Diajukan
Oleh:
AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192
SKRIPSI
SKRIPSI
Diajukan
Kepada Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan
Pada Program Studi (S-1) Pendidikan Agama Islam
Oleh:
AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192
Pembimbing
1. Ayok Ariyanto, M.Pd.I
2. Nurul Abidin, M. Ed
ii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS
AGAMA ISLAM
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di dalam sidang Ujian Munaqasyah
Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo pada:
Hari : Jum’at
Tanggal : 05 Agustus 2022
Dan Sidang telah menerima sebagai pelengkap tugas dan salah satu syarat
Ujian Akhir Program Strata Satu (S-1) guna memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd) pada fakultas Agam Islam Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.
Maka dengan ini kami syahkan hasil sidang Ujian Munaqasyah di atas.
Ponorogo, 05 Agustus 2022
Dekan
iii
NOTA PERSETUJUAN MUNAQASYAH
Hal: Persetujuan Munaqasyah
Kepada:
Yth. Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
di – Ponorogo
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.
Setelah secara cermat kami baca/teliti kembali, dan telah diadakan
perbaikan/penyempurnaan sesuai dari arahan kami, maka kami berpendapat bahwa
Skripsi Saudara:
Nama : Agung Prayogo
NIM : 18112192
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Konsep Tazkiyatun nafs Sebagai Metode Dalam Pendidikan Akhlak
Perspektif Ibnu Atha’illah
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang Ujian Munaqasyah Skripsi Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Untuk itu kami mengharapkan agar
dapat segera dimunaqasyahkan.
Demikian dan atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.
Ponorogo, 15 DzulHijjah 1443 H
iv
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS
AGAMA ISLAM
v
AGAMA ISLAM
Telah diperbaiki dan disempurnakan sesuai arahan penguji pada sidang Munaqasyah yang
dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2022.
Dengan demikian, kami harap agar dapat segera disyahkan sebagaimana mestinya.
Demikian dan atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
vi
AGAMA ISLAM
Adalah hasil karya saya sendiri, bukan “Duplikasi” karya orang lain. Selanjutnya apabila
dikemudian hari ada “Klaim” dari pihak lain, bukan menjadi tanggungjawab Dosen
Pembimbing atau Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo, tetapi
menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari
siapapun.
Hormat Saya,
AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192
vii
MOTTO
viii
PERSEMBAHAN
Ibunda dan Ayahanda Tercinta Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa
terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibu dan
Ayah yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang
tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas
yang bertuliskan kata cinta dalam kata persembahan. Semoga ini menjadi langkah
awal untuk membuat Ibu dan Ayah bahagia karena kusadar, selama ini belum bisa
Untuk Ibu dan Ayah yang selalu membuatku termotivasi dan selalu
baik. Terima kasih Ibu..Terimah kasih Ayah atas semua yang telah engkau
berikan semoga diberi kesehatan dan panjang umur agar dapat menemani langkah
ix
ABSTRAK
x
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Yang
mana tujuannya juga mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadikan
manusia berakhlak mulia.
ABSTRACT
xi
become democratic and responsible citizens. The goal is also to get closer to God
and make humans have noble character.
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah berupa
skripsi ini.
sang revolusioner sejati utusan Allah sebagai rahmat bagi semesta alam.
Merupakan suatu kebahagiaan dan rasa syukur bagi peneliti dapat menyelesaikan
Proses penelitian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak. Oleh
Ponorogo.
Pembimbing I.
xii
3. Aldo Redho Syam, M.Pd.I selaku Kaprodi Pendidikan Agama Islam
skripsi ini.
5. Sigit Dwi Laksana, M.Pd.I selaku Dosen Wali atas dukungan, sekaligus
Ponorogo.
yang tak terhingga, yang tidak bisa dibalas dengan apapun, dan selalu
keikhlasan.
dapat berdo’a dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih
Peneliti,
xiii
Agung Prayogo
DAFTAR ISI
PENGESAHAN........................................................................................... iii
MOTTO....................................................................................................... viii
PERSEMBAHAN ....................................................................................... ix
ABSTRAK .................................................................................................. x
B. Rumusan Masalah............................................................................ 9
C. Tujuan Masalah................................................................................ 9
D. Manfaat Penelitian........................................................................... 10
xiv
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10
G. Penegasan Istilah.............................................................................. 17
A. Biografi........................................................................................... 20
AKHLAK ..................................................................................................... 42
Akhlak.............................................................................................. 66
Sekolah ............................................................................................ 76
xv
A. Kesimpulan ..................................................................................... 81
B. Saran ................................................................................................ 82
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat
manusia dengan membawa berbagai manfaat kemaslahatan bagi umat manusia baik di
kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kelak, di dalam agama Islam mempunyai
berbagai macam isi yang terkandung dalam beberapa aspek pokok antara lain Akidah,
Syariat, dan Hakikat. Salah satu risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul adalah
menyucikan jiwa umat manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat As-syams
ayat 9–10:
Ayat di atas sudah menjelaskan bahwa tazkiyatun nafs atau menyucikan jiwa
merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan umat manusia. Buah dari sucinya
jiwa manusia adalah dengan melihat aktivitas kesehariannya dan juga perilaku atau akhlak
yang baik yang akan menentukan perbuatan-perbuatan yang baik. Hal ini menjadi sangat
penting karena jika jiwa kita semakin baik maka akan semakin baik pula akhlak kita dan
akan menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang buruk yang mencerminkan akhlak
yang tidak baik. Pada hakikatnya yang paling tau tentang jiwa atau hati kita adalah kita
sendiri sehingga kitalah yang menentukannya baik atau buruknya hati kita.1
Kajian ilmu tasawuf pembahasan tentang jiwa atau penyucian jiwa di kenal
dengan tazkiyatun nafs. Jika bicara tentang ilmu tasawuf maka akan sangat erat kaitannya
1
Mohamad Thoyyib Madani, “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif Syaikh Ibnu
‘Athă Illah al-Sakandari Dalam Kitab al-Hikam,” 2012, 1–22.
17
dengan hati atau jiwa manusia, karena pada intinya objek dari ilmu tasawuf adalah hati serta
panca indra yang ditinjau dari penyuciannya. Hati memegang peranan yang sangat penting
dalam kehidupan manusia dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan manusia
tersebut. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits yang disabdakan Rasulullah SAW: “Ingatlah
bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh
perbuatannya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh perbuatannya. Ingatlah ia itu
adalah hati”.2
melihat seseorang itu kepada jasad dan bentuk tubuhnya, melainkan Allah melihat apa yang
ada dalam hatinya”.3 Dapat kita pahami bersama berdasarkan dengan dua hadits di atas
bahwasanya sangat amat penting peranan hati dan pentingnya belajar ilmu tasawuf yang
dimana muaranya adalah untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati
yang ada dalam diri manusia sehingga kita akan semakin mudah dalam menjalankan setiap
Manusia yang pada hakikatnya adalah makhluk yang dikenal memiliki dua
dimensi yang dalam tabiat, potensi, dan dalam kecenderungan arahnya. Ini merupakan
sebuah ciri dari penciptaanya sebagai makhluk yang tercipta dari tanah dan ruh dari Allah
SWT, yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sama dalam hal kebaikan dan
keburukan. Manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, kemudian
manusia mampu mengarahkan dirinya antara memilih jalan kebaikan atau jalan yang buruk.5
2
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
3
Hadits Riwayat Bukhari.
4
Hayu A’la Aslami, “Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali,”
2016, 87.
5
Hoyyu Setia Hutami, “Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi Dalam
Membentuk Kepribadian Muslim” (Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2019).
18
Perjalanan hidup manusia memerlukan sebuah tuntunan dalam membimbing
keimanan, keislaman, dan juga keihsanan seseorang. Berangkat dari hal tersebut maka harus
dipersiapkan sebuah wadah rohani yang baik, disinilah letak penting peran jiwa atau hati
manusia karena dalam jiwa manusia memiliki eksistensi terdalam yang dibutuhkan manusia
dalam memenui konsumsi spiritual yang memiki tujuan untuk mengembangkan jiwa yang
sehat dan juga jiwa yang bersih. Hal ini disebabkan dalam mendidik seorang muslim tidak
akan bisa maksimal jika tidak mampu menemukan pendidikan jiwa yang tujuannya adalah
membersihkan jiwa manusia tersebut dalam meraih kesucian dan kemuliaan jiwa. Maka
kembali lagi diperlukan penyujian jiwa atau yang biasa dikenal dengan Tazkiyatun Nafz.6
Tazkiyatun nafs yang memiliki arti penyucian jiwa. Kata Nafz merupakan kata
yang memiliki banyak makna atau dikenal dengan lafadz musytrak dan harus dipahami
sesuai dengan penggunaan kata tersebut. Makna dari kata Nafs antara lain: 1) jiwa atau
sesuatu yang memiliki eksistensi atau hakikat. Kata Nafs dalam arti ini berarti tubuh dan ruh,
2) nyawa yang memicu kehidupan, jika nyawa tersebut hilang, maka kematianpun akan
datang, 3) diri atau suatu tempat yang dimana terdapat hati yang ada di dalamnya. Dalam
artian ini Nafs memiliki makna yang dinisbatkan kepada Allah dan juga manusia, 4) sifat
yang ada dalam diri manusia yang memiliki kecenderungan pada kebaikan dan kejahatan,
dan 5) sifat pada diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang ditinggalkannya ketika
tertidur.7
Tazkiyah memiliki arti yakni proses yang bertujuan untuk mempebaiki diri
manusia dengan tujuan menjadi pribadi yang baik, islami, dan juga pribadi yang baik dari
6
Hutami.
7
Zulfatmi, “Al-Nafs dalam Al-Qur’an (Analisis Terma al-Nafs sebagai Dimensi Psikis Manusia),”
Mudarrisuna 10, no. 2 (2020): 40–57.
19
segi keimanan dan keihsanan dalam agama Islam. Proses yang dimaksud disini adalah
bagaimana memperbaiki diri seseorang dari tingkatan yang rendah menuju tingkatan yang
lebih tinggi dalam hal memperbaiki akhlak atau perilaku, kepribadian, karakter, dan sifat
manusia. Proses tersebut akan berjalan baik jika seseorang selalu melakukan tazkiyah dalam
kehidupannya.
Manusia memiliki dua akhlak atau sikap yang ada dalam dirinya yaitu akhlak
yang baik (mahmudah) dan akhlak yang buruk (madzmumah). Seorang manusia yang
mempunyai akhlak yang baik akan senantiasa membiasakan dirinya bersih dari kotoran-
kotoran jiwa. Yang dimaksud kotoran dalam jiwanya adalah segala hal yang mengotori
akidah dan keimanannya kepada Allah SWT. Manusia yang berakhlak baik akan
intropeksi diri dan juga bersungguh-sungguh dalam menggapai keridhaan Allah SWT.
Demikian pula sebaliknya manusia yang memiliki akhlak buruk yang akan mencampuri
dengan perbuatan bid’ah, keikhlasan dengan sifat riya’nya, dan juga imannya dengan
kedzaliman yang dia lakukan sehingga dapat merusak hati dan jiwanya sebagai seorang
muslim.8
Uraian di atas bahwa bentuk upaya dalam membersihkan hati manusia bisa
dicapai dengan melakukan amalan-amalan yang baik serta dengan senantiasa menjaga
ibadah dengan baik dan menggunakan dasar yang benar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hal ini tazkiyah dapat membedakan
antara kebenaran dalam berbuat kebaikan ataupun perbuatan yang tidak baik seperti
8
Ma’zumi Ma’zumi, Syihabudin Syihabudin, dan Najmudin Najmudin, “Pendidikan Dalam Perspektif Al-
Qur’an Dan Al-Sunnah : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib dan Tazkiyah,” TARBAWY :
Indonesian Journal of Islamic Education 6, no. 2 (2019), 193–209.
20
membedakan antara manusia dan binatang. Karena tazkiyatun nafs merupakan proses untuk
mensucikan hati dan jiwa manusia dari hal-hal syahwat yang merugikan bagi dirinya. Dalam
kehidupan seorang muslim sebelum memahami ajaran agama diperlukan penyucian jiwa dan
hati bagi setiap muslim agar dalam menerima setiap ilmu akan senantiasa diterima dengan
baik serta menjadikan sebuah amalan yang baik pula serta sebagai jalan untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Penyucian jiwa ini menjadi suatu masalah yang penting dalam kehidupan
umat Islam. Salah satu tujuan Rasulullah di utus adalah untuk memberikan tuntunan atau
Pendidikan akhlak yang baik, jika dikaitkan dengan tazkiyatun nafs maka akan
menemukan proses menuju pendidikan akhlak yang baik. Sebagaimana kita tahu seorang
muslim diperintahkan untuk mencontoh suri tauladan dari sosok yang ideal untuk dicontoh
akhlaknya yakni beliau Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari.9 Maka
keselamatan dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakikatnya
gerakan dakwah kenabian juga membentuk dan mengarahkan dalam moral kemanusiaan
yang membentuk manusia yang baik, berdasar dengan norma-norma untuk mencari
akhlak yang baik. Seiring berkembangnya waktu di era globalisasi membuat banyak
manusia lupa dengan pentingnya nilai pendidikan akhlak. Hal ini sangat mengkhawatirkan
jika dibiarkan begitu saja karena akan menjadi salah satu penyebab kerusakan dalam
kehidupan manusia, kemudian juga akan muncul beberapa problematika kehidupan seperti
9
Iqbal Asid Maududin, Abas Mansur Tamam, dan Wido Supraha, “Konsep Pendidikan Tazkiyatun nafs
Ibnul Qayyim Dalam Menangani Kenakalan Peserta Didik,” Rayah Al-Islam 5, no. 01 (2021), 140–56.
21
menurunnya ilmu pengetahuan, membuat karakter menjadi tidak baik, penyalahgunaan ilmu
dan teknologi, terjadi pendangkalan iman, menghalalkan segala cara dalam meraih sesuatu,
seseorang. Pola kehidupan yang jauh dari pendidikan akhlak serta pola hidup yang
mengutamakan materi bagi sebagian umat muslim merupakan contoh yang nyata kurangnya
iman atau dangkalnya keimanan seseorang kepada Allah SWT, yang mengakibatkan
terjadinya kerusakan tatanan kehidupan yang mulai bergeser dari norma-norma yang ada
dengan nilai-nilai baru dari perkembangan zaman. Jika mencermati masyarakat muslim di
era ini, maka kita akan menemukan tidak sedikit yang masih memiliki akhlak yang buruk
perilaku yang dilakukan oleh mereka masih suka dengan hal-hal yang kurang baik atau
malah sebagian dari mereka masih terjebak ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.
