Anda di halaman 1dari 214

Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©

Olivia D. Purba

1|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Hitam Putih dalam Choco-Vanilla ©

(Seluruh isi dari tulisan ini adalah karya asli dari Olivia D. Purba)

Synopsis HITAM PUTIH (COKLAT-VANILLA)

2|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Hidup Dani, seorang siswa SMU di Jakarta, agak berubah akhir-akhir ini.

Tepatnya semenjak kedatangan Miki, sepupunya yang cantik, dari Australia. Pasalnya

Dani sudah delapan tahun tidak bertemu dengan sepupunya yang blesteran Indo-Prancis-

Australia ini. Bersama Miki setiap hari sambil menemani hari-hari liburannya di

Indonesia membuat Dani sering teringat dengan kenangan-kenagan masa kecilnya

bersama Miki. Kenangan manis yang tidak dapat terhapus dari ingatannya. Ia sempat

kesal ketika menyadari bahwa Andre, saingannya dalam perbutan jabatan ketua OSIS di

sekolahnya tengah mendekati Miki. Suatu saat Dani pun sadar bahwa ia mencintai

sepupunya ini. Lebih jauh lagi, ternyata Miki juga memiliki perasaan yang sama dengan

Dani. Namun mungkinkah hubungan cinta dibina dengan saudara yang masih memiliki

hubungan darah? Akan tetapi cinta memang tidak mengenal rintangan, mereka bertahan

melanjutkan perasaan mereka meskipun terpisah oleh jarak. Namun, tiba-tiba saja sebuah

surat tua menyadarkan bahwa mereka tidak akan bisa terus bersama. Kenyataan yang

tertulis dalam surat itu menguak kemungkinan bahwa mereka adalah saudara kandung

membuat keduanya begitu syok! Sebenarnya apa rahasia yang disimpan oleh orangtua

mereka puluhan tahun yang lalu? Mampukah cinta mereka mengalahkan segala rintangan

dunia?

Beautiful girl, where ever you are


I knew when I saw, you had opened the door

3|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

I knew that I’d love again after a long, long while


I’d love again.
You said “hello” and I turned to go
But something in your eyes left my heart beating so
I just knew that I’d love again after a long, long while
I’d love again

It was destiny’s game


For when love finally came on
I rushed in line only to fine
That you were gone

Whenever you are, I fear that I might


Have lost you forever like a song in the night
Now that I’ve loved again after a long, long while
I’’ve loved again

Beautiful girl, I’ll search on for you


‘Til all of you loceliness in my arms come true
You’ve made me love again after along, long while
In loce again
And I’m glad that it’s you
Hmm, beatiful girl

(Beautiful Girl – Jose Marichan)

Prolog

Prang… Praak… Piring-piring serta peralatan makan lain

terdengar berjatuhan dari atas meja makan bundar tersebut. Dua

4|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

orang pria muda yang usianya terpaut tidak begitu jauh sedang berdiri

di masing-masing ujung meja. Mata mereka saling bertatapan satu

sama lain. Pria yang sedang memakai kemeja menggenggam

tangannya yang terluka. Sementara jari-jari tangannya yang terluka itu

dikepalkannya erat. Nafasnya terengah-engah, pandangannya lurus

kedepan. Pandangan tajam itu ditujukan pada pria yang berdiri di

ujung satunya lagi. Pria yang satu lagi ini sedang memakai kaus

oblong dan celana bahan. Berbeda dengan pria yang satunya lagi, pria

ini menatap dengan pandangan mata sayu. Seperti ada rasa bersalah

tertinggal dalam bola matanya. Hal itu terlihat jelas meskipun

rambutnya yang disisir ke samping menutupi sebagian pandangannya.

Ia mematung dengan posisi tubuh tegak. Kondisi di ruangan yang

kemungkinan besar adalah ruang makan tersebut begitu berantakan.

Taplak meja tercampak dari meja, piring-piring kaca pecah berantakan

di bawah sisi meja, dan begitu pula halnya akan gelas dan sendok.

Kedua pria itu masih terus bertatapan. Akhirnya pria yang memakai

kaus oblong memecah kekakuan dengan berjalan mendekat. Tanpa

memperhatikan lantai yang berantakan, ia melangkahkan kakinya.

Beberapa pecahan kaca menusuk telapak kakinya, namun tidak ia

hiraukan. Ia berjalan dengan pandangan mata lurus ke depan.

“Dik… aku minta maaf.” ujarnya setelah berjalan beberapa

meter dari posisinya. Pria yang satu lagi hanya menatap, terus

5|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

menatap, kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya secara

perlahan.

“Dik… kau lihat ini, Dik?” tanya pria itu sambil menunjukkan

sebuah cin-cin perak yang melingkar di jari manis tangan kirinya. ”Dik,

aku sudah bertunangan dengan Anya, Dik. Itu cuma cerita lama, Dik.

Dan aku tidak bermaksud merahasiakannya padamu.” Ujar pria itu lagi

dengan memelas.

Pria yang di panggil ‘adik’ itu tidak mengucapkan satu katapun.

Ia hanya memandangi sosok yang berdiri dihadapannya sambil terus

menggeleng-gelengkan kepala. Nafasnya masih terengah-engah

sementara darah terus mengucur lewat pergelangan tangannya.

Tampaknya ia baru saja melepaskan emosi lewat benda-benda di

sekitarnya.

“Dik… bicaralah, Dik. Aku gak bermaksud menghianatimu, Dik.

Bukan Dik.” Pria yang satu ini terus memelas dan berusah menahan

gundahnya. Ia kemudian berjalan semakin mendekat. Darah mulai

menetes melalui sobekan kulit di telapak kakinya. Pria yang satu lagi

masih terus menggeleng. Hingga ketika pria yang sedari tadi terus

berbicara berada cukup dekat dengannya, pria yang satu lagi beranjak

dengan segera. Puing-puing yang berantakan tertinggal di tempat itu.

Tapi pria itu pergi dengan membawa seserpih dari puing yang

tersangkut. Puing hati yang hancur.

6|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sepeninggalan pria berkemeja itu, pria yang satunya menunduk

dengan wajah layu. Hatinya sesak, dadanya juga. Tidak dihiraukan

rasa nyeri di telapak kakinya. Darah berceceran, barang-barang juga

berantakan dan tidak berbentuk lagi. Pemandangan itu bagai

menggambarkan hati keduanya.

Chapter 1. Pertemuan Kembali

Sore ini kedatangan tamu membuat Mama sangat sibuk menyiapkan segala sesuatunya:

membersihkan ini, membersihkan itu, membereskan barang-barang, mempersiapkan ruangan, dan lain

sebagainya. Mama juga telah memasak berbagai jenis makanan. Aku merasa seperti akan diadakan suatu

perjamuan besar saja di rumah ini. Aku sendiri sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu tenang. Bingung

entah kenapa aku jadi sedikit nervous. Bukannya biasanya kalau ada tamu yang datang, aku calm down

saja? Baik tamu itu datang dari negeri antah berantah ataupun dari sebelah tembok dinding alias

tetanggaku. Bukannya tamu ini cuma saudara dekatku yang sudah mengenal sifatku secara mendalam

dari kecil? Bukannya ia cuma saudara dekatku yang biasa saja? Apakah mungkin karena aku sudah tidak

bertemu delapan tahun dengannya? Atau mungkin karena dia telah datang jauh-jauh dari luar negeri,

dari Australia? Ah, sudahlah! Aku tidak mengerti. Lagipula kenapa aku harus bingung memikirkan itu.

Lebih baik aku sekarang memikirkan tentang proposal saja. Proposal yang harus ku buat untuk

memuaskan keinginan teman-temankuku agar aku ikut dalam pencalonan ketua OSIS. Bingung juga

kenapa harus aku? Aku sendiri masih ragu apakah aku harus benar-benar mengajukannya? Karena

sebenarnya aku tidak merasa mempunyai kelebihan khusus ataupun pribadi berkepemimpinan yang

7|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

mantap untuk menghimpun teman-teman di sekolah. Aku kan cuma Dani. Aku cuma pelajar SMU biasa-

biasa. Mungkin beberapa orang beranggapan aku anak yang baik dan ramah. Tapi, apakah modal

friendly ku ini saja cukup untuk mengatur kegiatan seisi sekolah? Ah, aku semakin bingung.

Tlit…tlit...tlit…pada saat pikiran Dani menerawang, tiba-tiba terdengar bunyi lagu standart

ponsel dari sumber bunyi yang tergeletak di depan meja belajarnya. Ia kemudian melirik sekilas,

dilihatnya nomor yang sudah tidak asing lagi dikepalanya, Friska.

“Napa Chik?” tanya Dani dengan suara beratnya begitu membuka flip ponsel clamshall

miliknya. Chika adalah panggilan khususnya pada Friska.

“Hei Dani, met malam. Lo gi paen? Ganggu gak nih?”

“Gak kok. Gue lagi bengong gak jelas aja, ada apa?”

“Gak, cuma mau ingatin aja soal pemilihan ketua OSIS-nya itu. Gue baru dapat kabar kalau

proposalnya harus ada CV lo yang jelas. Tadi ada kakak kelas yang laporin ke gue sekaligus nanyain lo.

Terus lo tahu gak, banyak yang bilang lo asli masuk dalam kategori ideal sebagai seorang ketua OSIS.

Ditambah lagi banyak anak kelas satu dan dua yang dukung lo.”

“Hmmmf..” Dani menghela nafasnya datar.

“Ya ampun Dan, lo kok kayak gak niat gitu? Semangat donk! Gue yakin kok lo pasti bisa, lo kan

cukup populer di sekolah. Secara lo The Best Capture klub fotografi kita…hehehe..” tawa Friska. Ia

berusaha mendukung Dani dengan gurauan.

“Biasa aja kok Chik, gue cuma lagi bimbang buat ngambil keputusan. Gue takut gak bisa

mengatur waktu dengan baik. Lagian sebentar lagi kita udah kelas tiga, gue pengennya lebih serius

belajar supaya bisa ngelanjut ke univeritas yang kompeten.”

8|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Dani!” tiba-tiba teriakan Mama yang masih terkesan lembut terdengar dari arah ruang tamu.

Teriakan Mama sejenak memotong pembicaraan antara kedua sahabat itu.

“Ups, Nyokap gue udah manggil ni Chik, udah dulu ya?”

“Ok deh.”

“E, tunggu…” sela Dani.

“Apa?”

“Dani…..!!!” Mama memanggil kedua kalinya dengan nada yang lebih tinggi.

“Iya Mama, tunggu sebentar…” teriak Dani sembari menjauhi ponselnya.”Ingat tugas Kimia kita

besok dikumpul lo, jangan sampai telat lagi kayak kemaren ya Chika. Gimana sih, masak ketua kelas

kerjanya gak siap tugas melulu.” ledek Dani diselingi sedikit tawa ringan.

“OK, Sip Bos…!” balas Friska dengan nada sok tegas “Lo udah ingatin itu ke gue dua hari yang

lalu.”

“Biar lo makin ingat aja. Hehehe…”

“Iya.. iya..., Makasih ya? Met malam, See ya tommorow at class.”

“See ya too, Chika.”

Klik.. tut..tut..tut… Dani meletakkan gagang teleponnya setelah mendengar bunyi saluran ponsel

yang terputus itu, kemudian ia langsung menuruni tangga.

“Ada apa Ma?”

“Enggak, Mama cuma mau nanyain kamu aja. Kamu ingat kan sebentar lagi Om Rio dan

anaknya mau datang ke Jakarta?” Mama bertanya sembari membetulkan posisi meja diruang tamu.

“Iya.”

“Mama mau minta tolong sama kamu, dua hari lagi Om Rio tiba di Jakarta, jadi kamu temani

mereka jalan-jalan ya? Mama tahu akhir-akhir ini kamu sibuk dengan kegiatan kamu di sekolah, tapi gak

9|Page
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

ada salahnya meluangkan sedikit waktu untuk Miki. Kamu udah lama kan gak main bareng lagi

dengannya kan? Kalau gak salah udah delapan tahun ya dari semenjak dia berangkat ke sana.”

Deg! Seketika itu juga jantungku seperti berhenti berdetak. Begitu Mama menyebutkan nama

‘Miki’. Nama yang begitu berkesan dihatiku.



Malam telah larut, lampu-lampu malam berpijar menghiasi tiap sudut kota. Malam selalu hadir

dengan kesunyian, namun malam segera berlalu dan pagi pun datang dengan terang fajar yang

menghangatkan tiap raga manusia. Pagi ini Dani sekolah seperti biasa. Langit masih mendung dan angin

dingin menusuk dibalik seragam sekolahnya. Langit seperti ini selalu menimbulkan rasa kelabu dalam

hati Dani, teringat akan sepenggal kisah kenangan masa lalunya.

Udah hampir delapan tahun gak bertemu dengannya. Jujur saja aku rindu padanya. Mungkin dia

sekarang udah berubah ya? Terakhir bertemu sewaktu dia masih berumur delapan tahun. Pasti banyak

yang udah berubah. Aku rindu sekali dengannya. Selama ini hanya bisa berhubungan lewat chatting atau

telepon dan itupun jarang. Sesungguhnya aku tidak sabar lagi ingin bertemu dengannya.

“Doar…” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing lagi menyadarkan Dani dari lamunannya.

“Pagi-pagi udah ngelamun, ntar kesandung batu lho.” ejek Friska dengan senyuman lebarnya.

Telunjuknya diarahkan ke wajah Dani.

“Hei Chika! Gimana tugas lo, udah selesai lum?” balas Dani berkata dengan menyeringai

sembari mengacak rambut sobatnya ini dari belakang sebagai sebuah tanda persahabatan.

“Udah donk, kan udah diingatin kemaren. Hehehe..” jawab Friska. Setelah itu, selama beberapa

detik mereka berjalan menuju gerbang sekolah dengan diiringi diam. Tiba-tiba Friska teringat sesuatu

dan seketika itu juga dia menyeletuk,

10 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oya Dan, ntar lo datang gak ke festival kita minggu depan?”

“Festival apa?” tanya Dani sembari mengerutkan keningnya, dicobanya mengigat sesuatu hal

penting yang mungkin dilupakannya.

“Festival musik sekolah kita!” seru Friska dengan nada agak tinggi seperti hendak menyadarkan

Dani akan hal yang sangat penting. “Bukannya lo ikut salah satu seksinya? Kok lo lupa sih?”

“Ya ampun!” seru Dani sambil menampar keningnya. “Gue ingat, tapi gak ingat kalau

festivalnya itu minggu depan! Gimana ya? Padahal gue udah janji ama Nyokap. Duh…” Dani langsung

mengeryitkan keningnya dan menerawang jauh, wajahnya menunjukkan ekspresi berpikir.

“Emang lo janji apa ama nyokap lo?”

“Om ama sepupu gue mau datang kesini, liburan gitu. Gue udah janji ama Nyokap mau nemenin

sepupu gue selama liburannnya di sini. Duh, gimana ya? Gue jadi bingung ni. Gue gak mungkin asal

ninggalin festival itu juga kan? Lagian gue masih punya tanggung jawab ngawasin jalannya acara.”

“Lo gak biasanya Dan keteteran gini. Lagi banyak pikiran ya? Gini aja, gimana kalau kamu ajak

aja sepupu lo ke festival?”

“Ha??”

“Gak ada salahnya kan?”

“Hm… iya juga ya?” ucap Dani sembari mengelus-elus dagunya.



“Ayah… ayah… akhirnya suratnya datang, Ayah saya berhasil, saya lulus! Lihat…

lihat… di sini tertulis Rio Haryono. Ayah, saya berhasil Yah, Ayah!!!” teriak Rio sembari

berlari menyusuri tiap sudut rumah. Ia menaiki tangga dengan diikuti semua penghuni

rumah yang menyusulnya karena heran akan tingkah lakunya itu.

11 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ayah!” teriaknya lagi lebih kencang.

“Ada apa Rio?” tanya sebuah suara berat dari dalam kamar. Setelah mengangkat

cerutunya, pria itu kemudian keluar dari kamar emasnya. Sekilas dapat dilihat

kewibawaannya dibalik tubuh tegap yang sudah kropos, hasil perjuangannya di masa lalu.

”Liat Ayah, liat!” seru Rio antusias sembari membukakan selembar kertas yang

telah kusut teremuk. Seisi rumah menjadi heboh mendengar suara teriakan Rio. Tidak

luput juga Bibik kesayangan keluarga ini, yang telah mengabdikan hampir separuh dari

waktu hidupnya untuk membantu tiap kegiatan keluarga ini.

“Saya berhasil masuk universitas di Australia, saya bisa melanjutkan studi saya ke

luar negeri Ayah! Luar biasa kan, Yah?” Meskipun pria tua tadi hanya menganguk-anguk

tenang, namun dalam hatinya tertuang begitu banyak perasaan yang bercampur-aduk.

Tangannya terbujur kaku memandangi selembar kertas itu, dirasakannya waktu terhenti

dalam benaknya. Disaat seisi rumah melompat kegirangan akan berita menggembirakan

itu, ia hanya terdiam, tetap memandangi kertas yang sama.

“Jadi, dia pergi juga ya, Yah?” ucap sebuah suara sembari memberikan sehelai sapu

tangan kepada pria tua di sebelahnya yang terlihat lara. Sambil menerima sapu tangan

yang melambai-lambai terhembus angin itu, pria tua itu memandang jauh ke arah

pesawat terbang yang meluncur pesat meninggalkan landasan. Setelah beberapa saat, ia

mulai membuka suara.

“Dia anakku, anak kesayanganku. Aku tahu aku akan jarang bertemu dia lagi. Akan

sangat susah bagiku bertemu dengan anak bungsuku yang manja, tumpuan harapanku.”

lelaki tua itu berusaha menahan tangisnya yang akhirnya menetes juga. Tangisan pria tua

selalu berbeda dengan tangisan-tangisan lain. Tangis yang berisi pengalaman yang penuh

akan suka dan duka dunia, akan pahit dan manisnya hidup, akan asinnya garam dunia.

12 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ayah tenang saja Yah, masih ada aku. Aku gak akan ninggalin Ayah, aku janji akan

selalu menemani Ayah dan ada di samping Ayah.” timpal pria muda itu sembari menepuk

punggung orang yang di panggilnya Ayah di sampingnya. Setelah itu ia memandangnya

dengan penuh rasa sayang dan perhatian.

Lelaki tua itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah anaknya yang satu ini

dengan air muka yang penuh haru dan senyuman getir, penuh usaha penghiburan diri

sendiri.



Sore yang cerah, angin berhembus begitu lirih dimusim penghujan ini. Entah kenapa sore ini

berbeda dengan biasanya. Biasanya di sore seperti ini, hujan akan turun membasahi sudut-sudut kota

walaupun hanya gerimis sejenak. Sebenarnya sore ini Dani hendak bersantai-santai di luar, ada

keinginan dalam dirinya untuk duduk sebentar di bangku taman yang sudah berkarat itu sambil

menikmati hembusan angin serta merasakan helai dedaunan yang masih hijau segar jatuh tertiup angin

dan menepis wajahnya. Hanya saja, ia terlalu lelah setelah melakukan tanggung jawab dan aktivitasnya

hari ini di sekolah. Kepalanya yang terasa berat seperti menuntunnya langsung menuju bantalnya di

sudut tempat tidur kamar. Pada akhirnya ia memutuskan untuk langsung saja berjalan kerumah daripada

nongkrong sebentar di bangku taman.

“Mama, aku pulang.” ucapnya pelan sambil celingak-celinguk memperhatikan keadaan

sekeliling rumah.

“Mama...?!” ucapnya sekali lagi, kali ini lebih mirip kata tanya daripada seruan. Ia

memerhatikan sekelilingnya, seperti ada keganjialan dalam rumah ini. Biasanya rumah ini akan selalu

hangat menyambut kedatangannya. Mama yang perhatian selalu menunggu kehadiran seisi rumah

13 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

dengan kelembutan, memberi segala kerpeluan yang mungkin dibutuhkan dengan tangan penuh kasih.

Berhubung ibunda Dani tidak memiliki pekerjaan di luar rumah dan hanya bekerja sebagai ibu rumah

tangga biasa, secara tidak langsung membuat dirinya memiliki banyak waktu yang bisa diluangkan

untuk seisi penghuni rumah.

“Bik..” panggil Dani lagi. “Bik…” kali ini dengan nada yang lebih panjang.

Kemudian ia hanya terdiam di tengah ruang tamu, terbujur kaku melihat pemandangan sekitar.

Isi kepalanya mulai berputar, tanggannya mulai dingin. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri

walaupun sebagian dirinya galau akan segala keanehan ini. Ia kemudian mulai memperhatikan tirai putih

jendela yang melambai terhembus angin. Keganjilan ini makin nyata baginya mengingat bagian jendela

itu jarang dibuka. Hal ini disebabkan jendela itu langsung menghadap ke arah jalan blok, sehingga abu

dengan mudahnya dapat masuk kedalam. Walaupun masih ada pembatas berupa taman kecil

dipekarangan depan, namun asap knalpot serta truk-truk tua yang mengangkut pasir dan tanah bangunan

dari toko pertukangan beberapa blok dari rumah mereka tetap saja dapat menimbulkan polusi ringan

dalam ruangan yang sangat dijaga sehigenis mungkin oleh ibu yang mantan perawat itu. Dani kemudian

berjalan perlahan mendekati tirai yang terhembus oleh angin semilir sore. Ia berjalan semakin dekat dan

semakin dekat menuju tirai itu. Terdengar dentuman suara langkah kaki berjalan dengan sepatu sekolah

yang belum dibukanya sedari tadi. Terasa getaran langkahnya yang berjalan semakin dekat dan semakin

dekat, jantungnya pun berdetak semakin kencang.

Deg… Deg… Deg… kini bisa dirasakannya jantungnya semakin berdegup sementara berbagai

bayangan aneh mulai terbesit dipikirannya, langkahnya mulai tegang mengikuti logikanya. Semakin

dekat dan…

14 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sraaaaaapppp… tirai dibukanya dengan cepat. Kosong! Tak ada apa-apa, hanya jendela yang

terbuka. Namun sekilas kemudian, tersingkap bayangan yang hendak mendekatinya dengan gerakan

begitu cepat. Ia hendak mengelak namun sudah terlambat, dia sudah tidak dapat menghindar lagi dan…

“Doar!!!!!” kejut suara itu dengan nada tinggi sembari mendorongkan kedua tangan kecilnya di

punggung Dani. Dani terhuyung sebentar dan dengan segenap usaha koordinasi keseimbangan

tubuhnya, ia berhasil membalikkan badannya cepat.

“We meet again…” ucap suara itu, memberikan jeda nada lalu memiringkan kepalanya. “..Dani.”

lanjutnya.

Dani hanya terdiam, tekejut dan terpaku pada posisi tegapnya semula. Matanya sampai tidak bisa

berkedip. Pikirannya berputar dengan ingatan masa lalu. Bayangan hitam putih yang memilukan

hatinya, yang membawa dia pada kerinduan. Kerinduan yang tiba-tiba saja datang kepadanya. Kini

hitam putih itu menjadi nyata, menjadi spektrum penuh warna disekitarnya, dihadapannya tepatnya.

“It’s been a long time I’m not seeing you, ” ucap suara ini lagi dengan nada sayup-sayup suara

kecilnya “I miss you so much.” lanjutnya sembari berjalan cepat ke arah Dani, memeluk tubuh sekitar

lehernya dan tiba-tiba saja mengecup pipi kanannya, sangat dekat ke bibir.

“I miss you so much my brother… Dani.” ucapnya dengan posisi tetap memeluk Dani,

menyandarkan kepalnya ke bahu Dani, tersenyum dan memejamkan matanya untuk menikmati saat-saat

langka itu.

Dani masih membisu dan tidak tahu lagi berbuat apa. Jantungnya semakin berdegup kencang

melebihi yang tadi dirasakannya. Akhirnya dengan nuraninya ia membalas memeluk gadis ini dan

membelai punggungnya dengan sedikit keraguan. Sementara gadis itu dengan segala kegembiraannya

menghentakkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri yang secara tidak langsung menggerakan juga tubuh

Dani mengikuti hentakan tubuh gadis itu.

15 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Suasana saat itu sangat klasik. Sinar mentari yang terbenam masuk melalui celah-celah tirai

jendela yang terus bergoyang dihembus angin sepoi. Mereka berdua berpelukan, mengayunkan tubuh

mereka, dan melepas segala rindu yang terpendam. Masih dalam posisi memeluk tubuh Dani dan masih

tersenyum sambil memejamkan matanya, sang gadis kembali berguman,

“Aku kengen sekali denganmu. Kangen… sekali.”

Dani tidak bisa membalas satu kata apapun. Hanya tetap memeluk dan membelai tubuhnya, kali

ini tanpa keraguan lagi. Ia menatap ke langit-langit rumah dengan pandangan kosong. Ia menghela nafas

panjang lalu tersenyum penuh arti.



“Yakin Pa, Miki gak apa-apa ditinggalin di rumah sendiri? Kita belum ada bilangin ke Dani lho

kalau ternyata keberangkatan Miki dipercepat.”

“Gak apa-apa kok Ma, lagian Miki sendiri kan yang ngotot gak mau diberi tahu.”

“Iya, tapi Mama was-was juga ninggalin dia di rumah sendirian.”

“Habisnya mau gimana lagi, Miki maksa sih. Katanya pengen cepat-cepat ketemu sama Dani.

Dibiarin aja lah Ma, lagian masih ada Bibik kok di rumah.”

“Iya ya, anak itu mirip sekali dengan Ibunya. Keras kepala gak ketulungan.” ucap suara lain yang

berada di sisi depan bangku mobil sambil tertawa khas orang tua.

“Hahaha… kamu sadar juga ya? Mungkin itu bukan karena faktor genetik, mungkin kamu saja

yang terlalu memanjakkannya Rio. Hahaha…” balas pria yang berbicara tadi. Ia sedang duduk di bagian

belakang mobil berdampingn dengan istrinya.

“Ah, kamu bisa aja.” timpalnya lagi kali dengan menyeringai lebar.

16 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dan seisi mobil tertawa membayangkan bagaiman reaksi putra-putri mereka yang tengah

menjadi bahan pembicaraan.

“Ya sudahlah Pak, sekarang kasih tahu dulu sopirnya yang mana jalannya ke rumah tua kita itu.”

“Iya Ma, sabar, toh masih jauh.”



Chapter 2. The Festival

“Hoi Daniel, apa kabar Man?” tanya Joe sewaktu keduanya berjalam masuk menuju

ruangan kelas. Joe adalah teman satu kelas Dani yang sekaligus sahabat Dani.

“Sehat Bos!” seru Dani sembari membalas jotosan tangan temannya, khas anak SMU.

“Lho, mata loe kok bengkak gitu? Ada lingkaran hitamnya lagi. Loe pasti kurang tidur

buat nyiapin bahan buat propososal ketua OSIS ya? Ceile… yang mau jadi ketua OSIS…” ledek Joe

sembari tertawa lebar yang disusul beberapa anak kelas lainnya yang tak sengaja mendengarkan

pembicaraan mereka.

“Enggak kok! Kemaren saudara gue baru datang, jadi gue semalam kurang tidur.” jawab

Dani sembari berjalan menuju ke kantin usai mengantarkan tasnya. Keduanya terus berbicara sambil

berjalan.

“Emang loe bareng saudara loe tu ngobrol semalaman?” tanya Joe yang menyusul Dani

dari belakang.

“Gak juga sih, tapi gue gak bisa tidur aja.”

17 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“A… gua tau, pasti saudara loe tuh cewek kan? Yang umurnya gak jauh sama umur loe

kan?”

Glek… Uhuk… seketika itu juga Dani tersedak kopi yang baru aja dihirupya.

“Lo kok tau sih?” tanya Dani curiga.

“Ya tau lah. Ingat man, kita ini sobatan, udah sekelas dua tahun. Mana mungkin gua gak

kenal elo. Lagian akhir-akhir ini gua ngerasa pikiran loe agak kacau. Bukannya selama ini loe orang

paling teratur yang pernah gue kenal. Biar loe tau ja ye, si Andre saingan loe dalam hal perebutan tahta

ketua OSIS, udah mulai menjalankan aksi kempanye tersembunyinya dari kemaren-kemaren hari. Kalo

loe masih dalam posisi bimbang gini, gue gak yakin loe bisa ngalahin dia.” Joe bercerita panjang lebar

yang kini dengan ekspresi lebih serius.

Dani hanya terdiam mendengar tanggapan temannya ini, tetap dengan memegang gelas

kopi stereoform nya itu.

Kring…kring… terdengar suara lonceng berdering yang selalu memaksa setipa murid di

luar kelas untuk beranjak menuju kelas masing-masing.

“Balik yok, Joe?”

“Yuuuk..” jawab Joe sambil memoyongkan bibirnya. “Oya, ngomong-ngomong gak

terasa ya festival musik kita itu udah dekat?” Joe memulai pembicaraan lagi selama di jalan kembali ke

dalam kelas.

“Hm…Iya ya.” jawab Dani dengan tersenyum tipis.

“E, loe jangan lupa bawa cewek elo ya pas festival, sekalian elo kenalin ke kita-kita.” Joe berkata

sembari menaik-naikkan kedua alisnya. Kini mereka berdua telah sampai di dalam kelas dan duduk di

kursi mereka yang bersebelahan.

18 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ah, yang benar aja lo. Katanya lo sobatan ama gue dua tahun. Lo kok gak tau gue gak punya

cewek?” Dani menjitakkan tangannya di atas kepala Joe.

“Yaelah.. mana gua tau. Bisa aja kan elo diam-diam udah punya cewek. Gimana sih lo, bagi-bagi

donk ama kita atu.” Joe berkata dengan menyengir lebar.

“Ah lo bisa aja. Gue gak ada.” Dani membalas perkataan Joe sambil senyum. Sejenak kemudian

ia terdiam memandang ke depan dan menerawang, seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Elo serius ya sampek sekarang belum punya cewek?” tanya Joe lagi penasaran. Dipandanginya

Dani lekat-lekat dalam upaya mendapatkan keseriusan jawaban.

“Hm..belum.” Dani menatap dengan posisi tertunduk kebawah.

“Ah payah loe, Dan. Padahal cewek-cewek udah pada ngantri di hadapan loe. Malah loe sia-

siain. Kalau gua jadi loe, gue pasti udah terkenal sebagai si Mr.Don Juan sekolah.”

Sambil mendongkakkan tubuh Joe dengan kepalan tinju tangannya, Dani berkata “Ah, lo bisa aja

Joe.”

“Ok..ok.. man, gini aja,” ucap Joe dengan mengangkat kedua belah telapak tangganya kedepan,

kearah dada, seperti dalam posisi ingin menyerah.”..lo pokoknya janji harus bawa satu cewek kefestival

musik ini ya? Gue gak mau tau, atu aja. Gue gak peduli deh mau dari adek kelas, kakak kelas, dari

sekolah lain, emak kribo, tante-tante atau siapa aja, yang penting satu orang doang. Supaya gue gak

dibilang homoan ama lo. Hahaha..”

“Hahaha… gampang la man. Gue juga sebenarnya udah berencana sih. Kebetulan elo ngingatin

gue.”

“Ok.. sip man. Ketemu di lapangan dua hari lagi dengan bawa cewek masing-masing.”

Keduanya pun tertawa mengakak namun sejurus kemudian mereka berdua dan seisi kelas hening

sebab guru Kimia yang hendak mengajar pagi ternyata telah sedari tadi masuk kelas dan baru saja

19 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

melemparkan sebatang penghapus papan tulis tepat di meja Joe yang kemudian memantul ke atas meja

Dani.



Minggu, 6 Desember ‘87

Kepada YTH Richard T.

di- Jakarta

Salam hangat,

Hallo Kak, apa kabar sekeluarga? Kabarku disini baik-baik saja. Tidak terasa ya sudah enam bulan aku

meninggalkan rumah itu. Aku kangen dengan keadaan rumah yang hangat, dengan masakan Bibik yang lezat,

kangen juga akan gurauanmu yang khas, tapi terutama kangen dengar nasehat-nasehat Ayah. Bagaimana kabar

Ayah? Semoga dia senantiasa sehat dalam lindungan Tuhan.

Kak, sejujurnya aku ingin Kakak tahu perasaanku tentang betapa kwatirnya aku akan keadaan Ayah. Aku

tahu hatinya masih sangat menderita sepeninggalan Ibunda beberapa tahun yang lalu. Aku sadar mungkin aku

egois meninggalkan dia pada saat-saat dirinya masih rapuh. Tapi ini kesempatan yang jarang bagiku dan

mungkin tidak selalu bisa kudapatkan. Aku ingin Kakak bisa menggantikan peranku untuk membantu Ayah dan

menopangnya agar dapat bangkit dari kesedihan. Tidak seharusnya ia terlarut dalam kesedihannya itu. Kisah lalu

biarlah berlalu, biarlah lembar baru terbuka untuk menutup segala luka-luka hati yang lama. Karena lembaran

hari terus berganti, dan tidak seharusnya disia-siakan dengan renungan dan tangisan duka.

Oya, aku ada kabar bahagia di sini. Aku bertemu dengan seorang gadis cantik, teman sekampusku. Dia

baik dan lembut sekali. Benar-benar tipe yang selama ini kita idam-idamkan. Dia bukan seperti aku, orang

Indonesia yang melanjutkan studinya di luar negeri. Ya, dia kita sebut orang Barat, lebih tepatnya peranakan

Prancis-Australia. Aku sekarang sudah lumayan dekat dengannya, tapi katanya ia masih butuh waktu untuk

20 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

menjalin ikatan denganku. Itu bukan suatu masalah besar bagiku, karena suatu hari aku yakin dia pasti bisa

menerimaku.

Kakak dan Ayah kapan datang ke sini? Aku tidak sempat berkunjung ke Indonesia dalam waktu dekat ini,

Kak. Selain uang kiriman Ayah tidak mencukupi, aku juga memiliki banyak kegiatan di sini yang tidak mungkin

aku tinggalkan begitu saja.

Sekian dulu Kak, harap segera membalas surat ini.

Salam hangat,

(Rio T)

“Ngomong-ngomong Dan, loe kok ngeliatin cewek yang di panggung itu mulu sih? Loe naksir

ya? Atau jangan-jangan itu gandengan loe? Ha… ya kan? Gua bener kan? Itu pasti gandengan loe yang

loe janji mau bawa?”

“Iya.” jawab Dani ringan, ditolehnya sebentar ke arah Joe.

“Hah.. beneran gandengan loe?”

“Eh.. bukan.”

“Lho, jadi apa donk?” tanya Joe heran, dikerutkannya keningnya.

“Sepupu.” jawabnya singkat kemudian segera ia mengalihkan pandanganya ke panggung, ke

sesosok gadis yang tengah asyik menyanyikan lagu-lagu asing namun tidak asing di telinga.

“Cantik ya!” seru Joe yang nadanya lebih mirip suatu pertanyaan yang ingin meyakinkan. Tanpa

sadar perhatiannya juga teralihkan ke arah panggung.

21 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“He-eh.” Pikiran Dani masih berputar dan tidak terfokus pada pertanyaan-pertanyaan Joe.

Ingatannya menerawang ke masa lalu, masa kecil mereka.

Ia tidak berubah, masih tetap banci panggung seperti waktu masih kecil. Ia senang sekali tampil

di depan Mama dan Papa sambil menyanyi riang. Dan semua orang akan tetap berkata kalau dia cantik.

Dani berkata dalam hati.

“Ntar kenalin ke gua ya?”

“Iya, tapi….” sebelum Dani menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja muncul seseorang yang

tidak asing di mata mereka berdua.

“Hoi Dani! Joe!” panggilnya. Pria ini kemudian berjalan mendekati kedua orang itu.

“Datang juga lo, Dan. Gue kira lo gak datang, soalnya gue dengar dari Friska, lo lagi sibuk akhir-

akhir ini.”

“Ya gue sempatin la datang, gak mungkin dong gue lepas tangan dari tanggung jawab gue. Bisa-

bisa gue di gantung ama bos Projek Officer kita.”

“Hahaha…bisa aja lo. By the way, lo datang berdua neh? Mana cewek-cewek lo? Hati-hati, ntar

lo dikatain hombreng lho. Sekarang aja mulai terhembus gosip-gosip tak jelas sejenis itu. Ingat Dan, kita

harus jaga wibawa, terutama belakangan ini, menjelang pemilihan. Hehehe…”

Joe tidak bisa mengelak karena ia gagal membawa serta seorang gadis ke festival itu meskipun

tampaknya ia cukup berjuang dari kemaren-kemaren.

“Tapi gue bareng kok.” balas Dani tidak mau kalah.

“Bareng siapa?”

“Bareng…” Namun sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba muncul seorang

gadis yang baru saja turun dari panggung.

22 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hai Dani, How’s my song?” Ia pun menghampiridengan langkah lincah sembari tersenyum

lebar. Gadis itu menerobos masuk kedalam kelompok yang sedang asyik berdiskusi itu. Ketiga pria itu

terdiam dengan ekspresinya masing-masing. Andre tersenyum setengah hati dan tidak tahu berbuat apa.

Sementara yang lainnya terbengong seperti baru saja melihat mujizat dihadapannya.

“Ehm…,” sentak Dani, berusaha memecahkan perhatian mereka. “Kenalin, ini sepupu gue.”

Miki mengulurkan tangan mungilnya “Miki!” serunya riang.

Beberapa detik kemudian uluran tangan itu pun disabut, disusul dengan sebentuk suara, “Andre.”

Sekilas dan cepat tidak ada yang menyadari apa yang terjadi. Tangan Miki tiba-tiba saja telah

berada di bahu Andre dan dengan cepat ia mulai merapatkan pipinya ke kanan dan ke kiri. Spontan

Andre terkejut, mukanya memerah dan ia terbengong heran. Begitu pula dengan kedua pria yang sedari

tadi masih mematung di sana. Mungkin tradisi yang biasa bagi Miki berkenalan dengan cara begitu,

namun tidak bagi sebagian besar orang Timur. Sejenak kemudian, perhatian Miki tertuju pada teman

Dani yang satunya lagi.

“Miki!” serunya lagi dengan senyuman lebar yang sama dan tangan yang terjulur panjang.

Spontan Joe tersadar dari bengongnya dan membalas mengulurkan tangan.

“Joe.”

Sebelum kejadian tadi terulang lagi, Dani dengan sigap menghadang tubuh Joe dengan sebelah

tangannya dan maju melangkah menyisip kehadapan Miki, diantara Miki dan Joe.

Miki hanya diam saja, celingak celinguk melihat kelakuan sepupunya yang satu ini. Hanya

dengan dalam sepersekian detik, pehatiannya beralih pada aksesoris dan pernak-pernik yang dipajang

tepat beberapa meter di balik tubuh Dani dan Joe yang kini berdiri sebaris seperti hendak mengikuti

barisan Paskibraka.

23 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Wah… ada barang bagus. Miki mau lihat, Miki mau!” serunya ringan dan ceria seperti yang

tadi-tadi. Ketiga pria yang dari tadi mendapat terapi syok melihat kelakuan gadis itu, masih tetap

mematung dan membujur kaku di posisinya. Menyadari tidak ada yang mengikuti langkahnya dari

belakang, Miki membalikkan badannya kebelakang lalu menarik lengan Dani.

“Dani, ayo ikut.” pintanya.

Joe dan Andre masih tetap di tempat semula dan akhirnya tersadar ketika beberapa orang teman

mereka memanggil-manggil nama mereka dari kejauhan. Meskipun begitu, perhatian mereka masih di

tujukan pada Dani dan Miki yang telah sibuk melihat-lihat barang-barang yang diobralkan di bazar

sekolah.

“Wah… imutnya. Ini keren sekali!” ucap Miki ketika melihat sebuah gelang bernuansa etnik.

“Miki mau? Biar aku beliin.” Dani kemudian mengeluarkan dompetnya.

Tidak jauh berbeda dengan reaksi Joe dan Andre, para penjaga stand bazar hanya terbengong

melihat kelakuan gadis ini. Tidak jelas heran karena apa. Apakah karena pada saat Miki melafalkan kata

‘keren’ lebih mirip kata ’keyen’. Sebab ia sendiri tidak begitu fasih menggunakan intonasi konsonon ‘r’

dalam bahasa Indonesia. Atau karena bentuk fisiknya yang jarang dijumpai di lingkungan itu, lebih

tepatnya di Indonesia. Tentu saja ia memukau semua orang dengan rambut hitam panjang mengkilat

sepinggul, mata yang bulat namun membiru alamiah seperti warna laut dan tanpa efek kontak lens,

tubuhnya yang kecil mungil, bentuk wajah tidak seperti bangsa keturunan Mongoloit pada umumnya,

sebaliknya tulang wajahnya lonjong dan bersiku cenderung seperti bangsa Kaukasoit, bibirnya yang

merah cerah serta kulit putih bersih ala kraton Jawa.

Kenyataannya tidak hanya Joe, Andre dan penjaga stand itu yang bereaksi seperti itu. Seisi

penonton serta pengisi acaranya sekalian yang melihat Miki dan Dani sedang berjalan, tidak dapat

menyembunyikan rasa heran mereka. Seperti berucap dalam hati “Dari mana panitia memesan malaikat

24 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

untuk mengamankan jalannya acara ini?” atau “Peri dari mana yang di doakan panitia agar turun

menangkal hujan demi kelancaran acara?” Walaupun kedua kalimat itu terdengar berlebihan, namun

kurang lebih seperti itu lah yang mungkin terbersit dari pikiran orang-orang itu bila melihat sendiri

ekspresi mereka.

“Dan, kalau di ingat-ingat lagi, kayaknya gue gak asing deh ama muka sepupu lo.” Joe berbisik

di telinga Dani.

“Emang dia terkenal kok.” Dani menanggapi Joe seadanya.

“Kok bisa?” tanya Joe lagi heran.

“Dia kan…”

“Wa… Dani ini bagus ya!?” pekik Miki sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya.

Ditunjukkan sebuah kalung yang terbuat dari kulit kerang.

“Mas, ini harganya berapa?” tanya sebuah suara di belakang. Itu Andre! Ia kemudian menjuntai-

juntai kalung itu dengan jemarinya.

“I’ll take it for you,” ujar Andre. “For such a beautiful girl.” lanjutnya.



“Surprise!!!!” kejut sebuah suara ketika Rio sedang membuka pintu flatnya. Ia

benar-benar terkejut melihat sesuatu yang ada di hadapannya. Ia terpelongo selagi satu

tangannya masih memegang daun pintu.

“Apa kabar, Rio?” tanya orang itu sembari memeluknya.

“Baik, kamu apa kabar Richard?” balasnya bertanya setelah sadar dari

keterkejutannya. Kemudian mereka berdua berjalan memasuki kamar flat yang sesak dan

penuh. Keduanya tertawa, bercanda dan saling bertukar tatapan.

25 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Jadi, kenapa tiba-tiba datang kesini?” tanya Rio setelah mengisap kopi dingin

bekas sarapannya pagi tadi yang belum sempat disentuhnya.

“Tentu saja karena kangen denganmu. Lagipula Ayah memintaku untuk meninjau

keadaanmu di sini.”

“Sebegitunya kah?”

“Hm…” jawab Richard cuek sembari meyeduh kopi dengan karamel yang masih

hangat itu. Senja itu keduanya duduk santai di beranda apartemen.

“Gimana kuliahmu di sini?” tanya Richard lagi. Nada bertanyanya terdengar bukan

sekedar basa-basi

“Baik.”

“Udah dapat pacar?” tanyanya lagi. Mendengar pertanyaan itu, Rio menunduk

malu. Canggung dengan pertanyaan itu, ia kembali mengambil cangkir kopinya dan

mengisapnya. Keduanya terdiam sejenak.

“Kenapa kamu gak jawab pertanyaan tadi? Dari suratmu itu sepertinya kamu

benar-benar sedang jatuh cinta ya?” tanya Richard penasaran.

Mendengar serangan pertanyaan itu, senyum Rio semakin melebar. Bayangannya

terbang ke seorang gadis. Gadis yang manis sekali. Gadis yang membuatnya berdebar

setiap mengingatnya.

“Ah kamu Rio, jangan menyimpan sesuatu dari aku. Aku bisa membaca

ekspresimu.” ledek Richard.

“Hahaha…,” spontan Rio tertawa lepas.”Iya Richard, aku sampai lupa kalau kamu

itu mantan dukun.”

“Ahahahaha…”

“Ohohoho… ” Keduanya tertawa dengan pembicaraan biasa itu. Mentari senja

yang cerah sebagai penutup hari itu menjadi saksi kehangatan keduanya.

26 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba



Chapter 3. Save My Number PLZ

“Mama… kami pulang!” teriak Dani sembari masuk ke dalam rumah. Dibukakannya

kaus kakinya, kemudian dicampakkannya tasnya ke sofa ruang tamu.

“We are home…!” teriak Miki lagi menyusul suara Dani.

“Wah, udah pulang?” ujar Mama menyambut keduanya.

“He-eh” jawab Miki ketika Mama mengeluskan kepala Miki.

“Wah, rumah jadi rame ya semenjak kedatangan kalian berdua?” ujar Papa yang saat itu

tengah sibuk membaca koran.

“Iya Pa, gak terbiasa kayak gini kan? Soalnya selama ini rumah biasanya kosong. Kita

bertiga sibuk dengan urusan masing-masing.” Dani menanggapi perkataan Papa. Saat itu ia telah duduk

di sofa sambil mengamati tingkah laku Miki yang sedang asyik menyomoti makanan yang terhidang di

ruang makan.

27 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Tiba-tiba jadi rame gini, syok juga ya?” lanjut Mama sambil membantu Bik Inem menyiapkan

makan malam.

“Ya dinikmati aja lah. Kita juga gak bakalan lama disini.” sambung Om Rio yang juga sedang

duduk-duduk di sofa. Suasana di ruangan itu begitu hangat kala itu. Seluruh keluarga berkumpul di

ruang tengah yang hanya disekati dengan lemari kaca ke arah dapur.

“Memangnya kamu kapan balik ke Australi, Rio?” tanya Papa ke Om Rio.

“Ya, kira-kira dua atau tiga hari lagi. Aku masih banyak kerjaan di sana. Nanti aku titipkan Miki

beberapa minggu ya?” pintanya.

“Kok cepat banget Pa?” protes Miki. Ia kemudian menjilat sisa-sisa makanan di jari-jarinya.

“Urusan Papa kan udah selesai di sini, Ki. Kamu nanti bareng Dani aja biar gak bosan.”

“Oiya Rio, gimana akhirnya soal rumah itu?” tanya Papa ke Om Rio begitu teringat segala

‘urusan-urusan’ orangtua.

“Ya katanya udah bisa di urus ke pihak property.”

“Miki, naik yuk.” Pinta Dani ke Miki diluar pembicaraan kedua orang tua mereka.

Di dalam kamar Miki, diam-diam Dani memperhatikan wajah Miki. Diamatinya perubahan yang

ada dalam diri gadis ini. Miki memang telah menjelma jadi gadis dewasa yang cantik.

“Bibir kamu..” Dani berkata setengah berbisik

“Hm…?” Miki melihat ke arah Dani, tampaknya ia kurang mendengar perkataan Dani barusan.

Dani menundukkan wajahnya mendekati wajah Miki yang sedang duduk di atas sofa kamar.

