Anda di halaman 1dari 16

ASAS SAHNYA PERJANJIAN

Oleh
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.

I. PENGERTIAN PERJANJIAN
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata:

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Pengertian “perjanjian” menurut Penulis,

Perjanjian (Belanda: overeenkomst; Inggris: contract) adalah kesepakatan antara 2


pihak, baik pihak tersebut adalah orang perorangan (individu) atau badan hukum,
untuk salah satu pihak berkewajiban untuk melakukan prestasi berupa memberikan
sesuatu, melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu perbuatan terhadap
pihak lainnya atau saling melakukan perbuatan yang pemenuhannya dapat
dipaksakan melalui pengadilan apabila kewajiban untuk melakukan prestasi tersebut
tidak dipenuhi oleh yang berkewajiban.

Perjanjian merupakan salah satu bentuk atau sumber perikatan (Belanda: Verbintenis).
Bentuk perikatan, selain “perjanjian”, adalah “undang-undang”. Hal tersebut adalah
sebagaimana menurut Pasal 1233 KUH Perdata yang berbunyi:

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, atau karena undang-undang”

Selain digunakan Istilah “perjanjian”, juga digunakan istilah “kontrak” yang keduanya
memiliki arti yang sama. Tegasnya kedua istilah tersebut dapat saling dipertukarkan (Inggris:
interchangeble).

Dalam setiap perjanjian termuat “prestasi” yang wajib dilakukan oleh pihak yang satu
terhadap pihak yang lain. Menurut Pasal 1324 KUH Perdata,

(1) Memberikan sesuatu


(2) Berbuat sesuatu, atau
(3) Tidak berbuat sesuatu
Dalam KUH Perdata, “perjanjian” diatur dalam Buku Ketiga Tentang Perikatan. Karena
sebagaimana telah dikemukakan di atas, “perjanjian” merupakan salah satu bentuk
“perikatan”.

Dalam suatu perjanjian dapat ditentukan hanya salah satu pihak saja yang wajib melakukan
prestasi terhadap pihak yang lain. Namun ada pula perjanjian yang mewajibkan kedua pihak
saling memberikan prestasi. Perjanjian yang demikian disebut “perjanjian timbal balik”.

Dalam “perjanjian timbal balik”, tentu saja prestasi dari keduanya tidak sama. Contoh dari
“perjanjian timbal balik” adalah “perjanjian jual beli”, pihak yang satu menjual barang yang
untuk hal tersebut penjual wajib menyerahkan barang yang dijualnya dan pihak yang lain
berkewajiban untuk membayar harga barang yang dijual tersebut. Contoh lain dari
“perjanjian timbal balik” antara lain adalah “perjanjian sewa menyewa”, “perjanjian tukar
menukar”, “perjanjian kredit”.

II. PERJANJIAN DAPAT DIPAKSAKAN PEMENUHANNYA


“Perjanjian” (Belanda: overeenkomst; Inggris: contract) berbeda dengan “janji” (Inggris:
promise). “Prestasi” yang merupakan kewajiban dari salah satu pihak terhadap pihak yang
lain dapat dipaksakan pemenuhannya (Inggris: enforceable). Sedangkan “janji” (Inggris:
promise) tidak dapat dipaksakan untuk dipenuhi oleh pihak yang berjanji. Pihak yang
memberikan janji tidak bermaksud untuk membuat perjanjian yang dapat dipaksakan
pemenuhannya melalui pengadilan. Apabila “janji” (Inggris: promise) tidak dipenuhi oleh
pihak yang berjanji, maka sanksinya hanya berupa sanksi sosial, misalnya reputasi atau nama
baik orang tersebut sebagai orang terpercaya runtuh. “Janji”, yaitu juga seperti halnya
“perjanjian”, dapat terpenuhi bukan karena pihak yang memberikan janji bermaksud untuk
tidak memenuhi janjinya itu, tetapi karena untuk memenuhinya terhalang oleh beberapa
faktor. Beberapa faktor tersebut dapat berupa hilang atau musnahnya barang yang dijanjikan
untuk dihadiakan atau dapat dibeli oleh orang lain yang menerima janji.

