Anda di halaman 1dari 50

STRUKTURALISME LEVI-STRAUSS:

Strategi Kajian`Sastra Lisan’


Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum.
Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Email: yoseph.yapi2010@gmail.com
Buku Acuan Wajib
`
Materi Kuliah

1. Pengantar
2. Perspektif Levi-Strauss
3. Cara Kerja Penelitian Strukturalisme Levi-
Strauss
4. Aplikasi Kajian Levi-Strauss: Mitos, Legenda,
Novel
5. Kesimpulan
PENGANTAR

• Nusantara sangat kaya dengan berbagai tradisi lisan. Beberapa


universitas mulai mengajarkan tradisi lisan. Studi masih bersifat
“deskriptif”.
• Pendekatan Strukturalisme Levi-Strauss merupakan pendekatan yang
sangat mendunia, namun penggunaannya dalam kajian sastra dan
tradisi lisan di Indonesia masih sangat terbatas.
• Beberapa orang menggunakannya hanya sebagai ‘accessories” tanpa
memahaminya secara mendalam.
Strukturalisme dan Pola-pola Pemikiran

• Strukturalisme adalah “penelitian terhadap pola-pola pemikiran yang


mendasari berbagai bentuk aktivitas manusia”. Saussure, linguistik harus
mengesampingkan unsur-unsur ekstra-linguistik dan historis dan focus
pada pola-pola atau struktur.
• Saussure menganggap fenomena-fenomena umum bahasa (langage)
selalu memiliki dua sisi, yaitu parole (speech, language use) dan langue
(sistem bahasa umum dari suatu kelompok bahasa) (Bertens, 1985).
Langue bergerak dalam taraf unconscious.
• Yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sistem bahasa umum
yang melebihi bahasa individual (parole). Parole tidak menjadi objek
studi linguistik. Langue harus dianggap sebuah institusi bersistem,
arbitrer, sesuai dengan sistem bahasa tertentu.
2. Perspektif Levi-Strauss

• Claude Lévi-Strauss (1908-2009) adalah


seorang ahli antropologi dan etnografi
terkemuka Prancis yang dikenal sebagai
“Bapak Antropologi Modern”.
• Pandangannya yang utama: Struktur
pemikiran manusia purba (savage mind)
sama dengan struktur pemikiran manusia
modern (civilized mind) karena sifat dasar
manusia sebenarnya sama.
• Fokus studinya adalah mitologi.
• Mitos memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis,
ataupun religius. Mitos adalah bahasa, sebuah narasi yang sudah
dituturkan untuk diketahui.
• Mitos adalah sebuah dunia yang kontradiktif. Di satu pihak,
tampak bahwa segala sesuatu dapat saja terjadi. Seolah-olah tidak
ada logika dan tidak ada kontinuitas di dalam mitos. Mitos
memiliki ciri arbitrer (mana suka).
• Hakikat mitos adalah sebuah upaya untuk mencari pemecahan
terhadap kontradiksi-kontradiksi empiris yang dihadapi dan yang
tidak terpahami oleh nalar manusia. Pada dasarnya mitos
merupakan pesan-pesan kultural terhadap anggota masyarakat.
Metode Penelitian