Dihapusnya dengan tangan bekas karamel yang menempel di dekat wajah Miki. Ditatapnya wajah gadis

itu dalam-dalam. Dia tidak berubah, pikirnya.

“….”

28 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“….”

Miki terdiam, Dani pun demikian adanya. Keduanya hanya saling berpandangan.

“Miki seperti mendapat Déjà vu.” ujar Miki spontan.

“Hm..?” Dani mengerang dengan nada sebuah pertanyan, “Déjà vu?” tanyanya.

“Iya, dulu kita pernah mengalami ini kan?”

“….”

Dani terdiam mencoba untuk mengingatnya.

“Waktu di taman itu. Aku bawa es cream besar banget. Terus karena aku takut es nya mencair

aku makan es krim-nya banyak-banyak. Eh, gak tahunya jadi celomotan deh, terus Dani yang mengelap

pakai baju kan?” Miki menjelaskan panjang lebar.

“….”

Dani masih terdiam. Iya, dia ingat saat itu. Mana mungkin dia lupa. Waktu itu dia mengelap

wajah Miki yang belepotan dengan lengan kemejanya yang berwarna putih. Es krim itu dia yang belikan

ke Miki. Sebab waktu itu Miki tidak berhenti menangis karena ditinggalkan Om Rio.

“Kamu ingat Dani?” tanya Miki. Dimiringkannya kepalanya ingin memastikan Dani.

“Eheh.. aku ingat.” jawab Dani.

“Eh Dani, kamu masih nyimpan foto-foto kita dulu gak? Foto waktu kita masih kecil? Aku

pengen lihat.” pinta Miki dengan penuh semangat.

“Iya, masih disimpan Miki. Ada dikamarku. Kamu mau lihat, Ki?”

“Iya, mau-mau.” jawab Miki dengan penuh antusias.

“Lho, bukannya kamu udah selalu lihat ya? Kamu kan juga punya separoh foto waktu kecil kita

yang kamu bawa ke Aussie.” kata Dani ingin menjahili sepupunya ini.

“Iya, tapi pengen lihat yang lainnya lagi.” rengek Miki.

29 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Mau lihat?”

“Iya!”

“Mau ?”

“He-eh.”

“He-eh?”

“Ih, Dani!!” Miki berteriak sambil melemparkan bantal ke arah Dani. Dengan segera Dani berlari

mengelilingi kamar itu. Miki pun ikut berlari menyusul Dani.

Gebruk… gebrak... terdengar suara gerupuh dari atas loteng rumah yang sebagian besar terbuat

dari kayu itu. Tak lama kemudian suara itu disusul oleh suara tawa yang meledak.

“Aduh… aduh… ributnya...” Mama seolah-olah berbicara sendiri dari ruang tamu, karena tidak

mungkin si biang keributan ‘Dani dan Miki’ dapat mendengar keluhan Mama dari jarak segitu.

“Hahaha… nikmati saja dulu Ma keadaan rumah kita yang seperti ini” ujar Papa yang masih

tetap membaca korannya.

“Iya, asyik ya ramai begini?” sambung Om Rio.

“Iya..iya..”

“Ahahaha..”

Ketiga orang tua itu pun saling tersenyum hangat menikmati keadaan itu.

Zzzt… terdengar suara dengkuran keras dari arah kamar. Malam semakin larut, bintang mulai

tampak banyak bermunculan. Miki dan Dani tertidur dalam kamar itu. Tidur dalam satu selimut di

bawah lantai dengan ditemani tumpukan foto-foto lama yang dirawat dengan baik. Keduanya tampak

lelap dengan senyuman dalam tidur masing-masing. Terlelap setelah lelah tertawa dan bercerita akan

ingatan masa lalu. Tidurlah… biarkan kenangan manis mewarnai tidur kalian masing-masing. Biarkan

30 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

ingatan yang indah menjadi mimpi dalam tidur kalian. Dan biarkan sinar rembulan yang menjadi saksi

indahnya hari yang kalian alami tadi. Biarlah.. biarlah menikmati semuanya sebelum badai datang dan

menguji batin kalian masing-masing.



Melbourne kota yang multietnik dan penuh dengan wisata alam yang

menghibur jutaan wisatawan yang tiap tahun datang menyemarakkan kota ini.

Dan di kota ini juga lah aku jatuh cinta pada seorang gadis. Gadis yang cantik

sekali. Ia tinggal tidak berapa jauh dari apartemenku. Dia gadis yang ceria dengan

senyuman yang selalu bisa membahagiakan orang di sekitarnya. Rambutnya

berwarna pirang sebahu, kulitnya putih bersih, hidungnya mancung seperti

kebanyakan orang bule’ dan dia selalu tampak sederhana. Dibalik

kesederhanaannya itu, selalu terpancar kebaikan pada orang-orang di sekitarnya.

Kebaikannya itu pulalah yang meluluhkan hatiku. Pertama sekali aku bertemu

dengannya, aku sudah dapat merasakan pancaran kebaikannya. Waktu itu musim

panas dan terik sekali di Melbourne. Aku menenteng topi baseball serta bolanya

digenggamanku. Setelah tidak beberapa jauh aku berjalan, tanpa sengaja aku

menjatuhkan topiku. Dengan sigap ia mengutipkannya untukku. Meskipun

jaraknya jauh dari dia, meskipun aku tidak mengenalnya, dan meskipun begitu pun

halnya dengan dia tidak mengenal aku, namun dia begitu baik. Dengan tulus

diambilkannya padaku. Dengan tangan yang lembut dan senyum hangat di

berikannya topi itu padaku. Seketika itu juga aku jatuh cinta padanya.

31 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Rio… bangun Rio. Dik, udah siang ini.” Richard menggoncang-

goncangkan tubuh Rio guna membangunkannya.

“Oh… Ho.. udah siang ya?” jawab Rio pada kakaknya. Matanya masih

setengah terbuka dan suaranya serak.

“Iya, katamu kemaren ingin ke kampus pagi-pagi.”

“Hem… iya, tapi kalau tidurnya nyenyak kayak gini, aku jadi malas ke

kampus.” jawab Rio. Dibentangkannya kedua tangannya berusaha meregangkan

tubuh.

“Kak, aku mimpi indah lho tadi.” lanjutnya berbicara.

“Apa?” tanya Richard cuek, ia sibuk membuat sarapan di dapur yang

berjarak tidak jauh dari tempat tidur itu.

“Mimpi tentang gadis yang sedang membuatku jatuh cinta.” jawab Rio.

Mendengar pernyataan adiknya yang tiba-tiba jadi melankonis

tersebut, Richard hanya bisa memandang dengan tatapan bertanya-tanya.



“Ma… pigi dulu ya?” teriak Dani sambil berlari menuruni tangga. Mama yang sedang

menyiangi tanaman hias di ruang tengah langsung menoleh ke arah tangga.

“Wah… mau pergi ke mana lagi ni?” tanya Mama dengan nada mengejek.

“Ke mol tante!” jawab Miki yang tiba-tiba muncul dari atas tangga.

“Wah.. wah… kamu bawa mobil Dan? hati-hati ya!”

32 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Yoa.” Jawab Dani dengan gaya cueknya sambil diputar-putarkannya kunci mobil.

Setelah beberapa saat memanaskan mobil, akhirnya mereka berangkat.

Didalam mobil Dani berkonsentrasi pada jalanan sementara Miki asyik mengguman

sendiri dalam suatu irama lagu di i-pod nya. Sekilas Dani menatap Miki, berusaha membaca bahasa

bibirnya, kemudian pandangannya kembali ke arah jalanan.

Beautiful girl, wherever you are

I knew when I saw you, you had opened the door

I Knew that I’d loce again agter al long, long while

I’d love again

“Miki, udah nyampe ne, turun yuk.” pinta Dani begitu memarkirkan mobilnya.

“OK!” jawab Miki sambil melepaskan sabuk pengamannya.

“Itu… I-pod nya di bawa?”

“Hem.” deheman Miki mengiyakan.

“O… ya udah,”

Miki dan Dani pun berjalan beriringan ke arah sebuah mol. Dan seperti biasa beberapa

pasang mata melirik ke arah Miki sewaktu gadis itu berjalan. Tentu saja dengan rambut hitam yang

panjang lurus, dagu lancip dan mata biru laut yang dalam serta segala kecantikannya yang lain, begitu

banyak mata yang tidak bisa mengalihakn padangan darinya.

“Ki, masuk yuk. Itu ada toko bagus.” ujar Dani sembari menunjuk ke arah gerai pakaian.

33 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hm...” jawab Miki mengiyakan. Ia kemudian melompat riang masuk ke dalam toko

tersebut.

Di dalam toko, Dani terlihat begitu asyik melihat-lihat aksesoris yang dipajang. Mungkin

karena terlalu lama atau tidak tertarik dengan isi toko tersebut, Miki melangkah keluar dari toko tersebut

dan berjalan-jalan sendirian di sekitar toko tersebut. Perhatiannya beralih ketika ia melihat sebuah toko

kaset yang besar. Dan tanpa ragu ia melangkah masuk. Dengan teliti di pandanginya kaset-kaset yang

berjejer dari A sampai Z. Karena telinganya tertutup earphone, ia menjadi kurang peka pada orang-

orang sekitar yang sedang memperhatikannya. Ia pun tidak sadar bahwa ada seseorang sedang berdiri

tepat di sampingnya. Fan dalam beberapa detik mereka pun bertubrukan ringan.

“Ow!” teriak Miki ketika menyenggol sebuah tubuh pria.

“Ups, sorry.” jawab pria tersebut. Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya pada

tumpukan kaset, namun seperti menyadari sesuatu ia tersentak dan memandangi Miki lama sekali. Miki

yang menyadari pandangan itu kemudian balas memandangnya. Untuk beberapa detik mereka terdiam

sambil berpikir.

“Miki?”

“Temannya Daniel?”

“Yup, gue Andre.”

“O iya iya, Andre ya?” Miki menganguk-anguk sambil melepaskan earphone yang

melekat di telinganya.

“Iya. Lagi apa?” tanya Andre basa-basi.

“Lihat-lihat aja.”

“Sendiri?”

“Enggak, bareng Dani,”

34 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“O.. dimana dia?”

“Lagi lihat-lihat di toko sebelah.”

“O…”

Pip..pip piririp.. tiba-tiba ponsel Andre berbunyi, pertanda pesan masuk. Sebentar Andrew

merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya. Setelah sejenak diliriknya maka dimasukkannya

kembali ke dalam sakunya.

“HP nya bagus.” puji Miki dengan lafal H dan P yang aneh.

“Oh ini?” kata Andrew sambil mengeluarkan kembali ponselnya. Andrew tersenyum

nakal sambil terus memandangi Miki.

“Tapi lebih bagus lagi kalau ada nomor kamu.” katanya sambil menyeringai lebih lebar.

“Um… tapi aku gak punya nomor HP yang provider Indonesia.”

“Yang dari Australia bisa pakai di sini?”

“Gak bisa.”

“Jadi?”

“Jadi, gak punya nomor HP.”

“Gini aja, gimana kalau aku beliin.”

“Thank you for ur kindness. But…I can’t!”

“Why?”

“Hmm…” Miki memutar-mutar bola matanya mencari alasan. “I wan’t to choose my own

number.”

“Let me choose it for you.”

“I won’t let you.”

“Ahahaha…” Andre tertawa melihat ekspresi manis Miki.

35 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hehe..” Miki pun ikut tertawa garing melihat Andre tertawa. Miki tidak sadar bahwa selagi ia

asyik berbicara dengan Andre, Dani yang sedari tadi bingung karena tidak melihat wajah Miki, sedang

sibuk mondar-mondar di depan toko kaset itu tanpa menyadari Miki sedang berada di sana.

“Begini aja, ntar aku beli nomor, terus aku ngubungin kamu. Deal?”

“Deal!” jawab Andre mantap.

Setelah berkata seperti itu, Miki celingak-celinguk ke arah luar toko kaset untuk mencari

Dani, tetapi ia tidak menemukannya.

“Dani kemana, kok ninggalin kamu lama banget?” tanya Andre begitu melihat wajah

Miki yang sedang mencari-cari.

“Gak tahu, tadi masih asyik milih-milih baju disini. E, Aku pergi dulu ya cari dia.”

“Eh, tunggu dulu.”

“Apa?”

“Em…,” ujar Andre agak ragu. “Mau kutemani?” tanyanya akhrinya.

“Why not?” jawab Miki sembari mengangkat kedua bahunya.

Hampir sekitar lima belas menit keduanya mengitari serta masuk ke dalam beberapa toko yang

ada di situ hingga akhirnya ia mendengar panggilan dari operator meja informasi lewat speaker.

“Panggilan ditujukan kepada saudari Milcy Daniella. Kedatangan Anda di tunggu oleh saudara

Daniel di meja informasi, terimakasih.”

Mendengar panggilan itu, keduanya pun turun lewat esklator menuju meja informasi. Andre

yang berjalan beriringan dengan Miki tidak dapat berhenti memusatkan pandangan matanya pada gadis

ini. Terkadang kalau Miki menoleh padanya, ia akan berpura-pura sedang melihat sessuatu.

36 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Di sisi lain, Dani saat itu terlihat sekali tidak tenang. Ia sedari tadi mengotok-ngetokkan jarinya

di atas meja informasi. Kakinya berusaha didiamkannya, namun tetap bergoyang tidak tenang. Hingga

ketidaksabarannya itu berubah menjadi keterkejutan ketika mendapati Miki berdiri sejajar dengan Andre

tepat di tangga ekskalator terakhir. Badan Dani menjadi kaku sejenak.

“Miki.. dari mana aja kamu?” tanyanya.

“Dari toko kaset.” jawab Miki datar dan tanpa nada bersalah.

“Heehh, anak ini.” geram Dani sambil menepuk-nepuk kepala Miki dengan lembut.

“Andre, lu ngapain di sini?” Dani beralih menanyai Andre.

“Nongkrong. Emang gak bole’?”

“Kenapa bareng ama sepupu gue?”

“Dani, kamu berterimakasih donk ama Andre. Tadi dia udah niat buat ngantarin Miki lho.” Miki

memotong pembicaraan keduanya. Dani diam sejenak dan menatap lama ke arah Miki.

“Thanks buat ngantarin.” Akhirnya Dani mengalah, terdengar nada bicaranya agak terpaksa.

“Yuk, sama-sama.” jawab Andre datar. Sebelum membalikkan badan ia sempat mengucapkan

salam perpisahan dengan Miki.

“Miki.. I’ll wait.” U\ujarnya sambil menirukan bentuk telepon dengan tangan kanannya.

Matanya mengerdip.

“OK.” jawab Miki dan membalas Andre mengerdipkan matanya juga. Spontan Dani gelisah

melihat keadaan itu. Ia menjadi sewot.

“Apa- apaan Miki?” tanyanya dengan nada agak tinggi.

“Aaada deh.” ledek Miki.

Muka Dani langsung cemberut saat itu juga. Ia tidak suka Miki merahasiakan sesuatu dari

dirinya, apalagi bila rahasia itu dengan saingannya.

37 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sementara itu, si penjaga meja informasi yang sedari tadi berdiri di situ dan mendengar semua isi

pembicaraan hanya tersenyum kecut, seolah ia dapat membaca keadaan.



“Kak Richard, aku mau berangkat ke kampus. Kalau kakak masih capai,

istirahat dahulu saja di flat. Nanti kalau kakak bosan, kakak bisa nyusul aku ke

kampus.” Rio berkata sambil terburu-buru mengerjakan banyak hal: mengambil

tas, mengambil topi, mengikat tali sepatunya.

“Ergh…” pria yang di ajak Rio berbicara mengerang dari balik selimut di

dalam kamarnya.

“Kak, jangan lupa ya Kak, datang ke kampus. Banyak yang mau kutujukkan

ke kakak. Lagian jaraknya tidak jauh kok dari flat, “

“Ergh..” pria itu mengerang untuk kedua kalinya. Tampaknya ia belum

seutuhnya sadar dari alam mimpi. Meskipun terburu-buru, Rio menyempatkan diri

masuk ke dalam kamar lagi untuk menghampiri Richard, kakaknya itu. Diguncang-

guncangnya tubuh pria itu.

“Kak, hari ini ada pekan kebudayaan lho di kampus, jadi kakak bakal nyesal

kalau gak datang.” katanya lagi, setelah itu dia langsung berlari menghamburkan

diri ke luar ruangan.

Sepeninggalannya, ruangan flat terasa begitu sunyi. Hanya terdengar suara

detik jarum jam yang berdetak. Menyadari kesendiriannya, Richard akhirnya

terbangun. Sebentar ia terbengong untuk menyadarkan dirinya. Dipandanginya

38 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

langit-langit kamar tidur cukup lama. Setelah itu dia bangkit dari tempat tidur, di

hempaskannya selimut yang telah menghangatkan tubuhnya. Ia berjalan menuju

dapur dan diseduhnya teh dengan air panas. Ia berpikir sembari memandangi

seluruh sudut ruangan flat. Sepertinya ia sedang membayangkan bila dirinya

tinggal di tempat seperti ini. Setelah bosan, ia berjalan menuju balkon dan di

situlah ia duduk bersantai.

Dari balkon flat yang berlantai dua itu, pemandangan Melbourne di musim

dingin terlihat begitu indah. Ini pertama sekalinya bagi Richard datang ke Australia

dan dia cukup kagum akan semua keunikan tempat itu. Richard memandangi

orang-orang yang hilir-mudik pagi itu sambil sesekali dihirupnya teh hangat dari

cangkir di tangannya. Hampir semua orang yang lewat mengenakan mantel yang

tebal. Salju tipis belum turun pagi ini, namun tumpukan salju yang turun kemarin-

kemarin menumpuk dijalanan dan berbunyi gemersik ketika orang-orang berjalan

melaluinya. Richard terus memerhatikan orang yang lewat di jalan. Ada yang

berjalan dengan cepat dan terburu-buru, namun ada yang lambat sambil

menikmati suasana pagi. Ada yang berjalan bersama-sama dan ada juga yang

sendiri. Dan mereka semua berjalan dengan ekspresi yang berbeda-beda. Richard

sangat menikmati waktunya saat itu.

Tiba-tiba mata Richard terpaku pada sesosok gadis yang tengah berjalan

sendirian. Gadis ini memakai mantel merah yang mencolok. Kedua tangannya di

masukkannya ke dalam mantel itu. Selain itu, ia juga memakai topi hangat serta

sepatu bot berbahan beludru yang berwarna sama. Sebenarnya tidak ada yang

aneh dalam penampilannya, hanya saja dia berjalan begitu anggunnya sehingga

39 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

menarik perhatian Richard. Matanya menatap lurus ke depan dan wajahnya

terlihat tersenyum meskipun sebenarnya dia tidak sedang tersenyum. Dia

memang gadis asing biasa, namun seperti ada sesuatu yang berbeda daam dirinya

yang membuat Richard tertarik. Mungkin itu yang di namakan aura.



“Miki, apa sih yang tadi kamu rahasiakan?” Dani kembali bertanya penasaran dengan segala

sesuataunya yang terjadi tadi.

Awalnya Miki tidak berniat merahasiakannya ini namun melihat rasa penasaraan Dani, ia jadi

berpikir menggunakannya sebagai lelucuan mengusili Dani.

“Sst… Dani, ini rahasia. Kamu mau tahu?”

“Iya,” jawab Dani

“Bener-bener mau tahu?”

“Iya.”

“Sini-sini aku bisikan.”

Sewaktu Dani tengah melekatkan telingganya ke Miki, Miki yang mengatupkan tangannya di

sebelah telinga Dani tiba-tiba berteriak,

“HWA!!!”

“Auch..”

“Hahahaha….” Miki tertawa sekuatnya.

“Miki!!! Usil banget!” Dani teriak sembari mengelus-elus telinganya.

“Ahahaha…” Miki masih tertawa. Tampaknya kelakuan jahilnya tidak berubah dari kecil.

“Ah, curang!”

40 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Yach… Dani ngambek!” Miki meledek Dani. Raut wajah Dani terlihat begitu jelek, bibirnya

sedikit di kedepankan dan alisnya berkerut. Dani tidak berniat menunjukkan perasaan hatinya, namun

ekspresinya muncul begitu saja karena Dani memang orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan

hatinya. Miki diam sejenak melihat Dani, kemudian ia menyerah dan mulai mengaku.

“Tadi Miki cuma janji mau hubungi Andre,”

APA? Menghubungi Andre? Hati kecil Dani berteriak, dia tidak terima ini. Mikinya yang lucu

didekatin oleh saingan bebuyutnya?

“Ehm… terus?” tanyanya lagi berusaha bersikap tenang.

“Terus mau jalan.” jawab Miki datar sambil memandang ke arah depan, ia tidak peduli dengan

tanggapan Dani.

“Hah, kemana?” Kali ini Dani tidak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya.

“Mm…?” Miki tersentak sebenar heran akan reaksi Dani. “What’s wrong?”

“Em..em… enggak, aku cuma mau tahu aja,” elak Dani berusaha untuk menghilangkan

kekwatirannya. “Emang mau kemana?” ulang Dani lagi.

“Miki juga gak tahu pastinya. Hm… yang penting jalan-jalan.” jawab Miki tanpa peduli reaksi

Dani.

“O…ngapa…”

“Look at that, Dani!’ sebelum Dani berhasil menyelesaikan kalimatnya, Miki sudah terlebih

dahulu berteriak ketika melihat ke arah penjual es krim keliling. “Dani, Dani, belik yuk!” bujuk Miki

sambil menarik-narik lengan Dani lalu menunjuk-nunjuk ke arah penjual es krim itu.



Chapter 4. Beautiful Girl

41 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Minggu yang cerah buat jalan-jalan, pikir Dani. Hari minggu ini Om Rio balik ke

Australia lagi. Katanya ada bisnis yang gak bisa ditinggalkannya. Om Rio memang punya jabatan

penting di salah satu perusahaan export-import yang berafiliasi di Indonesia, jadi wajar kalau dia sangat

sibuk. Jadi sehabis ngantar Om Rio ke Bandara, rencananya aku pengen ngajak Miki jalan-jalan. Satu

harian jalan bareng Miki: nonton, ke mol, nonkrong. Wuah rencana yang mantap, guman Dani dalam

hati.

“Papa pergi dulu ya Miki?” pesan Om Rio setibanya di bandara.

“ Be carefull Dad, take care!” balas Miki.

“I’ll take care.” Kemudian Om Rio mengalihkan pandangannya pada pria yang berdiri di

samping Miki.

“Dani.” Panggil Om Rio.

“Ya Om?”

“Jaga Miki baik-baik ya?”

“Tenang aja Om. Aku pastiin liburan satu bulan Miki bakal jadi pengalaman berharga.”

“Ahahaha.. pengalaman berharga buat kamu juga kan?”

“Hehehe…” Dani senyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Wing… pesawat pun terbang meninggalkan debu-debu yang terbawa angin. Aku menatap Miki

yang memandang jauh ke arah pesawat. Aku tahu sekali ia tidak suka terbang. Waktu kecil, ia selalu

membawa obat penenang kalau terbang. Apalagi semenjak tragedi itu, ia tidak pernah lagi terbang. Tapi

ia suka melihat pesawat terbang. Apalagi ketika burung besi itu take off. Ia jadi bisa melihat dengan

seksama. Aku lihat rambutnya yang panjang sepinggul terbang melambai terbawa angin. Pemandangan

42 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

yang begitu sejuk. Rasanya aku ingin lebih lama seperti ini. Ketika mata biru Miki kosong dan bibirnya

diam tanpa suara, pesonanya tampak begitu membius.

“Dani..” Miki memanggil Dani tanpa menoleh kepadanya. Panggilan itu menyadarkan Dani dari

khayalannya.

“Ya?”

“Layang-layang yang kita mainin kemarin, masih aku simpan di rumahku,” Kemudian Miki

memiringkannya lehernya agar dapat dipandangnya Dani dengan tatapan yang dalam. “Aku simpan di

kotak harta karunku.” lanjutnya.

Mendengar pernyataan itu, Dani hanya bisa diam. Ditatapnya gadis itu terus, namun

pikirannya terbang ke alam lain. Semua ingatan-ingatan masa kecilnya terkumpul jadi satu.

“Hum… Dani kita jalan-jalan yuk?” pinta Miki dengan nada yang riang. Sambil beranjak

dari tempat bersandar, ditariknya tangan Dani.

“Kamu mau kemana Miki?” tanya Dani mengikuti langkah Miki.

“Terserah kamu aja. Tapi kita makan dulu ya?” pintanya lagi sambil tersenyum lebar dan

mengadah ke arah Dani. Dani yang agak jangkung dengan tinggi sekitar 180an cm sementara Miki yang

hanya 160an cm membuat Miki selalu harus mengadah ke atas bila ingin melihat wajah Dani dengan

jelas.

Sewaktu berjalan ke luar bandara, tanpa mereka sadari beberapa orang melihat ke arah mereka.

Ada yang hanya melirik sekilas dan ada yang terang-terangan memelototi mereka berdua. Miki memang

cantik. Samar terdengar seseorang berbisik dalam gerombolannya, “Cocok ya pasangan itu?”

Tampaknya Dani mendengar perkataan itu. Ia melirik sejenak ke gerembolan itu dan

tersenyum.

43 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Aku bawa I-pod lho!” seru Miki ceria ketika berada di dalam mobil.

“Ada musik apa aja sih di I-pod kamu?” tanya Dani sambil tetap berusaha

memperhatikan jalan.

“Ada banyak. Aku lagi suka lagu-lagu lama,”

“Oya?”

“Hm... iya.”

“Masi’ suka Beautiful Girl?” Dani bertanya sambil berkonsentrasi mengemudi, sesekali

ia berusaha melirik ke arah Miki.

“Masi ingat juga ya?” balas Miki bertanya.

“Hehehe… iya.” Iya, mana ada yang ku lupa darimu, sebut Dani dalam hati.

Dani terdiam, teringat lagi ia akan kejadian itu. Delapan tahun lalu, begitu berita

kematian Ibu Miki santer terdengar, Miki begitu syok. Ia menangis seharian di dalam kamar. Kamarnya

selalu terkunci. Bahkan Om Rio sendiri tidak diizinkan masuk. Selama seminggu setiap pulang sekolah

aku selalu berdiri di depan kamarnya menunggu ia keluar dari kamar. Namun kamarnya selalu terkunci.

Ia hanya membuka pintu kalau ingin mengambil makanan yang diletakkan Bibik di depan kamarnya. Ia

bahkan sempat dua hari tidak makan. Waktu itu aku khawatir setengah mati. Hingga satu hari, aku

melihatnya bersandar di bawah pohon sambil kedua kupingnya ditutupi earphone. Aliran musik yang

berputar di Walkman-nya semakin menyayat hatinya. Samar-samar aku bisa mendengar alunan lagu itu.

Itu adalah lagu ‘Beautuful Girl’ yang dinyanyikan Jose Mari-Chan, lagu kesukaan Mamanya. Dari jauh

aku bisa melihat air mata jatuh dari pelupuk matanya. Rasanya aku ikut sedih. Aku tidak ingin melihat ia

menangis. Aku sama sekali tidak ingin melihat ia menangis. Melihat itu, aku memberanikan diriku

mendekatinya. Ia hanya terdiam begitu melihatku berdiri di hadapannya. Setelah lama terdiam dan

44 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

hening, ia kemudian menawarkan sebelah earphone-nya padaku. Aku sangat senang ia masih mau

membagi perasaannya padaku. Lama kami berdua mendengar alunan lagu itu sambil membisu menatap

langit yang mendung.

“Mamaku… cantik ya?” itu kata pertama yang terucap di bibirnya setelah seminggu

membisu.

Hatiku ikut tersayat melihatnya sedih begitu. Pandangannya matanya kosong meskipun ia

menatap ke arah langit mendung itu. Air matanya kembali jatuh tanpa ia mengeluarkan suara.

“Miki… masih ada aku,” hiburku berusaha menenangkan dia. “Aku janji gak akan buat

kamu nangis.” janjiku padanya.

Lama ia menatapku. Matanya yang biru itu menyiratkan arti mendalam. Baru setelah beberapa

detik mematung, ia pun tersenyum padaku. Senyuman lega yang ikut membahagiakanku. Aku senang

sekali melihatnya tersenyum lagi. Ya, aku pernah berjanji suatu hal padanya.

“Dan…?“ Sayup-sayup aku mendengar panggilan dari sebuah suara yang selalu

membuatku tersenyum bila mendengarnya.

“Dani!”suara itu semakin dekat di telingaku.

“Ya?” Dani menoleh.

“Ah Dani gak berubah. Kamu masih suka melamun ya? Kita udah dekat lho. Aku liat

papan petunjuknya, tuh katanya 50 meter lagi menuju objek wisata.”

“Oh iya-iya. Hm.. dari sini harusnya kita belok.”

“Kita salah jalan ya?”

“Iya, kita keterusan.” jawab Dani santai. Di garuk-garuknya kepalanya sambil tersenyum

bodoh.

45 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Beautiful girl, where ever u are,

I know when I saw u..

There’s something in your eyes,

Make my heart beating so..

Keduanya duduk di bawah pohon beringin rindang sambil mendengarkan lagu yang

berasal dari dalam I-pod. Tampak di hadapan mereka anak-anak berlarian bersama orang tuanya. Air

berciprat dari dalam sebuah kolam. Keduanya menutup mata menikmati angin semilir yang berhembus

kencang sore itu. Angan mereka tampaknya tertuju pada kejadian yang sama. Kejadian delapan tahun

lalu sewaktu mereka sama-sama mendengarkan lagu ini. Tampaknya mereka mengulang peristiwa yang

pernah mereka lakukan dulu: mendengarkan lagu ini bersama-sama. Tapi kali ini tanpa tangisan, namun

dengan senyum penuh kerinduan.

“Mau aku beliin es cream?” Dani menawarkan diri. Perkataan Dani yang tiba-tiba

menjadikan Miki tersadar dari lamunannya.

“E-he.” jawab Miki.

Seketika itu juga Dani mencopot earphone dari telinga kirinya, memberikannya kepada

Miki dan pergi berlalu. Miki tidak melepaskan sedetikpun pandangannya dari Dani ketika pria itu

sedang berjalan menjauh. Dani memang tampak menawan dengan balutan kemeja hitam plus kaus putih

46 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

di dalamnya. Miki terus memandangi bagian belakang tubuh Dani. Bahunya, pundaknya, lengannya,

kakinya, semuanya memang tampak begitu berubah dari delapan tahun yang lalu. Dari kejauhan Miki

mencoba membaca bahasa bibir Dani yang sedang berbicara dengan Bapak Penjual Es.

“Pak, es krim dua ya?”

“Rasa apa Mas?

“Hm.. Vanila dan Coklat.”



“Dan, kayaknya gua udah ingat deh dimana gue pernah lihat sepupu loe.” kata Joe tiba-

tiba pada Dani ketika bel tanda pelajaran berakhir berbunyi.

“Dimana?” tanya Dani sambil membereskan buku-buku di meja belajarnya.

“Di toko sport di mol dekat rumah gua!” seru Joe. “Sepupu loe model ya?” lanjutnya

bertanya.

“Iya.” jawab Dani acuh tidak acuh. Setelah itu ia langsung beranjak menuju pintu kelas.

Meskipun Miki tidak terlalu tinggi, namun parasnya yang unik cukup dijadikan modal berkarier.

“Dan, loe langsung pulang lagi hari ini?” tanya Joe menyusul Dani dari belakang.

“Iya neh.” jawab Dani sambil terus berjalan cepat ke arah gerbang sekolah.

“Pasti mau jalan ama sepupu loe yang cantik itu lagi kan?” ledeknya.

“He-eh.” jawab Dani santai.

“Terus urusan kampanye gimana?”

“Kemaren udah gue urus kok. Tim sukses gue udah ngurus semuanya, kayaknya aman

aja tuh.” Dani berkata dengan tampang cuek.

47 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Eh loe jangan gitu dong, Dan. Loe cuma nyerahin ama tim sukses loe sementara loe

lepas tangan aja.“ kali ini Joe mulai berekspresi serius.

“Gue kan gak lepas tangan gitu aja, Joe. Sesekali gue juga masih tanya-tanya ini-itu. Gue

sering contact mereka kok.” Dani ikut-ikutan jadi serius.

“Iya, yang gua bilang juga loe gak sepenuhnya lepas tangan, Dan. Masalahnya yang gua

dengar neh si Andre udah ngerencanain kampanye gila-gilaan. Sebagai teman loe, gua gak pengen loe

diam aja, loe harus gerak Dan!”

Dani terdiam dan tertunduk meresapi perkataan Andre.

“Dan… Dani!” Miki setengah berteriak memanggil Dani di dalam mobil. “Tuh kan

melamun lagi.”

“Eh, dari tadi kamu manggil ya Ki. Kenapa?”

“Hm… nothing. What’s wrong Dan? Do u have any problem?”

“No.. No.. I’m just remembering at something.” jawab Dani sambil menatap ke depan

dengan pandangan kosong. “Hum… anyway, bosan juga ya Ki, kalau jalan-jalan berdua mulu dengan

kamu. Gimana kalau senin ntar kita jalan-jalan bareng sama teman-temanku. Waktu di festival kemaren

kan kamu udah aku kenalin banyak teman, nah aku pengennya jalan ramai-ramai ama sobat-sobatku biar

ramai. Gimana Ki? Dani menyerocos panjang lebar.

“Jalan bareng teman? Hm.. boleh juga.”

“Iya… pasti asyik kan?”



48 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Senin ini semuanya sudah berkumpul bersama: Dani, Miki, Joe dan Friska. Mereka

bertiga berdiri di samping loket penjualan 21 sementara Joe berdiri diantara para antrian lainnya. Dani

cengar-cengir sendiri melihat keadaan ini. Diingatnya usahanya membujuk ke dua sobatnya untuk ikutan

nonton hari jumat lalu. Kembali terbayang olehnya ekspresi kedua orang sahabatnya itu.

“Nomat?” tanya Friska memastikan

“He-eh.” Dani mengiyakan.

“Nomat???” tanya Joe lagi dengan ekspresi heran yang tak kalah hebohnya dengan

Friska.

“He-eh” jawab Dani dengan nada yang tidak beda dengan sebelumnya.

Akhirnya dengan segala bujuk rayu maut akhirnya ia berhasil meyakinkan kedua

kompaknya tersebut untuk ikut nonton dengan sepupunya. Sebenarnya nonton bioskop bukanlah

masalah besar, masalahnya ke-dua orang sahabatnya ini memang anti banget sama yang namanya

‘nomat’ maupun nonton bioskop biasa. Alasannya berbeda-beda. Kalau Joe karena memang pada

dasarnya gak suka nonton. Mungkin juga karena trauma dua kali diputusin cewek di bioskop. Beda

dengan Friska yang sifatnya protektif dan suka parno sendiri. Alasan Friska sih karena takut terkena

virus HIV/AIDS. Pasalnya Friska terlalu sering baca koran atau nonton berita yang mengabarkan kalau

banyak jarum suntik yang di letakkan dengan sengaja oleh para orang jahil. Katanya jarum tersebut telah

dipakai oleh si para penderita HIV/AIDS dan digeletakkan begitu saja di kursi bioskop dengan

meningalkan tulisan ‘Welcome to The Death’. Memang seram sih, namun ketakutan Friska terkesan

agak berlebihan.

49 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Got it!” seru Joe sambil melompat ke arah mereka bertiga. Di julurkannya empat buah

tiket yang berhasil didapatkannya setelah ngantri berdiri hampir lima belas menit.

“Wah, tempat duduknya pas banget berderet untuk berempat ya?” ujar Friska.

“Hum, iya jadi doube date neh.” sambung Dani bercanda.

“Oh iya juga ya, baru nyadar neh.” Joe ikut menyambung.

“Iya.. iya…” semuanya saling bersambut mengiya-iyakan.

“I’m with Dani!” seru Miki lincah sambil memeluk lengan Dani sedang memasukkan

tangannya ke kantong jins. Sekilas tampak ekspresi masam dari wajah Friska.

“Kalau gitu gua bareng Chika donk! Hahaha..” canda Joe sambil menggandeng lengan

Friska berusaha meniru seperti gerakan yang dilakukan Miki tadi.

“Ih, gak mau deh gue bareng elo. Dari tadi pagi lo kan belum mandi.” elak Friska sambil

berusaha menjauhkan dirinya dari Joe.

“Heh, enak-enak aja lo Joe manggil Chika dengan panggilan sayang dari gue.” Dani

berkata dengan nada jutek. Miki kemudian menyadari wajah Friska yang agak memerah, dipandangnya

gadis itu lama. Friska langsung menoleh begitu menyadari bahwa sedari tadi ia diperhatikan oleh Miki.

Dengan secepat mungkin Miki mengalihkan pandangnya begitu matanya dan Friska beradu.

“Eh masuk yuk, studio satu udah buka tuh.” timpal Joe memotong pembicaraan mereka

berempat.

“Yuk.” jawab mereka bertiga berbarengan.

“Popcorn?” Dani menawarkan pada Miki yang duduk paling sudut kanan barisan tempat

duduk mereka, sementara Dani berada di sebelah kirinya.

50 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Thank You.” jawab Miki sambil mengambil popcorn tersebut dengan tangan kanannya.

Matanya tertancap terus ke arah layar.

Friska yang duduk diapit oleh Dani dan Joe semenjak film di mulai tidak bisa serius

menyaksikannya. Pandangannya lebih lama ke samping kanan daripada ke depan. Terkadang dia bahkan

ekstrim memiringkan badannya ke samping agar bisa melihat keadaan dengan jelas. Takut-takut Dani

dan Miki melakukan adegan mesum karena kebawa suasana, pikirnya. Friska menganggap hal seperti itu

mungkin biasa aja bagi Miki meskipun dilakukan dengan sepupunya. Soalnya budaya Miki memang

beda dengan di Indonesia, ditambah lagi dia seorang model pikirnya. Dia pun terus mengawasi ke arah

mereka berdua. Ia takut tiba-tiba Miki terlalu menghayati adengan film romantis itu sehingga tidak sadar

diri.

Tiba-tiba Joe memiringakan posisi badannya ke kanan, ke arah Friska. Didekatnya

bibirnya ke telinga Friska “Nyantai aja Fris,” bisiknya.

Mendengar pernyataan itu, Friska kemudian menyandarkan kembali kepalanya ke kursi.

Sesekali masih diliriknya tajam kekanan.

“HAAH!!!” Friska berteriak kencang dan bangkit dari tempat duduknya. Tiba-tiba saja ia

tersentak ketika melihat punggung tangan Miki berada di bawah tangan Dani. Ternyata dugaannya benar

meskipun tidak separah bayangannya. Dani, Miki dan Joe langsung menoleh ke arah Friska yang

bersikap aneh. Penonton lain yang sedang asyik menonton adengan film yang sedang seru-serunya itu

pun ikut-ikutan menoleh ke arah Friska.

“Kenapa Fris? lo nemuin jarum suntik?” tanya Dani dengan penuh keherenan dan

keseriusan.

“Kenapa? Ada apa?” Miki dan Joe serempak nyusul bertanya.

51 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Enggak, gue gak apa-apa kok.” elak Friska sambil tersenyum kecut. Ia kemudian duduk

kembali ketempatnya dengan gelisah.

Tampaknya Dani dan Miki memang benar-benar tidak mengerti dasar keterkejutan

Friska. Bukankah mereka sudah sering bergandengan tangan ketika berjalan berdua. Bagi Miki hal

tersebut lumrah adanya. Dari kecil mereka sudah terbiasa jalan berdua sambil bergandengan tangan.

Dani pribadi, karena sudah lama tidak bersama Miki dan karena bentuk fisik Miki sekarang memang

menanggap agak ganjil. Namun berhubung Miki adalah seorang gadis yang ceroboh plus ada kekwatiran

Dani yang berlebih kalau-kalau Miki hilang saat sedang berjalan dikeramaian, jadi Dani membisakan

diri saja menggandeng tangan Miki. Kesimpulannya, Dani dan Miki sudah terbiasa saling menggandeng

tangan. Tapi yang baru saja terjadi tadi memang murni ketidaksengajaan. Sangkin seriusnya menonton

tiap adegan dalam film tersebut, mereka bahkan tidak sadar kalau tangan mereka sedang bersentuhan.



Aku berjalan menyusuri tempat itu. Begitu banyak orang dengan berbagai

pakaian khas yang bervariasi membuat kagum akan tempat itu. Ada yang

memakai pakaian renda dengan belahan dada yang lebar, ada yang memakai

pakaian khas negara yang tidak aku tahu berasal dari mana. Namun kebanyakan

prianya hanya memakai jas dan celana bahan berwarna hitam. Aku terus berjalan

sambil memperhatikan sekelilingku. Saat ini aku sedang sendiri dan memang

sedang ingin sendiri. Aku memang berjanji dengan Rio bertemu di tempat ini,

namun aku senang dengan suasana ini. Jadi sekarang aku tidak sedang mencari

Rio.

52 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Beberapa kali pelayan menawarkan minuman berwarna-warni, namun ku

tolak. Jas Rio yang pas dikenanakan dibadanku membuatku nyaman berjalan di

tempat ini. Aku terdiam sejenak ketika melihat orang-orang berkerumun di suatu

tempat. Aku berjalan perlahan mendekati tempat itu. Kulihat samar-samar dari

balik punggung orang-orang yang berdiri mengitarinya, terlihat sebuah rok hitam

berkibar-kibar serta suara tapakan sepatu. Semakin penasaran diriku, maka

kucoba semakin mendekat. Akhirnya aku sampai di pinggiran lantai dansa itu. Dari

dekat, dapat ku perhatikan tubuh yang di balut gaun beludru hitam menari begitu

indah di hadapanku. Kakinya sesekali menghentakkan lantai. Kucoba

memfokuskan mata untuk melihat sosok yang menari di depanku. Sepertinya aku

pernah melihatnya. Diakah itu? dia… Iya, dia gadis yang tadi pagi berjalan

melewati flatku. Gadis dengan aura yang sangat kuat. Aku tertegun di tempat itu

dalam posisiku. Mataku tidak dapat beralih dari dia. Dalam tariannya, setiap lekuk

tubuhnya begitu anggun dan begitu ayu. Aku terus menatapnya, kupandangi

parasnya yang rupawan. Ia memalingkan wajahnya ke depan sehingga dapat

kulihat sudut wajahnya semakin jelas. Ia menatapku! Kurasakan tiba-tiba

jantungku berdetak sangat kencang.

“Richard!!” sebuah suara menyadarkanku. Kupandangi dia, adikku Rio. Ia

sedang menggenggam segelas minuman dan ia terlihat gagah dengan pakaiannya

itu. Ia sangat cocok dengan mengenakan paduan celana hitam, kemeja putih

dilapisi jas hitam, serta dasi bergaris. Ia sangat sesuai berada di antara orang-

orang ini

“Kak, sudah dari tadi ya di sini?” tanyanya.

53 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oh, enggak. Aku baru saja mau melihat tarian itu.” jawabku. Sekilas ku lirik

lagi gadis yang masih menari di tengah-tengah kerumunan orang itu.

“Kakak lihat penari itu, cantik kan?” tanya Rio padaku. Ia memiringkan

posisinya ke arah gadis itu ketika sedang berbicara.

“Hm..” jawabku.

“Nanti kukenalkan, Kak.” katanya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya

padaku. Aku hanya terdiam, tidak mengerti maksud dari bahasa tubuhnya

tersebut.



Chapter 5. Afraid to Lose You

“Chik, terus yang diperlukan udah lengkap semua?” tanya Dani dari ujung telepon

“Sip, Dan. Gue udah siapin semuanya.” jawab sebuah suara wanita dari ujung telepon.

“OK. Besok pulang sekolah udah bisa ditempelin kan poster-posternya?”

“Iya… iya udah.”

“OK, Thanks berat ya Chik. ?You are my best friend, dah.”

“You’re welcome.”

54 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Bye…”

“De..”

Kemudian Dani meletakkan gagang telepon ke tempatnya.

“Siapa Dan?” tanya Miki yang ternyata berdiri di samping Dani sedari tadi. Suara Miki

tidak jelas ketika bertanya. Hal itu karena ia berkata-kata sembari menguyah keripik dengan bungkusan

super besar di tangannya.

“Friska.” jawab Dani tanpa ekspresi.

“Ooo..” Miki menanggapinya sambil mengangukkan kepala. “Mau?” tanyanya sambil

menawarkan makanan yang sedari tadi di kunyahnya.

“Gak Ki, aku dah kenyang. Hum.. dari tadi ngapain aja?” tanya Dani sembari

memiringkan badan ke arah Miki. Diperhatikan seluruh tubuh Miki. Saat itu Miki hanya memakai

celana jins pendek dan tank top putih milik. Menyadari sesuatu, tiba-tiba jantung Dani berdetak lebih

kencang. Memang fisik Miki secara keseluruhan hampir sempurna. Pantas saja dia jadi model, pikir

Dani.

“Gak ada, cuma nonton di ruang tamu.” jawab Miki santai.

“Mau jalan?”

“Iya… iya, mau!” Miki langsung loncat kegirangan, pasalnya semenjak acara nonton

bareng kemaren itu, Dani tidak pernah lagi ngajak Miki jalan-jalan. Sepertinya dia sibuk mengurus

segala sesuatu yang berkaitan dengan pencalonanya sebagai ketua OSIS.

Sore itu, Miki dan Dani pun langsung beranjak dengan menggunakan mobil sporty

merahnya. Miki hanya mengubah tatanan rambutnya menjadi sedikit lebih rapi. Meskipun ia tidak

mengganti baju dan berdandan, namun ia tetap kelihatan modis. Disisi lain, Dani juga kelihatan gagah

55 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

meskipun hanya memakai setelan rumahan: kaus oblong dan celana boxer. Kacamata yang selalu

dikenakannya menambahkan kesan elegan dalam dirinya.

“Udah sampai Miki, yuk!” kata Dani usai memarkirkan mobilnya di depan sebuah mol.

“Let’s go!” teriak Miki bersemangat.

Setelah lama mereka berdua berkeliling melihat-lihat di dalam mol yang masih baru

didirikan itu, Miki mulai berani menanyakan sesuatu yang dari tadi di pikirkannnya.

“Dan…” panggil Miki

“Ya?” jawab Dani sambil mengalihkan pandangannya dari barang-barang elektronik

yang sedari tadi diperhatikannya.

“Kamu suka ya?”

“Hmm…? Iya, aku suka banget kamera digital kayak gini. Aku lagi serius neh pengen

bergelut di bidang photography.” jawab Dani panjang lebar.

“Bukan, bukan itu!” rengek Miki.

“Hmm…?” Dani menjadi agak heran. Ia meletakkan kembali kamera yang sudah

diamatinya dari lima menit yang lalu.

“Apa?” tanyanya dengan nada sepeti membujuk.

“Kamu suka ya sama Chika?” tanya Miki dengan pandangan curiga.

“Hah?” sejenak Dani terdiam mendengar pertanyaan Miki. “Uh… eh.. Ahahaha….”

Akhirnya ia meledak setelah berusaha menahan tawanya.

Miki terdiam melihat tingkah laku Dani. Ia mendengus dan bibirnya semakin

dimajukannya beberapa centi. Dikiranya itu sebagai jawaban ‘ya’.

56 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Are you dating with her?” tanyanya lagi untuk memastikan. Berusaha di hilangkannya

ekspresi sedihnya.