Pemenuhan perjanjian harus dilakukan melalui pengadilan, yaitu mengajukan gugatan


perdata. Menurut hukum, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya, maka
pihak yang tidak melakukan prestasi tersebut telah melakukan “wanprestasi” (Inggris:
breach of contract). “Wanprestasi” adalah “ingkar janji”, yaitu mengingkari janjinya untuk
melakukan prestasi terhadap mitra janjinya yang telah ditentukan dalam perjanjian
diantara para pihak.

Ketentuan bagi pihak yang telah melakukan wanprestasi untuk dapat digugat oleh pihak
lainnya adalah berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata yang menentukan:

Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu
masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian,
ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya
kerugian dan bunga.

III. PERBEDAAN “PERJANJIAN” & “JANJI”


“Perjanjian” (contract) berbeda dengan “janji” (promise). “Perjanjian” adalah kesepakatan
diantara para pihak yang dapat dipaksakan pemenuhannya (enforceable) dengan
mengajukan gugatan oleh pihak yang tidak terpenuhi haknya terhadap pihak yang
mengingkari kewajibannya. Sedangkan “janji” tidak dapat dipaksakan pemenuhannya
(enforceable) melalui pengadilan.

Dengan kata lain, apabila seorang berjanji kepada orang lain bahwa dirinya akan memberikan
suatu, dan apabila yang berjanji tidak melaksanakan apa yang dijanjikannya, maka pihak yang
dijanjikan tidak dapat menuntut melakui pengadilan agar orang yang berjanji memenuhi
janjinya.

Pada waktu para pihak membuat “perjanjian” diantara mereka, para pihak memiliki sikap
batin bahwa perjanjian yang dibuat oleh mereka dapat dituntut pemenuhannya melalui
pengadilan. Sebaliknya, apabila seorang membuat janji (berjanji), misalnya kepada
kawannya, untuk memberikan sesuatu, atau untuk melakukan perbuatan tertentu, atau tidak
melakukan sesuatu, misalnya tidak menceritakan kepada orang lain apa yang dikatakan oleh
pihak lainnya, maka apabila janji tersebut tidak dipenuhi oleh yang berjanji, maka apabila
janji tersebut tidak dipenuhi atau diingkari, maka pihak yang teringkari janji tidak dapat
memohon kepada pengadilan agar janji tersebut dipenuhi (not enforceable).

IV. SYARAT-SYARAT SAHNYA PERJANJIAN


Suatu perjanjian dapat dipaksakan pemenuhannya (melalui pengadilan) hanya apabila
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum bagi sahnya perjanjian. Menurut
hukum Indonesia yang menganut tradisi common law, syarat-syarat sahnya perjanjian diatur
dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1320 KUH Perdata ditentukan bahwa:

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

(1) Sepakat mereka yang membuat perjanjian;


(2) Kecakapan untuk membuat perjanjian;
(3) Sesuatu hal tertentu;
(4) Suatu sebab yang halal;

Syarat pertama dan kedua, yaitu “sepakat” dan “kecakapan” merupakan syarat subjektif
karena syarat tersebut berkenaan dengan para pihak yang membuat perjanjian. Sedangkan
syarat ketiga dan keempat, yaitu “suatu hal tertentu” dan “suatu sebab yang halal”
merupakan syarat objektif karena berkenaan dengan objek perjanjian.

Apabila salah satu syarat saja dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut “batal demi hukum” (Belanda: nietig;
Inggris: void) bukan “dapat dibatalkan” (Belanda: nietigbaar; Inggris: voidable).

Apa perbedaan antara “batal demi hukum” dan “dapat dibatalkan”? Apabila perjanjian
tersebut “batal demi hukum”, maka perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak
semula. Sedangkan apabila perjanjian tersebut adalah perjanjian “dapat dibatalkan”, maka
perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat lagi para pihak sejak perjanjian tersebut
dibatalkan oleh hakim, sedangkan prestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap
pihak lainnya tetap mengikat para pihak.