Begitu juga dengan generasi muda sekarang yang mengalami degradasi moral yang buruk
hal ini ditandai dengan maraknya kasus-kasus kenakalan remaja yang ada seperti contohnya
maraknya seks bebas dan juga peredaran narkoba di kalangan remaja atau pelajar. Dari
berbagai fenomena yang ada maka pendidikan akhlak ini menjadi sangat penting untuk
dipelajari dan diterapkan diawali dengan penyucian jiwa yang tujuannya adalah
meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT. dan akan semakin
22
komitmen dalam menunaikan ajaran-ajaran agama serta membuka hatinya untuk senantiasa
belajar ilmu yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang.11
Konsep pendidikan akhlak yang selama ini diterapkan oleh banyak lembaga
pendidikan, guru, orang tua dan juga di lingkungan masyarakat akan tetapi masih
memerlukan banyak evaluasi dan perbaikan dalam menanamkan akhlak yang baik. Hasil
dari pendidikan di era ini masih kurang berhasil dalam menanamkan akhlak yang baik
sehingga menambah buram konsep pendidikan akhlak yang diterapkan. Maka dari itu
dibutuhkan sebuah konsep yang baik dalam menata dan menanamkan nilai pendidikan
akhlak yang baik sesuai dengan kemajuan zaman. Ibnu Athaillah al-Sakandari adalah ulama
tasawuf sekaligus penulis kitab al-Hikam yang di dalamnya terdapat konsep pendidikan
akhlak yang berdasarkan ajaran Islam yang diharapkan mampu memberikan sebuah
kontribusi dalam hal pendidikan akhlak dan menjawab persoalan-persoalan sosial yang
Berangkat dari latar belakang masalah yang terurai di atas, maka penulis
bermaksud untuk menelaah sebuah konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Athaillah.
Dengan harapan bahwa karya ilmiah ini akan bermanfaat dan mampu untuk menjawab
permasalahan yang sedang kita hadapi terkait dengan penurunan moral dan juga beberapa
hal yang melingkupinya. Dari hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul
yang fokus pembahasannya berkenaan dengan tazkiyatun nafs dan pendidikan akhlak
B. Rumusan Masalah
11
Nurhafid Ishari dan Ahmad Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya
Syeikh Ibnu Atha’ilah As-Sakandari,” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1 (2017): 66–79.
23
1. Bagaimana konsep tazkiyatun nafs sebagai metode dalam pendidikan akhlak menurut
Ibnu Atha’illah ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep tazkiyatun nafs sebagai metode dalam pendidikan akhlak
2. Untuk mengetahui relevansi dari tazkiyatun nafs terhadap pendidikan akhlak di sekolah.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bentuk sumbangsih dalam hal pemikiran tentang tazkiyatun nafs sebagai metode
dalam pendidikan akhlak yang menggunakan konsep pemikiran Ibnu Atha’illah serta
3. Hasil dari penelitian tersebut akan menambah wawasan keilmuawan bagi penulis yang
berkenaan tentang ilmu Tazkiyatun nafs sebagai sebuah konsep dalam pendidikan akhlak.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini peneliti menelaah beberapa sumber berupa karya ilmiah yang
berkaitan dengan apa yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini yang penulis
harapkan adalah agar bisa memberikan sebuah gambaran tentang arah tujuan dari yang akan
peneliti paparkan dan akan terlihat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan. Berikut
24
Tesis dari Hoyyu Setia Hutami yang berjudul Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif
Surat Al-Muzammil dan Relevansi dalam Membentuk Kepribadian Muslim. Dalam tesis ini
mengkaji tentang bagaimana konsep tazkiyatun nafs menurut surat Al-Muzammil dan
relevansinya dalam membentuk kepribadian seorang muslim. Yang mana dalam karya
ilmiah tersebut bertujuan untuk menelaah sebuah konsep ilmu tazkiyatun nafs dalam surat
juga membahas tentang makna yang terkandung di dalamnya serta relevansinya dalam
metode library research yang menggunakan buku-buku dan sumber karya ilmiah lainnya
sebagai rujukan. Dalam penelitian ini dengan kata kunci konsep tazkiyatun nafs, pendidikan
dan akhlak. Di dalam penelitian ini akan mengeluarkan esensi tazkiyatun nafs dengan
menggunakan konsep pemikiran dari Ibnu Atha’illah karena menurut penulis pemikiran Ibnu
Atha’illah yang berkaitan tentang tazkiyatun nafs dapat digunakan dalam pendidikan
akhlak.12
Atha’illah As-Sakandari sebuah jurnal yang ditulis oleh Nurhafid Ishari dan Ahmad Fauzan,
kajian yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena di era global tentang
kurangnya nilai karakter yang mampu untuk mengendalikan diri dari pengaruh budaya yang
serba membolehkan mengiringi ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun fokus dari jurnal
ini adalah meneliti hakikat, metode dan tujuan pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam Al-
Atha’iyyah, karya dari Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Jurnal tersebut menyimpulkan
bahwa pendidikan akhlak yang dipaparkan dalam kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah adalah
12
Hutami, “Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi Dalam Membentuk
Kepribadian Muslim.”
25
proses penanaman nilai agama dalam upaya menjadi pribadi yang dekat dan baik di sisi
Allah SWT.13
Perbedaan pada penelitian ini, peneliti menggali konsep tazkiyatun nafs dalam
pendidikan akhlak menurut pemikiran dari Ibnu Atha’illah As-Sakandari dengan cara
menelaah pemikiran beliau tentang konsep tersebut dari berbagai sumber yang penulis
Karya ilmiah yang ditulis oleh Fahrudin dengan judul Tasawuf Upaya Takiyatun
Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan. Dalam jurnal tersebut dipaparkan
tentang bagaimana tasawuf dengan proses tazkiyatun nafs dapat digunakan sebagai jalan
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam penelitian tersebut disampaikan bahwa
tasawuf adalah salah satu jalan untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati
dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan riyadhah. Sehingga akan
diri kepada Allah akan terbawa dalam kehidupan sehari-harinya. Maka dikatakan berhasil
seseorang dalam menerapkan ilmu tasawuf tersebut akan nampak dalam aktivitas ibadah dan
Sebuah skripsi yang ditulis oleh Mucharor dengan judul Pendidikan Akhlak
Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Atha’illah Al-Syukandari membahas tentang
pentingnya pendidikan akhlak karena akhlak merupakan bagian penting dari agama Islam.
Dalam penelitian tersebut penulis berfokus pada bahasan pendidikan akhlak dengan sumber
13
Ahmad Fauzan, “Pendidikan akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu Atha’ilah
As-Sakandari,” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1 (2017): 66–79.
14
Fahrudin, “Tasawuf Upaya Tazkiyatun nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan,” Jurnal
Pendidikan Agama Islam - Ta’lim 12, no. 2 (2014): 127–45.
26
dari Kitab Al-Hikam dengan mempelajari biografi penulis kitab Al-Hikam, nilai-nilai
pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam, metodologi penerapan pendidikan akhlak dalam
kitab Al-Hikam, serta bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan library research yang meneliti secara
mendalam tentang kitab Al-Hikam. Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas
tentang pembahasan yang sama yakni berkaitan tentang pendidikan akhlak dengan
perbedaanya adalah tidak adanya pembahasan tentang tazkiyatun nafs dalam penelitian
sebelumnya.15
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode library research yang menurut
peneliti menganggap metode ini sangat relevan untuk digunakan dalam penelitian ini.
Penelitian library research atau penelitian studi pustaka yang dimana menjadikan bahan-
bahan pustaka seperti buku, majalah, dokumen-dokumen, dan materi lainnya yang
pendekatan filosofis merupakan pencarian atas hakikat sesuatu, serta berupaya mencari
keselarasan akan sebab dan akibat dan berupaya mencari interpretasiakan pengalaman-
pengalaman manusia.
2. Sifat Penelitian
15
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari,”
2014, 105.
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, ke-19 (Bandung: Alfabeta, 2013), 35.
27
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penilitian yang bersifat
deskriptif yaitu penelitian yang lebih banyak mendeskrispkan atau menjelaskan dengan
batasan-batasan sumber yang termuat di dalamnya, kemudian akan dianalisis dari sebuah
konsep atau pemikiran dari Ibnu Atha’illah secara sistematis. 17 Kemudian selanjutnya
akan menghasilkan sebuah konsep tentang judul yang dimuat yakni berkaitan tentang
teori taskiyatun nafs menurut Ibnu Atha’illah dalam konsep pendidikan akhlak.
3. Sumber Data
Sumber data merupakan salah satu bagian penting dalam penelitian ini. Apabila
tidak ada sumer data maka penelitian tidak dapat dilaksanakan. Maka dari itu, dalam
penelitian ini peneliti menggunakan sumber data berupa sumber data primer dan sumber
data sekunder.
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan sebuah data
kepada pengumpul data. Data primer yang dimaksud adalah sebuah literatur yang peneliti
posisikan sebagai sebuah rujukan utama dalam proses membuat penelitian ini. 18 Adapun
sumber data primer dalam penelitian ini adalah Kitab Al-Hikam, Karya Ibnu Atha’illah.
Sumber data sekunder merupakan sebuah referensi yang peneliti posisikan bukan
sebagai sumber data utama dalam penelitian yang dilaksanakan, akan tetapi menjadi
menyempurnakan penelitian ini.19 Sumber data sekunder ini digunakan sesuai kebutuhan
28
Kitabnya Al-Hikam Karya Irpan Alimudin, Selamet, dan Udung Hari Darifah.
2) Konsep Tazkiyatun nafs Ibnu Taimiyah Dalam Perspektif Pendidikan Islam Karya
Aliyah.
Peserta Didik Karya Iqbal Asid Maududin, Abas Mansur Tamam, dan Wido Supraha.
5) Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali
7) Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sa’id Hawwa Karya Awaliyah, Tuti, dan
Nurzaman.
10) Teori Humanisme sebagai Dasar Etika Religius (Perspektif Ibnu Athā’illah Al-
11) Tasawuf Upaya Tazkiyatun nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan
Karya Fahrudin
12) Konsep Tazkiyatun nafs Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab Madarijus
13) Konsep Tasawuf Ibnu Atha’illah al-Sakandari dan Relevansinya dengan Konseling
29
Psikosufistik Karya Muhammad Taufiq Firdaus.
14) Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap Kitab Al-Hikam
15) Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali
16) Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D Karya
Sugiyono.
mencari data yang berkaitan berupa catatan, transkip, buku, majalah, notulen rapat, surat
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pencarian
data dari bahan-bahan pustaka yang kemudian dijadikan bahan untuk dianalisis yang
G. Penegasan Istilah
Penegasan istilah ini termuat sebagai sebuah konfirmasi dari istilah-istilah yang
peneliti muat dalam pembuatan karya ilmiah skripsi ini yang bertujuan untuk menghindari
interpretasi yang keluar dari konteks yang dimaksud oleh penulis. Berikut beberapa istilah
yang akan dijabarkan oleh penulis dalam karya ilmiah skripsi ini.
1. Tazkiyatun nafs merupakan suatu proses untuk menyucikan jiwa seseorang dari segala
kotoran-kotoran jiwa untuk menyucikan dan memperbaiki jiwa tersebut. Yang dimana
20
Samsu, Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta
Research Development), 100.
30
proses ini akan menjadikan manusia semakin dekat dengan Tuhannya dan akan terlihat
Seseorang yang mampu melewati proses ini dengan baik akan membentuk manusia atau
2. Pendidikan adalah sebuah proses berupa daya dan upaya yang dilakukan secara bertahap
yang bertujuan membentuk budi pekerti atau karakter, pikiran atau ilmu pengetahuan
yang mana dengan mengenyam pendidikan manusisa akan menjadi lebih baik dari segi
3. Akhlak adalah segala bentuk kehendak yang ada dalam diri manusia yang kemudian
memunculkan berbagai tindakan atau perbuatan secara spontan. Yang mana akhlak ini
H. Sistematika Penulisan
Penulis mengacu kepada pedoman penulisan skripsi. Yang mana dalam penelitian
ini terdiri dari lima bab, dimana antara satu bab dan bab lainnya mempunyai keterkaitan satu
sama lain yang di susun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan dalam pembahasan
BAB I pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelusian.
BAB II Landasan teori dan tinjauan pustaka berisi tentang teori-teori yang berkaitan
dengan konsep tazkiyatun nafs dalam pendidikan akhlak dari tokoh yang dipilih. Sedangkan
21
Aslami, “Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali.”
22
Hasyim Ashari, “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali,” Orphanet Journal of Rare
Diseases (Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020).
23
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari.”
31
tinjauan pustaka berisi beberapa hasil penelitian baik berupa jurnal ataupun skripsi dari
BAB III Biografi berisi riwayat hidup Ibnu Athaillah dan karya-karyanya dari Ibnu
Athaillah.
BAB IV berisi tentang pembahasan dari pemikiran Ibnu Athaillah tentang konsep
BAB V dalam bab ini berisi tentang penutup yang di dalamnya mencakup tentang
kesimpulan atas pemikiran Ibnu Atha’illah mengenai konsep tazkiyatun nafs dalam
BAB II
BIOGRAFI
Memiliki nama lengkap Syaikh Abul Fadl Tajudin Ahmad bin Muhammad bin
Abdul Karim bin ‘Atha’illah al-Sakandari. Beliau lahir di Mesir sekitar tahun 657 H atau
32
1259 M, dan beliau wafat pada Jumadil Akhir di Mesir pada tahun 709 H bertepatan taun
1309 M, serta dimakamkan di Qurrafah Al-Kubra. Keluarga Ibnu Athā’illāh adalah keluarga
yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek beliau adalah seorang ulama fikih dan juga
sebagai pengajar serta sebagai penasehat dalam sebuah kelompok tasawuf. Di masa remajanya
Ibnu Atha’illah belajar ilmu di kota Iskandariah. Kota ini banyak terdapat ulama-ulama dalam
bidang ushul fikih, hadits, dan ilmu bahasa arab. Selain itu kota Iskandariah juga dihuni oleh
Beliau mempelajari dan mendalami ilmu dari beberapa syekh, gurunya yang paling
dekat beliua adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-
Hasan al-Syadzili, yang merupakan pendiri tarekat al-Syadzili. Ibn Athaillah adalah seorang
ulama yang produktif, total ada dua puluh karya yang dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf,
akidah, ushul fiqih, nahwu, hadits, dan tafsir.25 Ibnu Atha’illah juga terkenal sebagai seorang
ulama yang sangat dikagumi. Kemudian beliau juga menjadi panutan orang-orang yang
menginginkan perjalanan menuju Allah. Ibnu Atha’illah ini merupakan seorang syekh yang
ketiga di tarikat Syadzili setelah Abu Al-Hasan Asy-Syadzili yaitu sang pendiri tarikat ini dan
yang kedua adalah Abu Al-Abbas Al-Mursi. Ibnu Atha’illah adalah orang yang pertama
menghimpun nasihat, ajaran, doa dan biografi dari kedua pendahulunya tersebut, sehingga
Di masa hidupnya hampir seluruh waktunya dihabiskan di Mesir. Pada masa hidup
beliau Mesir dikuasai oleh pemerintahan Mamluk yang mana pada masa itu pemerintahan
Mesir menjadi pusat agama dan pmerintahan dalam dunia islam di belahan timur setelah
24
Chairunnisa Djayadin dan Fathurrahman Fathurrahman, “Teori Humanisme sebagai Dasar Etika Religius
(Perspektif Ibnu Athā’illah Al-Sakandarī),” Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian 15 (2020), 28.