“Ahahaha…” Dani masih tertawa. Ia kemudian mengacak-acak rambut Miki dengan

sebelah tangannya. “Miki… Chika itu temanku, teman baikku, sama seperti Joe. Hanya saja Friska itu

cewek, sementara Joe cowok. Ngerti kan?” Dani menjelaskan secara pelan dan lembut.

“Hm…” jawab Miki kurang yakin. Diperbaikinya rambut lurusnya yang kusut karena

perbuatan Dani tadi.

Tidak beberapa lama meranjakkan kaki dari situ, Miki bertanya lagi, “Do you have a

girlfriend?”

Dengan tenangnya, Dani menjawab, “No, but I have many friends which are girls.”

Kemudian dilemparkan senyum lebarnya ke Miki. “How about you?” tanyanya masih dengan nada

datar. Sebenarnya saat itu jantung Dani berdegup kencang. Takut tiba-tiba Miki menjawab “Yes, I do.”

Hanya saja ia berusaha terlihat cool.

“SIM Card!” pekik Miki.

“Ha?” Dani tersentak “Simka?” Dani mengira Miki menyebutkan nama pria yang

menjadi kekasihnya adalah si Simka. Dalam pikirannya terbayang Simka adalah seorang pria keturunan

India yang sedang melanjutkan studinya di Australia.

“Yes, SIM card. Itu, disitu ada jual kartu SIM baru Dan, Miki pengen beli.” Miki berceloteh

sambil menunjuk ke arah gerai ponsel.

“Oo…” dari nada bicaranya Dani tak bisa menyembunyikan kelegaannya terhadap penjelasan

Miki barusan.

57 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ki, aku kesana dulu ya?” Dani berkata begitu menyadari ada stand penjual es krim di sudut

kanan counter ponsel tersebut. Miki yang sedang sibuk bertanya-tanya dengan mbak-mbak penjual pulsa

dan berkombinasi dengan suasana hiruk-pihuk sore di mol itu menjadi kurang memperhatikan Dani.

“Miki, aku kesana dulu beli es krim. Kamu yang Vanilla kan?” Dani mengulang pertanyaannya.

“Ha?? Iya.. iya.” Miki menjawab cepat. Padahal sebenarnya ia kurang mendengar petanyaan

Dani. Dani sendiri segera beranjak menuju ke counter es-krim.

“Ada yang rasa Vanila mbak?” tanyanya.

“Thankyou so much.” ujar Miki dengan wajah cerianya setelah berhasil membeli kartu

perdana nomor Indonesia pertamanya. Sewaktu ia membuka dompetnya, mencuat suatu kertas. Itu

kertas nomor telepon Andre yang dulu pernah diberinya. Hm… sekalian aja, pikir Miki.

“Hallo!” sapanya dengan suara ceria.

“Hallo” jawab suara di ujung ponsel dengan nada penuh wibawa .

“This is Miki. This is my new number. You’re the lucky number one! Ahahaha..” tawanya.

Andre yang saat itu sedang nyupir langsung menyungging senyum. “Ah, that’s you Miki!

Do I the first people who knows your number?”

“Iya! Kamu orang pertama yang aku telepon pakai kartuku.”

“Wah, beruntung banget ne, baru beli ya?” tanya Andre.

“Yeah. Aku tepat janji kan?”

“Yeah, you are. Hm… bareng Dani?”

“He-e.”

“Dani disamping kamu ya?”

58 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oiya, Dani mana ya?” Miki melirik ke samping kanan dan kirnya. “He’s gone!”

teriaknya ketika menyadari tidak menemukan Dani disana.

“Hilang gimana?” Andre mulai bernada kwatir.

“Hm.. I’ll find him first. Call u latter. See Ya!” Dengan buru-buru Miki menutup

ponselnya. Dia pun berlari semakin jauh dari counter pulsa tempatnya membeli kartu tadi. Ia berjalan

mencari-cari, namun tidak ada sosok yang mirip Dani yang ia temui. Ia berlari di antara kerumunan

orang. Begitu ia melihat seseorang memakai celana boxer, ia pun mengejarnya. Ditegurnya dan ternyata

bukan Dani! Ia semakin panik. Semakin lama ia mencari semakin ia tidak menemukan. Ia semakin

panik, rasanya mol itu seperti berputar. Ia sudah nak-turun eskalator dua kali, tapi ia tetap tidak

menemukan Dani.

Sementara itu Andre yang masih mengendarai mobil masih memikirkan kata-kata

terakhir Miki. Ia sepertinya cukup kwatir dengan kondisi Miki. Dia mengerti perasaan Miki yang hilang

di tempat yang asing baginya. Dibukanya ponselnya, dilihatnya telepon masuk terakhir, kemudian di

tekannya tombol ‘panggil balik’.

Di sisi lain lagi, Dani juga mengalami hal yang sama. Ia jadi panik karena Miki menghilang.

Dalam pikirannya Miki sedang di culik oleh orang-orang jahat yang mungkin mengira kalau Miki adalah

anak pengusaha kaya. Es krim yang ada ditangan Dani mulai mencair.

Miki akhirnya memutuskan untuk duduk di salah satu bangku di depan toko buku.

Kakinya sudah letih selama lebih dari empat puluh menit memutari mol itu. Ia menunduk kepalanya

lalu diremasnya rambut panjangnyanya dengan kedua tangannya. Huff… di hembuskan nafasnya

panjang. Tringring…tringring… dirasakannya ponselnya bergetar dan sejenak menghentakkan dirinya.

“Hallo Miki, udah ketemu Daninya?” tanya suara yang menelepon itu.

“Belum. Aku sendirian.”

59 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kamu dimana Mik?Aku nyusul ke sana sekarang.”

Andre lansung memutar arah mobilnya, kemudian ia berusaha menghubungi Dani,

namun tidak diangakat. Dani sepertinya lupa mengubah menu ‘silence’ di ponselnya semenjak pulang

dari sekolah. Lagipula Dani tidak begitu memperhatikan ponselnya karena sibuk mencari-cari. Karena

kehabisan akal, Dani kemudian mendatangi meja informasi. Ini kedua kalinya ia dan Miki mengalami

peristiwa seperti ini dan ia sadar akan hal itu.

“Mbak… tolong berita panggilan pada Milcy Daniella mbak ditunggu Daniel Roberto di

meja informasi. Buruan Mbak! Saudara gue tuh gak tahu mol Jakarta!” Dani begitu panik sehingga

seluruh kewibawaannya jadi luntur.

Sewaktu Dani mencoba menghubungi rumahnya dengan menggunakan ponsel nya, Dani

agak terkejut melihat tiga panggilan tidak terjawab.

“Dari Andre? Aduh tunggu dulu, gue nelpon rumah dulu deh.” Dani berguman sendiri.

Tut.. tut… tepat dua kali nada sambung berbunyi ketika Dani mengadahkan wajahnya dan

melihat Andre dan Miki sedang berdiri di hadapannya sambil… BERGANDENGAN!

“Miki? Andre?” Dani menutup kembali flip ponselnnya dengan gerakan lambat ketika melihat

kedua orang itu tengah berjalan berdua dari arah esklator menuju ke arah Dani.

“Andre? Lo kok disini?” tanya Dani sambil melangkah menuju mereka berdua. Samar-samar

dilihatnya sembab di mata Miki.

“Miki, kamu kemana?” lanjutnya bertanya pada Miki tanpa menunggu jawaban Andre.

“Aku gak kemana-mana.” Miki menjawab dengan nada malas dan sedikit ketus.

“Kamu.. gak pa-pa kan?” tanyanya lagi sambil memperhatikan sekujur tubuh Miki, diremasnya

lengan Miki.

“I’m OK.” kali ini ekspresi Miki benar-benar terlihat suntuk.

60 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Andre, kok…?” Dani melongo heran melihat sosok pria tersebut dihadapannya.

“Dani, I’m very tired and I wan’t to get home quickly.” Tanpa menunggu apapun, Miki langsung

menghaburkan diri menuju ke pintu keluar.

“Andre, entar gue hubungin elo.” ucap Dani cepat. Buru-buru ia menyusul Miki.

Dari jauh Andre bisa melihat Dani menarik lengan Miki yang berjalan sangat cepat. Miki

menghentikan langkahnya dan mematung di tempat ia barusan berdiri. Dani kemudian membujuknya

lembut dan menarik tanggannya keluar dari mol itu menuju parkiran. Andre masih memandangi mereka

hingga kedua orang itu menghilang di balik barisan mobil-mobil.

Didalam mobil Dani dan Miki membisu. Hanya suara musik dari band kenamaan di radio yang

membunuh kekakuan keduanya. Miki sepertinya begtitu kesal dengan Dani. Sementara Dani bingung

akan gelagat Miki.

“Miki, kamu tadi kemana sih?” tanya Dani mulai membuka pembicaraan dengan nada

membujuk.

“Aku gak kemana-mana, kamu yang kemana?” jawab Miki ketus tanpa memandang ke arah

Dani. Melalui kaca jendela mobil yang tertutup dipandanginya terus pemandangan di jalan.

“Aku tadi beli es-krim Miki dan aku udah pamit sama kamu. Kamu ingat gak?” tanya Dani lagi.

“Enggak!” jawab Miki tetap dengan nada ketus.

“Aku tadi udah bilang Miki, kamu gak perhatiin.”

“Kenapa kamu gak nunggu aja?” Miki membalas dengan bertanya.

“Aku kan gak pergi jauh Ki.”

“Gak peduli kamu pergi jauh atau enggak. Kamu harusnya nunggu!” kali ini Miki menoleh ke

arah Dani dengan mata yang melotot.

“Kamu yang harusnya tetap nunggu di sana. Kamu kan gak tahu jalan, aku kwatir.”

61 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“You did’t have to go if you afraid of me!” Miki membentak ke arah Dani. “I’m afraid to losing

you. Im afraid if I’m not be able to see every people that I care.” lanjutnya dengan nada lirih.

Dani terdiam mendengar itu semua. Dipandangnya Miki dalam, namun tak bisa di ucapkannya

satu katapun.

Sesampainya di rumah Miki dengan setengah berlari langsung menaiki loteng menuju kamarnya.

Dibentamkannya wajahnya ke bantal. Setetes air mata menitik dari mata birunya. Tiba-tiba ia teringat

sesuatu yang terlupa. Di ambilnya ponselnya dan dengan cekatan diketiknya sesuatu. Sesudah itu di

campaknya ponselnya dan digeleng-gelengkannya kepalanya berusaha menghilangkan traumanya.

Sesudah itu dipasangnya musik jazz dari stereo tapenya dan kembali direbahkannya tubuhnya ke tempat

tidur.

Sementara itu di sudut mol yang tadi, Andre yang sedang bercanda dengan teman para tim

suksesnya tersenyum ketika melihat sebuah pesan yang masuk ke ponselnya

From: From: Milcy Danielle

Thank

Thankyou,

Di dalam rumah malam itu, Dani tidak berhenti berpikir. Ia merasa heran sekali, kenapa Miki

jadi marah seperti itu padanya. Pasalnya Miki kan hanya hilang sejam. Dani tidak habisnya pikir kenapa

Miki bisa semarah itu dan dalam lamunannnya ia pun terlelap.

62 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Besok paginya Dani bangun cukup cepat. Dikenakannya pakaian trainingnya kemudian ia

beranjak keluar rumah. Sebelum menuruni tangga, sempat ia menghentikan langkahnya di depan kamar

Miki. Lampu kamar itu masih hidup dan tidak ada suara apa-apa dari dalam. Sempat terbesit dalam

pikiran Dani untuk mengetok dan mengajak Miki olahraga pagi seperti yang biasa dilakukannya. Namun

begitu tangannya mengepal di depan pintu kamar Miki, diurungkannya lagi niatnya.

Tiga puluh menit kemudian, Dani telah sampai kembali di rumah dengan nafas terburu-buru.

Sebentar ia lakukan gerakan pendinginan di ruang tengah keluarga yang televisinya sedang dihidupkan

dengan volume tinggi.

“Dan, udah pulang?” tanya Mama dari dalam dapur.

“Udah!” teriak Dani berusaha menandingi suara volume televisi.

“Kok cepat sekali?” tanya Mama sembari mengerjakaan berbagai hal di dapur

“Udah capek Ma.”

“Miki gak di ajak?”

“Gak.”

“Napa Dan?”

“Gak papa Ma, masih tidur dia.”

Tlilit… tlilit… Dani masih melakukan berbagai gerakan ketika telepon yang ada di ruang tamu

berbunyi.

“Dan, ada telepon tuh diangkat!” teriak Mama. Tanpa menjawab apapun Dani beranjak dari

posisinya dan mengangkat telepon.

“Halo, selamat pagi.” jawab Dani.

63 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Halo!! Dani ya?” tanya suara di ujung telepon dengan nada yang ceria.

“Iya. Siapa ya?” tanya Dani sambil mengelap keringatnya yang hampir menetes di sela-sela

telinganya.

“Ni Om Rio, Dan. Apa kabar kamu?”

“Oh, Om Rio. Baik Om, Om apa kabar?”

“Baik juga. Miki gimana?”

“Masih tidur Om.”

“Hm.. masih tidur ya? Tumben, biasanya kalau di Indonesia anak itu cepat bangun, soalnya dia

suka udara pagi di sana katanya, Hohoho...”

“Hehehe..” Dani hanya bisa tertawa garing mendengar penyataan tersebut.

“Oya Dan, udah ajak Miki ke mana aja?”

“Oh… kita jalan-jalan terus kok Om. Malah udah bingung mau kemana lagi sangkin banyaknya

tempat yang udah didatangin.”

“O.. bagus lah kalau Miki senang disana. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu Dan.” Om Rio

berkata dengan nada sok seram. Dani diam saja mendengar pernyataan Om Rio ini. Ekspresi sedikit

bingung terlihat di raut wajahnya.

“Miki itu mengidap syndrom tempat ramai.”

“Hah?”

“Iya, dia gak gitu suka tempat ramai.”

“Masa sih Om?” tanya Dani tidak percaya. Pasalnya kalau tidak salah dari kemaren Dani selalu

mengajak Miki ke tempat-tempat yang ramai.

“Iya,” Om Rio mempertegas. “Kamu masih ingat kan waktu Ibunya Miki meninggal delapan

tahun lalu?”

64 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ha-a.” jawab Dani.

“Nah, Miki yang terpukul dengan kematian Ibunya itu selama di Aussie kerjanya menyendiri

terus, gak banyak temannya.”

“Oya?”

“Iya Belakangan ini aja Miki baru mulai bisa bergaul. Teman-temannya mulai banyak sejak ia

jadi model.”

“Oo...” jawab Dani sambil menganguk-anguk seolah-olah Om Rio bisa melihatnya.

“Makanya kamu jangan heran ya kalau Miki itu hobinya suka gandeng-gandeng orang.”

“Iya Om.” jawab Dani sambil terus menganguk-angguk. Diingatnya peristiwa-peristiwa

kemaren.

“Sekarang kamu udah tahu kan Dan, jadi Om titipin Miki sama kamu selama di sana ya?

Om percaya kok sama kamu. Nah, sekarang tolong kasiin teleponnya sama Papa kamu, Om pengen

bicara.” pinta Om Rio

Setelah memberikan gagang teleponnya pada Papa, Dani hanya terdiam dan duduk di

sofa ruang tengah. Pipinya di tumpukan pada tanggannya yang dikepal, pandangan matanya kosong.

Mama yang di dapur dan Papa yang sedang ayik bertelepon diam saja melihat kelakuan Dani yang aneh.

Mereka mengerti bahwa anak semata wayangnya ini tidak ingin di ajak bicara bila memunculkan

ekspresi yang seperti ini. Akhirnya dengan tekat bulat, Dani beranjak dari sofa tersebut dan langsung

melompat menuju loteng. Di depan kamar Miki, sejenak di hempaskan nafas panjangnya. Pelan-pelan di

julurkannya tangannya yang terkepal.

Tok.. tok… di ketukanya pintu kamar itu secara pelan. Lima belas detik ditunggu, tidak

ada jawaban. Di ketukkannya dua kali dan kali ini lebih keras. Tok…tok… Setelah sepuluh detik

ditunggu, tidak ada jawaban. Untuk yang ketiga kali diketuknya lagi. Tok…tok..tok…!Setelah ditunggu

65 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

beberapa saat, ternyata tetap tidak ada jawaban. Akhirnya kesabaran Dani habis, diketok-ketoknya pintu

itu secara keras. Sepuluh detik ditunggunya, tetap tidak ada jawaban, sunyi. Akhirnya Dani menjadi

benar-benar kwatir, ia pun mengetuk sambil berteriak.

“Miki! Miki! Bukain pintu Miki. Miki! Bukain pintunya.” capai Dani berteriak, namun

ternyata masih tidak ada jawaban juga. Dani menjadi super kwatir, terbesit dalam pikirannya hal yang

mengerikan terjadi pad Miki. Kali ini ia menggedor lebih kuat dan dengan berteriak ia memanggil nama

gadis itu.

“MIKI!” Mama dan Papa yang heran mendengar itu kemudian naik ke atas loteng untuk

melihat hal yang terjadi di sana. Dani menghentikan ketokannya ketika ia bertatapan dengan Ibu dan

Ayah yang datang dengan ekspresi takjub melihat tingkah laku anaknya itu. Tangan Dani masih

mengejang dengan bentuk terkepal di depan pintu kamar Miki. Dan disaat itu juga pintu kamar Miki

tiba-tiba terbuka.

“Ada apa sih?” tanya Miki dengan muka mengantuk. Terlihat di telinganya melekat

earphone yang dari dalamnya keluar suara-suara dentuman berisik. Bahkan sangkin kuatnya, suara

musik yang keluar dari lubang-lubang earphone itu masih bisa di dengar oleh Dani samar-samar. Mama

dan Papa pun sayu-sayup dapat mendengarkan suara musik keras yang mengalun meskipun berdiri jarak

beberapa meter dari mereka. Ke-empatnya terdiam dalam posisinya, saling bertatapan dan bertukar

tatapan dan melempar tatapan.



Chapter 6. Sorry

Tap.. tap.. tap.. terdengar langah Dani menuruni anak tangga dengan perlahan. Minggu

yang indah, pikirnya. Hari ini dia bangun telat. Jam telah menunujukkan pukul 11 pagi. Dani

66 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

melangkahkan kakinya keluar rumah menuju teras. Dilihatnya Mama sedang sibuk mengurusi

tananaman di pekarangan rumah yang sempit.

“Pagi Ma!” seru Dani.

“Siang Dani.” ledek Mama.

“Ehehehe… udah siang ya Ma? Mama sih gak bangunin aku.” Dani berdalih sambil menggaruk-

garukkan kepalanya.

Mama mendengus melihat kelakuan anaknya yang satu ini. “Habisnya kamu nyenyak banget

tidurnya Dan. Mama tadinya pengen bangunin kamu, tapi kamu tidurnya kayak gitu, ya…. Mama biarin

aja.”

Whoa.. Dani malah menanggapi perkataan Mama nya dengan menguap. “Iya Mama, aku banyak

kegiatan jadinya kecapean.” lanjutnya.

“Ya sudah, mandi sana! Cari kegitaan gih sekarang.” perintah Mama.

“He-e.” jawab Dani, lalu ia melangkahkan kakinya memasuki rumah.

“Oya Dani,” panggil Mama sebelum Dani menarik daun pintu. “.. tadi teman kamu nelpon.”

“Siapa?”

“Katanya namanya Friska, terus Mama bilang supaya nelpon kamu lagi nanti.”

“Hm.. biar Dani telpon aja ntar.” Dani memutar posisi badannya. Namun sebelum berhasil

menarik pintu, ternyata ada seseorang yang mendorong dari dalam rumah.

BRAAAKK!

“Owch!”

“Ups.” sebuah suara kecil menyambut di balik pintu. “Are you OK?” tanyanya.

“Miki?” Dani berkata hampir berteriak. ”Mau kemana?” lanjutnya sambil berusaha

berdiri.

67 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Gak apa-apa kan Dan?” tanya Miki sambil meraih lengan Dani dengan satu tangannya.

Ia berusaha membantu Dani bangkit.

“Iya, aku gak apa-apa. Kamu mau kemana?” tanya Dani setelah benar-benar bangkit berdiri.

Ditepuk-tepuknya tapak tangannya yang kotor.

“Em.. pergi.” jawab Miki.

“Kemana?”

“Nonton.”

“Sama siapa?”

“Andre.”

“Terus?”

“Terus apa Dan? Kok kamu nanyaknya kayak introgasi gitu. Aku cuma pergi berdua dengan

Andre!” keluh Miki dengan mimik kesal.

“Ya cuma ditanyain gitu doang kamu udah gak senang.” Dani ikut-ikutan menjadi kesal.

“Of course I do!” kali ini ekspresi Miki benar-benar kesal. Ia melipatkan kedua tangannya di

depan dada.

“Boleh ikut?” tanya Dani lagi.

“Gak!” jawab Miki dengan tegas sambil berlalu begitu saja. Tampaknya Miki tidak sadar

keberadaan Mama di halaman samping rumah.

Dani terus memandangi punggung Miki sampai gadis itu berlalu dengan sebuah mobil sedan

hitam. Tampaknya Miki masih menyimpan kekesalan pada Dani. Sebenarnya Dani sudah berniat minta

maaf atas perbuatannya kemaren. Akan tetapi, kelakuan Miki barusan malah membuatnya jadi

mengurungkan niat baik itu.


68 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki… hari ini kamu mau nonton film apa?” tanya Andre begitu menyadari Miki sedang

melamun dan menatap keluar jendela.

“Hm..?” tanya Miki yang kurang mendengar perkataan Andre tanpa melihat kepada

Andre.

“Mau nonton film apa?” ulang Andre dengan nada lembut dan penuh perhatian.

Sepertinya ia bisa melihat kesedihan di mata Miki.

“Mm… apa aja.” jawab Miki tidak peduli. Sejurus kemudian ia mulai menoleh ke arah

Andre.

“Kamu… sakit?” tanya Andre sembari terus berkonsentrasi ke jalanan.

“Enggak. I’m very fine.”

“Are you sure?”

“Hm…” jawabnya. Terkesan nadanya ragu.

“Ya udah, gak usah terlalu dipaksain. Kalau gak mau nonton, hari ini kita kerjakan hal-

hal yang fun aja Miki.” bujuk Andre.

“Hm…” jawab Miki dengan senyum lebar yang terpaksa. Setelah itu mereka mereka

hanya terdiam dalam mobil, terhanyut dalam lagu-lagu jazz yang di putar Andre.

“Andre…” panggi Miki beberapa saat kemudian.

“Ya?”

“Wanna know a secret?” tanya Miki dengan pandangan mata berbinar.

“Hah?” Andre terheran melihat ekspresi Miki yang tiba-tiba berubah.

Segera Miki mendekatkan bibirnya untuk membisikkan sesuatu ke telinga Andre.


69 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Selama beberapa hari ini, Dani memang sibuk (menyibukkan) diri dengan kegiatan di

sekolahnya. Ia memang punya alasan. Sebagai calon ketua OSIS yang baru, tentunya ia memiliki

segudang hal yang harus dikerjakan. Ia bahkan hanya sempat menyapa Miki di pagi hari sewaktu

sarapan. Dani biasanya pulang sore ke rumah. Tidak berbeda dengan Dani, Miki juga sedang asyik

dengan kesibukannya sendiri. Ya, dia lagi sibuk ikutan kursus merajut. Semua yang ada di kursus

menyukai tingkah laku Miki yang lucu. Dan kalau Miki sedang malas berada di rumah, ia biasanya

mengajak Andre, namun lebih sering Andre sendiri yang mengajak Miki. Miki sudah merasa cukup

dekat dengan Andre. Mereka sudah cukup sering melakukan aktivitas bersama: jalan-jalan ke mol,

nonton di bioskop, liat pementasan band di jalanan hingga cuma jalan-jalan sore, semua sudah dilalukan

bersama Andre. Sebenanya Dani cukup kesal dengan segala tindak tanduk Andre terhadap sepupunya

itu, namun ia tidak dapat berbuat banyak. Hal ini diperparah keadaan yang membuat komunikasi di

antara Dani dan Miki berkurang. Mereka berdua kerap pulang larut dan keduanya sering tidak makan

malam bersama.

Hari ini pun Dani pulang sekolah dengan wajah manyun. Air mukanya menunjukkan

sepertinya dia mempunyai banyak beban. Mama yang sedang duduk-duduk di rumah menyambut

kedatangan anak semata wayangnya ini dengan gembira.

“Dani... udah pulang?”

“Iya Ma, Dani pulang.” jawab Dani masih dengan raut wajah suntuk. Setelah

mencampakkan tasnya ke atas meja, direbahkannya badannya di sofa, dekat kaki Mama.

“Mama.. gak pergi?”

“Enggak, lagi ingin di rumah saja.”

“Dirumah ada siapa?” tanyanya berharap bisa menjumpai Miki siang itu.

70 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Gak ada siapa-siapa, cuma Bibik.”

“Ooh…” setelah mendengar jawaban itu, Dani memejamkan matanya. Ia berusaha menenangkan

segala pikirannya. Sinar matahari yang terik masuk melalui sela-sela jendela dan menyilaukan

pandangannya. Angannya berputar ke dimensi yang lalu, ke masa lalu.

Siang terik sepuluh tahun yang lalu, aku dan Miki sedang dirumah itu. Tertawa berkejar-kejaran

di atas rerumputan. Pikiran Dani terus menerawang. Senyumnya melebar sejenak membayangkan

kenangan indah dalam hidupnya. Mama masih berada di samping Dani sambil membaca tabloit.

Akhirnya Mama meletakkan tabloit yang sudah dibacanya itu ke samping dan ia memulai pembicaraan

baru dengan Dani.

“Dani, akhir-akhir ini muka kamu kok sering cemberut? Kenapa, ada masalah ya Nak?” tanya

Mama sambil membelai-belai rambut ikal anak semata wayangnya itu

“Enggak kok Ma, mungkin karena kecapean aja. Akhir-akhir ini aku banyak kegiatan di

sekolah, Ma.” Dani menjawab dengan mata yang masih terpejam. Sadar akan sesuatu, Dani kemudian

menggeserkan posisi tubuhnya sehingga ia dapat merebahkan kepalanya di paha Mamanya. Dani

memang cukup sering memanjakan diri pada Mama, terutama kalau sedang dalam masalah.

“Dan, sebenarnya kamu kenapa dengan Miki? Kamu berantam ya? Akhir-akhir ini Mama jarang

sekali lihat kamu jalan bareng sama Miki lagi. Dia sering keluar sama teman kamu itu kan yang

namanya A..A..”

“Andre? Ya baguslah Ma, jadi Miki gak bosen di rumah terus. Lagian aku juga jadi

tenang kok Ma, gak harus ngantarin Miki ke sana ke mari. Lagian Andre juga orangnya bertanggung

jawab Ma.” jawab Dani menanggapi pertanyaan Mamanya.

Mama curiga dengan perkataan Dani tersebut, pasalnya Dani bercerita panjang lebar

sambil memanyunkan bibirnya serta mengerutkan alisnya

71 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Loh, kamu kok ngomong kayak gitu, Dan? Kamu cemburu ya?” ledek Mama

“Enggak kok! Enggak, enggak! Kok mama bisa berpikiran kayak gitu?” tanya Dani, kali

ini dipasangnya sorot mata tajam memandang Mama.

“Kelihatan banget Dan kalau kamu cemburu. Kamu memang orang yang paling gak bisa

menyembunyikan perasaan kamu.”

Mendengar hal itu, Dani hanya bisa diam sambil mangut-mangut sendiri.

“Kalau Mama sih ngerasa Miki sebenarnya pengen jalan-jalannya sama kamu kok, Dan.

Kan selama ini kamu yang paling dekat sama dia. Kamu, jangan menyianyiakan kesempatanmu bersama

dia. Kamu itu udah kayak bagian hidup Miki. Mama yakin Miki sebenarnya pengen banget pergi bareng

kamu. Dani, di sela-sela kesibukanmu, bukan hal yang susah menyisahkan waktu buat Miki Lagian Miki

kan cuma sebulan di sini, Dan.”

Dani tetap membisu mendengar semua pernyataan Mama. Pikirannya berputar dalam

ingatan terhadap gadis kecil itu. Gadis kecil yang menemaninya sejak kecil. Gadis yang memberi

bayangan masa lalu yang indah. Gadis yang selalu memberi kegembiraan padanya.



“Masuk aja.” pinta Dani yang lebih mirip suatu perintah.

Miki yang tiba-tiba saja dihadang pagi itu syok dengan sergapan Dani. Pasalnya sewaktu

lagi berjalan ke teras untuk ngambil sapu guna membantu Mama membersihkan sarang laba-laba di

dapur, tiba-tiba saja Dani membukakan pintu mobil dan memintanya masuk.

“Mau kemana?” tanya Miki bernada manja.

“Kemana aja.” Dani menjawab ketus.

72 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dengan pasrah akhirnya Miki masuk kedalam mobil. Di dalam kendaraan merah tersebut,

keduanya masih diam membisu. Berupaya memecahkan keheningan Dani memasang kaset dalam

mobilnya. Setelah itu, dipasangnya kacamata hitam menggantukan kacamata minus miliknya. Dengan

gaya yakin, semakin kencang diinjakkannya pedal gas. Miki yang sedari tadi bingung dengan kelakuan

Dani hanya bisa memperhatikan sikap Dani dengan pandangan mata aneh. Bibirnya sedikit

dikedepankannya dan sesekali ia mendengus. Sepertinya dia masih kesal dengan segala tingkah laku

Dani yang terdahulu. Jalanan pagi itu begitu ramai. Mobil terus melaju dan mereka masih tetap diam.

Minggu pagi memang waktu yang paling tepat untuk rekonsiliasi, pikir Dani. Tanpa sadar ia tersenyum

sendiri. Miki hanya memandanginya dengan cemberut.

Akhrinya mereka sampai disatu tempat. Miki tertegun sejenak. Ia melangkahkan kakinya

lambat. Ditutupinya sebagian pipinya dengan telapak tangannya. Tempat itu, rumah itu, bangunan itu

semua yang ada di situ bagai memaksanya memutar kembali ingatan masa lalunya. Semua kenangan

indah yang dilaluinya bersama orang-orang yang dicintainya. Terutama Mamanya yang pernah ada

disitu. Tidak sanggup sepatah katapun ia berbicara. Dilangkahkannya kakinya hendak memasuki

ruangan itu. Namun tiba-tiba diurungkannya niatnya, dihentikannya langkahnya sejenak. Ia pun berbalik

kearah Dani dan bertanya,

“Dani, why you bring me to here?”

Menjawab pertanyaannya itu, dibukakan Dani kacamatanya yang selama ini setia melekat

di wajahnya. Dani tertunduk. Dengan penuh keberanian diangkatnya wajahnya,

“Aku.. cuma ingin memperlihatkan betapa pentingnya kamu dalam hidupku.” ujar Dani

tulus. Baru kali ini dia berbicara begitu pada Miki. Walaupun agak mengganjal, namun perasaannya

lebih tenang sekarang.

73 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Setelah mendengar pernyaataan Dani itu, Miki terdiam sejenak dan sejurus kemudian

kembali membalikkan badannya. Ia pun melanjutkan berjalan menuju rumah tua itu.

Rumah itu sudah tua, tidak terawat. Plesternya ada yang sudah terkelupas dan catnya

sudah tidak jelas lagi. Alang-alang mulai tumbuh dibagian dalam rumah itu. Dengan sangat perlahan,

mereka melangkahkannya kakinya kedalam ruangan. Ingatan indah masa lalu serasa memenuhi pikiran

meraka. Saat-saat kebersamaan dengan Dani. Tertawa, bercanda, bermain. Semua ingatan dalam rumah

itu.

“Rumah itu… sebenarnya gak jauh dari taman bermain kita.“ kata Dani sambil

menggoyangkan anyunan yang di duduki Miki.

Miki yang masih memakai pakaian tidur merasa senang bergoyang di atas ayunan

tersebut. Namun pandangannya kosong. Ia hanya melihat ke depan, ke arah jalannan yang jauh.

“Tapi kalau jalan kaki lumayan jauh juga,” akhrinya Miki membuka suara terhadap Dani.

“Mungkin karena kita dulu masih kecil, jadi kalau berlari ke sini gak terasa jauh ya?” lanjutnya

“Hm.. kalau jalan kaki bisa sampai lima belas menit.” ujar Dani

“Iya sampai lima menit kalau pakai kaki manusia. Kalau pakai kaki semut?” canda Miki.

“Ahahaha…” Dani mulai tertawa

“Hehehe…” Miki pun ikut tertawa. Suasana kini mulai menghangat.

“Hahahaha…” tawa Dani semakin keras sebab menyadari Miki kembali tertawa di hadapannya

“Hehehe...” tawa Miki semakin kencang sebab menyadari suasananya yang mulai membaik.

Keduanya pun saling tertawa lepas pagi itu. Suara mereka penuh mendera taman itu. Bagaikan

paduan suara yang diringi musik-musik dari suara perkusi burung-burung serta serangga-serangga darat.

Sementara kupu-kupu menari sebagai latar yang memeriahkan suasana saat itu.

74 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Ki..” panggil Dani lembut ketika tawa mereka telah terhenti.

“Hm..” jawab Miki. Keduanya bertatapan begitu lekap.

“Maaf ya?” pinta Dani tulus.

Miki hanya memandangi Dani, ia terus melihatnya, melihatnya sambil tersenyum. Pagi

itu, penuh kedamaian di hati mereka berdua.



Aku masuk ke flat itu dengan perasaan bahagia. Wajah gadis itu terkenang

terus dalam tiap rupa yang kutemui di jalan. Baru saja aku menjabat tangannya,

kurasakan tangannya yang putih dan lembut. Hampir jantungku berhenti ketika

aku menyentuhnya. Dia… seperti bidadari.

“Kak, gimana kesanmu pada gadis tadi?” tanya Rio padaku. Kulihat Rio

sedang melonggarkan tali dasinya.

“Hm.. cantik.” Aku tidak berkata sebenarnya pada Rio. Seharusnya aku

bilang dia sangat cantik.

“Ahahaha…,” tiba -tiba tawa Rio meledak. “Bahkan kamu yang tidak bisa

membedakan gadis cantik saja bilang kalau Michelle cantik. Ahahaha…”

Aku tersenyum mendengar perkataan Rio. Ia memang selalu pintar mencari

gadis. Tidak dapat kupikiri juga kenyataan bahwa gadis-gadis yang menjadi

kekasihnya selalu cantik. Sementara aku, dari dulu aku hanya memiliki seorang

gadis yang kukenal sejak kecil di desa kampungku.

75 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kak… gadis itu tinggal beberapa blok dari rumah kita lho, Kak.” Kata Rio

lagi sembari merebahkan tubuhnya terlentang di atas tempat tidur.

“Oh…” jawabku. Teringat aku pertemuan dengannya di balkon dua hari lalu.

“Aku naksir dia, Kak,” Kata Rio dan seketika itu juga aku melihat ke arah Rio.

Ia sedang memejamkan matanya. “Akan kudapatkan dia…” katanya lagi seolah

berkata sendiri.

Aku terdiam, tidak tahu harus menanggapi apa dari pernyataannya itu. Tiba-

tiba hatiku sesak. Ku rasakan sesuatu yang sakit dalam hatiku. Mungkinkah aku

patah hati hanya sebentar setelah aku jatuh cinta? Gadis itu, gadis berambut

pirang keemasan, telah membuat hatiku tidak karuan dengan hebatnya. Belum

pernah aku alami seperti ini. Apakah kekuatan cinta sedahsyat ini?



76 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Chapter 7. Babak Belur

Sudah cukup lama Miki melewati liburannya bersama Dani. Tiap hari rasanya dilewati dengan

perasaan bahagia. Setiap hari bangun dengan perasaan senang, seolah ada hal yang baru yang menanti.

Padahal hari yang dilalui mereka berdua tidak terlalu istimewa. Hanya mondar-mandir keliling Jakarta.

Kerjaan yang dilakukan mereka berdua juga sama. Hanya berjalan, membeli sesuatu untuk oleh-oleh

dan bila ketemu es krim akan langsung membelinya. Kadang mereka sering hanya duduk berdua di satu

tempat sambil mendengarkan alunan music yang berasal dari I-pod milik Miki. Mama sempat kwatir

begitu mengetahui bahwa Dani keseringan membelikan es krim pada Miki. Awalnya Dani sempat

menolak untuk sering-sering membelikan es-krim lagi pada Miki. Namun pada dasarnya Miki memang

sangat menyukai es krim. Ia tidak akan berhenti merengek bila tidak di belikan es-krim, padahal ia sadar

tenggorokannya sudah meradang. Namun Miki tetap tidak peduli dan merahasiakannya pada seisi

rumah. Beberapa hari saja radangnya sembuh sendiri. Dan tidak ada yang tahu kalau selama di Jakarta,

Miki sempat sakit radang tenggorokan.

Tiga minggu telah dilewati Miki dengan riang. Rasanya sudah seperti kegiatan wajib bagi Dani

tiap hari sepulang sekolah mendapati Miki sedang di rumah menyambut Dani. Tiap sore mereka akan

jalan di sekitar rumah bila sedang bosan berjalan jauh. Kadang-kadang mereka terigat masa lalu

kemudian bercerita tentang masa itu. Tiap hari Senin, Dani akan mengajak Miki menonton. Terkadang

barsama dengan teman-temannya sehingga sudah hampir semua teman dekat Dani kenal dengan Miki,

baik karena di kenalkan langsung atau hanya kesemprot ceritanya saja. Karena sifat Miki yang terbuka,

77 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

teman-teman Dani jadi gampang bergaul dengan Miki. Batin Dani semakin dekat pada Miki. Rasanya ia

tidak rela bila gadis ini beranjak dari rumahnya kelak.

Lima hari lagi adalah hari kepulangan Miki ke Australia. Dani bertekat untuk menjadikan hari-

hari terakhir Miki di Indonesia menjadi hari terbaik baginya. Jadi, hari ini Dani buru-buru pulang ke

rumah agar bisa segera menjumpai Miki. Hari ini Dani hanya mengajak Miki berjalan-jalan di sekitar

kompleks rumahnya sebab keduanya sudah jenuh berjalan jauh. Siang itu Dani memakai setelan yang

terkesan sporty. Meskipun hanya kaus oblong dengan design garis-garis, celana jins hitam, sepatu kets

plus topi dengan symbol check list di kepalanya, dia tampak begitu keren. Mungkin kesan dari kacamata

hitam Dani selalu menjadi nilai plus bagi penampilan Dani. Sejenak Miki terdiam memperhatikan Dani.

Sebenarnya gadis ini bukan tipe orang yang suka memperhatikan penampilan orang, namun tampaknya

ia cukup memperhatikan Dani.

“Huah… Panas sekali ya?” Miki berkata sambil mengipas-ngipaskan dirinya dengan jari-jari

tangannya.

“Habisnya kamu juga ngapain pakai setelan seperti itu siang bolong gini, Ki?” Dani menanggapi

sambil mentap ke Miki yang berjalan di sebelahnya. Pakaian Miki memang bisa di bilang cukup aneh. Ia

kemaren baru saja diberikan Mama sweater hitam berbulu sebagai oleh-oleh untuk di bawa ke Australia.

Tentu ia merasa senang dengan pakaian itu. Sangkin senangnya ia ingin cepat-cepat memakainya.

Namun sungguh tidak tepat bila ia memakai pakaian itu di siang bolong yang panas di negara tropis.

Sejenak Miki memandangi pakaiannya.

“Habisnya Miki gak nyangka bakal sepanas ini kalau makai baju ini,” ujarnya. “Um… aku punya

ide!” teriaknya spontan.

“Apa?” tanya Dani santai masih dengan stylenya memasukkan tangannya ke dalam kantong

jinsnya.

78 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kita beli ice-cream!” teriak Miki sambil mengacungkan sebelah tangannya.

“Hah? Lagi?”

“Iya.” pinta Miki.

Sebenanrya Dani ingin menolak permintaan Miki saat itu juga, hanya saja ia tidak rela

mengecewakan gadis itu. Dani akhirnya menyerah setelah bergelut sendiri dalam hati. Setelah berjalan

beberapa blok, mereka akhirnya sampai di sebuah swalayan yang berada di sekitar situ.

“Bisa dibantu, Mbak?” tanya seorang pelayan yang sedari tadi berdiri dalam posisisnya

menunggu pelanggan.

“Ice cream-nya, Mbak.” jawab Miki. Matanya mengintip-intip ke dalam etalase, setelah itu

dibalikkannya kepalanya agar dapat menghadap Dani. Saat itu Dani sedang berdiri di samping Miki

sambil menerawangkan matanya ke dalam swalayan.

“Dani mau?” tanyanya. Dani menjawab pertanyaan Miki tersebut hanya dengan sebuah angukan

kecil.

“Dua ya, Mbak?” pinta Miki sambil membuat huruf V di kedua jari kanannya. “Rasa Coklat dan

Vanilla.”

Miki sedang asyik memperhatikan pelayan yang sedang menggaruk-garuk es krim tersebut

ketika tiba-tiba ponsel Dani berbunyi. Tertulis di layar ponselnya nama ‘Chika’. Dani berjalan terburu-

buru keluar swalayan tersebut. Ia hendak menjawab panggilan Friska, namun ia tahu bahwa lagu dari

speakerphone yang ada di swalayan tersebut akan menggangu pembicaraannya. Akhirnya Dani beranjak

beberapa meter dari swalayan tersebut. Miki yang masih asyik memperhatikan es krim yang sedang di

corongkan tersebut, tidak menyadari bahwa Dani telah beranjak dari sisinya.

“Halo Chika.” jawab Dani ketika dirasanya posisinya sudah mantap untuk menerima telepon.

79 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hei Dan. Gue mau tanya neh bahan buat kampanye lo.” kata Friska terdengar dengan nada

terburu-buru.

“Oh… kalau sterioformnya udah di belik ama Joe. Ada di simpan ama dia.”

“Bukan, tapi kertas warnanya yang lain buat hiasan di mading…”

Selagi Dani asyik membicarakan perihal kampaye ketua OSIS-nya dengan Friska, Dani tidak

sadar bahwa Miki sedang mencari-cari dia. Miki berjalan berlawanan arah dengan posisi Dani yang

membelakangi swalayan tersbut. Kedua tangan Miki penuh dengan es krim berwarna coklat kehitaman

dan putih. Miki malah berjalan dan berjalan semakin menjauh dari Dani.

“Oke.. oke.. udah mantep kok, Dan.”

“Iya. Thanks ya, Chik.” ucap Dani mengakhiri pembicaraanya. Segera ditutupnya flip ponselnya

kemudian ia berjalan masuk kembali ke dalam swalayan tersebut. Ia akhirnya tersadar sesuatu, Miki gak

ada! Ia hilang! Lagi! Dani berusaha tenang. Ia kemudian mendatangi Mbak Pelayan yang berdiri di

depan stand es-krim tersebut.

“Mbak, tadi cewek yang pakai baju hitam, yang beli es krimnya, kemana ya Mbak?”

“Oh… udah pergi Mas. Ke sana tadi arahnya.” jawab Mbak tersebut sambil menunjukkan arah

yang berlawanan.

“Iya iya, makasih ya Mbak.” jawab Dani terburu-buru. Ia kemudian berlari cepat dan sekencang

mungkin. Dicari-carinya cewek yang sedang memakai baju hitam dengan nafas terengah-engah.

Beberapa meter dari situ, Miki sedang berjalan sambil mencari-cari Dani. Karena hari itu

memang sangat panas sehingga menyebabkan es krim dalam genggaman Miki meleleh dengan cepat.

Miki yang takut lelehan es krim itu menetes ketangannya segera menjilati kedua es krim yang ada di

tangannya tersebut. Wajahnya terlihat cukup belepotan. Tanpa terasa, es krim yang ada di salah satu sisi

tangannya telah habis di makannya. Miki juga telah cukup lelah berjalan. Ia akhirnya berpikir untuk

80 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

mencari alternatif menghubungi Dani. Namun saat itu juga ia tersadar bahwa ia belum menyimpan

nomor Dani dalam phonebook ponselnya. Akhrinya Miki memutuskan untuk duduk di satu taman di

tempat itu. Taman itu kecil, tapi ada banyak tempat duduk dan ada beberapa ayunan di sana. Sayangnya

ia tidak sendiri, banyak orang yang juga sedang bersantai di tempat itu. Orang-orang itu memandangi

Miki dengan pandangan mata tak berkedip. Perasaan Miki menjadi ciut seketika. Dirasanya tempat itu

berputar. Seolah-olah semua orang sedang berusaha menerkamnya. Miki jadi panik. Namun di tengah

perasaan galaunya itu, ia berusaha menenangkan dirinya sendiri seperti yang telah sering dilakukannya

bila ia tiba-tiba menjadi tidak tenang dalam keramaian. Dibukanya ponselnya dan dicarinya contact

name yang ada di dalam. Ketika telah menemukan satu nama, dengan ligat di tekannya tombol hijau.

Dani masih berlari dan berlari dengan kencang. Beberapa pasang mata melihat dia dengan

pandangan heran. Mungkin orang-orang itu merasa aneh bila disiang bolong begini ada saja orang yang

sedang berolahraga lari. Namun Dani tidak peduli, ia terus berlari sambil matanya mencari-cari. Miki

tidak mungkin pergi jauh dari sini, pikirnya. Akhirnya badan Dani capai juga. Ia berhenti sebentar.

Ditepanya tangannya di lutut kemudian di helanya nafas capainya. Dimana dia? tanyanya dalam hati.

“Halo Miki.” Jawab Andre heran ketika sedang dalam perjalanan pulangnya di dalam mobil, ia

mendapat layar ponselnya berbunyi yang menunjukkan bahwa pemilik nama ‘Miki’ sedang melakukan

panggilan masuk.

“Iya Andre, it’s me, Miki.” jawab Miki begitu panggilannya tersambung.

“What happen?” tanya Andrew begitu mendengar nada cemas Miki.

“Miki hilang.”

“Hah? Lagi?”

81 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“He-e. Miki gak tahu ini dimana.” adu Miki sambil memanyunkan bibirnya. Dipandangnya

orang-orang sekitarnya yang pada saat itu masih tetap memandangi dirinya.

“Dani mana?” tanya Andre.

“Gak tahu. Dia menghilang.” jawab Miki.

Samar-samar dari jauh terlihat oleh Miki seorang pria yang berlari dengan nafas tersengal-

sengal. Miki menyipitkan matanya agar dapat melihat lebih fokus lagi. Ya, ternyata itu dia, ucap Miki

dalam hatinya.

“Andre, itu dia Dani!” teriak Miki memotong Andre yang sedang bertanya panjang lebar di

telepon. “Iya, itu Dani. I’ll call you later.” kata Miki sambil buru-buru menutup ponselnya. Dengan

segera ia berlari ke arah Dani.

“Dani!” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan ke arah Dani. Bertolak belakang dengan

Miki, reaksi Dani begitu melihat Miki, ia langsung menunjukkan raut mata tidak senang. Ketika Miki

telah berada cukup dekat dengan Dani, ia pun beteriak dengan riang.

“Dani, I’ve ate your ice cream. Hehehe…”

Dani tidak beraksi apa pun pada perkataan Miki. Ia hanya memandang gadis itu dengan

pandangan agak kesal. Sebenarnya ia begitu kwatir akan kebaradaan Miki tadi. Dani kemudian berjalan

tanpa mengacuhkan Miki berbicara. Miki yang menyadari hal ini langsung memajang muka cemberut.