1. Mencari Miteme (Mytheme) Miteme adalah unsur-unsur terkecil


dalam wacana mitis, yang merupakan satuan-satuan yang
bersifat oposisional, relatif, dan negatif. Sebagaimana
pandangan Jakobson, miteme menurut Levi-Strauss adalah tanda
yang tidak bermakna pada dirinya sendiri dan diferensial murni.
Karena itu, dalam menganalisis cerita, makna dari kata yang ada
dalam cerita harus dipisahkan dari makna miteme, yang berupa
kalimat atau rangkaian kata-kata dalam cerita tersebut. Makna
miteme sebaiknya tidak dicari hanya dari satu cerita saja tetapi
dari kombinasi cerita-cerita yang ada.
• Istilah ‘miteme’ (dalam analisis mitos) diadaptasi oleh Ahimsa-
Putra (2006: 263) untuk dapat digunakan dalam melakukan analisis
karya sastra dengan istilah ‘ceriteme’. Ahimsa-Putra
mendefinisikan ‘ceriteme’ sebagai kata-kata, frase, kalimat,
bagian dari alinea atau alinea yang dapat ditempatkan dalam
relasi tertentu dengan ceriteme yang lain sehingga dapat
menampakkan makna-makna tertentu. Ceriteme dapat
mendeskripsikan suatu pengalaman, sifat-sifat, latar belakang
kehidupan, interaksi, atau hubungan sosial, status sosial ataupun
hal-hal lain dari tokoh-tokoh cerita yang penting artinya bagi
analisis cerita.
2. Menyusun Miteme: Sintagmatis dan Paradigmatis. Setelah
ditemukan berbagai miteme –yakni kalimat-kalimat yang
menunjukkan relasi-relasi tertentu—yang ada dalam sebuah
atau beberapa mitos, miteme tersebut disusun sedemikian rupa
(Levi-Strauss mengusulkan agar dituliskan pada kartu indeks)
yang diberi nomor sesuai dengan urutannya di dalam cerita.
Setiap nomor (kartu indeks) memperlihatkan suatu subjek yang
melakukan fungsi tertentu, yang disebut ’relasi’. Relasi yang
sama akan muncul secara diakronis. Miteme-miteme yang
ditemukan harus disusun secara sinkronis dan diakronis,
paradigmatis dan sintagmatis. Unit-unit yang kemudian
dianalisis lebih lanjut adalah kumpulan relasi-relasi
3. Melakukan Interpretasi. Cara melakukan
interpretasinya adalah: mengaitkan relasi-relasi
dan oposisi-oposisi antara unsur-unsur
elementer tersebut. Levi-Strauss menekankan
bahwa sebuah mitos tidak hanya boleh dibaca
seperti kita membaca buku, dari kiri ke kanan,
tetapi sekaligus juga dari atas ke bawah, seperti
kita membaca partitur not balok pada musik.
3. Contoh Penelitian Levi-Strauss:
Mitos Oedipus

• Oedipus adalah seorang raja mistis


dari Thebes, Yunani. Dia memenuhi
sebuah ramalan bahwa dia akan
membunuh ayahnya dan mengawini
ibunya, dan dengan demikian
membawa malapetaka bagi kerajaan
dan keluarganya.
• Mitos ini digunakan oleh Sigmud
Freud untuk menyebut sebuah gejala
psikologis manusia yang disebut
Oedipus kompleks.
Kajian Mitos Oedipus

