Penyejuk nuraniku,
Penerang kalbuku,
Aku mati,
Hatiku sesak,
Tanpa jejak.
177 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Kenapa bulan dan bintang membisu ketika kutanya dimana arahmu pergi?
Kucari-cari kau,
Setelah menyelesaikan puisinya, Dani merilekskan badannya di kursi pesawat yang besar nan
nyaman itu. Tiba-tiba ia terbayang pembicaraan terakhirnya dengan Mama tadi pagi.
“Lho, mau kemana Nak, kok bawa tas sebesar ini?” tanya Mama. Di pandanginya tas ransel
“Iya Ma. Kemaren aku lupa pamit. Eh.. eum.. eh… Aku mau pergi wisata alam, Ma.”
“Wisata alam?” Mama terheran, dikernyitkannya dahinya. “Sejak kapan kamu ikut Mapala,
“Enggak, aku gak pernah ikut Mapala kok Ma. Cuma iseng aja pengen travel bareng teman.”
178 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Berapa lama?” tanya Mama masih dengan nada kwatir. Tampaknya Mama mengerti akan
gelagat aneh Dani. Pasalnya Dani jarang sekali berpergian jauh untuk waktu yang lama, kecuali bila
“Oh... kebetulan kan ada libur nasional tiga hari mulai besok lusa, Ma. Terus Sabtu dan Minggu
aku juga gak kuliah, jadi bolosnya cuma hari ini dan besok dan di usahain bisa kuliah Senin depan. “
“Heuf…,” dihembuskan Mama nafas kwatirnya. “Kamu buru-buru Dan? Gak nunggu Papa
“Ah, gak usah Ma. Buru-buru ni Ma. Entar aku kabarin Papa lewat telepon aja deh.” pintanya.
“Hah….” kembali di hembuskan Mama nafasnya. “Ya udah kalau itu mau kamu. Hati-hati di
“Ma, aku pergi dulu ya Ma. Bye.” ujar Dani untuk terakhir kalinya.
Mama hanya melambai-lambaikan tangan sambil melihat Dani berlalu. Ada perasaan tidak enak
Dirasakan Dani ada perasaan sesak dalam hatinya mengenang kejadian tadi. Seperti ada sesuatu
yang hilang dari dirinya. Sebenarnya ia bukanlah anak yang suka berbohong atau menyembunyikan
sesuatu, tapi Dani memahami benar perasaan keluarganya. Mama dan Papa tidak akan mengizinkan ia
pergi jauh sendirian. Apalagi ke luar negeri, ke Paris. Bukan, Dani bukan anak yang di manja. Namun
wajar bila orangtuanya cukup melindunginya, mengingat dia anak satu-satunya dikeluarga itu. Tiba-tiba
179 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
berkumandang dari spekarephone suara berat wanita dengan memakai berbahas Inggris. Dani paham
bahwa pesawat transitnya akan segera mendarat. Ia beranjak dari tempat duduknya. Sambil berjalan
dirogohnya saku depan tas ransel hitamnya. Di dalam itu didapatinya sebuah sobekan kertas. Sebuah
Bandara Roddeo di Paris di penuhi oleh salju yang turun terus menerus sejak pagi. Beberapa
petugas bandara sibuk menyekop salju-salju yang turun di sisi bandara. Terlihat di salah satu sisi
bandara tersebut dua orang, ayah dan putrinya, sedang berbicara serius.
“Hm…” Miki mengiyakan hanya dengan dengungan suara. Matanya masih sayu dan ia
“Miki, jangan menapakkan wajah seperti itu pada Papa sebelum kamu berangkat pergi. Papa jadi
“He-eh..” Miki mengiyakan. Tidak ada perubahan didirinya, matanya masih sayu dan bibirnya
semakin dicemberutkan. Om Rio dapat merasakan kegelisahan dalam hati putrinya itu, dirangkulnya
“Miki… sejak Mamamu meninggal, Papa merasa sedih sekal…” ucapnya. Di longgarkannya
pelukannya, kemudian di lanjutkannya perkataannya “… tapi kalau melihat tawa kamu di sisi Papa,
180 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki mengadahkan kepalanya untuk dapat melihat ke arah wajah ayahnya dengan lebih jelas.
Perkataan yang baru saja didengarnya dari mulut ayahnya itu menancap tajam di hatinya.
“Makanya Miki, sejak dulu Papa selalu memanjakanmu. Papa tidak pernah ingin kamu sedih.
“Miki, senyumlah..” Dengan segera Miki mengeluarkan senyum manisnya. Meskipun terkesan
agak dipaksakan, namun terlihat tulus. Om Rio segera menyambut senyuman Miki dengan membalas
Di sudut lain bandara tampak seorang pria dengan mengenakan kaus oblong, jaket hijau lumut
berbulu tebal serta topi bersimbol check list warna putih. Tidak ketinggalan kacamata yang tidak pernah
lupa dikenakannya. Ia tengah mengantri bersama orang-orang lain yang baru saja turun dari pesawat.
Tas ranselnya diletakkan di depan dadanya dan dipelukanya erat. Tampaknya ia belum terbiasa dengan
perubahan yang di dapatinya tiba-tiba: perbedaan waktu, perbedaan suasana dan perbedaan lainnya.
Sebenarnya dia kurang menikmati perjalanan sekitar dua belas jam yang baru saja di tempuhnya.
Terutama selama transit di kota-kota tertentu. Rasa pegal menjalar di seluruh tubuhnya. Namun ketika ia
teringat akan tujuannya di tempat itu, maka rasa pegal itu tidak berarti lagi baginya. Dengan tangan yang
sedikit menggigil diulurkannya sebuah kertas kepada petugas bandara. Setelah melewati antrian, Dani
berdiri di tengah-tengah bandara yang luas itu. Matanya menerawang jauh melihat orang-orang asing
yang lalu-lalang. Akhirnya, aku sampai juga di sini, pikir Dani. Di tatapnya tajam ke langit-langit
bandara yang menjulang tinggi. Sejenak Dani menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam. Di
resapinya aroma musim dingin kota Paris yang anyir dan lembab. Setelah itu ia dengan tekat yang bulat
melanjutkan perjalannya. Tidak sadar ia hanya berjarak beberapa meter dari apa yang dicarinya di kota
181 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
itu. Tidak sadar ia sedang melewati gadis bermantel merah yang menyimpan kenangan masa kecilnya.
Miki menatap kebelakang untuk menyampaikan salah perpisahan untuk Ayahnya. Dengan koper
di tangan kanannya dan sebuah tas selempang di bahunya ia berusaha terlihat tegar. Ia tidak ingin ayah
yang sejujurnya sangat disayanginya menjadi kwatir akan kelakuannya yang aneh belakangan ini. Juga
akan keegoisan perasaannya. Terutama akan keinginannya yang tidak dapat dipendam lagi ingin
bertemu dengan Dani. Pria yang sesungguhnya sedang berdiri beberapa meter darinya. Hanya terpisah
oleh iring-iringan orang yang seliweran di tengah-tengah lantai keramik super besar dan berhias marmer
yang terhampar luas. Namun jodoh mungkin tidak berpihak pada mereka.