Untuk masing-masing syarat tersebut di atas pemahamannya adalah sebagai berikut:

(1) Sepakat
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sinonim dari “sepakat” adalah
“kesepakatan”. Sepakat atau kesepakatan adalah “konsensus”. Dalam BW digunakan
istilah “toestemming”.
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, salah satu syarat bagi sahnya perjanjian adalah
apabila terdapat “sepakat” atau “kesepakatan” atau “konsensus” diantara para pihak
yang akan membuat perjanjian. “Sepakat” terjadi setelah berlangsungnya perundingan
(negosiasi/musyawarah) diantara para pihak. Apabila para pihak tidak mencapai
kesepakatan, maka perjanjian tidak terjadi.
Kesepakatan harus terjadi secara sukarela oleh para pihak. Menurut Pasal 1322 KUH
Perdata, kesepakatan tersebut tidak dilandasi oleh “kekhilafan”, “paksaan”, atau
“penipuan”. Dengan kata lain, kesepakatan harus murni.
Lebih lanjut masing-masing unsur tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
a. “Kekhilafan” (Belanda: dwaling) dapat terjadi karena salah satu pihak mengira
bahwa barang yang menjadi pokok perjanjian adalah sesuatu yang sama dengan
sesuatu yang diinginkan. “Kekhilafan” dapat terjadi karena salah satu pihak mengira
melakukan perjanjian dengan pihak yang diinginkan untuk menjadi mitra janjinya.
Dengan kata lain, kekhilafan dapat terjadi berkenaan dengan “sesuatu yang
merupakan pokok atau objek perjanjian” (error in objecto). Error in objecto dapat
terjadi misalnya mengira bahwa barang yang ditawarkan adalah asli, tetapi
ternyata barang tiruan. Misalnya mengenai lukisan.
Kekhilafan juga dapat terjadi oleh salah satu pihak berkenaan dengan “pihak yang
menjadi mitra janjinya” (error in persona/excetio in persona). Misalnya saja, salah
satu pihak mengira bahwa mitra janjinya adalah “A” tetapi kenyataanya ingkar
janjinya tersebut adalah “B”. Dapat pula “error in persona” terjadi karena mengira
bahwa mitra janjinya telah dewasa, sehingga karena itu memiliki kecakapan untuk
membuat perjanjian.
b. “Paksaan” adalah “ancaman”. Ancaman dapat dilakukan oleh salah satu pihak
terhadap pihak lainnya. Dapat pula ancaman dilakukan oleh pihak ketiga pada salah
satu pihak atau kepada kedua pihak. Dalam hal ini, yang diancam adalah diri dari
pihak.
Dapat pula ancaman dilakukan oleh salah satu pihak atau pihak ketiga terhadap
keluarga (istri/suami dan anak-anak) atau kerabat yang lain. Tentu saja kerabat
terhadap siapa pihak memiliki hubungan emosional yang erat.
ditujukan kepada salah satu pihak ataupun kepada kedua belah pihak yang
membuat perjanjian.
Ancaman juga dapat terjadi terhadap harta milik pihak yang melakukan perjanjian.
Menurut Pasal 1326 KUH Perdata, ketakutan (rasa takut) terhadap pihak yang lain
tidak dapat menjadi alasan adanya paksaan. Ketakutan hanya dapat dianggap
paksaan apabila diikuti dengan kekerasan. Dalam pengertian ketakutan di dalam
Pasal 1326 KUH Perdata tersebut adalah rasa “ewuh pakewuh” (rasa segan).
Misalnya segan terhadap orang yang lebih tua atau terhadap atasannya.
c. “Penipuan” (Belanda: bedrog; Inggris: deceit) dapat dilakukan dengan cara apapun
oleh salah satu pihak terhadap pihak yang lain dengan maksud mencurangi pihak
yang lain itu. “Penipuan” tidak lain adalah tipu muslihat salah satu pihak terhadap
pihak yang lain agar pihak dengan maksud agar pihak yang lain bersedia membuat
perjanjian yang dikehendaki oleh pihak yang menipu.
Menurut Pasal 1328 ayat (2) KUH Perdata, penipuan tidak boleh dipersangkakan
tetapi harus dapat dibuktikan.
Kesepakatan yang terjadi karena adanya “kekhilafan”, “paksaan” atau “penipuan”
mengakibatkan perjanjian menjadi “batal demi hukum” (Belanda: nietig, Inggris:
void) bukan “dapat dibatalkan” (Belanda: vernietigbaar, Inggris: voidable). Hal
tersebut sesuai dengan istilah “nietig” dalam Pasal 1322 ayat (1) dan istilah
“nietigheid” yang digunakan Pasal 1322 ayat (2) BW.
(2) Kecakapan
Syarat lain untuk sahnya perjanjian adalah dimilikinya “kecakapan” (Belanda:
bekwaamheid; Inggris: competence/capacity) untuk membuat perjanjian oleh para
pihak. “Kecakapan” hanya dipunyai oleh para pihak apabila menurut hukum dapat
melakukan perbuatan hukum. Menurut hukum, mereka yang tidak dapat melakukan
perbuatan hukum adalah:
1. Anak yang belum dewasa (Belanda: minderjarig).
2. Orang dewasa yang berada di bawah pengampuan (Belanda: curatele)
sebagaimana diatur dalam Pasal 433 KUH Perdata.
3. Orang dewasa yang tidak memiliki kemampuan mental yang cukup untuk dapat
membuat perjanjian dengan benar, antara lain orang gila, pemabuk atau orang
yang dalam keadaan mabuk, orang tua renta yang sudah tidak lagi dapat berpikir
jernih (misalnya telah menderita alzheimer).
(1) Anak Belum Dewasa
Anak yang belum dewasa tidak memiliki kecakapan untuk melakukan perbuatan
perdata. Anak yang belum dewasa, sepanjang masih memiliki orang tua dan orang
tuanya tidak dicabut kekuasaannya sebagai orang tua, apabila akan melakukan
perbuatan perdata untuk kepentingannya sendiri, maka perbuatan tersebut hanya
sah apabila diwakili oleh orang tuanya. Namun apabila telah tidak memiliki orang
tua, maka perbuatan perdata yang dilakukan harus dilakukan oleh walinya yang
diangkat oleh pengadilan. Seorang anak yang belum dewasa mungkin saja
melakukan perbuatan pidana apabila misalnya anak yang belum dewasa tersebut
mewarisi harta dari orang tuanya yang kaya raya menghendaki menjual sebagian
hartanya.
Mengenai kewenangan anak belum dewasa untuk melakukan perbuatan hukum
perdata diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU
Perkawinan). Anak yang belum dewasa, yaitu belum mencapai 18 tahun, mengenai
kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum diatur dalam Pasal 47 ayat (1)
dan ayat (2) UU Perkawinan yang menentukan:
(2) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut dari kekuasaannya.
(3) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar Pengadilan.
Sementara itu menurut Pasal 50 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) ditentukan:
“Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali.”
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
pernikahan tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tua, apabila orang tuanya dicabut