• Oedipus adalah anak dari raja Laius dan ratu Jocasta. Karena keduanya
tidak segera mendapatkan anak, mereka mendatangi Peramal Apollo di
Delfi. Sang peramal mengingatkan bahwa jika mereka mendapatkan
seorang anak laki-laki, putra itu akan membunuh ayahnya dan menikahi
ibunya. Ketika Jocasta melahirkan seorang anak laki-laki, Laius
memerintahkan pengawalnya untuk mengikat kaki Oedipus dan
memakunya untuk menghindari terwujudnya ramalan tersebut. Nama
Oedipus muncul dari peristiwa ini, yaitu “kaki bengkak”. Laius menyuruh
seorang pelayan untuk membuang anak itu ke kaki gunung terdekat dan
membiarkannya mati. Akan tetapi sang pelayan merasa kasihan pada bayi
Oedipus dan menyerahkannya kepada seorang penggembala dari Korinth.
Sang gembala memberikan anak itu untuk dipelihara raja Korinth, Polybus
dan ratu Merope, yang mengadopsi bayi itu karena mereka tidak memiliki
anak.
• Ketika beranjak dewasa, Oedipus diberitahu oleh seorang pemabuk
bahwa Polybus bukanlah ayahnya yang sebenarnya. Ketika Oedipus
menanyakan hal ini kepada Polybus, dia membantah dan mengatakan
bahwa Oedipus memang anak kandung mereka. Untuk membuktikan
kebenaran cerita sang pemabuk, Oedipus bertanya pada peramal
Apollo di Delfi. Sang peramal tidak mengungkap identitas Oedipus
yang sebenarnya, tetapi menyampaikan bahwa Oedipus sudah
ditakdirkan untuk membunuh ayahnya dan mengawini ibunya. Demi
menghindari takdir tersebut, Oedipus memutuskan untuk tidak akan
kembali ke rumahnya di Korintus. Bagi Oedipus, Polybus dan
Merope, adalah orang tuanya. Karena berdekatan dengan Delfi,
Oedipus memutuskan pergi ke Thebes.
• Dalam perjalanannya ke Thebes, dia tiba di sebuah simpang tiga
di Davlia, di mana dia bertemu dengan kereta kuda yang
dikendarai oleh raja Laius. Laius memerintahkan Oedipus
minggir dari jalan agar keretanya dapat lewat, tetapi Oedipus
tidak mau menurutinya. Oedipus tidak mengenal Laius saat itu.
Keduanya terlibat dalam perkelahian dan berakhir dengan
kematian Laius di tangan Oedipus. Seperti ramalan Apollo,
Oedipus membunuh ayahnya.
• Oedipus meneruskan perjalanannya ke Thebes. Di tengah jalan dia
dihentikan oleh Sphinx. Sphinx memang menghentikan semua orang
yang lewat di jalan itu sambil memberikan mereka sebuah teka teki.
Siapapun yang tidak dapat menjawab dengan benar akan dimakan oleh
Sphinx. Jika mereka berhasil, mereka dapat melanjutkan perjalanannya.
Teka-tekinya adalah “Makhluk apakah yang berjalan dengan empat kaki
di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di sore hari?” Oedipus
menjawab, “Manusia. Saat balita, manusia merangkak yaitu berjalan
dengan empat kaki dan tangannya, saat dewasa berjalan dengan dua
kakinya, dan saat tua berjalan dengan tongkatnya.” Setelah mendengar
jawaban Oedipus sebagai sebuah jawaban yang benar, Sphinx bunuh
diri dan membebaskan Thebes dari ancaman kematian.
• Sebagai ungkapan syukur karena berhasil membunuh
Sphinx, penduduk Thebes mengangkat Oedipus menjadi
raja dan juga menghadiahkan janda raja Laius, Jocasta
sebagai istrinya. Perkawinan Oedipus ini memenuhi
sebagian ramalan Apollo. Dari perkawinan itu, mereka
dikaruniai empat orang anak, dua laki-laki, Poliniles dan
Eteokles dan dua perempuan, Antigone dan Ismene.
Penduduk Thebes yakin bahwa raja mereka Laius terbunuh
ketika mencari jawaban atas teka-teki Sphinx. Mereka
benar-benar tidak mengetahui bahwa pembunuh yang
sebenarnya adalah Oedipus.
Hasil Kajian Levi-Strauss

• Mitos Oedipus
mengungkapkan
pengakuan asal kebumian:

MITHEME
manusia lahir dari dua.
Mitos sebagai Alat Logika

• Bagi Levi-Strauss, dengan berpikir manusia membuat struktur terhadap


realitas. Berpikir adalah melakukan klasifikasi. Karena peraturan-peraturan
yang dilakukan dalam klasifikasi itu tidak disadari, maka subjek (manusia
individu) tidak berperan. ”Pemikiran tidak berasal dari suatu subjek” (une
pensee sans sujet). Ini adalah sebuah revolusi cara pandang terhadap
manusia yang berlaku pada waktu itu, yang diterima filsafat Barat, yakni
cogito ergo sum, dari Descartes sampai Sartre (Bertens, 1985: 389).
• Sepintas lalu mitos tampak aneh, tidak memiliki arti, tetapi bagi Levi-
Strauss, mitos memiliki tata bahasa tertentu. Mitos bahkan merupakan
sebuah alat logika untuk menjelaskan berbagai kontradiksi yang dialami
umat manusia.
4. Aplikasi Kajian Levi-Strauss