Ia berjalan cepat mengikuti langkah Dani. Miki hanya mengikuti langkah Dani entah kenapa pun pria ini

berjalan. Matahari masih tepat berada di atas ketika mereka berdua berjalan beriringan dalam bisu.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua telah sampai di gerbang rumah yang bercorak kayu, rumah

Dani. Dani hendak membukakan gerbang untuk mempersilahkan Miki masuk ketika tiba-tiba ponselnya

berbunyi pertanda sebuah pesan masuk.

Pip.. Dani menekan sebuah tombol di ponselnya untuk melihat si pesan.

82 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

From: Andrea Haris

Dan, jaga donk sepupu lo baik2.

Jangan sampai hilang-hilang.

Baru tau rasa lo kalau ilang beneran.

Seketika itu Dani terkejut dan memanggil pada Miki.

“Miki….!”

“Ya?” jawab Miki yang sedang berdiri di tengah-tengah gerbang rumah.

“Kamu ngubungin Andre?”

“Oh, iya.”

“Kenapa?” tanya Dani dengan nada meninggi. Emosinya tampak memuncak akumulasi dari

segala kekesalan dan kekwatirannya tadi.

“Aa?” Miki terheran melihat raut wajah Dani yang dirasanya berlebihan.

“Kenapa kamu hubungin Andre?”

“A… habisnya Miki gak tahu mau hubungin sapa.” jawabnya polos.

“Kenapa harus Andre? Kenapa gak ngubungin aku aja?”

“Aku... gak tahu nomormu, Dani.” jawab Miki dengan wajah memelas.

“Tapi kenapa kamu harus ngubungin Andre?”

83 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki tahu nomor Andre.”

“Kenapa gak hubungin Mama atau Papa aja?” tanya Dani terus menerus dengan nada

membentak.

Mendapatkan bentakan bekali-kali yang baru pertama kali bagi Miki membuatnya cukup syok.

Dia pun mendengus, semakin cemberut dan menatap Dani dengan tatapan sebal. Dani terdiam

mendapati ekspresi Miki. Akhirnya ia tersadar bahwa dirinya terlalu berlebihan. Selama beberapa lama

mereka berdua hanya mematung di tengah-tengah pagar.

“Miki…” panggil Dani lagi. Kali ini dengan lembut sambil menarik kedua tangan Miki. Namun

sepertinya sudah terlambat, perkataan Dani sudah menancap masuk dalam hati Miki. Ditepiskannya

tangan Dani dan ia berjalan dengan menghentakkan kaki ke dalam rumah.

“Miki…!” panggil Dani lagi sambil terus memandangi punggung Miki. Sebelum Miki benar-

benar menutup pintu depan, ia sempat berteriak,

“I don’t wan’t to speak with you! Don’t speak with me!”

GEBRAK! Dan pintu depan rumah dibantingnya dengan sekuat tenaga. Dengan segera Miki

berlari ke dalam kamarnya sementara Dani masih memantung dalam posisinya. Bik Inem yang sedang

bersih-bersih di ruang tamu ternyata sedari tadi mendengar pembicaraan keduanya. Ia pun hanya

menggeleng-geleng sambil melihat bergantian ke arah loteng dan gerbang.

Malam itu untuk kedua kalinya Miki menangis di rumah itu. Ia membenamkan wajahnya ke

dalam bantal untuk merendam suara tangisnya. Ia menangis sejadi-jadinya. Setelah capai menangis ia

pun tertidur dengan terceguk-ceguk.

Dikamar lain malam itu ternyata Dani juga tidak bisa tidur. Matanya menatap ke langit-langit.

Begitu menyesal ia akan perbuatannya hari ini. Awalnya ia berencana untuk menyenangkan hati Miki,

84 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

namun sebaliknya ia malah membuat Miki menjadi sedih. Di putar-putarkannya badannya agar

mendapat posisi nyaman untuk tidur. Malam cepat berlalu dan hari baru datang untuk mereka berdua.



Hari ini keadaan di rumah Dani sama seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti pagi sebelumnya

juga, pagi ini Dani berangkat ke sekolah sementara Miki di tinggal di rumah. Dani telah siap dengan

pakaian seragamnya ketika hendak menuruni tangga. Namun sejenak Dani menghentikan langkahnya di

depan kamar Miki yang memang letaknya dekat dengan tangga rumah. Aneh, pikir Dani. Pagi itu tidak

seperti biasanya, lampu kamar Miki mati. Biasanya Miki tidak pernah mematikan lampu kamarnya.

Dani tahu kebiasaan Miki. Miki takut kegelapan, dari kecil sampai sekarang. Sebenarnya Dani hendak

mengecek keadaan di kamar Miki, namun di urungkannya niatnya begitu melihat jam yang sudah

hampir menunjukkan pukul delapan.

“Ma… Dani pergi dulu ya Ma!” teriak Dani sembari mengikat tali sepatunya.

“Iya… hati-hati ya, Nak.” balas Mama dari dalam rumah.

Dengan terburu-buru Dani berlari menyusuri jalan di kompleks tersebut. Sekolah Dani berjarak

hanya beberapa blok dari rumahnya. Keadaan itu membuatnya selalu ingin berlama-lama berangkat

sekolah, sebab ia tidak perlu naik kendaraan umum atau kendaraan pribadi seperti kebayakan temannya

yang lain. Dani hendak mencapai gerbang sekolah ketika samar-samar dilihatnya dua sosok orang yang

tidak asing lagi baginya. Sempat ia berniat untuk menghampiri ke dua orang lelaki dan wanita yang

sedang mengobrol di halaman samping sekolahnya itu, namun akhirna ditepiskannya niat tersebut

mengingat waktu yang terus memburu.

85 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Oh selamat juga, pikir Dani ketika di detik terakhir lonceng sekolah berbunyi, ia berhasil

mencapai pagar.

“Selamat pagi calon ketua OSIS!” teriak beberapa gadis berseragam dari dalam gedung sekolah.

“Heh, ketua OSIS! Lo baru mau kepilih aja udah coba-coba telat.” ceramah Friska dari antara

para rombongan tersebut.

“Iya… Maap ketua kelas.” ucap Dani memelas sambil berjalan menuju ruang kelas. “Hm.. udah

selesai tugas Chik?” tanya Dani ketika ia dan Friska berjalan beriring berduaan ke kelas. Barusan Friska

terpisah dengan rombongan temannya yang berbeda kelas dengannya.

“Udah donk! Gue gak pernah ketinggalan ngerjain PR lagi kok, Dan. Gue udah mandiri neh.”

kata Friska dengan alis yang dinaik-naikkan.

“Eh,” tiba-tiba Dani menghentikan langkahnya. Pandangan matanya menerawang, menatap jauh.

“Hah?” Friska jadi ikut-ikutan melihat ke arah yang dipandang Dani. Disadarinya ada sesuatu

yang ganjil. “Itu.. itu kan…”

“Miki!” teriak Dani ketika ia yakin bahwa gadis yang berbicara dengan seorang pria di halaman

sekolah itu adalah sepupunya. Dani masih berjalan pelan ke arah gadis tersebut sebab belum begitu

yakin dengan penglihatannya. Semakin lama semakin diperhatikannya maka semakin yakinlah ia. Tiba-

tiba gadis itu menjatuhkan tetesan air dari matanya. Ia menangis! Iya, itu Miki! Dani semakin yakin.

Miki menangis dan yang membuatnya menangis adalah seorang pria yang sedang berdiri di depannya. Ia

membelakagi Dani dan ketika ia berbalik Dani dapat melihat wajahnya. Dan dia adalah… Andre!

“Miki!!!” teriak Dani semakin kencang sambil berlari menuju ke arah kedua orang tersebut.

Namun di belokan tiba-tiba saja ia dihadang oleh Pak Darius, guru Biologi yang mengajar di

kelas Dani pagi itu.

86 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Mau kemana Daniel?” Tanya Pak Darius yang berdiri tepat di depan Dani. Dani tidak dapat

bertindak apa-apa lagi selain hanya dapat melihat Miki dan Andre dari balik bahu Pak Darius.

Sementara itu, Friska yang sedari tadi melihat apa yang terjadi hanya mematung melihat sikap Dani

yang tidak biasa tersebut.

Selama jam pelajaran sekolah berlangsung, Dani tidak bisa berkonsentrasi mengingat kejadian

yang tadi. Dani terus menghayal-hayalkan apa yang barusan terjadi. Berbagai pertanyaan berkecamuk

dalam benaknya. Benarkah itu Miki? Apa yang di lakukan Andre terhadapnya? Kenapa ia bisa

menangis? Mengapa mereka disana? Apa? Kenapa? Mengapa?

Friska yang duduk tepat dua bangku di belakang Dani terus memandang dengan pandangan

kwatir ke arah sobatnya yang satu ini.

KRING... KRING… akhirnya bel sekolah pertanda istirahat pertama berbunyi juga. Bel yang

sedari tadi tidak sabar ditunggu Dani. Sangkin buru-burunya mau pergi, Dani tidak merasa perlu

menyusun bukunya dulu sebelum keluar dari ruangan kelas tersebut. Begitu bel berbunyi, ia langsung

bangkit dan pergi dengan tujuan menjumpai Andre. Dengan langkah kaki berat dan dada yang

membusung, Dani berjalan mengitari sekolah. Dicari-carinya sosok Andre keseluruh ruangan di kelas.

Ke ruang kelasnya, tidak ada. Kekantor guru, tidak ada. Di lapangan, tidak ada juga. Dani menjadi

semakin tidak sabar. Dengan langkah cepat, Dani melangkahkan kakinya ke kantin. Kali ini tebakannya

tepat. Ya, disitu dilihatnya sesosok pria jangkung dengan rambut lurus hitam dan wajah maskulinnya.

Wajah yang paling dibencinya belakangan ini. Seketika itu juga disampirinya cowok itu. Ditepuk Dani

bahunya dari belakang dan spontan ia berkata,

“Andre, elu jangan macem-macem ama sepupu gue ya!” Andre yang menyadari keganjilan dari

perkataan Dani langsung bereaksi. Ia bangkit berdiri sambil menepis tangan Dani di bahunya.

87 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Macem-macem apa maksud lo? Lo yang jangan cari gara-gara!”

“Eh dengar ya, Miki itu sepupu gue! Lu jangan seenaknya buat nangis sepupu gue!” teriak Dani

dengan emosi sambil jarinya menunjuk nujuk ke wajah Andre.

“Maksud lo apa seh?” tanya Andre tidak mengerti. Dani yang emosinya sudah meluap tidak lagi

memakai akal sehatnya dalam tindakannya.

“Gue tekankan sekali lagi, MIKI SEPUPU GUE! Jangan sembarangan lo memperlakuin sepupu

gue.” Dani berucap sambil menghembuskan nafasnya yang tidak beraturan lagi.

“So what? Emang dia nganggap lo sepupu? Lo yang selama ini nelantarin dia, tau gak lo!”

Andre yang tidak mengerti pangkal permasahan melakukan pembelaan.

“Eh kampret lo! Jaga mulut lo!” teriak Dani lagi, kali ini emosinya benar-benar memuncak,

didorongnya Andre sampai pria itu mundur beberapa langkah.

“Lu yang jaga mulut!” Andre ikutan berteriak dan mendorong Dani sampai jatuh. Tidak dapat

dikuasainya lagi emosinya, Dani buru-buru bangkit lalu berjalan cepat ke arah Andre dan meninjunya

dengan kepalan tangan tepat di ulu hati.

Gebrak… Gedebuk... Gubrak... puluhan tinjuan dan tendangan mendarat begitu saja

disekujur tubuh Andre dan Dani. Pertempuran mereka yang sengit dan imbang membuat isi kantin

semakin ribut bersorak-sorai. Pukulan-pukulan diantara keduanya diiringin maki-makian ala hewan

kebun binatang. Masing-masing berdarah dan terluka namun masing-masing juga tidak ada yang mau

mengalah. Joe dan beberapa anak lain yang melihat pertempuran seru itu berusaha meleraikan keduanya,

namun terkadang juga ikut menjadi korban pukulan dan tendangan.

“Eh, bajingan lo!” maki Andre sambil terus mengepalkan tinjunya di atas angin. Tidak dapat di

jangkaunya Dani karena didorong oleh teman lainnya yang berusaha memisahkan mereka berdua.

88 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Lu yang bajingan!” seru Dani balik sambil melakukan hal serupa.

Keduanya pun berakhir di kantor guru.



“Agrh… ahduh sakiit…” Dani memelas sewaktu Friska mengkompres lukanya dengan batu es.

“Tahan donk! Makanya jangan asal berantam membabi buta gitu.” Friska mulai menasehati ala

ibu-ibu.

“Iya Dan, habisnya loe pake acara main pukul aja.” timpal Joe. Mereka hanya bertiga di ruangan

kelas sore itu. Seisi peghuni sekolah telah pergi dan hanya tinggal para penjaga sekolah yang memang

menginap di tempat itu setiap hari. Matahari senja begitu terik, sangat berlawanan dengan suasana hati

Dani yang sedang kacau.

“Loe bisa pulang sendiri gak dengan kondisi kayak gini.” tanya Joe.

“Em... bisha si thapi gue kwatir ama Bokap Nyokap guweh.” Dani berusaha berbicara dengan

bibirnya yang membengkak.

“Ya udah, gini aja kita berdua ngantarin lo pakai alasan kalau lo tadi ketabrak apa gitu.” usul

Friska.

“Emang bisa ketabrak pakek apa Fris sampai bonyok gitu?” tanya Joe meledek Friska

“Ckk.. apa aja kek, ditabrak kreta kuda kek. Kreatif donk lu!” balas Friska tidak mau kalah.

“Heeh..heh..he..” Dani ingin tertawa melihat kelakuan lucu dua sahabatnya ini, hanya saja

tawanya lebih mirip erangan.

“Jadi lo di scors berapa hari Dan?” tanya Friska sambil terus mengompres bengkak-bengkak di

sekujur tubuh Dani.

89 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kashanya seminggu.” jawab Dani setengah cemberut.

“Gak papa nih, Dan? Urusan ketua OSIS loe gimana?” tanya Joe penuh prihatin.

“Au ah! Guweh jadi malas.” jawab Dani semakin cemberut.

“Ih gimana sih lo, gak konsisten banget!” Friska yang kesal dengan kelakuan sobatnya satu ini

tidak sadar ketika menekan es begitu kencang.

“Auch, phelan-pelan duong, Chik.” pinta Dani sambil mengelus-elus lukanya.

“Eh, sori.”

“…”

“…”

“…”

Ketiganya tiba-tiba hening sambil menatap mentari yang semakin terbenam. Warna langit yang

berpadu antara kuning dan merah membuat mereka tertegun menikmati suasana itu.

“Huff.. udah makin gelap aja nih,” Joe mulai membuka pembicaraan. “Pulang yuk?”

“Yuk.” jawab Friska.

“Kemana neh?” tanya Dani.

“Ya ngantar elu lah begok!” bentak Joe sambil melirik sinis ke arah Dani.

Mereka kemudian berjalan beriringan. Melihat Dani yang jalannnya agak terpincang, Friska

langsung melilitkan tangannya ke lengan Dani guna membantunya berjalan.

“Bisa jalan gak?” tanya Friska.

“Iya.”

Mereka pun berjalan dalam kebisuan, masih menikmati situasi itu.

Dalam kebisuan Dani berucap tulus “Makasih ya sobatku?'


90 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sesampai di rumah, Mama histeris melihat kondisi Dani. Papa hanya geleng-geleng

kepala maklum. Papa yang berjiwa bebas masih mewajari kelakuan anaknya ini. Maklum emosi remaja,

katanya. Hanya Mama saja yang histeris melihat Dani. Joe dan Friska harus berulang kali menceritakan

kronologis kejadian karangan mereka agar Mama bisa tenang. Tapi tak sekalipun nama Miki (yang

merupakan biang keroknya) disebut-sebut dalam berita acara tersebut. Mama merekomendasikan Dani

dibawa ke rumah sakit. Tapi Dani bertekak tidak ingin ke rumah sakit. Ia berdalih bahwa yang di

dapatinya ini hanya luka biasa. Padahal kenyataannya memar dan bengkak di sekujur tubuh Dani

memang cukup parah. Akhirnya mereka setuju mengambil alternatif dengan memanggil dokter kenalan

Papa ke rumah. Setelah Mama tenang, Joe dan Friska berpamitan pulang.

Suasana di rumah sudah menjadi tenang ketika dokter kenalan Papa tersebut selesai memeriksa

Dani. Kata dokter itu, Dani menderita memar akibat benturan biasa, namun tetap saja Dani harus

istirahat. Sewaktu sedang tidur-tiduran di kamar, tiba-tiba pikiran Dani menuju pada satu sosok, Miki.

Memang sudah ditunggu-tunggunya sedari tadi, namun Miki tetap tidak muncul juga. Sudah jam

setengah tujuh malam. Ah tunggu sebentar lagi, pikirnya, soalnya Miki juga pernah kelamaan pulang

hingga jam delapan malam. Namun setelah di tunggu lima menit, sepuluh menit, lima belas menit

setengah jam dan satu jam, Miki belum muncul juga. Dani menjadi kwatir setengah mati. Dengan sekuat

tenaga ia bangkit dari tempat tidur, dipanggilnya Mama dan Papa. Ia lalu menelpon kedua orang

sobatnya, Joe dan Friska, yang tidak berapa selang waktu kemudian sudah tiba kembali di rumah Dani.

“Miki dimana?” tanya Dani.

Miki hilang! Benar-benar hilang!!!

Mama sewot, Papa juga, Dani apalagi. Joe dan Friska jadi ikut-ikutan.

Mereka kemudian menelpon polisi.

91 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba



Chapter 8. Hilangnya Miki

“Miki dimana? Dimana? Menghilang dimana?” kata-kata itu terus terucap dan terngiang dalam

hati Dani. Semua nomor telepon teman-teman yang mengenal Miki telah dihubunginya.

Joe dan Friska yang sedari tadi berada di rumah Dani ikut-ikutan heboh. Dani yang paling sibuk

memencet nomor telepon teman-teman ataupun berdiskusi sendiri memikirkan dimana kemungkinan

perginya Miki. Tentu saja mereka sangat gempar, pasalnya Miki sama sekali gak tahu jalanan di Jakarta,

nyasar beberapa blok saja mungkin bisa tersesat apalagi jalan jauh. Tentu saja kemungkinan ia diculik

cukup besar. Ia kan bukan warga negara Indonesia. Maksudnya walaupun ia bukan WNI, tetapi dari

bentuk fisiknya ia kelihatan sekali pasti bukan WNI. Jangankan jalan sendiri, jalan berdua aja dengan

Dani berpasang-pasang mata pasti melihat atau memandanginya. Camkan, bukan melirik!

Berbagai bayangan aneh mulai berputar lagi dalam pikiran Dani. Tangannya mulai dingin, ia tak

bisa menghentikan langkahnya mondar-mandir ruang tamu sekitar meja telepon yang letaknya tak jauh

dibawah tangga. Mama mulai memunculkan batang hidungnya karena gelisah mendengar suara langkah

Dani yang sudah sedari tadi mondar-mandir ruang tamu. Mama menjadi lebih kwatir lagi setelah melihat

ekspresi super cemas dari anak sematawayangnya ini.

Di lain tempat, Andre menghembuskan nafas capainya setelah ngos-ngosan berlari kesana

kemari. Barusan ia dari arah taman komplek, tapi hanya mendapat kecewa setelah melihat hanya

92 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

beberapa pasangan sedang berkencan untuk melunasi jadwal apel malam minggu nya di sana. Ia

kemudian membalikkan badan dan berlari ke arah sekolah meskipun jarak dari taman tersebut ke

sekolah cukup jauh. Namun mengingat hari telah petang, maka akan menghabiskan waktu bila harus

menunggu bus menuju sekolah yang jarang sekali datang. Kalaupun ada, bus tersebut akan melalui

jalan yang berkelok-kelok yang akan menghabiskan banyak waktu juga. Jadi dengan segala tekat dan

keberanian yang dimilikinya, Andre memutuskan untuk berlari menuju sekolah dan menyusuri ruangan

sekolah sendirian. Jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Pak Kanto, satpam sekolah, sudah pulang

dari tadi dengan meninggalkan pintu gerbang sekolah yang tertutup. Hanya si Suko, si penjaga malam,

yang biasanya ada disekolah jam segini. Agak susah dan membutuhkan waktu lama untuk memanggil

Pak Suko, jadi Andre memutuskan untuk mamanjat guna menerobos pagar. Setelah berhasil melompat,

ia tidak membuang-buang waktu berlari menyusuri seantaro sekolah. Walaupun sebenarnya ada rasa

takut dalam dirinya teringat akan gosip-gosip mistik diseolahnya, tapi tampaknya keinginannya untuk

menemukan Miki lebih besar dari ketakutan lainnya. Ia berlari dan terus berlari, mencoba mencari di

lapangan, tidak ada. Ia beranjak keruangan kelas, tetapi terkunci. Kantin juga kosong, bahkan sampai

dicari ke kamar mandi sekalipun namun tetap saja hasilnya nihil. Nafas Andre kembali terengah-engah,

ia kemudain mencoba beristirahat sebentar menatap kelangit, keringatnya mulai bercucuran jatuh

menetes di atas kursi taman tempat ia duduk. Masih dengan posisi duduk dan nafas tidak teratur, tiba-

tiba seperti ada sesuatu menyentuh bahunya, sebentuk tangan….

Kring…kring… dengan secepat yang dibisa, Dani menyambar gagang telepon dan dengan segera

menjawab,

93 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hallo… selamat malam. Apa Anda mau memberi kabar tentang Miki?” sepertinya Dani

menduga telepon ini berasal dari kepolisian, padahal tentu saja tidak mungkin karena baru lima menit

yang lalu Mama menghubungi kantor polisi.

“Dani, ini gue Andre…”

“Andre, gimana jadinya Miki udah ditemukan?” tanyanya dengan penuh pengharapan seolah-

olah lupa peritiwa tadi siang.

Mendengar pernyataan Dani itu, Joe dan Friska langsung bangkit dari tempat duduknya

di ruang tamu dan mendekati Dani. Mereka berudua melekatkan telinga masing-masing ke gagang

telepon.

“Dan, gue gak nemuin Miki dimanapun. Gue udah cari-cari ke taman dan seisi sekolah,

tapi gue gak nemuin jejak apapun.” lapor Andre dengan nafas yan tergopoh-gopoh. Mendengar

perkataan Andre tersebut, air muka Dani langsung berubah menjadi pucat. Padahal tadinya ia berharap

banyak pada Andre. Pelan-pelan ia longgarkan gagang telepon yang sedari tadi di genggamnya erat.

“Coba lo ingat-ingat lagi Dan. Biasanya kalau Miki ngambek, dia pergi kemana. Lo pasti

tahu kan Dan? Lo kan sepupunya. Coba lo ingat-ingat lagi, biasanya Miki pergi kemana?” tanya Andre.

Miki ngambek pergi kemana? Miki ngambek pergi kemana? Pertanyaan itu terngiang-

ngiang di kepala Dani. Pikirannya kembali berputar dalam lingkaran hitam dan putih. Sepertinya ia

teringat pemandangan masa lalu lagi. Saat indah masa kanak-kanaknya bersama Miki.

“Miki, ayuk kita balik ke rumah?” pinta sebuah suara lelaki kecil sembari mengulurkan

tangan mungilnya.

“Huhuhu…. Miki gak mau. Miki sebal sama Dani. Miki gak mau… Huhuhu..” ucap

seorang gadis kecl dari atas ayunan papan. Lengannya masih memeluk rantai besi ayunan kayu,

94 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

sementara jari-jarinya mencoba menghapus air mata yang mengalir di wajahnya dengan cara mengucek-

ucek matanya.

“Iya, Dani tahu Dani salah, lain kali Dani gak akan lakukan kesalahan yang sama.” bujuk

suara kecil ini lagi dengan lembut.

Mendengar bujukan itu, gadis kecil yang rambutnya dikucir dua tersebut terdiam. Ia

tersadar dan menoleh ke arah bocah lelaki.

“Kamu janji?” pintanya.

“Ya, Dani janji.” Ucap bocah lelaki ini mantap sembari menundukkan wajahnya

mendekati wajah sang gadis kecil. Satu tangannya memegang rantai ayunan mencoba menghentikan

goyangannya. Si gadis cilik tersenyum pada bocah lelaki tersebut kemudian ia menantang dengan

mengulurkan jari kelingkingnya.

“Kalau kamu langgar janji, Miki bakal pergi dari sini dan gak mau balik ke rumah lagi.”

ancamnya dengan mata disipitkan dan bibir agak dicibirkan untuk menunujukkan keseriusannya.

“Aku ingat! Aku tahu Miki dimana!” seru Dani tiba-tiba.

“Hah” Joe ternganga.

“Sumpeh lo? Dimana?” tanya Friska penasaran. Namun sebelum Friska berhasil

menyelesaikan pertanyaannya, Dani telah melesatkan kakinya cepat menuju pintu depan. Ia juga

meninggalkan telepon yang di ujung sambungannya masih terngiang suara Andre yang semakin bingung

karena perkataannya diputus begitu saja.

“Hallo....Hallo..” panggilnya di ujung telepon.



95 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Kreak… kreak... terdengar suara karat besi tua yang berat seolah tidak dapat lagi menahan beban

kayu yang terikat dalam dua buah juntaian rantai di bawahnya.

Sesosok gadis cantiklah yang duduk di bawahnya. Ia duduk manis sembari

menggoyangkan kakinya ke depan dan ke belakang. Ia menarik kursi kayu ayunan dengan beban

tubuhnya. Ia kemudian menatap ke atas, ke arah langit kelam.

Huff… dihembuskannya nafas panjangnya. Setelah itu ia menunduk ke bawah, kecewa

karena bintang tidak ada. Mukanya kusut dan pandangannya kosong. Tampak aura kesedihan terpancar

dirinya. Meskipun begitu, wajahnya tetap memancarkan kecantikannya di setiap ekspresi. Tiba-tiba

sesuatu mengejutkannya.

“Ngapain malam-malam keluyuran, Miss?” tanya sebuah suara berat dari belakang. Suara

itu berbicara sembari menutupi tubuh mungil gadis ini dengan sebuah jaket berbahan wol tebal. Spontan

sang gadis membalikkan wajahnya ke belakang. Dipandanginya sesosok wajah yang hitam dan tidak

kelihatan. Mungkin karena pepohonan di sekitar situ mulai tumbuh lebat sehingga menutupi masuknya

sinar rembulan dan mengaburkan pandangan orang-orang yang berdiri di bawahnya.

“Miki, ayo kita kembali kerumah?” ucap suara itu lagi sembari menundukkan wajahnya

ke arah wajah sang gadis sehingga kini gadis tersebut dapat melihat dengan jelas siapa sosok di balik

bayangan tersebut.

Seperti mengulang drama lama, pikiran gadis itu berputar pada ingatan masa lalunya.

Keduanya lalu terdiam membisu, saling memandang. Beberapa detik kemudian bulir air mata mulai

turun dari pelipis sang gadis, tanpa suara. Kemudian dengan gerakan cepat ia membalikkan tubuhnya

dari ayunan dan memeluk tubuh pria itu. Satu lututnya menekuk diantara gelantungan kayu ayunan

sementara kaki lain menjaga keseimbangannya di tanah. Ia pun menangis sejadi-jadinya di atas bahu

pria itu. Dan sang pria membalas memeluknya serta membelai punggungnya. Kemudian pria itu

96 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

tersenyum dengan penuh kelegaan sambil memandang ke arah langit. Dikecupnya kening gadis ini dan

ia mulai berkata-kata lagi,

“Dani tidak tepat janji ya, Miki? Dani mengingkari janji…”

Miki hanya menganguk mengiyakan dengan bibir yang dimanyunkan. Dani memandang

dalam ke wajah Miki. Setelah Dani menghapuskan airmata Miki, mereka kemudian berpelukan. Kali ini

tanpa tangis lagi namun dengan senyuman ketenangan.



Kreak... terdengar suara pintu depan yang mendesis ketika dibuka. Dari balik itu muncul dua

sosok orang, Dani dan Miki. Dani menuntun Miki masuk ke dalam rumah. Jaketnya masih terus

bergelantung di atas bahu Miki. Sementara itu Miki berjalan beriringan di samping Dani dengan mata

yang sembab. Keduanya berjalan dalam pikirannya masing-masing. Keduanya berjalan dalam diam.

Begitu pun seisi rumah yang sedari tadi mengkwatirkan keberadaan mereka berdua, terdiam begitu

melihat keduanya masuk. Mama, Papa, Friska dan Joe hanya bisa menatap kedua orang yang berjalan

menaiki nak-anak tangga tersebut dalam diam. Sepertinya orang-orang yang terheran tersebut punya

jawaban sendiri akan kekwatirannya beberapa saat yang lalu.

Bum..! Terdengar suara bunyi pintu kamar yang d tutup, seketika itu juga ke-empat orang

tersebut tersentak dan kemudian saling bertatapan.

Dani mengantarkan Miki sampai ke kamarnya. Diselimutinya gadis itu ketika Miki

merebahkan badannya di atas tempat tidur. Miki tidak begitu saja memejamkan matanya. Selama

beberapa lama di pandanginya ubun-ubun kamarnya. Begitu pula hanya dengan Dani, sejenak hanya

terdiam sambil memandangi Miki. Beberapa saat kemudian, Dani bangkit dari tempat duduknya. Namun

dengan cekatan, Miki langsung mencegah Dani. Dicengkramnya pergelangan tangan Dani begitu erat.

97 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Dan, Miki belum ingin pulang Dani, belum! Miki masih pengen di sini sama Dani. Miki

gak mau sedih lagi. Miki gak mau merasakan kesunyian lagi. Gak mau!” rengek Miki.

Dani tidak tahu harus menjawab apa mendengar pernyataan gadis tersebut. Ia hanya

menatap mata gadis tersebut dengan tatapan yang dalam sekali. Dipandanginya terus dalam diam.

Badannya terkaku di sebelah sisi tempat tidur.



Malam ini Dani hendak mampir ke rumah Friska. Karena itu Friska menjadi sibuk sejak

tadi sore. Sibuk menyiapkan segala sesuatunya. Ia berusaha merapikan rumahnya, ia berusaha membuat

ruangan itu seindah mungkin. Jangan sampai setitik debu pun terlihat oleh Dani, pikirnya. Sebenarnya

ini bukan pertama kalinya Dani datang ke rumahnya. Memang kedatangan Dani kerumahnya masih bisa

dihitung dengan jari. Hanya saja ini pertama kalinya Dani datang ke rumah Friska semenjak gadis itu

menyadari perasaannya semakin mendalam pada Dani. Entah sejak kapan bila di dekat Dani, jantung

Friska tidak dapat berhenti berdetak kencang. Semua perhatian Dani padanya semakin mempertebal

perasaannya pada Dani. Walaupun ia sadar bahwa Dani berbuat baik pada semua gadis yang dikenalnya

yang secara tidak langsung dan tanpa disadari Dani membuatnya menjadi pujaan banyak gadis di

sekolah. Friska juga sepenuhnya sadar bahwa mungkin cintanya tidak akan berbalas. Akan tetapi, dia

tetap dengan sabar menjaga perasaannya untuk Dani.

Friska menatap lama di depan kaca. Dilihatnya bayangan dirinya: rambutnya yang hitam

legam dan dipotong pendek, badannya yang proporsional dengan tinggi 170 cm, ukuran yang cukup

tinggi untuk orang Asia, matanya yang bulat dan hitam, hidungnya, bibirnya, semuanya sempurna. Ia

menyadari kecantikan yang ada didirinya. Akan tetapi, ia menjadi merasa minder bila membandingkan

98 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

dirinya dengan Miki. Terlihat bayangan cemberut dari pantulan kaca ketika ia memikirkan nama gadis

itu ‘Miki’. Namun sejurus kemudian, diteguhkan kembali hatinya. Diacungkannya tinju ke arah cermin.

“I’m beautiful with the difrent way!” gumannya sendiri.

Ting.. tong.. bel rumah berbunyi. Jantungnya berdegup kencang. Tidak dapat ia menahan

debaran itu. Ia memang berdandan malam ini, tapi ia berusaha agar dandanan yang ditampilkannya itu

tampak senatural mungkin. Dengan berlari kecil ia menuruni belasan anak tangga yang terbuat dari

rangka-rangka besi. Ketika telah berdiri di ambang pintu utama rumah, ia sejenak menghentikan gerakan

tangannya yang tengah memegang daun pintu. Diambilnya ancang-ancang dan ditunggunya beberapa

saat.

Ting..tong didengarnya lagi bunyi bel itu dan kali ini dengan mantap dibukakannya pintu

tersebut. Nafasnya terhenti sejenak. Baginya saat itu waktu pun ikut berhenti. Angannya bagai berada

dalam dunia dongeng. Didapatinya pangeran berdiri tepat di teras rumahnya. Pangeran impian yang

selama ini dinantikannya. Pangeran yang baik dan cakep. Semuanya yang selama ini diharapkannya ada

dalam diri Sang Pangeran. Hanya saja kali ini Pangeran tidak datang dengan kuda putih, ia juga tidak

mengenakan jubah kerajaan serta tidak membawakan seutas mawar. Pangeran yang ini hanya memakai

T-shirt oblong dan celana butut. Namun bagi Friska, dia adalah pangeran segalanya. Chika’s prince

charming.

“Chik… chika.. hallow Chika…” panggil Dani berusaha menyadarkan Chika dari

lamunannya di depan pintu. Dilambaikannya tangannya tepat di depan wajah Chika.

“Hm.. hm… ah Dani! Masuk, masuk….” ujar Chika begitu terlepas dari pesona Dani.

Pada saat itu Dani memang tidak mengenakan sesuatu yang spesial. Mungkin karena terbawa suasana

romantis yang berasal dari langit yang penuh dengan bintang serta bulan purnama yang terang

benderang, Friska pun bagai tersihir malam itu.

99 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah tersebut. Rumah Friska tidak begitu

luas, tetapi padat karena dihiasi penuh dengan perabotan-perabotan antik. Rumah itu terkesan sangat

klasik.

“Nyokap lo pecinta barang antik ya? Sejak terakhir gue datang, makin banyak aja barang

antik disini.” komentar Dani sambil mendudukkan dirinya di atas sofa coklat yang empuk.

“Mm… ya.. mm…gitu deh.”

“Anyway, bonyok lo lagi dimana?” tanya Dani lagi sambil terus menerawang ke segala

penjuru ruang tamu rumah itu.

“Kerja.”

“Belum pulang jam segini?”

“Belum.”

“Kenapa malam banget?”

“Em… sebenarnya bokap gue lagi dinas keluar kota. Terus karena nyokap gue kwatir, ya

nyokap gue ikutan deh. Jadi mungkin hari ini gak pulang.” jawab Friska berusaha terlihat sebiasa

mungkin.

“Hm… jadi ceritanya gue malam mingguan sendiri neh ketempat lo.” canda Dani sambil

memasang senyum mautnya.

Deg… spontan jantung Friska berdegup kencang. Pernyataan sembarangan dari Dani

bgitu saja udah membuat dirinya mati kutu.

“Anyway kuadarat, minum gue mana ya, Chik?” Dani mengelus-elus lehernya sebagai

tanda kehausan.

100 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oh iya.. iya.. tunggu sebentar ya?” Friska segera berlari kedapur. Di sana di

hembuskannya nafasnya kencang berusaha melegakan diri, lalu setelah merasa cukup dilanjutkannya

aktifitasnya membuat minuman.

“Jadi, apa yang mau lo omongin?” tanya Friska sekembalinya dari dapur.

Glek..glek..glek.. Dani menghabiskan minumannya dengan tiga kali tegukan. Dani

merasa begitu haus. Tampaknya Dani memang sudah tidak meminum apapun sejak tadi siang.

“Ah…” Terdengar hembusan nafas tanda kepuasan bagi dagaha Dani.

“Malam-malam gini jamuran banget ya kalau harus nongkrong di rumah mulu.” Dani

berpendapat tanpa memperdulikan pertanyaan Friska sebelumnya.

“Lo emang biasanya di rumah mulu ya, Chik?” tanya Dani tanpa mengalihkan

pandangannya ke luar ruangan, ke arah langit yang penuh dengan kerlip bintang dan sinar rembulan.

“He-eh” jawab Friska.

“Mau keluar?” Dani mengajak sambil memasang mata tajamnya memandang Friska.

Tanpa menungu jawaban Friska, ditariknya lengan gadis itu menuju keluar rumah. Jantung Friska

kembali berdegup kencang. Rasanya seluruh tubuhnya lemas tidak berdaya. Dihidupkan Dani mesin

mobilnya dan keduanya pun berangkat menembus kegelapan malam itu.



Sudah beberapa hari aku tinggal di Australia. Dan beberapa hari lagi aku

akan segera pulang, karena urusanku disini untuk memantau Rio atas perintah

Ayah telah selesai. Rio anak yang baik, prestasinya di kampus juga baik, dia juga

ikut dan aktif dalam beberapa kegiatan di kampus. Tidak ada yang perlu di

kwatirkan darinya. Dari dulu dia memang anak yang pintar dan baik sehingga

101 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

selalu jadi kesayangan semua orang. Aku pun sangat menyayangi adikku ini.

Meskipun….

“Kak.. aku berangkat dulu ya?” teriak Rio dari dalam kamar flat sehingga

membuatku terhenyak dari lamunanku. Saat itu aku tengah menikmati kopi di

berenda depan, seperti yang selalu aku lakukan selama berada di sana.

“Yup, hati-hati di jalan, Rio.” sambutku

“OK Kak. Oya, kalau bosan, Kakak datang saja ke kampusku, nanti aku

temani jalan-jalan lagi di sana.” Saran Rio sambil berjalan terburu-buru ke arah

pintu keluar.

“Iya. Lihat nanti saja, Rio.” Jawabku kurang antusias. Sejenak kemudian

terdengar olehku Rio membanting pintunya keluar. Ia tampak begitu terburu-buru.

Sepeninggalan Rio, aku sendirian di kamar flat itu. Meskipun begitu, aku

menikmati tiap suasana di sana yang akan jarang aku alami. Angin musim dingin

yang sejuk merasuk ke dalam tubuhku. Kurasakan tubuhku merinding, namun aku

sangat menikmatinya. Kuteguk lagi kopi dalam cangkirku kemudian ku arahkan

kembali pandanganku ke jalan raya. Ku perhatikan tiap sosok orang yang lewat

seperti yang kulakukan sudah-sudah. Tiba-tiba mataku terpaku pada sesosok gadis

dengan mantel merah dan berbulu putih dipinggirannya. Kufokuskan mataku dan

kucondongkan wajahku untuk melihatnya lebih jauh. Deg… tiba-tiba jantungku

berdetak keras sewaktu ia melihat ke arahku. Ia benar, dia tidak melihat lurus ke

depan, ia melihat ke atas, ke branda flat ini, ke wajahku! Dia adalah Michelle,

gadis yang aku lihat di beranda dua hari lalu, gadis yang juga dikenalkan Rio

padaku. Aku terdiam. Aku ingin tersenyum, namun entah kenapa senyumku

102 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

tertahan. Ia tersenyum. Dia melebarkan wajahnya menatapku. Ia tersenyum

padaku. Deg…deg… deg… aku rasakan jantungku semakin kencang berdegup.

Dengan agak kaku aku berhasil tersenyum padanya. Kemudian ia berlalu. Ia

berlalu begitu saja. Berjalan terus dan meninggalkan jejak-jejak kaki di atas salju.

Begitukah dia, akan meninggalkan kesan saja padaku tanpa aku bisa lebih

mengenalnya? Tidak! Aku ingin tahu siapa dia. Aku ingin mengenalnya. Dari mana

datangnya bidadari itu? Dari khayangankah?

Aku segera beranjak dari tempat dudukku. Aku berlari terburu-buru melewati

pintu kamar flat. Sangkin ingin cepatnya, aku bahkan lupa untuk mengunci

kembali kamar flat tersebut. Aku berlari melewati anak tangga dan mendobrak

pintu depan gedung flat. Aku berlari dan berlari menginjaki salju putih yang mulai

mencair. Aku berlari sambil mencari-cari gadis bermantel merah. Siapakah

sebenarnya dia? Bolehkan aku mengenalnya lebih? Aku berlari dan terus berlari

mengejarnya. Namun, aku tidak mendapatkannya. Ku pandangi jejak salju

berbentuk kaki yang kutinggalkan di belakangku. Tiba-tiba hatiku menjadi sedih.

Lelah aku berlari, aku pun berjalan lesu melewati jalan trotoar yang tadi telah aku

lalui. Wajahku tertunduk dan tak kuperhatikan lagi orang-orang yang berjalan di

sekelilingku. Aku berbelok di tikungan itu dan tanpa sengaja aku menabrak

sesuatu.

BTAAKK.. Auw.. tabrakan itu terasa renyah sekali. Aku terjatuh di atas

tumpukan salju, begitupula sesuatu yang kutabrak itu. Sesuatu yang berwarna

merah dan…. berambut pirang.

103 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“I’m sorry.” katanya. Aku terpana. Aku tidak bisa bergerak. Bahkan mataku

tidak berkedip dan mulutku tidak dapat berbicara. Dia… si gadis itu.



“Ini tempat apa, Dan?” tanya Friska sembil mengamati sekelilingnya. Udara dingin yang

menusuk ke dalam pori-porinya membuatnya menggigil.

“Ini tempat kenanganku. Kenangan manisku.” jawab Dani dengan wajah senang. Ia pun

berjalan ke arah ayunan dan menggoyangkan ayunan dengan sebelah tangannya.

Sraaap… dibukakannya resleting jaketnya dan dipakaikannya pada Friska yang saat itu

tengah menggigil. Muka Friska tiba-tiba saja memerah namun hal itu tidak disadari Dani karena

penerangan yang kurang mencukupi di malam itu.

“Kenapa lo bawa gue kesini, Dan?” tanya Friska penuh penasaran.

“Gue cuma pengen bagi cerita ke sahabat gue. Karena menurut gue, dalam kasus ini gak

ada lagi yang bisa bersimpati ama gue selain lo, Chik.’

“Hm..” erang Friska.

“Emang ini tempat apa?” ulang Friska bertanya

Lama Dani baru menjawab pertanyaan itu. Keduanya diam tanpa gerakan di bawah

rembulan malam. Suara nafas mereka membaur bersama suara-suara malam.

“Ini taman rahasiaku dan Miki,” jawab Dani sambil kembali menggoyangkan

ayunan.“Tapi sekarang bukan rahasia lagi, kan lu sudah tahu.” sambung Dani. Pandangnya kosong dan

menatap ke bawah seperti ada hal berat yang sedang dipikirkannya.

“Ah, sebenarnya ini sudah lama bukan rahasia lagi. Anak-anak sekitar sini dari dulu udah sering

main di sini kok.” lanjutnya dengan mendesahkan nafas.

104 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Lo teringat dia?” tanya Friska penasaran.

“….”

“Lo kangen kenangan lama lo sama dia kan?”

“….”

Dani masih membisu dan tatapannya tetap hampa ke bawah tanah yang berumput itu. Friska jadi

bingung melihat tingkah laku Dani, didesahkannya nafas panjang.

“Sebenarnya gimana perasaan lo ke dia?” Friska memberanikan diri menanyakan pertanyaan

sensitif itu. Ia sepenuhnya sadar pertanyaan itu akan berbuntut sakit hati pada dirinya, namun ia tidak

dapat lagi menahannya dan kata-kata itu pun meluncur saja dari bibirnya.

Mendengar pertanyaan itu, Dani masih laut dalam diam, namun tidak lama kemudian dia mulai

bersuara.

“Gue..,” Dani tampaknya ingin bercerita panjang. ”Gue sendiri gak tahu gimana perasaan gue

yang sebenarnya ke Miki. Gue sayang dia. Sayang… sekali. Sayang… sekali. Rasanya gue pengen

ngelindungin dia dengan segala yang ada didiri gue. Tapi akhir-akhir ini semua yang gue lakukin malah

ngelukain dia. Gue takut ke-egoisan gue melebihi segalanya. Gue takut rasa ingin memiliki dia lebih

besar dari segalanya dan pada akhirnya malah ngejerumisin gue. Gue takut Chika..” Dani bercerita

panjang sambil terus menatap hampa kesatu arah.

Mendengar semuanya itu, Friska hanya bisa diam, dadanya seperti tertusuk. Friska tahu

perasaan Dani pada Miki dari dulu. Dari dulu… sekali. Semenjak pertama mereka dekat. Semenjak

pertama kali Dani menceritakan tentang sepupunya yang bernama ‘Miki’. Kala itu mata Dani bersinar,

seolah ada magic dalam tiap nama ‘Miki’. Mata Friska meredup dan sayu. Ia berjalan perlahan ke arah

Dani, didekati pria itu. Sementara Dani masih diam membisu dalam lamunannya. Sejurus kemudian,

105 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Friska telah duduk di atas ayunan yang bersebelahan dengan Dani. Kreak… bunyi rantai ayunan yang

sudah berkarat memecahkan kesunyiam malam itu, diantara keheningan dua orang itu.

“Gue rasa,” Friska mulai membuka suara ”… lo suka sepupu lo, Dan.”

Mendengar pernyataan itu, Dani langsung mengadahkan wajahnya ke arah Friska dengan

mata terbelalak. Keduanya diam dan tetap dengan posisi saling memandang, saling menunggu jawaban.

Berbagai macam pikrian bergulat dalam kepala mereka masing-masing.

“Rasa suka lo bukan sebagai adik sepupu. Lo cinta sama Miki kan, Dan?”

Dani membisu mendengar pertanyaan Friska ini. Pikirannya berkecamuk. Mencintai

Miki? Benarkah selama ini aku mencintai Miki?

“Jangan bohongi diri sendiri Dani. Sejak kecil bersamanya, ditemani olehnya. Perasaan

kalian tumbuh. Bukan tidak mungkin Miki juga merasakan hal yang sama.”

“….”

“….”

Selama lima menit keduanya diam dalam kesunyian. Hanya ada suara jangkik serta serangga-

serangga malam yang lain yang seakan tahu perasaan kedua orang itu. Bulan purnama tampak terang di

atas sana, tetapi bintang telah tertutup oleh awan kelabu.

“Lo… jangan sia-siain dia.“ Tidak sanggup menahan perasaannya, Friska akhirnya

beranjak pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan Dani, Friska memberanikan diri menungkapkan

perasaannya

“Dani…” panggil Friska ke Dani yang sedari tadi menunduk. Dani kemudian menoleh

dengan pandangan datar.

“Aku… sayang kamu,” Friska lalu terdiam. Lima detik kemudian baru Friska

melanjutkan pernyataannya “… sayang kamu lebih dari sekedar teman.” Dan seketika itu juga ia pergi

106 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

menjauh dari tempat itu. Berlari secepat mungkin dan menghindar dari Dani. Rasanya malu sekali

mengungkapkan perasaan pada seseorang dimana orang tersebut sudah jelas-jelas menyukai orang lain.

Dalam perjalanan pulang, Friska tidak sanggup menahan air matanya. Friska pun

menangis di tengah jalan. Rasanya kesal sekali mendukung urusan cinta orang lain, terutama bila kita

menyukai orang itu.