kekuasaanya sebagai orang tua.
Menurut Pasal 49 ayat (1) UU Perkawinan, kekuasaan orang tua dapat dicabut apabila:
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua
yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang
telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan
dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
Namun menurut Pasal 49 ayat (2) UU Perkawinan:
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap
berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Dalam berbagai undang-undang Indonesia, terdapat perbedaan mengenai batas
minimum usia untuk disebut telah dewasa atau telah cukup umur. Berbagai undang-
undang adalah sebagai berikut:
• Menurut Pasal 330 KUH Perdata:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh
satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.
Berkenaan dengan Pasal 330 KUH Perdata tersebut di atas, mereka yang belum
genap berusia 21 tahun tetapi telah kawin memiliki kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum.
Batas minimum usia seseorang dianggap menurut hukum sebagai telah dewasa pada
saat ini tidak ada keseragaman dalam berbagai undang-undang.
• Sementara itu menurut Pasal 45 KUH Pidana, orang yang belum dewasa atau cukup
umur (Belanda: minderjarig) adalah 16 tahun. Ketentuan tersebut adalah untuk
menentukan perbedaan pemidanaan antara tindak pidana yang dilakukan oleh
orang dewasa dan oleh mereka yang belum dewasa atau belum cukup umur.
• Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2019 batas minimum usia dewasa adalah 19
tahun bagi laki-laki dan 18 tahun bagi perempuan. Hal tersebut ditentukan dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut.
• Menurut Pasal 1 angka 5 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
disebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur dibawah 18 tahun
dan belum menikah, termasuk anak yang masih di dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya.
• Lain lagi halnya dengan sikap Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (1) UU tersebut dinyatakan bahwa “anak
adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi
belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin”. Dengan demikian, maka
menurut undang-undang tersebut seorang hanya akan memperoleh perlindungan
anak apabila anak yang belum berusia 18 tahun.
• UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 26 menyatakan
bahwa “anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun”. Dengan
demikian menurut undang-undang tersebut bahwa orang yang dapat dipekerjakan
sebagai tenaga kerja, pada umumnya di pabrik, hanya apabila telah berumur 18
tahun. Apabila ada perusahaan yang mempekerjakan anak yang belum berusia 18
tahun dapat dijatuhi sanksi.
• UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, pada Pasal 30 ayat (1) menyatakan
bahwa seorang yang menghadap notaris untuk membuat akta adalah yang
memenuhi syarat paling rendah berumur 18 tahun atau sudah menikah.
• Menurut Pasal 9 huruf a UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan,
permohonan kewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika telah berusia
18 tahun atau sudah kawin sebagai batas usia cakap hukum.
• Menurut UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 dinyatakan “Anak adalah
seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.
• Pasal 1 angka 34 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menyatakan
bahwa pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17
tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin.
• Selain undang-undang tersebut di atas, terdapat pula Surat Keputusan Menteri
Dalam Negeri Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah Nomor Dpt.7/539/7-77
yang menentukan bahwa kriteria dewasa yang berbeda-beda, yaitu:
- Dewasa Politik, minimal adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut pemilu.
- Dewasa Seksuil, minimal adalah batas umur 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun
bagi pria untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut UU Perkawainan.
- Dewasa hukum, adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat
dianggap cakap bertindak dalam hukum.
Selain pengertian dewasa ditentukan dalam berbagai undang-undang tersebut di atas,
yang memberikan batasan berbeda-beda, juga batasan usia dewasa juga ditentukan
dalam Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4/SE/I/2015 Tentang Batasan Usia Dewasa Dalam Rangka Pelayanan
Pertanahan. Dalam ketentuan angka 7, ditentukan bahwa usia dewasa yang dapat
melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan adalah paling
kurang 18 tahun atau sudah kawin.1
Untuk mengatasi adanya perbedaan mengenai batas minimum usia dari mereka yang
disebut telah dewasa, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tanggal 12 September 2012. Surat Edaran ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di
seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut adalah Hasil Rapat Pleno
Mahkamah Agung yang diadakan tanggal 14-16 Maret 2012. Surat edaran tersebut
dimaksudkan sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan.
Menurut Hasil Rapat Kamar Mahkamah Agung, yaitu Kamar Perdata dan Kamar Pidana.
Pada Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung yang diadakan pada tanggal 14-16 Maret
2012, menentukan bahwa dewasa adalah cakap bertindak dalam hukum yaitu orang
yang telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin. 2
Selain dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Perdata, kedewasaan seseorang juga
dinyatakan dalam Hasil Rapat Kamar Pidana Mahkamah Agung. Dinyatakan dalam Hasil
Rapat Kamar Pidana bagian Tindak Pidana Khusus, bahwa ukuran kedewasaan
seseorang tergantung pada kasusnya (kasuistis). 3
Tujuan diadakannya Rapat Kamar Mahkamah Agung untuk menentukan batas minimum
usia dewasa adalah agar tercipta suatu kesatuan hukum mengenai kriteria dewasa.
Sehingga dengan demikian menjadi jelas bagi para pihak dan penegak hukum dalam
menangani sebuah perkara yang menyangkut pihak perjanjian atau terdakwa pidana
yang menyangkut seorang apakah yang bersangkutan telah atau belum dewasa. 4