Sejenak jantung Dani berdetak kencang. Ia seperti sedang menyadari sesuatu. Ia terhenti tepat di
tengah-tengah kesibukan orang-orang yang berjalan dengan cepat. Setelah beberapa detik mematung
pada posisinya, ia membalikkan badan guna melihat kebelakang. Pemandangan bandara tersebut masih
sama dengan yang sedetik lalu dilihatnya, orang-orang masih sibuk hilir mudik. Diperhatikan Dani
dengan penuh fokus ke sekitarnya. Ada kelompok yang terdiri dari seorang lelaki tua berambut putih,
wanita setengah baya dan dua orang bocah lelaki tanggung. Mungkin keluarga yang baru pulang dari
liburannya, pikir Dani. Kemudian Dani menoleh ke sudut lain bandara, sepasang kekasih sedang tertawa
ceria sembari mendorong tumpukan barang bawaan mereka dengan troler mini. Di samping pasangan
tersebut seorang pria dengan pakaian jas lengkap berjalan terburu-buru melewati mereka. Dani
mendengus lalu menunduk menatap bayangan hitam dirinya di atas keramik putih yang berkilau
tersebut. Sebelum ia benar-benar membalikkan badannya, sekilas cepat ia sempat melihat sesosok gadis
bermantel merah cerah berjalan cepat menuju terminal keberangkatan. Dani sekarang telah dalam posisi
berbalik menuju gerbang keluar. Namun ia masih tetap mematung menyadari yang baru saja di lihatnya.
Sepersekian detik kemudian ia kembali membalikkan seluruh badannya. Namun pemandangan yang
182 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
baru saja di lihatnya telah menghilang. Tepat di tempat gadis bermantel merah tadi berjalan telah berdiri
seorang wanita muda berambut pirang dengan mantel merah cerah yang sama. Dani melihat lama pada
gadis tersebut. Menyadari sedang diperhatikan, gadis tersebut tersenyum tipis ke arahnya. Dani
membalas tersenyum, kemudian kembali melanjutkan langkahnya dengan gerakan lambat. Mungkin aku
Beberapa saat kemudian, Dani telah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang bertingkat tiga.
Rumah itu tidak diplaster sehingga bahan dasar batu-batanya yang tersusun rapi dapat terlihat dengan
jelas. Ada sebuah taman kecil tepat di depan rumah itu. Tidak tampak tumbuhan di sana, hanya
tumpukan salju dan sebuah cemara tua yang tinggi dan daun-daunnya ikut tertutupi butiran salju. Rumah
itu tidak berada tepat di tengah-tengah kota Paris. Rumah itu berada di perbatasan antara pintu gerbang
Paris sehingga keadaan di sana tidak seramai Paris. Dani mengalami kesulitan untuk berbicara dengan
supir taksi tadi sehingga ia terlalu jauh berkeliling dan berputar-putar kota Paris. Tentu saja uangnya
terkuras habis hanya untuk mengetahui alamat rumah itu. Padahal ia sendiri tidak membawa persediaan
uang yang banyak. Dani bahkan kwatir kalau-kalau ia masih bisa mencapai Indonesia lagi atau tidak
hanya dengan persedian uang sejumlah itu. Memang sebelumnya Dani telah memprediksi akan adanya
kesulitan komunikasi tersebut. Orang Prancis sudah terkenal akan kecintaannya pada bahasa mereka
sendiri lebih dari bahasa Inggris sehingga hanya sedikit orang di sana yang dapat berbahasa Inggris
dengan lancar.
Dani berdiri di depan pagar terus sambil mengamati isi rumah tersebut. Dari dalam salah satu
ruangan rumah tersebut terlihat pijaran lampu neon. Dani kemudian memutuskan untuk memasuki
pagarnya untuk dapat mencapai bel berlonceng yang tepat berada di sisi depan pintu kayunya. Dani
183 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Tliling.. tliling.. terdengar bunyi lonceng itu nyaring di telinga. Dani menunggu sejenak. Tidak
ada suara. Namun sejurus kemudian terdengar sebuah langkah kaki yang berat dan lambat. Seorang pria
tua tambun dengan rambut putih keluar dari balik pintu itu. Rambutnya sangat tipis, bahkan sebagian
kepala depannya sudah botak. Pria itu berjalan keluar rumah. Ia mengenakan sweater keabuan dan dari
“Excusez-moi.” jawab Pria asing tua itu dengan aksen yang pas dan penuh wibawa.
“Je’mapelle… eh.. eum…” tiba-tiba Dani lupa apa yang harus diucapkannya. Padahal
baru saja di dalam taksi dia berhasil menghapal cara menanyakan alamat dalam bahasa Prancis.
Mungkin karena dinginnya hari ikut membuat sel-sel otaknya membeku disaat-saat genting seperti ini.
Karena merasa tidak sempat bila harus membukakan buku praktis bahasa Prancis di kantong tasnya,
Dani memutuskan untuk mengambil kertas alamat di saku jinsnya lalu menunjukkan pada pria tua itu.
“This.. this.. Em.. Is it the right place?” tanyanya. Di putuskannya untuk berbahasa
Inggris.
“Yeah. It is.” jawab pria tua itu. Dani sedikit heran mendapati bahwa pria tua tersebut
mengerti bahasa Inggris. Kemudian rasa herannya itu segera berganti dengan rasa senang.
“Does Miss. Milcy Daniella live here?” tanya Dani lagi dengan wajah berharap.
“Yeah. She has been stayed here for almost three weeks. She is my grandaughter. Are
184 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani tidak langsung menjawab pertanyaan pria itu. Dia masih dalam keadaan terkejut
mengetahui bahwa pria yang berada di depannya ini adalah kakek kandung Miki. Diperhatikannya pria
itu, memang ia memiliki mata biru yang sama seperti Miki. Meskipun mata Miki lebih cerah.
“Dani???” sebuah suara memanggil dengan nada berteriak dari arah belakang. Suara itu
otomatis memotong pembicaraan Dani dan pria tua itu. Dani segera memalingkan wajahnya. Pria yang
tadi memanggil itu begitu terkejut mendapati Dani dan begitu pula Dani.
“Dani, kamu sedang apa di sini? Kenapa bisa tiba-tiba di sini? Ohohoho..” Om Rio
bertanya dengan dibumbui tawa heran. Ekspresinya senang mendapati Dani di sana. Di dekatinya Dani,
dirangkulnya dan ditepuk-tepuknya punggung Dani. Di sisi lain Dani hanya bisa tertawa senang
mendapati Om Rio.
“Dari bandara, Om baru saja mengantarkan Miki. Ini Om mau mengantarkan titipan Miki
sama GrandPa-nya. Terus, kamu juga dari mana Dan? Kenapa wajahmu pucat begitu?”
“Dari bandara? Miki di mana Om?” tanya Dani tanpa mengacuhkan pertanyaan Om Rio.
“Miki sedang berangkat ke Jakarta, Dan. Dia memang sengaja tidak beritahu siapapun.”
jawab Om Rio, kali ini wajahnya tidak lagi tertawa, namun keningnya agak berkerut seperti mengetahui
“Ke Jakarta?”
“Iya, baru saja. Dani, apa kamu datang ke sini untuk menjumpai Miki?”