vMitos, Legenda, dan Novel


4.1 Mitos Pitoto ’Si Muhamma’

• Dongeng Pitoto’ Si Muhamma’ terdiri dari


34 episode. Dongeng ini berisi kisah cinta
segi tiga antara Daeng Manjakari (DM) –
Hejira (H) – dan Muhamma’ (M). Ibu H
bernazar, jika anaknya sembuh dari sakitnya,
dia akan dibawa ke Sumur Toraja. Setelah
sembuh, H mencari saudara misan dari pihak
ayahnya, dan bertemulah dia dengan DM,
yang juga sedang mencari saudara misan
dari pihak ayahnya.
• DM adalah orang Bajo yang mempelajari adat-
istiadat orang kampung dari ibunya. Hal ini
membuatnya diterima dengan baik oleh orang
kampung, ketika dia menyaksikan pertandingan
Samparaga. Kelakuan DM benar-benar sangat
terpuji sehingga dia mendapat banyak simpati.
Di pihak lain, M juga ingin menonton
pertandingan Semparaga, ditemani oleh tiga
orang pengiring. Berbeda dengan DM, M dan
para pengawalnya dianggap orang asing yang
tidak simpatik.
• Atas permintaan ibu H, DM akhirnya bersedia
mengantar H adiknya (Eps. 16) ke sumur Toraja.
Mereka pergi dengan perahu layar dan dayung
Gallikanawan. Perjalanan itu sangat memukau
dan membuat H jatuh cinta pada DM. DM
menuntun H di hadapan M.
• Ternyata M yang mengaku sebagai sepupu
H (Eps. 27) merasa cemburu, sakit hati, dan malu
atas perbuatan DM mengantar H ke sumur Toraja
dan menuntun tangannya. Atas inisiatif M,
keduanya bertempur di dalam sebuah sumur (Eps.
29). DM akhirnya dibunuh oleh M setelah
mendapat selembar rambut semangat H. H pun
jatuh cinta pada M, tetapi M memilih
meninggalkan H dan kampung halamannya.
Kontradiksi Masyarakat Bajao
• Dongeng Pitoto’ Si Muhamma’ mencerminkan
konflik batin orang Bajo yang mendua dan tak
pernah terpecahkan: di satu pihak mereka
adalah orang laut yang meyakini superioritas
laut, tetapi di pihak lain mereka juga sangat
tergantung pada kehidupan darat dan
menyaksikan superioritas darat.
• Dongeng Pitoto’ Muhamma’ dapat dikatakan
merupakan sebuah upaya simbolisasi orang
Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi
empiris: mereka sebagai orang yang hidup dari
mengumpulkan hasil laut tetapi sekaligus
tergantung pada hasil bumi dari darat.
Kesimpulan Mitos Pitoto’ Si Muhamma’

Dongeng ini memberi jawaban


tentang konflik batin ini. Bagi
orang Bajo, aktivitas yang
terpenting adalah mengembara
dan mengunjungi sesama orang
Bajo. Dalam aktivitas
mengembara inilah mereka
menemukan identitas mereka.
Dongeng ini menjawab konflik
batin itu: pertanyaan tentang
superioritas – inferioritas menjadi
kurang relevan. Mereka tetap
memilih menjadi pengembara.
4.2 MITOS WATO WELE – LIA NURAT
(mytheme)