“Kamu kenapa Friska?” tanya Ibu pada Friska ketika ia masuk ke rumah dengan mata

sembab.

“Gak papa kok, Bu” jawab Friska tanpa melihat ke arah Ibu.

“Urusan cowok ya?” tanya Ibu penuh kelembutan. Friska mematung terdiam sambil

menatapi Ibu. Keduanya terdiam. Ibu tersenyum dan matanya berkilat melihat kelakuan putrinya yang

sudah dewasa ini.



Chapter 9. Suka dan Cinta

Di taman itu, Dani ditinggal sendiri. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekarang

udah terlalu larut, pikirnya. Akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Pikirannya masih

berputar-putar. Ditatapnya ke langit mencoba mencari penyegaran. Udaranya yang dingin membuatnya

107 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana nya. Huff… dihembuskannya lagi nafas panjangnya.

Rahang yang keras itu sedikit menggigil menahan udara dingin yang menebus ke dalam kulit.

Aku suka Miki. Chika suka aku. Apakah Miki suka padaku? Tanyanya dalam hati.

Sesampainya dirumah, hari sudah terlalu larut. Jam telah menunjukkan pukul dua belas

malam. Setelah berganti baju dan membereskan segala kerpeluan untuk besok, Dani merebahkan

badannya ke atas tempat tidur. Ia mencoba untuk tidur, namun ia tidak bisa memejamkan mata. Hatinya

berkecamuk. Akhirnya ia bangkit lagi dari tempat tidur. Ia turun ke bawah tangga, kemudian ia berjalan

perlahan ke arah rumah tamu melewati ruang keluarga dan naik kembali ke loteng, lewat ke arah kamar

Miki. Awalnya ia ragu untuk masuk ke dalam. Awalnya ia berniat untuk mengetok kamar tersebut.

Namun sewaktu daun pintunya digerakkan, ternyata pintunya tidak terkuci. Dani memberanikan diri

untuk masuk kedalam. Dengan ekstra perlahan, ia menginjakkan kakinya ke dalam ruangan itu. Setelah

beberapa langkah masuk, didapatinya Miki sedang tertidur dengan lelapnya. Dani tersenyum lembut

mendapati wajah malaikat di kamar itu. Rambut Miki panjang terurai di sisinya. Poninya berantakan.

Wajahnya begitu pulas. Tak kuasa Dani untuk tidak menyentuh wajah Miki yang putih dan lembut

seperti bayi. Sejenak kemudian diberanikannya dirinya untuk mengecup kening Miki. Dalam tidurnya,

Miki bermimpi tentang masa kanak-kanaknya. Ia berlari girang bersama Dani, tertawa dan bermain.

Miki pun tersenyum dalam tidurnya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya keluar dari kamar itu.

Selamat malam Miki, mimpi yang indah! ujarnya dalam hati sebelum menutup pintu kamar itu.

“Slamat pagi semua!” seru Miki riang pagi itu. Suasana pagi begitu cerah hari itu.

Matahari tersenyum dengan silaunya. Seluruh anggota keluarga sibuk mempersiapkan diri untuk

memulai kegiatan-kegiatan hari itu di ruang makan. Hayam… Miki menguap sambil mentup mulutnya

108 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

dengan sebelah tangan kirinya. Duster milik Mama yang tengah dipakainya terlihat kebesaran di

tangannya.

“Pagi ini riang sekali Miki. Kamu mimpi indah ya?” tanya Papa.

“Hm.. iya!” jawab Miki sambil memakan potongan besar roti.

Di sisi lain, Dani tidak dapat berhenti menatap Miki semenjak ia turun dari tangga.

Sambil makan, sambil mengoles margarin di roti, sambil mengunyah, matanya tidak bisa dialihkannya

dari wajah Miki. Senyum terus mengembang di wajahnya. Miki yang merasa seperti ada sesuatu yang

sedari tadi memperhatikan dirinya akhirnya tersadar. Ia melihat ke arah Dani, mengeryitkan dahi

sebentar dan bertanya,

“Kenapa Dani? Ada yang salah?” Mendapati reaksi Miki tersebut, Dani semakin

tersenyum lebar dan mendesah.

“Gak papa kok, Miki. Cuma kayaknya ada coklat yang menempel di pipimu.” jawabnya

sambil mengalihkan pandangan, berpura-pura mencari margarin.

“Mmm..” Miki mengelus-ngelus bibirnya hingga di jarinya tertempel sebutir coklat

hitam.

Pagi ini Dani berjalan sendiri memasuki gerbang sekolah sambil bersiul-siul ringan.

Sesudah dari kamar Miki kemaren, tidurnya nyenyak sekali. Akhinrya ia menyadari perasaan yang

selama ini membingungkannya. Hari ini juga dia berniat untuk mengucapkan terimakasih pada Friska.

Langkahnya ringan menuju ruang kelas. Begitu sampai, ia langsung mengantarkan tas ke atas mejaunya

dan kemudian berjalan ke arah kelas lain. Friska memang suka nongkorong di kelas lain bersama

sahabat ceweknya. Di kelas sebelah itu memang didapatinya Friska yang sedang menulis sesuatu

sendirian di atas meja.

109 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Brak…! Dipukulkan Dani meja yang sedang digunakan Friska dengan agak kencang

dalam rangka mencoba merebut perhatiannya. Hal itu memang berhasil membuat Friska mengadahkan

wajahnya keatas.

“Hwoh.. sang calon ketua OSIS datang. Selamat pagi, Bos!” serunya.

“Hehehe.. lo bisa aja pagi-pagi gini. Lagi ngerjain apa?” tanya Dani sambil

menggeserkan bangku agar dapat duduk di sisi Friska.

“Hm… ini laporan absen buat guru.” jawab Friska sambil melanjutkan pekerjaannya.

Setelah itu mereka berdua hanya diam. Friska terus menulis dan Dani hanya mengamati pekerjaan Fika.

“Chika…” panggil Dani mencoba untuk mengajak Friska ngobrol serius.

“Hm…?” jawab Friska tanpa menoleh.

“Semalam, setelah aku renungkan… aku rasa yang kamu memang benar. Kamu benar,

Chik. Aku sayang Miki.”

Mendengar pernyataan spontan itu, Friska sempat membeku beberapa detik, tangannya

mengejang di atas meja. Namun tidak berapa lama kemudian, ia berhasil menyadarkan dirinya dan

melanjutkan pekerjaan mencatatnya lagi.

“Aku mencintai Miki.”

“….”

“Mengenai perasaanmu padaku…”

Brak…! Tiba-tiba Friska memukul meja dengan cukup keras.

“Oya Dan, proposal ketua OSIS yang lo kasi’ kemaren masih banyak yang kurang, jadi

masih harus ditambahin dengan ini-itu…” potong Friska dengan cepat. Ia bercerita panjang lebar seolah

tidak mengijinkan Dani melanjutkan kata-katanya.

110 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani terdiam melihat reaksi Friska. Ia jadi semakin memahami anak yang satu ini,

pikirnya.



Sore yang cerah, seluruh keluarga sedang berkumpul di ruang keluarga. Dani sedang

diam di depan televisi. Matanya memang mengarah pada acara di televisi namun pandangannya kosong,

sesekali ia tersenyum sendiri. Mama dan Papa saling tukar pandangan lalu menggeleng-gelengkan

kepala melihat kelakuan Dani.

“Dan..” Mama membuka suara di antara bunyi-bunyi yang keluar dari televisi.

“Ya Ma?” jawab Dani dengan ekspresi riang.

“Kamu lagi gak ada kerjaan ya?”

“Hm…” jawab Dani mantap sambil menganguk sekali.

“Ajak Miki jalan-jalan gih!”

“Hm..?” Dani membelalakkan matanya, bukan karena heran tapi kurang mendengarkan

perkataan Mamanya.

“Iya, dari kemaren dia seharian baca buku, mungkin dia udah bosan. Ajak jalan-jalan

dong, Dan.” sambung Papa.

Tidak berapa lama kemudian terlihat mobil merah yang telah dimofikasi itu keluar dari

rumah itu.

“Kita kemana Dan?” tanya Miki yang tengah menyisir rambutnya dengan di bantu

dengan cermin di balik sun roof mobil. Sore itu cukup panas sehingga Miki hanya mengenakan kaus

putih dan hot pants hitam yang membuat kulit putihnya terlihat jelas.

111 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kita ke…” Dani menjawab sambil menaik-naikkan alisnya. “KEBUN BINATANG!”

teriaknya.

“Hore!!!” teriak Miki riang sambil menaikkan kedua tangannya.

Miki melompat keluar begitu tiba di kebun binatang tersebut. Di pandanginya beberapa

kera yang seliweran di sana-sini. Ia tertawa dengan riang. Sore itu tidak begitu ramai di tempat itu,

namun Miki tetap saja kembali menggandeng tangan Dani bila sedang tertarik melihat suatu objek,

seperti yang selalu dilakukannya. Sejenak Dani teringat perkataan Om Rio. Dipandanginya jari-jari Miki

yang tengah bergelantung di lengannya, ia kemudian tersenyum. Menyadari sedang di perhatikan, Miki

mengadahkan wajahnya ke atas dan dengan ekspresi heran bertanya,

“Hm.. napa?”

“Ah.. ah enggak.” jawab Dani berusaha mengelak dengan mengalihkan pandangannya.

Namun wajahnya yang memerah tidak dapat di sembunyikannya dari penglihatan Miki.

Sore itu daun-daun yang kering berguguran dan meringis ketika terinjak oleh langkah dua

anak muda itu. Angin semilir seolah-olah melantunkan tembang menemani perjalanan mereka. Sesekali

keduanya saling bertatapan dan tersenyum. Entah apa yang disenyumkan, entahlah…



Aku pikir, aku tidak bisa berlama-lama di kamar flat ini. Pikiranku terus

menerawang membayangkan pertemuan tadi. Ia berbicara denganku lembut

sekali. Aku merasa agak malu tadi ketika aku tidak bisa membalas ucapannya.

Aku sendiri bingung kenapa tiba-tiba lidahku menjadi kelu? Aku ingin berbicara

dengan dia. Aku ingin mengoborol dengan dia. Aku ingin mengenalnya lebih jauh.

112 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Huff… Aku tidak bisa tenang sendiri di sini. Aku ingin segera menjumpainya.

Mungkin ada baiknya aku ikuti saja ajakan Rio untuk datang ke kampusnya.

Segera setelah berpikir panjang, Richard bangkit dari tempat tidurnya.

Buru-buru diambilnya matel yang tergantung di depan pintu kamar flat. Di

pakainya sepatu hitamnya dan ia pun berjalan ke luar rumah. Udara dingin di luar

selalu membuatnya merinding, sepertinya ia belum terbiasa dengan musim dingin

di Melbourne. Ia berjalan sambil mengingat-ingat pertemuannya tadi pagi. Di

susurinya jalan yang tadi pagi di lewati saat bertemu dengan gadis yang sedari

tadi ada dalam benaknya. Mungkin rumah gadis itu tidak jauh dari sini, pikirnya. Di

pandanginya jejak-jejak salju bekas pejalan kaki yang baru saja menginjakkan

kakinya di sana. Sebenarnya ia tidak terlalu ingat jalan menuju kampus adiknya,

namun ia memberanikan diri untuk mencoba kemungkinan jalan yang benar.

Sudah beberapa blok ia berjalan dan ia menjadi ragu pada ingatannya. Ia menjadi

sedikit cemas. Letih ia berjalan, ia pun berhenti sejenak di depan sebuah rumah

berpagar rendah dan berwarna merah. Meskipun sebagian pagar itu telah tertutup

salju, namun warna merah mencolok tersebut tetap menarik perhatian orang-

orang yang melintasinya. Dipandangi Richard pagar itu dengan tatapan kosong. Ia

bersandar pada sebatang pohon kayu yang daun-daunnya telah rontok sambil

mencoba mengingat-ingat jalan yang benar menuju kampus adiknya. Tiba-tiba

sesuatu dari dalam rumah itu mengalihkan perhatian Richard. Dari dalam rumah

tersebut, keluar sesosok wanita yang juga bermantel merah. Deg… Richard

terdiam. Di rasakannya darah mengalir deras dalam tiap nadi darahnya.

113 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Jantungnya berdetak jauh lebih kencang dari biasanya. Dia… gadis itu! Betapa

berjodohnya.

“He… Hello…” akhirnya ia berhasil mengeluarkan suaranya. Di

perhatikannya reaksi gadis itu. Ia sedang mengernyitkan keningnya. Rambutnya

yang pirang dan di biarkannya tergerai terbawa angin dingin menghempas

wajahnya.

“Looking for someone?” tanya gadis itu dengan senyuman hangat dan

membuat Richard semakin tertegun.



Hari ini Miki janjian bertemu dengan Andre dan tampaknya ini bakal menjadi jalan-jalan

terakhirnya dengan Andre. Besok adalah hari kepulangannya ke Australia. Awal tahun ajaran baru

sekolah di Australia akan segera dimulai. Meskipun begitu, sebenarnya Miki ingin menghabisakn sisa

waktunya bersama Dani. Sayangnya ia telah terlanjur berjanji dengan Andre dan atas bujukan Andre

juga.

Sekarang masih jam satu, jadi masih ada sekitar setengah jam lagi dengan janji bertemu

Andre. Haah.. bosan dirumah, tapi gak mau gangu Dani yang lagi sibuk di sekolah juga. Jadi, lebih OK

kalau hari ini jalan-jalan bareng Andre, guman Miki dalam hati. Dilangkahkannya kaki menuruni anak

tangga.

Ketika hendak keluar dari rumah, tiba-tiba Miki merasa ada yang menarik pintu dari luar.

Sementara dari dalam rumah, Miki juga hendak menarik pintu. Jadi pintu itu tetap tidak terbuka karena

adanya tarik menarik antara dua orang yang berada di sisi dalam dan luar rumah. Selama beberapa saat

kondisi itu terus berlanjut. Dani yang berada di sisi luar rumah tidak merasa bahwa ada seseorang yang

114 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

juga sedang menarik gagang pintu dari dalam. Ia dengan cepat menyimpulkan bahwa pintu depan rumah

tersebut sedang rusak. Jadi dengan sekuat tenanga ditariknya daun pintu tersebut dan...

“Aw… !” Miki berteriak dan nyaris terjatuh ke lantai karena terseret. Untungnya Dani langsung

tanggap akan kondisi tersebut. Ia langsung membungkuk guna menopang Miki yang nyaris terjatuh

lantai.

“Dani! “ seru Miki masih dalam posisi terduduk.

“Are u OK?” tanya Dani sambil berusaha membetulkan posisi berdiri Miki. Jantungnya

berdegup kencang menyadari wajah gadis tersebut berada begitu dekat dengan dirinya. Namun Dani

berusaha untuk bersikap sebiasa mungkin.

“Yeah, I’m OK.” jawab Miki sambil mengelus-elus sikunya. “Baru pulang Dani?” tanya Miki

lagi sambil bangkit.

“Mm...iya. Kamu mau kemana?” tanya Dani yang curiga dengan penampilan Miki. Meskipun

hari itu Miki berdandan seadanya - ia hanya mengenakan jins belel plus kaus bali tipis yang di belinya

sewaktu sedang jalan-jalan dengan Dani tempo hari-, namun Dani tahu ada sesuatu yang berbeda dari

Miki bila ia hendak jalan-jalan.

“Just going around.”

“Sama siapa? Andre ya?” tanya Dani penuh curiga.

“Yeah.”

“Kemana?” tanyanya lagi

“Ya mutar-mutar aja.”

“Kenapa gak bareng aku aja?”

“Kan Miki udah janji nya sama Andre dari kemaren-kemaren. Lagian kamu bukannya masih ada

kerjaan buat kampanye ketua OSIS. Ada yang belum selesai kan?”

115 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Tapi…,”

“Miki!” seru seseorang dari dalam mobil hitam yang di parkir di depan rumah Dani. Itu Andre!

Ternyata ia datang lebih cepat dari janji.

“Hei!” sapa Miki sambil berjalan menuju mobil Andre. Rasanya Dani ingin mencegat Miki pergi

dengan menarik tangannya. Namun ditahannya keinginannya itu. Ia hanya bisa menatap Miki

melangkah dan menjauh darinya.

“Dani, Miki pergi dulu ya?” Mendengar pernyataan itu Dani hanya terdiam sambil tetap

memandang ke arah mereka berdua. Roman wajah Miki pun ikut berubah melihat reaksi Dani.

“It’s OK, Dani. I’ll always support you from back” ujar Miki terakhir kali dan mobil pun melaju.

Dalam pikiran Miki, Dani mungkin sedang berpikir saingannya dalam perebutan tahta ketua OSIS

memanipulsi Miki untuk menjatuhkannya.

Melangkah ke kamar, perasaan Dani gak karuan. Rasanya ingin sekali menonjok Andre saat itu.

Anak itu sepertinya tidak ingin jadi saingan di OSIS saja. Kalau dia mau ngerebut Miki dariku, dia tidak

akan bisa, guman Dani dalam hati. Sebelum mencapai kamarnya, Dani terdiam di depan kamar Miki.

Dipandangingya kamar itu lama sekali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk masuk. Mulanya ia tidak

berniat karena ia berpikir bahwa kamar Miki sedang dikunci. Namun sewaktu Dani iseng memutar

gagang pintu kamar tersebut, ternyata kamar tersebut tidak dikunci. Dani pun memberanikan dirinya

melangkahkan kaki memasuki kamar tersebut. Dinyalakannya saklar lampu agar dapat melihat dengan

jelas seisi kamar itu. Sebenarnya kamar yang dihuni Miki sekarang adalah kamar cadangan yang

memang disediakan sebagai kamar tamu darurat. Biasanya bila tidak ada penghuninya, kamar ini

berantakan. Namun, semenjak dihuni oleh Miki, kamar ini menjadi rapi dan terkesan feminin. Memang

Mama sengaja merapikan kamar ini dengan sebaik-baiknya sebelum dihuni Miki. Bahkan Mama sengaja

menambahkan kelambu berupa jaring-jaring berwarna merah jambu di bagian depan tempat tidur Miki.

116 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani memperhatikan kamar Miki dengan seksama. Begitu banyak barang-barang bertumpuk di

kamar itu. Kebanyakan barang yang ada memang barang-barang yang ditujukan untuk wanita seperti

majalah, kosemetik, boneka bergambar Teddy Bear, pakaian gaun, sepatu high heels serta barang wanita

lainnya. Ada pula di sudut lain barang-barang unik khas Indonesia yang dibeli Miki sewaktu jalan-jalan

dengan Dani tempo hari, mungkin mau dijadikannya oleh-oleh. Dani melangkahkan kakinya lagi dan

sejenak duduk di atas tempat tidur Miki. Dihembuskan Dani nafasnya sambil berpikir. Miki akan

berangkat besok dan mungkin ia akan butuh waktu yang panjang lagi agar bisa bersama dengan Miki.

Mengapa disaat seperti ini dia masih sempat berpikiran negatif pada Andre. Mungkin Miki hanya ingin

menyampaikan salam perpisahannya pada Andre. Hal itu tidak salah kan mengingat Andre cukup

banyak membantu Miki selama ia berada di sini. Setelah beberapa lama di kamar Miki, Dani beranjak ke

kamarnya. Dani terbengong di dalam kamarnya. Sesungguhnya ia tidak ingin merasakan perasaan yang

seperti ini lagi. Perasaan yang dulu pernah di alaminya. Perasaan ditinggalkan seseorang yang sangat

disayanginya. Akhirnya Dani memutuskan dalam hati akan membuat Miki senang hari ini. Nanti

sekembalinya ia bersama Andre, akan diajaknya Miki jalan bersamanya sambil menikmati setumpuk es-

krim rasa Coklat dan Vanilla, tekatnya dalam hati.



117 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Chapter 10. Good Bye

“Jadi barang-barangnya udah lengkap kan, Ki?” tanya Mama dengan posisi badan tegap. Ia

melipatkan tangannya di depan dada.

Miki menganguk dua kali untuk meyakinkan Mama. Bagasi penuh dengan koper-koper

yang berisi baju dan oleh-oleh untuk GrandMa Miki di Australia. Miki berdiri di samping barang

bertumpuk itu untuk kemudian menaikkannya ke dalam bagasi mobil. Mama masih berdiri mengamati

di samping teras sementara Dani membantu Miki menaikkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil.

Plok… Plok… Dani menepukkan kedua tapak tanggannya tanda kepuasannya berhasil

mengepak barang-barang Miki.

“Jadi,” Dani mulai pembicaraan dengan memandang mata Miki “Udah siap berangkat

Nona Muda?”

Miki menganggukkan kepalanya lagi, namun lambat dan penuh keraguan.

“Sudah siap berangkat?” ulang Papa dari balik kemudi supir.

“Come on girl, get in into the car!” lanjut Om Rio yang berjalan dari dalam rumah. Om

Rio kemudian menarik lengan Miki, namun Miki malah menepiskan tangan Om Rio.

“Papa, I need a minute please. I need to talk privately with Dani.”

118 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“S’il vous plaît.” jawab Om Rio santai.

Miki kemudian menarik lengan Dani yang berada dihadapannya sehingga sebentar Dani

terdorong mundur.

“I will miss you so much!” serunya dengan nada agak merajuk.

“It’s OK. Kamu gak bakal kangen aku lagi kalau udah ketemu Mr. Teddy.” bujuk Dani

berusaha menenangkan Miki. Mr.Teddy adalah boneka Teddy Bear super besar pemberian almarhum

ibu Miki sewaktu ia masih kecil

“No, no, it’s different between Mr. Tedd and you. Aku sayang Mr. Tedd tapi lebih sayang

lagi sama Dani.” jawabnya cepat.

Senyum Dani perlahan-lahan menghilang, ditatapnya gadis itu dalam-dalam. Miki pun

balas menatapnya. Rasanya ada sesuatu dalam dirinya, seperti mendorongnya untuk memeluk Miki erat-

erat dan tidak ingin melepasnya. Seperti ada keinginan dalam dirinya untuk menahan Miki sebisanya

dan terus bersamanya sepanjang waktu. Tapi hal itu tidak mungkin, logika mengalahkan intuisinya.

Dipegangnya bahu gadis itu dan dipandangnya bola mata gadis itu lama.

“Miki, bersikap dewasalah, aku gak bisa selamanya ada disampingmu.”

Untuk beberapa waktu Miki masih memandang hitam bola mata Dani. Kemudian

dipeluknya tubuh lelaki itu erat, erat sekali. Lama mereka saling bertukar pandangan lalu Miki

melepaskan genggamannya dan berjalan cepat meninggalkan ruangan itu.

Saat Dani melangkahkan kakinya menuju teras masih bisa terlihat olehnya tangan Om

Rio melambai ke arah mereka. Miki yang duduk di jok belakang hanya menoleh sekilas ke samping, ke

arah rumah, tersenyum tipis kemudian kembali menghadapkan wajahnya kedepan.

Fyuuh… dihembuskan Dani nafas panjangnya. Matanya kini sayu menatap ke bawah.

Beberapa saat kemudian, ia kembali masuk ke dalam rumah untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum

119 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

berangkat ke sekolah. Mama yang sedari tadi berdiri di samping Dani merasa heran melihat ekspresi

anaknya itu lantas mengikutinya berjalan masuk.



Aku tidak tahu hal apa yang membawaku begitu dekat dengannya

belakangan. Setiap pertemuan dengannya di persipangan jalan yang bersisian

dengan pagar-pagar pohon yang daunnya rontok itu, selalu dapat membuat

jantungku berdegup kencang. Setelah itu membawa badanku terbujur kaku. Hanya

bisa memandanginya dan dengan susah payah tersenyum. Bagiku sudah cukup

bila ia membalas senyumanku. Namun mungkin tidak cukup baginya. Terlalu

beruntung pula bagiku ketika dari atas balkon itu dia mendadahkan tangannya

padaku, menyapaku dan bertanya padaku. Pagi berikutnya seperti biasa dia

menyapaku dan aku menyapanya. Tapi tidak biasa ketika aku dan dia mulai

bercerita panjang lebar. Entah dari mana aku bisa mengumpulkan keberanian

untuk mengeluarkan suaraku berbicara padanya. Ia tersenyum, aku terpana. Ia

tertawa, aku tersanjung. Ia terdiam dan aku sadar bahwa tidak seharusnya aku

berada di sini. Seharusnya aku berada di sisi Ayah, di dalam rumah tua kami yang

hangat atau di kampus Rio untuk mengawasi kegiatannya. Tapi biarlah, mungkin

Tuhan sedang berbaik hati padaku dengan mengirimkan malaikat ini untuk

bercengkrama sejenak denganku di siang yang mendung.

120 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba



Dani berjalan lesu menuju ruangan kelas melewati koridor-koridor sekolah serta lapangan

kecil yang telah menjadi pemandangan sehari-hari baginya selama beberapa tahun ini. Satu tangannya

dimasukkannya ke kantong saku celananya sementara yang lagi memegangi jaket katunnya yang

setengahnya tergantung dekat bahu, seloyoran dibalik punggungnya. Entah lupa memasukkan atau

sedang ingin mengikuti trend, ia tidak seperti biasanya mengeluarkan baju seragamnya dari balik celana.

Sesampainya di kelas dicampkannya tas seta jaketnya. Tanpa merasa perlu repot-repot melihat keadaan

di kanan dan kirinya, dikeluarkannya sebuah buku catatan dan dibalik-baliknya tanpa membaca sepatah

katapun dari buku tersebut.

“Miki udah pulang?” tanya sebuah suara wanita yang berada tepat satu bangku

dibelakangnya.

Dani pun menoleh dan menjawab singkat, “Udah.” Kemudian ia kembali sibuk

membolak-balikkan catatannya.

Tidak menyerah begitu saja, gadis yang tadi bertanya melangakah maju dan

mempersilahkan diri duduk di samping bangku Dani.

“Kapan?” tanyanya lagi.

“Tadi.” jawab Dani tanpa perlu menoleh lagi.

“Udah bilangin gua ama Joe kirim salam?

“Udah.”

Gadis itu terdiam, sepertinya kehilangan ide untuk memulai pembicaraan dengan Dani.

Akhirnya di mulainya lagi,

“Kenapa gak lo sendiri aja yang ngantarin dia?”

Gantian kali ini Dani yang terdiam dan..

121 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Srapp…! Dani bereaksi. Ditutupnya catatannya dan...

Tjep… tiba-tiba saja sebelah tangan Dani telah berada di atas tangan Friska, gadis yang

sedari tadi tidak berhenti bertanya.

“Chik, gue boleh gak main ke rumah lo hari ini? Udah lama kan gue gak bertamu ke

rumah lo?”

Dengan semua gelagat aneh Dani itu, membuat wajah Friska tiba-tiba bersemu merah.

“E… e-e…” jawabnya penuh keterkejutan dan heran. Dengan kekagokan ia

menganggukkan kepalanya.

Semenjak menyatakan cintanya entah kenapa Friska semakin gugup berada di dekat

Dani, padahal Friska tahu Dani menyukai orang lain.



Gosip pertengkaran antara Dani dan Andre yang bisa dibilang basi itu telah menyebar

luas di sekolah. Banyak yang bilang kalau mereka bertengkar dalam perebutan tahta sebagai ketua OSIS.

Namun tidak sedikit pula yang mengetahui bahwa pertengkaran mereka berdua masih ada sangkut

pautnya dengan urusan cewek. Pasalnya ada beberapa orang yang sempat melihat Andre tengah

mengobrol dengan cewek yang pernah diajak Dani ke festival tempo hari. Hal-hal yang tidak nyambung

pun dikaitkan oleh siswa-siswi di sekolah tersebut kemudian dihubungkan dengan pertengkaran antara

Dani dan Andre. Maklum dibangku SMU gosip memang menyebar lebih cepat dan gosip itu sering kali

jadi bumbu yang menghancurkan repurtasi kita.

Sepeninggalan Miki, Dani memang berkonsentrasi pada kampanyenya. Masa scorsnya di

pakai untuk mengejar ketinggalannya dari Andre. Kerap Dani harus datang malam-malam ke rumah

Friska untuk membantu ini-itu. Hari-hari berikutnya Dani sibuk menyebarkan brosur, leaflet spanduk

122 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

serta aksesoris-aksesoris lainnya. Hari lain Dani berkampanye di depan lapangan dan di sambut dengan

riuhan tepuk tangan. Dengan segala kesibukannya itu, Dani mulai dapat menepis kesedihan karena

kehampaan kehadiran Miki. Hingga tibalah hari yang dinantikan.

Hari ini semua guru rapat untuk memilih siapa ketua OSIS periode ini. Perwakilan murid

dari masing-masing kelas serta ekskul telah datang ke ruang rapat. Hari ini mungkin Dani merasa sedikit

berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari ini ia akan tahu hasil dari perjuangannya selama ini. Rapat

berjalan cukup lancar hingga tibalah saatnya kepala sekolah berdiri di atas podium dan mengumumkan

hasilnya pada seisi ruang rapat tersebut.

“HORE!!!” terdengar teriakan dari beberapa anak yang berkerumun di baris kanan.

Mereka adalah rombongan pendukung Dani. Yup, Dani menang tipis sebagai ketua OSIS periode baru.

Sepulang sekolah, Dani pulang beriringan dengan Friska. Tidak bisa ditahannya

senyuman dari wajahnya. Senyum itu tersungging terus dari semenjak ia berada di ruang kelas hingga

pulang sekolah.

“Akhirnya gue menang juga, Chik. Padahal kelakuaan gue udah ancur banget akhir-akhir ne. Ini

pasti karena bantuan tim sukses gue. Karena elu Chik.” tawa Dani riang. Di pukul-pukulnya kepala

Friska. Melihat raut wajah Dani yang seperti itu secara tidak langsung juga membuat wajah Friska ikut

memerah.

Dari kejauhan tampak Andre datang menghampiri Dani. Dani, Frika dan Joe yang sedari

tadi berdiri di pojokan tersebut tampak mematung menunggu kedatangan Andre. Mereka bertiga

penasaran terhadap reaksi Andre akan hasil ini.

“S’lamat ya?” ucapnya dengan mengulurkan tangan pada Dani.

“Iya.. makasih ya, Bro.” balas Dani sambil menepuk-nepukkan pundak Andre. Selama

masa kampanye ini sepertinya Dani terlalu banyak berpikiran jahat terhadap Andre terutama setelah apa

123 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

yang dilakukan pria tersebut terhadap Miki tempo hari. Dani menyadarinya dan membuatnya merasa

sedikit bersalah terhadap Andre. Ia ingin menebusnya dengan setidaknya bersikap manis terhadap

Andre.

“Dan, gue pengan ngomong sesuatu nih.” kata Andre sembari mengantongkan kedua

tangannya dalam saku celananya. Sekilas dipandang Dani kedua temannya satu

persatu.

“Kita ngomong disana.” pinta Andre sambil menunjuk ke arah sebuah bangku di taman

dengan dagunya.

“Hm…” jawab Dani. Ia pun mengikuti langkah Andre menuju bangku tersebut.

Setibanya di tempat itu, mereka berdua langsung mengambil posisi masing-masing. Dari

kejauhan terlihat Joe dan Friska memandang penasaran ke arah kedua orang tersebut.

“Dan, gue sebenarnya mau minta maaf soal yang kemaren itu.”

“O... soal itu,” kata Dani yang mengerti maksud Andre. Sebenarnya dari dulu ia sudah

berniat minta maaf pada Andre, tapi sekarang sudah terlambat karena sudah keduluan Andre. “… gak

papa kok. Gue juga minta maaf, gue langsung mukul lo tanpa babibu gitu aja.”

“Tapi lo harus tau satu hal, Dan.” ujar Andre dengan nada serius.

“Apa? “

“Lo salah paham kalau lo pikir gue ngebuat sepupu lo nangis.”

“….”

“Waktu itu Miki sendiri yang tiba-tiba datang ke sekolah. Gue emang udah janji mau ngasih

kenang-kenangan untuk dia, tapi dia tiba-tiba aja sms gue bilang mau datang ke sekolah.”

“….?” Dani terus menatap Andre dengan wajah yang bertanya-tanya.

124 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Lo bingung ya napa dia sampe nangis? Nah, itu dia gue juga bingung. Waktu gue kasih tu

barang dia malah langsung ngeluarin air mata. Gue jadi bingung. Terkejut lah.”

“Jadi lo serius gak ngatain dia apa-apa?”

“Ya.. ngapain juga orang selucu itu gue jahatin.”

“Emang lo ngasih apa?”

“Oh, itu…”



Aku takut bila-bila aku bisa lupa diri karena ini. Aku mulai merasa terlalu

dalam dengan perasaanku. Aku hanya takut bila-bila aku tidak tersadar dengan

diriku dan aku pun terjatuh. Dia begitu indah. Setiap pandangan matanya

menyiratkan makna yang dalam, setiap senyumannya membuatku begitu bahagia,

setiap gerakan tubuhnya adalah berarti bagiku. Inikah cinta sebenarnya? Ataukah

hanya aku saja yang terlalu dalam mencintainya. Aku tidak mengerti. Aku juga

tidak tahu. Aku hanya suka ketika aku dan dia berjalan berdua di atas tumpukan

salju sekarang. Kulihat ke atas dan butiran-butiran putih lainnya mulai jatuh dari

angkasa. Kusingkapkan mantel kepunyaan Rio dan ku pakaikan padanya. Ia

tersenyum, manis sekali. Pandangan matanya yang dalam dan biru menyiratkan

sesuatu yang misterius bagiku. Apa mungkin ia mengerti perasaanku. Apa ia tahu

bahwa aku telah menyukainya bahkan ketika aku baru pertama sekali bertemu

dengannya. Ah, aku tidak tahu dan aku tidak akan menceritakannya padanya. Aku

hanya bisa merasakan bahwa ia senang sekarang. Senang bersamaku, dalam

125 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

gandangan tanganku diantara lampu-lampu temaram yang menghangatkan

kebekuan malam itu.



Sudah sekitar enam bulan semenjak Miki kembali ke Australia. Selama ini Dani cuma

bisa mengirimkan sms, ngobrol lewat chatting atau sesekali menelepon. Sepertinya Miki juga sibuk

dengan kegiatan sekolahnya. Mungkin sama seperti Dani, selain sedang ingin berkonsentasi ke pelajaran

sekolah juga bingung melanjutkan ke universitas yang mana setelah lulus. Maklum problema klasik

anak kelas tiga SMU. Sejujurnya Dani ingin sekali bersama Miki di Australia, tapi mungkin mustahil

baginya meninggalkan Mama-Papa sendiri. Dani berpikir dalam hati, betapa aku bisa menjelma menjadi

anak durhaka meninggalkan kedua orang tuaku sendiri sementara aku merantau ke negeri lain.

Hah.. Udah lama gak chatting dengan Miki. Aku sebenarnya kangen ingin mengobrol

panjang dengannya lagi. Untung pagi tadi aku sudah mengirimkan sms minta agar dia online malam ini.

Tapi sebenarnya sore bagiku, karena ada perbedaan waktu sekitar tiga jam dengan Miki di Australia.

Kucoba connect lewat messager, namun ternyata servernya sedang mengalami gangguan. Karena lama

akhirnya kubuka e-mailku. Hm… wah ada paket penawaran penerbangan murah ke Prancis. Asyik…

bisa sekalian ajak Miki neh. GrandPanya Miki kan masih di Prancis, mungkin bisa sekalian berkunjung

juga kapan-kapan. Mungkin kalau aku liburan panjang setelah SPMB. Eh, akhirnya connect juga..

BlackWhite_413: BUZZZ! How’s life?

Dani_elle:=) Fine.. thanks. Masih sibuk OSIS?

126 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

BlackWhite_413:Yup, lagi banyak kegiatan di sekolah. Bakal ada banyak acara. Kamu

gimana?

Dani_elle: Same as you. Miki lagi sibuk ikutan theater.

BlackWhite_413: Mau tampil?

Dani_elle: Yup

BlackWhite_413: Kapan?

Dani_elle: Bulan depan, ada penampilan buat buat wisuda hi-school.

BlackWhite_413: Wah, kamu dapat peran apa?

Dani_elle: Aku jadi Ophelia yang ada di cerita Hamletnya Shakespear.

BlackWhite_413: Wow, cool! *_*

Dani_elle: Thankyou. Anyway, I’ve got ur mail.

BlackWhite_413:: Oya? Email aku yang isinya foto hasil bidikanku itu ya? How do you

think?

Dani_elle:Aku suka angel fotonya Dan. Pemandangannya bagus. Kapan kamu ke puncak?

BlackWhite_413: O itu sebulan yang lalu, diajakin ama anak pencinta alam.

Dani_elle: Wah… asyiknya. Miki juga pengen. Kapan ya?

BlackWhite_413: Iya, makanya buruan ke sini.

Dani_elle: Iya, I’m planning to go there soon.

BlackWhite_413: Big news!!!

127 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani_elle: What?

BlackWhite_413: Kamu ingat rumah tua itu? Rumah bercorak hitam putih tempat kita

sering bersama?

Dani_elle: Iya, knapa? Rumah itu di jual ya?

BlackWhite_413: Enggak... enggak. Rumah itu sedang di renovasi lho!

Dani_elle: Oya?

BlackWhite_413: Yup. Sebenarnnya kerusakannya gak banyak kok. Rumah itu cuma gak

terawat saja. Soalnya semenjak kakek ninggal, Papa Mama kan mutusin pindah ke rumah

yang lebih dekat sama kantor Papa biar gampang. Hasilnya rumah itu lama dibiarkan kosong

dan jadi gak terawat.

Dani_elle: Iya, apalagi rumahnya udah tua ya.

Dani_elle: Kapan selesai renovasinya?

BlackWhite_413: Kayaknya beberapa bulan lagi udah selesai.

Dani_elle: Oh Great! Jadi udah lama ya mulai di renovasinya?

BlackWhite_413: Kayaknya gitu. Mama dan Papa ngerahasiakannya selama ini. Padahal Om

Rio juga tahu.

Dani_elle: Hum, aku jadi gak sabar pengen ke sana.

BlackWhite_413: Lagipula Miki, aku punya satu mantra yang bakal buat kamu pengen

semakin cepat datang ke Jakarta.

128 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani_elle: What’s that? three word?

BlackWhite_413: yup.

Dani_ elle: What?

BlackWhite_413:: …

Dani_elle: ???

BlackWhite_ 413:: I MIZZ U!

Dani_elle: hihihi

Dani_elle: Um…

BlackWhite_413: What?

Dani_elle: Me too.

Pip.. (Disconnected)

Pagi ini Dani melangkahkan kakinya riang ke gedung sekolah. Senyum bahagia

mengembang terus di wajahnya dari semenjak berangkat dari rumah hingga duduk di meja kelasnya.

“Kenapa sih lo Dan, dari tadi senyam-senyum mulu?” tanya Joe yang sedari tadi aneh

memerhatikan tingkah laku Dani.

“Hehehe.. gak papa kok. Gue lagi senang aja.” jawab Dani tidak dapat menyembunyikan

perasaan senangnya.

“Senang kenapa?”, tanya Joe penuh penasaran

“Hehehe.. Miki, Joe.” jawab Dani masih dengan wajah tersenyum.

129 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oo.. ya ya ya. Gue tahu, gue tahu.” Seketika itu juga Joe beranjak meninggalkan Dani

yang terjatuh ke atas meja karena tidak kesampaian memeluk Joe.



Chapter 11. Berita Duka

Enam bulan tanpa Miki dilewati Dani dengan menjalani kehidupan anak SMU biasa seperti

sebelum Miki datang. Mengerjakan tugas di sekolah, tanggung jawab di OSIS serta aktif di klub

fotografi. Ia juga sudah jarang sekali pergi jalan-jalan ke luar. Mungkin ia sudah cukup jenuh

menjelajahi kota itu sewaktu bersama Miki. Jadi ia putuskan untuk berkonsentrasi pada pelajaran di

sekolah dan kegiatan sampingannya. Dani tampaknya mulai menikmati status barunya di sekolah, ketua

OSIS. Apalagi semenjak mendapat jabatan itu, makin banyak cewek yang ngantri ingin nempel padanya.

Mekipun begitu, tidak satupun yang dekat dengan Dani berhasil jadi pacarnya. Entah apa yang ditunggu

atau dicari Dani. Enam bulan sudah ia tidak bertemu dengan Miki dan ia harus bersabar untuk bertemu

lagi dengan gadis itu. Kadang terbersit dalam pikiran Dani untuk melakukan perjalanan ke negeri

Kangguru tersebut. Namun mengigat aktifitasnya yang segudang, mungkin agak sulit baginya. Enam

bulan Dani dan Miki tidak bertemu, namun mereka tetap saling berhubungan lewat komunikasi yang

berkembang cepat dengan kemajuan IPTEK. Enam bulan lamanya mereka tetap saling mengirim pesan

lewat sms, e-mail atau chatting. Hingga akhrinya berita duka itu sampai juga ke rumah Dani. Berita

130 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

yang cukup mengejutkan Dani. Berita bahwa GrandMom Miki yang menjadi figur pengganti Ibunya

selama ini, telah meninggal.

“Eh, loe gila ya Dan? Maksud loe, elo mau nyusul Miki ke Australia?” tanya Joe dengan ekspresi

super heran.

“Hm… gitulah.” jawab Dani datar.

“Tapi ujian lo gimana?” tanyanya lagi sambil duduk di bangku sebelah Dani.

“Susulan.” jawab Dani singkat.

“Hah? Loe gila ya? Terus alasan loe apa?” Joe terpelongo dengan jawaban Dani yang

terkesan cuek itu. “Dan, gue tahu loe sayang banget ama sepupu loe itu. Tapi loe gak boleh gini donk.

Pikirin masa depan loe.” lanjut Joe sambil menunjuk-nunjuk jidatnya dengan jari telunjuk.

“Jadi solusi lo gimana?” tanya Dani, kali ini dia mulai mempertimbangkan kata-kata Joe

“Loe tunggu sampai selesai ujian, titik. Apa salahnya sih Dani pending keberangkatan loe

dua minggu?“

“Tapi ini berat banget buat dia, Joe.” elak Dani

“Gua tau, gua ngerti gimana rasanya kehilangan orang yang disayangi.” Joe

menghempaskan nafas panjangnya teringat kenangan pahitnya sewaktu kehilangan Ibu di masa SD dulu.

“Tapi Dan, loe gak harus ikut-ikutan merasa gitu kan?” lanjutnya.

“Joe, dengar ya gue gak ke sana selama setahun kok. Gue ke sana palingan seminggu.

Gue cuma mau nenangin Miki aja. Gue rasa dia syok banget. Dari kemaren kemaren gue telepon, gak di

angkat. Gue sms juga gak di balas. Gue kwatir banget Joe.”

“Ya iyalah Dan. Wajar kalau loe kwatir. Tapi loe ada atau enggak di samping dia sama

aja kan? Neneknya udah ninggal. Lo kan gak bisa ngerubah keadaan.”

131 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“At least gue bisa ngelihat kondisi Miki.” Dani bersikeras.

“Ih, loe gila ya? Gak abis pikir gue. Emang kalo soal Miki elo gak mikir panjang ya,

Dan?” Jo berkata dengan nada sedikit mengejek dan kesal.

“Apa? Ke Aussie cuma modal nekat? Serius Dan? Gue gak setuju!” Rentetan protes di

utaran Friska sewaktu berjalan menuju ke arah gerbang bersama Dani. Siang itu semua orang di sekolah

langsung balik ke rumah masing-masing. Maklum, masa-masa menjelang ujian semester semua murid

tampak sibuk mempersiapkan diri, terkecuali beberapa murid yang menganggap dunia kiamat pun tidak

perlu belajar.

“Jadi gue harus gimana donk?” tanya Dani lagi.

“Dan, stop jadi orang yang plin-plan. Lo harusnya punya pendirian! Stop nanya-nanyain

ama orang-orang disekitar lo. Lo kan ketua OSIS, gimana sih?” Mendengar nasehat Friska tersebut,

Dani hanya bisa terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Pandangan matanya kosong. Menyadari reaksi

Dani itu, Friska jadi ikut terdiam. Jangan-jangan gue salah ngomong, pikirnya.

“Dan…” panggil Friska lembut. Dani diam saja. Tampaknya Dani tidak mendengarkan

panggilan Friska.

“Daniel…” panggilnya lagi masih dengan nada lembut. Tidak lama kemudian ditariknya

lengan Dani.

“Hmm?” Dani akhrinya tersadar dari lamunannya dan menoleh ke arah Friska.

“Kamu sebegitu kwatirnya ya sama Miki?”

“Hm…” jawab Dani hanya dengan berdehem. Friska menghentikan langkah kakinya,

begitupun Dani.

“Perhatikan diri kamu juga.” pesan Friska dengan menatap mata Dani penuh prihatin.

132 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Papa dan Mama sudah berangkat ke Australia seminggu yang lalu. Mungkin besok Papa

dan Mama sudah akan kembali ke Jakarta. Mereka berdua sudah berusaha menghibur Om Rio dan Miki,

tapi mereka tidak bisa berlama-lama karena memang masih banyak yang harus dikerjakan di sini.

Sementara Dani saat itu masih berada di dalam kamar, berusaha berkonsentrasi untuk ujian hari

pertamanya besok.

Huff… dihembuskannya nafas panjang. Dari tadi ia telah berusaha berkonsentrasi belajar,

namun tetap tidak bisa. Tidak ada satupun yang sedari tadi dihafalnya masuk dalam otaknya. Ujian

hafalan memang yang paling berat bagi Dani, karena ia memang bukan orang yang pintar menghafal.

Berbeda dengan ujian hitungan seperti Matematika dan Fisika, ia akan dengan sukacita mengerjakan

soal-soal hitungan tersebut dengan mengaduk-aduk rumus yang entah kenapa sudah dihafalkannya luar

kepala.

Disaat seperti ini asyiknya mengubungi Chika, pikir Dani ketika kepalanya sudah tidak

mampu lagi berpikir. Akhrirnya diputuskan Dani lah untuk menelpon nomor itu.

Tut… tut… tut.. tiga kali telepon berdering baru Friska mengangakat telepon rumahnya.

“Hallow, selamat malam.” jawab suara tersebut.

“Chik, lagi pain lo?”

“Eh Dani. Gue lagi belajar nih, lo lagi paen? Gak belajar?”

“Iya, tapi gue gak bisa belajar neh. Gue lagi gak konsen. Lo lagi belajar apa? Lo udah

nguasain belum?”

“Hm.. belum semua. Gue lagi belajar dari buku paket Sosiologi bab lima neh.”

“Chik, gue datang ke rumah lo ya? Gue pengen belajar bareng biar ngerti. Gue gak bisa

ngafal, sumpah!” Dani memelas.

133 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hm.. boleh aja. Tapi gak plus curhat ya?”

“Ah, lo tau aja Chik, Hehehe… Yaudah, gue kesana sekarang ya?”

“OK, gue tungguin sekarang ya?”

“OK bye…”

“Bye…”

Klik. Sesaat terdengar suara gagang telepon yang diletakkan pada posisinya.

Dani segera mengambil jaketnya, memakainya, mengambil kunci motor dan berangkat ke

rumah Friska. Sementara itu, di rumahnya Friska jadi tidak bisa belajar lagi semenjak mengangkat

telepon Dani barusan. Hatinya gundah menunggu kedatangan Dani. Agak menyesal dia menerima

permintaan Dani tadi. Namun ia memang tidak kuasa menolaknya. Mungkin masih ada rasa dalam

hatinya terhadap Dani. Ia sendiri tidak mengerti.