185 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani tidak dapat menjawab apa-apa, ia hanya terpaku di hadapan Om Rio. Matanya
“Dani, mungkin pesawatnya belum berangkat. Cepat Dani, naik ke mobil!” perintah Om
Rio. Dan dengan terburu-buru kedua orang itu melompat masuk ke dalam mobil sedan biru buatan
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan Paris yang bersalju. Dan di dalam mobil itu
Dani dan Om Rio hanya terdiam. Dani menatap lurus dengan penuh kecemasan. Om Rio yang
tampaknya mengerti perasaan cemas Dani sesekali melirik ke arah Dani yang sedang duduk di
sampingnya.
Sesampainya di depan pintu bandara itu, Dani tidak ingin menunggu sampai mobil itu
diparkirkan terlebih dahulu. Ia tidak sabar lagi ingin segera meloncat dan mencari Miki. Ia segera
membuka pintu mobil dan melompat keluar mobil. Dengan secepat mungkin, ia berlari menerobos
gerombolan orang yang sedang mengantri dibalik kasir, juga menerobos pejalan kaki yang sedang
melintas dijalur yang sama. Nafasnya tidak teratur lagi, rambutnya berantakan dan mantelnya hampir
terlepas sebab semua kancingnya telah copot. Sudah entah berapa orang yang ditabarkanya. Orang-
orang itu tidak hanya diam namun memaki-maki Dani dengan bahasa yang tidak dimengerti Dani. Tapi
Dani tidak peduli. Ia hanya peduli keberadaan Miki. Jangan pergi Miki! Teriaknya dalam hati.
Ia berlari berlari dan berlari. Dengan segala kekuatan yang ada dalam dirinya ia berlari.
Pikirannya hanya tertuju pada satu sosok ‘Miki’. Ingatannya pun berputar lagi pada masa lalu. Waktu
itu… Dia pernah mengalami hal ini. Samar-samar diingatnya. Waktu itu sepuluh tahun lalu…
“Dani, kata Papa besok Miki pergi.” kata sesosok wajah mungil dari atas ayunan.
“Kemana?”
186 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Jauh.”
“Enggak boleh.”
“Kenapa?”
“Karena Dani harus tetap disini menjaga taman rahasia ini. Jangan sampai direbut orang. Dani
“…”
Sunyi. Dani tidak menjawab pernyataan Miki tersebut. Tiba-tiba ia mulai bicara dalam tiga kata.
“I love you, Miki.” sebutnya dengan suara datar dan spontan. Kata-kata ajaib itu diucapkannya
pada gadis yang menjadi cinta pertamanya. Mendengar pernyataan itu Miki memiringkan kepalanya dan
Blatzz… tiba-tiba sinaran putih tampak begitu terang di mata Dani. Begitu cepat, begitu terang.
Begitu cepat dan tidak dapat dielakkannya. Sayup-sayup didengarnya suara keramaian. Ingin
dibukakanya matanya, tapi yang dirasakannya begitu sakit, nyeri. Miki.. Miki.. teriaknya. Namun
187 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Samar terlihat guguran daun dari kejauhan seolah mengerti perasaanku. Kicau burung di musim
gugur begitu mempesona. Namun angin musim dingin yang menusuk sebagai pertanda sesuatu yang
buruk bagiku. Angin pun masuk melalui tirai-tirai jendela yang dibiarkan terbuka. Kubukakan mataku
perlahan, samar terlihat warna putih. Dimana ini? tempat asing! Bau yang amat menyengat. Putih
dimana-mana. Disurgakah ini? Tidak. Aku belum boleh ke surga! Aku belum boleh ke surga sebelum
bertemu Miki. Dengan segenap kekuatanku kuupayakan untuk membuka mata dan seseorang pun
bersuara,
“Kamu sudah sadar, Dan?” tanya sebuah suara yang hangat padaku. Suara ini menyadarkanku
“Ergh..” erang Dani mencoba menahan rasa nyeri disekujur tubuh. Pandangannya kabur sebab
“Hah, syukurlah kamu gak apa-apa.” ucapnya dengan penuh rasa tenang.
“Aku.. ceroboh ya Om, sampai ketabrak,” ujar Dani dengan pandangan memelas ke arah Om
Rio.
“Iya, ceroboh. Ceroboh, sama seperti Miki..” jawab Om Rio sambil memandang penuh makna
pada Dani.
Srap… tirai di jendela melambai-lambai dari atas kepala Dani. Keduanya terdiam dan
saling memandang. Pikiran mereka berkecamuk. Miki.. Miki.. Miki… nama itu terus disebut Dani
“Kamu jangan terlalu gegabah, Dan,” ujar Om Rio berusaha mencairkan suasana.
“...untung cuma luka ringan di lengan dan sedikit retak di kaki.” lanjutnya.
188 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Kepalaku sakit,” Ujar Dani “Tapi aku udah boleh keluar kan, Om?”
Kemudian hening lagi. Om Rio berdiri melihat ke arah luar kamar rumah sakit.
Kebetulan kamar itu berada di lantai tiga sehingga pemandangan dari atas kamar tersebut begitu indah
terlihat.
“Dani, apa kamu sudah bilang sama orangtuamu kalau kamu pergi ke sini?” tanya Om
belakangan ini dia terlalu banyak berpikir hingga pemikirannya jadi benar-benar buntu.
“Dani, Om pikir, baik Miki maupun kamu belakangan berperilaku sangat aneh,
saling….” Om Rio terdiam sejenak dan tidak melanjutkan kata-katanya “Ah, Om tidak tahu apa yang
pernah terjadi atau sedang terjadi antara kalian. Miki mungkin bercerita panjang lebar tentangmu Dan,
jadi Om tahu itu masih terkati denganmu. Tapi, Miki tidak pernah cerita apa sebenarnya yang
membebaninya.”
sakit dengan pandangan kosong. Tidak tahan dipendamnya pertanyaan dalam hatinya. Akhirnya
“Om..” panggilnya.
“Apa… ayahku dan almarhum Ibu Miki pernah ada apa-apa?” tanya Dani dengan nada
datar.
189 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Huff… kembali Om Rio menghembuskan nafasnya panjang. Tampaknya ia sudah siap bercerita
panjang lebar.
Tet..Tet.. Tet… Di tekan Miki bel tua yang masih bisa di gunakan di rumah bernomor
413 itu. Di pandangnya ke dalam tempat itu cukup lama. Pemandangan di dalam rumah itu tidak begitu
jelas karena hari sudah gelap. Akhinya untuk pertama kali Miki dapat pergi sendirian. Dengan
menunjukkan alamat rumah pada si supir taksi bandara, ia dapat juga mencapai rumah tua ini. Rumah
yang penuh kenangan baginya. Selama beberapa saat Miki terdiam memandangi tempat itu. Di ingatnya
banyak kenangan masa kecilnya dengan Dani. Kini ia tidak peduli lagi, apapun hubungannya dengan
Dani. Dia sayang pada Dani dan baginya itu sudah cukup. Apapun yang terjadi pada mereka kelak,
“Miki?” Mama dengan cepet membuka kunci rumah dan secepatnya menghampiri Miki.