• Pada mulanya Ema Wato Sem/Bapa Madu Ma yang tinggal di Sina Jawa
menyuruh orang tuanya burung elang, terbang ke puncak Gunung Mandiri.
• Di puncak gunung itu sang elang menaruh telurnya dan dari satu butir telur
itu lahir manusia kembar, Wato Wele dan Lia Nurat.
• Wato Wele dan Lia Nurat dipelihara oleh hantu gunung hingga menjadi
dewasa.
• Lia Nurat mengantar adiknya Wato Wele menempati bagian selatan
Mandiri dan Lia Nurat sendiri menghuni bagian utara gunung itu.
• Lia Nurat membuat api unggun di puncak Mandiri yang
cahayanya sampai ke perkampungan Paji.
• Sinar api unggun itu mengenai seorang gadis Paji bernama
Hadung Boleng Teniban Duli.
• Suku Suban Lewa Hama, saudara kandung Hadung Boleng,
disuruh pergi ke puncak gunung mencari asal api unggun dan
bertemu dengan Lia Nurat. Lia Nurat berjanji akan turun ke
kampung Paji.
• Lia Nurat turun ke kampung Paji dan menikah dengan Hadung
Boleng.
• Dari pernikahan itu lahir tujuh anak yang kelak menurunkan
Suku Ile Jadi Baipito. Mereka hidup berkecukupan.
• Kemakmuran mereka diketahui orang-orang Suku Soge
(Maumere). Raja Suku Soge pun mengantar anaknya Uto Watak,
untuk diperisteri Lia Nurat.
• Hadung Boleng tidak senang dengan kehadiran Uto Watak. Dia
pun mengusir Uto Watak.
• Raja Suku Soge sangat marah. Mereka datang menyerbu dan
membunuh Lia Nurat.
• Setelah Lia Nurat meninggal, kehidupan Hadung Boleng dan
ketujuh anaknya sangat menderita.
• Suatu ketika Boleng bermimpi melihat pusat gunung. dengan itu,
kehidupan mereka kembali makmur.
• Terjadi perang di Adonara. Kelima putra Lia Nurat ikut berperang
membela adik perempuan mereka. Dalam peperangan itu, putra
sulung Lia Nurat, Blawa Burak Sina Puri, tewas terbunuh.
• Keempat putra Lia Nurat yang masih hidup kembali ke gunung
Mandiri dan membagi tanah warisan di antara mereka.
Kontradiksi dalam
masyarakat
Lamaholot:
Perkawinan intra vs
ekstra suku.
Umar Kayam dalam Perspektif Levi-Strauss
Entah Apa yang Merasuki Umar Kayam
4.3 MITOS UMAR KAYAM:
Kajian Strukturalisme Levi-Strauss
• Sri Sumarah (Sri – Janda
Pijet–Tun –putrinya menikah dgn
Yos – CGMI -- Ginuk cucunya)
• Bawuk (Bungsu, Hasan – PKI) 
• Musim Gugur Kembali di
Connecticut (Tono –teater
absurd)
• Para Priyayi (Harimurti --Lekra)
Kutipan

• “Bukannya kebetulan nDuk, namamu Sri Sumarah. Dari nama itu,


kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah, menyerah.
Lho, itu tidak berarti lantas kau diaaaam saja, nDuk. Menyerah di
sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti,
nDuk?” (Sri Sumarah hlm. 187)
• “Ini Semua, Bung, yang kukatakan argumentasi berbahaya. Racun
Borjuasi! Tidak pernah kau membuat analisis secara konkret, jelas,
dan mudah dimengerti. Jalan pikiranmu muter muter. Tidak
dialektis, apalagi mampu kasih pengarahan yang tepat. Watak
pekerja ilmu yang revolusioner dan progresif, sorry saja, tidak
kau miliki!” (Musim Gugur Kembali di Connecticut)
Musim Gugur Kembali di Connecticut

• “Tangan Tono masih di perut istrinya. Leher istrinya diciumnya lagi.