25
Madani, “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif Syaikh Ibnu ‘Athă Illah al-
Sakandari Dalam Kitab al-Hikam.”
26
Fathur Rozi, “Ibnu Athaillah DanPenafsiran Esoteric: Urgensitas Pemikiran Ibnu Athai’illah As-
Sakandari dalam Nuansa Sufistik,” Syria Studies 7, no. 1 (2015), 37–72.
33
berakhirnya kekhalifahan Baghdad yang berakhir pada ahun 656 H/1258 M. Pada masa
dewasa beliaulah Bani Mamluk ini berkuasa. Mereka mengawasi bangsa Mongol, menyerang
orang-orang Isma’illiyyah, dan menarik diri dari Levant, kerajaan-kerajaan Kristen yang
sudah lama dikepung. Mereka memiliki kontibusi terhadap Islam Sunni dalam homogenitas
sifat Islam Sunni yang kemudian mengantarkan Islam kepada masa kejayaan pada bidang
artistik dan arsitektur. Yang kemudian membuat islam begitu berkembang pesat. Ibnu
Di masa awal kelahiran Ibnu Atha’illah, tidak ada sumber secara pasti yang
menceritakannya, akan tetapi bisa di ketahui bahwa beliau lahir sekitar abad pertengahan
yaitu pada abad ke-7 H sampai dengan abad ke-13 H. Ibnu Atha’illah lahir dari keluarga yang
terhormat, keluarga beliau menganut madzab Maliki dari Iskandaria. Kakek beliau adalah
orang terkenal dan terhormat dimana kakek beliau merupakan pendiri dari Bani Atha’illah
dan Ibnu Atha’illah merupakan salah satu anggota yang utama di dinasti ini dan Ibnu
Atha’illah belajar dalam halaqah keagamaan yang dimiliki oleh kakeknya tersebut. Keluarga
Ibnu Atha’illah ini mempunyai asal usul dari keturunan Judzam (al-Judzam). Judzam adalah
seseorang yang berasal dari suku arab yang bertempat tinggal di Mesir pada saat terjadinya
Dari keluarga yang bermadzab Maliki, maka sedari kecil beliau mempelajari tentang
pemikiran dari Imam Maliki. Ibnu Atha’illah mempunyai guru-guru yang memiliki disiplin
kuat terhadap ilmu, dari ilmu hukum, ilmu bahasa, ilmu hadist, ilmu tafsir Al-Qur’an, ilmu
27
Setianing Nur Laili, “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah”
(2020).
28
Yulianto Nurcahyono, “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh Ibnu
Athaillah as-Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017” (Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo, 2021).
34
teologi Asy’ariyah dan berbagai literatur arab lainnya dengan madzab Maliki. Dan saat itu
Ibnu Atha’illah juga bertemu dengan madzhab hambali dan juga Ibnu Taimiyah(728 H/1328
M), yang dikenal sebagai seorang ulama yang teguh menjaga purintasi agama Islam dalam
menentang para tokoh besar tasawuf, seperti halnya Ibnu Arabi. Dalam perjalananya Ibnu
Atha’illah menemui beberapa kesulitan terkait dengan personalitas para sufi di Kairo yang
menentang Ibnu Arabi, yang kemudian kondisi ini ditambah parah dengan adanya kontroversi
di bidang teologi dan politik. Pertentangan yang terjadi karena para penganut mazdab syafi’i
yang mempunyai teologi asy’ari ini bertentangan dengan para penganut mazdab hambali
yang menentang akan usaha terutama di sektor interpretasi terhadap teologi, dikarenakan para
penganut madzab hambali ini masih sedikit, maka momen ini digunakan oleh penganut
madzab syafi’i untuk menekan mereka. Kejadian pada masa itu juga diperparah dengan
adanya elit politik bani Mamluk yang memperebutkan kekuasaan. Bahkan di kalangan mereka
sudah biasa menggunakan dalil-dalil untuk memperkuat legitimasi atas apa yang mereka
inginkan.
Kondisi ini yang membuat Ibnu Atha’illah bereaksi, beliau pergi ke Citadel di Kairo
untuk menghadap kepada Ibnu Taimiyah untuk membahas peristiwa di pemerintahan waktu
itu. Akan tetapi pembahasan beliau di Citadel tidak menghasilkan apapun, yang kemudian
membuat Ibnu Atha’illah merasa kurang puas terhadap penyelesaian dari para penganut
madzab hambali lainnya, yang dimana diketahui bahwa Imam Ahmad bin Hambal sendiri
berpegang teguh pada literalisme yang sempit dan keras, contoh klasik eksoteris muslim. Ibnu
meninggal di madrasah Manshuriah, beliau meninggal pada saat sedang mengajarkan ilmu
29
Nurcahyono.
35
hukum madzab maliki. Beliau dimakamkan di pemakaman Qarafa. Sampai saat ini makam
beliau masih ada dan tepat di samping makam beliau juga terdapat makam seorang sufi
lainnya yakni, Syekh Ali Abu Wafa yang wafat pada tahun 807 H/1405 M, yang mempunyai
hubungan nasab langsung dengan Ibnu Atha’illah. Makam beliau dikeramatkan oleh sebagian
2. Al-Lathaiif Manaqib Abil al-Abbas al-Mursi wa Syekh Abi al-Hasan (Berkah dalam
Namun karya yang paling populer adalah al-Hikam menurut keterangan Syekh
Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Ibn Atha‟illah, namun didektikan kepada
muridnya yang bernama Syekh Taqiy al-Din al-Subki, seorang ahli fikih dan kalam yang
terkenal dalam ketelitian dan kejujurannya. Kitab ini sudah beberapa kali di syarah,
antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim bin Ibad ar Rundi, Syekh Ahmad Zarruq dan
BAB III
30
Laili, “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah.”
31
Laili.
32
Mustafa Bisri, Al-hikam Rampai hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.
36
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TAZAKIYATUN NAFS
Dalam Ensiklopedia Islam, kata nafs (nafsu) memiliki makna yang dapat dipahami
sebagai rohani manusia yang mana di dalamnya mempunyai peran atau pengaruh yang besar
diantara anggota rohani lainnya yang fungsinya adalah untuk membuat perintah kepada
anggota tubuh lainnya dalam melakukan sesuatu.33 Kata nafs, menurut kamus tasawuf
memiliki banyak makna: pertama, nafs berarti sesuatu yang bersifat pribadi atau sesuatu
yang berwujud secara fisik bukan sesuatu yang bersifat dua dimensi yang terpisah. Kedua,
kata nafs berarti sebuah kesadaran, sifat secara manusiawi, yang dimaksud disini adalah
memiliki segala macam rasa seperti ketenangan, kegelisahan, rasa sakit dan hal-hal lain yang
bisa dirasakan oleh diri manusia yang dimana belum tentu dirasakan melalui ekspresi fisik
yang terlihat. Ketiga, kata nafs berarti sesuatu yang bersifat sama atau sejenis. Keempat,
berarti sebuah kemauan, kehendak, dan segala nafsu. Yang berarti nafsu dalam hal ini adalah
sesuatu dorongan untuk melakukan sesuatu yang bersumber dari dalam diri manusia yang
mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu dengan suatu tujuan yang menjadi
tujuannya.
Menurut para filsuf Islam kata nafs biasa digunakan dalam bahasa atau istilah Al-
Qur’an dengan arti al-ruh. Kata ruh sendiri telah masuk ke dalam bahasa Indonesia yang
dalam bahasa Indonesia ruh berarti nafas, nafsu, dan ruh. Tetapi dalam penggunaanya
sehari-harinya kata nafsu diartikan sebagai sesuatu yang bersifat dorongan atau kekuatan
33
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Bara Van Hoeve. 1994), 342.
37
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang kuirang baik, sehingga dalam
penggunaanya kata nafsu biasa disandingkan dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.
Kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai banyak makna, akan tetapi dalam makna
yang digunakan sebagai objek kajian dalam hal ini adalah kata nafs dalam bentuk ism (kata
benda) yaitu nafs, nufus, dan anfus. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata “maka seorang hamba
dalam meyikapi pelemah nafs (seperti dosa) haruslah melihat kepada empat hal. Yakni
larangan dan perintah, dan juga melihat dari segi hukum dan qadha. Dalam hal ini Ibnu
Qayyim al-Jauziyah memandangnya pada sumber kejahatan dalam konteks ayat yang
menerangkan an-Nafs al-Ammarah bi as-Suu’ (nafsu yang digunakan untuk seruan kepada
kejahatan).
Kata Tazkiyah secara terminologi memiliki dua makna yang berbeda yakni:
penyucian dan pertumbuhan. Kemudian secara istilah, mempunyai arti dari kata zakatal nafs
yang artinya adalah penyucian (tatahhur) jiwa yang menyucikan dai berbagai penyakit
cacat, yang pada akhirnya adalah merealisasikan tahaquq berbagai maqam kepada manusia
tersebut, dan menjadikan asma dan sifat Allah sebagai sebuah perilaku atau akhlak
(takhaluq). Dari penyataan di atas maka dapat dipahami tazkiyah adalah ketiga proses
tersebut yakni, tatahhur, tahaquq, dan takhaluq. Menurut Syaikh Said Hawa takiyah al-nafs
merupakan suatu proses untuk menyucikan jiwa seseorang dari segala kotoran-kotoran jiwa
untuk menyucikan dan memperbaiki jiwa tersebut. Said Hawa juga mengemukakan bahwa
tazkiyahtun nafs merupakan salah satu tugas yang diberikan kepada para rasul. Tugas yang
yang bertaqwa. Maka dapat dipahami bahwasanya sebab selamatnya seseorang adalah
38
Seseorang yang memahami tazkiyatun nafs dan mengamalkannya maka ia akan
selamat akan tetapi jika ia tidak peduli dengan hal tersebut maka celakalah dirinya. Karena
tazkiyatun nafs merupakan sebuah proses untuk membesihkan hati dan jiwa seseorang dari
kotoran jiwa serta dapat memperbaiki hati dan jiwa manusia. Jika dalam kehidupannya
manusia melakukan tazkiyatun nafs, maka dirinya akan menjadi bersih yang selanjutnya
akan sangat berdampak baik dalam berperilaku dan bertutur kata. Dampak yang diberikan
akan senantiasa terlihat dan menjadi sebuah kebiasaan yang baik bagi seluruh anggota badan
yang pada akhirnya membentuk sebuah karakter baik bagi seseorang tersebut.34
Setelah mengenal tentang pengertian dari tazkiyatun nafs. Selanjutnya peneliti akan
menguraikan tentang konsep tazkiyatun nafs. Tazkiyatun nafs sendiri terdiri dari qalbu,
nafsu, akal dan ruh. Manusia akan menjadi baik jika keempat hal tadi di didik dengan baik.
a. Qalbu
Secara bahasa qalbu bisa diartikan hati atau sanubari. Hati tidak bisa diketahui
hakikat, bentuk, dan juga zatnya, hati hanya bisa diketahui dari sifatnya saja. Yang mana
hati adalah sebuah kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh manusia dan tersembunyi
dari indra manusia. Hati identik dengan yang namanya perasaan, perasaan ini merupakan
sifat yang menjadikan manusia berhak untuk menunaikan haknya tanpa kecewa. Ia
menjadi cerdas, bijaksana, menempatkan sesuatu pada tempatnya, melalui segala hal
Hati manusia memiliki cahaya Allah dan iman yang mana dapat membuat
manusia yakin dengan keyakinannya. Yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya
daripada makhluk lainnya. Dengan hati yang yakin serta keyakinan yang benar akan
34
Ulin Ni’mah, “Konsep Tazkiyatun nafs Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan akhlak Pada Kurikulum
2013 (Telaah Buku Ihya’ ’Ulum Ad-Din Karya Imam Al-Ghazali)” (2018).
39
menjadikan manusia lebih dekat dengan Tuhannya. Hati manusia tergolong ke dalam
empat macam. Yakni pertama, hati yang bersih. Hati yang bersih merupakan hati yang
senantiasa dalam kebaikan dan suci terhindar dari kotoran-kotoran hati. Kedua, hati yang
keras dan tertutup menerima kebenaran dan petunjuk dari Allah. Ia disebut sebagai hati
yang mati karena tidak mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Ketiga, hati
yang terbalik, yaitu hati yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Hati yang terbalik ini
memusuhi dan menghalangi orang lain untuk mengikuti kebenran Islam tersebut.
Keempat, hati yang di dalamnya terdapat dua unsur keimanan dan kemunafikan.