“Miki, kenapa kamu di sini, Nak? Kok gak bilang-bilang datang ke Jakarta?” tanya
“Hm… Iya tante. Miki gak tahu nomor telepon rumah ini. Lagipula mobilephone Miki
gak bisa di pakai sejak di Prancis.” Miki berkata sambil berjalan beriringan dengan Mama menuju ke
dalam rumah.
190 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Iya, baru aja tante mau tanya, bukannya kamu dari kemaren di Prancis ya? Bukannya
kamu udah tinggal di sana?” Kali ini mereka telah sampai di dalam rumah. Mama menutup pintu
sembari berbicara.
“Kamu bukannya mau tinggal terus di sana Miki?” Mama terus bertanya sambil
“Ah, enggak kok, Tan. Kemaren mungkin GrandPa mengajak, tapi Miki nolak. Masih
“Jadi kemarena kamu ke Prancis urusan apa?” tanya Mama lagi mengintrogasi.
“Oh.. Miki cuma liburan, jadi pengen jenguk GrandPa di Paris sekalian Papa juga ada
“Oo..” Mama mulai menarik kursinya dan duduk di samping Miki di tengah ruang
keluarga itu.
“Oh… sayang banget Ki. Dani sedang pergi traveling dengan teman-teman kampusnya.”
“Oya?” Miki sedikit terkejut mendengar jawaban Mama. Pasalnya dia sudah sangat
berharap bisa bertemu Dani secepatnya agar ia dapat menceritakan banyak hal yang selama ini
“Wah… Tante juga gak tahu kemana tuh. Tapi kata Dani kemungkinan besar seminggu-
an.”
191 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oo..” jawab Miki dengan nada kecewa. Diteguknya lagi minuman itu lalu ia menunduk
dan berpikir.
“Oya Miki, karena kamu tiba-tiba datang dan rumah ini masih agak berantakan, jadi
Tante gak punya kamar untuk kamu tempati. Kalau kamu malam ini tidur di kamar Dani aja bisa kan?
“Habisnya kamu kan jarang main ke mari. Kamu harus nyaman di sini Miki.” Mama
“..…?” Tante bingung melihat Miki. Sebenarnya ia ingin bertanya mengapa dan kenapa
kedatangan Miki yang tiba-tiba, namun sebuah suara menghentikan pembicaraan mereka.
Kiiittkkk… terdengar bunyi dari engsel rumah yang sudah lama itu. Dari balik pintu
“Wah, Papa pulang ya?” Mama bertanya sendiri sembari berjalan menghampiri Papa.
Dikecupnya pipi pria itu dan digiringnya masuk. Miki menatap adegan penyambutan itu dengan
seksama. Sebenarnya ia lebih lama memperhatikan gelagat Om Richard. Mulai dari bawah ke atas
diperhatikannya dengan seksama sembari dihisapnya terus teh hangat di tangannya. Mungkinkah orang
itu Papaku? Tanya Miki dalam hati. Miki telah bertekat datang ke Indonesia untuk mengetahui asal-
asulnya. Mencari segala misteri yang mungkin disembuyikan selama berpuluh tahun ini. Apapun
kenyataan yang ada nanti, akan di hadapinya dengan berani. Dan apapun kebenaran yang terkuak nanti,
Dani harus tahu, tekatnya. Sambil berpikir dalam hati, diperhatikannya terus Papa.
192 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Hei!” Papa setengah memekik mendapati Miki di ruang keluarga. Hal itu membuat Miki
“Hallo Miki. Kapan datang?” tanya Papa sembari mengelus-elus rambut Miki yang
sedang duduk.
“Baru saja, Om.” jawab Miki. Kemudian Miki meletakkanya cangkir minuman yang
“O… kenapa gak bilang-bilang, Ki?” Papa kembali bertanya sambil melonggarkan dasi
“Oya?”
“Enggak kok.”
“Oh…gitu ya. Ntar deh kalau weekend, Om dan Tante ajak kamu jalan ya? OK?. Nikmati
waktumu disini ya Ki. Om ganti baju dulu.” ujar Papa sambil berjalan masuk ke dalam kamar. Menyusul
Mama mengikutinya dari belakang. Miki terus memperhatikan kedua orang itu sampai mereka benar-
benar masuk ke dalam kamar. Setelah kamar di tutup, Miki memandang lurus ke depan. Matanya yang
193 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
biru itu kosong. Kemudian ia terasadar akan sesuatu dan kembali di pandanginya seluruh ruangan rumah
itu. Dipandanginya satu persatu perabotan yang ada dalam rumah itu. Sebenarnya bila perabotan di
rumah ini tidak semodern ini, rumah ini pasti terasa sangat klasik, pikirnya. Lama ia berpikir sebalum
akhirnya ia berjalan untuk mengamati isi rumah itu, seperti yang dilakukan Dani beberapa hari yang
lalu. Khayalannya kembali ke masa lalu. Ke masa kecilnya di rumah ini. Dari kecil ia sering di tinggal di
sini. Setahun setidaknya ia dua atau bahkan tiga kali mampir datang kesini. Orangtuanya sewaktu kecil
sering menitipkanya di sini sambil menghabiskan masa kecilnya. Kenangan masa kecilnya yang indah
banyak tertinggal di tempat ini. Juga kenangan manis petualangannya bersama Dani. Miki melanjutkan
langkahnya menelusuri sisi-sisi rumah itu. Dengan melangkahkan kaki, ia menjejali setiap sisi dalam
rumah itu. Ia pun tersenyum sendiri membayangkan betapa berharganya kenangan itu. Dalam
penglihatannya seolah-olah kenangan itu nyata di depanya. Ia dan Dani sedang berlari-lari kecil
mengelilingi tiap ruangan di situ dan kemudian naik ke atas tangga. Miki melangkah kakinya menaiki
anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga yang ada, seperti yang dulu pernah
“Miki…” tiba-tiba Mama memanggil namanya yang membuat lamunan Miki seketika itu
juga buyar.
“Miki… kamu sedang apa, Nak? Makan dulu yuk?” pinta Mama.
Segera Miki melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga. Dari ujung anak tangga,
Miki dengan jelas dapat melihat pemandangan di ruang makan. Di meja makan telah tersedia masakan
yang sedari tadi memang telah disiapkan Mama. Di salah satu ujung meja sedang duduk Papa dengan
194 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Miki, yuk makan.” ajak Papa. Miki terpana memandangi Papa, tidak ada jawaban kata-
“Miki…” Mama memanggil lagi dan hal itu membuat Miki tersentak.
“Ah, Iya Tan.” jawab Miki akhirnya dan ia berlari menggapai kursi yang berada tepat di
sebelah Papa.
Suasana makan malam itu begitu hangat. Mama dan Papa bercerita tentang hal-hal kecil
yang selalu diperhatikan mereka. Sesekali mereka menanyakan pendapat Miki. Namun Miki
kebanyakan diam sambil memperhatikan semua yang ada di dalam diri Papa. Miki kerap hanya
Selesai makan malam, Papa dan Miki berdua mengobrol di depan layar televisi.
Sementara Mama dan Bi Inem sedang merapikan ini-itu, Miki memperhatikan secara seksama setiap
kata yang dilanturkan oleh Papa. Sebenarnya ditiap pembicaraan Papa, ingin sekali ia memotong dengan
bertanya “Ada hubungan apa Om Richard dengan Momku?”, namun selalu di urungkannya niatnya itu.