1
Sudono, Untuk Kepentingan Apa Batasan Usia Dewasa Itu?, cfm https://www.pa-blitar.go.id/informasi-
pengadilan/160-untuk-kepentingan-apa-batasan-usia-dewasa-itu.html
2
Sudono, Untuk Kepentingan Apa Batasan Usia Dewasa Itu?, cfm https://www.pa-blitar.go.id/informasi-
pengadilan/160-untuk-kepentingan-apa-batasan-usia-dewasa-itu.html
3
Sudono, Untuk Kepentingan Apa Batasan Usia Dewasa Itu?, cfm https://www.pa-blitar.go.id/informasi-
pengadilan/160-untuk-kepentingan-apa-batasan-usia-dewasa-itu.html
4
Sudono, Untuk Kepentingan Apa Batasan Usia Dewasa Itu?, cfm https://www.pa-blitar.go.id/informasi-
pengadilan/160-untuk-kepentingan-apa-batasan-usia-dewasa-itu.html
Diharapkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun
2012 tersebut, maka ada kesamaan hukum dalam menentukan batas minimum usia
dari seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai telah dewasa. Sehingga tidak ada
kebingungan dalam menerapkan ketentuan tersebut. 5
(2) Orang yang berada di bawah pengampuan
Siapa saja yang dapat diletakan di bawah pengampuan? Menurut Pasal 433 KUH
Perdata:
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau
mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang
cakap mempergunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena
keborosannya.
(3) Sesuatu Hal Tertentu
Yang dimaksudkan dengan “sesuatu hal tertentu” dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah
“prestasi” yang menurut Pasal 1324 KUH Perdata terdiri dari:
• Memberikan sesuatu
• Berbuat sesuatu, atau
• Tidak berbuat sesuatu
(4) Suatu Sebab Yang Halal
Yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata adalah bahwa
perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun
ketertiban umum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1337 KUH
Perdata menentukan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”