Keduanya ini saling berlawanan sehingga menyebabkan manusia kadang dekat kepada
keimanan dan terkadang dekat dengan kekufuran, terkandung unsur mana yang
mendominasinya. Hati manusia adalah organ rohani yang penting dalam setiap perbuatan
manusia. Di dalam hati manusia terdapat sebuah dorongan atau suara hati yang
membenarkan dan menyalahkan perbuatan yang dilakukan baik dari diri sendiri atau
orang lain.
b. Akal
Dalam bahasa arab akal berarti kekangan dan larangan. Yang artinya orang yang
berakal adalah orang yang mampu mengekang dan menolak dirinya mengikuti hawa
nafsunya. Akal juga merupakan sebuah pembeda antara manusia dan hewan. Agama
Islam mengakui bahwa akal sebagai sarana penerima ilmu pengetahuan terutama ilmu
tentang ajaran agama islam, bahkan akal juga diakui sebagai sumber hukum islam yang
ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dikenal dengan istilah ijtihad.
c. Nafsu
40
Nafsu adalah bagian dari diri manusia yang besar pengaruhnya dan banyak
sekali perintah yang dikeluarkan dari nafsu ini kepada jasmani manusia untuk berbuat
sesuatu. Menurut Umary, nafsu ini dikategorikan ke dalam delapan macam, yaitu: Nafsu
Pertama, Nafsu Amarah Nafsu amarah merupakan nafsu atau jiwa yang tidak
mampu membedakan antara baik dan buruk, nafsu semacam ini belum menerima
tuntunan sehingga belum bisa menentukan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat,
dan sering mendorong kepada hal-halyang tidak baik. Sehingga bertentangan dengan
keinginan. Kedua, Nafsu Lawwamah merupakan jiwa yang telah memiliki penyesalan
dan tidak pula mencari cara kegelapan dalam melakukannya karena telah sadar dengan
akibat dari perbuatannya. Dalam hal ini manusia belum bisa untuk mengekang untuk
nafsu yang berbuat jahat. Maka dari itu kadang ia masih berbuat maksiat dan yang tidak
Ketiga, Nafsu Musawwalah merupakan nafsu atau jiwa yang telah mampu untuk
membedakan yang baik dan yang buruk, walaupun masih sering mencampuradukkan
antara yang baik dengan yang buruk. Keempat, Nafsu Muthmainah merupakan nafsu atau
jiwa yang baik. Ia mendatangkan sebuah ketenangan jiwa yang melahirkan pribadi yang
baik yang bermanfaat. Kelima, Nafsu Mulhamah merupakan nafsu atau jiwa yang
menerima ilham dai Allah Swt, dengan dikaruniai ilmu-ilmu pengetahuan dan berakhlak
baik. Merupakan sumber dari syukur, sabar, ketabahan, dan keistiqamahan. Keenam,
Nafsu Raadliyah merupakan nafsu atau jiwa yang menerima ilham dan ridha dari Allah
41
Swt, menjadi pribadi yang baik, selalu bersyukur, dan qanaah dengan apa yang telah
diberikan kepadanya. Ketujuh, Nafsu Mardiyah merupakan nafsu atau jiwa yang diridhai
oleh Allah Swt, ia senantiasa berdzikir kepada Allah, ikhlas, mempunyai karamah dan
kemuliaan. Kedelapan, Nafsu Kaamilah merupakan nafs atau jiwa yang sudah sempurna.
Jiwa yang telah mendapatkan pancaran Tuhan. Kebahagiaan yang hakiki baginya adalah
hanya berada di haribaan Tuhan dan berdialog dengan-Nya dengan ibadah yang ia
lakukan.
d. Ruh
Di dalam kajian atau ilmu filsafat ruh merupakan sebuah nyawa. Ruh adalah
nyawa yang bersumber di dalam hati manusia. Ruh ini memancarkan cahaya ke seluruh
tbuh melalui urat nadi dan pembuluh darah. Ruh juga merupakan sebuah bisikan rabbani
yang mengetahui segala hal. Namun dalam pengertian ini ruh tidak dapat diketahui
hakikatnya. Ruh adalah pusat yang mana di dalamnya manusia tertarik dan kembali
kepada sumbernya. Ruh berusaha menarik hati kepada Allah Swt, sementara jiwa
berupaya membersihkan hati. Dengan ruh manusia bisa hidup.dan hakikat dari Ruh hanya
B. Pendidikan Akhlak
Dalam Islam pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
teks dan konteksnya. Tarbiyah diartikan oleh sebagian ahli sebagai tuan, pemilik,
mengartikan bahwa tarbiyah berarti prose untuk menyampaikan sesuatu sampai kepada batas
35
Aliyah, “Konsep Tazkiyatun nafs Ibnu Taimiyah Dalam Perspektif Pendidikan Islam” (Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2019).
42
kesempurnaan yang disampaikan secara bertahap. Tarbiyah dapat juga dimaknai dengan
suatu proses untuk menanamkan akhlak atau etika dimulai dari jiwa manusia sejak dini
dengan memberikan petunjuk dan pelajaran serta nasihat yang baik. Sehingga kedepannya
jiwa tersebut akan mendapatkan potensi jiwa yang baik. Ta’lim adalah suatu proses untuk
kepada hal yang bersifat kognitif. Sedangkan tarbiyah tidak hanya tentang kognitif, akan
tetapi juga mengacu pada hal afektif dan psikomotorik. Kemudian Ta’dib berarti suatu
proses untuk memperkenalkan dan mengakui secara bertahap ditanamkan kepada manusia
untuk menempakan segala sesuatu sesuai pada tempatnya dan menjadikannya kebiaaan yang
merupakan sebuah bimbingan dilakukan dengan sadar oleh seorang pendidik terhadap
perkembangan jamani dan rohani dari peserta didik menjadi pribadi yang utama. 37
pertumbuhan anak.38 Jadi pendidikan merupakan tuntunan untuk anak-anak untuk mencapai
kebahagiaan yang sesungguhnya di masa yang akan datang. Pendidikan merupakan suatu
proses untuk memanusiakan manusia dari masa kecilnya sampai akhir hayatnya dengan
36
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”
37
Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1990),
76.
38
Ki Hajar Dewantara, Bagian I : Pendidikan, ke-4 (Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa, 2011),
11.
43
subyek dari pendidikan, sedangkan pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi manusia.
Maka dari itu pendidikan menjadi sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan.39
Islam memandang persoalan akhlak menjadi hal yang penting dan sangat luas ruang yang
diberikan untuk membahas persoalan akhlak ini. Bahkan akhlak yang baik bisa menjadi
ukuran untuk menjadi seorang mukmin. Maka dari itu sangat penting bagi manusia untuk
mempelajari dan memahami pendidikan akhlak karena dengan itu dapat menjadi barometer
dalam kehidupan sehari-harinya. Akhlak merupakan fitrah dari Allah Swt yang
dianugerahkan kepada manusia dengan tujuan agar dalam kehidupannya manusia lebih
sikap setiap manusia agar menjadi lebih bagi secara moral, kemudian kehidupan yang
dijalani akan dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan dan menutup segala macam keburukan.
Maka disinilah fungsi dari akal manusia untuk mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk. Pendidikan akhlak merupakan sebuah bentuk latihan untuk melatih
mental seseorang untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dan senantiasa
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam masyarakat dan juga kewajiban dan
tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Akhlak pada hakikatnya adalah sifat yang ada
39
Irpan Alimudin, Selamet, dan Udung Hari Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh
Ibnu‘Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam,” Bestari: jurnal studi pendidikan islam XV, no. 1 (2018),
115–34.
40
Zulkifli dan Jamaluddin, Akhlak Tasawuf, ed. oleh Madona Khairunisa, ke-1 (Yogyakarta: Kalimedia,
2018), 23.
44
dalam diri manusia yang tertanam dalam hati manusia, yang dari situlah akan memunculkan
Di dalam pendidikan akhlak ini mengacu kepada beberapa sumber yang tertera di
1) Sumber dari akhlak yang mulia, Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat
83:
ق بَنِ ْٓي اِس َْر ۤا ِءي َْل اَل تَ ْعبُ ُدوْ نَ اِاَّل هّٰللا َ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن اِحْ َسانًا َّو ِذى
َ َواِ ْذ اَخ َْذنَا ِم ْيثَا
الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا الZاس ُح ْسنًا َّواَقِ ْي ُموا ِ َّ لِلنZ َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َوقُوْ لُوْ اZْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى
ۗ
ِ َّز ٰكوةَثُ َّم ت ََولَّ ْيتُ ْم اِاَّل قَلِ ْياًل ِّم ْن ُك ْم َواَ ْنتُ ْم ُّمع
َْرضُوْ ن
Artinya: (Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil, “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu, bertutur katalah yang baik
kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Akan tetapi, kamu
berpaling (mengingkarinya), kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu (masih
menjadi) pembangkang.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ayat tersebut memberikan sebuah
pesan tentang cerita bani israil yang banyak mengingkari janji kepada Nabinya.
Kemudian dalam perjanjian itu ada beberapa yang harusnya dilaksanakan oleh bani
israil. Yaitu tidak menyekutukan Allah Swt, berbuat baik kepada kedua orang tua,
41
Alimudin, Selamet, dan Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu‘Athaillah As-
Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam.”
42
Alimudin, Selamet, dan Darifah.
45
Dalam ayat di atas Allah juga memerintahkan untuk berkata dengan
perkataan yang baik kepada manusia lainnya. Baik kepada tetangga, antar umat
beragama, antar masyarakat sebagai warga negara, antar suku dan juga antar
golongan. Yang maknanya adalah Allah memerintahkan kita semua untuk berbuat
baik kepada siapapun tanpa ada tujuan dan maksud tertentu. Maka akan terwujudlah
suasana yang kondusif dengan semakin kokohnya solidaritas antar umat manusia.
2) Sumber dari akhlak terhadap Allah Swt, Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah ayat
32:
4) Sumber akhlak kepada Rasulullah, Allah berfirman dalam Q.S. al-Ahzab ayat 56:
ۤ هّٰللا
َ صلُّوْ نَ َعلَى النَّبِ ۗ ِّي ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا
Zصلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا َ ُاِ َّن َ َو َم ٰل ِٕى َكتَهٗ ي
تَ ْسلِ ْي ًما
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
dengan penuh penghormatan kepadanya. Selawat dari Allah Swt. berarti memberi
rahmat, dari malaikat berarti memohonkan ampunan, dan dari orang-orang mukmin
berarti berdoa agar diberi rahmat, seperti dengan perkataan Allahumma ṣalli ‘alā
Muhammad. Dengan mengucapkan perkataan seperti Assalamu ‘alaika ayyuhan-nabi
yang artinya semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi.
46
5) Sumber akhlak kepada orang tua, Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa’ ayat 36:
ْن اِحْ َسانًا َّوبِ ِذى ْالقُرْ ٰبىZِ بِ ٖه َش ْيـًٔا َّوبِ ْال َوالِ َديZ۞ َوا ْعبُدُوا هّٰللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوْ ا
ِ ب بِ ْال َج ۢ ْن
ب ِ ب َوالصَّا ِح ِ ُار ْال ُجنِ ار ِذى ْالقُرْ ٰبى َو ْال َج ِ َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َو ْال َج
ًاZۙت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْختَااًل فَ ُخوْ ر ْ َوا ْب ِن ال َّسبِ ْي ۙ ِل َو َما َملَ َك
6) Sumber akhlak dalam bermasyarakat, Allah Swt berfirman dalam surat al-Hujurat
ࣖ َم َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ نZْ اِنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ اِ ْخ َوةٌ فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَ اَ َخ َو ْي ُك
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu dirahmati.”
7) Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104:
ِ َْو ْلتَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ۤاُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ اِلَى ْالخَ ي ِْر َويَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو
ف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن
ٰ ُْال ُم ْن َكر ۗ َوا
َول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن ِ
Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Makruf adalah segala kebaikan yang
diperintahkan oleh agama serta bermanfaat untuk kebaikan individu dan masyarakat.
Mungkar adalah setiap keburukan yang dilarang oleh agama serta merusak
kehidupan individu dan masyarakat.”
b. Hadist
47
“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangan seorang mukmin di hari
kiamat dari pada akhlak yang baik, dan Allah Swt membenci hambanya yang
2) Taubat
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dia berkata, “saya mendengar Rasul Saw
kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.44
3) Sabar
Dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda:
baginya dan tidak ada yang sebaik sebagaimana orang mukmin. Ketika memperoleh
nikmat maka ia bersyukur, dan ketika ditimpa musibah maka ia akan bersabar dan
Dari Nawas bin Sam’an r.a. berkata: “saya bertanya kepada Rasulullah Saw
tentang kebaikan dan keburukan, Nabi menjawab: kebaikan itu akhlak yang baik,
dan kejelekan itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam dada, dan akan marah
43
Hadits Riwayat Tirmidzi.
44
Hadits Riwayat Bukhari.
45
Hadits Riwayat Muslim.
46
Hadits Riwayat Muslim.
48
D. Tujuan Pendidikan Akhlak
Prinsip dan metode dari pendidikan Islam bahwa pendidikan adalah proses peserta
didik untuk menempa dirinya sendiri, yang mana akan membuat manusia menjadi tersadar
akan tujuan hidupnya. Jadi dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan adalah agar
Menurut UU No. 02 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dalam Bab II
Ibnu Sina menjelskan tentang tujuan dari pendidikan akhlak, menurut beliau tujuan
dari pendidikan akhlak adalah ketika sudah mendapatkan kebahagiaan yang dicapai sesuai
yang sempurna di akhirat nanti. Tujuan dari pendidikan ini harus mengarah kepada
perkembangan keseluruhan potensi yang ada dalam diri seseorang menjadi lebih sempurna
baik secara fisik, intelektual maupun secara moral. Ibnu sina juga menjelaskan bahwasanya
tujuan dari pendidikan ini untuk menjadikan manusia menjadi mandiri dalam hal menjalani
kehidupan ini dan senantiasa memberikan manfaat kepada manusia lainnya melalui
47
Undang-undang RI No 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 56.
48
Tuti Awaliyah dan Nurzaman, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sa’id Hawwa,” Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018), 23.
49
Ibnu miskawaih juga memberikan suatu rumusan tentang tujuan pendidikan,
menurut beliau dalam tahdhib al-akhlaq, bahwa rumusan dari tujuan pendidikan adalah
terwujudnya pribadi yang susila, memiliki watak yang luhur, atau memiliki budi pekerti
mulia. Dari budi yang baik akan melahirkan pekerti yang baik yang kemudian akan
yang sempurna tersebut diperoleh bukan dari kesendirian tetapi juga di dukung oleh adanya
masyarakat di sekitar.49
akhlak, menurut beliau tujuan dari pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orang untuk
memiliki moral yang baik, memiliki optimisme yang kuat, bersikap sopan setiap berbicara
dan memiliki perangai serta tingkah laku yang mulia, kemudian mampu bersifat
bijaksana,beradab, jujur, ikhlas dan suci dengan senantiasa berlandaskan kepada Al-Qur’an
dan Hadist. Jadi bisa diartikan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak ini bukan hanya soal
teori saja, bahkan separuh dari tujuan tersebut merupakan hal untuk mendorong agar kita
membentuk kehidupan yang suci dan mampu melahirkan kebaikan, kesempurnaan, dan
Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada dua tujuan utama dalam pendidikan
akhlak, yaitu:
1) Membentuk manusia yang baik dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt.
49
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali,”
Ulumuna 18, no. 1 (2017), 21–40.
50
Krida Salsabila dan Anis Husni Firdaus, “Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan,” Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018), 39.
51
Alimudin, Selamet, dan Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu‘Athaillah As-
Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam.”