Di lihatnya ekspresi bahagia Papa. Mungkin Om Richard telah sangat bahagia di sini bersama dengan
Tante. Jadi, kenapa aku harus mengganggu di saat-saat seperti ini? Miki sadar bahwa senyum cerah
yang terpancar dari wajah Om Richard akan hilang dengan segera bila ia jadi menanyakan pertanyaan
itu. Jadi meskipun ia benar-benar ingin bertanya kebenaran itu saat itu, namun di urungkannya niatnya.
“Miki, kalau kamu mau tidur, naik aja ya?” Mama tiba-tiba memotong pembicaraan
mereka berdua.
“Iya Tan, makasih ya?” Ia kemudian beranjak dari sofa tempat duduknya. “Om, Miki
naik dulu ya? Miki capai selama perjalanan di pesawat tadi, Miki pengen segera istirahat.”
195 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Oh silahkan Miki, silahkan.” jawab Papa sambil merentangkan telapak tangannya
mempersilahkan Miki.
Miki menaiki tangga tersebut sambil menghitung anak tangga yang ada. Seampainya di
atas, ia menatap lurus ke lorong di sebelah kanan kamar Dani. Ia tersadar bahwa ada ruangan serupa
gudang disana. Itu adalah tempat ia sering bermain hide and seek bersama Dani. Sejenak sempat
terbersit dalam benaknya untuk menghampiri tempat itu. Namun karena keadaan sudah cukup gelap, ia
pun mengurungkan niatnya itu. Ia akhirnya melangkah masuk menuju kamar Dani. Sesampainya di
kamar itu, ia tidak langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Namun ia terpaku sejenak di balik
pintu. Di perhatikannya baik-baik kamar Dani. Ada beberpa set lemari yang isinya buku semua. Dani
memang suka membaca. Ada meja belajar yang di atasnya bertumpuk berbagai barang: miniatur
bergambar bola basket serta miniatur robot-robotan. Lemari pakaian Dani tinggi dan Miki tidak berniat
membukanya karena ia tahu bahwa ia akan sedikit syok mendapatinya kemungkinan yang ada di dalam.
Tempat tidur Dani besar seperti sebuah double bath, tapi bukan. Sepreinya bermotif garis-garis merah
jambu, mungkin baru saja di ganti Tante, pikir Miki. Miki melangkah mendekati sesuatu yang menarik
perhatiaannya. Diperhatikannya foto yang terpajang di atas meja belajar Dani. Itu adalah foto Dani
sedang tertawa lebar. Ia mengenakan baju SMU-nya. Ada Joe dan Friska juga di sana sedang tertawa
sama gembiranya bersama Dani. Dilihatnya foto yang satu lagi. Foto itu tersembunyi dari balik
tumpukan barang di depannya. Dan itu adalah fotonya, foto wajahnya dan Dani sedang tersenyum
bersama.
“Ahahaha..” Miki tertawa sendiri menyadari keganjilan di foto itu. Dia ingat gambar itu
diambil dua tahun lalu ketika ia sedang jalan-jalan dengan Dani ke kebun binatang. Waktu itu Dani
meminta si Tukang Es Krim mengambil gambarnya. Waktu itu mereka berdua baru saja menghabiskan
cone es krim Coklat dan Vanillanya. Lihat, masih ada bekas es krim di bibir keduanya.
196 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Malam itu Miki tertidur lelap dengan memeluk foto berbingkai kayu di tangannya. Foto
kenangannya dengan Dani. Malam itu juga ia bermimpi indah sekali. Ia bermimpi sedang berada di
taman rahasia mereka. Ia berkejaran bersama-sama dengan Dani. Ia tertawa terbahak-bahak di pagi itu,
“Miki!” Miki tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara Mama memanggilnya.
“Miki….!” panggilan kedua, namun Miki belum cukup sadar untuk menjawab panggilan
Mama.
“Ya?” jawab Miki dengan suara serak. Dengan langkah berat Miki berjalan menuju pintu
kamar.
“Ya Tante.” jawab Miki dari balik pintu. Matanya masih sayu dan rambutnya yang lurus
terlihat acak-acakan.
“Miki, Tante mau pergi belanja dulu. Tadi Om Richard udah berangkat kerja. Jadi kamu
“Ya udah, Tante pergi dulu ya? Kamu hati-hati di rumah, Tante gak lama kok.”
Sepeninggalan Tante, Miki sendiri di kamar itu berusaha menyadarkan dirinya. Ia duduk
terbengong di atas tempat tidur. Sejenak kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi, membasuh
wajahnya dan menggosok giginya. Setelah mengganti pakaiannya, ia pun mengambil minuman di dapur.
Lama ia kembali terbengong di dapur. Ia bingung apa yang harus di kerjakannya. Sebenarnya ia ingin
197 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
menghubungi Andre atau Joe atau Friska, namun di urungkannya niatnya. Ia masih sedang ingin sendiri,
pikirnya.
“Bik…?” Miki memanggil Bi Inem yang sedang sibuk membersihkan sisa renovasi di
halaman samping.
“Bik, Miki pergi dulu ya, Bik. Aku ingin jalan-jalan sebentar di sekitaran sini.”
“Iya.”
“Tapi Neng, Bibi takut kalau Neng Miki entar kesesat.” Bibi mengenal sifat Miki yang
gampang kehilang arah. Hal itu karena selama Miki berada di Jakarta dua tahun lalu, Bibi selalu
“Ah, enggak Bik. Tenang aja. Tapi kalau Bibi tetap kwatir, nih aku kasiin nomor HPku
yang baru. Ntar kalau aku lama pulangnya, Bibi hubungin ke sini aja.” Miki berkata sambil mencoret
sebuah notes yang tergeletak di atas meja telepon. Bibi dengan seksama memperhatikan angka-angka
“Bai…” balas Bik Inem sambil melambai-lambaikan tangan kanannya ke kanan dan ke
kiri. Sementara tangannya yang satu lagi masih memegang kain elap.
198 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
kemungkinan dia akan tersesat, namun ia tepiskan ketakutannya dan dibulatkan tekatnya. Dengan
memakai kaus obolong putih, celana jins serta sandal jepit, Miki berjalan sendiri memutari jalan-jalan di
sekitar rumah tua itu. Berusaha diingatnya jalan menuju suatu tempat, taman rahasia mereka. Dahulu,
hampir setiap hari ia melewati jalan ini. Meskipun banyak perubahan dan pembangunan di sana-sini,
namun posisi jalan di sini tidak banyak berubah. Dan Miki terus berjalan mengikuti kata hatinya.
Sesekali angannya terbuai akan kenagannya bersama Dani. Ia teringat sewaktu tersesat di kompleks
rumah Dani dua tahun yang lalu. Mioki berjalan sambil senyam-senyum sendiri. Beberapa orang yang
jalan di sekitar situ heran melihat ekspresi Miki. Padahal bila ia tidak bertingkah aneh seperti itu saja
Miki terus berjalan dan berjalan. Sesekali bila ia sudah letih, ia berhenti sejenak sambil
memerhatikan bahu jalan. Pagi itu banyak sekali orang yang berjalan dengan memakai pakaian training.