V. SYARAT SAHNYA PERJANJIAN MENURUT TRADISI COMMON LAW


Menurut Legal Information Institute (LII), unsur atau syarat sahnya suatu “contract” ada 4
yaitu:6

5
Sudono, Untuk Kepentingan Apa Batasan Usia Dewasa Itu?, cfm https://www.pa-blitar.go.id/informasi-
pengadilan/160-untuk-kepentingan-apa-batasan-usia-dewasa-itu.html
6
Legal Information Institute, Contract, cfm https://www.law.cornell.edu/wex/contract
(1) “Mutual assent” yang ditegaskan melalui adanya “offer” (penawaran) oleh salah satu
kepada pihak lainnya yang memberikan “acceptance” (akseptasi)
(2) Adequate considerations
(3) Capacity
(4) Legality

Menurut Kimberlee Leonard dalam tulisannya yang dimuat dalam newsletter chron ada 5
syarat untuk sahnya suatu contract. Kelima syarat tersebut adalah:7

(1) Offer
(2) Acceptance
(3) Considerations
(4) Competency
(5) Legal intent

Berikut ini adalah penjelasan mengenai pemahamannya.

(1) Offer
Apabila dalam bahasaindonesakan, “offer” bahasa Indonesianya adalah “penawaran”.
“Offer” merujuk kepada janji bahwa suatu partai menawarkan kepada pihak lain, pihak
lain tersebut adalah pihak tertentu atau kepada siapa saja yang berminat (publik)
untuk melakukan prestasi (performance) tententu dan sebagai imbalannya akan
memperoleh imbalan berupa prestasi (performance) pihak lain. Dengan kata lain,
“offer” adalah penawaran atau undangan untuk memasuki suatu perjanjian dengan
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu.8
(2) Acceptance
Bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, “acceptance” dapat diterjemahkan dalam
istilah “akseptasi” atau “penerimaan”. 9