50
Dari apa yang disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari
pendidikan akhlak adalah menyiapkan para peserta didik untuk mampu bersikap dan
berperilaku baik, baik itu dari segi norma agama maupun norma sosial, adat dan tata krama
di masyarakat. Jadi untuk menjadikan manusia berakhlak mulia adalah bertingkah laku
sesuai tabiat manusia dalam islam, memiliki perangai yang baik di masyarakat sesuai ajaran
Islam.
BAB IV
1. Tazkiyatun nafs
Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa dalam hal penyucian jiwa yang dimana jiwa
tersebut telah dipenuhi dengan hawa nafsu serta kotoran-kotoran jiwa yang menyebabkan
seseorang terjerumus ke dalam dosa adalah dengan melakukan empat hal yaitu:
51
maka seseorang akan merasa tenang dan merasa tentram dalam hatinya, sejenak
Al-Qur’an yang ia lantunkan. Kemudian penyucian jiwa selanjutnya selain membaca Al-
Qur’an adalah berdzikir kepada Allah, dari membaca Al-Qur’an tadi juga merupakan
sarana mengingat Allah dan berharap kepada Allah atas keresahan dalam hidupnya jadi
membaca Al-Qur’an bukan hanya sekedar membaca tetapi juga mengharap keridhaan
Allah. Kemudian berdzikir disini bisa dilakukan oleh setiap manusia dimanapun dan
kapanpun, dengan berdzikir manusia akan selalu mengendalikan tindakannya jika hendak
berbuat dosa dan akan mengurungkan niatnya untuk berbuat dosa dan tetap berada di
jalan yang lurus yaitu jalan yang senantiasa diridhai oleh Allah Swt. maka sangat penting
bagi setiap manusia untuk membaca Al-Qur’an dan berdzikir sebagai proses dalam
Kedua, Sedikit berbicara. Banyak bicara merupakan hal yang kurang baik
dilakukan oleh seseorang apalagi pembicaraan yang dilakukan adalah pembicaraan yang
tidak bermanfaat atau bahkan mencelakakan dirinya dan orang lain. Dalam sebuah
ungkapan Ali bin Abi Thalib berkata, “seseorang mati karena tersandung lidahnya dan
seseorang tidak mati karena tersandung kakinya, tersandung mulutnya akan menambah
(pening) kepalanya, sedang tersandung kakinya akan sembuh secara perlahan”. Di dalam
sebuah hadits sahabat Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,
barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia hendaklah ia berkata baik
atau hendaklah diam”. Maka sangat penting bagi seseorang untuk senantiasa berpikir
terlebih dahulu sebelum berkata, jangan perkataan yang keluar dari mulutnya adalah
perkataan yang tidak baik dan merugikan dirinya sendiri, bahkan merugikan orang lain.
52
Maka beperilaku baik dengan berkata yang baik adalah salah satu cara seseorang
terhindar dari kotoran jiwa dan membersihkan jiwanya menjadi lebih baik.
yang senantiasa berusaha untuk menyucikan jiwanya akan memperkuat dirinya dalam hal
ibadah kepada Tuhannya. Seorang yang menyucikan jiwanya akan senantiasa bermunajat
kepada Allah dengan penuh pengharapan dan dilakukan dengan cara yang benar
hatinya pada Allah dengan penuh kepasrahan sehingga akan membuang benih-benih
kesombongan dalam hatinya dan yakin bahwa segalanya adalah kehendak Allah dan
hanya kepada-Nya tempat bergantung segala sesuatu. Jadi dapat dipahami bahwa
seseorang yang menyucikan jiwanya akan senantiasa bermunajat kepada Tuhannya setiap
Keempat, Sedikit makan dan minum. Dalam sebuah nasihat yang disampaikan
Imam Al-Ghazali tentang hikmah kelaparan, beliau berkata, ”kelaparan yang diikuti
dengan kesabaran dan kesadaran atas dosa-dosa. Maka akan mendatangkan keuntungan
yang sangat besar”. Lapar juga dapat menjernihkan hati dan pikiran kita, sebagaimana
dalam sabda Rasulullah Saw, “barangsiapa menjadikan perutnya lapar, maka pikiran dan
hatinya menjadi tajam”. Dengan terbiasa dengan lapar, maka justru akan merasa puas
dengan sedikit harta yang dimiliki. Akan melatih untuk selalu bersyukur dan juga
Penjelasan di atas adalah pemikiran Ibnu Atha’illah tentang cara menyucikan jiwa
yang sebelumnya sudah dikotori dengan kotoran-kotoran jiwa, namun pada prakteknya
diperlukan adanya semangat dan usaha yang kuat dalam keistiqamahan dalam
53
menjalankannya. Hal ini dikarenakan meniti sebuah jalan menuju Allah memerlukan
i’tiqat yang sangat kuat dan yakin dengan keyakinannya. Sehingga seseorang yang
Hati yang bersih bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat,
sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu
mengalahkan musuh. Sedangkan kegelapan yakni hati yang kotor merupakan tabiat
seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yang mengiringi
Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang zaman. Jika Allah
bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan Nya, ia akan menyadari
keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah Swt yaitu:
“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti
ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al-
haqiyah) hampir tidak tampak keindahan alam pada dirinya, melainkan diperingatkan
oleh hakekatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah
engkau menjadi orang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa
Ujung dari semua tahapan spritual itu adalah perjumpaan dan penyatuan diri
dengan Tuhan. Lalu para sufi, dan mencintai Tuhan secara tidak termaknai. Menurut Ibn
Atha’illah, keinginan kuat seorang arif untuk selalu bersama Allah tidak pernah hilang,
52
Humaini, “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan pendidikan
islam” (Universitas Islam Negeri Malang, 2008).
54
dan bila ia bertumpu kepada selain-Nya tidak pernah tenang. Ibn Athaillah berkata,
”ghayyib nazhr al-khalq ilaika bi nazhr Allah ilaika, wa ghoban iqbalihim alaika bi
syuhudi iqbalihi alaika” (hilangkan pandangan manusia terhadapmu karena kau telah
puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan abaikan perhatian mereka terhadapmu
karena kau telah tahu bahwa Allah selalu memperhatikanmu. menyaksikan Allah pada
segala sesuatu. Siapa yang mencintai-Nya, maka ia akan mengutamakan Allah ketimbang
a. Ilmu
Ilmu yang dimaksud disini adalah sebuah jalan yang akhirnya adalah surga
Allah Swt. Seorang salaf berkata: “setiap orang yang menuntut ilmu maka dia akan
ditolong”. Ungkapan yang disampaikan oleh seorang salaf tersebut memiliki makna
dari hakikat menuntut ilmu adalah meniti jalan menuju surga di akhirat kelak, yakni
dengan istilah shirat, yang di dalamnya termasuk segala hal yang terjadi pada waktu
sebelum dan yang sudah terjadi setelahnya. Ilmu itu bagaikan hakim yang mana
menentukan dan membedakan antara keyakinan dan keraguan, antara jalan yang lurus
dan jalan yang menyimpang, dan juga antara kesesatan dan hidayah. Ilmu ini
bagaikan penerang bagi yang memilikinya, karena dengan ilmu ini akan mampu
mengalahkan segala bentuk hawa nafsu yang kuat ketika kita menggunakan
penglihatan, pendengaran, dan juga dengan hati kita untuk merasakan sesuatu.
b. Tadzakkur
53
Hannan, “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah” (Univeersitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2016).
55
Tadzakkur berasal dari kata tafa’ul dari kata dzikr, kebalikan dari kata nisyan,
yaitu akan Memberikan sebuah gambaran dari sesuatu yang akan menjadikan
pengetahuan di dalam hati manusia. Dan kenapa dipilih bentuk tafa’ul dikarenakan ia
diperoleh didapatkan dengan sebuah usaha yang melalui tahapan-tahapan dan juga
c. Riyadhah
Riyadhah dalam hal ini adalah wujud dari beberapa tingkatan atau kedudukan
seorang muslim yang beribadah hanya kepada Allah Swt. hal ini sesuai tafsir dari
Ibnu Qayim al Jauziyah dalam tafsirnya: “Riyadhah adalah melatih jiwa untuk
menerima kebenaran”.
Dari tafisr tersebut dapat diambil menjadi dua pengertian, yakni latihan untuk
dan perbuatan. Jika itu sebuah kebenaran maka jiwanya akan menerima, taat dan
patuh pada kebenaran tersebut. Pengertian yang kedua adalah menerima kebenaran
d. Muhasabatunnafs
Artinya adalah menginstropeksi diri sendiri. Jika terasa jiwa kita ini terkotori
oleh kotoran jiwa, maka segera dibersihkan dengan taubat yang sebenar-benarnya
e. Taubat
daripada muhasabatunnafs. Ketika kita sudah melakukan koreksi dari diri kita, maka
54
Fathuddin dan Amir, “Konsep Tazkiyatun nafs Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab
Madarijus Shalikin Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan.”
55
Zamaksyari Hasballah, Rijal Sabri, dan Abu Nasir, “Konsep Tazkiyatun nafs (Studi Pendidikan Akhlak
Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams 7-10),” Sabilarrasyad III, no. 02 (2018): 38–52.
56
tentu saja kita akan mendapati diri kita banyak memiliki kekurangan dalam diri kita.
Jika kita mampu melakukan perbaikan kepada diri kita maka kita melakukan taubat.
f. Beramal Sholeh
Hidup akan menjadi berkah, tenang, dan senantiasa dalam lindungan Allah
serta jiwa menjadi bersih ketika kita mampu menghiasi jalan hidup kita dengan
amalan-amalan yang sholeh yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan dengan penuh
yang baik lingkungan yang memiliki jiwa-jiwa yang bersih, hendaklah kita mencari
dan bergaul dengan lingkungan yang di dalamya terisi dengan para orang sholeh yang
Seseorang yang senantiasa rutin menuntut ilmu dan berangkat menuju majlis-
majlis ta’lim untuk belajar dari orang-orang sholeh, untuk mendapat ridha Allah,
untuk senantiasa mengingat Allah, yang kemudian akan mendapatkan rahmat dari
i. Do’a.
57
Do’a yang dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan dengan kerendahan
hati kita merupakan sebuah cerminan dari seorang hamba yang tunduk patuh kepada
Allah Swt. berpegang dan menyandarkan hidup kita hanya kepada Allah semata.56
bahwa dalam membina akhlak dalam membentuk pribadi yang memiliki akhlak mulia
harus diawali dengan bersihnya jiwa terlebih dahulu dengan melakukan tazkiyatun
nafs dalam dirinya. Proses tazkiyatun nafs ini harus senantiasa dilakukan dengan niat
yang kuat serta dengan metode tazkiyatun nafs yang benar sesuai dengan tuntunan
yang ada dalam ajaran Islam, dan yang terpenting adalah keistiqamahan dalam
hari yang yang kita lalui ini terhias dengan kebiasaan-kebiasaan baik dari tazkiyatun
nafs yang kita lakukan dengan tertancapnya akhlak yang mulia dalam diri.
senantiasa berakhlak mulia dalam keseharian kita yang tujuan akhirnya adalah
memperoleh keridhaan Allah dalam setiap aktivitas yang kita lakukan dan menilainya
sebagai sebuah ibadah serta lebih mendekatkan diri kita kepada Allah untuk
menapaki jalan kebenaran dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
langkah tazkiyatun nafs dari awal sampai ke dalam tingkatan yang paling tinggi maka
kita akan senantiasa tunduk kepada Allah dan mengharapkan kecintaan dari-Nya
56
Humaini, “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan pendidikan
islam.”
58
karena jika kita sudah mendapatkan cinta dari-Nya maka setiap langkah kita akan
Pembinaan Akhlak yang diingankan oleh Ibn ‘Atha illah di dalam kitab Al-
Hikam yaitu untuk menjadikan manusia menjadi seorang hamba Allah yang memiliki
akhlak yang mulia serta bertaqwa kepada Allah Swt. Ibnu Atha’illah menjelaskan tentang
1) Husnuzhan
Berprasangka baik kepada Allah atas segala yang Allah tetapkan baik itu
nikmat bagi kita maupun cobaan bagi kita. Kita harus senantiasa berusaha dengan
Atha’illah mengatakan bahwa apabila kita tidak mampu untuk berbaik sangka kepada
Allah dengan kebaikan sifat-sifatnya, maka kita harus berbaik sangka dengan apa
yang dilakukan berupa hal-hal baik yang diperbuat olehnya padamu. Sebagaimana
Allah telah memberikan pembiasaan kepada kita dengan kebaikan. Jika seorang
hamba meyakini segala bentuk pemberian dari Allah maka dia akan menjadi seorang
hamba yang mampu berhusnuzhan kepada Allah. Dan kemudian dirinya akan selalu
2) Intropeksi diri
Mengoreksi diri kita dari segala perbuatan yang telah kita lakukan, kemudian
menarik sebuah kesimpulan hal apa yang telah kita dapatkan apakah keburukan atau
59
kebaikan. Apabila kita mendapati keburukan dalam diri kita maka kita diharuskan
perkataan Ibnu Atha’illah “Meneliti segala bentuk aib yang ada dalam dirimu ialah
lebih baik daripada meneliti hal-hal yang ghaib yang dirimu tertutup darinya”. Pada
hakikatnya manusia ini adalah makhluk lemah dan juga memiliki keterbatasan
kekuatan dan juga kewenangan untuk selalu menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan Allah, dan juga manusia ini mempunyai kekurangan yang ada
dalam diri manusia tersebut. Maka dari itu intropeksi diri diperlukan untuk senantiasa
3) Istiqomah
Istiqomah merupakan sebuah amalan yang kita perbuat sebagai bentuk ibadah
yang kita lakukan secara berkelanjutan, istiqomah dalam hal ibadah adalah salah satu
hal yang amat sulit kita lakukan dalam kehidupan kita dikarenakan manusia adalah
makhluk yang tidak lepas dari salah dan lalai, akan tetapi manusia diharuskan untuk
senantiasa berusaha istiqomah daam beribadah dan tidak mudah berputus asa setelah
melakukan kesalahan dalam hidupnya. Ia harus yakin bahwa dengan usahanya akan
memasrahkan diri kita kepada Allah, sehingga jika dilihat dari sudut pandang ilmu
kalam. Beliau termasuk pengikut dari aliran Jabariyah, yaitu suatu paham yang mana
dalam kepercayaan beliau adalah bahwa seluruh perbuatan yang dipebuat oleh
60
manusia merupakan kehendak Tuhan. Menurut Ibnu Atha’illah, memasrakan diri
sepenuhnya kepada Tuhan adalah kunci untuk perjalanan manusia dalam mencapai
kesuksesan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Berserah diri kepada Allah menjadi
jalan yang paling utama agar bisa merasakan sepenuhnya karunia dari Allah yang
diberikan kepadanya.