Ya, orang-orang itu sedang olahraga pagi. Miki senang melihat orang yang sedang jogging sehingga ia
199 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Sudah lebih sejam dia mengitari tempat itu ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia telah
sampai di tempat tujuannya, di seberang itu adalah taman rahasianya. Dengan perlahan Miki
melangkahkan kakinya menuju ke tempat itu. Di sapukannya pandangannya terhadap tempat itu. Di
pandanginya satu persatu setiap wahana yang ada di situ. Ia membuka sandalnya dan dibawanya dengan
sebelah tangannya. Pasir-pasir masuk menyusup di sela-sela jari kakinya. Ia melangkah hingga
mencapai ayuanan kayu yang kelihatan sudah kropos. Meskipun telah di cat ulang, namun tetap saja
ayunan itu kelihatan sudah tua. Miki duduk di atas ayuanan itu dan diayunkannya dirinya sendiri. Dulu
sewaktu kecil, selalu Dani yang mengayunkan ayunan untuk dia. Dan Miki selalu tertawa dengan
Deg… untuk sesaat Miki terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba dia teringat semua
kenangan bersama Dani. Ingatan masa kecilnya yang indah bersama Dani. Perjalanannya yang indah
dua tahun yang lalu. Semua tentang Dani, semua percakapan dengan Dani. Rasanya ingin ia menitikkan
air mata. Semua memori indah dengan Dani tidak mungkin bisa ku hapus, pikirnya.
Titut… Tittut... Bunyi yang berasal dari ponsel mengejutkan Miki tiba-tiba. Tertulis dalam layar
ponsel itu nomor telepon rumah tua. Ah, terlalu dini bila Bi Inem mengkwatirkan kalau-kalau aku
“Hallo!” jawabnya.
“Miki, ini Tante Anya. Miki,” ucap suara yang menelepon itu lirih dan berusaha menahan tangis
“A..A..pa?”
200 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Dani berlari cepat menyusuri jalan itu. Sebenarnya tidak bisa di katakan berlari karena kakinya
yang masih terluka dan di bawa dengan terseret-seret membuatnya tampak seperti meloncat-loncat.
Namun tekat dalam hati Dani mengalahkan segalanya, tidak dihirauakannya lagi segala nyeri yang
meradang di seluruh tubuhnya. Pikirannya terfokus pada satu, Miki! Perkataan Om Rio terus terkenang
dalam benaknya.
“Michelle menamai putrinya Milcy (baca mil-shi) yang adalah singkatan kalimat
Michelle Love Ricky. Sementara nama belakang Danielle diberikan mengikuti nama kamu Daniel, agar
Di malam itu Dani masih terus berlari di atas kakinya yang berat. Udara yang dingin menembus
masuk ke ulu hati. Mantel kulit yang menyelimuti badan Dani sepertinya tidak cukup untuk melindungi
tubuhnya dari dinginnya udara malam musim dingin. Dani tampak begitu berantakan, namun ia sudah
“Tindakan Michelle memilih nama Miki tepat sekali. Karena sejak awal bertemu denganmu,
kelihatan sekali bahwa kalian bakal menjadi sangat dekat. Pernah suatu kali Miki bayi menangis, kamu
Daniel langsung bisa meredakan tangisnya hanya dengan menepuk-nepuk kepalanya. Sejak kecil kalian
berdua sering bermain bareng. Meskipun usia kalimat terpaut setahun lebih. Tempat favorit kalian,
Setelah itu berbagai pikiran berkecamuk dalam hati Dani. Bagaimana bila aku tidak bisa
bertemu dengan Miki lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa memberitahukan Miki kenyataan yang
201 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
sebenarnya? Rumah tua itu hanya akan menjadi kenangan pahit kan? Dani terus berlari menyusuri taman
yang basah karena salju yang mencair, hingga ia sampai di tepi jalan. Ia berhenti sebentar sambil
tangannya di sandarkan pada tiang lampu. Pijar lampu kuning dan temaram menyilaukan pandangannya.
Ia setengah berjongkok berusaha menormalkan pernafasannya. Kabut malam membuat uap-uap putih
yang keluar dari mulut Dani terlihat begitu jelas. Dalam dadanya berkecamuk berjuta rasa. Kembali
“Daniel, Om tidak akan menyalahkan kamu bila kamu memang menyayangi Miki.
Perasaanmu yang kuat terhadap Miki mungkin terkait juga dengan rasa yang terpisah antara ayahmu dan
Michelle. Tapi satu yang paling perlu kamu ketahui Dani, sebenarnya ayahmu… “
Tiiin… tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berdiri tepat di depan Dani. Dani terperanga.
Ia tidak mengerti kota ini, mungkinkah ia melakukan suatu kesalahan? Dari dalam mobil itu tiba-tiba
“Daniel, sedang apa kamu? Badanmu masih sakit! Kalau kamu gegabah begini yang ada
Dani tidak dapat membantah apa pun lagi. Dengan langkah berat ia beranjak dan berjalan
menuju pintu belakang mobil. Dibukanya pintu mobil tersebut agar ia dapat masuk. Beberapa detik
kemudian, mobil itu pun melaju meninggalkan kepulan asap putih yang bercampur bersama kabut.
Om Rio menatap wajah Dani yang pucat dari balik kaca spion. Dani yang menyadari
pandangan nanar itu, balas menatap Om Rio. Keduanya hanya saling bertatapan selama beberapa detik
202 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Apa.. “ awalnya Dani sedikit ragu untuk menanyakannya karena kwatir akan resiko yang
mungkin saja terjadi. Namun ia telah bersikukuh dalam hati untuk mengetahuinya apapun kebenaran
yang mungkin tersimpan selama ini. “Apa Miki anak kandung Om?”
Mendengar pertanyaan Dani tersebut, Om Rio sungguh terkejut. Matanya menatap tajam ke arah
Dani melalui spion. Tangannya yang memengang stir mobil membujur kaku. Hingga suara klakson
menyadarkan mereka. TIIN!!! Dan dengan segera, lampu jauh mobil yang berpenjar kekuningan
Dani tertabrak? Di Paris? Apa yang di lakukannya di sana? Dasar Dani bodoh. Bodoh! Kenapa
dia bisa berpikiran ke Paris? Menyusulkukah? Bodoh sekali dia. Miki berlari sekuat tenaga ke rumah
tua. Kali ini dia tidak berjalan salah arah sebab ia telah hapal jalan yang sering dilaluinya dulu itu,
terutama karena jalan itu juga tidak banyak berubah. Dani kenapa ke Paris? Apakah dipikirnya aku
melarikan diri ke Paris? Aku tidak melarikan diri Dani. Miki tidak akan menghilang darimu Dani. Aku
hanya ingin menenangkan diri di sana. Aku hanya ingin sendiri untuk sementara. Mana mungin aku
meninggalkanmu. Nafas Miki memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ia tiba di rumah itu dan
“Tante? Hosh.. hosh…. “ Dari depan pintu Miki bisa melihat Mama sedang berbicara di
ujung telepon. Wajahnya cemas tidak karuan. Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang yang
penting. Mungkin membicarakan Dani. Mama hanya mendengarkan orang di ujung telepon sedang
berbicara. Kaki Miki bergetar ketika ia melangkah masuk ke dalam. Dia berjalan melangkah ke depan.