Akhirnya tiba juga hari terakhir ujian semeter. Hari ini adalah hari yang paling di tunggu-

tunggu murid-murid di sekolah itu. Mereka menjuluki hari ini sebagai ‘hari pembebasan’. Bebas dari

tugas-tugas dan bebas dari segala urusan-urusan sekolah (untuk sementara). Liburan semester memang

hal yang paling dinantikan oleh sebagain besar murid sekolah. Apalagi untuk Dani kali ini. Ia merasa

tidak perlu menunggu siapapun juga begitu bel pertanda ujian telah selesai dibunyikan. Ia langsung

berlari kencang menuju pintu gerbang, menyusuri jalan-jalan yang setiap hari dilalui dan tidak berapa

lama kemudian ia pun akhirnya tiba di rumah.

“Ma…! “ teriak Dani begitu membukakan pintu rumah.

“Ya?” jawab Mama dari ruang tamu, setengah terkejut mendengar teriakan Dani yang

begitu bersemangat.

“Ma…!” teriak Dani lagi sambil berlari kecil menuju Mama.

134 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Napa Dan?”

“Ma… Dani ingin ke Australi, secepatnya!”

“…..” Mama tidak dapat berkata apa-apa.



Aku pikir tidak bisa aku dalam kondisi tidak jelas seperti ini terus dengannya.

Aku tidak tega dengan perasaan orang-orang di sekelilingku. Aku tidak boleh egois

dan hanya memikirkan kepentingan sendiri saja. Aku memang menyayanginya dan

aku pikir hal itu juga berlaku sama dengannya. Namun aku dan dia tidak akan

mungkin. Banyak hal-hal yang membatasi kami, terutama Rio. Aku pikir sepucuk

surat yang dikirimkan setiap dua minggunya tidak akan cukup menyatakukan

perasaanku terhadapnya. Lagipula ada telah memiliki sebuah janji pada seorang

gadis lain di tempat yang jauh dari sini. Janji yang mungkin akan ditagihnya

beberapa tahun ke depan. Gadis itu tulus menyayangiku seperti juga aku padanya.

Namun ada yang beda dari perasaanku padamu Michelle. Aku menyayangimu

terlalu dalam. Hingga aku sendiri takut pada perasaanku ini. Aku takut kalau-kalau

aku akan melukai diriku sendiri. Terutama aku lebih takut bila aku melukaimu atau

melukai Rio bila dia tahu perasaanku padamu. Apa lebih baik ku lenyapkan saja

surat-surat darimu yang mungkin dapat meninggalkan jejak tentang kenanganmu.

Aku pikir jika itu memang terbaik untuk semuanya, tidak ada salahnya. Aku tahu

Michelle, menyakitkan ketika kau mendapatkan sesuatu yang kurang baik dariku.

135 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Namun aku tidak berdaya Michelle. Aku mencintaimu dan aku tidak akan

memilikimu.



Di Australia sore itu, angin musim gugur berhembus di bandara. Meskipun saat itu di

sana sedang musim dingin, namun udara tidak sedingin musim dingin di Eropa. Sebuah pesawat dengan

bendera Singapura di ekornya baru mendarat di tempat itu beberapa saat yang lalu. Orang-orang terliht

berjalan mondar-mandir melewati ruangan di bandara tersebut. Dari kejauhan terlihat seorang anak

muda tengah membawa koper. Perawakannya tinggi namun sedikit kurus. Ia mengenakan topi dan

memakai kaca mata berframe hitam yang kemungkinan besar berminus. Tangannya penuh dengan koper

serta barang bawaan lainnya. Dari jauh terlihat sesosok gadis menyambutnya. Rambut gadis itu yang

hitam dan panjang lurus sepinggul bergoyang seiring derap langkahnya. Anak muda itu segera

meletaknya koper dan tasnya ke lantai begitu bertemu melihat gadis itu. Tidak berapa lama kemudian,

keduanya berpelukan melepas rindu. Dani menatap mata Miki sedalam-dalamnya ketika mereka

merenggangkan pelukannya.

“Are you OK, Miki?” tanya Dani membuka pembicaraan di petang itu. Miki hanya

mengangguk-angguk mengiyakan. Sorot wajahnya yang lembut memang menunjukkan perasaan letih

namun senyumnya tampaknya menepis semua itu. Terlihat ia tegar selepas kepergian neneknya.

“Miki, aku terlupa sesuatu sewaktu kamu di Jakarta. Aku datang untuk menyampaikan

yang terlupa itu.” ujar Dani dengan nada serius.

Miki yang bingung memeringkan kepalanya, alisnya di kerutkannya. Tanpa menunggu

reaksi apapun lagi, Dani mendekati wajah Miki. Miki hanya mematung. Dani menundukkan badannya

kemudian dirapatkannya dagunya di bahu Miki. Bibirnya begitu dekat dengan telinga Miki. Selama

136 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

beberapa detik, mereka berdiam dalam posisi seperti itu. Dalam otak keduanya sedang berkecamuk

berbagai pikiran dan pertanyaan. Terselip dalam angan mereka hayalan dan ingatan. Ingatan tentang

kebersamaan mereka di tengah perasaan yang tidak karuan.

“Miki… I Love you.” bisik Dani tepat di telinga kiri Miki.

Miki hanya bisa terus mematung mendengar pernyataan spontan itu. Matanya kosong dan

wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun. Ia sungguh terkejut mendengarkan pernyataan tiba-tiba

tersebut. Berbagai peristiwa terus terjadi silih berganti dalam hidupnya. Perasaan yang ada dalam

dirinya menderu dan bergejolak. Dani terus menatap Miki sambil berjanji dalam hati bahwa ia akan

menjagai gadis ini, menggantikan posisi Mom dan GrandMa-nya.

Sewaktu berjalan ke rumah Miki, Dani menyadari sesuatu yang mengganjal di tangan

Miki ketika ia membantu gadis itu menyebrangi jalan.

“Miki itu…”

“Oh ini?” Miki menjulurkan tangannya. Di pergelangan tangannya terlilit dua gelang

bermotif etnik. “ Ini gelang kenang-kenangan waktu Miki di Jakarta. Ini.. yang dari Dani, yang ini dari

Andre.” Miki menjelaskan sambil mengayun-ayun pergelangan tangannya. Dani sendiri terus

memandangi gelang itu sambil teringat perkataan Andre padanya.

“Oya Dan, masih ingat gak waktu Miki hilang dan kamu nyusul di taman itu?” tanya

Miki membuka pembicaraannya dengan Dani.

“Aha.” jawab Dani.

“Waktu itu paginya aku sempat nangis lho di sekolah kamu. Miki nangis gara-gara Andre

ngasih gelang yang sama dengan Dani. Miki sedih karena akan segera ninggalin Jakarta.”

“….”

“But I’m happy now. Because you are beside me.”

137 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Salju turun seperti menghiasi senyuman Miki ketika ia telah menyelesaikan kalimatnya.

Dani terpesona akan keindahan sore itu. Bukan hanya karena indahnya salju yang menari di atas udara,

tapi juga karena indahnya senyuman gadis yang sedang berdiri dihadapannya.



Chapter 12. Strawberry Please

Jakarta, Dua tahun kemudian…

“Pip.. Pip.. new SMS!” Miki yang sedari tadi tidur-tiduran sendiri di kamarnya akhrinya

terhenyak oleh bunyi yang berasal dari ponselnya tersebut. Ia pun segera bangkit. Sinar matahari yang

cerah masuk melalui jendela kamarnya yang bernuansa merah jambu menyala. Musim panas di

Australia selalu membuat Miki ingin lama bersantai di kamarnya sambil membaca buku-buku

koleksinya. Dilihat Miki tombol ‘Option’ yang tertera diponselnya. Muncul tulisan baru di layar tersebut

‘Read SMS?’ Ditekannya tombol yes. Pip…

Sejenak tersungging senyum tipis di bibir Miki.

138 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

From: Dani_yummy

Gud Mornin’, I’ve pray 4 you

today.

For such a beautifull angel...

Di sebuha café di belahan benua lain siang itu, terdengar suara nada ponsel berbunyi dengan

nada dering sebuah lagu lawas yang masih kerap diperdengarkan.

It was destany’s game

For when love finally came on..

I rush in line

Only to..

Pip… sebuah tangan menekan tombol di layar ponsel sehingga membuat lagu ‘Beautiful Girl’

yang menjadi nada dering pesan masuk di ponsel itu terhenti. Tertulis dalam layar:

From: Luvly Milcy Daniella

139 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Can’t say a word,

Just…

Dani your’re so yummy like an

ice cream

Dani tersenyum, ditutupnya flip ponselnya. Dilanjutkannya menikmati hidangan yang tersaji di

atas meja dalam café itu.

“Dari siapa Dan?” tanya seorang gadis yang duduk di sampingnya dengan muka

penasaran.

“Sepupu gue Chik,” jawab Dani dengan senyum lebar “..namanya, Miki.”

“Oh Miki ya? Apa kabar dia?” tanya Friska dengan berusaha menyembunyikan rasa

kecewanya.

“Baik.”

Siang itu Dani sedang bersama dengan teman-teman sekelas lainnya sedang mengadakan reuni.

Dani duduk di sebelah Friska. Keduanya menunggu kedatangan teman yang lain, terutama Joe. Dani dan

Joe cukup sering bertemu semenjak berada di jenjang kuliah. Keduanya mengambil universitas negeri

yang sama dan jurusan yang sama. Kebetulan pula keduanya lulus di pilihan tersebut. Sementara Friska

atas saran ibundanya, ia memilih untuk kuliah di jurusan design sebuah universitas swasta di negeri Jiran

dan ia memang berhasil mendapatkannya.

140 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Udah setahun ya Chik, lo gak pernah balik. Akhirnya ketemu juga.” ujar Dani sambil

mengucek-ngucek rambut Friska.

“Iya, lo juga jarang ngubungin sih.” balas Friska sambil berusaha melepaskan dirinya dari

tangan jahil Dani.

“Ahahaha.. tapi gue kangen kok ama lo.” ucap Dani jujur. Seperti biasa Dani selalu

berbicara apa adanya dan spontan.

“Lo gak berubah ya Dan?” Friska berbalik melototi Dani.

Kangen samaku? Dani kangen samaku? Benar kah itu? Udah setahun ya? Waktu yang

cukup lama buat bisa ketemu Dani lagi, Friska berbicara dalam hatinya.

Ingatan Friska kini terbuai peristiwa-peristiwa yang pernah dilewatinya dengan teman-

teman sekelasnya selama tiga tahun dulu dan terutama dengan Dani. Tidak dapat terlupakannya

peristiwa itu. Ketika takdir mempertemukannya dengan seorang pria yang hingga kini memiliki suatu

tempat di hatinya. Pria yang bernama lengkap Daniel Hardika Richardo.

Friska kemudian terbayang pertemuan pertamanya dengan Dani. Waktu itu mereka

masih kelas satu SMU dan Friska belum begitu dekat dengan Dani. Mereka berdua hanya sesekali

ngoborol, itupun kalau ada keperluan yang berhubungan dengan inventaris kelas. Hari itu ada

pertandingan three on three di sekolah. Dani ditunjuk mewakili kelas soalnya anak-anak klub basket

sudah pada tahu kalau Dani pintar main basket meskipun ia tidak bergabung dalam eskul basket di

SMU. Pasalnya di SMP-nya dulu –yang masih dalam satu yayasan dengan SMU mereka- , Dani sudah

terkenal jago main basket. Semacam MVP player lah istilahnya.

Seperti yang sudah terduga, kelas mereka menang telak. Seusai menonton pertandingan, Friska

baru ingat kalau dompetnya ketinggalan di kelas. Friska pun berlari ke kelas dan berusaha mencari,

141 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

namun tidak ketemu. Semakin lama Friska mencari, ia pun semakin gelisah. Saat itulah Dani masuk ke

kelas untuk mengambil tasnya yang sengaja ditinggalkan di bangku kelas. Melihat Friska dengan

eskpresi pucat, Dani segera bertanya kepadanya. Akhrinya Dani rela bela-belain gak ikutan timnya

ngerayain kemenangan agar dapat membantu Friska mencari dompetnya yang hilang. Ternyata walau

sudah susah payah dibantu Dani, dompet Friska tetap gak ketemu juga. Friska nangis sejadi-jadinya,

soalnya di dalam dompet itu ada uang serta kartu identitas yang penting bagi Friska. Dani langsung

sewot begitu melihat Friska menangis. Dengan penuh rasa canggung, ia berusaha sebisanya menghibur.

“Udah.. udah jangan nangis donk! Uang kan masih bisa diganti. Soal kartu identitas ntar masih

bisa di urus kok. Jangan nangis ya?” pintanya. Namun ternyata rayuan seperti itu tidak bisa

menghentikan tangisannya Friska. Sebaliknya, isak Friska malah semakin menjadi-jadi.

“Ya udah, udah gue antarin pulang gimana?” tawarnya. Namun Friska tetap menangis terisak.

“Gue beliin es krim deh!” tawar Dani lagi. Friska terdiam.

“Es krim?” Friska bertanya keheranan.

“He-eh. Sebentar ya!” Dan seketika itu juga Dani beranjak dari bangku taman tempat

mereka sedari tadi duduk dan merenung. Dani pun berlari sekencang mungkin.

“ Nih…gue beli dua. Satu sama lo.” tawar Dani sekembalinya ke bangku taman tersebut

sambil memberikan secorong es krim rasa Vanilla. Sementara yang rasa Coklat dinikmatinya sendiri. Es

krim ternyata cukup ampuh untuk meredam tangisan para gadis. Saat itu juga tangis Friska pun terhenti.

Mereka berdua akhrinya mengobrol sambil menjilati es krim. Senja itu para pemain maupun suporter

sudah pada berpulangan. Hanya tinggal beberapa murid yang sedang sibuk membersihkan sisa-sisa

keriuhan lapangan tadi siang.

142 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Eh, buruan tuh makan es krim lo sebelum meleleh.” Dani menyelak di tengah-tengah

pembicaraan.

“Eh iya. Meleleh neh, habisnya sorenya terik sih.”

“Iya, dampak global warming ya?” canda Dani dan ia pun tertawa lepas. Friska

memperhatikan keringat Dani yang mengucur dari atas wajahnya. Dani bukan hanya pintar main basket.

Dia baik, ramah dan humoris. Saat itulah Friska merasa pertama kali jatuh cinta dengan Dani.

“Lo mesen es-krim nya gede banget tuh. Extra large ya? curang!”

“Hehehe..” Dani cengar-cengir saja mendengar protes Friska.

“Es krim Coklat, lo suka ya?” tanya Friska lagi.

“He-eh.” jawab Dani disela-sela menjilati es-krimnya.“Dulu gue dan sepupu gue sering

dibeliin es krim ama bokap nyokap. Selalunya gue dibeliin rasa Coklat terus sepupu gue yang rasa

Vanilla. Mungkin karena kulit gue item sementara sepupu gue putih ya? Hehehe..” canda Dani.

“Gak nyambung kali!” ledek Friska. “Lagian lo gak item-item amat.” lanjutnya.

“Sepupu gue paling suka es krim, soalnya dia cengeng,” Dani masih melanjutkan ceritanya

tentang sepupunya “Jadi, satu-satunya cara meredam tangisannya ya dengan ngebeliin dia es-krim.”

Friska membisu dan terus menghayati cerita Dani.

“Sama kayak elo tuh!” ledek Dani menyambungkan ceritanya.

“Ahahaha..” keduanya pun tertawa berbarengan.

“Eh, ngomong-ngomong nama lo siapa? Kalau gak salah Chika ya?” tanya Dani tanpa merasa

bersalah.

“Hah? Nama gue Friska!” Friska membenarkan.

“Oh Friska ya? Gue kira Chika, tapi gue rasa lebih bagus Chika.“ ujar Dani seolah berkata

sendiri sambil menganguk-anggukkan kepalanya.

143 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Chik… Chik… Chika...” Panggilan Dani yang lembut akhirnya menyadarkan Friska dari

lamunannya. “Chika, lo tunggu disini ya? Gue mau beli es krim dulu.” Segera setelah itu Dani beranjak

bangkit menuju ke arah counter es krim.

“Tunggu Dan!” teriak Friska mencegat Dani. Secara tidak sadar, Friska ikut menarik lengan

Dani sebelum Dani sempat beranjak jauh. Selama beberapa detik mereka berdua mematung dalam

posisinya.

“Napa Chik?” tanya Dani dengan wajah keheranan.

“Em…. gue es krim yang rasa Stroberi aja ya?” pinta Friska. Selama beberapa detik, Dani

tertegun mendengar pernyataan itu.

“OK.” jawab Dani akhirnya dengan nada riang. Sambil tersenyum ia langsung beranjak dari

tempat duduk mereka menuju ke arah counter es krim yang berada di seberang meja.

Dani merindukanku? Aku ragu akan hal itu. Friska bergelut dalam hati. Aku pikir, satu-satunya

orang yang dirindukannya hanya… Miki.

“Ngomong-ngomong Dan, apa kabar dengan sepupu lo yang model itu?” tanya seseorang

mantan teman kelas mereka sekembalinya Dani dari counter es-krim. Ia akhirnya hanya membelikan

satu untuk Friska. Mungkin karena café itu gak menjual yang rasa Coklat.

“Uhhuk.” Dani tersentak ketika salah satu teman sekelasnya menanyakan pertanyaan sensitif itu

padanya.

“Maksud lo Miki?” tanya Dani memastikan setelah meletakkan kembali gelasnya ke atas meja.

“Kalau gak salah namanya Milcy Daniella kan?” tanya yang lainnya.

“Iya, kemaren gue liat fotonya di majalah yang di bawa nyokap gue dari Aussie. Tenar juga ya

dia?”

144 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Iya.. iya.. asyik juga ya kalau jadian ama cewek indon gitu. Model lagi.” celoteh yang lainnya

lagi.

“Emang sepupu lo tu udah punya pacar belum, Dan?” tanya salah seorang cowok yang sedari

tadi hanya diam di sudut café.

“Uhhuk-uhuk.” Untuk kedua kalinya Dani tersentak, kali ini batuknya lebih keras.

Pesta reuni berlangsung dengan penuh warna. Begitu banyak kenangan manis masa SMU

yang kalaupun terus diceritakan tidak akan habisnya. Akhirnya waktu memang selalu menjadi pemisah

setiap pertemuan. Pesta berakhir meninggalkan tumpukan piring dan gelas yang berantakan di atas meja.

Gerombolan orang itu berjalan melalui pintu depan café. Orang-orang dalam gerombolan saling tertawa

dan melambai-lambai pada yang lainnya. Hanya Friska satu-satunya gadis yang menatap kosong pada

sesosok punggung pria. Ditatapnya lekat-lekat Dani dari belakang. Sampai kapanpun tidak pernah

kumiliki, pikirnya. Tiba-tiba sebuah suara terdengung tapat ditelinga, suara serak milik…. Andre.

“Masih suka samanya?”

“A..” Friska tidak dapat berkata apapun mendengar pertanyaan Andre ini. Sebenarnya

bukan hanya pertanyaan Andre yang membuat Friska terkejut, namun juga perawakannya. Andre terlihat

begitu berbeda sekarang. Ia terlihat lebih tinggi dan jauh lebih dewasa, apalagi dengan mantel kulit

berwarna hitam yang dipakaikannya saat itu. Bila diperhatikan lebih dekat, otot-otot badan Andre

terlihat lebih berbentuk. Ditambah dengan rahangnya yang begitu kekar, Andre benar-benar tampak

gagah.

“A.... darimana lu tahu?” tanya Friska berusaha menghilangkan kekagumannya pada

Andre. Andre mungkin bukan salah satu dari antara teman sekelas Friska yang mengadakan reuni hari

145 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

itu, tapi entah kenapa Andre ada di sana. Mungkin karena di undang oleh seorang teman sekelas Friska

yang cukup dekat dengan Andre.

“Mau tahu rahasia?” tanya Andre dengan tatapan menggoda pada Friska.



Malam ini Dani pulang ke rumah dengan perasaan yang berwarna-warni. Pikirannya dipenuhi

ingatan akan kenangan SMU. Tersenyum ia mengingat semua kenakalannya dulu dan semua kelucuan

masa SMU. Diingatnya lagi pengalaman-pengalaman manisnya, juga perasaannya. Perasaannya

sewaktu pertama kali diterima di sekolah itu, sewaktu pertama sekali bertemu kedua sahabatnya, Joe dan

Friska, sewaktu kampanya pemilihan OSIS, sewaktu ia tepilih jadi ketua OSIS, juga sewaktu Miki

pertama kali datang ke sekolahnya.

Miki… apa kabar gadis itu di sana? Aku rindu padanya… Waktu serasa begitu lama berputar

tanpa dirinya, ucap Dani dalam hati.

Dani segera bangkit dari tempat tidurnya dan menghidupkan layar komputernya. Segera setelah

itu dia sibuk memijiti tombol keyboard di komputernya.

BlackWhite_413: Have u slept, sweet angel?

Dani_elle: I’m waiting on you… 

BlackWhite_413:  I can say nothing.

Dani_elle: How’s the reunion?

BlackWhite_413: Fun. Aku terkenang semuanya terutama…

Dani_elle: What?
146 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

BlackWhite_413: You!

Dani_elle: Why me? You’re doing reunion whif ur friend, remember?

BlackWhite_413: You’re everywhere in me, remember?

Dani_elle: (icon malu)

BlackWhite_413: Anyway, have you decided?

Dani_elle: About what?

BlackWhite_413: Jangan suka menghindari masalah Ki. Aku tahu kamu bingung, tapi kamu

harus bijak.

Dani_elle: Miki mau college di Indonesia.

BlackWhite_413: Aku juga ingin banget kamu di sini Ki. Bisa kulihatin terus.

Dani_elle: Terus kita main di rumah tua itu kan ,Dan?

BlackWhite_413:  Iya, kayak sepuluh tahun lalu. Tapi….

Dani_elle: Yeah, I know.

BlackWhite_413: Gak mungkin ninggalin Om Rio di sana sendiri kan?

Dani_elle: Iya. Papa juga gak mau pindah lagi. Dia…. udah terlampau cinta sama semua

kenangan Mom.

BlackWhite_413:Kenangan?

Dani_elle: Iya, kenangan.

BlackWhite_413: Miki, kamu gak usah kesini. Biar aku saja yang kesana.

147 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani_elle: Don’t say that u would like to take the last flight to here?

BlackWhite_413: Bukan, bukan itu. Hehehe…

Dani_ elle: So what?

BlackWhite_413: Ki, aku pengen kuliah serius biar bisa ngelanjut ke sana.

Dani_elle: GREAT!

BlackWhite_ 413: Ato mungkin aku boleh berharap dapat scholarship ke Oz.

Dani_elle: Greatest idea!!! I’ll pray for U.. (icon semyum malaikat)

BlackWhite_413: (icon senyum berjuang)

BlackWhite_413: Eh tahu gak Ki, aku sekarang sedang mengetik di salah satu kamar rumah

tua itu lho!

Dani_elle: Woa…

BlackWhite_413: Coba tebak kamar mana?

Dani_elle: Pasti kamar yang di lantai dua, yang menghadap ke halaman rumah.

BlackWhite_413: Weitz. Aku sedang gak pakai webcam lho, tahu dari mana?

Dani_elle: Feeling. Hehehe..

BlackWhite_413: Woman feelings never get wrong.

Dani_ elle: Itu kamar tempat kita sering bermain dulu kan?

BlackWhite_413:: hehehe… masih ingat?

Dani_elle: Yeah, I won’t forget it. Kenangan…

148 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

BlackWhite_ 413: (icon tertawa lucu)

Dani_elle: (icon muka merah)

BlackWhite_413: Miki…

BlackWhite_413: Seberapa penting kenangan untukmu?

Dani_elle: Hmm…

Dani_elle: Dani, bagi Miki kenangan waktu kamu ngasih Miki ice-cream gak ternilai

harganya.

Dani_elle: Mungkin kalau aku suatu hari mendapatkan kecelakaan dan tiba-tiba amnesia,

terus aku akan lupa cara mengikat tali sepatu tapi aku gak akan lupa kenagan kita.

BlackWhite_ 413:Hehehe… you just making me wanna take the last flight than go there

to your place.

Dani_elle: Ups, you can’t. Ingat besok ada kuliah!

BlackWhite_413: Iya. Kamu besok juga harus sekolah kan?

Dani_elle: Yup and I’m already feel sleepy.

BlackWhite_413: OK, sleep tight then.

Dani_elle: Nite, Angel will come to guide you tonight.

BlackWhite_413: I love U

Pip… (Disconnected)

149 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sementara itu di tempat lain yang tidak jauh dari café reuni tersebut di bawah langit malam

yang sama…

“Serius masih mau pesan lagi?” tanya Andre pada sesosok gadis manis yang duduk di depannya.

“Loh? Yang tadi nantangin lomba makan terbanyak siapa?” Friska kembali membalas

pertanyaan Andre.

“Iya deh gue nyerah, gue nyerah. Gue enggak tahan lagi udah kekenyangan,” kata Andre sambil

mengelus-elus perutnya. Lu emang gak terkalahkan, Fris. Padahal baru aja kita makan di café. Emang lu

jagoan makan deh.” lanjutnya sambil mengucek-ucek rambut Friska.

Friska dengan pelan menepis tangan Andre darinya.

“Nah, sekarang buruan kasi tahu rahasianya apa? Gue kan udah menang.” tagih Friska

“Serius lu udah siap dengarnya?”

“Iya, apa? Soal perasaan gue kan?” tanya Friska penasaraan.

“Bukan, bukan perasaan elu.”

“Jadi?” Friska mengernyitkan dahinya.

“Miki.” jawab Andre singkat. Seketika itu juga Friska terdiam dan terus menatap Andre. Nama

itu begitu sensitif baginya.

“Yah, berhubung kita kecil kemungkinan bakal ketemu dia lagi. Lagian gue kira ini bukan

rahasia besar karena sepertinya si tokoh utama sudah tahu, makanya gue ceritain aja ama lo biar lo gak

terus gelap mata.”

“Kenapa?” tanya Friska dengan nada yang lebih rendah dari yang biasa disuarakannya.

150 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki sebenernya udah naksir Dani dari dulu Fris, dari semenjak ia kecil. Dia udah suka Dani

jauh sebelum Dani nyatakan perasaannya ke Miki. Hanya saja dia memang gadis yang pintar yang bisa

nyembunyiin perasaannya. Cinta mereka memang aneh karena mereka sepupuan. Tapi bukannya

beberapa suku di Indonesia malah menganjurkan pernikahan dengan sepupu sedarah, Fris?”

Firska terdiam dengan tatapan yang kosong, diresapinya semua perkataan Andre.

“Friska…” panggil Andre lagi berusaha mendapatkan perhatian Friska. Seketika itu juga Friska

melihat ke arah Andre, terlihat matanya sayu dan berkaca-kaca seperti berusaha menahan tangis.

Andre menjadi kalang kabut mendapati ekspresi Friska yang seperti itu. Ia tidak menyangka

perkataannya barusan akan berefek begitu besar pada Friska.

“Gak papa kok Fris, masih ada gue.” bujuk Andre sambil menepuk-nepuk kepala Friska. Segera

Friska menangis sejadi-jadinya dipelukan Andre. Beberapa orang yang sedang asyik duduk makan di

warung nasi Padang itu spontan melihat ke arah mereka berdua. Andre hanya dapat tersenyum segan

kepada berpasang-pasang mata yang keheranan itu.



Richard berlari kecil menyusuri jalan kecil yang berkerikil itu. Tidak bisa

dihilangkannya senyuman yang membuat lesung pipitnya terpahat di antara garis-

garis wajahnya. Sudah setahun berlalu dan dia sangat merindukan adiknya. Rio

adiknya akan kembali dari Australia hari ini. Perasaan dalam dirinya meluap

menantikan saudara yang sesungguhnya tidak punya hubungan darah dengannya

itu. Beberapa orang yang berlewatan dan melewatinya menampakkan wajah yang

sedikit heran padanya. Dilirik Richard sekilas pada arloji hitamnya. Jarum pendek

menunjukkan angka tiga sementara jarum panjang tepat di angka dua belas.

151 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Diperkirakan Rio akan datang ke rumah pukul tiga sore. Richard berusaha

menepati janjinya untuk menyambut Rio dengan meriah di rumah. Setibanya di

depan rumah yang bernomor 413 itu, senyumnya langsung merekah. Ia berhenti

sejenak untuk menormalkan nafasnya yang terengah-engah. Matanya menatap

lembut ke atas, ke arah palang rumah yang terpaku kuat. Setelah menyakinkan

hati, perlahan-lahan ia mulai menjajaki kakinya memasuki setiap inci dari rumah

kuno tersebut. Didalam rumah tampak sunyi. Sebentar Richard mengernyitkan

dahinya menyadari keganjilan suasana ini. Kemana semua orang? Beberapa saat

kemudian, Richard tersadar kemungkinan Rio belum tiba di rumah. Ia kemudian

berjalan menuju lorong lain dalam rumah. Kemudian masuk menuju ke halaman

samping. Disana ditemukannya Mbok Anik sedang memotong rumput.

“Mbok…” panggilnya lembut.

“Ya?” wanita tua berusia sekitar 57 tahun itu menjawab setengah terkejut.

“Eh Mas, ada apa?”

“Bapak mana?”

“Oh, keluar bentar Mas katanya.”

“Ngapain Mbok, jemput Rio?”

“Iya Mas, tapi sepertinya udah keduluan. Mas Rionya udah di dalem.”

“Oh ya?” Richard menunjukkan ekspresi setengah senang dan setengah

terkejut mendengar jawaban dari Mbok Anik.

“Dimana sekarang?” tanya Richard penasaran.

152 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Tadi sedang di kamarnya Mas terus saya sempat lihat Mas Rio sedang di

kamar Mas Richard juga. Kalau sekarang saya kurang tahu juga.” jawab Mbok Anik

dengan alis yang dikerutkan.

“Oh, iya Mbok. Makasih ya Mbok.” jawab Richard sekenanya dan dengan

segera mungkin ia masuk ke dalam rumah kembali.

“Rio..” suara Richard yang serak namun ramah menggema di dinding-

dinding ruangan rumah tersebut.

“Rio…” panggilnya lagi lebih kuat dan panjang.

Ia berjalan ke arah loteng dengan ditemani suara deritan kayu. Setelah itu ia

membuka pintu kamarnya dan kamar sebelahnya yang tidak lain adalah kamar

Rio, namun ia tidak menemukan apapun. Ia berjalan menuruni anak-anak tangga

yang kembali berderit-derit. Langkahnya dipercepat dan isi kepalanya berputar.

Dimana Rio? Pikirnya. Dengan digerakkan oleh intuisinya, ia kemudian berjalan

melewati ruang tamu dan melewati ruangan lainnya dalam rumah itu yang diseka

oleh kayu-kayu tipis nan artistik. Setelah melewati rangkainya kursi-kursi yang

dibentangkan berjajar, akhirnya ia sampai di ruang makan. Di situlah

ditemukannya sesorang yang sedari tadi dicari-carinya.

“Rio?” sambutnya riang. Ia berjalan mendekat dan hendak memeluk adiknya

tersebut. Namun sekilas kemudian ia pun tersadar pada keganjilan yang terjadi.

Dengan segera mungkin Rio mundur seperti menciptakan semacam pertahanan

atau berusaha menghindari Richard.

“Rio?” panggil Richard lagi, namun suaranya lebih terdengar seperti sebuah

bisikan.

153 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Akhirnya Richard sadar apa sulut dari keganjilan ini. Pandangannya jatuh

pada secarik surat merah jambu. Surat yang sangat dikenalinya karena selama ini

tersimpan rapi di dalam mejanya. Surat itu satu-satunya surat yang tertinggal

untuknya dari Michelle. Pikiran Richard tiba-tiba saja menjadi buntu, lidahnya kelu,

sekujur tubuhnya kaku. Tapi ia harus berbuat sesuatu untuk menghindari hal buruk

yang diduganya akan terjadi selanjutnya.

“Rio?” suara Richard memanggil lagi dan kali ini lebih terdengar seperti

sebuah permohonan. Ia hendak saja ingin menyampaikan sebuah kalimat

penjelasan namun terhenti karena tiba-tiba sebuah bundaran putih dari keramik

telah melayang ke arah dirinya lalu berdentum keras ketika bertubrukan dengan

dinding tepat di sebelahnya berdiri.



Sore itu di selatan benua terkecil di dunia, seorang gadis berambut panjang sedang tersenyum

sendiri memandangi daun berguguran dari atas ayunannya. Di perhatikannnya satu per satu daun-daun

yang berguguran di halaman itu. Suasana hati yang gembira itu datang entah karena hari ini udara

memang cerah atau karena ia teringat pada sesosok pria yang berada di benua lain yang dengan kata-

kata sederhana selalu bisa membuat Miki tersenyum. Tiba-tiba Miki menghentikan gerakan ayunannya.

Di ambilnya sebuah surat yang sedari tadi diselipkannya di dalam saku jinsnya. Surat tersebut tidak

sengaja dipungutnya sewaktu hendak membersihkan gudang yang dulu pernah di pakai menjadi kamar

Ibunya. Saat ini Miki memang sedang berada di kamar GrandMa-nya, di pinggiran kota yang berjarak

beberapa km dari Melbourne. Perlahan-lahan dibukakannya surat tua yang masih utuh itu agar tidak

lecek. Di sapunya isi surat itu dengan matanya yang biru. Tidak beberapa detik kemudian ia melototkan

154 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

matanya. Miki begitu terkejutnya mendapati kalimat-kalimat dalam surat itu. Dibacanya lagi surat itu

dari awal berharap ia melakukan kesalahan membaca. Tapi tidak, penglihatannya tidak salah, kalimat

dalam surat itu juga tidak ada yang salah. Yang salah adalah….

Seketika itu juga Miki bergidik, gemetar. Ditutupkannya mulutnya dengan kedua

tangannya, segera ia bangkit dari ayunananya itu. Dengan kaki yang bergetar ia berusaha berjalan

memasuki rumah yang sudah tua itu. Meskipun tanpa suara namun ia menangis. Hal itu bisa bisa tampak

dari bahunya yang naik turun. Perlahan daun-daun yang berguguran itu mulai tampak buruk dan suram,

sama sekali tidak indah seperti tadi.



Chapter 13. Old Letter

Sudah hampir dua minggu Miki sama sekali tidak bisa di hubungin. Padahal Dani merasa baru

saja kemaren mereka chatting. Namun tiba-tiba Miki tidak bisa dihubungin kemanapun. Ponselnya gak

pernah tersambung, begitu pula di internet, Miki tidak pernah on-line. Dani jadi kalang kabut. Pasalnya

Dani tidak pernah lepas berhubungan dengan Miki. Mungkin pernah karena berbagai kesibukannya Dani

tidak menghubungi Miki seminggu, tapi kali ini sudah hampir dua minggu! Dani jadi pusing

memikirkannya. Bahkan ia ikut membawa perasaan uring-uringan ke kampus.

Hari ini Dani pulang dengan wajah lesu dan badan kuyu. Ia tidak pulang ke rumahnya yang

berada di kompleks itu. Sudah semenjak kuliah ia bersama keluarganya tinggal di rumah tua yang telah

155 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

direnovasi tersebut. Persoalannya kampus Dani serta tempat kerja Papa yang baru lebih dekat dengan

rumah tua itu daripada rumah mereka yang di kompleks. Sebenarnya ada alasan lain juga mengapa Dani

memilih untuk tinggal di rumah tua itu. Sesungguhnya ia ingin lebih dekat dengan kenangan masa

lalunya.

Kiiikt… pintu depan rumah tua itu mendesis ketika Dani membukanya. Begitu berada di dalam,

Dani tidak langsung masuk ke dalam kamar, namun ia menghempaskan badannya di atas sofa ruang

tamu terlebih dahulu. Lama ia berpikir sambil memejamkan matanya sebelum akhirnya ia bangkit

berdiri. Dia berjalan sambil mengamati isi rumah tersebut. Rumah ini bisa dibilang rumah dengan mode

klasik, terutama bila tanpa perabotan yang memberikan kesan modern pada rumah ini. Masih banyak sisi

dalam rumah ini yang masih asli dan tidak direnovasi karena masih bagus bentuknya: tangga-tangganya

yang masih utuh serta berbagai sisi lain dalam rumah itu. Dani melanjutkan dengan melangkahkan kaki

menjejali setiap sudut dalam rumah itu. Dibiarkannya kakinya berjalan mengikuti perasaannya.

Pikirannya terkenang akan masa lalu. Dahulu ia sering berlari-lari di sini. Ia tidak sendirian, namun

bersama Miki. Dia dan Miki yang masih kecil sering berlari-lari di tangga ini, berkejar-kejaran sambil

tertawa. Dani tersenyum sendiri. Dalam pandangan Dani, kenangan itu begitu nyata di depanya.

Terlihat senyuman manis Miki kecil begitu indah. Sinar matahari yang menyusup lewat jendela

memantulkan wajah bulat Miki. Dani melangkahkan kakinya ke atas tangga mengikuti langkah lari dua

anak kecil dalam bayangannya yang tidak lain adalah dia sendiri dan Miki. Ia melangkah kaki satu

persatu melewati anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga tersebut, seperti yang sering

dilakukannya dengan Miki dulu. Tidak lama ia telah tiba diatas. Kemudian dibelokkannya kakinya

melewati ruang kamarnya. Sesampainya ia di satu kamar di ujung loteng, ia pun terdiam. Bayangan

kedua bocah tadi tiba-tiba lenyap bersama terik sinar matahari yang semakin menyilaukan

pandangannya. Kamar itu jarang disentuhnya. Bahkan semenjak kepindahannya kembali ke rumah ini,

156 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

dia sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Kamar itu adalah gudang tempat menyimpan segala

perabotan lama serta barang-barang kuno lainnya. Dani memang tidak pernah menginjakkan kaki lagi ke

sana, namun ia ingat bahwa ia dan Miki sering bermain di sana dulu. Dengan sedikit rasa ragu, Dani

membukaan engsel pintu yang telah berkarat itu.

Kreak.. kerek… kreak.. bunyinya begitu ngilu. Engsel itu cukup sulit di buka berhubung orang-

orang di rumah itu juga jarang memasukinya. Bunyi mendesis terus keluar dari engsel pintu itu hingga

Dani berhasil membukakannya. Pelan-pelan Dani melangkahkan kakinya ke dalam. Begitu banyak debu

dan sarang laba-laba di sana. Terlihat benar bahwa kamar ini jarang didatangi. Mungkin pernah

beberapa kali sewaktu memindahkan barang-barang yang ingin direnovasi ke dalam. Akan tetapi,

selama beberapa bulan belakangan ini sudah tidak pernah lagi orang masuk ke dalam sehingga semua

debu menumpuk di dalamnya. Semakin jauh Dani melangkahkan kakinya, semakin besar rasa

penasaranya pada isi ruangan tersebut. Semua perabot-perabot tua di dalam ini memiliki kenangan

sendiri pada dirinya. Dirabanya satu persatu perabotan tua yang berdebu tersebut. Jari-jari tangannya

kini telah hitam penuh dengan debu, begitu pula dengan kakinya yang telanjang. Dani terus

melangkahkan kakinya hingga tiba di suatu sudut. Ia melihat tumpukan kardus yang berada di situ. Di

dalam kardus tersebut terdapat berbagai jenis barang. Mama Dani memang tidak suka membuang segala

sesuatunya. Ia bahkan memiliki kebiasaan menyimpan barang-barang, meskipun barang tersebut sudah

rusak. Menurutnya barang-barang tersebut memiliki kenangan yang berbeda-beda yang tidak boleh

dilupakan.

Dani akhirnya mengambil kardus-kardus tersebut dan pelan-pelan dibukanya. Kardus yang

pertama berisi tumpukan mainan: robot-robotan, miniatur rumah serta pistol-pistolan yang semuanya

sudah rusak. Di ambilnya kardus satu lagi. Kardus ini berisi buku-buku tua. Kemungkinan besar ini

adalah buku kuliah Papa dan Mama. Soalnya Dani sempat melihat nama lengkap orangtuanya berikut

157 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

nomor mahasiswanya di depan sampul buku-buku tersebut. Di bukanya kardus ketiga. Kardus tersebut

berisi surat-surat lama. Dari perangkonya tertera tanggal pengiriman surat tersebut sekitar hampir dua

puluh tahun yang lalu. Surat-surat itu ada yang masih utuh bersama isinya namun ada juga yang hanya

tinggal amplopnya saja. Dani mengambil sebuah amplop yang berwarna merah jambu. Namun betapa

terkejutnya dia mendapat kata-kata yang tertera dalam amplop tersebut, disana tertulis:

To:

Richard H T

Dibaliknya surat itu dengan segera. Dan disana tertulis…

From:

Michelle Laura

Diambilnya amplop satu lagi dan… pengirimnya sama!!

158 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dear:

Richard H T

Dani agak berdegup ketika membalikkan amplop tersebut dan ternyata sama. Pengirimnya tidak

lain dan tidak bukan adalah Michelle, mendiang ibunda Miki. Kini dengan gerakan cepat Dani

mengucek-ucek isi kardus tersebut. Memang ada surat dari orang lain yang di tujukan pada Papa Dani.

Namun kenapa semua surat yang dikirmkan dari Mama Miki tujuannya adalah Papaku, pikir Dani. Ia

terdiam sejenak. Keringat menetes lewat dahinya dalam ruangan yang panas itu. Namun Dani tidak

peduli lagi dengan ruangan yang panas itu. Ia sibuk memikirkan segala kemungkinan yang lahir dari

amplop tersebut. Akhirnya dengan tangan yang sedikit gemetar, Dani mengambil sepucuk amplop yang

masih berisi. Disitu tertulis bahwa pengirmnya adalah Michelle dan di tujukan pada Richard. Dani

menelan ludah sebentar sebelum ia berani membacanya. Dibukanya dan sejenak ia mengernyitkan dahi.

Ternyata isinya bukan dari Michelle. Dicari-carinya lagi surat yang mungkin ada tulisan Michelle.

Diraba-rabanya seluruh surat yang ada. Hampir sekitar lima belas menit ia berjongkok dalam posisi

tersebut, namun hasilnya nihil. Dengan wajah pucat, Dani bangkit dari posisinya. Di langkahkannya

kakinya yang lemas ke arah kamarnya. Sesampainya di kamar, dibukanya pintu kamarnya dan segera ia

merebahkan tubuhnya di sana. Matanya terpejam namun tidak dengan otaknya. Begitu banyak hal yang

dipikirkannya saat itu. Tanpa terasa mentari telah turun ke ufuk barat.

“Dani… kenapa di kamar terus, Nak? Makan dulu Dan…” teriak Mama dari bawah loteng. Dani

sedikit tergugah ketika mendegar suara Mama. Ia memang sedari tadi menyibukkan diri di kamar

159 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

dengan berbagai kegiatan: menulis, main gitar, membaca dalam upaya menghilangkan tanda tanya besar

dalam kepalanya.

“Dani… turun dong, Nak.” pinta Mama lagi dengan berteriak tepat di bawah loteng.

Dani akhirnya menyerah, ia bangit dari meja belajar dan berjalan turun. Tampangnya cukup

berantakan. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya kusut. Ia juga tidak memakai kacamata yang selalu

melekat di wajahnya. Mama yang melihat Dani turun dengan penampilan seperti itu merasa sedikit aneh.

Tidak biasanya Dani kelihatan kusam, karena ia selalu menjaga penampilannya rapi.

“Kamu belum mandi, Dan?”

“Belum Ma.” Jawab Dani sambil menyerbu gorengan yang dihidangkan di atas meja makan

bundar itu.

“Mandi dong, Dan. Dari tadi kan udah beraktifitas, entar jadi daki lho.” Mama menasehati

dengan lembut. Ia kemudian berjalan ke arah Dani dan di kucek-kuceknya rambut Dani yang kucel.

“Iya Ma, bentar lagi ya?” Dani berkata dengan suara tertahan, sebab makanan yang ada di

mulutnya belum sepenuhnya ia kunyah.

Setelah itu, Dani kembali menyapu pandangannya ke sekililing ruangan itu. Ia teringat peristiwa

tadi siang. Kemudian ia terpaku pada pesawat telepon yang diletakkan beberapa meter dari ruangan

makan. Tiba-tiba sebuah gagasan mampir di otaknya. Ia pun berjalan menghampiri telepon itu.

Diangkatnya gagang telepon itu dan ia bersiap-siap untuk memijit sebuah nomor telepon yang sudah

dihapalnya.

Kiikt… Tiba-tiba terdengar suara pintu depan dibuka. Dani tidak jadi menekan nomor itu, namun

berkonsentrasi pada orang yang akan menyeludukkan kepalanya dari balik pintu rumah.

“Wah… udah pulang, Pa?” tanya Mama ketika melihat wajah pria itu muncul. Ternyata Papa.

160 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Iya Ma, diluar gerimis lho.” lapor Papa sambil mengecup kedua pipi Mama yang datang

menghampirinya.

Dani mematung di depan meja telepon. Gagang telepon masih terangkat di tangannya yang satu

lagi. Dani terbayang pada surat-surat yang tadi siang ditemukannya. Dipandanginya terus Papanya

dengan pandangan yang tidak biasanya.

“Mau telepon siapa, Dan?” tanya Papa ketika ia berjalan melewati Dani, masuk menuju ke ruang

dapur. Mama segera menyusul Papa sambil mempersiapkan hidangn malam untuk keluarga.

“Eh... Oh…” Dani segera sadar dari imaginasinya. “Mau telepon Om Rio, Pa.” jawab Dani

berusaha bersikap tenang.

“Om Rio? Buat apa Dan?” tanya Papa lagi. Kali ini Papa telah duduk dengan rapi di meja

makan. Jasnya digantungkannya di salah satu sisi kursi.

“Em… enggak Pa. Cuma mau tahu kabar Miki aja.” jawab Dani. Ia tidak jadi menelepon.

Diletakkannya gagang telepon tersebut pada tempatnya.

“Loh, memangnya kamu gak tau ya Dan? Om Rio dan Miki kan sedang di Prancis.”

“Hah?” Dengan nada terkejut Dani merespon pernyataan Papa tersebut.

“Iya, atas undangan GrandPa-nya Miki.”

Dani mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha menangkap perkataan Papanya.

“Aneh ya, Dan. Padahal Miki itu kan pobia naik pesawat terbang semenjak peristiwa kecelakaan

almarhum mamanya. Papa juga lumayan terkejut waktu tahu dua tahun lalu Miki ke sini via pesawat. Ia

kan paling takut pesawat.” cerita Papa sembari melonggarkan tali dasinya.

Mama kemudian ikut menyambungkan pembicaraan dengan tangan yang di penuhi dengan

hidangan makan malam. “Tapi mungkin GrandPa-nya udah kangen banget sama Miki ya? Soalnya

161 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

semenjak cerai dengan GrandMa-nya kan GrandPa-nya Miki kembali ke Prancis dan udah lama gak

kembali ke Australi, jadi mungkin sudah lama mereka tidak bertemu.”

“Tapi bukannya GrandPa-nya datang ke pemakaman GrandMa Miki ya Ma?” tanya Papa

mengingatkan.