Pertama, Taubat Seseorang yang berada jalan menuju Allah menurut Ibnu Atha’illah
harus terlebih dahulu melakukan tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa dan pembersihan
jiwa dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Ibnu Atha’illah berkata, “diantara tanda
matinya hati adalah tidak adanya kesedihan dan kesempatan untuk melakukan ibadah
yang telah engkau lewatkan, dan tidak ada penyesalan atas sebuah kesalahan yang
engkau lakukan”. Kemudian beliau mempertegas jika perbuatan dosa yang telak
dilakukan oleh seorang manusia tidak boleh mengakibatkan manusia tersebut putus asa
dalam mengharap ampunan dari Allah Swt. Ibnu Atha’illah berkata,” dosa tidak boleh
menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah. Sebab, barangsiapa yang mengenal
Tuhannya, akan mengetahui bahwasanya dosa yang diperbuat itu kecil jika dibandingkan
dengan kemurahan Allah”. Kemudian beliau berkata,” apabila engkau jatuh dalam dosa,
keistiqomahan dengan Tuhanmu, sebab bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditakdirkan
Allah kepadamu”. Walaupun begitu beliau juga tegas berpendapat bahwa dosa-dosa
kecilpun tidak boleh membuat manusia lalai dalam hidupnya. Beliau berkata,” tidak ada
57
Mustafa Bisri, Al-Hikam Rampai hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.
61
dosa kecil yang tidak diadili jika dihadapkan dengan keadilan Tuhan, dan juga tidak ada
dosa besar jika dihadapkan dengan karunia-Nya”. Dari pernyataan tersebut sekali lagi
menegaskan bahwa setiap manusia yang melakukan dosa berhak mendapatkan ampunan
Allah jika benar-benar melakukan tobat dan menyesali pebuatan dosa yang telah ia
perbuat karena Allah Swt Maha Pemurah kepada hamba-Nya yang ingin benar-benar
Kedua, Zuhud. Pada umumnya istilah zuhud ini biasa dipahami dengan sebuah
jalan atau usaha dalam hidupnya untuk meninggalkan bermewah-mewahan dalam hal
dunia dan memilih jalan untuk hidup dengan cara yang sederhana. Seorang yang
melakukan perilaku zuhud ini dinamakan zahid. Seorang zahid dalam perjalanannya
cenderung akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan hatinya pada unsur
duniawi. Ibnu Atha’illah berkata,” Allah sengaja menciptakan dunia sebagai tempat yang
penuh dengan tipu daya dan merupakan sumber dari kekotoran dengan tujuan agar dunia
itu dirasa sebagai sesuatu yang menjemukan”. Dengan demikian maka seorang sufi akan
menjauhkan sanubarinya kepada kecenderungan pada duniawi, maka dari itu Ibnu
Atha’illah berkata,” kosongkanlah hatimu dengan segala sesuatu selain Allah, maka
Allah akan memenuhi dirimu dengan pengetahuan dan rahasia”. Begitupun sebaliknya,
orang yang dalam hidupnya mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi sesuatu tersebut.
Ibnu Atha’illah berkata,” tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali jika engkau
akan menjadi budak dari sesuatu tersebut, sedangkan Dia (Allah) tidak berkenan
sekiranya engkau menjadi budak dari selain-Nya”. Beliau menegaskan pula bahwa awal
dari sebuah kehinaan adalah sebuah ketamakan. Tidak akan tumbuh dahan-dahan
kehinaan kecuali berawal dari benih-benih ketamakan. Maka dalam konsep zuhud ini,
62
seorang sufi harus benar-benar mampu mengendalikan dirinya agar tidak terjerumus ke
Tuhan yang menjadi tujuan dari para sufi. Maka konsep zuhud ini menjadi penting untuk
Ketiga, Sabar. Sabar dalam hal ini yang dimaksud adalah kesabaran tentang
menjauhkan dirinya dari larangan-larangan Allah, kemudian dalam hal ini memiliki
kesabaran untuk senantiasa menerima segala bentuk ujian dan segala cobaan yang
ditakdirkan oleh Allah pada manusia.59 Akan tetapi pada kenyataannya banyak manusia
yang masih belum bisa sabar baik dalam hal sabar mentaati perintah Allah maupun sabar
dalam menghadapi segala bentuk ujian dan cobaan yang diberikan kepadanya. Ibnu
Atha’illah berkata,” pedihnya ujian bisa dirigankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah
lah sang pemberi ujian, yang memberikan ujian dan takdir kepadamu adalah Allah yang
Dia jugalah yang memberikan anugerah berupa pilihan-pilihan yang baik terhadapmu”.
ujian dan cobaan dari Allah merupakan sebuah hal yang disenangi bagi orang-orang yang
berharap untuk berjumpa kepada Tuhannya. Sebab, bisa jadi seseorang yang telah
melaluinya akan mendapatkan sebuah pengalaman batin yang berharga dari setiap ujian
dan cobaan yang tela dilewati, pengalaman itulah yang tidak bisa diperoleh dengan
58
Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap Kitab Al-
Hikam Al-Atha iyah,” Tashwirul Afkar, no. 32 (2013).
59
Hasballah, Sabri, dan Nasir, “Konsep Tazkiyatun nafs (Studi Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat
Asy-Syams 7-10).”
63
Ibnu Atha’illah kembali menegaskan bahwa semua bentuk ujian yang diberikan
pada hakikatnya adalah sebuah hamparan pemberian atau bisa diartikan sebagai sebuah
ladang untuk memperoleh pengalaman batin spiritual yang sempurna jika bisa
melewatinya dengan tetap berpegang kepada keyakinannya sebagai seorang sufi. Maka
dari hal tersebut Ibnu Atha’illah berpendapat bahwa dengan datangnya setiap ujian dan
cobaan kepada setiap manusia tidak hanya menjadikannya manusia yang sabar, akan
tetapi juga akan meajadikan manusia tersebut menjadi manusia yang bersyukur kepada
Tuhannya, karena pada hakekatnya di balik setiap ujian yang diberikan ada sebuah
karunia dan hikmah yang diberikan. Dari pemikiran Ibnu Atha’illah ini bisa dipahami
dalam kehidupan manusia menuju Allah atau bagaimana manusia berjalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah memiliki jalan yang tidak mudah untuk dilalui. Harus
membutuhkan kesabaran yang amat besar dalam melalui segala bentuk ujian dan cobaan
yang Allah berikan, dan jika manusia tersebut manusia tersebut berhasil melalui ujian
yang diberikan dengan tetap memegang keyakinannya kepada Tuhannya akan menjadi
manusia yang selamat dan akan dekat dengan Tuhannya sehingga selamatnya dirinya di
Keempat, Tawakal. Tawakal diartikan dengan berserah diri kepada Allah Swt.
dalam pemikirannya Ibnu Atha’illah berkata,” diantara tanda keberhasilan pada akhir
perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan”. Menurut Ibnu
Atha’illah, tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba selain bertawakal kepada Allah.
Dikarenakan semua yang terjadi merupakan kehendak dari Allah. Ibnu Atha’illah
berkata,” segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak
bersandar pada apapun”. Menurut beliau tidak layak bagi seseorang hamba untuk
64
menggantungkan segala harapannya kepada selain Allah, karena pada hakekatnya tidak
harapan yang bisa tercapai melampaui Allah. Ibnu Atha’illah berkata,” janganlah cita-cita
atau harapanmu ditujukan kepada selain Allah, sebab harapan seseorang tidak akan dapat
melampaui Yang Maha Pemurah”. Dari pemikiran Ibnu Atha’illah di atas dengan konsep
tawakalnya mengajarkan kepada kita dalam setiap perbuatan kita, kita niatkan sebagai
ibadah dan nilai akhir dari usaha kita beribadah kepada Allah adalah bertawakal kepada-
Nya, dan mengajakan bahwa setiap keinginan yang kita harapkan tercapai harus melalui
Allah dulu dalam berpegang teguh bahwa Allah lah yang menghendaki semuanya dan
bahwa Allah lah yang mengabulkan segala harapan dari setiap manusia.60
segala keputusan dan takdir yang Allah tetapkan dengan lapang dada. Dalam hal ini
setiap manusia harus mampu memiliki rasa ridha, rela menerima setiap peristiwa yang
telah ditakdirkan. Sebab semua yang terjadi itu adalah dari kehendak dan ketentuan
Allah, dan bagi seorang hamba sudah sepantasnya untuk memiliki keridhaan atau
kerelaan dalam menerimanya. Sebagaimana kita tahu ketika Tuhan telah berkehendak
maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya. Salah satu bukti sederhana
dari sifat rela atau ridha adalah bagaimana seseorang tidak memiliki sifat iri dengki
terhadap nikmat atau karunia yang diterima oleh orang lain. Seseorang yang memiliki
sifat ridha ini selalu mempunyai sifat yang senang dan gembira, ia akan senang dengan
musibah yang diterimanya karena ia yakin dengan musibah tersebut akan mendapatkan
anugerah dari Allah Swt, Ibnu Atha’illah berkata,” pemberian dari makhluk adalah
kerugian, dan penolakan dari Tuhan adalah kebaikan”. Beliau berpendapat bahwa
seseorang yang merasa sedih dengan penolakan Allah atas permintaan yang ia harapkan
60
Hasballah, Sabri, dan Nasir.
65
menunjukkan bahwa seseorang tersebut tidak paham atas kehendak Allah. Kemudian
Ibnu Atha’illah menegaskan bahwa ketika Allah memberi, maka Dia sesungguhnya
sedang memperlihatkan belas kasih-Nya kepada hambanya, dan jika Allah menolak
semua itu, ia sesungguhnya hendak memperlihatkan diri kepada seseorang dan ingin
Keenam, beramal dan berserah diri serta mengenal dengan Tuhan, dalam hal ini
dalam semua bentuk ciptaan-Nya. Barang siapa yang fana dengan Tuhan pasti akan
tertutup dari segala sesuatu, dan barangsiapa yang mencintai Tuhannya akan dicintai
oleh-Nya. Ibnu Atha’illah memiliki maksud bahwa amaliah yang kita lakukan tidak ada
artinya, karena pada hakikatnya semua itu merupakan kepatuhan kita kepada-Nya. Akan
tetapi terdapat hal yang lebih besar yang harus dimiliki oleh setiap orang yang meniti
jalan menuju Allah. Yaitu bertawa kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya dan
menjauhkan diri kita dari segala apa yang dilarang oleh Allah kepada kita, serta
melaksanakan segala bentuk aktivitas kita yang berdasarkan dengan syari’at, yang
kemudian dirinya akan memndapatkan kebaikan yang banyak. Begitu juga sebaliknya,
jika seseorang berpegang teguh kepada yang dilarang atau berlawanan dengan syari’at,
maka seseorang tersebut akan mendapatkan kesulitan dan akan teramat rugi.
itu itu dengan sedikitnya amalanmu, sebab sesungguhnya Dia tidak membuka pengenalan
61
Hannan, “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2016).
66
bagimu kecuali Dia semata-mata untuk mengenalkan diri-Nya padamu. Tidaklah dirimu
segala yang Dia inginkan bagimu. Ketika Allah membuka “wajah pengenalan”,maka Dia
bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidak sebanding saat
Allah Swt menyerahkan diri-Nya untuk dikenal, sementara seorang hamba hanya
Ketujuh, bergantung dan memohon hanya kepada Allah Swt. jadi jangan sampai
permohonan kita pada Allah hanya kita jadikan alat untuk mendapatkan-Nya, sebab hal
demikian itu artinya dirimu tidak paham akan kedudukanmu sebagai seorang hamba,
hamba. Ibnu Atha’illah berkata dalam kitab Al-Hikam pasal enam “Janganlah
karena Dia telah memberikan jaminan bagimu suatu ijabah terkabulnya do’amu dalam
kehendak-Nya untukmu pada waktu yang tepat menurut-Nya, bukan pada waktu yang
dirimu kehendaki.
“Tanda dari seorang mukmin yang sejati ialah lebih meyakini dengan apa yang
telah Allah kehendaki daripada yang diri kita sendiri usahakan. Ketika pemohonan yang
kita panjatkan seakan-akan tidak dikabulkan oleh Allah, disitulah terdapat ruang kosong
pengetahuan yang harus diisi, do’a yang dimaksud disini bukan hanya soal duniawi saja,
62
Nurcahyono, “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh Ibnu Athaillah as-
Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017.”
67
melainkan juga termasuk dalam hal spiritual, misalnya saat kita memohon do’a agar
taubat kita diterima oleh Allah dan menjadikan diri kita bersih dari dosa yang kita
perbuat.
dari objek yang Allah telah siapkan untuk kita. Jadi tidak serta merta apa yang kita
inginkan dalam do’a kita, kecuali telah disiapkan untuk kita dari Allah Swt. Jika
dipahami pada dasarnya semua orang tidak berkeinginan untuk berdo’a, seperti halnya
menginginkan makanan, karena baunya sudah tercium pada kita dari kejauhan. Do’a
membutuhkan sebuah pengenalan terhadap Allah dan dirinya sendiri. Allah lebih
mengerti apa yang menjadi kebutuhan terbaik untuk makhluk-Nya, melebihi seorang ibu
yang mengerti kebutuhan dari anaknya. Bersikap untuk merendahkan diri kita pada
dasarnya adalah untuk diakui, dikenal, terpandang, dikenal hebat, dan lain sebagainya. Di
dalam ilmu psikologi, manusia diatur oleh egonya yang tertanam dalam dirinya. Tidak
akan mampu seseorang untuk mengenali dirinya dan apa yang ia inginkan, sementara
Kitab al-Hikam pasal 11, Ibnu Atha’illah mengungkapkan kunci agar diri kita ini
mampu mendapatkan hasil buah dari ketaqwaan yang sempurna, yaitu dengan
menghilangkan eksistensi diri kita, ego yang kita miliki dalam ketiadaan. “Kuburlah
tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya”.
pasal 10: “Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang
menghidupkan adalah hadirnya sinar ikhlas padanya”. Di dalam sebuah kisah disebutkan,
68
pada saat Rasulullah Saw sedang bersama dengan para sahabatnya, datang seorang
wanita kafir yang membawakan biji buah jeruk sebagai sebuah hadiah, kemudian
Beliau, hingga akhirnya habislah pemberian yang telah diberikan si wanita kafir tersebut.