Dibisikkannya beberapa kalimat di telinga istrinya. Istrinya
tersenyum. Sambil bangkit dari pangkuan Tono, istrinya
menyeretnya masuk ke balik tirai. Mereka mulai menanggalkan baju.
Kemudian suara dua badan yang dihempaskan di tempat tidur
terdengar bersama keriutnya besi-besi ranjang….”
• “Tono merapatkan badan ke badan istrinya. Sesaat sentuhan kulit
menggetarkan seluruh syaraf Tono. Dirabanya seluruh tubuh istrinya.
Dicumnya istrinya dengan penuh keberahian. Oh, alangkah
nikmatnya kebebasan, pikir Tono. Alangkah tahu terimakasih
penderitaan itu. Dan waktu istrinya menanggapi dengan panasnya
berahi yang sama, seonggok gelombang nafsu menggulung kedua
tubuh itu….”
• “Jam berdentang satu kali di kamar makan. Tono
tersentak bangun. Istrinya masih tidur di
sampingnya. Tubuhnya yang telanjang dan
tergeletak dengan tenang itu mengingatkan Tono
pada salah satu lukisan Gauguin…”
• “Tono mengangkat jaketnya. Seperti biasa dia
cium dulu lengan-lengan jaketnya. Hidungnya
menyengir sebentar. Bau mani kering menusuk
hidungnya. Dia tersenyum. Istrinya tersenyum…”
• “Di depan Tono, di balik jendela depan jip, tidak
ada kelabu tembok penjara yang dia begitu kenal.
Pohon karet yang dia lihat menjelma pohon
marple yang berderet di pedesaan Connecticut.
Daunnya yang kuning, merah, coklat, ungu.
Bajing melompot di antara daun yang
berserakkan di bawah. Dia pun tahu musim gugur
telah kembali di Connecticut.”
Bagian Penutup Cerpen “Bawuk”
Nyonya Suryo memejamkan matanya.
Mulutnya pelan-pelan bergerak-gerak. Dia
tidak melihat langit berubah menjadi ungu,
dan serombongan bangau sawah dengan
rendahnya melintas di depan rumahnya
untuk bertengger di rumpun bambu pojok
rumahnya. Dan mungkin hanya sayup-sayup
saja dia dengar Pak Kaji melanjutkan
pelajarannya lagi: “Ihdinash shiraathal
mustaqiim. Shiraathalladziina an’amta
‘alahimin ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa
ladh dhaalliin. Amin….” (Umar Kayam, “Bawuk”
1970: 122-123).
Para Priyayi

• Saya tidak akan memasukkan Gus Hari ke kandang macan. Saya


akan minta kepada mereka supaya Gus Hari dilindungi. Kalau di
rumah dia bisa diganyang massa yang marah. Kalau dia dibiarkan
ditangkap begitu saja, salah-salah Gus Hari bisa jatuh ke tangan
tukang pukul yang bisa bikin Gus Hari babak belur tidak keruan.
Kalau diserahkan kepada orang-orangyang kita kenal, paling tidak
dia akan diinterogasi baik-baik. Sementara itu, kita mencari jalan
lain yang lebih baik. Misalnya, dengan mohon pertolongan Pakde
Noegroho (Kayam, 1992: 281).
• Senja semakin merah semburat. Sebentar lagi matahari akan
hilang tertelan rumah-rumah tetangga, pohon-pohon. Gadis, kau
bawa Sungkono dan Prihatin. Baik-baiklah kau di sana. Saya
mendengar Gadis membaca sajak: “di pagi hari, pekerja petani
bersimbah peluh, mengeluh, tanah ini kapan jadi milik saya lagi.”
Saya mendengar Kentus meniup harmonikanya yang sumbang Satu
Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa Kita bercampur dengan Garuda
Pancasila, akulah pendukungmu. Malam pun turun (Kayam, 1992:
299).
• “Karena saya tidak percaya kepada sistem yang melahirkan dan
membesarkan penguasa yang begitu kejam seperti Stalin. Sama
dengan tidak percaya saya kepada sistem yang melahirkan Hitler
dan Mussolini. Dan, sudah tentu, juga tidak percaya kepada sistem
yang melahirkan Amangkurat yang dengan kejamnya membunuhi
santri-santri. Sistem-sistem seperti itu selalu mengandung bibit-
bibit kekerasan yang selalu akan mengambil korban ribuan orang
yang tidak bersalah” (Kayam, 1992: 290).
• Bung Naryo, waktu tahu rumah itu sudah dikepung, berusaha
meloloskan diri lewat pintu dapur belakang dan lari ke sawah. Dia
lari tersuruk-suruk di sawah-sawah di pinggir bukit tempat
reruntuhan candi Boko. Akhirnya, dia tertangkap di pinggir kali.
Massa yang marah tak mengenal ampun lagi. Bung Naryo dipukuli,
ditendang hingga babak belur…. Bung Naryo kemudian mohon agar
dia diperbolehkan mengucapkan pidato selamat tinggal.
Permintaan itu dipenuhi. Bung Naryo berpidato. Sayang tidak
seorang pun ingat pidato itu. Apalagi mencatatnya. Massa itu
adalah massa yang marah dan benci kepada apa saja yang
dianggap berbau PKI (Kayam, 1992: 289).
5. KESIMPULAN
• Strukturalisme adalah sebuah pendekatan yang
mulai dikenal dan dikembangkan di Prancis
pada tahun 1950-an dari pemikiran linguis
Ferdinand de Saussure.
• Menurut Saussure, prinsip dasar strukturalisme
adalah bahwa alam semesta terjadi dari relasi
(forma) dan bukan benda (substansial). Di
bidang antropologi dua tokoh strukturalis yang
paling berpengaruh adalah Claude Lévi-Strauss
(1908-2009) dan Roland Barthes (1915 –1980).
Strukturalisme dan Pola-pola Pemikiran