Ketika Miki telah berdiri tepat depan meja telepon, Mama telah selesai berbicara dan dengan perlahan
203 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Papa kamu Ki, Om Rio.” Sebenarnya Miki hendak menanyakan berbagai hal lainnya.
Dani kenapa? Dia terluka tidak? Kenapa tiba-tiba dia ada di Prancis? Namun Mama lebih dahulu
“Miki, kamu tunggu di sini ya? Tante ambil HP dulu ngubungin Om. Kalau ada telepon
Miki menatap Mama dengan pandangan kwatir. Baru kali ini dilihatnya ekspresi Mama
seperti itu. Biasanya Mama selalu lembut, tenang dan berhati-hati. Namun, apa yang terjadi pada Dani
Mama segera lenyap setelah memasuki pintu kamar. Sementara Miki mematung menatap
telepon di atas meja itu. Miki terus berdiri dan terus memandangi telepon itu. Angannya melayang jauh
pada Dani. Sempat terbersit dibenaknya sesuatu yang paling buruk telah terjadi pada Dani, namun
aneh itu. Tidak lama kemudian, terdengar dari dalam kamar Mama sedang berbicara dengan nada yang
tinggi.
Tlilit…Tlilit… telepon yang sedari tadi dipandangi Miki tiba-tiba berdering. Hal itu
membuatnya tersentak dan melompat kecil. Selama sepersekian detik sempat terpikir oleh Miki untuk
tidak mengangkat telepon karena kwatir bila ternyata si penelopn hanya memberitakan kabar buruk yang
terjadi pada Dani. Namun akhirnya ia memberanikan diri mengangakat gagang telepon.
“Hallo?” jawabnya. Nafasnya masih agak tidak teratur ketika menjawab panggilan tersebut, sisa
kecapaiannya.
Di ujung telepon sebuah suara pria bertanya dengan nada terpatah-patah “Mi.. Miki..?”
204 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki tahu itu suara siapa. Miki kenal suara itu. Betapa leganya Miki mendengar suara itu. Suara
itu adalah suara yang paling disayangnya. Suara itu adalah suara Dani! Ia terdiam di ujung telepon.
Begitu pula Dani di ujung telepon tidak sanggup berkata apapun. Di rasakan jantungnya memacu darah
begitu kencang. Samar-samar terdengar suara isak dari dalam sambungan telepon. Dani mendengarkan
suara itu dengan seksama. Ia masih terdiam, begitupula Miki. Keadaan itu berlangsung hingga hampir
semenit. Mama yang tidak menyadari bahwa Dani sedang menelepon masih terdengar sibuk berbicara
dengan Papa di dalam kamar. Akhirnya dengan suara parau dan tergagap, Miki mencoba berkata-kata,
“Akhrinya… aku bisa mendengar suaramu lagi Dan. Aku takut kalau aku gak bakal bisa
mendengar suaramu lagi.. Miki takut.. hikks… hiks…” ucapnya lirih di dalam telepon. Dani terpana
dengan semua ucapan Miki tersebut. Terdengar suara isak Miki semakin kuat terasa.
“Miki… aku ingin bertemu denganmu,” kata Dani. Terdengar ia berucap begitu tulus. “Sekarang
tanggal berapa?” lanjut Dani bertanya setelah diselingi jeda tangis dalam pembicaraan mereka.
“Aku susul kamu tiga hari lagi,” Dani berkata-kata seolah lupa kalau ia baru saja mendapat
kecelakaan. “Aku akan menyusulmu. Tiga hari lagi adalah tanggal yang sama dengan dua tahun. Itu
Mendengar itu Miki hanya terdiam dan tidak dapat berkata apapun. Ditahannya isaknya dengan
sebelah tangannya.
“Apa? Kamu mau bertanya soal kecelakaan kemaren. Aku tidak apa-apa Miki, cuma retak tulang
kaki saja.” jawab Dani dengan nada dibuat setenang mungkin agar tidak membuat Miki kwatir.
“Miki, siapa?” tiba-tiba Mama muncul di samping Miki dan bertanya dengan nada cemas.
205 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Dani, Tan.” jawab Miki. Dengan ligat disekanya air mata di wajahnya. Dan dengan segera pula
“Dani.. Daniel! Kamu kenapa? Kamu gak papa, kan Dan? Kamu terluka tidak?” tanya Mama
Miki segera beranjak dari tempat berdirinya. Tanpa menunggu Mama selesai berbicara dengan
Dani, Miki naik ke atas kamar Dani melalui tangga yang berada dekat dengan meja telepon. Baginya
tidak ada yang perlu ditanyai lagi. Hanya mendengar suara Dani dan mengetahui bahwa dia masih
206 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Hari-hari berlalu begitu cepat bagi sebagian besar orang, namun bagi Dani jarum jam seolah
lama sekali berjalan di rumah sakit tersebut. Ia merasa jenuh dan bosan karena tidak dapat melakukan
banyak hal di sana. Hingga hari dimana akhirnya Dani dapat keluar dari sana, disambutnya dengan
gembira. Ia tidak menunggu lama di Paris meskipun ada sedikit keinginan di sisi hatinya untuk
menjelajahi kota itu. Akan tetapi, keingingannya untuk terbang langsung ke Indonesia guna memenuhi
janjinya dengan Miki lebih besar. Setelah transit di sana-sini dan rangka pesawat yang membawanya
terbang pun telah silih berganti, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki kembali di Indonesia. Dani berjalan
terpincang melangkah di bandara Soekarno Hatta. Telihat ia mengenakan tongkat peyangga ketika
sedang berjalan sendirian dari lobby kedatangan luar negeri. Ia menerawang jauh ke depan dan segera ia
“Kemana Mas?” tanya supir taksi itu ketika Dani telah duduk di jok taksi hitamnya.
“Hm.. ke-SMU saya dulu, Pak.” jawab Dani sambil menyeringai. Terlihat dari kaca spion si pak
Tidak berapa lama kemudian, Dani telah sampai di SMU-nya dulu. Sebuh tempat yang penuh
dengan kenangan masa remajanya. Petang itu sekolah sudah sunyi, murid-murid sudah berpulangan.
207 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Hanya ada beberapa orang berseragam SMU yang mungkin memiliki banyak urusan di sekolah atau
hanya iseng nongkrong di sekolah. Dani menatap tempat itu lama sekali. Ia teringat festival dua tahun
lalu adalah kali pertama ia mengajak Miki ke sana. Pikirannya menerawang lagi. Diingatnya semua yang
pernah di jalaninya dengan Miki. Dari kecil hingga dewasa, belum pernah di rasakan perasaan seperti
ini. Rasanya tidak sabar ingin bertemu dengannnya lagi. Gadis kecil yang selalu menemani hari-harinya,
Huff… dihembuskannya nafasnya panjang sekali. Ditatapnya kelangit. Langit memang berawan,
tapi matahari cukup terik sehingga menyingkapkan kumpulan kapas putih itu. Lelah ia duduk, ia pun
berdiri dengan membawa serta tongkatnya. Tidak sedikit pun ia memikirkan hal yang lain. Dalam setiap
gerak-geriknya, selalu Miki yang ia ingat. Ia masih terus berkeliling, berkeliling, berputar dan berputar.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Tiba-tiba perasaannya aneh. Firasatnya tidak enak. Dani
sejenak mengigit bibir atasnya. Setelah setengah jam lewat dari jam yang telah dijanjikan, ia menjadi
sangat cemas. Tidak dapat lagi dtahannya, akhirnya ia memutuskan menelpon ke ponsel Miki.