7
Kimberlee Leonard, 5 Requirements for a Contract, cfm https://smallbusiness.chron.com/5-requirements-
contract-15616.html
8
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
9
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
Pihak yang melakukan “acceptance” sebagai respon “offer” yang ditawarkan kepadanya
disebut “offeree”. Sedangkan pihak yang mengajukan “offer” disebut “offerer”. “Offer”
dapat dilakukan dengan lisan maupun tertulis. 10
Pihak yang melakukan “acceptance”, menyatakan kesediannya untuk memasuki
perjanjian dengan pihak yang mengajukan “offer”. Dengan kata lain, “acceptance”
adalah persetujuan atas “offer” yang diajukan oleh “offerer”. 11
Seringkali tidak mudah untuk menentukan suatu pernyataan, baik secara lisan maupun tertulis,
sebagai “offer”. Menentukan “offer” merupakan “open norm” yaitu merupakan hak prerogratif
hakim untuk menentukan apakah pernyataan suatu pihak merupakan “offer” atau bukan “offer”.
Namun apabila dalam pernyataan tersebut dikemukakan mengenai kuantitas, harga, kualitas,
tempat penyerahan, dan waktu penyerahan, maka hakim dapat menentukan bahwa pernyataan
tersebut jelas merupakan “offer”. 12

Perpaduan antara “offer” dan “acceptance” dalam tradisi common law disebut “mutual
assent”. Apabila “offer” ditolak oleh pihak lainnya, maka secara hukum, perjanjian tidak
terjadi. Proses negosiasi untuk membuat perjanjian, berakhir. Kecuali apabila setelah
penolakan tersebut terjadi perubahan isi dari “offer” atau dari “acceptance” sehingga
terjadilah “mutual assent” diantara kedua pihak. 13
Ada 2 jenis “offer”, yaitu: 14
4. General Offer, yaitu “offer” yang diajukan kepada sekelompok orang, termasuk
diajukan kepada publik.
5. Spesific Offer, yaitu “offer” yang ditawarkan hanya kepada satu orang tertentu saja.

Menurut upcounsel.com agar supaya suatu offer dianggap sah adalah apabila memenuhi
hal-hal sebagai berikut: 15

10
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
11
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
12
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
13
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
14
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
15
Baca: What is an Offer in Law Of Contract: Everything You Need to Know, cfm
https://www.upcounsel.com/what-is-an-offer-in-law-of-contract
• Must be communicated
Offerer harus mengkomunikasikan offer yang diajukannya kepada pihak lain yang
mungkin memilih untuk menerima atau menolak offer tersebut. Komunikasi dapat
dilakukan secara tertulis maupun secara lisan.
Dalam hal pihak yang mengajukan “offer” menentukan batas waktu berlakunya
“offer”, maka setelah batas waktu tersebut berakhir, maka “offer” tersebut tidak
berlaku. Artinya pihak yang ditawari “offer” tidak berkesempatan lagi mengajukan
“acceptance”.
• Must be made with the purpose of obtaining the assent of the other party
Offer harus dibuat oleh offerer dengan tujuan untuk memperoleh persetujuan
(assent) dari offeree. Persetujuan (assent) tersebut disebut “acceptance”
(akseptasi). Offer yang sah (a valid offer) harus jelas merupakan suatu penyataan
ekspresi (expression) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 16
• Must be capable of establishing legal relation, meaning that consideration must be
a two-way process
Offer harus diajukan oleh offerer dengan tujuan untuk menciptakan hubungan
hukum antara offerer dan offeree. Dalam hubungan hukum tersebut, harus ada
yang disebut “considerations” dari kedua belah pihak.
• Must contain language that is certain and no element of uncertainty
Offer harus diajukan dengan jelas dan tidak ambigu.
“Offer” yang diajukan dalam suatu percakapan dan pihak yang ditawari tidak
menjawab offer tersebut, maka apabila “offerer” menyatakan bahwa “diam adalah
setuju”, menurut tradisi common law “offer” tersebut dianggap tidak sah. Dengan
kata lain, “acceptance” harus dinyatakan oleh “offeree” dengan kata-kata yang
tegas dan dengan bahasa yang dimengerti oleh “offerer”.
(3) Considerations
Considerations menurut Britannica adalah:17
“an inducement given to enter into a contract that is sufficient to render the
promise enforceable in the courts”