• Strukturalisme adalah “penelitian terhadap pola-pola pemikiran


yang mendasari berbagai bentuk aktivitas manusia”. Bagi Saussure,
linguistik harus mengesampingkan unsur-unsur ekstra-linguistik
dan historis.
• Saussure menganggap fenomena-fenomena umum bahasa
(langage) selalu memiliki dua sisi, yaitu parole (speech, language
use) dan langue (sistem bahasa umum dari suatu kelompok
bahasa) (Bertens, 1985).
• Yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sistem bahasa
umum yang melebihi bahasa individual (parole). Parole tidak
menjadi objek studi linguistik. Langue harus dianggap sebuah
institusi bersistem, arbitrer, sesuai dengan sistem bahasa tertentu.
• Dari perspektif Levi-Strauss, tradisi lisan khususnya
berbagai cerita naratif, merupakan alat logika yang
digunakan oleh pemilik cerita tersebut untuk menjawab
berbagai konflik dan persoalan hidup yang dihadapi.
Makalah ini memperlihatkan bahwa pandangan Levi-
Strauss itu dapat diterapkan pada berbagai khazanah
tradisi lisan Nusantara.
Contoh Kajian Strukturalisme Strauss

• ”Pemahaman Pola Berpikir Jawa Melalui Mitos Dewi Sri: Studi


Struktural-Antropologis Menurut Levi-Strauss” Tirto Suwondo

• Strukturalisme Levi-strauss Sebagai Paradigma Penyelesaian


Konflik: Studi Kasus Dua Legenda Rakyat Nusantara (Yoseph Yapi
Taum)
REFLEKSI DAN LATIHAN

• Cerita-cerita rakyat seringkali merupakan alat logika bagi


masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dasar yang
mereka hadapi.
• Aplikasikan Teori dan Pendekatan Levi-Strauss terhadap Sastra
Nusantara (manapun) yang kamu sukai.
• Contoh: (1) Nalar Jawa di Balik Mitos Pangeran Samudra dan Dewi
Ontrowulan; Nilai-nilai Budaya; (2) Nilai-nilai Budaya Dayak dalam
Dongeng Batu Manangis
PR

• Carilah sebuah mitos/dongeng/legenda


• Tuliskan Mitheme/Cerithemenya
• Kemukakan kontradiksi yang ingin dijawab
oleh mitos/dongeng/legenda tersebut.
• Kemukakan “entah apa yang merasuki
masyarakat” hingga mereka mengisahkan
cerita tersebut.

Anda mungkin juga menyukai