Tut..tut..tut… TIDAK DIANGKAT! Dicobanya sekali lagi, kali ini pun tidak bisa! Untuk ketiga
kali dicobanya, tidak ada jawaban. Ia semakin gelisah. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya
ia memutuskan menelepon ke rumah tuanya. Tut..Tut.. Setelah dua kali terdengar nada sambung,
akhirnya ada seseorang yang menjawab telepon di ujung sana. Suara itu adalah suara Bi inem.
“Eh, Den Dani. Lagi dimana Den? Sudah pulang ya?” sambut Bi Inem gembira.
“Iya Bik. Ini udah di Jakarta, baru tadi nyampe. Eh Bik, di rumah ada orang gak?” ulang
Dani.
“Gak ada, Den. Dari tadi cuma Bibik doang yang di rumah. Ibuk dan Bapak dari tadi
208 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Iya Den.”
“Yakin Bi? Coba dilihat keluar, siapa tahu lagi duduk-duduk di teras.”
“Den, kayaknya gak ada. Soalnya Bibik baru dari luar membuang sampah.”
Tidak sampai dalam hitungan semenit, Bibik kembali mengangat telepon yang
digantungkannya.
“Bener Den, gak ada orang. Paling cuma tukang sayur yang lewat.”
“Oh gitu,” Dani berpikir sejenak. “Eh Bik, kalau yang nelpon ada gak?”
“Belum ada, Den. Kalau boleh tahu, Den nunggu telepon siapa ya?”
“Oh... gak Bik, seseorang Bik. Yaudah la Bik, ntar aku telpon lagi ya, Bik.”
“Makasih ya Bik.”
Klik dan seketika itu juga Dani menutup flip ponselnya. Tidak sabar menungu, akhirnya
Dani memutuskan untuk menelpon ponsel Miki lagi. Tut..Tut.. klik. Eh kali ini dijawab.
“…”
Sunyi sejenak. Dani pun diam menunggu respon dari si penerima panggilan.
209 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Dani..” Ada suara! Dani begitu mengenali suara gadis itu, suara manja itu. Dibalikkan Dani
badannya 180 derajat. Dan disaat itu lah, di seberang lapangan, di depan ruang kelas, dilihatnya
seseosok gadis dengan memakai baju babydol selutut dengan motif bunga berwaman putih. Ponsel itu
masih ada di tangan Dani, masih diangkat dan masih tersambung, namun keduanya masih tanpa suara.
Selama hampir semenit, Dani hanya menerawang jauh ke depan. Ditatapnya gadis itu penuh makna. Dan
“Finally, we meet again.” akhirnya suara itu mulai berbicara. Sebenarnya meskipun tanpa nada
suara dari dalam ponsel, Dani akan mengerti perkataan gadis itu, karena dari jauh Dani bisa membaca
“Ya, akhirnya kita bertemu lagi… Miss Milcy Daniella.” Dani berkata dengan posisi badan tegak
Angin berhembus di antara mereka berdua. Namun mereka tidak bergerak sedikitpun dari
posisinya. Keduanya masih dengan posisi tangan memegang ponsel yang dirapatkan ke telinga. Dani
masih terus memandang dengan penuh arti sementara Miki menatap dengan penuh haru sambil kedua
tangannya menutupi wajah sekitar mulut dan dagu untuk menahan tangisnya. Akhirnya ia tidak tahan
lagi, bulir-bulir itu begitu saja jatuh menetes di atas lantai lapangan yang bersemen.
Mereka kemudian saling mendekatkan diri. Dani berjalan pelan ke arah Miki. Terlihat wajahnya
penuh kerinduan. Kini Dani tepat berdiri di depan Miki. Kemudian ia memeluknya hangat. Isak tangis
terdengar dari balik pelukan Dani. Setelah dapat merdakan sedikit tangisnya, Miki berusaha berbicara.
Dengan suara parau dan pandangan mata yang kabur karena penuh dengan air mata, Miki mulai
berbicara.
“Dani, aku gak peduli kamu saudara kandungku, kamu saudara sedarahku, atau siapapun. Yang
aku tahu cuma aku sayang sama kamu. Aku sayang sekali sama kamu. Dari dulu Dani yang paling ngerti
210 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Miki, Dani yang paling tahu keadaanku dan paling peduli.” Isak tangis Miki semakin menjadi-jadi
begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Dan setelah itu yang terjadi hanyalah kecupan hangat diantara
mereka. Akhirnya Dani dapat bertemu dengan Miki dalam suatu akhir yang romantis.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk di bawah pohon rindang yang tumbuh semakin
tinggi di sekolah itu. Kepala Miki bersandar di atas bahu Dani. Dani menatap lurus kedepan sementara
Miki menutup kelopak matanya yang sembab. Sepertinya mereka begitu menikmati kebersaannya. Dani
menjadi terkenang akan banyak hal. Semua pengalamannya selama ini bersama teman-temannya dan
bersama Miki. Dani kemudian memiringkan kepalanya agar dapat memandang Miki lebih jelas. Di
helanya kesamping rambut hitam sepinggul yang menutupi wajah Miki. Gadis itu tersadar dan
membukakan matanya.
“Miki… “
“Hm..?” tanya Miki dengan senyum bahagia. Terlihat matanya masih sembab dan berair.
“Hah?” Miki terkejut, lantas menegakkan kepalanya yang sedari tadi disenderkan di bahu Dani.
“Iya Miki, waktu di Prancis, Om Rio menjelaskan semunya. Om Rio dan Papaku ternyata bukan
saudara sekandung. Papaku sebenarnya anak saudara Kakek yang dari desa. Waktu masih kecil, kedua
orangtua Papaku meninggal karena sakit. Lantas Papaku diangkat jadi anak oleh Kakek karena waktu itu
Kakek belum bisa punya anak. Gak lama setelah Papaku di adopsi lahir satu orang anak dari keluarga
“Jadi kesimpulannya, pada dasarnya kita tidak punya hubungan darah dekat?” tanya Miki
memastikan.
211 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
“Jadi?”
“Jadi, kesimpulannya, tentunya hubungan ini masih bisa dilanjutkan kan?” tanya Dani sambil
tertawa bahagia.
Miki hanya dapat menanggapi dengan ikut tersenyum bahagia. Ditutupnya senyumnya yang
Di tempat itu angin terus bertiup sepoi dari arah timur. Kemudian entah dari mana datangnya,
sayup-sayup terdengar lagu itu. Lagu kesayangan mereka berdua. Lagu Beautiful Girl yang di nyanyikan
oleh Jose Marichan. Mungkin dari mediang Ibu Miki yang bahagia karena pada akhirnya kisah
Beautiful girl!
Fin
212 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
213 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba
Hubungi Olivia:
Website : www.oliviadianina.com
E-mail : olivia.d.purba@gmail.com
Ym: : Odianina
Twitter : @odianina
214 | P a g e