Kemudian Rasulullah Saw berkata pada para sahabat: “tahukah kalian, sesungguhnya
buah jeruk yang diberikan tersebut memiliki rasa yang asam ketika aku merasakannya
pertama kali, jika kalian ikut untuk memakannya, aku takut di antara kalian ada yang
mengernyitkan dahi atau akan memarahi wanita tadi. Aku takut hatinya akan tersinggung
dengan perilaku kalian. Maka dari itu aku menghabiskan semuanya”. Dalam hal ini
Rasulullah mengajarkan kita tentang akhlak yang agung seperti yang dilakukan oleh
Beliau tidak dapat dipoles di permukaan, akan tetapi semata-mata karena ada cahaya
keikhlasan yang sudah tertaut dalam hati, karena sikap dan perilaku kita adalah cerminan
hati kita.
Kesembilan, memiliki rasa untuk selalu butuh kepada Allah Swt. sesuatu yang
menjadi kebutuhan seorang hamba merupakan suatu bentuk kebutuhan yang kaitannya
menjadi insan kamil, mampu mengetahui tujuan untuk apa dirinya diciptakan, dan juga
mampu menjalankan apa yang diamanahkan kepadanya. Maka apa yang dibutuhkan
seorang hamba berbeda dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang hamba
yang lainnya tergantung misi yang telah Allah Swt amanahkan kepada hambanya.63 Dari
semua proses tahap-tahap dalam perjalanan spiritual yang dialami di atas merupakan
suatu perumpamaan yang akan menyatukan dirinya dengan Tuhannya. Lalu pada
63
Achmad Beadie Busyroel Basyar, “Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang Pendidikan
Sufistik dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia (Telaah Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah)”
(Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016).
69
akhirnya dalam ilmu tasawuf jika sudah melalui tahapan-tahapan di atas akan mampu
mencapai maqam ma’rifat mengenal dan dekat dengan Tuhan, lebur, serta mencintai
Tuhannya secara tak terhingga nilainya. Ibnu Atha’illah dalam hal ini mengemukakan
bahwa seorang yang arif memiliki keinginan yang sangat kuat untuk senantiasa
mencintai dan dekat dengan Tuhannya, jika ia dekat dengan Tuhannya maka akan
membuat dirinya selalu tenang, akan tetapi jika ia tidak dekat dan bergantung pada
Tuhannya maka dalam dirinya tidak akan ada ketenangan. Dalam hal ini seperti yang
diidam-idamkan oleh para kalangan sufi adalah selalu bersama Allah. Ibnu Atha’illah
berkata,” hilangkan pandangan manusia terhadapmu karena kau telah puas dengan
penglihatan Allah kepadamu, dan hiraukan perhatian mereka kepadamu karena engkau
Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa seseorang yang sudah pada tingkat ma’rifat
akan menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Dalam hal ini Ibnu Atha’illah berkata,”
barangsiapa yang telah mengenal Allah, maka ia akan menyaksikan Allah pada segala
sesuatu, barangsiapa yang melebur dengan Allah, maka ia akan melupakan segala
tersebut juga akan mencintai Allah. Dan jika seseorang telah cinta dengan kecintaan yang
sebenar-benarnya kepada Allah, maka seseorang tersebut tak lagi berharap imbalan dari
mengharapkan imbalan dari Kekasihnya dan seseorang yang jatuh cinta bukan orang
yang menuntut dipenuhi segala kebutuhannya dari sang Kekasih. Seorang yang
70
mengalami jatuh cinta akan rela berkorban kepada yang dicintainya, bukan yang
melahirkan pribadi yang mulia di sisi Allah Swt. dari apa yang beliau jelaskan tentang
tujuan pendidikan akhlak ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan
nasional, yang membedakan ialah pendidikan nasioal cenderung mengarah kepada hal
yang horizontal saja, yaitu pada ranah sosial, kebangsaan, kemudian kepada ranah
ketuhanan. Akan tetapi Ibnu Atha’illah mengawalinya dengan unsur vertikal telebih
dahulu yakni jika seseorang diberikan pelajaran dan arahan untuk menjadi baik di sisi
Tuhannya, maka akibatnya seseorang yang memiliki kepribadian baik tersebut akan
berdampak juga kepada orang lain, lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Yang
dapat dipahami bahwa untuk menjadi pribadi yang mulia dan dekat dengan Tuhannya,
maka diharuskan juga untuk mampu beradaptasi dan memberikan kebaikan kepada
Ibnu Athaillah memulainya dengan konsep dari arah vertikal lalu horizontal. Hal
itu berdasarkan bahwa jika seseorang diarahkan menjadi pribadi yang baik di sisi
Tuhannya, maka pribadi yang baik tersebut akan berdampak pula untuk menjadi pribadi
yang baik pada arah horizontalnya, yaitu orang lain, lingkungan, bangsa dan negara.
Artinya seseorang untuk menjadi pribadi yang baik di sisi Tuhannya, maka dia harus pula
memperbaiki keadaan sesuai dengan tempat dan waktu yang dia hadapi.66
64
Ibn Athaillah, Rahasia Asma Allah, ke-1 (Jakarta: Serambi, 2007).
65
Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari, Al-Hikam dan Penjelasannya, ed. oleh Pakih Sati, ke-1 (Yogyakarta:
Noktah, 2017), 65.
66
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”
71
B. Analisis Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak ini haruslah dilaksanakan secara istiqomah dan berjalan secara
intensif, agar para peserta didik ini mampu melindungi dirinya dari perkembangan
jasmani dan rohaninya dengan menggunakan ilmu-ilmu agama yang para peserta didik
Dalam hal ini pergaulan para peserta didik ini baik di lingkungan sekolah,keluarga,
tuntunan. Sehingga para peserta didik ini mendapatkan pendidikan yang arahnya kepada
Strategi dari pendidikan akhlak menurut Ibnu Atha’illah terbagi menjadi dua
tahapan, yaitu tahap penanaman dan penyebaran. Keduanya sangat berkaitan dengan
strategi pendidikan akhlak nasional, yakni berkaitan tentang penanaman kepada para
peserta didik dan penanaman melalui lingkungan atau biasa dikenal dengan istilah
habituasi. Akan tetapi dalam hal ini, Ibnu Atha’illah lebih mengarah kepada para pelaku
pendidikan, yang berarti pendidikan akhlak yang diinginkan oleh beliau adalah tidak
menjabarkan tentang apa yang harus dilakukan oleh para pendidik, namun lebih ke apa
Ibnu Atha’illah juga menjelaskan tentang pribadi yang harus dimiliki oleh para
pendidik,yaitu yang pertama, seorang pendidik diharuskan mampu menjadi pribadi yang
menginspirasi para peserta didiknya, baik dari ucapannya maupun dari perbuatannya,
serta menjadi contoh untuk membuat semangat para peserta didiknya untuk senantiasa
dekat dengan Allah Swt. dalam hal ini Ibnu Atha’illah mengatakan “Janganlah bersahabat
72
dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu, dan perkataannya
tidak mengantarkanmu menuju Allah SWT”. Kedua, seorang guru dituntut untuk menjadi
pribadi yang cerdas dan kaya akan pengetahuan, karena seorang guru tidak akan mampu
memberikan nasehat dan wawasan kepada peserta didik kecuali pengetahuan dan
para peserta didik diharuskan untuk menanamkan pada dirinya lima konsep yang utama,
yaitu hal buruk (al-illah), ketaqwaan (at-taqwa), pengetahuan (al-ma’rifah), keadaan (al-
hal), dan amalan (al-amal), yang mana kelima hal tersebut adalah sebagai konfigurasi
dalam pendidikan akhlak. Hal ini juga sangat berkaitan dengan konfigurasi dari
pendidikan nasional yang diklasifikasikan sebagai berikut: olah pikiran, olah hati,
olahraga, serta olah rasa dan juga karsa.67 Jika dimasukkan ke dalam konsep yang
a. Olah hati jika dikaitkan dengan konsep al-illah dan at-taqwa, maka seorang peserta
didik diharuskan untuk mampu terhindar dari segala keburukan dan mampu
b. Olah pikiran jika dikaitkan dengan konsep ma’rifah, maka para peserta didik
diharuskan untuk membekali dalam diri mereka ilmu pengetahuan, baik pengetahuan
c. Olah raga jika dikaitkan dengan konsep al-hal, maka para peserta didik diharuskan
67
As-Sakandari, Al-Hikam dan Penjelasannya, 70.
73
d. Olah rasa dan karsa jika dikaitkan dengan konse al-amal, maka para peserta didik
diharuskan mampu untuk melaksanakan dengan hasil yang sesuai dari konsep di atas.68
karakter yang lebih menekankan pada nilai-nilai ketuhanan. Maka dari itu, hakikat dari
pendidikan akhlak yang diinginkan oleh beliau adalah sebuah tahapan dari proses
penanaman nilai yang pada akhirnya ialah mendekatkan diri pada Tuhan atau menjadi
Nilai-nilai yang ditanamkan dalam pribadi seorang peserta didik atau pada diri
sendiri ialah nilai-nilai dari karakter yang orientasinya adalah menjadikannya pribadi
yang dekat dengan Tuhan. Proses penanaman dari nilai-nilai tersebut hanya nilai agama,
yang tidak terdapat di dalamnya nilai sosial kemasyarakatan dan nilai kebangsaan. Akan
tetapi, jika dilihat dari sudut isinya maka dapat dipahami bahwasanya seseorang mampu
menanamkan dalam dirinya nilai-nilai keagamaan dalam dirinya maka orientasinya akan
pada nilai-nilai kebangsaan dan sosial kemasyarakatannya. Maka dari itu, hakikat
daripada pendidikan akhlak yang beliau jabarkan ini tidak jauh berbeda dengan
pendidikan akhlak nasional kita. Hanya yang beliau sampaikan lebih mengarah pada hal
yang bersifat vertikal, yaitu berupa nilai ketuhaan, sedangkan pendidikan akhlak nasional
yang panjang yang harus dilewati oleh seseorang dalam mencapai tujuan akhir, yang
mana hakikat pendidikan di dalam pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam yang beliau
jabarkan tidak terbatas pada hal yang bersifat formal saja, seperti lembaga-lembaga
68
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”
74
sekolah, akan tetapi juga pendidikan yang bersifat non formal, hal demikian dikarenakan
beliau memang memandang hakikat pendidikan harus lebih condong kepada ranah
Pendidikan akhlak untuk mengatasi degradasi moral saat ini dapat dilakukan
Islami dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan. Untuk meningkatkan pendidikan akhlak,
watak peserta didik secara utuh yang termanifestasi dalam ucapan, perilaku, dan pikiran
kebahagiaan dunia akhirat. Belajar bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi
semata sebagai tujuannya, melainkan juga dimensi ukhrowi sebagai manifestasi rasa
syukur seorang hamba kepada Allah yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Peserta
didik dituntun untuk memiliki niat yang baik dalam belajar dan menghilangkan
kebodohan dalam dirinya.71 Keluhuran nilai seseorang tidak terlihat pada fisiknya,
melainkan terletak pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa dekat dengan
pendekatan akhlak yang digunakan Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam adalah dengan
pendekatan tasawuf.72
69
Ishari dan Fauzan.
70
Ashari, “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali.”
71
Rika, Fahrudin, dan Elan Sumarna, “Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah,” Taklim: Jurnal Pendidikan Agama
Islam 18, no. 1 (2020): 23–36.
72
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari.”
75
Nilai-nilai dari akhlak yang mulia yang dibangun dengan konsep tasawuf perlu
a. Metode keteladanan
dapat dijadikan model bagi para peserta didik. Keteladanan dalam hal ini harus
diperhatikan karena setiap perilaku yang dilakukan oleh para pendidik di sekolah
akan menjadi sumber atau contoh yang kemudian terinternalisasi kepada peserta
didik. Maka hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan pendidikan akhlak di
pendidikan yang kondusif dan mendukung proses pembinaan akhlak. Karena itu agar
bisa mencapai tujuan pendidikan akhlak yang telah ditentukan, maka pendidik
beserta orang-orang yang ada di lingkungan pendidikan harus memiliki akhlak yang
baik.
b. Metode Nasihat
Pemberian nasihat merupakan salah satu hal yang dianjurkan agar para peserta
dilakukan dengan lisan atau tulisan yang isinya adalah ajakan dan anjuran agar siswa
berperilaku baik. Dalam memberikan nasihat biasanya juga disertai dengan hadiah
atau hukuman dengan harapan nasihat yang diberikan dapat diindahkan kemudian
76
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyuruh manusia (dalam hal ini guru)
untuk memberi nasihat dengan cara yang baik. Hal tersebut akan memberi kesan
positif pada si pemberi nasihat, sedangkan cara yang buruk cenderung akan
akan memberi manfaat positif dan bahkan cenderung berdampak negatif. Karena itu
dalam menggunakan metode ini, guru harus lebih peka dan menekankan pada cara
dirinya baik, maka dia akan berdiam diri apabila berbuat kesalahan. Dan siapa yang
memberi nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan) sebagai kebaikan dari
Allah untuk dirinya, maka dia tidak berdiam diri apabila berbuat kesalahan”. Dalam
memberikan nasihat pendidik juga harus memperhatikan cara dan kondisi pada saat
memberikan nasihat. Hal ini akan berpengaruh pada diterima atau tidaknya nasihat,
guru hendaknya mengemas sebuah nasihat dengan kata-kata yang baik dan dalam
kondisi yang tepat. Karena tidak semua nasihat baik akan menghasilkan kebaikan
jika tidak dibarengi dengan cara dan kondisi yang sesuai. Ibnu Atha’illah berkata:
“tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan
c. Metode Cerita
77
Cerita yang terkandung di dalamnya nilai pendidikan memiliki pengaruh kuat
dalam jiwa peserta didik, mudah dipahai sehingga cepat terserap ke dalam pikiran
peserta didik. Selain itu penggunaan metode ini memiliki daya tarik tersendiri bagi
para siswa sehingga siswa akan mendengarkan dengan baik. Metode ini digunakan
dengan cara menceritakan peristiwa bersejarah, cerita para Nabi, orang sholeh yang
pendidikan berupa audio visual. Nabi Muhammad sebagai pendidik melalui Al-
Qur’an juga lebih banyak menggunakan metode cerita yang diambil dari Al-Qur’an.
Allah sebagai Yang menurukan wahyu juga lebih banyak menceritakan nabi-nabi
akhlak. Allah berfirman dalam Q.S Yusuf ayat 12: “Kami menceritakan kepadamu
kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan
Salah satu hal penting dalam metode cerita ini adalah isi cerita itu sendiri,
apakah cerita tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang baik atau tidak. Karena
keberhasilan sebuah tujuan pembinaan akhlak tidak hanya dipengaruhi metode tetapi
materi yang diajarkan. Jika metode yang digunakan tepat tetapi isinya tidak tepat dari
tujuan pembinaan akhlak, maka tujuan pembinaan akhlak tidak akan tercapai. Dalam
hal ini guru harus pandai memilih materi cerita yang baik yang diharapkan
78
Pola pendidikan akhlak pada anak, menggunakan metode perintah dan larangan
juga sangat penting. Metode ini dibutuhkan karena secara langsung akan tertuju
kepada tujuan yang ingin dicapai oleh guru terhadap peserta didiknya tanpa harus
menafsirkan lebih dalam apa pesan yang ingin dicapai. Siswa akan dapat langsung
memahami apa yang hendak diajarkan oleh guru. Namun perlu diketahui bahwa
dengan isi perintah, apakah siswa mampu melaksanakannya atau tidak. Seorang guru
juga hendaknya jangan terlalu sering menggunakan satu metode ini saja karena siswa
guru juga memperhatikan kondisi yang ada, sehingga tidak terkesan bahwa mendidik
akhlak anak adalah hanya dengan memerintah dan melarang saja. Akan tetapi harus
ada kombinasi dengan metode lainnya. Allah Swt dalam mendidik akhlak manusia
Metode ini digunakan jika tidak ada lagi cara yang mampu mengkondisikan
perilaku siswa atau adanya suatu hal yang penting untuk segera diketahui dan
dilaksanakan atau dijauhi oleh peserta didik. Allah Swt berfirman dalam Q.S.
mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
baik, dan meninggalkan yang mungkar adalah hal penting untuk segera diketahui dan
dilaksanakan oleh peserta didik. Tiga hal tersebut juga merupakan hal yang mudah
79
dipahami dan tidak membutuhkan penafsiran yang dalam, sehingga langsung bisa
Pembinaan akhlak merupakan salah satu hal terpenting dalam dunia pendidikan,
karena akhlak merupakan ukuran untuk menjadi seorang mukmin. Maka dari itu sangat
penting bagi manusia untuk mempelajari dan memahami pendidikan akhlak karena dengan itu
dapat menjadi barometer dalam kehidupan sehari-harinya. Akhlak merupakan fitrah dari
Allah Swt yang dianugerahkan kepada manusia dengan tujuan agar dalam kehidupannya
manusia lebih mengedepankan akhlak yang mulia dan nilai-nilai pendidikannya untuk
membentuk kehidupan yang mulia. Pendidikan akhlak proses untuk melatih setiap individu
untuk memperbaiki moralnya dan akan membiasakan dirinya untuk berbuat kebaikan-
kebaikan.
Proses pembinaan akhlak oleh para peserta didik dalam membina akhlaknya
diperlukan proses Tazkiyatun nafs sehingga hati peserta didik siap untuk menerima manfaat
dan keutamaan ilmu yang dipelajarinya. Konsep Tazkiyatun nafs dan telaahnya dalam
pendidikan akhlak maka Ibnu Atha’illah merumuskannya dengan corak Tasawuf akhlaqi.
Dalam tasawuf khuluqi amali, pembahasan-pembahasan yang dipahami oleh Ibnu Atha’illah
berkaitan tentang tahap-tahap sufi atau biasa dikenal dengan istilah maqamat. Pembahasan
beliau mengenai maqam-maqam dalam ilmu tasawuf adalah tentang taubat, shabar, zuhud,
tawakal, dan ridha. Beliau juga membahas perihal ahwal yaitu khauf raja’, tawadhu’, ikhlas,
dan syukur.
73
Mucharor.
80
Peserta didik merupakan salah satu bagian dari pembelajaran. Maka dari itu peserta
didik harus dibimbing, karena peserta didik merupakan objek dan subjek yang memerlukan
bimbingan dari orang lain agar siap menjadi manusia yang kuat iman dan Islamnya serta
mempunyai akhlak yang baik kepada diri sendiri, guru dan yang lainnya. Pada saat ini
kurikulum yang ada juga mengatur bagaimana seharusnya akhlak seorang peserta didik
pembelajaran setiap bidang studi yang terdapat dalam kuriulum. Materi pembelajaran yang
berkaitan dengan norma dan nilai-nilai pada setiap bidang studi perlu dikembangkan dan
kurikulum ini lebih menekankan pada pendidikan akhlak atau biasa disebut dengan
berkepribadian muslim yang bertakwa dalam rangka menjalankan tugas kekhalifahan dan
peribadatan kepada Allah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dapat pahami
bahwasanya tujuan pendidikan akhlak adalah untuk memberikan pedoman atau penerangan
bagi manusia dan mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.Pendidikan akhlak
merupakan terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi laranganNya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia.
Sehingga melalui pendidikan akhlak seorang anak akan menjadi cerdas intelegensinya dan
emosionalnya. Begitu pula tujuan dari Tazkiyatun nafs yaitu membimbing hati senantiasa
kepada perbuatan terpuji dan menghindari perbuatan tercela untuk menjadi insan kamil yang
dekat dengan Allah. Jika peneliti perhatikan, tampak ada relevansi secara teori antara
Tazkiyatun nafs dan pendidikan akhlak peserta didik kepada pendidik di sekolah. Demikian
81
halnya dengan pedidikan akhlak, dapat terlihat bahwasanya dalam pendidikan akhlak juga
relevan. Akan tetapi dalam prakteknya pendidikan akhlak di Indonesia sangatlah kurang.
Terlihat jelas bahwa banyak kasus pada peserta didik yang terdapat di masyarakat, media
sosial, artikel, majalah, Koran dan sebagainya, dimana peserta didik melakukan perbuatan-
perbuatan yang tidak seharusnya ia lakukan sebagai peserta didik kepada pendidik. Peneliti
melihat bahwasanya banyak terdapat kasus peserta didik berani kepada guru, melawan kepada
guru, berkata-kata kasar, tidak menghargai guru seperti tidur saat guru menjelaskan dan
berjalan-jalan dikelas saat guru menjelaskan pelajaran dan sebagainya. Bahkan jika kita lihat
secara langsung kepada lingkungan sekeliling kita juga terdapat perbuatan-perbuatan peserta
didik yang tidak baik seperti tidak menyapa guru atau kurang memiliki adab kepada guru.
akhlak buruk peserta didik, disisi lainnya peserta didik pada saat sekarang ini hanya
hubungannya dengan guru dan membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela agar
mendapatkan keberkahan dalam menuntut ilmu yang diperoleh dari guru tersebut. Pendidikan
akhlak seharusnya bukan sekedar untuk menghafal namun merupakan upaya proses
tazkiyatun nafs, Ibnu Atha’illah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa nilai-nilai
pendidikan yang terkandung di dalamnya antara lain, taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha,
amal, memohon hanya kepada Allah Swt, menanamkan sifat ikhlas, dan memiliki rasa
82
menerangkannya dengan empat hal yaitu: Pertama, Senantiasa membaca Al-Qur’an dan
berdzikir kepada Allah. Kedua, Sedikit berbicara. Ketiga, Khalwah, bermunajat kepada Allah
Demikian pemikiran dan penjelasan dari Ibnu Atha’illah tentang cara menyucikan
jiwa yang sebelumnya sudah dikotori dengan kotoran-kotoran jiwa, namun pada prakteknya
diperlukan adanya semangat dan usaha yang kuat dalam keistiqamahan dalam
menjalankannya. Hal ini dikarenakan meniti sebuah jalan menuju Allah memerlukan i’tiqat
yang sangat kuat dan yakin dengan keyakinannya. Sehingga seseorang yang manapaki jalan
tasawuf dapat benar-benar sungguh-sungguh dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari rangkaian pembahasan sebelumnya, maka penelitian ini dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Konsep pemikiran pendidikan akhlak dengan metode tazkiyatun nafs perspektif Ibnu
membina akhlak yang mulia yaitu dengan membersihkan atau menyucikan terlebih
83
dahulu hati dan jiwa manusia yang kemudian manusia tersebut akan menjadi bersih
kembali yang sebelumnya memiliki banyak dosa dan masih di jalan yang salah akan
kembali dengan taubat yang sebenar-benarnya kemudia kembali ke jalan yang benar
sehingga kedepannya membiasakan kebiasaan yang baik dengan akhlak yang telah
terbina dengan baik dan akan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Dan akan mengerti
2. Relevansi konsep tazkiyatun nafs terhadap pendidikan akhlak di sekolah menurut Ibnu
Atha’illah saat ini tidak jauh berbeda yakni sama-sama berorientasi kepada akhirat dan
dunia, akan tetapi dalam pendidikan akhlak di sekolah yang terlihat hanya secara nilai
zahir saja seperti prestasi-prestasi pendidikan yang ada, belum terlihat baik secara
batinnya yaitu secara akhlak mulia yang bermuara kepada ketaatan kepada Allah Swt.
Maka dalam hal ini Ibnu Atha’illah menekankan pembinaan akhlak dengan metode
tazkiyatun nafs yang akan menjadikan manusia menjadi terbina secara akhlak dan
semakin dekat dengan Tuhan-Nya dengan terbiasa melakukan segala sesuatu dengan
B. Saran
Penulis ingin menyarankan kepada segenap pihak yang berkaitan dengan pendidikan
di Indonesia khususnya dalam penguatan program Pendidikan Akhlak, untuk menjadikan Al-
Hikam ini sebagai salah satu rujukan dalam membentuk karakter bangsa. Sebab, kitab ini
sangat relevan dengan metode pendidikan akhlak saat ini. Selain itu, dimensi tasawuf yang
terdapat dalam kitab tersebut menjadikan nilai lebih dalam menanamkan nilai-nilai
pendidikan akhlak. Menurut hemat penulis, dalam membentuk sebuah karakter harus
84
ditanamkan dalam jiwanya sehingga karakter yang telah terbentuk tidak akan berubah.
Penanaman dalam jiwa ini bisa terjadi jikalau dimasukkan nilai tasawuf di dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
85
Pendidikan Sufistik dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia (Telaah
Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah).” Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
2016.
Dewantara, Ki Hajar. Bagian I : Pendidikan. Ke-4. Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa,
2011.
Djayadin, Chairunnisa, dan Fathurrahman Fathurrahman. “Teori Humanisme sebagai Dasar
Etika Religius (Perspektif Ibnu Athā’illah Al-Sakandarī).” Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil
Penelitian 15 (2020): 28. https://doi.org/10.31332/ai.v0i0.1788.
Fahrudin. “Tasawuf Upaya Tazkiyatun Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan.”
Jurnal Pendidikan Agama Islam - Ta’lim 12, no. 2 (2014): 127–45.
Fathuddin, Muhammad Habib, dan Fachrur Razi Amir. “Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab Madarijus Shalikin Serta Implikasinya Terhadap
Pendidikan.” Ta’dibi 5, no. 2 (2016): 117–27.
Ghazali, Abdul Moqsith. “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap
Kitab Al-Hikam Al-Atha iyah.” Tashwirul Afkar, no. 32 (2013).
Hamim, Nur. “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-
Ghazali.” Ulumuna 18, no. 1 (2017): 21–40. https://doi.org/10.20414/ujis.v18i1.151.
Hannan. “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah.” Univeersitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2016.
Hasballah, Zamaksyari, Rijal Sabri, dan Abu Nasir. “Konsep Tazkiyatun Nafs (Studi Pendidikan
Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams 7-10).” Sabilarrasyad III, no. 02 (2018): 38–52.
Humaini. “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan
pendidikan islam.” Universitas Islam Negeri Malang, 2008.
Hutami, Hoyyu Setia. “Konsep Tazkiyatun Nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi
Dalam Membentuk Kepribadian Muslim.” Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,
2019.
Ishari, Nurhafid, dan Ahmad Fauzan. “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-
Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu Atha’ilah As-Sakandari.” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1
(2017): 66–79.
Laili, Setianing Nur. “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu
Athaillah,” 2020.
Ma’zumi, Ma’zumi, Syihabudin Syihabudin, dan Najmudin Najmudin. “Pendidikan Dalam
Perspektif Al-Qur’an Dan Al-Sunnah : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib
dan Tazkiyah.” TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education 6, no. 2 (2019): 193–
209. https://doi.org/10.17509/t.v6i2.21273.
Madani, Mohamad Thoyyib. “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif
Syaikh Ibnu ‘Athă Illah al-Sakandari Dalam Kitab al-Hikam,” 2012, 1–22.
Mucharor. “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-
Syukandari,” 2014, 105.
Ni’mah, Ulin. “Konsep Tazkiyatun Nafs Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Karakter Pada
86
Kurikulum 2013 (Telaah Buku Ihya’ ’Ulum Ad-Din Karya Imam Al-Ghazali),” 2018.
Nurcahyono, Yulianto. “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh
Ibnu Athaillah as-Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2017.” Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2021.
Rika, Fahrudin, dan Elan Sumarna. “Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah.” Taklim: Jurnal
Pendidikan Agama Islam 18, no. 1 (2020): 23–36.
Rozi, Fathur. “Ibnu Athaillah DanPenafsiran Esoteric: Urgensitas Pemikiran Ibnu Athai’illah As-
Sakandari dalam Nuansa Sufistik.” Syria Studies 7, no. 1 (2015), 37.
Salsabila, Krida, dan Anis Husni Firdaus. “Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil
Bangkalan.” Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018): 39.
https://doi.org/10.36667/jppi.v6i1.153.
Samsu. Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods,
serta Research Development). Diedit oleh Rusmini. Jambi: Pustaka Jambi, 2017.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Ke-19. Bandung: Alfabeta,
2013.
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
1990.
Zulfatmi. “Al-Nafs dalam Al-Qur’an (Analisis Terma al-Nafs sebagai Dimensi Psikis Manusia).”
Mudarrisuna 10, no. 2 (2020): 40–57.
Zulkifli, dan Jamaluddin. Akhlak Tasawuf. Diedit oleh Madona Khairunisa. Ke-1. Yogyakarta:
Kalimedia, 2018.
Ismail Bin Katsir Al-Bashri, Tafsir Ibu Katsir, Vol. 6 (Maktabah Syamelah, V. 3.1), hal. 391.
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Bara Van Hoeve. 1994), 342.
Victor Danner, Mistisisme Ibnu Atha‟illah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),1.
Mustafa Bisri, Al-hikam Rampai Hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D,
(Bandung : Alfabeta, 2015), hal. 308
87
CURRICULUM VITAE
Agung Prayogo, atau akrab disapa Agung, lahir di Magetan, 09 September 2000.
Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Salimin dan Ibu Tuminem. Menempuh
pendidikan di SDN 02 Temboro tahun 2006-2013, SMP 1 Muhammadiyah Magetan tahun 2013-
Muhammadiyah Fakultas Agama Islam, serta akif di ortom Tapak Suci di Pimda Magetan .
Karena sejatinya kesempurnaan hanya milik Sang Maha Pencipta, maka penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran mengenai skripsi ini, yang dapat disampaikan kepada penulis di
88