“Iya, baru dua tahun yang lalu GrandPa-nya baru bisa ketemu lagi dengan Miki setelah lama.

Dari situ katanya GrandPa nya minta Miki ikut ke Prancis bersamanya. Karena cucu-cucu GrandPa-nya

yang lain alias saudara tiri Miki sudah cukup dewasa, jadi gak bisa bareng nemenin GrandPa nya terus.”

“Mungkin selama ini Miki masih berpikir atas tawaran GrandPa itu ya Pa?” Mama menerka-

nerka sambil terus menghidangkan makanan di meja.

Sementara dalam keterkejutan Dani mendengar pembicaraan kedua orangtuanya itu, ia tidak

dapat berkata apapun dan teus mematung dalam posisinya. Ia terus bergulat dalam hati. Miki tinggal di

Prancis? Di Prancis? Jauh sekali. Lebih jauh dari Australia. Mungkin tepat bila Miki memutuskan untuk

ke Prancis sekarang ini. Mungkin Miki telah memutuskan untuk melanjutkan kulihanya di negara mode

tersebut. Baguslah. Pendidikan di Prancis kan cukup bagus. Apalagi kalau Miki di sana bersama dengan

GrandPa serta keluarganya yang lain. Tapi.. kenapa selama ini Miki tidak cerita padaku? Kenapa begitu

banyak hal tentang Miki tidak aku ketahui. Kenapa waktu chatting dengan Miki kemaren ia tidak jujur

saja bahwa ia ingin kuliah di Prancis? Kenapa harus berpura-pura merasa ingin berada di sisiku? Aku

tidak mengerti, aku tidak mengerti! Dani masih terus bergelut dengan pikirannya.

“Dani, kenapa berdiri di situ terus? Sini kita makan malam yuk.” ajak Mama yang telah siap di

meja makan.

Tanpa memperdulikan perkataan Mama, Dani berlari keatas. Dengan menghentak, ia

melangkahkan kakinya yang berat. Anak-anak tangga yang terbuat dari kayu itu pun berbunyi keras saat

162 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani melangkahkan kakinya. Sepeninggalannya, Mama dan Papa hanya bisa melemparkan tatapan

bingung atas kelakuan aneh Dani tersebut.



Chapter 14. Love me Not

Hari ini adalah tepat hari ke-15 semenjak Dani benar-benar hilang komunikasi dengan Miki. Dan

memang terlihat bahwa semakin hari ia tampak semakin uring-uringan. Teman-teman sekampus Dani

melihat ada yang berbeda dalam diri Dani. Biasanya ia rajin mencatat dan memperhatikan dosen di

kelas, namun belakangan ia hanya mencoret-coret bukunya dengan gambar yang tidak jelas. Mama dan

Papa pun sama bingungnya. Mereka selalu memperhatikan kelakuan Dani yang ganjil, namun tidak

sekalipun mereka menayakannnya pada Dani. Mereka sadar pasti ada sesuatu yang membuat Dani

163 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

gundah dan mereka tidak perlu menanyakannya pada Dani karena mereka yakin Dani dapat

menyelesaikan persoalannya sendiri seperti yang selalu ia lakukan.

Pagi ini Dani hendak berangkat ke kampus ketika Pak Pos yang mengendarai sepeda motor

berhenti tepat di depan rumah Dani. Diselipkannya sebuah surat di kotak yang berada di depan teras

rumah Dani -yang memang di buat untuk menampung surat yang masuk-. Dani tidak langsung

menghiraukan keberadaan surat itu. Setelah ia pamit pada Mama dan Papa, barulah ia berjalan ke luar

menuju pagar. Di sempatkannya sebentar melihat surat yang tergeletak di dalam kotak tersebut dengan

niat untuk mengantarkannya ke dalam rumah. Akan tetapi, Dani sedikit heran begitu menyadari bahwa

orang yang dituju surat itu adalah dirinya sendiri. Ia jarang mendapatkan surat pribadi. Biasanya surat

yang masuk adalah berupa tagihan pulsa ponsel Papa atau berkaitan dengan urusan kantor Papa. Namun

kali ini benar-benar untuk dirinya dan lebih anehnya lagi dalam surat tersebut tidak ada nama

pengirimnya hanya alamat pengirimnya saja. Dani tidak mengetahui alamat rumah siapa itu. Lagipula

alamatnya di... Australia. Hah, Australia? Dani tersadar akan sesuatu. Pikirannya langsung tertuju pada

Miki. Buru-buru disobeknya amplop itu dan dibukakannya. Di dalam amplop itu masih ada amplop

lainnya lagi. Namun amplop yang didalamnya terlihat sudah tua. Dani semakin heran dan bertanya-

tanya dalam hati. Dengan seksama di perhatikannya amplop itu. Dan betapa makin terkejutnya ia begitu

menyadari bahwa alamat pengirim surat yang tertera dalam amplop tua itu adalah rumah no. 413.

Rumah itu tidak lain adalah rumah yang sekarang ditempatinya. Dan yang lebih mengherankan lagi, si

pengirim sendiri adalah… Richard, AYAHNYA! Di balikkannya lagi surat itu dan di bacanya tujuan

surat itu adalah… Michelle, IBU MIKI! Dirasakan Dani jantungnya berdetak semakin kencang.

Tangannya sedikit bergetar. Dalam angannya terbersit berbagai pikiran-pikiran yang mungkin belum

pernah dipikirkannya sebelumnya. Setelah menghirup udara panjang dan menelan ludahnya, ia

memberanikan diri membaca isi surat itu. Dibukakannya surat tua itu dengan hati-hati agar tidak lecek.

164 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Bunyi gemersik terdengar ketika ia membolak-balikkan lipatan surat itu. Di tahannya nafasnya ketika

membaca isi surat itu.

Dear Michele,

Maybe this is the last letter that I send to you. I don’t wanna hurt you or my

brother, Rio. But I also won’t deny that I love u so much. I will always miss you

Babe. Truly I am sincere love you. And I don’t expect anything from you. I do love

you.

Michelle, you should know that it is very hard for me to tell you the truth. It

is as hard as my decision to choose this choice. But in the end I think this is the only

165 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

right choice. I will forget you even though I know that I cannot forget all the things

about you for all of my life. In the moment when I write this letter, I realize the

really truth. Love hurts, I am on hurt and I don’t want you to be either being in

hurt. The memory about you is carved deep in my heart that can make me

unconscious of myself. That’s why before all the things becomes so wrong, I chose to

past you. I will start my life without you here. In the place where we are separates

about thousand miles. I hope you do also get your happiness there. The last, I’ m

asking you to take care of my brother because I know that he loves you more than

anything.

Take care of yourself.

With all of my deepest love,

Richard H T

Dani terpaku di depan teras rumahnya, tepat ditengah-tengah pagar, begitu menyelesaikan

kalimat akhir surat tadi. Badannya mengejang dan tangannya masih bergetar. Matanya menatap tajam ke

depan, namun mata itu kosong. Mata itu penuh dengan pikiran-pikiran yang tiba-tiba saja memenuhi

otaknya. Dengan posisi badan yang sama, Dani melangkahkan kakinya ke depan. Entah mengapa kali

itu kakinya terasa begitu berat untuk digerakkan. Dani tidak tahu kemana arah langkah kakinya, tiba-tiba

saja ia lupa bahwa ia hendak pergi ke kampus pagi ini. Angannya melayang entah kemana dan dadanya

terasa begitu sesak.

166 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Dani, masih di sana?” tiba-tiba Mama menyadarkan Dani dari rasa syoknya. Spontan Dani

membalikkan badannya menghadap ke Mama. Matanya menatap Mama penuh arti. Mungkinkah selama

ini Mama tidak tahu, pikirnya.

“Dani, tadi ada Pak Pos ya? Ada surat dari siapa, Dan?” tanya Mama lagi tanpa curiga. Dani pun

tersadar akan pertanyaan Mama. Pelan-pelan disembunyikkannya surat tadi ke balik pungggungnya.

“Enggak, enggak ada surat kok Ma,” jawabnya berusaha tanpa terlihat ganjil. “Ma, Dani

berangkat ya?” pamitnya dengan nada sebiasa mungkin. Meskipun begitu, masih terlihat kekakuan

dalam ucapan Dani. Apalagi langkah Dani uring-uringan membuat Mama tmabah curiga sehingga

wanita separuh baya ini tidak langsung masuk ke dalam rumah, namun terus memandangi Dani dari

belakang hingga wujud Dani tidak terlihat lagi di persimpangan rumah.

Pagi itu Dani tidak berangkat ke kampus. Ia hanya melangkahkan kakinya tanpa arah. Pikirannya

begitu kusut dan terlalu banyak tanda tanya dalam kepalanya. Tanpa ia sadari, kakinya menuntutnya

suatu tempat. Tanpa terasa ia telah tiba di sebuah taman. Taman yang sangat dikenalinya. Itu adalah

taman rahasianya dengan Miki. Taman itu mungkin sedikit berbeda dengan sepuluh tahun lalu. Taman

itu tidak selebar dulu karena banyaknya pembangunan di sana-sini. Beberapa wahana di tambahkan dan

bangku taman itu di cat dengan ornamen warna-warni. Hanya ayunan kayunya saja yang tampak tetap

seperti dulu meskipun dengan cat yang telah dipugari. Dani kemudian duduk di atasnya. Ia berpikir lama

sekali di situ. Sesekali di goyang-goyangkannya ayunan dengan memanfaatkan berat tumbuhnya.

Digoyangkannya perlahan ayunan itu sambil berusaha menenangkan pikirannya. Namun pertanyaan-

pertanyaan tetap tidak berhenti berputar di kepalanya: kenapa Miki mengirimkan itu? Adakah

hubungannya dengan keberangkatannya ke Prancis? Mungkinkah Miki baru membacanya dan merasa

terpukul dengan itu.

167 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani pun berkata-kata dalam hatinya. Sejujurnya aku juga merasa terpukul. Selama ini Papa dan

Mama pasangan yang mesra. Bahkan aku berharap kalau kelak menikah aku ingin seperti Papa dan

Mama. Tidak pernah terbersit dalam pikiranku kalau Papa bisa mencintai wanita lain selain Mama. Papa

pernah cerita kalau ia sudah mengenal Mama sejak lama, sejak masih di desa. Aku juga tidak tahu desa

mana yang Papa maksud karena ia tidak pernah cerita panjang lebar tentang masa kecilnya. Tapi kalau

soal cinta Papa, aku sejak dahulu berkesimpulan bahwa Papa tidak pernah mencintai orang lain selain

Mama. Apalagi bila orang itu adalah Mom-nya Miki. Atau…. jangan-jangan aku dan Miki bukan hanya

saudara sepupu tapi saudara….

Ah, aku tidak boleh berpikir seperti itu. Tidak mungkin Papa seperti itu. Dani dihantui dengan

segala pertanyaanya hingga tiba-tiba ia tersadar. Tapi bila Miki berpikir seperti itu gimana? Dan kalau

pun itu benar gimana?



Di Paris, ibu kota Prancis malam itu, cuaca yang mendung membuat pemandangan

malam di kota itu semakin suram. Aura Paris yang keemasan tertutup butiran kristal salju yang sedari

tadi telah turun mendinginkan suasana kota. Dari jendela lantai tiga sebuah rumah yang bermodel batu

bata dan sengaja tidak di plaster, seorang gadis berambut hitam panjang dengan mata biru tajam

memandang kosong keluar jendela. Matanya tertunduk kebawah menatap ke tumpukan salju di jalanan.

“Miki, kenapa kamu dari tadi berdiam saja nak?” sebuah suara serak bertanya sambil berjalan

mendekati Miki. Miki tidak beranjak dari posisinya. Ia terus berdiam di depan jendela kaca tersebut.

“Miki, sudah tiga minggu kamu ada disini. Bukannya kamu masih punya urusan di hi school?”

“Hmm…” Miki hanya berguman. Sepertinya ia kurang memperhatikan perkataan ayahnya

barusan.

168 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki… kamu kenapa?” tanya Om Rio sambil membeli kepala Miki.

“Hm.. enggak Pa. Miki tiba-tiba teringat Mom.”

Seketika itu juga tubuh Om Rio mengejang, seketika mendengar pernyataan Miki tadi. Ia pun

berbalik dari posisinya dan ia mendengus.

“Pa…” Miki memanggil masih dengan pandangan mata yang kosong menatap ke butiran salju di

luar.

“Ya?” jawab Om Rio berusaha tegar karena tiba-tiba ia juga ikut-ikutan teringat pada almarhum

istrinya tersebut.

“Papa cinta sama Mom?”

“…..”

“Papa sayang sama Mom?”

“…..”

“…..” Keduanya terdiam dalam bisu. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.

“Pa.... Apa Mom sayang Papa?”

“…..”

Om Rio masih terdiam sambil memandang dalam pada Miki. Sementara Miki masih tetap

memandang kosong keluar, tetap berdiri diposisinya.

“Miki, sebenarnya kenapa kamu tanya itu semua?” Akhirnya setelah berpikir panjang Om Rio

memutuskan menanyakan kembali.

“Pa, aku sakit.”

“….?”

“Hatiku sakit, Pa.”

169 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Om Rio menjadi pilu mendengarkan ucapan putri tunggalnya ini. Dilihatnya ekspresi Miki yang

sudah cukup menceritakan rasa di hatinya. Dihampirinya lagi Miki dan diperhatikannya gadis tersebut

dari jarak dekat.

“Miki my lovely dauther, Papa tahu rasanya sakit hati. Papa paham, Ki.”

“…..”

Miki terdiam dalam bisu dan tidak sedikitpun diliriknya Om Rio.

“Sejujurnya Miki, hingga hari kematian Mamamu, Papa masih tidak tahu perasaannya pada

Papa. Dia... tidak sekalipun pernah mengatakan kata cinta pada Papa.” Om Rio menghembuskan lagi

nafas panjangnya. Seolah bebannya dapat keluar dalam tiap uap air di nafas yang dihembuskannya.

“Tapi Miki, Papa yakin,” Om Rio menyisipkan jeda sejenak sebelum melanjutkan ucapannya

“…bila kita dengan tulus mencintai seseorang, mungkin dari situ akan kita dapat segala sesuatu yang tak

kalah baiknya. Ya Miki, bila kamu terus menerus dengan tulus mencintai seseorang, tulus memberikan

yang ada pada kita, maka yang terbaik akan datang padamu, Miki.”

Kali ini Miki tidak lagi mematung dengan pandangan kosong. Dia berbalik, dipandanginya Om

Rio yang berdiri tepat di sampingnya. Dia mengadahkan kepalanya agar dapat melihat Om Rio dengan

lebih jelas. Untuk sejenak keduanya hanya saling bertatapan penuh makna.

“Nah Miki, jadi kapan kamu memutuskan balik ke Aussie?”

“Hm… belum tahu Pa. Tapi mungkin setelah Miki ke-Indonesia dulu.”

“Urusan kantor Papa belum selesai disini, jadi mungkin kamu harus berangkat sendiri, Miki.”

“Yeah, You’ve told me. Don’t be afraid, I can take care of my self now.”

“But are you sure that you won’t tell Dani first, hum?”

170 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Miki terdiam sejenak mendengar pertanyaan Om Rio. Dialihkannya pandangannya ke depan dan

kembali dipandanginya tumpukan salju tadi dengan tatapan mata kosong.

“Yeah, I do Dad.” jawab Miki yakin.



Dani akhirnya pulang ke rumah begitu matahari tidak menampakkan sinarnya lagi. Ia

melangkahkan kakinya dengan berat. Seharian ini dia hanya mondar-mandir entah kemana, dia sendiri

pun tidak ingat lagi. Ia berjalan, naik kendaraan umum, berajalan lagi, keliling-keliling dan berjalan

lurus. Suasana yang dilewatinya silih berganti, namun ia hanya memikirkan hal yang sama sedari tadi.

Hanya memikirkan surat itu.

Kriiitk… Terdengar lagi engsel dari pintu rumah tua itu ketika Dani memasukinya. Dani berjalan

lesu ke dalam. Dani bahkan tidak menatap ke depan ketika hendak masuk.

“Sudah pulang, Nak?” terdengar suara Mama menayai Dani. Dari tempat berdirinya di dalam

rumah, Dani juga dapat melihat Papa sedang duduk di meja makan. Terlihat baju kemeja serta dasi Papa

masih melekat di tubuhnya. Sebenarnya Dani sedikit terkejut ketika melihat Papanya di dalam rumah.

Dani baru sadar ketika melirik ke arah jam yang telah menunjukkan pukul tujuh malam. Biasanya jam

sekarang Papa memang telah pulang ke rumah. Artinya Dani yang kelamaan pulang hari ini.

“Hm… iya, Ma.” jawab Dani.

“Kamu mau makan? Yuk kita makan sama-sama aja.” ajak Mama sambil menggiring Dani ke

meja makan.

Dani pun mengikuti Mama dengan langkah yang agak kaku. Sesampainya di meja makan, ia

duduk tidak seperti biasa, dipandanginya Papa dengan mimik aneh. Menyadari sedang diperhatikan,

Papa balas menatap ke arah Dani. Dan dengan segera Dani memalingkan mukanya.

171 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kamu belum makan di luar kan, Dan?” Papa bertanya tanpa menyadari sesuatu yang ganjil

dalam diri Dani.

“Ah… e… belum Pa.” jawab Dani. Memang selama di luar Dani tidak menyicipi apapun.

Selama mondar-mandir di jalanan ia lebih banyak hanyut dalam pikirannya sendiri sehingga jadi lupa

makan. Ketika ditanyai soal makanan barusan Dani baru menyadari bahwa perutnya memang kosong

dan terasa agak asam di lambungnya.

“Ya udah kita makan sama-sama Dan. Sudah lama ya kita gak makan sama-sama? Habis kamu

terlalu sibuk dengan segala kegiatanmu.” Papa berujar dengan mata yang lembut dan sayu. Dani

tertegun menatap mata itu. Papa begitu penuh kasih, ia selalu menunjukkan ekspresi yang menyejukkan

hati. Bagaimana bisa aku membenci Papa? Ucap Dani dalam hati. Gak mungkin aku membenci Papa,

pikirnya.

“Dani, ini piring kamu. Mau Mama ambilin nasinya?” tanya Mama.

“Sini, aku aja Ma.” jawab Dani.

Setelah itu Mama mengambil piring Papa dan menaruhkan nasi ke atasnya. Sebelum

memberi kembali piringnya kepada Papa, Mama menyempatkan mengecup pipi Papa. Dani dengan

seksama memperhatikannya. Sebenarnya ini sudah sering terjadi di rumahnya dan Dani sudah terbiasa

melihatnya. Mama dan Papa benar-benar pasangan yang mesra. Papa benar-benar mencintai Mama dan

juga sebaliknya. Waktu kecil, melihat Mama dan Papa yang selalu seperti itu membuat Dani

menganggap bahwa semua orang memang diciptakan berpasangan untuk saling menyayangi. Dani kecil

selalu bingung kalau melihat anak yang berjalan tanpa kedua orangtuanya, sebab kedua orangtuanya

selalu menyempatkan waktu jalan-jalan bersama dengan Dani.

Selesai makan Dani tidak ingin berlama-lama di ruangan makan. Dia kwatir bila ia berbicara

banyak dengan Mama dan Papa malam itu, dia bisa saja keceplosan dan menanyakan soal surat itu.

172 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Pasalnya otaknya sudah terlalu penuh dengan isi surat itu sehingga tidak mustahil bila ia keceplosan.

Sebelum melangkahkan kakinya ke atas loteng rumah, sempat dilihatnya Mama dan Papa sedang

bercanda bersama, tertawa dengan wajah yang begitu bahagia.

Sesampainya di atas kamar, Dani segera merebahkan tubuhnya. Bagaimana caranya aku

menanyainya pada Papa? Apa arti surat ini? Pikir Dani. Di ambilnya surat kontroversial yang sedari tadi

disimpannya dibalik saku jinsnya. Tidak mungkin aku menanyakannya ini pada Papa. Kalau nanti

Mama sampai tahu, pasti dia akan sangat sakit hati. Aku kwatir hanya dengan satu pertanyaanku dapat

menghancurkan kehidupan rumah tangga Papa dan Mama yang harmonis. Lagipula peristiwa itu kan

sudah lama terjadi, jadi mungkin saja itu hanya kisah lama yang sudah dilupakan. Tapi, kenapa harus

sekarang Miki mengirimkan surat itu padaku? Kenapa begitu tiba-tiba? Apa maksudnya? Aku tidak

mengerti. Dani terlalu lelah berpikir, dipendamkannya wajahnya dalam bantal. Tiba-tiba sebuah ide

tidak terduga terlintas di pikirannya. Tunggu, jika Miki yang mengirimkan surat ini, pasti dia yang

paling mengerti soal isi surat ini. Kenapa tidak kutanyakan langsung saja padanya? Kenapa harus aku

ganggu Papa akan sesuatu hal yang tidak pasti? pikir Dani. Ia sadar mungkin itu adalah ide tergila yang

pernah di pikirkannya. Tapi, memang begitulah sifat Dani: orang yang nekad soal cinta.

Malam semakin larut dan Dani masih tidak bisa memejamkan matanya. Dani berjalan menuju

lemari yang bertumpuk buku-buku. Dibukanya lemari kecil yang ada di bagian bawah meja itu. Di

dalam didapatinya map plastik yang berisi surat-surat berharganya: ijazah SD, SMP dan SMUnya, rapot-

rapotnya, sertifikat, dll. Dibongkarnya map itu sehingga kertas-kertasnya berhamburan di atas lantai.

Setelah Dani mengacak-acak kertas-kertas itu, akhirnya berhasil ditemukannya pasportnya. Setelah itu

Dani beranjak dan berjalan menuju sebuah meja di dekat pintu kamarnya, dibukakannya laci meja

belajarnya yang bertumpuk barang-barang, dibongkarnya dan dikutipnya sebuah buku kecil di dalam. Di

bukakannya buku kecil tersebut, angka terakhir yang tertulis disitu adalah 32.350.500,00. Angka

173 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

tersebut adalah jumlah saldo terakhir dalam rekeningnya. Dalam hitungan Dani, uang ini kemungkin

masih cukup untuk perjalanan ke Paris selama seminggu.

Bulan sabit mulai menghilang dari langit malam. Ia terganti oleh sinar fajar yang berkilauan.

Pagi ini Dani, Mama dan Papa sarapan bersama di ruang makan. Seperti biasanya suasana hangat

mengantar hari baru di rumah itu. Mama membantu Bi Inem menghidangkan sarapan. Papa dengan

pakaian yang rapi duduk di atas kursi sembari membaca koran pagi. Hanya Dani yang terlihati tidak

biasa. Ia duduk di hadapan Papa sambil termenung. Kedua tangannya ditumpukan di atas dagunya dan

matanya menatap kosong di atas meja makan. Mama menghampiri Dani sembari menghidangkan

sepiring roti bakar di mejanya. Sepertinya Mama sadar keganjilan sikap Dani dari kemaren-kamaren.

“Dan, kamu kuliah jam berapa pagi ini?”

“Hah?” Dani tersadar dari lamumannya.

“Kuliah jam berapa?” ulang Papa.

“Oh… pagi Pa.” jawabnya.

“O…” Mama menanggapi ala kadarnya.

Setelah itu Dani kembali melamun dan Mama kembali sibuk membantu Bi Inem. Papa

memperhatikan Dani dari balik koran yang ditegakkannya.

“Ma… aku pergi dulu ya?” ucap Dani selesai melahap sarapannya.

“Kamu mau pergi Dan? Gak bareng Papa saja?” Papa menawarkan diri.

“Enggak usah Pa, Dani sekalian olahraga pagi.” ujar Dani. Kampus Dani memang cukup dekat

dengan rumah tua yang baru saja direnoasi tersebut sehingga dapat di tempuh dengan berjalan sekitar

dua puluh menit dan kalau sambil lari pagi mungkin lebih cepat lagi.

“Oh, ya sudah. Hati-hati ya, Nak?” pesan Mama.

174 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Kriiiitk…. Lagi-lagi terdengar bunyi engsel pintu yang memang selalu mendesis ketika pintu tua

rumah itu dibuka atau ditutup. Mama dan Papa masih menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup

Dani, kemudian mereka saling bertatapan.

“Pa, kenapa Dani tidak bawa tas ya?” tanya Mama.

“Iya, tadinya Papa juga mau tanyakan, tapi keburu Dani udah pergi.” jawab Papa dengan koran

pagi yang masih menggantung di tangannya.

“Apa Papa gak merasa ada yang berbeda sama Dani?” tanya Mama lagi.

“Atau jangan-jangan dia ada masalah di kampus ya?” Papa balas bertanya.

Bi Inem yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan itu hanya diam saja. Keluarga Bi Inem

sudah turun temurun menjaga keluarga ini. Ibunya yang telah meninggal mengabdi pada kelurga ini.

Dari kecil ia sudah sering dibawa ibunya membantu-bantu keluarga tersebut. Bisa dibilang ia juga

tumbuh bersama keluarga ini. Ia telah merawat Dani semenjak Dani masih kecil sehingga dia sangat

mengenal kepribadian Dani. Dari kemaren ia telah sadar ada sesuatu yang membebani hati Dani dan ia

tahu itu pasti masalah yang cukup berat bagi Dani.

Sementara itu Dani yang masih berjalan beberapa meter dari rumah tidak sadar bahwa ia

meninggalkan kekwatiran pada orang-orang di rumahnya. Ia terus berjalan dengan kedua tangan

dimasukkan ke dalam jins belelnya. Angin dingin yang bertiup pagi itu seolah menghadang langkahnya.

Namun keingininannya lebih kuat. Hari ini ia akan mengurus segala sesuatunya dan secepatnya

menyusul Miki. Ia akan segera berangkat ke Paris, Prancis.



175 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Chapter 15. The truth in Paris

Pesawat terbang dengan meninggalkan debu-debu yang terhempas bersama angin. Dani

masih larut dalam lamuannya di atas rangka besi tersebut. Berbagai bayangan kenangan masa lalu

terbesit dalam pikirannya. Perjalanan ke Prancis yang bagi sebagian orang merupakan perjalanan yang

menyenangkan, tidak begitu halnya bagi Dani. Bahkan Dani merasa perjalanan ini sangat lama. Apalagi

176 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

untuk sampai di Prancis, Dani masih harus transit dulu di Singapura dan mungkin di perhentian lainnya.

Di dalam ruang tunggu bandara, Dani yang sedang bosan mengambil secarik kertas lalu mencorat-

coretkan sesuatu di atasnya. Belakangan ini Dani memang senang menulis sesuatu dalam agendanya.

Entah sejak kapan Dani mulai jadi puitis.

Nyanyian Kesepian Hati

Dimanakah kau hari ini adikku?

Penyejuk nuraniku,

Penerang kalbuku,

Hatiku terkoyak tersadar kau tak ada.

Rasanya aku menjadi bisu, tuli dan buta.

Aku mati,

Tubuhku seolah mati

Hatiku sesak,

Hanya pikiranku yang terus berlari,

Memburu bayanganmu yang buntu

Tanpa jejak.

Burung bernyanyi bila aku berangan tentang mu

Kenapa kupu-kupu berterbangan ketika kamu dalam mimpiku?

Dan tolong jawab,

177 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Kenapa bulan dan bintang membisu ketika kutanya dimana arahmu pergi?

Kucari-cari kau,

Kucari, tapi kau tak pernah kembali

Hanya memberi kelukaan baru

Membisikkan aku nyanyian kerinduan hati.

Dimanakah kau adikku?

Tak bisakah kembali dalam pelukanku?

Walaupun hanya sebentar

Hanya untuk ucapkan kata perpisahan

Agar aku tahu kalau kau baik-baik saja…

Kumohon jawab aku!

Setelah menyelesaikan puisinya, Dani merilekskan badannya di kursi pesawat yang besar nan

nyaman itu. Tiba-tiba ia terbayang pembicaraan terakhirnya dengan Mama tadi pagi.

“Ma… Dani pergi dulu ya?” ujar Dani.

“Lho, mau kemana Nak, kok bawa tas sebesar ini?” tanya Mama. Di pandanginya tas ransel

hitam yang sedang di punggungi Dani.

“Iya Ma. Kemaren aku lupa pamit. Eh.. eum.. eh… Aku mau pergi wisata alam, Ma.”

“Wisata alam?” Mama terheran, dikernyitkannya dahinya. “Sejak kapan kamu ikut Mapala,

Dan?“ tanya Mama dengan nada heran.

“Enggak, aku gak pernah ikut Mapala kok Ma. Cuma iseng aja pengen travel bareng teman.”

178 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Berapa lama?” tanya Mama masih dengan nada kwatir. Tampaknya Mama mengerti akan

gelagat aneh Dani. Pasalnya Dani jarang sekali berpergian jauh untuk waktu yang lama, kecuali bila

memang benar-benar perlu.

“Em.. seminggu Ma atau kurang.”

“Hah? Lama sekali Dan. Kamu gak kuliah?”

“Oh... kebetulan kan ada libur nasional tiga hari mulai besok lusa, Ma. Terus Sabtu dan Minggu

aku juga gak kuliah, jadi bolosnya cuma hari ini dan besok dan di usahain bisa kuliah Senin depan. “

kali ini Dani tidak berbohong.

“Heuf…,” dihembuskan Mama nafas kwatirnya. “Kamu buru-buru Dan? Gak nunggu Papa

pulang dulu?” lanjut Mama bertanya.

“Ah, gak usah Ma. Buru-buru ni Ma. Entar aku kabarin Papa lewat telepon aja deh.” pintanya.

“Hah….” kembali di hembuskan Mama nafasnya. “Ya udah kalau itu mau kamu. Hati-hati di

jalan ya? Ada uang kan?”

“Iya, ada Ma.” Dani berkata sambil mengecup kening Mama.

“Ma, aku pergi dulu ya Ma. Bye.” ujar Dani untuk terakhir kalinya.

Mama hanya melambai-lambaikan tangan sambil melihat Dani berlalu. Ada perasaan tidak enak

dalam hati Mama. Mungkin batin seorang Ibu.

Dirasakan Dani ada perasaan sesak dalam hatinya mengenang kejadian tadi. Seperti ada sesuatu

yang hilang dari dirinya. Sebenarnya ia bukanlah anak yang suka berbohong atau menyembunyikan

sesuatu, tapi Dani memahami benar perasaan keluarganya. Mama dan Papa tidak akan mengizinkan ia

pergi jauh sendirian. Apalagi ke luar negeri, ke Paris. Bukan, Dani bukan anak yang di manja. Namun

wajar bila orangtuanya cukup melindunginya, mengingat dia anak satu-satunya dikeluarga itu. Tiba-tiba

179 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

berkumandang dari spekarephone suara berat wanita dengan memakai berbahas Inggris. Dani paham

bahwa pesawat transitnya akan segera mendarat. Ia beranjak dari tempat duduknya. Sambil berjalan

dirogohnya saku depan tas ransel hitamnya. Di dalam itu didapatinya sebuah sobekan kertas. Sebuah

alamat berkotakan Paris, Prancis.



Bandara Roddeo di Paris di penuhi oleh salju yang turun terus menerus sejak pagi. Beberapa

petugas bandara sibuk menyekop salju-salju yang turun di sisi bandara. Terlihat di salah satu sisi

bandara tersebut dua orang, ayah dan putrinya, sedang berbicara serius.

“Papa cuma bisa mengantarkan sampai di sini ya, Ki?”

“Hm… iya Pa.”

“Jangan lupa pesan Papa ya?”

“Hm…” Miki mengiyakan hanya dengan dengungan suara. Matanya masih sayu dan ia

memandang dengan tatapan capai.

“Miki, jangan menapakkan wajah seperti itu pada Papa sebelum kamu berangkat pergi. Papa jadi

merasa gak enak, my lovely daughter.” bujuk Om Rio.

“He-eh..” Miki mengiyakan. Tidak ada perubahan didirinya, matanya masih sayu dan bibirnya

semakin dicemberutkan. Om Rio dapat merasakan kegelisahan dalam hati putrinya itu, dirangkulnya

Miki dengan hangat, kemudian dielus-elusnya punggung putrinya itu.

“Miki… sejak Mamamu meninggal, Papa merasa sedih sekal…” ucapnya. Di longgarkannya

pelukannya, kemudian di lanjutkannya perkataannya “… tapi kalau melihat tawa kamu di sisi Papa,

seolah-olah rasa sedih itu bisa lenyap begitu saja.”

180 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Miki mengadahkan kepalanya untuk dapat melihat ke arah wajah ayahnya dengan lebih jelas.

Perkataan yang baru saja didengarnya dari mulut ayahnya itu menancap tajam di hatinya.

“Makanya Miki, sejak dulu Papa selalu memanjakanmu. Papa tidak pernah ingin kamu sedih.

Karena kalau kamu sedih, Papa juga ikut-ikutan sedih.”

Miki masih terdiam sambil meresapi tiap perkataan Om Rio.

“Miki, senyumlah..” Dengan segera Miki mengeluarkan senyum manisnya. Meskipun terkesan

agak dipaksakan, namun terlihat tulus. Om Rio segera menyambut senyuman Miki dengan membalas

tersenyumannya lalu membelai rambut anaknya itu.

Di sudut lain bandara tampak seorang pria dengan mengenakan kaus oblong, jaket hijau lumut

berbulu tebal serta topi bersimbol check list warna putih. Tidak ketinggalan kacamata yang tidak pernah

lupa dikenakannya. Ia tengah mengantri bersama orang-orang lain yang baru saja turun dari pesawat.

Tas ranselnya diletakkan di depan dadanya dan dipelukanya erat. Tampaknya ia belum terbiasa dengan

perubahan yang di dapatinya tiba-tiba: perbedaan waktu, perbedaan suasana dan perbedaan lainnya.

Sebenarnya dia kurang menikmati perjalanan sekitar dua belas jam yang baru saja di tempuhnya.

Terutama selama transit di kota-kota tertentu. Rasa pegal menjalar di seluruh tubuhnya. Namun ketika ia

teringat akan tujuannya di tempat itu, maka rasa pegal itu tidak berarti lagi baginya. Dengan tangan yang

sedikit menggigil diulurkannya sebuah kertas kepada petugas bandara. Setelah melewati antrian, Dani

berdiri di tengah-tengah bandara yang luas itu. Matanya menerawang jauh melihat orang-orang asing

yang lalu-lalang. Akhirnya, aku sampai juga di sini, pikir Dani. Di tatapnya tajam ke langit-langit

bandara yang menjulang tinggi. Sejenak Dani menutup mata dan menghirup udara dalam-dalam. Di

resapinya aroma musim dingin kota Paris yang anyir dan lembab. Setelah itu ia dengan tekat yang bulat

melanjutkan perjalannya. Tidak sadar ia hanya berjarak beberapa meter dari apa yang dicarinya di kota

181 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

itu. Tidak sadar ia sedang melewati gadis bermantel merah yang menyimpan kenangan masa kecilnya.

Dani tidak sadar sedang bersimpangan jalan dengan Miki.

Miki menatap kebelakang untuk menyampaikan salah perpisahan untuk Ayahnya. Dengan koper

di tangan kanannya dan sebuah tas selempang di bahunya ia berusaha terlihat tegar. Ia tidak ingin ayah

yang sejujurnya sangat disayanginya menjadi kwatir akan kelakuannya yang aneh belakangan ini. Juga

akan keegoisan perasaannya. Terutama akan keinginannya yang tidak dapat dipendam lagi ingin

bertemu dengan Dani. Pria yang sesungguhnya sedang berdiri beberapa meter darinya. Hanya terpisah

oleh iring-iringan orang yang seliweran di tengah-tengah lantai keramik super besar dan berhias marmer

yang terhampar luas. Namun jodoh mungkin tidak berpihak pada mereka.

Sejenak jantung Dani berdetak kencang. Ia seperti sedang menyadari sesuatu. Ia terhenti tepat di

tengah-tengah kesibukan orang-orang yang berjalan dengan cepat. Setelah beberapa detik mematung

pada posisinya, ia membalikkan badan guna melihat kebelakang. Pemandangan bandara tersebut masih

sama dengan yang sedetik lalu dilihatnya, orang-orang masih sibuk hilir mudik. Diperhatikan Dani

dengan penuh fokus ke sekitarnya. Ada kelompok yang terdiri dari seorang lelaki tua berambut putih,

wanita setengah baya dan dua orang bocah lelaki tanggung. Mungkin keluarga yang baru pulang dari

liburannya, pikir Dani. Kemudian Dani menoleh ke sudut lain bandara, sepasang kekasih sedang tertawa

ceria sembari mendorong tumpukan barang bawaan mereka dengan troler mini. Di samping pasangan

tersebut seorang pria dengan pakaian jas lengkap berjalan terburu-buru melewati mereka. Dani

mendengus lalu menunduk menatap bayangan hitam dirinya di atas keramik putih yang berkilau

tersebut. Sebelum ia benar-benar membalikkan badannya, sekilas cepat ia sempat melihat sesosok gadis

bermantel merah cerah berjalan cepat menuju terminal keberangkatan. Dani sekarang telah dalam posisi

berbalik menuju gerbang keluar. Namun ia masih tetap mematung menyadari yang baru saja di lihatnya.

Sepersekian detik kemudian ia kembali membalikkan seluruh badannya. Namun pemandangan yang

182 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

baru saja di lihatnya telah menghilang. Tepat di tempat gadis bermantel merah tadi berjalan telah berdiri

seorang wanita muda berambut pirang dengan mantel merah cerah yang sama. Dani melihat lama pada

gadis tersebut. Menyadari sedang diperhatikan, gadis tersebut tersenyum tipis ke arahnya. Dani

membalas tersenyum, kemudian kembali melanjutkan langkahnya dengan gerakan lambat. Mungkin aku

sedang berkhayal, pikirnya.



Beberapa saat kemudian, Dani telah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang bertingkat tiga.

Rumah itu tidak diplaster sehingga bahan dasar batu-batanya yang tersusun rapi dapat terlihat dengan

jelas. Ada sebuah taman kecil tepat di depan rumah itu. Tidak tampak tumbuhan di sana, hanya

tumpukan salju dan sebuah cemara tua yang tinggi dan daun-daunnya ikut tertutupi butiran salju. Rumah

itu tidak berada tepat di tengah-tengah kota Paris. Rumah itu berada di perbatasan antara pintu gerbang

Paris sehingga keadaan di sana tidak seramai Paris. Dani mengalami kesulitan untuk berbicara dengan

supir taksi tadi sehingga ia terlalu jauh berkeliling dan berputar-putar kota Paris. Tentu saja uangnya

terkuras habis hanya untuk mengetahui alamat rumah itu. Padahal ia sendiri tidak membawa persediaan

uang yang banyak. Dani bahkan kwatir kalau-kalau ia masih bisa mencapai Indonesia lagi atau tidak

hanya dengan persedian uang sejumlah itu. Memang sebelumnya Dani telah memprediksi akan adanya

kesulitan komunikasi tersebut. Orang Prancis sudah terkenal akan kecintaannya pada bahasa mereka

sendiri lebih dari bahasa Inggris sehingga hanya sedikit orang di sana yang dapat berbahasa Inggris

dengan lancar.

Dani berdiri di depan pagar terus sambil mengamati isi rumah tersebut. Dari dalam salah satu

ruangan rumah tersebut terlihat pijaran lampu neon. Dani kemudian memutuskan untuk memasuki

pagarnya untuk dapat mencapai bel berlonceng yang tepat berada di sisi depan pintu kayunya. Dani

183 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

terlebih dahulu menggosok-gosok tangannya lalu menghembuskan nafasnya disela-sela lipatan

telapaknya sebelum mengoncangkan lonceng itu.

Tliling.. tliling.. terdengar bunyi lonceng itu nyaring di telinga. Dani menunggu sejenak. Tidak

ada suara. Namun sejurus kemudian terdengar sebuah langkah kaki yang berat dan lambat. Seorang pria

tua tambun dengan rambut putih keluar dari balik pintu itu. Rambutnya sangat tipis, bahkan sebagian

kepala depannya sudah botak. Pria itu berjalan keluar rumah. Ia mengenakan sweater keabuan dan dari

dalam sweaternya mencuat kerah kemeja berwarna putih.

“Excusez-moi.” sapa Dani membuka pembicaraannya dengan pria tua itu.

“Excusez-moi.” jawab Pria asing tua itu dengan aksen yang pas dan penuh wibawa.

“Je’mapelle… eh.. eum…” tiba-tiba Dani lupa apa yang harus diucapkannya. Padahal

baru saja di dalam taksi dia berhasil menghapal cara menanyakan alamat dalam bahasa Prancis.

Mungkin karena dinginnya hari ikut membuat sel-sel otaknya membeku disaat-saat genting seperti ini.

Karena merasa tidak sempat bila harus membukakan buku praktis bahasa Prancis di kantong tasnya,

Dani memutuskan untuk mengambil kertas alamat di saku jinsnya lalu menunjukkan pada pria tua itu.

“This.. this.. Em.. Is it the right place?” tanyanya. Di putuskannya untuk berbahasa

Inggris.

“Yeah. It is.” jawab pria tua itu. Dani sedikit heran mendapati bahwa pria tua tersebut

mengerti bahasa Inggris. Kemudian rasa herannya itu segera berganti dengan rasa senang.

“Does Miss. Milcy Daniella live here?” tanya Dani lagi dengan wajah berharap.

“Yeah. She has been stayed here for almost three weeks. She is my grandaughter. Are

you belongs to her friend?”

184 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani tidak langsung menjawab pertanyaan pria itu. Dia masih dalam keadaan terkejut

mengetahui bahwa pria yang berada di depannya ini adalah kakek kandung Miki. Diperhatikannya pria

itu, memang ia memiliki mata biru yang sama seperti Miki. Meskipun mata Miki lebih cerah.

“Yeah, I’m her friend, but I’m also her causin.”

“Heh?” Pria itu berdehem dengan nada bertanya.

“Dani???” sebuah suara memanggil dengan nada berteriak dari arah belakang. Suara itu

otomatis memotong pembicaraan Dani dan pria tua itu. Dani segera memalingkan wajahnya. Pria yang

tadi memanggil itu begitu terkejut mendapati Dani dan begitu pula Dani.

“Om Rio?” Dani bertanya dengan nada keherenanan.

“Dani, kamu sedang apa di sini? Kenapa bisa tiba-tiba di sini? Ohohoho..” Om Rio

bertanya dengan dibumbui tawa heran. Ekspresinya senang mendapati Dani di sana. Di dekatinya Dani,

dirangkulnya dan ditepuk-tepuknya punggung Dani. Di sisi lain Dani hanya bisa tertawa senang

mendapati Om Rio.

“Dari mana Om?” tanya Dani.

“Dari bandara, Om baru saja mengantarkan Miki. Ini Om mau mengantarkan titipan Miki

sama GrandPa-nya. Terus, kamu juga dari mana Dan? Kenapa wajahmu pucat begitu?”

“Dari bandara? Miki di mana Om?” tanya Dani tanpa mengacuhkan pertanyaan Om Rio.

“Miki sedang berangkat ke Jakarta, Dan. Dia memang sengaja tidak beritahu siapapun.”

jawab Om Rio, kali ini wajahnya tidak lagi tertawa, namun keningnya agak berkerut seperti mengetahui

keresahan hati Dani.

“Ke Jakarta?”

“Iya, baru saja. Dani, apa kamu datang ke sini untuk menjumpai Miki?”

185 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani tidak dapat menjawab apa-apa, ia hanya terpaku di hadapan Om Rio. Matanya

penuh dengan kekwatiran.

“Dani, mungkin pesawatnya belum berangkat. Cepat Dani, naik ke mobil!” perintah Om

Rio. Dan dengan terburu-buru kedua orang itu melompat masuk ke dalam mobil sedan biru buatan

Eropa tahun 90-an.

Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan Paris yang bersalju. Dan di dalam mobil itu

Dani dan Om Rio hanya terdiam. Dani menatap lurus dengan penuh kecemasan. Om Rio yang

tampaknya mengerti perasaan cemas Dani sesekali melirik ke arah Dani yang sedang duduk di

sampingnya.

Sesampainya di depan pintu bandara itu, Dani tidak ingin menunggu sampai mobil itu

diparkirkan terlebih dahulu. Ia tidak sabar lagi ingin segera meloncat dan mencari Miki. Ia segera

membuka pintu mobil dan melompat keluar mobil. Dengan secepat mungkin, ia berlari menerobos

gerombolan orang yang sedang mengantri dibalik kasir, juga menerobos pejalan kaki yang sedang

melintas dijalur yang sama. Nafasnya tidak teratur lagi, rambutnya berantakan dan mantelnya hampir

terlepas sebab semua kancingnya telah copot. Sudah entah berapa orang yang ditabarkanya. Orang-

orang itu tidak hanya diam namun memaki-maki Dani dengan bahasa yang tidak dimengerti Dani. Tapi

Dani tidak peduli. Ia hanya peduli keberadaan Miki. Jangan pergi Miki! Teriaknya dalam hati.

Ia berlari berlari dan berlari. Dengan segala kekuatan yang ada dalam dirinya ia berlari.

Pikirannya hanya tertuju pada satu sosok ‘Miki’. Ingatannya pun berputar lagi pada masa lalu. Waktu

itu… Dia pernah mengalami hal ini. Samar-samar diingatnya. Waktu itu sepuluh tahun lalu…

“Dani, kata Papa besok Miki pergi.” kata sesosok wajah mungil dari atas ayunan.

“Kemana?”

186 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Jauh.”

“Aku boleh ikut kan?”

“Enggak boleh.”

“Kenapa?”

“Karena Dani harus tetap disini menjaga taman rahasia ini. Jangan sampai direbut orang. Dani

harus tinggal, OK?”

“…”

Sunyi. Dani tidak menjawab pernyataan Miki tersebut. Tiba-tiba ia mulai bicara dalam tiga kata.

“I love you, Miki.” sebutnya dengan suara datar dan spontan. Kata-kata ajaib itu diucapkannya

pada gadis yang menjadi cinta pertamanya. Mendengar pernyataan itu Miki memiringkan kepalanya dan

tersenyum semanisnya layaknya sebuah senyuman malaikat.

“I Love u too, Dani.”

Blatzz… tiba-tiba sinaran putih tampak begitu terang di mata Dani. Begitu cepat, begitu terang.

Begitu cepat dan tidak dapat dielakkannya. Sayup-sayup didengarnya suara keramaian. Ingin

dibukakanya matanya, tapi yang dirasakannya begitu sakit, nyeri. Miki.. Miki.. teriaknya. Namun

suaranya tak dapat keluar.



Chapter 16. Memories between Jakarta – Paris

187 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Samar terlihat guguran daun dari kejauhan seolah mengerti perasaanku. Kicau burung di musim

gugur begitu mempesona. Namun angin musim dingin yang menusuk sebagai pertanda sesuatu yang

buruk bagiku. Angin pun masuk melalui tirai-tirai jendela yang dibiarkan terbuka. Kubukakan mataku

perlahan, samar terlihat warna putih. Dimana ini? tempat asing! Bau yang amat menyengat. Putih

dimana-mana. Disurgakah ini? Tidak. Aku belum boleh ke surga! Aku belum boleh ke surga sebelum

bertemu Miki. Dengan segenap kekuatanku kuupayakan untuk membuka mata dan seseorang pun

bersuara,

“Kamu sudah sadar, Dan?” tanya sebuah suara yang hangat padaku. Suara ini menyadarkanku

kalau aku bukan di surga.