16
Owlgen, Define offer. Explain the rules regarding a valid offer, cfm https://www.owlgen.in/define-offer-
explain-the-rules-regarding-a-valid-offer/
17
Britannica, Considerations, cfm https://www.britannica.com/topic/consideration
Contohnya adalah dalam perjanjian jual beli. Uang yang dibayarkan oleh pembeli
kepada penjual adalah considerations bagi penjual dan barang yang dijual adalah
considerations bagi pembeli.18 “Considerations” harus dipertukarkan (to be
exchanged).
(4) Competency
(5) Legality

VI. KESIMPULAN
Membandingkan antara ketentuan sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata dan
ketentuan mengenai sahnya perjanjian menurut tradisi common law, ternyata syarat-syarat
menurut Pasal 1320 KUH Perdata dan menurut tradisi common law tidak berbeda. Kesamaan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Syarat sahnya suatu contract menurut tradisi common law adalah adanya “offer”
sebagai syarat pertama dan “acceptance” sebagai syarat kedua. Terpadunya antara
“offer” dan “acceptance” melahirkan “mutual assent”.
“Mutual assent” adalah apa yang menurut Pasal 1320 KUH Perdata disebut “sepakat”
(Belanda: toestemming). Untuk mencapai “sepakat” sebagai salah satu syarat sahnya
perjanjian sebagaimana hal tersebut ditentukan pada Pasal 1320 KUH Perdata tidak
mungkin terjadi tanpa negosiasi atau perundingan diantara kedua pihak. Pada
negosiasi tersebut, salah satu pihak menawarkan kepada pihak yang lain untuk
melakukan prestasi tertentu, yaitu berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. Pada perundingan tersebut, pihak yang lain akan menyetujui
atau menolak untuk menerima penawaran tersebut. Apabila pihak yang ditawari
menerima tawaran tersebut, penawaran tersebut dapat diterima tanpa perubahan
terhadap ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dikehendaki oleh pihak yang
menawarkan prestasi tersebut. Atau penawaran tersebut diterima dengan perubahan
terhadap ketentuan dan syarat. Dengan demikian, untuk memperoleh “sepakat”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata, adalah seperti halnya yang
berlangsung di tradisi common law, yaitu melalui “penawaran” (offer) dan “akseptasi”
(acceptance).

18
Britannica, Considerations, cfm https://www.britannica.com/topic/consideration
• Menurut tradisi common law, untuk sahnya suatu contract (perjanjian) adalah adanya
“considerations” yang merupakan syarat ketiga. Yang dimaksud “considerations” dalam
tradisi common law hanya ada 2, yaitu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Sedangkan menurut KUH Perdata Indonesia yaitu menurut Pasal 1324 KUH Perdata
adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Menurut
pendapat Penulis, bunyi Pasal 1324 KUH Perdata berlebihan karena “memberikan
sesuatu” dapat dicakup dalam istilah “berbuat sesuatu”. Dengan demikian, dalam
pengertian “considerations” menurut tradisi common law yang berupa “berbuat
sesuatu” atau “tidak berbuat sesuatu” adalah lebih tepat.
• Selain syarat-syarat tersebut di atas, menurut tradisi common law juga harus terpenuhi
syarat yang keempat, yaitu syarat “competency” (kompetensi) atau “capacity”
(kapasitas). Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk istilah “competency” atau “capacity”
digunakan istilah “cakap” atau “kecakapan” (Belanda: bekwaamheid).
• Syarat yang kelima bagi sahnya contract dalam tradisi common law adalah “legality”.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, syarat tersebut juga ada dalam istilah “suatu sebab yang
halal” (Belanda: eene geoorloofde oorzaak).

Anda mungkin juga menyukai