“Ergh..” erang Dani mencoba menahan rasa nyeri disekujur tubuh. Pandangannya kabur sebab

kacamatanya telah terlepas dari wajahnya.

“Om Rio?” tanya Dani.

“Hah, syukurlah kamu gak apa-apa.” ucapnya dengan penuh rasa tenang.

“Aku.. ceroboh ya Om, sampai ketabrak,” ujar Dani dengan pandangan memelas ke arah Om

Rio.

“Iya, ceroboh. Ceroboh, sama seperti Miki..” jawab Om Rio sambil memandang penuh makna

pada Dani.

Srap… tirai di jendela melambai-lambai dari atas kepala Dani. Keduanya terdiam dan

saling memandang. Pikiran mereka berkecamuk. Miki.. Miki.. Miki… nama itu terus disebut Dani

dalam hatinya. Bagai sebuah mantera.

“Kamu jangan terlalu gegabah, Dan,” ujar Om Rio berusaha mencairkan suasana.

“...untung cuma luka ringan di lengan dan sedikit retak di kaki.” lanjutnya.

188 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Kepalaku sakit,” Ujar Dani “Tapi aku udah boleh keluar kan, Om?”

“Dua atau tiga hari lagi.” jawab Om Rio

Kemudian hening lagi. Om Rio berdiri melihat ke arah luar kamar rumah sakit.

Kebetulan kamar itu berada di lantai tiga sehingga pemandangan dari atas kamar tersebut begitu indah

terlihat.

“Dani, apa kamu sudah bilang sama orangtuamu kalau kamu pergi ke sini?” tanya Om

Rio sambil terus menatap lurus ke depan jendela.

Dani diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, “Belum Om.”

“Kenapa kamu tidak berpikir panjang dulu sebelum bertindak?”

Dani kembali terdiam mendengar pertanyaan itu. Dirasakannya bahwa selama

belakangan ini dia terlalu banyak berpikir hingga pemikirannya jadi benar-benar buntu.

“Dani, Om pikir, baik Miki maupun kamu belakangan berperilaku sangat aneh,

saling….” Om Rio terdiam sejenak dan tidak melanjutkan kata-katanya “Ah, Om tidak tahu apa yang

pernah terjadi atau sedang terjadi antara kalian. Miki mungkin bercerita panjang lebar tentangmu Dan,

jadi Om tahu itu masih terkati denganmu. Tapi, Miki tidak pernah cerita apa sebenarnya yang

membebaninya.”

Dani terus terdiam mendengarkan perkataan Om Rio. Dipandanginya langit-langit rumah

sakit dengan pandangan kosong. Tidak tahan dipendamnya pertanyaan dalam hatinya. Akhirnya

ditepiskannya rasa sungakannya lalu diberanikannya dirinya bertanya.

“Om..” panggilnya.

“Ya?” jawab Om Rio. Dipalingkan Om Rio wajahnya menghadap Dani.

“Apa… ayahku dan almarhum Ibu Miki pernah ada apa-apa?” tanya Dani dengan nada

datar.

189 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Huff… kembali Om Rio menghembuskan nafasnya panjang. Tampaknya ia sudah siap bercerita

panjang lebar.



Tet..Tet.. Tet… Di tekan Miki bel tua yang masih bisa di gunakan di rumah bernomor

413 itu. Di pandangnya ke dalam tempat itu cukup lama. Pemandangan di dalam rumah itu tidak begitu

jelas karena hari sudah gelap. Akhinya untuk pertama kali Miki dapat pergi sendirian. Dengan

menunjukkan alamat rumah pada si supir taksi bandara, ia dapat juga mencapai rumah tua ini. Rumah

yang penuh kenangan baginya. Selama beberapa saat Miki terdiam memandangi tempat itu. Di ingatnya

banyak kenangan masa kecilnya dengan Dani. Kini ia tidak peduli lagi, apapun hubungannya dengan

Dani. Dia sayang pada Dani dan baginya itu sudah cukup. Apapun yang terjadi pada mereka kelak,

biarlah Tuhan yang mengatur.

“Siapa?” tanya sebuah suara keibuan dari dalam rumah.

“Tante, ini saya, Miki!” teriak Miki.

“Miki?” Mama dengan cepet membuka kunci rumah dan secepatnya menghampiri Miki.

“Miki, kenapa kamu di sini, Nak? Kok gak bilang-bilang datang ke Jakarta?” tanya

Mama sambil mengelus-elus rambut Miki.

“Hm… Iya tante. Miki gak tahu nomor telepon rumah ini. Lagipula mobilephone Miki

gak bisa di pakai sejak di Prancis.” Miki berkata sambil berjalan beriringan dengan Mama menuju ke

dalam rumah.

190 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Iya, baru aja tante mau tanya, bukannya kamu dari kemaren di Prancis ya? Bukannya

kamu udah tinggal di sana?” Kali ini mereka telah sampai di dalam rumah. Mama menutup pintu

sembari berbicara.

“Iya Tante, Miki udah hampir sebulan di Prancis.”

“Kamu bukannya mau tinggal terus di sana Miki?” Mama terus bertanya sambil

menghidangkan minuman hangat pada Miki.

“Ah, enggak kok, Tan. Kemaren mungkin GrandPa mengajak, tapi Miki nolak. Masih

banyak yang harus Miki kerjakan di Aussie.”

“Jadi kemarena kamu ke Prancis urusan apa?” tanya Mama lagi mengintrogasi.

“Oh.. Miki cuma liburan, jadi pengen jenguk GrandPa di Paris sekalian Papa juga ada

urusan bisnis di sana.”

“Oo..” Mama mulai menarik kursinya dan duduk di samping Miki di tengah ruang

keluarga itu.

Setelah meneguk minumannya, Miki berbalik bertanya.

“Hm… ngomong-ngomong Dani mana, Tan?” tanyanya sembari memandang

menerawang ke sekeliling ruangan rumah itu.

“Oh… sayang banget Ki. Dani sedang pergi traveling dengan teman-teman kampusnya.”

“Oya?” Miki sedikit terkejut mendengar jawaban Mama. Pasalnya dia sudah sangat

berharap bisa bertemu Dani secepatnya agar ia dapat menceritakan banyak hal yang selama ini

dipendamnya. “Kemana Tan? Berapa lama?”

“Wah… Tante juga gak tahu kemana tuh. Tapi kata Dani kemungkinan besar seminggu-

an.”

191 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oo..” jawab Miki dengan nada kecewa. Diteguknya lagi minuman itu lalu ia menunduk

dan berpikir.

“Oya Miki, karena kamu tiba-tiba datang dan rumah ini masih agak berantakan, jadi

Tante gak punya kamar untuk kamu tempati. Kalau kamu malam ini tidur di kamar Dani aja bisa kan?

Nanti tante rapiin dulu.”

“Gak usah repot, Tan.”

“Habisnya kamu kan jarang main ke mari. Kamu harus nyaman di sini Miki.” Mama

berkata-kata sambil mengelus-elus rambut Miki.

“Rencananya kamu mau tinggal berapa lama disini, Ki?”

“Hm… sampai ketemu Dani.” Jawab Miki polos.

“..…?” Tante bingung melihat Miki. Sebenarnya ia ingin bertanya mengapa dan kenapa

kedatangan Miki yang tiba-tiba, namun sebuah suara menghentikan pembicaraan mereka.

Kiiittkkk… terdengar bunyi dari engsel rumah yang sudah lama itu. Dari balik pintu

tersebut muncul sesosok yang sudah dapat di tebak siapa.

“Wah, Papa pulang ya?” Mama bertanya sendiri sembari berjalan menghampiri Papa.

Dikecupnya pipi pria itu dan digiringnya masuk. Miki menatap adegan penyambutan itu dengan

seksama. Sebenarnya ia lebih lama memperhatikan gelagat Om Richard. Mulai dari bawah ke atas

diperhatikannya dengan seksama sembari dihisapnya terus teh hangat di tangannya. Mungkinkah orang

itu Papaku? Tanya Miki dalam hati. Miki telah bertekat datang ke Indonesia untuk mengetahui asal-

asulnya. Mencari segala misteri yang mungkin disembuyikan selama berpuluh tahun ini. Apapun

kenyataan yang ada nanti, akan di hadapinya dengan berani. Dan apapun kebenaran yang terkuak nanti,

Dani harus tahu, tekatnya. Sambil berpikir dalam hati, diperhatikannya terus Papa.

192 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Hei!” Papa setengah memekik mendapati Miki di ruang keluarga. Hal itu membuat Miki

tersadar akan lamunannya.

“Hallo Miki. Kapan datang?” tanya Papa sembari mengelus-elus rambut Miki yang

sedang duduk.

“Baru saja, Om.” jawab Miki. Kemudian Miki meletakkanya cangkir minuman yang

isinya telah habis tersebut.

“O… kenapa gak bilang-bilang, Ki?” Papa kembali bertanya sambil melonggarkan dasi

yang terikat ketat di lehernya.

‘“Kan mau buat surprice, Om.”

“Ah, kamu bisa aja Miki. Ayah kamu?”

“Oh, masih di Paris.”

“Oya?”

“Hm… urusan bisnisnya belum selesai.”

“Terus kamu tadi gimana ke sini? Sendirian? Gak tersesat?”

“Enggak kok.”

“Kamu masih liburan Miki?”

“Ya. Miki ingin liburan di sini Om.” Miki berbohong.

“Tapi Dani sedang pergi lo, Ki. Kamu udah tahu?”

“Iya, gak papa. Miki senang sendiri kok, Om.”

“Oh…gitu ya. Ntar deh kalau weekend, Om dan Tante ajak kamu jalan ya? OK?. Nikmati

waktumu disini ya Ki. Om ganti baju dulu.” ujar Papa sambil berjalan masuk ke dalam kamar. Menyusul

Mama mengikutinya dari belakang. Miki terus memperhatikan kedua orang itu sampai mereka benar-

benar masuk ke dalam kamar. Setelah kamar di tutup, Miki memandang lurus ke depan. Matanya yang

193 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

biru itu kosong. Kemudian ia terasadar akan sesuatu dan kembali di pandanginya seluruh ruangan rumah

itu. Dipandanginya satu persatu perabotan yang ada dalam rumah itu. Sebenarnya bila perabotan di

rumah ini tidak semodern ini, rumah ini pasti terasa sangat klasik, pikirnya. Lama ia berpikir sebalum

akhirnya ia berjalan untuk mengamati isi rumah itu, seperti yang dilakukan Dani beberapa hari yang

lalu. Khayalannya kembali ke masa lalu. Ke masa kecilnya di rumah ini. Dari kecil ia sering di tinggal di

sini. Setahun setidaknya ia dua atau bahkan tiga kali mampir datang kesini. Orangtuanya sewaktu kecil

sering menitipkanya di sini sambil menghabiskan masa kecilnya. Kenangan masa kecilnya yang indah

banyak tertinggal di tempat ini. Juga kenangan manis petualangannya bersama Dani. Miki melanjutkan

langkahnya menelusuri sisi-sisi rumah itu. Dengan melangkahkan kaki, ia menjejali setiap sisi dalam

rumah itu. Ia pun tersenyum sendiri membayangkan betapa berharganya kenangan itu. Dalam

penglihatannya seolah-olah kenangan itu nyata di depanya. Ia dan Dani sedang berlari-lari kecil

mengelilingi tiap ruangan di situ dan kemudian naik ke atas tangga. Miki melangkah kakinya menaiki

anak tangga. Pelan-pelan dihitungnya jumlah anak tangga yang ada, seperti yang dulu pernah

dilakukannya bersama Dani. Senyum lebar mengembang diwajahnya.

“Miki…” tiba-tiba Mama memanggil namanya yang membuat lamunan Miki seketika itu

juga buyar.

“Ya?” jawabnya dari atas anak-anak tangga.

“Miki… kamu sedang apa, Nak? Makan dulu yuk?” pinta Mama.

Segera Miki melangkahkan kakinya menuruni tiap anak tangga. Dari ujung anak tangga,

Miki dengan jelas dapat melihat pemandangan di ruang makan. Di meja makan telah tersedia masakan

yang sedari tadi memang telah disiapkan Mama. Di salah satu ujung meja sedang duduk Papa dengan

senyum manis dan syahdu.

194 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki, yuk makan.” ajak Papa. Miki terpana memandangi Papa, tidak ada jawaban kata-

kata apapun keluar dari bibirnya.

“Miki…” Mama memanggil lagi dan hal itu membuat Miki tersentak.

“Ah, Iya Tan.” jawab Miki akhirnya dan ia berlari menggapai kursi yang berada tepat di

sebelah Papa.

Suasana makan malam itu begitu hangat. Mama dan Papa bercerita tentang hal-hal kecil

yang selalu diperhatikan mereka. Sesekali mereka menanyakan pendapat Miki. Namun Miki

kebanyakan diam sambil memperhatikan semua yang ada di dalam diri Papa. Miki kerap hanya

menanggapi pernyataan kedua orang tua itu dengan menganguk-anggukkan kepalanya.

Selesai makan malam, Papa dan Miki berdua mengobrol di depan layar televisi.

Sementara Mama dan Bi Inem sedang merapikan ini-itu, Miki memperhatikan secara seksama setiap

kata yang dilanturkan oleh Papa. Sebenarnya ditiap pembicaraan Papa, ingin sekali ia memotong dengan

bertanya “Ada hubungan apa Om Richard dengan Momku?”, namun selalu di urungkannya niatnya itu.

Di lihatnya ekspresi bahagia Papa. Mungkin Om Richard telah sangat bahagia di sini bersama dengan

Tante. Jadi, kenapa aku harus mengganggu di saat-saat seperti ini? Miki sadar bahwa senyum cerah

yang terpancar dari wajah Om Richard akan hilang dengan segera bila ia jadi menanyakan pertanyaan

itu. Jadi meskipun ia benar-benar ingin bertanya kebenaran itu saat itu, namun di urungkannya niatnya.

Mungkin ada saat yang lebih tepat lagi, pikirnya.

“Miki, kalau kamu mau tidur, naik aja ya?” Mama tiba-tiba memotong pembicaraan

mereka berdua.

“Iya Tan, makasih ya?” Ia kemudian beranjak dari sofa tempat duduknya. “Om, Miki

naik dulu ya? Miki capai selama perjalanan di pesawat tadi, Miki pengen segera istirahat.”

195 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Oh silahkan Miki, silahkan.” jawab Papa sambil merentangkan telapak tangannya

mempersilahkan Miki.

Miki menaiki tangga tersebut sambil menghitung anak tangga yang ada. Seampainya di

atas, ia menatap lurus ke lorong di sebelah kanan kamar Dani. Ia tersadar bahwa ada ruangan serupa

gudang disana. Itu adalah tempat ia sering bermain hide and seek bersama Dani. Sejenak sempat

terbersit dalam benaknya untuk menghampiri tempat itu. Namun karena keadaan sudah cukup gelap, ia

pun mengurungkan niatnya itu. Ia akhirnya melangkah masuk menuju kamar Dani. Sesampainya di

kamar itu, ia tidak langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Namun ia terpaku sejenak di balik

pintu. Di perhatikannya baik-baik kamar Dani. Ada beberpa set lemari yang isinya buku semua. Dani

memang suka membaca. Ada meja belajar yang di atasnya bertumpuk berbagai barang: miniatur

bergambar bola basket serta miniatur robot-robotan. Lemari pakaian Dani tinggi dan Miki tidak berniat

membukanya karena ia tahu bahwa ia akan sedikit syok mendapatinya kemungkinan yang ada di dalam.

Tempat tidur Dani besar seperti sebuah double bath, tapi bukan. Sepreinya bermotif garis-garis merah

jambu, mungkin baru saja di ganti Tante, pikir Miki. Miki melangkah mendekati sesuatu yang menarik

perhatiaannya. Diperhatikannya foto yang terpajang di atas meja belajar Dani. Itu adalah foto Dani

sedang tertawa lebar. Ia mengenakan baju SMU-nya. Ada Joe dan Friska juga di sana sedang tertawa

sama gembiranya bersama Dani. Dilihatnya foto yang satu lagi. Foto itu tersembunyi dari balik

tumpukan barang di depannya. Dan itu adalah fotonya, foto wajahnya dan Dani sedang tersenyum

bersama.

“Ahahaha..” Miki tertawa sendiri menyadari keganjilan di foto itu. Dia ingat gambar itu

diambil dua tahun lalu ketika ia sedang jalan-jalan dengan Dani ke kebun binatang. Waktu itu Dani

meminta si Tukang Es Krim mengambil gambarnya. Waktu itu mereka berdua baru saja menghabiskan

cone es krim Coklat dan Vanillanya. Lihat, masih ada bekas es krim di bibir keduanya.

196 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Malam itu Miki tertidur lelap dengan memeluk foto berbingkai kayu di tangannya. Foto

kenangannya dengan Dani. Malam itu juga ia bermimpi indah sekali. Ia bermimpi sedang berada di

taman rahasia mereka. Ia berkejaran bersama-sama dengan Dani. Ia tertawa terbahak-bahak di pagi itu,

ketika Dani mengejarnya sambil meneriaki namanya. Miki… Miki… Miki…

“Miki!” Miki tersentak dari tidurnya ketika mendengar suara Mama memanggilnya.

Terdengar pula suara pintu kamar yang diketok-ketok.

“Miki….!” panggilan kedua, namun Miki belum cukup sadar untuk menjawab panggilan

Mama.

“Miki... bangun, Nak.”

“Ya?” jawab Miki dengan suara serak. Dengan langkah berat Miki berjalan menuju pintu

kamar.

“Ya Tante.” jawab Miki dari balik pintu. Matanya masih sayu dan rambutnya yang lurus

terlihat acak-acakan.

“Miki, Tante mau pergi belanja dulu. Tadi Om Richard udah berangkat kerja. Jadi kamu

di tinggal di rumah sendirian ya sama Bi Inem. Ok sayang?”

“Iya Tante.” jawab Miki seolah tidak peduli.

“Ya udah, Tante pergi dulu ya? Kamu hati-hati di rumah, Tante gak lama kok.”

“Iya Tante.” jawab Miki lagi sambil menganguk-angguk.

Sepeninggalan Tante, Miki sendiri di kamar itu berusaha menyadarkan dirinya. Ia duduk

terbengong di atas tempat tidur. Sejenak kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi, membasuh

wajahnya dan menggosok giginya. Setelah mengganti pakaiannya, ia pun mengambil minuman di dapur.

Lama ia kembali terbengong di dapur. Ia bingung apa yang harus di kerjakannya. Sebenarnya ia ingin

197 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

menghubungi Andre atau Joe atau Friska, namun di urungkannya niatnya. Ia masih sedang ingin sendiri,

pikirnya.

“Bik…?” Miki memanggil Bi Inem yang sedang sibuk membersihkan sisa renovasi di

halaman samping.

“Ya Neng?” Bibik berjalan masuk menghampiri Miki.

“Bik, Miki pergi dulu ya, Bik. Aku ingin jalan-jalan sebentar di sekitaran sini.”

“Lho Neng, sendiri aja?”

“Iya.”

“Tapi Neng, Bibi takut kalau Neng Miki entar kesesat.” Bibi mengenal sifat Miki yang

gampang kehilang arah. Hal itu karena selama Miki berada di Jakarta dua tahun lalu, Bibi selalu

mendengarkan curhat Dani yang kwatir kalau tiba-tiba Miki tersesat.

“Ah, enggak Bik. Tenang aja. Tapi kalau Bibi tetap kwatir, nih aku kasiin nomor HPku

yang baru. Ntar kalau aku lama pulangnya, Bibi hubungin ke sini aja.” Miki berkata sambil mencoret

sebuah notes yang tergeletak di atas meja telepon. Bibi dengan seksama memperhatikan angka-angka

yang dituliskan Miki itu.

“OK Bik, Miki pergi dulu ya? Byebye…”

“Bai…” balas Bik Inem sambil melambai-lambaikan tangan kanannya ke kanan dan ke

kiri. Sementara tangannya yang satu lagi masih memegang kain elap.



198 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Chapter 17. I miss U on the phone

Akhirnya Miki memutuskan untuk melangkah kakinya keluar. Meskipun ada

kemungkinan dia akan tersesat, namun ia tepiskan ketakutannya dan dibulatkan tekatnya. Dengan

memakai kaus obolong putih, celana jins serta sandal jepit, Miki berjalan sendiri memutari jalan-jalan di

sekitar rumah tua itu. Berusaha diingatnya jalan menuju suatu tempat, taman rahasia mereka. Dahulu,

hampir setiap hari ia melewati jalan ini. Meskipun banyak perubahan dan pembangunan di sana-sini,

namun posisi jalan di sini tidak banyak berubah. Dan Miki terus berjalan mengikuti kata hatinya.

Sesekali angannya terbuai akan kenagannya bersama Dani. Ia teringat sewaktu tersesat di kompleks

rumah Dani dua tahun yang lalu. Mioki berjalan sambil senyam-senyum sendiri. Beberapa orang yang

jalan di sekitar situ heran melihat ekspresi Miki. Padahal bila ia tidak bertingkah aneh seperti itu saja

orang-orang sudah memperhatikan keunikannya.

Miki terus berjalan dan berjalan. Sesekali bila ia sudah letih, ia berhenti sejenak sambil

memerhatikan bahu jalan. Pagi itu banyak sekali orang yang berjalan dengan memakai pakaian training.

Ya, orang-orang itu sedang olahraga pagi. Miki senang melihat orang yang sedang jogging sehingga ia

tidak merasa bosan berjalan sendirian pagi itu.

199 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Sudah lebih sejam dia mengitari tempat itu ketika tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia telah

sampai di tempat tujuannya, di seberang itu adalah taman rahasianya. Dengan perlahan Miki

melangkahkan kakinya menuju ke tempat itu. Di sapukannya pandangannya terhadap tempat itu. Di

pandanginya satu persatu setiap wahana yang ada di situ. Ia membuka sandalnya dan dibawanya dengan

sebelah tangannya. Pasir-pasir masuk menyusup di sela-sela jari kakinya. Ia melangkah hingga

mencapai ayuanan kayu yang kelihatan sudah kropos. Meskipun telah di cat ulang, namun tetap saja

ayunan itu kelihatan sudah tua. Miki duduk di atas ayuanan itu dan diayunkannya dirinya sendiri. Dulu

sewaktu kecil, selalu Dani yang mengayunkan ayunan untuk dia. Dan Miki selalu tertawa dengan

riangnya bila Dani mengayunkan dengan sekuat tenaga.

Deg… untuk sesaat Miki terdiam, jantungnya berdegup kencang. Tiba-tiba dia teringat semua

kenangan bersama Dani. Ingatan masa kecilnya yang indah bersama Dani. Perjalanannya yang indah

dua tahun yang lalu. Semua tentang Dani, semua percakapan dengan Dani. Rasanya ingin ia menitikkan

air mata. Semua memori indah dengan Dani tidak mungkin bisa ku hapus, pikirnya.

Titut… Tittut... Bunyi yang berasal dari ponsel mengejutkan Miki tiba-tiba. Tertulis dalam layar

ponsel itu nomor telepon rumah tua. Ah, terlalu dini bila Bi Inem mengkwatirkan kalau-kalau aku

tersesat, pikir Miki.

“Hallo!” jawabnya.

“Miki, ini Tante Anya. Miki,” ucap suara yang menelepon itu lirih dan berusaha menahan tangis

“Miki… Dani… dia di Prancis. Dia... Dani ketabrak…”

“A..A..pa?”



200 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Dani berlari cepat menyusuri jalan itu. Sebenarnya tidak bisa di katakan berlari karena kakinya

yang masih terluka dan di bawa dengan terseret-seret membuatnya tampak seperti meloncat-loncat.

Namun tekat dalam hati Dani mengalahkan segalanya, tidak dihirauakannya lagi segala nyeri yang

meradang di seluruh tubuhnya. Pikirannya terfokus pada satu, Miki! Perkataan Om Rio terus terkenang

dalam benaknya.

“Michelle menamai putrinya Milcy (baca mil-shi) yang adalah singkatan kalimat

Michelle Love Ricky. Sementara nama belakang Danielle diberikan mengikuti nama kamu Daniel, agar

kalian dapat selalu dekat…”

Di malam itu Dani masih terus berlari di atas kakinya yang berat. Udara yang dingin menembus

masuk ke ulu hati. Mantel kulit yang menyelimuti badan Dani sepertinya tidak cukup untuk melindungi

tubuhnya dari dinginnya udara malam musim dingin. Dani tampak begitu berantakan, namun ia sudah

tidak peduli. Di ingat-ingatnya lagi perkataan Om Rio barusan.

“Tindakan Michelle memilih nama Miki tepat sekali. Karena sejak awal bertemu denganmu,

kelihatan sekali bahwa kalian bakal menjadi sangat dekat. Pernah suatu kali Miki bayi menangis, kamu

Daniel langsung bisa meredakan tangisnya hanya dengan menepuk-nepuk kepalanya. Sejak kecil kalian

berdua sering bermain bareng. Meskipun usia kalimat terpaut setahun lebih. Tempat favorit kalian,

taman dibelakang halaman rumah tua itu Daniel.”

Setelah itu berbagai pikiran berkecamuk dalam hati Dani. Bagaimana bila aku tidak bisa

bertemu dengan Miki lagi? Bagaimana kalau aku tidak bisa memberitahukan Miki kenyataan yang

201 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

sebenarnya? Rumah tua itu hanya akan menjadi kenangan pahit kan? Dani terus berlari menyusuri taman

yang basah karena salju yang mencair, hingga ia sampai di tepi jalan. Ia berhenti sebentar sambil

tangannya di sandarkan pada tiang lampu. Pijar lampu kuning dan temaram menyilaukan pandangannya.

Ia setengah berjongkok berusaha menormalkan pernafasannya. Kabut malam membuat uap-uap putih

yang keluar dari mulut Dani terlihat begitu jelas. Dalam dadanya berkecamuk berjuta rasa. Kembali

ditelinga Dani terngiang ucapan Om Rio.

“Daniel, Om tidak akan menyalahkan kamu bila kamu memang menyayangi Miki.

Perasaanmu yang kuat terhadap Miki mungkin terkait juga dengan rasa yang terpisah antara ayahmu dan

Michelle. Tapi satu yang paling perlu kamu ketahui Dani, sebenarnya ayahmu… “

Tiiin… tiba-tiba sebuah mobil sedan hitam berdiri tepat di depan Dani. Dani terperanga.

Ia tidak mengerti kota ini, mungkinkah ia melakukan suatu kesalahan? Dari dalam mobil itu tiba-tiba

menyeruak sebuah kepala. Dia… Om Rio!

“Daniel, sedang apa kamu? Badanmu masih sakit! Kalau kamu gegabah begini yang ada

kamu malah semakin memperparah keadaan. Masuk ke mobil!” perintah Om Rio.

Dani tidak dapat membantah apa pun lagi. Dengan langkah berat ia beranjak dan berjalan

menuju pintu belakang mobil. Dibukanya pintu mobil tersebut agar ia dapat masuk. Beberapa detik

kemudian, mobil itu pun melaju meninggalkan kepulan asap putih yang bercampur bersama kabut.

Om Rio menatap wajah Dani yang pucat dari balik kaca spion. Dani yang menyadari

pandangan nanar itu, balas menatap Om Rio. Keduanya hanya saling bertatapan selama beberapa detik

hingga akhirnya Dani mengeluarkan suara.

“Om.. tadi aku lupa menanyakan sesuatu.”

“Apa?” tanya Om dengan mimik siap bercerita.

202 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Apa.. “ awalnya Dani sedikit ragu untuk menanyakannya karena kwatir akan resiko yang

mungkin saja terjadi. Namun ia telah bersikukuh dalam hati untuk mengetahuinya apapun kebenaran

yang mungkin tersimpan selama ini. “Apa Miki anak kandung Om?”

Mendengar pertanyaan Dani tersebut, Om Rio sungguh terkejut. Matanya menatap tajam ke arah

Dani melalui spion. Tangannya yang memengang stir mobil membujur kaku. Hingga suara klakson

menyadarkan mereka. TIIN!!! Dan dengan segera, lampu jauh mobil yang berpenjar kekuningan

menyailaukan pandangan mereka berdua.



Dani tertabrak? Di Paris? Apa yang di lakukannya di sana? Dasar Dani bodoh. Bodoh! Kenapa

dia bisa berpikiran ke Paris? Menyusulkukah? Bodoh sekali dia. Miki berlari sekuat tenaga ke rumah

tua. Kali ini dia tidak berjalan salah arah sebab ia telah hapal jalan yang sering dilaluinya dulu itu,

terutama karena jalan itu juga tidak banyak berubah. Dani kenapa ke Paris? Apakah dipikirnya aku

melarikan diri ke Paris? Aku tidak melarikan diri Dani. Miki tidak akan menghilang darimu Dani. Aku

hanya ingin menenangkan diri di sana. Aku hanya ingin sendiri untuk sementara. Mana mungin aku

meninggalkanmu. Nafas Miki memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ia tiba di rumah itu dan

dengan segera didobraknya pintu depan rumah itu.

“Tante? Hosh.. hosh…. “ Dari depan pintu Miki bisa melihat Mama sedang berbicara di

ujung telepon. Wajahnya cemas tidak karuan. Sepertinya ia sedang berbicara dengan seseorang yang

penting. Mungkin membicarakan Dani. Mama hanya mendengarkan orang di ujung telepon sedang

berbicara. Kaki Miki bergetar ketika ia melangkah masuk ke dalam. Dia berjalan melangkah ke depan.

Ketika Miki telah berdiri tepat depan meja telepon, Mama telah selesai berbicara dan dengan perlahan

meletakkan gagang teleponnya.

203 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Siapa Tan?” tanya Miki dengan nada kwatir.

“Papa kamu Ki, Om Rio.” Sebenarnya Miki hendak menanyakan berbagai hal lainnya.

Dani kenapa? Dia terluka tidak? Kenapa tiba-tiba dia ada di Prancis? Namun Mama lebih dahulu

beranjak dari posisinya dan berkata dengan terburu-buru,

“Miki, kamu tunggu di sini ya? Tante ambil HP dulu ngubungin Om. Kalau ada telepon

angkat aja Miki…”

Miki menatap Mama dengan pandangan kwatir. Baru kali ini dilihatnya ekspresi Mama

seperti itu. Biasanya Mama selalu lembut, tenang dan berhati-hati. Namun, apa yang terjadi pada Dani

memang selalu dapat membuat Mama berubah tiba-tiba.

Mama segera lenyap setelah memasuki pintu kamar. Sementara Miki mematung menatap

telepon di atas meja itu. Miki terus berdiri dan terus memandangi telepon itu. Angannya melayang jauh

pada Dani. Sempat terbersit dibenaknya sesuatu yang paling buruk telah terjadi pada Dani, namun

segera ditepiskannya pikiran itu. Di geleng-gelengkannya kepalanya guna menghilangkan bayangan

aneh itu. Tidak lama kemudian, terdengar dari dalam kamar Mama sedang berbicara dengan nada yang

tinggi.

Tlilit…Tlilit… telepon yang sedari tadi dipandangi Miki tiba-tiba berdering. Hal itu

membuatnya tersentak dan melompat kecil. Selama sepersekian detik sempat terpikir oleh Miki untuk

tidak mengangkat telepon karena kwatir bila ternyata si penelopn hanya memberitakan kabar buruk yang

terjadi pada Dani. Namun akhirnya ia memberanikan diri mengangakat gagang telepon.

“Hallo?” jawabnya. Nafasnya masih agak tidak teratur ketika menjawab panggilan tersebut, sisa

kecapaiannya.

Di ujung telepon sebuah suara pria bertanya dengan nada terpatah-patah “Mi.. Miki..?”

204 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Miki tahu itu suara siapa. Miki kenal suara itu. Betapa leganya Miki mendengar suara itu. Suara

itu adalah suara yang paling disayangnya. Suara itu adalah suara Dani! Ia terdiam di ujung telepon.

Begitu pula Dani di ujung telepon tidak sanggup berkata apapun. Di rasakan jantungnya memacu darah

begitu kencang. Samar-samar terdengar suara isak dari dalam sambungan telepon. Dani mendengarkan

suara itu dengan seksama. Ia masih terdiam, begitupula Miki. Keadaan itu berlangsung hingga hampir

semenit. Mama yang tidak menyadari bahwa Dani sedang menelepon masih terdengar sibuk berbicara

dengan Papa di dalam kamar. Akhirnya dengan suara parau dan tergagap, Miki mencoba berkata-kata,

“Akhrinya… aku bisa mendengar suaramu lagi Dan. Aku takut kalau aku gak bakal bisa

mendengar suaramu lagi.. Miki takut.. hikks… hiks…” ucapnya lirih di dalam telepon. Dani terpana

dengan semua ucapan Miki tersebut. Terdengar suara isak Miki semakin kuat terasa.

“Miki… aku ingin bertemu denganmu,” kata Dani. Terdengar ia berucap begitu tulus. “Sekarang

tanggal berapa?” lanjut Dani bertanya setelah diselingi jeda tangis dalam pembicaraan mereka.

“Tanggal 16 Januari.” jawab Miki dengan suara parau.

“Aku susul kamu tiga hari lagi,” Dani berkata-kata seolah lupa kalau ia baru saja mendapat

kecelakaan. “Aku akan menyusulmu. Tiga hari lagi adalah tanggal yang sama dengan dua tahun. Itu

adalah tanggal diadakan festival di sekolah ku. Kamu ingat kan?”

Mendengar itu Miki hanya terdiam dan tidak dapat berkata apapun. Ditahannya isaknya dengan

sebelah tangannya.

“Miki, banyak yang ingin ku katakan padamu.”

“Kamu… kenapa Dan?” tanya Miki.

“Apa? Kamu mau bertanya soal kecelakaan kemaren. Aku tidak apa-apa Miki, cuma retak tulang

kaki saja.” jawab Dani dengan nada dibuat setenang mungkin agar tidak membuat Miki kwatir.

“Miki, siapa?” tiba-tiba Mama muncul di samping Miki dan bertanya dengan nada cemas.

205 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Dani, Tan.” jawab Miki. Dengan ligat disekanya air mata di wajahnya. Dan dengan segera pula

Mama menyambar gagang telepon itu.

“Dani.. Daniel! Kamu kenapa? Kamu gak papa, kan Dan? Kamu terluka tidak?” tanya Mama

bertanya bertubi-tubi. Wajahnya penuh dengan rasa takut dan kwatir.

Miki segera beranjak dari tempat berdirinya. Tanpa menunggu Mama selesai berbicara dengan

Dani, Miki naik ke atas kamar Dani melalui tangga yang berada dekat dengan meja telepon. Baginya

tidak ada yang perlu ditanyai lagi. Hanya mendengar suara Dani dan mengetahui bahwa dia masih

bernyawa telah melegakan hati Miki yang tadinya pilu.



206 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Chapter 18. The End of The Story

Hari-hari berlalu begitu cepat bagi sebagian besar orang, namun bagi Dani jarum jam seolah

lama sekali berjalan di rumah sakit tersebut. Ia merasa jenuh dan bosan karena tidak dapat melakukan

banyak hal di sana. Hingga hari dimana akhirnya Dani dapat keluar dari sana, disambutnya dengan

gembira. Ia tidak menunggu lama di Paris meskipun ada sedikit keinginan di sisi hatinya untuk

menjelajahi kota itu. Akan tetapi, keingingannya untuk terbang langsung ke Indonesia guna memenuhi

janjinya dengan Miki lebih besar. Setelah transit di sana-sini dan rangka pesawat yang membawanya

terbang pun telah silih berganti, akhirnya ia bisa menginjakkan kaki kembali di Indonesia. Dani berjalan

terpincang melangkah di bandara Soekarno Hatta. Telihat ia mengenakan tongkat peyangga ketika

sedang berjalan sendirian dari lobby kedatangan luar negeri. Ia menerawang jauh ke depan dan segera ia

beranjak ketika ia melihat sebuah taksi biru dihadapannya.

“Kemana Mas?” tanya supir taksi itu ketika Dani telah duduk di jok taksi hitamnya.

“Hm.. ke-SMU saya dulu, Pak.” jawab Dani sambil menyeringai. Terlihat dari kaca spion si pak

supir mengerutkan dahinya.

“Dimananya Mas?” tanya si pak supir taksi lagi.

Tidak berapa lama kemudian, Dani telah sampai di SMU-nya dulu. Sebuh tempat yang penuh

dengan kenangan masa remajanya. Petang itu sekolah sudah sunyi, murid-murid sudah berpulangan.

207 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Hanya ada beberapa orang berseragam SMU yang mungkin memiliki banyak urusan di sekolah atau

hanya iseng nongkrong di sekolah. Dani menatap tempat itu lama sekali. Ia teringat festival dua tahun

lalu adalah kali pertama ia mengajak Miki ke sana. Pikirannya menerawang lagi. Diingatnya semua yang

pernah di jalaninya dengan Miki. Dari kecil hingga dewasa, belum pernah di rasakan perasaan seperti

ini. Rasanya tidak sabar ingin bertemu dengannnya lagi. Gadis kecil yang selalu menemani hari-harinya,

kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik sekali.

Huff… dihembuskannya nafasnya panjang sekali. Ditatapnya kelangit. Langit memang berawan,

tapi matahari cukup terik sehingga menyingkapkan kumpulan kapas putih itu. Lelah ia duduk, ia pun

berdiri dengan membawa serta tongkatnya. Tidak sedikit pun ia memikirkan hal yang lain. Dalam setiap

gerak-geriknya, selalu Miki yang ia ingat. Ia masih terus berkeliling, berkeliling, berputar dan berputar.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit. Tiba-tiba perasaannya aneh. Firasatnya tidak enak. Dani

sejenak mengigit bibir atasnya. Setelah setengah jam lewat dari jam yang telah dijanjikan, ia menjadi

sangat cemas. Tidak dapat lagi dtahannya, akhirnya ia memutuskan menelpon ke ponsel Miki.

Tut..tut..tut… TIDAK DIANGKAT! Dicobanya sekali lagi, kali ini pun tidak bisa! Untuk ketiga

kali dicobanya, tidak ada jawaban. Ia semakin gelisah. Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya

ia memutuskan menelepon ke rumah tuanya. Tut..Tut.. Setelah dua kali terdengar nada sambung,

akhirnya ada seseorang yang menjawab telepon di ujung sana. Suara itu adalah suara Bi inem.

“Hallo Bik, ini Dani. Bik di rumah ada orang gak?”

“Eh, Den Dani. Lagi dimana Den? Sudah pulang ya?” sambut Bi Inem gembira.

“Iya Bik. Ini udah di Jakarta, baru tadi nyampe. Eh Bik, di rumah ada orang gak?” ulang

Dani.

“Gak ada, Den. Dari tadi cuma Bibik doang yang di rumah. Ibuk dan Bapak dari tadi

pergi entah kemana, Den.” jawab Bik Inem.

208 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Miki dimana Bik?”

“Oh… kalau Non Miki dari tadi udah pergi.”

“Sama siapa Bik? Kapan?”

“Sendiri dan udah dari tadi, Den.”

“Belum pulang-pulang juga dari tadi?”

“Iya Den.”

“Yakin Bi? Coba dilihat keluar, siapa tahu lagi duduk-duduk di teras.”

“Den, kayaknya gak ada. Soalnya Bibik baru dari luar membuang sampah.”

“ Coba cek lagi Bik.” perintah Dani.

“Iya Den, tunggu ya?”

Tidak sampai dalam hitungan semenit, Bibik kembali mengangat telepon yang

digantungkannya.

“Bener Den, gak ada orang. Paling cuma tukang sayur yang lewat.”

“Oh gitu,” Dani berpikir sejenak. “Eh Bik, kalau yang nelpon ada gak?”

“Belum ada, Den. Kalau boleh tahu, Den nunggu telepon siapa ya?”

“Oh... gak Bik, seseorang Bik. Yaudah la Bik, ntar aku telpon lagi ya, Bik.”

“Oh iya, Den.”

“Makasih ya Bik.”

Klik dan seketika itu juga Dani menutup flip ponselnya. Tidak sabar menungu, akhirnya

Dani memutuskan untuk menelpon ponsel Miki lagi. Tut..Tut.. klik. Eh kali ini dijawab.

“Ha..Hallo.” Dani mulai berbicara tergagap.

“…”

Sunyi sejenak. Dani pun diam menunggu respon dari si penerima panggilan.

209 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Dani..” Ada suara! Dani begitu mengenali suara gadis itu, suara manja itu. Dibalikkan Dani

badannya 180 derajat. Dan disaat itu lah, di seberang lapangan, di depan ruang kelas, dilihatnya

seseosok gadis dengan memakai baju babydol selutut dengan motif bunga berwaman putih. Ponsel itu

masih ada di tangan Dani, masih diangkat dan masih tersambung, namun keduanya masih tanpa suara.

Selama hampir semenit, Dani hanya menerawang jauh ke depan. Ditatapnya gadis itu penuh makna. Dan

keduanya tetap diam tanpa suara.

“Finally, we meet again.” akhirnya suara itu mulai berbicara. Sebenarnya meskipun tanpa nada

suara dari dalam ponsel, Dani akan mengerti perkataan gadis itu, karena dari jauh Dani bisa membaca

bahasa bibir Miki yang sedari tadi di pandanginya.

“Ya, akhirnya kita bertemu lagi… Miss Milcy Daniella.” Dani berkata dengan posisi badan tegak

dan tidak berubah dari yang tadi.

Angin berhembus di antara mereka berdua. Namun mereka tidak bergerak sedikitpun dari

posisinya. Keduanya masih dengan posisi tangan memegang ponsel yang dirapatkan ke telinga. Dani

masih terus memandang dengan penuh arti sementara Miki menatap dengan penuh haru sambil kedua

tangannya menutupi wajah sekitar mulut dan dagu untuk menahan tangisnya. Akhirnya ia tidak tahan

lagi, bulir-bulir itu begitu saja jatuh menetes di atas lantai lapangan yang bersemen.

Mereka kemudian saling mendekatkan diri. Dani berjalan pelan ke arah Miki. Terlihat wajahnya

penuh kerinduan. Kini Dani tepat berdiri di depan Miki. Kemudian ia memeluknya hangat. Isak tangis

terdengar dari balik pelukan Dani. Setelah dapat merdakan sedikit tangisnya, Miki berusaha berbicara.

Dengan suara parau dan pandangan mata yang kabur karena penuh dengan air mata, Miki mulai

berbicara.

“Dani, aku gak peduli kamu saudara kandungku, kamu saudara sedarahku, atau siapapun. Yang

aku tahu cuma aku sayang sama kamu. Aku sayang sekali sama kamu. Dari dulu Dani yang paling ngerti

210 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Miki, Dani yang paling tahu keadaanku dan paling peduli.” Isak tangis Miki semakin menjadi-jadi

begitu ia menyelesaikan kalimatnya. Dan setelah itu yang terjadi hanyalah kecupan hangat diantara

mereka. Akhirnya Dani dapat bertemu dengan Miki dalam suatu akhir yang romantis.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua duduk di bawah pohon rindang yang tumbuh semakin

tinggi di sekolah itu. Kepala Miki bersandar di atas bahu Dani. Dani menatap lurus kedepan sementara

Miki menutup kelopak matanya yang sembab. Sepertinya mereka begitu menikmati kebersaannya. Dani

menjadi terkenang akan banyak hal. Semua pengalamannya selama ini bersama teman-temannya dan

bersama Miki. Dani kemudian memiringkan kepalanya agar dapat memandang Miki lebih jelas. Di

helanya kesamping rambut hitam sepinggul yang menutupi wajah Miki. Gadis itu tersadar dan

membukakan matanya.

“Miki… “

“Hm..?” tanya Miki dengan senyum bahagia. Terlihat matanya masih sembab dan berair.

“Kamu mau tahu satu hal?”

“Apa?” tanya Miki masih dengan tersenyum.

“Sebenarnya kita tidak punya hubungan saudara dekat.”

“Hah?” Miki terkejut, lantas menegakkan kepalanya yang sedari tadi disenderkan di bahu Dani.

“Iya Miki, waktu di Prancis, Om Rio menjelaskan semunya. Om Rio dan Papaku ternyata bukan

saudara sekandung. Papaku sebenarnya anak saudara Kakek yang dari desa. Waktu masih kecil, kedua

orangtua Papaku meninggal karena sakit. Lantas Papaku diangkat jadi anak oleh Kakek karena waktu itu

Kakek belum bisa punya anak. Gak lama setelah Papaku di adopsi lahir satu orang anak dari keluarga

Kakek yang tidak lain adalah Om Rio Ki, Papamu.”

“Jadi kesimpulannya, pada dasarnya kita tidak punya hubungan darah dekat?” tanya Miki

memastikan.

211 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

“Iya.” jawab Dani menyakinkan.

“Jadi?”

“Jadi, kesimpulannya, tentunya hubungan ini masih bisa dilanjutkan kan?” tanya Dani sambil

tertawa bahagia.

Miki hanya dapat menanggapi dengan ikut tersenyum bahagia. Ditutupnya senyumnya yang

lebar dengan sebelah tangan kanannya.

Di tempat itu angin terus bertiup sepoi dari arah timur. Kemudian entah dari mana datangnya,

sayup-sayup terdengar lagu itu. Lagu kesayangan mereka berdua. Lagu Beautiful Girl yang di nyanyikan

oleh Jose Marichan. Mungkin dari mediang Ibu Miki yang bahagia karena pada akhirnya kisah

asmaranya puluhan tahun yang lalu kesampaian lewat putriya.

And I’m glad that is you…

Beautiful girl!

Fin

212 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

About the Author:

Olivia adalah lulusan jurusan Hubungan


Internasional FISIP Universitas Indonesia. Ia lahir
dan besar di kota kecil di Sumatera Utara
bernama Berastagi. Kepeduliannya terhadap
kampung halaman dilakukan dengan mendirikan
situs www.visitberastagi.com.

Olivia sangat tertarik dengan isu-isu non


konvensional seperti isu HAM, lingkungan dan
perempuan. Selama berkuliah, Olivia sempat
bekerja untuk Komnas Perempuan, volunteer di
Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Supporting
Unit Program di think thank Propatira Institute.

Olivia juga aktif terlibat dalam berbagai kegiatan


skala nasional dan internasional. Pada tahun 2009, ia berpartisipasi dalam
World Leadership Conference di Singapura. Di tahun 2010, ia berangkat ke
Beijing, Cina, sebagai head delagete Indonesia dalam konferensi Asian
International Model United Nations (AIMUN). Di tahun yang sama, ia
berangkat ke Toronto, Kanada, sebagai salah satu wakil Indonesia di G-20
Youth Summit.

Olivia sempat melanjutkan studi di Swinburne University of Technology,


Australia melalui program Peace Scholarship Award dari IDP Australia (tahun
2009). Atas kepeduliannya terhadap isu lingkungan, Olivia berangkat ke
Amerika Serikat dalam program Study of The United States Institutes (SUSI)
on Global Environmental Issues di University of Montana. Saat ini ia bekerja
di institusi pemerintah bidang perubahan iklim.

213 | P a g e
Hitam Putih dalam Choco Vanilla ©
Olivia D. Purba

Hubungi Olivia:

Website : www.oliviadianina.com
E-mail : olivia.d.purba@gmail.com
Ym: : Odianina
Twitter : @odianina

214 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai