Anda di halaman 1dari 88

KONSEP TAZKIYATUN NAFS SEBAGAI METODE DALAM

PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBNU ATHA’ILLAH

Diajukan

Kepada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo

Oleh:

AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2022
KONSEP TAZKIYATUN NAFS SEBAGAI METODE DALAM
PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBNU ATHA’ILLAH

SKRIPSI

SKRIPSI
Diajukan
Kepada Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan
Pada Program Studi (S-1) Pendidikan Agama Islam

Oleh:
AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192

Pembimbing
1. Ayok Ariyanto, M.Pd.I
2. Nurul Abidin, M. Ed

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO
2022

ii
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS
AGAMA ISLAM

Jl. Budi Utomo No. 10 Ponorogo 63471 Jawa Timur Indonesia


Telp (0352) 481124, Fax. (0352) 461796, e-mail :
akademik@umpo.ac.id
Website: www.umpo.ac.id
Akreditasi Institusi B oleh BAN PT
(SK Nomor : 77/SK/BAN-PT/ Ak-PPJ/PT/IV/2020

PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di dalam sidang Ujian Munaqasyah
Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo pada:
Hari : Jum’at
Tanggal : 05 Agustus 2022
Dan Sidang telah menerima sebagai pelengkap tugas dan salah satu syarat
Ujian Akhir Program Strata Satu (S-1) guna memperoleh gelar Sarjana
Pendidikan (S.Pd) pada fakultas Agam Islam Universitas Muhammadiyah
Ponorogo.
Maka dengan ini kami syahkan hasil sidang Ujian Munaqasyah di atas.
Ponorogo, 05 Agustus 2022
Dekan

Dr. Ayok Ariyanto, M.Pd.I


NIDN. 0726058801

Sidang Ujian Munaqasyah:


1. Penguji 1 : Dr. Nuraini, M.Pd.I ( )
NIDN : 0717118303

2. Penguji 2 : Dr. Anip Dwi Saputro, M.Pd ( )


NIDN : 0227078403

iii
NOTA PERSETUJUAN MUNAQASYAH
Hal: Persetujuan Munaqasyah
Kepada:
Yth. Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
di – Ponorogo
Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.
Setelah secara cermat kami baca/teliti kembali, dan telah diadakan
perbaikan/penyempurnaan sesuai dari arahan kami, maka kami berpendapat bahwa
Skripsi Saudara:
Nama : Agung Prayogo
NIM : 18112192
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : Konsep Tazkiyatun nafs Sebagai Metode Dalam Pendidikan Akhlak
Perspektif Ibnu Atha’illah
Telah memenuhi syarat untuk diajukan dalam sidang Ujian Munaqasyah Skripsi Fakultas
Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Untuk itu kami mengharapkan agar
dapat segera dimunaqasyahkan.
Demikian dan atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.
Ponorogo, 15 DzulHijjah 1443 H

Ponorogo, 15 Juli 2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ayok Ariyanto, M.Pd.I Nurul Abidin, M. Ed


NIDN. 0726058801 NIDN. 0731038402

iv
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS
AGAMA ISLAM

Jl. Budi Utomo No. 10 Ponorogo 63471 Jawa Timur Indonesia


Telp (0352) 481124, Fax. (0352) 461796, e-mail : akademik@umpo.ac.id
Website: www.umpo.ac.id
Akreditasi Institusi B oleh BAN PT
(SK Nomor : 77/SK/BAN-PT/Ak-PPJ/PT/IV/2020

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI


1. Nama Mahasiswa : Agung Prayogo
2. NIM : 18112192
3. Program Studi : Pendidikan Agama Islam
4. Judul Skripsi : Konsep Tazkiyatun nafs Sebagai Metode Dalam
Pendidikan Akhlak Perspektif Ibnu Atha’illah
5. Pembimbing I : Ayok Ariyanto, M.Pd.I
6. Pembimbing II : Nurul Abidin, M.Ed
7. Daftar Konsultasi
Tanggal Paraf Pembimbing Keterangan
I II
03 Maret 2022 Pengajuan Bab I, II, III
22 Maret 2022 Revisi Bab I, II, dan III
20 April 2022 Revisi Bab I, II dan II
31 Mei 2022 Pengesahan Bab I, II, III
06 Juni 2022 Pengajuan Bab IV
20 Maret 2022 Revisi Bab IV
27 Juni 2022 Pengajuan Bab V
11 Juli 2022 Revisi Bab V
15 Juli 2022 Pengesahan Bab I, II, III, IV, dan V

8. Tanggal Penyelesaian Penulisan Skripsi : 15 Juli 2022


9. Tanggal Selesai Bimbingan : 15 Juli 2022
Ponorogo, 15 Juli 2022

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ayok Ariyanto, M.Pd.I Nurul Abidin, M. Ed


NIDN. 0726058801 NIDN. 0731038402

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS

v
AGAMA ISLAM

Jl. Budi Utomo No. 10 Ponorogo 63471 Jawa Timur Indonesia


Telp (0352) 481124, Fax. (0352) 461796, e-mail : akademik@umpo.ac.id
Website: www.umpo.ac.id
Akreditasi Institusi B oleh BAN PT
(SK Nomor : 77/SK/BAN-PT/Ak-PPJ/PT/IV/2020

NOTA PERBAIKAN SKRIPSI


Hal: Perbaikan Skripsi
Kepada:
Yth. Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Ponorogo
di - Ponorogo

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Setelah kami baca dan teliti kembali Skripsi saudara:
Nama : AGUNG PRAYOGO
NIM : 18112192
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi :

“Konsep Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan Akhlak Perspektif


Ibnu Atha’illah”

Telah diperbaiki dan disempurnakan sesuai arahan penguji pada sidang Munaqasyah yang
dilaksanakan pada tanggal 27 Juli 2022.
Dengan demikian, kami harap agar dapat segera disyahkan sebagaimana mestinya.
Demikian dan atas perhatiannya diucapkan terimakasih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ponorogo, 07 Muharram 1444 H


05 Agustus 2022 M

Penguji I, Penguji II,

Dr. Nuraini, M.Pd.I Dr. Anip Dwi Saputro, M.Pd


NIDN. 0717118303 NIDN. 0227078403

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO FAKULTAS

vi
AGAMA ISLAM

Jl. Budi Utomo No. 10 Ponorogo 63471 Jawa Timur Indonesia


Telp (0352) 481124, Fax. (0352) 461796, e-mail : akademik@umpo.ac.id
Website: www.umpo.ac.id
Akreditasi Institusi B oleh BAN PT
(SK Nomor : 77/SK/BAN-PT/Ak-PPJ/PT/IV/2020

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI


Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : AGUNG PRAYOGO
NIM : 18112192
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa “SKRIPSI” yang saya buat untuk memenuhi persyaratan kelulusan
pada Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Ponorogo, dengan judul:
“Konsep Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan Akhlak Perspektif
Ibnu Atha’illah”

Adalah hasil karya saya sendiri, bukan “Duplikasi” karya orang lain. Selanjutnya apabila
dikemudian hari ada “Klaim” dari pihak lain, bukan menjadi tanggungjawab Dosen
Pembimbing atau Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo, tetapi
menjadi tanggung jawab saya sendiri.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari
siapapun.

Ponorogo, 28 Juli 2022

Hormat Saya,

AGUNG PRAYOGO
NIM. 18112192

vii
MOTTO

“Cobaan hidupmu bukanlah untuk menguji kekuatan dirimu. Tapi menakar

seberapa besar kesungguhanmu untuk dekat dengan Tuhanmu”

viii
PERSEMBAHAN

Ibunda dan Ayahanda Tercinta Sebagai tanda bakti, hormat, dan rasa

terima kasih yang tiada terhingga kupersembahkan karya kecil ini kepada Ibu dan

Ayah yang telah memberikan kasih sayang, segala dukungan, dan cinta kasih yang

tiada terhingga yang tiada mungkin dapat kubalas hanya dengan selembar kertas

yang bertuliskan kata cinta dalam kata persembahan. Semoga ini menjadi langkah

awal untuk membuat Ibu dan Ayah bahagia karena kusadar, selama ini belum bisa

berbuat yang lebih.

Untuk Ibu dan Ayah yang selalu membuatku termotivasi dan selalu

menyirami kasih sayang, selalu mendoakanku, selalu menasehatiku menjadi lebih

baik. Terima kasih Ibu..Terimah kasih Ayah atas semua yang telah engkau

berikan semoga diberi kesehatan dan panjang umur agar dapat menemani langkah

kecilku menuju kesuksesan.

ix
ABSTRAK

Agung Prayogo, 2022. Konsep Tazkiyatun nafs Sebagai Metode Dalam


Pendidikan Akhlak Perspektif Ibnu Atha’illah. Skripsi Program S1 Jurusan
Pendidikan Agama Islam. Pembimbing (I) Dr. Ayok Ariyanto, M. Pd.I dan
pembimbing (II) Nurul Abidim, M. Ed.

Kata kunci: Tazkiyatun nafs, Pendidikan akhlak, Ibnu Atha’illah.

Pendidikan akhlak di era sekarang harus kembali diprioritaskan


dengan baik, melihat kurangnya akhlak yang dimiliki oleh generasi muda.
Maka dibutuhkan pembinaan akhlak dengan proses tazkiyatun nafs
melalui takiyatun nafs ini, para generasi muda akan lebih mudah untuk
diarahkan dalam proses pembinaan akhlak. Tujuan dari tazkiyatun nafs ini
adalah untuk memurnikan jiwa seseorang dalam menapaki jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang mana akan selaras dengan Tujuan
pendidikan akhlak untuk membentuk pribadi yang taat kepada Allah dan
juga memiliki akhlak yang mulia.
Penelitian ini bertujuan mengetahui konsep tazkiyatun nafs sebagai
metode dalam pendidikan akhlak menurut Ibnu Atha’illah dan mengetahui
relevansi konsep tazkiyatun nafs dalam pendidikan akhlak di sekolah. Jenis
penelitian ini adalah penelitian library research, dimana pendekatan yang
dilakukan dalam penelitian ini bersifat filosofis yang mana merupakan
pencarian atas hakikat sesuatu, serta mengupayakan keselarasan antara
sebab dan akibat sehingga memungkinkan untuk memecahkan masalah
yang aktual dengan mengumpulkan data, menyusun atau
mengklasifikasikan, dan menganalisis untuk memperoleh suatu
kesimpulan.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan: (1) konsep tazkiyatun nafs
dalam pendidikan akhlak menurut Ibnu Atha’illah, bertujuan untuk
mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang sempurna kehidupan dunia
dan akhirat dengan membentuk pribadi yang berakhlak mulia, (2) dari
konsep tazkiyatun nafs yang ditawarkan oleh Ibnu Atha’illah tersebut
selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-
Undang No.20 tahun 2003 Pasal 3 yang berbunyi “Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

x
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Yang
mana tujuannya juga mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadikan
manusia berakhlak mulia.

ABSTRACT

Agung Prayogo, 2022. The Concept of Tazkiyatun nafs as a Method in


Moral Education From Perspective of Ibn Atha'illah's . S1 Program Thesis
of Islamic Religious Education Department. Supervisor (I) Dr. Ayok
Ariyanto, M. Pd.I and supervisor (II) Nurul Abidim, M. Ed.

Keywords: Tazkiyatun nafs, Moral education, Ibn Atha'illah.

Moral education in the current era must again be prioritized


properly, seeing the lack of morals possessed by the younger generation
now, especially in the application and also the process of moral
development carried out. So it is very necessary before moral development
is the process of tazkiyatun nafs or purification of the soul, by knowing,
learning, and also practicing this takiyatun nafs, the younger generation
will be easier to be directed in the process of moral development carried
out both in the school, family, and environment. general public. The
purpose of this tazkiyatun nafs is to purify one's soul in treading the path to
get closer to Allah which will be in line with the goal of moral education
to form a person who is obedient to Allah and also has noble character.
This study aims to determine the concept of tazkiyatun nafs as a
method in moral education according to Ibn Atha'illah and to know the
relevance of the concept of tazkiyatun nafs in moral education in schools.
This type of research is library research, where the approach taken in this
research is philosophical which is a search for the nature of things, and
seeks harmony between cause and effect so that it is possible to solve
actual problems by collecting data, compiling or classifying, and analyzing
for reach a conclusion.
From this study it can be concluded: (1) the concept of tazkiyatun nafs in
moral education according to Ibn Atha'illah, aims to achieve perfection and
perfect happiness in the life of the world and the hereafter by forming a person
with noble character, (2) from the concept of tazkiyatun nafs offered by Ibnu
Atha'illah is in line with the goals of national education as stated in Law No. 20
of 2003 Article 3 which reads "National education functions to develop
capabilities and shape the character and civilization of a dignified nation in the
context of educating the nation's life, aiming to develop the potential of
participants to become human beings who believe and fear God Almighty, have
noble character, are healthy, knowledgeable, capable, creative, independent, and

xi
become democratic and responsible citizens. The goal is also to get closer to God
and make humans have noble character.

KATA PENGANTAR

Segala Puji dan syukur kepada Allah Swt. Yang telah memberikan rahmat

dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah berupa

skripsi ini.

Shalawat beserta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi

Muhammad Saw. beserta segenap keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Dialah

sang revolusioner sejati utusan Allah sebagai rahmat bagi semesta alam.

Merupakan suatu kebahagiaan dan rasa syukur bagi peneliti dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Konsep Tazkiyatun nafs Sebagai Metode Dalam

Pendidikan Akhlak Perspektif Ibnu Atha’illah” sebagai salah satu persyaratan

guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada program studi Pendidikan

Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Proses penelitian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak. Oleh

karenanya, peneliti ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya disertai

ucapan terimakasih kepada :

1. Dr. Happy Susanto M.A selaku Rektor Universitas Muhammadiyah

Ponorogo.

2. Dr. Ayok Ariyanto, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Ponorogo sekaligus selaku Dosen

Pembimbing I.

xii
3. Aldo Redho Syam, M.Pd.I selaku Kaprodi Pendidikan Agama Islam

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

4. Nurul Abidin, M. Ed selaku Dosen Pembimbing II dalam penyelesaian

skripsi ini.

5. Sigit Dwi Laksana, M.Pd.I selaku Dosen Wali atas dukungan, sekaligus

motivasi, dan juga fasilitas akademik yang telah diberikan selama

menuntut ilmu di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah

Ponorogo.

6. Bapak/Ibu Dosen dan Staf di lingkungan Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Ponorogo yang telah mendidik dan

membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan pendidikan Sarjana

Strata Satu (S-1).

7. Orangtua tercinta yang selalu memberikan limpahan kasih dan sayang

yang tak terhingga, yang tidak bisa dibalas dengan apapun, dan selalu

mendo’akan serta memberikan dukungan dengan segala pengorbanan dan

keikhlasan.

Atas bimbingan, petunjuk dan dorongan tersebut peneliti hanya

dapat berdo’a dan memohon kepada Allah SWT semoga amal dan jerih

payah mereka menjadi amal soleh di sisi Allah SWT.

Akhirnya peneliti tetap berharap semoga penyusunan skripsi ini

menjadi butir-butir amalan dan bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi seluruh pembaca.

Peneliti,

xiii
Agung Prayogo

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i

HALAMAN JUDUL ................................................................................... ii

PENGESAHAN........................................................................................... iii

HALAMAN NOTA PERSETUJUAN MUNAQOSYAH .......................... iv

BERITA ACARA BIMBINGAN SKRIPSI ............................................... v

NOTA PERBAIKAN SKRIPSI................................................................... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI........................................ vii

MOTTO....................................................................................................... viii

PERSEMBAHAN ....................................................................................... ix

ABSTRAK .................................................................................................. x

KATA PENGANTAR ................................................................................ xii

DAFTAR ISI ............................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah............................................................................ 9

C. Tujuan Masalah................................................................................ 9

D. Manfaat Penelitian........................................................................... 10

xiv
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10

F. Metode Penelitian ........................................................................... 11

G. Penegasan Istilah.............................................................................. 17

H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 18

BAB II BIOGRAFI IBNU ATHA’ILLAH.................................................. 20

A. Biografi........................................................................................... 20

B. Karya-karya Ibnu Atha’illah........................................................... 24

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TAZKIYATUN

NAFS SEBAGAI METODE DALAM PENDIDIKAN AKHLAK............ 25

A. Pengertian Tazkiyatun Nafs.............................................................. 25

B. Pendidikan Akhlak .......................................................................... 31

C. Sumber Pendidikan Akhlak.............................................................. 34

D. Tujuan Pendidikan Akhlak............................................................... 39

BAB IV PEMIKIRAN IBNU ATHA’ILLAH TENTANG KONSEP

TAZKIYATUN NAFS SEBAGAI METODE DALAM PENDIDIKAN

AKHLAK ..................................................................................................... 42

A. Konsep Tazkiyatun nafs................................................................... 43

B. Analisis Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan

Akhlak.............................................................................................. 66

C. Relevansi Konsep Tazkiyatun nafs Terhadap Pendidikan Akhlak di

Sekolah ............................................................................................ 76

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 81

xv
A. Kesimpulan ..................................................................................... 81

B. Saran ................................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 83

CURRICULUM VITAE ............................................................................. 86

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada umat

manusia dengan membawa berbagai manfaat kemaslahatan bagi umat manusia baik di

kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat kelak, di dalam agama Islam mempunyai

berbagai macam isi yang terkandung dalam beberapa aspek pokok antara lain Akidah,

Syariat, dan Hakikat. Salah satu risalah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul adalah

menyucikan jiwa umat manusia. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Surat As-syams

ayat 9–10:

َ َ‫د خ‬Zْ َ‫قَ ْد اَ ْفلَ َح َم ْن َز ٰ ّكىهَ ۖا َوق‬


‫اب َم ْن َد ٰ ّسىهَ ۗا‬
Artinya: “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh
rugi orang yang mengotorinya.”

Ayat di atas sudah menjelaskan bahwa tazkiyatun nafs atau menyucikan jiwa

merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan umat manusia. Buah dari sucinya

jiwa manusia adalah dengan melihat aktivitas kesehariannya dan juga perilaku atau akhlak

yang baik yang akan menentukan perbuatan-perbuatan yang baik. Hal ini menjadi sangat

penting karena jika jiwa kita semakin baik maka akan semakin baik pula akhlak kita dan

akan menjauhkan kita dari perbuatan-perbuatan yang buruk yang mencerminkan akhlak

yang tidak baik. Pada hakikatnya yang paling tau tentang jiwa atau hati kita adalah kita

sendiri sehingga kitalah yang menentukannya baik atau buruknya hati kita.1

Kajian ilmu tasawuf pembahasan tentang jiwa atau penyucian jiwa di kenal

dengan tazkiyatun nafs. Jika bicara tentang ilmu tasawuf maka akan sangat erat kaitannya
1
Mohamad Thoyyib Madani, “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif Syaikh Ibnu
‘Athă Illah al-Sakandari Dalam Kitab al-Hikam,” 2012, 1–22.

17
dengan hati atau jiwa manusia, karena pada intinya objek dari ilmu tasawuf adalah hati serta

panca indra yang ditinjau dari penyuciannya. Hati memegang peranan yang sangat penting

dalam kehidupan manusia dalam menentukan baik atau buruknya perbuatan manusia

tersebut. Hal ini sejalan dengan sebuah hadits yang disabdakan Rasulullah SAW: “Ingatlah

bahwa di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik maka baiklah seluruh

perbuatannya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh perbuatannya. Ingatlah ia itu

adalah hati”.2

Rasulullah juga menjelaskan kepada para sahabatnya, bahwa: “Allah tidak

melihat seseorang itu kepada jasad dan bentuk tubuhnya, melainkan Allah melihat apa yang

ada dalam hatinya”.3 Dapat kita pahami bersama berdasarkan dengan dua hadits di atas

bahwasanya sangat amat penting peranan hati dan pentingnya belajar ilmu tasawuf yang

dimana muaranya adalah untuk membersihkan hati kita dari berbagai macam penyakit hati

yang ada dalam diri manusia sehingga kita akan semakin mudah dalam menjalankan setiap

kebaikan sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.4

Manusia yang pada hakikatnya adalah makhluk yang dikenal memiliki dua

dimensi yang dalam tabiat, potensi, dan dalam kecenderungan arahnya. Ini merupakan

sebuah ciri dari penciptaanya sebagai makhluk yang tercipta dari tanah dan ruh dari Allah

SWT, yang menjadikan manusia memiliki potensi yang sama dalam hal kebaikan dan

keburukan. Manusia mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, kemudian

manusia mampu mengarahkan dirinya antara memilih jalan kebaikan atau jalan yang buruk.5

2
Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
3
Hadits Riwayat Bukhari.
4
Hayu A’la Aslami, “Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali,”
2016, 87.
5
Hoyyu Setia Hutami, “Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi Dalam
Membentuk Kepribadian Muslim” (Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2019).

18
Perjalanan hidup manusia memerlukan sebuah tuntunan dalam membimbing

manusia mengarungi kehidupannya yang dimana fokusnya adalah bagaimana membina

keimanan, keislaman, dan juga keihsanan seseorang. Berangkat dari hal tersebut maka harus

dipersiapkan sebuah wadah rohani yang baik, disinilah letak penting peran jiwa atau hati

manusia karena dalam jiwa manusia memiliki eksistensi terdalam yang dibutuhkan manusia

dalam memenui konsumsi spiritual yang memiki tujuan untuk mengembangkan jiwa yang

sehat dan juga jiwa yang bersih. Hal ini disebabkan dalam mendidik seorang muslim tidak

akan bisa maksimal jika tidak mampu menemukan pendidikan jiwa yang tujuannya adalah

membersihkan jiwa manusia tersebut dalam meraih kesucian dan kemuliaan jiwa. Maka

kembali lagi diperlukan penyujian jiwa atau yang biasa dikenal dengan Tazkiyatun Nafz.6

Tazkiyatun nafs yang memiliki arti penyucian jiwa. Kata Nafz merupakan kata

yang memiliki banyak makna atau dikenal dengan lafadz musytrak dan harus dipahami

sesuai dengan penggunaan kata tersebut. Makna dari kata Nafs antara lain: 1) jiwa atau

sesuatu yang memiliki eksistensi atau hakikat. Kata Nafs dalam arti ini berarti tubuh dan ruh,

2) nyawa yang memicu kehidupan, jika nyawa tersebut hilang, maka kematianpun akan

datang, 3) diri atau suatu tempat yang dimana terdapat hati yang ada di dalamnya. Dalam

artian ini Nafs memiliki makna yang dinisbatkan kepada Allah dan juga manusia, 4) sifat

yang ada dalam diri manusia yang memiliki kecenderungan pada kebaikan dan kejahatan,

dan 5) sifat pada diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang ditinggalkannya ketika

tertidur.7

Tazkiyah memiliki arti yakni proses yang bertujuan untuk mempebaiki diri

manusia dengan tujuan menjadi pribadi yang baik, islami, dan juga pribadi yang baik dari

6
Hutami.
7
Zulfatmi, “Al-Nafs dalam Al-Qur’an (Analisis Terma al-Nafs sebagai Dimensi Psikis Manusia),”
Mudarrisuna 10, no. 2 (2020): 40–57.

19
segi keimanan dan keihsanan dalam agama Islam. Proses yang dimaksud disini adalah

bagaimana memperbaiki diri seseorang dari tingkatan yang rendah menuju tingkatan yang

lebih tinggi dalam hal memperbaiki akhlak atau perilaku, kepribadian, karakter, dan sifat

manusia. Proses tersebut akan berjalan baik jika seseorang selalu melakukan tazkiyah dalam

kehidupannya.

Manusia memiliki dua akhlak atau sikap yang ada dalam dirinya yaitu akhlak

yang baik (mahmudah) dan akhlak yang buruk (madzmumah). Seorang manusia yang

mempunyai akhlak yang baik akan senantiasa membiasakan dirinya bersih dari kotoran-

kotoran jiwa. Yang dimaksud kotoran dalam jiwanya adalah segala hal yang mengotori

akidah dan keimanannya kepada Allah SWT. Manusia yang berakhlak baik akan

membersihkan kotoran tersebut dengan bertaubat, mendekatkan diri kepada Allah,

intropeksi diri dan juga bersungguh-sungguh dalam menggapai keridhaan Allah SWT.

Demikian pula sebaliknya manusia yang memiliki akhlak buruk yang akan mencampuri

jiwanya dengan kotoran-kotoran yang merusak akidahnya dengan kemusyrikan, sunnah

dengan perbuatan bid’ah, keikhlasan dengan sifat riya’nya, dan juga imannya dengan

kedzaliman yang dia lakukan sehingga dapat merusak hati dan jiwanya sebagai seorang

muslim.8

Uraian di atas bahwa bentuk upaya dalam membersihkan hati manusia bisa

dicapai dengan melakukan amalan-amalan yang baik serta dengan senantiasa menjaga

ibadah dengan baik dan menggunakan dasar yang benar menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah

yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hal ini tazkiyah dapat membedakan

antara kebenaran dalam berbuat kebaikan ataupun perbuatan yang tidak baik seperti

8
Ma’zumi Ma’zumi, Syihabudin Syihabudin, dan Najmudin Najmudin, “Pendidikan Dalam Perspektif Al-
Qur’an Dan Al-Sunnah : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib dan Tazkiyah,” TARBAWY :
Indonesian Journal of Islamic Education 6, no. 2 (2019), 193–209.

20
membedakan antara manusia dan binatang. Karena tazkiyatun nafs merupakan proses untuk

mensucikan hati dan jiwa manusia dari hal-hal syahwat yang merugikan bagi dirinya. Dalam

kehidupan seorang muslim sebelum memahami ajaran agama diperlukan penyucian jiwa dan

hati bagi setiap muslim agar dalam menerima setiap ilmu akan senantiasa diterima dengan

baik serta menjadikan sebuah amalan yang baik pula serta sebagai jalan untuk mendekatkan

diri kepada Allah. Penyucian jiwa ini menjadi suatu masalah yang penting dalam kehidupan

umat Islam. Salah satu tujuan Rasulullah di utus adalah untuk memberikan tuntunan atau

contoh tentang penyucian jiwa agar selamat dengan kebaikan.

Pendidikan akhlak yang baik, jika dikaitkan dengan tazkiyatun nafs maka akan

menemukan proses menuju pendidikan akhlak yang baik. Sebagaimana kita tahu seorang

muslim diperintahkan untuk mencontoh suri tauladan dari sosok yang ideal untuk dicontoh

akhlaknya yakni beliau Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari.9 Maka

barangsiapa yang bersungguh-sungguh mencontoh akhlak beliau maka akan diberikan

keselamatan dalam kehidupannya baik di dunia maupun di akhirat. Karena pada hakikatnya

gerakan dakwah kenabian juga membentuk dan mengarahkan dalam moral kemanusiaan

yang membentuk manusia yang baik, berdasar dengan norma-norma untuk mencari

kehidupan spiritual religius dalam kehidupan sehari-harinya.

Pendidikan karakter di era sekarang masih sering diabaikan dalam membentuk

akhlak yang baik. Seiring berkembangnya waktu di era globalisasi membuat banyak

manusia lupa dengan pentingnya nilai pendidikan akhlak. Hal ini sangat mengkhawatirkan

jika dibiarkan begitu saja karena akan menjadi salah satu penyebab kerusakan dalam

kehidupan manusia, kemudian juga akan muncul beberapa problematika kehidupan seperti

9
Iqbal Asid Maududin, Abas Mansur Tamam, dan Wido Supraha, “Konsep Pendidikan Tazkiyatun nafs
Ibnul Qayyim Dalam Menangani Kenakalan Peserta Didik,” Rayah Al-Islam 5, no. 01 (2021), 140–56.

21
menurunnya ilmu pengetahuan, membuat karakter menjadi tidak baik, penyalahgunaan ilmu

dan teknologi, terjadi pendangkalan iman, menghalalkan segala cara dalam meraih sesuatu,

keilangan harga diri dan juga masa depannya.10

Kerusakan akhlak sesorang, jika diperhatikan disebabkan kurangnya iman

seseorang. Pola kehidupan yang jauh dari pendidikan akhlak serta pola hidup yang

mengutamakan materi bagi sebagian umat muslim merupakan contoh yang nyata kurangnya

iman atau dangkalnya keimanan seseorang kepada Allah SWT, yang mengakibatkan

terjadinya kerusakan tatanan kehidupan yang mulai bergeser dari norma-norma yang ada

dengan nilai-nilai baru dari perkembangan zaman. Jika mencermati masyarakat muslim di

era ini, maka kita akan menemukan tidak sedikit yang masih memiliki akhlak yang buruk

atau karakter yang buruk.

Umat muslim sebagiannya hanya menunaikan ibadah-ibadahnya saja akan tetapi

perilaku yang dilakukan oleh mereka masih suka dengan hal-hal yang kurang baik atau

malah sebagian dari mereka masih terjebak ke dalam hal-hal yang dilarang oleh agama.

Begitu juga dengan generasi muda sekarang yang mengalami degradasi moral yang buruk

hal ini ditandai dengan maraknya kasus-kasus kenakalan remaja yang ada seperti contohnya

maraknya seks bebas dan juga peredaran narkoba di kalangan remaja atau pelajar. Dari

berbagai fenomena yang ada maka pendidikan akhlak ini menjadi sangat penting untuk

dipelajari dan diterapkan diawali dengan penyucian jiwa yang tujuannya adalah

meningkatkan keimanan dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT. dan akan semakin

mendekatkan jiwanya kepada Tuhannya, kemudian manusia akan senantiasa meningkatkan


10
Ismail Bin Katsir Al-Bashri, Tafsir Ibu Katsir, Vol. 6 (Maktabah Syamelah, V. 3.1), 391.

22
komitmen dalam menunaikan ajaran-ajaran agama serta membuka hatinya untuk senantiasa

belajar ilmu yang akan melahirkan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang.11

Konsep pendidikan akhlak yang selama ini diterapkan oleh banyak lembaga

pendidikan, guru, orang tua dan juga di lingkungan masyarakat akan tetapi masih

memerlukan banyak evaluasi dan perbaikan dalam menanamkan akhlak yang baik. Hasil

dari pendidikan di era ini masih kurang berhasil dalam menanamkan akhlak yang baik

sehingga menambah buram konsep pendidikan akhlak yang diterapkan. Maka dari itu

dibutuhkan sebuah konsep yang baik dalam menata dan menanamkan nilai pendidikan

akhlak yang baik sesuai dengan kemajuan zaman. Ibnu Athaillah al-Sakandari adalah ulama

tasawuf sekaligus penulis kitab al-Hikam yang di dalamnya terdapat konsep pendidikan

akhlak yang berdasarkan ajaran Islam yang diharapkan mampu memberikan sebuah

kontribusi dalam hal pendidikan akhlak dan menjawab persoalan-persoalan sosial yang

sedang terjadi terutama di bidang pendidikan akhlak.

Berangkat dari latar belakang masalah yang terurai di atas, maka penulis

bermaksud untuk menelaah sebuah konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Athaillah.

Dengan harapan bahwa karya ilmiah ini akan bermanfaat dan mampu untuk menjawab

permasalahan yang sedang kita hadapi terkait dengan penurunan moral dan juga beberapa

hal yang melingkupinya. Dari hal tersebut penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul

yang fokus pembahasannya berkenaan dengan tazkiyatun nafs dan pendidikan akhlak

dengan judul “KONSEP TAZKIYATUN NAFS SEBAGAI METODE DALAM

PENDIDIKAN AKHLAK PERSPEKTIF IBNU ATHA’ILLAH”.

B. Rumusan Masalah

11
Nurhafid Ishari dan Ahmad Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya
Syeikh Ibnu Atha’ilah As-Sakandari,” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1 (2017): 66–79.

23
1. Bagaimana konsep tazkiyatun nafs sebagai metode dalam pendidikan akhlak menurut

Ibnu Atha’illah ?

2. Bagaimana Relevansi konsep tazkiyatun nafs terhadap pendidikan akhlak di sekolah?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui konsep tazkiyatun nafs sebagai metode dalam pendidikan akhlak

menurut Ibnu Atha’illah.

2. Untuk mengetahui relevansi dari tazkiyatun nafs terhadap pendidikan akhlak di sekolah.

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bentuk sumbangsih dalam hal pemikiran tentang tazkiyatun nafs sebagai metode

dalam pendidikan akhlak yang menggunakan konsep pemikiran Ibnu Atha’illah serta

untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.

2. Memperoleh wawasan mengenai konsep tazkiyatun nafs dalam pendidikan akhlak

menurut Ibnu Atha’illah.

3. Hasil dari penelitian tersebut akan menambah wawasan keilmuawan bagi penulis yang

berkenaan tentang ilmu Tazkiyatun nafs sebagai sebuah konsep dalam pendidikan akhlak.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini peneliti menelaah beberapa sumber berupa karya ilmiah yang

berkaitan dengan apa yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini yang penulis

harapkan adalah agar bisa memberikan sebuah gambaran tentang arah tujuan dari yang akan

peneliti paparkan dan akan terlihat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan. Berikut

karya-karya yang relevan tersebut:

24
Tesis dari Hoyyu Setia Hutami yang berjudul Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif

Surat Al-Muzammil dan Relevansi dalam Membentuk Kepribadian Muslim. Dalam tesis ini

mengkaji tentang bagaimana konsep tazkiyatun nafs menurut surat Al-Muzammil dan

relevansinya dalam membentuk kepribadian seorang muslim. Yang mana dalam karya

ilmiah tersebut bertujuan untuk menelaah sebuah konsep ilmu tazkiyatun nafs dalam surat

Al-Muzammil yang menghasilkan bentuk-bentuk pelaksanaan tazkiyatun nafs, kemudian

juga membahas tentang makna yang terkandung di dalamnya serta relevansinya dalam

membentuk kepribadian muslim yang sebenar-benarnya. Penelitian ini menggunakan

metode library research yang menggunakan buku-buku dan sumber karya ilmiah lainnya

sebagai rujukan. Dalam penelitian ini dengan kata kunci konsep tazkiyatun nafs, pendidikan

dan akhlak. Di dalam penelitian ini akan mengeluarkan esensi tazkiyatun nafs dengan

menggunakan konsep pemikiran dari Ibnu Atha’illah karena menurut penulis pemikiran Ibnu

Atha’illah yang berkaitan tentang tazkiyatun nafs dapat digunakan dalam pendidikan

akhlak.12

Pendidikan akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu

Atha’illah As-Sakandari sebuah jurnal yang ditulis oleh Nurhafid Ishari dan Ahmad Fauzan,

kajian yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sebuah fenomena di era global tentang

kurangnya nilai karakter yang mampu untuk mengendalikan diri dari pengaruh budaya yang

serba membolehkan mengiringi ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun fokus dari jurnal

ini adalah meneliti hakikat, metode dan tujuan pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam Al-

Atha’iyyah, karya dari Syaikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari. Jurnal tersebut menyimpulkan

bahwa pendidikan akhlak yang dipaparkan dalam kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah adalah

12
Hutami, “Konsep Tazkiyatun nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi Dalam Membentuk
Kepribadian Muslim.”

25
proses penanaman nilai agama dalam upaya menjadi pribadi yang dekat dan baik di sisi

Allah SWT.13

Perbedaan pada penelitian ini, peneliti menggali konsep tazkiyatun nafs dalam

pendidikan akhlak menurut pemikiran dari Ibnu Atha’illah As-Sakandari dengan cara

menelaah pemikiran beliau tentang konsep tersebut dari berbagai sumber yang penulis

temukan, sedangkan dalam penelitian sebelumnya berfokus pada pembentukan karakter

menurut kita Al-Hikam Al-Atha’iyyah.

Karya ilmiah yang ditulis oleh Fahrudin dengan judul Tasawuf Upaya Takiyatun

Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan. Dalam jurnal tersebut dipaparkan

tentang bagaimana tasawuf dengan proses tazkiyatun nafs dapat digunakan sebagai jalan

untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam penelitian tersebut disampaikan bahwa

tasawuf adalah salah satu jalan untuk membersihkan hati dari berbagai macam penyakit hati

dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji melalui mujahadah dan riyadhah. Sehingga akan

mampu merasakan kedekatan dengan Allah. Kesungguhan seseorang dalam mendekatkan

diri kepada Allah akan terbawa dalam kehidupan sehari-harinya. Maka dikatakan berhasil

seseorang dalam menerapkan ilmu tasawuf tersebut akan nampak dalam aktivitas ibadah dan

aktivitas kesehariannya dan juga bagaimana seseorang tersebut menyelesaikan masalah

masalah yang dihadapinya.14

Sebuah skripsi yang ditulis oleh Mucharor dengan judul Pendidikan Akhlak

Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Atha’illah Al-Syukandari membahas tentang

pentingnya pendidikan akhlak karena akhlak merupakan bagian penting dari agama Islam.

Dalam penelitian tersebut penulis berfokus pada bahasan pendidikan akhlak dengan sumber
13
Ahmad Fauzan, “Pendidikan akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu Atha’ilah
As-Sakandari,” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1 (2017): 66–79.
14
Fahrudin, “Tasawuf Upaya Tazkiyatun nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan,” Jurnal
Pendidikan Agama Islam - Ta’lim 12, no. 2 (2014): 127–45.

26
dari Kitab Al-Hikam dengan mempelajari biografi penulis kitab Al-Hikam, nilai-nilai

pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam, metodologi penerapan pendidikan akhlak dalam

kitab Al-Hikam, serta bagaimana implikasi nilai-nilai pendidikan akhlak. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah dengan library research yang meneliti secara

mendalam tentang kitab Al-Hikam. Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas

tentang pembahasan yang sama yakni berkaitan tentang pendidikan akhlak dengan

menggunakan kitab Al-Hikam karangan Syaikh Ibnu Atha’illah kemudian untuk

perbedaanya adalah tidak adanya pembahasan tentang tazkiyatun nafs dalam penelitian

sebelumnya.15

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode library research yang menurut

peneliti menganggap metode ini sangat relevan untuk digunakan dalam penelitian ini.

Penelitian library research atau penelitian studi pustaka yang dimana menjadikan bahan-

bahan pustaka seperti buku, majalah, dokumen-dokumen, dan materi lainnya yang

dijadikan sebagai bahan rujukan dalam proses penelitian.16

Sementara pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat filosofis.

pendekatan filosofis merupakan pencarian atas hakikat sesuatu, serta berupaya mencari

keselarasan akan sebab dan akibat dan berupaya mencari interpretasiakan pengalaman-

pengalaman manusia.

2. Sifat Penelitian

15
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari,”
2014, 105.
16
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan, ke-19 (Bandung: Alfabeta, 2013), 35.

27
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penilitian yang bersifat

deskriptif yaitu penelitian yang lebih banyak mendeskrispkan atau menjelaskan dengan

batasan-batasan sumber yang termuat di dalamnya, kemudian akan dianalisis dari sebuah

konsep atau pemikiran dari Ibnu Atha’illah secara sistematis. 17 Kemudian selanjutnya

akan menghasilkan sebuah konsep tentang judul yang dimuat yakni berkaitan tentang

teori taskiyatun nafs menurut Ibnu Atha’illah dalam konsep pendidikan akhlak.

3. Sumber Data

Sumber data merupakan salah satu bagian penting dalam penelitian ini. Apabila

tidak ada sumer data maka penelitian tidak dapat dilaksanakan. Maka dari itu, dalam

penelitian ini peneliti menggunakan sumber data berupa sumber data primer dan sumber

data sekunder.

Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan sebuah data

kepada pengumpul data. Data primer yang dimaksud adalah sebuah literatur yang peneliti

posisikan sebagai sebuah rujukan utama dalam proses membuat penelitian ini. 18 Adapun

sumber data primer dalam penelitian ini adalah Kitab Al-Hikam, Karya Ibnu Atha’illah.

Sumber data sekunder merupakan sebuah referensi yang peneliti posisikan bukan

sebagai sumber data utama dalam penelitian yang dilaksanakan, akan tetapi menjadi

referensi pendukung dan penunjang dalam proses pengumpulan data guna

menyempurnakan penelitian ini.19 Sumber data sekunder ini digunakan sesuai kebutuhan

peneliti. Adapun sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi:

1) Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu‘Athaillah As-Sakandari dalam


17
Samsu, Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta
Research Development), ed. oleh Rusmini (Jambi: Pustaka Jambi, 2017), 89.
18
Sugiyono,Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung :
Alfabeta, 2015), 308.
19
Samsu, Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta
Research Development), 90.

28
Kitabnya Al-Hikam Karya Irpan Alimudin, Selamet, dan Udung Hari Darifah.

2) Konsep Tazkiyatun nafs Ibnu Taimiyah Dalam Perspektif Pendidikan Islam Karya

Aliyah.

3) Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali Karya Hasyim Ashari.

4) Konsep Pendidikan Tazkiyatun nafs Ibnul Qayyim Dalam Menangani Kenakalan

Peserta Didik Karya Iqbal Asid Maududin, Abas Mansur Tamam, dan Wido Supraha.

5) Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali

Karya Hayu A’la Aslami.

6) Rahasia Asma Allah. Karya Ibn Athaillah

7) Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sa’id Hawwa Karya Awaliyah, Tuti, dan

Nurzaman.

8) Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang Pendidikan Sufistik dan

Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia (Telaah Kitab al-Ḥikam al-

Aṭaiyah) Karya Achmad Beadie Busyroel Basyar.

9) Bagian I : Pendidikan Karya Ki Hajar Dewantara.

10) Teori Humanisme sebagai Dasar Etika Religius (Perspektif Ibnu Athā’illah Al-

Sakandari) Karya Chairunnisa Djayadin dan Fathurrahman.

11) Tasawuf Upaya Tazkiyatun nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan

Karya Fahrudin

12) Konsep Tazkiyatun nafs Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab Madarijus

Shalikin Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan Karya Muhammad Habib

Fathuddin dan Fachrur Razi Amir.

13) Konsep Tasawuf Ibnu Atha’illah al-Sakandari dan Relevansinya dengan Konseling

29
Psikosufistik Karya Muhammad Taufiq Firdaus.

14) Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap Kitab Al-Hikam

Al-Atha iyah Karya Abdul Moqsith Ghazali.

15) Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali

Karya Nur Hamim.

16) Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D Karya

Sugiyono.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan menggunakan metode

dokumentasi. Metode dokumentasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara

mencari data yang berkaitan berupa catatan, transkip, buku, majalah, notulen rapat, surat

kabar, agenda dan sebagainya.20

Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pencarian

data dari bahan-bahan pustaka yang kemudian dijadikan bahan untuk dianalisis yang

berkaitan dengan judul yang diteliti.

G. Penegasan Istilah

Penegasan istilah ini termuat sebagai sebuah konfirmasi dari istilah-istilah yang

peneliti muat dalam pembuatan karya ilmiah skripsi ini yang bertujuan untuk menghindari

interpretasi yang keluar dari konteks yang dimaksud oleh penulis. Berikut beberapa istilah

yang akan dijabarkan oleh penulis dalam karya ilmiah skripsi ini.

1. Tazkiyatun nafs merupakan suatu proses untuk menyucikan jiwa seseorang dari segala

kotoran-kotoran jiwa untuk menyucikan dan memperbaiki jiwa tersebut. Yang dimana

20
Samsu, Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods, serta
Research Development), 100.

30
proses ini akan menjadikan manusia semakin dekat dengan Tuhannya dan akan terlihat

dalam kehidupannya bagaimana ia beraktivitas dan bergaul dengan kehidupan sosialnya.

Seseorang yang mampu melewati proses ini dengan baik akan membentuk manusia atau

pribadi yang mulia.21

2. Pendidikan adalah sebuah proses berupa daya dan upaya yang dilakukan secara bertahap

yang bertujuan membentuk budi pekerti atau karakter, pikiran atau ilmu pengetahuan

yang mana dengan mengenyam pendidikan manusisa akan menjadi lebih baik dari segi

pemikiran, pengetahuan, dan perbuatan dengan mencapai kebahagiaan yang utama.22

3. Akhlak adalah segala bentuk kehendak yang ada dalam diri manusia yang kemudian

memunculkan berbagai tindakan atau perbuatan secara spontan. Yang mana akhlak ini

bersifat terikat dan tertanam dalam hati manusia itu sendiri.23

H. Sistematika Penulisan

Penulis mengacu kepada pedoman penulisan skripsi. Yang mana dalam penelitian

ini terdiri dari lima bab, dimana antara satu bab dan bab lainnya mempunyai keterkaitan satu

sama lain yang di susun secara sistematis. Adapun sistematika penulisan dalam pembahasan

karya ilmiah skripsi ini dijabarkan sebagai berikut:

BAB I pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, penegasan istilah, dan sistematika

penelusian.

BAB II Landasan teori dan tinjauan pustaka berisi tentang teori-teori yang berkaitan

dengan konsep tazkiyatun nafs dalam pendidikan akhlak dari tokoh yang dipilih. Sedangkan

21
Aslami, “Konsep Tazkiyatun nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali.”
22
Hasyim Ashari, “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali,” Orphanet Journal of Rare
Diseases (Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020).
23
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari.”

31
tinjauan pustaka berisi beberapa hasil penelitian baik berupa jurnal ataupun skripsi dari

peneliti-peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan pendidikan akhlak.

BAB III Biografi berisi riwayat hidup Ibnu Athaillah dan karya-karyanya dari Ibnu

Athaillah.

BAB IV berisi tentang pembahasan dari pemikiran Ibnu Athaillah tentang konsep

tazkiyatun nafs yang direlevansikan dalam dunia pendidikan akhlak.

BAB V dalam bab ini berisi tentang penutup yang di dalamnya mencakup tentang

kesimpulan atas pemikiran Ibnu Atha’illah mengenai konsep tazkiyatun nafs dalam

pendidikan akhlak serta saran dari peneliti untuk peneliti selanjutnya.

BAB II

BIOGRAFI

A. Biografi Ibnu Atha’illah al-Sakandari

Memiliki nama lengkap Syaikh Abul Fadl Tajudin Ahmad bin Muhammad bin

Abdul Karim bin ‘Atha’illah al-Sakandari. Beliau lahir di Mesir sekitar tahun 657 H atau

32
1259 M, dan beliau wafat pada Jumadil Akhir di Mesir pada tahun 709 H bertepatan taun

1309 M, serta dimakamkan di Qurrafah Al-Kubra. Keluarga Ibnu Athā’illāh adalah keluarga

yang terdidik dalam lingkungan agama. Kakek beliau adalah seorang ulama fikih dan juga

sebagai pengajar serta sebagai penasehat dalam sebuah kelompok tasawuf. Di masa remajanya

Ibnu Atha’illah belajar ilmu di kota Iskandariah. Kota ini banyak terdapat ulama-ulama dalam

bidang ushul fikih, hadits, dan ilmu bahasa arab. Selain itu kota Iskandariah juga dihuni oleh

para tokoh tasawuf.24

Beliau mempelajari dan mendalami ilmu dari beberapa syekh, gurunya yang paling

dekat beliua adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Ali al-Anshari al-Mursi, murid dari Abu al-

Hasan al-Syadzili, yang merupakan pendiri tarekat al-Syadzili. Ibn Athaillah adalah seorang

ulama yang produktif, total ada dua puluh karya yang dihasilkannya, meliputi bidang tasawuf,

akidah, ushul fiqih, nahwu, hadits, dan tafsir.25 Ibnu Atha’illah juga terkenal sebagai seorang

ulama yang sangat dikagumi. Kemudian beliau juga menjadi panutan orang-orang yang

menginginkan perjalanan menuju Allah. Ibnu Atha’illah ini merupakan seorang syekh yang

ketiga di tarikat Syadzili setelah Abu Al-Hasan Asy-Syadzili yaitu sang pendiri tarikat ini dan

yang kedua adalah Abu Al-Abbas Al-Mursi. Ibnu Atha’illah adalah orang yang pertama

menghimpun nasihat, ajaran, doa dan biografi dari kedua pendahulunya tersebut, sehingga

keilmuan dari tarikat beliau akan tetap terjaga dan terpeliara.26

Di masa hidupnya hampir seluruh waktunya dihabiskan di Mesir. Pada masa hidup

beliau Mesir dikuasai oleh pemerintahan Mamluk yang mana pada masa itu pemerintahan

Mesir menjadi pusat agama dan pmerintahan dalam dunia islam di belahan timur setelah
24
Chairunnisa Djayadin dan Fathurrahman Fathurrahman, “Teori Humanisme sebagai Dasar Etika Religius
(Perspektif Ibnu Athā’illah Al-Sakandarī),” Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil Penelitian 15 (2020), 28.
25
Madani, “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif Syaikh Ibnu ‘Athă Illah al-
Sakandari Dalam Kitab al-Hikam.”
26
Fathur Rozi, “Ibnu Athaillah DanPenafsiran Esoteric: Urgensitas Pemikiran Ibnu Athai’illah As-
Sakandari dalam Nuansa Sufistik,” Syria Studies 7, no. 1 (2015), 37–72.

33
berakhirnya kekhalifahan Baghdad yang berakhir pada ahun 656 H/1258 M. Pada masa

dewasa beliaulah Bani Mamluk ini berkuasa. Mereka mengawasi bangsa Mongol, menyerang

orang-orang Isma’illiyyah, dan menarik diri dari Levant, kerajaan-kerajaan Kristen yang

sudah lama dikepung. Mereka memiliki kontibusi terhadap Islam Sunni dalam homogenitas

sifat Islam Sunni yang kemudian mengantarkan Islam kepada masa kejayaan pada bidang

artistik dan arsitektur. Yang kemudian membuat islam begitu berkembang pesat. Ibnu

Atha’illah sendiri merupakan salah satu guru di Mesir.27

Di masa awal kelahiran Ibnu Atha’illah, tidak ada sumber secara pasti yang

menceritakannya, akan tetapi bisa di ketahui bahwa beliau lahir sekitar abad pertengahan

yaitu pada abad ke-7 H sampai dengan abad ke-13 H. Ibnu Atha’illah lahir dari keluarga yang

terhormat, keluarga beliau menganut madzab Maliki dari Iskandaria. Kakek beliau adalah

orang terkenal dan terhormat dimana kakek beliau merupakan pendiri dari Bani Atha’illah

dan Ibnu Atha’illah merupakan salah satu anggota yang utama di dinasti ini dan Ibnu

Atha’illah belajar dalam halaqah keagamaan yang dimiliki oleh kakeknya tersebut. Keluarga

Ibnu Atha’illah ini mempunyai asal usul dari keturunan Judzam (al-Judzam). Judzam adalah

seseorang yang berasal dari suku arab yang bertempat tinggal di Mesir pada saat terjadinya

penyerangan awal terhadap dunia islam. Keturunan al-Judzam dalam silsilahnya

menunjukkan dari keturunan suku arab.28

Dari keluarga yang bermadzab Maliki, maka sedari kecil beliau mempelajari tentang

pemikiran dari Imam Maliki. Ibnu Atha’illah mempunyai guru-guru yang memiliki disiplin

kuat terhadap ilmu, dari ilmu hukum, ilmu bahasa, ilmu hadist, ilmu tafsir Al-Qur’an, ilmu

27
Setianing Nur Laili, “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah”
(2020).
28
Yulianto Nurcahyono, “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh Ibnu
Athaillah as-Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017” (Institut Agama Islam
Negeri Ponorogo, 2021).

34
teologi Asy’ariyah dan berbagai literatur arab lainnya dengan madzab Maliki. Dan saat itu

Ibnu Atha’illah juga bertemu dengan madzhab hambali dan juga Ibnu Taimiyah(728 H/1328

M), yang dikenal sebagai seorang ulama yang teguh menjaga purintasi agama Islam dalam

menentang para tokoh besar tasawuf, seperti halnya Ibnu Arabi. Dalam perjalananya Ibnu

Atha’illah menemui beberapa kesulitan terkait dengan personalitas para sufi di Kairo yang

menentang Ibnu Arabi, yang kemudian kondisi ini ditambah parah dengan adanya kontroversi

di bidang teologi dan politik. Pertentangan yang terjadi karena para penganut mazdab syafi’i

yang mempunyai teologi asy’ari ini bertentangan dengan para penganut mazdab hambali

yang menentang akan usaha terutama di sektor interpretasi terhadap teologi, dikarenakan para

penganut madzab hambali ini masih sedikit, maka momen ini digunakan oleh penganut

madzab syafi’i untuk menekan mereka. Kejadian pada masa itu juga diperparah dengan

adanya elit politik bani Mamluk yang memperebutkan kekuasaan. Bahkan di kalangan mereka

sudah biasa menggunakan dalil-dalil untuk memperkuat legitimasi atas apa yang mereka

inginkan.

Kondisi ini yang membuat Ibnu Atha’illah bereaksi, beliau pergi ke Citadel di Kairo

untuk menghadap kepada Ibnu Taimiyah untuk membahas peristiwa di pemerintahan waktu

itu. Akan tetapi pembahasan beliau di Citadel tidak menghasilkan apapun, yang kemudian

membuat Ibnu Atha’illah merasa kurang puas terhadap penyelesaian dari para penganut

madzab hambali lainnya, yang dimana diketahui bahwa Imam Ahmad bin Hambal sendiri

berpegang teguh pada literalisme yang sempit dan keras, contoh klasik eksoteris muslim. Ibnu

Atha’illah sendiri telah menganut salah satu dari tariqat-tariqat sufi.29

Ibnu Atha’illah meninggal di usia yang diperkirakan sekitar 60 tahun. Beliau

meninggal di madrasah Manshuriah, beliau meninggal pada saat sedang mengajarkan ilmu
29
Nurcahyono.

35
hukum madzab maliki. Beliau dimakamkan di pemakaman Qarafa. Sampai saat ini makam

beliau masih ada dan tepat di samping makam beliau juga terdapat makam seorang sufi

lainnya yakni, Syekh Ali Abu Wafa yang wafat pada tahun 807 H/1405 M, yang mempunyai

hubungan nasab langsung dengan Ibnu Atha’illah. Makam beliau dikeramatkan oleh sebagian

umat muslim disana.30

B. Karya-karya Ibnu Atha’illah al-Sakandari

1. Kitab Al-Hikam (Bijaksana).

2. Al-Lathaiif Manaqib Abil al-Abbas al-Mursi wa Syekh Abi al-Hasan (Berkah dalam

Kehidupan Abu Abbas al-Mursi dan Gurunya Abu Hasan).

3. Miftah al-Falah wa Mishbah al-Arwah (Kunci Kesuksesan dan Penerang Spritual).

4. At-Tanwir fi Isqath at-Tadbir (eksposisi pendekatan tarekat Syadziliah).

5. Taj al-Arus (cara-cara pembersihan jiwa).

6. Kitab al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ismi al-Mufrad.31

Namun karya yang paling populer adalah al-Hikam menurut keterangan Syekh

Zarruq, kitab ini tidak ditulis sendiri oleh Ibn Atha‟illah, namun didektikan kepada

muridnya yang bernama Syekh Taqiy al-Din al-Subki, seorang ahli fikih dan kalam yang

terkenal dalam ketelitian dan kejujurannya. Kitab ini sudah beberapa kali di syarah,

antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim bin Ibad ar Rundi, Syekh Ahmad Zarruq dan

Ahmad bin Ajiba.32

BAB III

30
Laili, “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu Athaillah.”
31
Laili.
32
Mustafa Bisri, Al-hikam Rampai hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.

36
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TAZAKIYATUN NAFS

SEBAGAI METODE DALAM PENDIDIKAN AKHLAK

A. Pengertian Tazkiyatun nafs

Dalam Ensiklopedia Islam, kata nafs (nafsu) memiliki makna yang dapat dipahami

sebagai rohani manusia yang mana di dalamnya mempunyai peran atau pengaruh yang besar

diantara anggota rohani lainnya yang fungsinya adalah untuk membuat perintah kepada

anggota tubuh lainnya dalam melakukan sesuatu.33 Kata nafs, menurut kamus tasawuf

memiliki banyak makna: pertama, nafs berarti sesuatu yang bersifat pribadi atau sesuatu

yang berwujud secara fisik bukan sesuatu yang bersifat dua dimensi yang terpisah. Kedua,

kata nafs berarti sebuah kesadaran, sifat secara manusiawi, yang dimaksud disini adalah

memiliki segala macam rasa seperti ketenangan, kegelisahan, rasa sakit dan hal-hal lain yang

bisa dirasakan oleh diri manusia yang dimana belum tentu dirasakan melalui ekspresi fisik

yang terlihat. Ketiga, kata nafs berarti sesuatu yang bersifat sama atau sejenis. Keempat,

berarti sebuah kemauan, kehendak, dan segala nafsu. Yang berarti nafsu dalam hal ini adalah

sesuatu dorongan untuk melakukan sesuatu yang bersumber dari dalam diri manusia yang

mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu dengan suatu tujuan yang menjadi

tujuannya.

Menurut para filsuf Islam kata nafs biasa digunakan dalam bahasa atau istilah Al-

Qur’an dengan arti al-ruh. Kata ruh sendiri telah masuk ke dalam bahasa Indonesia yang

dalam bahasa Indonesia ruh berarti nafas, nafsu, dan ruh. Tetapi dalam penggunaanya

sehari-harinya kata nafsu diartikan sebagai sesuatu yang bersifat dorongan atau kekuatan

33
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Bara Van Hoeve. 1994), 342.

37
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu hal yang kuirang baik, sehingga dalam

penggunaanya kata nafsu biasa disandingkan dengan kata hawa, yakni hawa nafsu.

Kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai banyak makna, akan tetapi dalam makna

yang digunakan sebagai objek kajian dalam hal ini adalah kata nafs dalam bentuk ism (kata

benda) yaitu nafs, nufus, dan anfus. Ibnu Qoyyim al-Jauziyah berkata “maka seorang hamba

dalam meyikapi pelemah nafs (seperti dosa) haruslah melihat kepada empat hal. Yakni

larangan dan perintah, dan juga melihat dari segi hukum dan qadha. Dalam hal ini Ibnu

Qayyim al-Jauziyah memandangnya pada sumber kejahatan dalam konteks ayat yang

menerangkan an-Nafs al-Ammarah bi as-Suu’ (nafsu yang digunakan untuk seruan kepada

kejahatan).

Kata Tazkiyah secara terminologi memiliki dua makna yang berbeda yakni:

penyucian dan pertumbuhan. Kemudian secara istilah, mempunyai arti dari kata zakatal nafs

yang artinya adalah penyucian (tatahhur) jiwa yang menyucikan dai berbagai penyakit

cacat, yang pada akhirnya adalah merealisasikan tahaquq berbagai maqam kepada manusia

tersebut, dan menjadikan asma dan sifat Allah sebagai sebuah perilaku atau akhlak

(takhaluq). Dari penyataan di atas maka dapat dipahami tazkiyah adalah ketiga proses

tersebut yakni, tatahhur, tahaquq, dan takhaluq. Menurut Syaikh Said Hawa takiyah al-nafs

merupakan suatu proses untuk menyucikan jiwa seseorang dari segala kotoran-kotoran jiwa

untuk menyucikan dan memperbaiki jiwa tersebut. Said Hawa juga mengemukakan bahwa

tazkiyahtun nafs merupakan salah satu tugas yang diberikan kepada para rasul. Tugas yang

diberikan tersebut akan membuat orang-orang yang mengikutinya menjadi orang-orang

yang bertaqwa. Maka dapat dipahami bahwasanya sebab selamatnya seseorang adalah

bagaimana seseorang bersikap dengan tazkiyatun nafs dalam dirinya.

38
Seseorang yang memahami tazkiyatun nafs dan mengamalkannya maka ia akan

selamat akan tetapi jika ia tidak peduli dengan hal tersebut maka celakalah dirinya. Karena

tazkiyatun nafs merupakan sebuah proses untuk membesihkan hati dan jiwa seseorang dari

kotoran jiwa serta dapat memperbaiki hati dan jiwa manusia. Jika dalam kehidupannya

manusia melakukan tazkiyatun nafs, maka dirinya akan menjadi bersih yang selanjutnya

akan sangat berdampak baik dalam berperilaku dan bertutur kata. Dampak yang diberikan

akan senantiasa terlihat dan menjadi sebuah kebiasaan yang baik bagi seluruh anggota badan

yang pada akhirnya membentuk sebuah karakter baik bagi seseorang tersebut.34

Setelah mengenal tentang pengertian dari tazkiyatun nafs. Selanjutnya peneliti akan

menguraikan tentang konsep tazkiyatun nafs. Tazkiyatun nafs sendiri terdiri dari qalbu,

nafsu, akal dan ruh. Manusia akan menjadi baik jika keempat hal tadi di didik dengan baik.

a. Qalbu

Secara bahasa qalbu bisa diartikan hati atau sanubari. Hati tidak bisa diketahui

hakikat, bentuk, dan juga zatnya, hati hanya bisa diketahui dari sifatnya saja. Yang mana

hati adalah sebuah kekuatan yang tersimpan di dalam tubuh manusia dan tersembunyi

dari indra manusia. Hati identik dengan yang namanya perasaan, perasaan ini merupakan

sifat yang menjadikan manusia berhak untuk menunaikan haknya tanpa kecewa. Ia

menjadi cerdas, bijaksana, menempatkan sesuatu pada tempatnya, melalui segala hal

dengan baik dan sesuai.

Hati manusia memiliki cahaya Allah dan iman yang mana dapat membuat

manusia yakin dengan keyakinannya. Yang menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya

daripada makhluk lainnya. Dengan hati yang yakin serta keyakinan yang benar akan

34
Ulin Ni’mah, “Konsep Tazkiyatun nafs Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan akhlak Pada Kurikulum
2013 (Telaah Buku Ihya’ ’Ulum Ad-Din Karya Imam Al-Ghazali)” (2018).

39
menjadikan manusia lebih dekat dengan Tuhannya. Hati manusia tergolong ke dalam

empat macam. Yakni pertama, hati yang bersih. Hati yang bersih merupakan hati yang

senantiasa dalam kebaikan dan suci terhindar dari kotoran-kotoran hati. Kedua, hati yang

keras dan tertutup menerima kebenaran dan petunjuk dari Allah. Ia disebut sebagai hati

yang mati karena tidak mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhannya. Ketiga, hati

yang terbalik, yaitu hati yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Hati yang terbalik ini

sebenarnya mengetahui kebenaran dari Islam, akan tetapi ia mengingkarinya bahkan

memusuhi dan menghalangi orang lain untuk mengikuti kebenran Islam tersebut.

Keempat, hati yang di dalamnya terdapat dua unsur keimanan dan kemunafikan.

Keduanya ini saling berlawanan sehingga menyebabkan manusia kadang dekat kepada

keimanan dan terkadang dekat dengan kekufuran, terkandung unsur mana yang

mendominasinya. Hati manusia adalah organ rohani yang penting dalam setiap perbuatan

manusia. Di dalam hati manusia terdapat sebuah dorongan atau suara hati yang

membenarkan dan menyalahkan perbuatan yang dilakukan baik dari diri sendiri atau

orang lain.

b. Akal

Dalam bahasa arab akal berarti kekangan dan larangan. Yang artinya orang yang

berakal adalah orang yang mampu mengekang dan menolak dirinya mengikuti hawa

nafsunya. Akal juga merupakan sebuah pembeda antara manusia dan hewan. Agama

Islam mengakui bahwa akal sebagai sarana penerima ilmu pengetahuan terutama ilmu

tentang ajaran agama islam, bahkan akal juga diakui sebagai sumber hukum islam yang

ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dikenal dengan istilah ijtihad.

c. Nafsu

40
Nafsu adalah bagian dari diri manusia yang besar pengaruhnya dan banyak

sekali perintah yang dikeluarkan dari nafsu ini kepada jasmani manusia untuk berbuat

sesuatu. Menurut Umary, nafsu ini dikategorikan ke dalam delapan macam, yaitu: Nafsu

Ammarah, Nafsu Lawwaamah, Nafsu Musawwalah, Nafsu Muthmainnah, Nafsu

Mulhamah, Nafsu Raadliyah, Nafsu Mardiyah, Nafsu Kaamilah.

Pertama, Nafsu Amarah Nafsu amarah merupakan nafsu atau jiwa yang tidak

mampu membedakan antara baik dan buruk, nafsu semacam ini belum menerima

tuntunan sehingga belum bisa menentukan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat,

dan sering mendorong kepada hal-halyang tidak baik. Sehingga bertentangan dengan

keinginan. Kedua, Nafsu Lawwamah merupakan jiwa yang telah memiliki penyesalan

setelah melakukan sesuatu yang salah. Ia melakukannya tidak dengan terang-terangan

dan tidak pula mencari cara kegelapan dalam melakukannya karena telah sadar dengan

akibat dari perbuatannya. Dalam hal ini manusia belum bisa untuk mengekang untuk

nafsu yang berbuat jahat. Maka dari itu kadang ia masih berbuat maksiat dan yang tidak

bermanfaat. Kemudian akan menimbulkan penyesalan dari perbuatan yang ia lakukan.

Ketiga, Nafsu Musawwalah merupakan nafsu atau jiwa yang telah mampu untuk

membedakan yang baik dan yang buruk, walaupun masih sering mencampuradukkan

antara yang baik dengan yang buruk. Keempat, Nafsu Muthmainah merupakan nafsu atau

jiwa yang baik. Ia mendatangkan sebuah ketenangan jiwa yang melahirkan pribadi yang

baik yang bermanfaat. Kelima, Nafsu Mulhamah merupakan nafsu atau jiwa yang

menerima ilham dai Allah Swt, dengan dikaruniai ilmu-ilmu pengetahuan dan berakhlak

baik. Merupakan sumber dari syukur, sabar, ketabahan, dan keistiqamahan. Keenam,

Nafsu Raadliyah merupakan nafsu atau jiwa yang menerima ilham dan ridha dari Allah

41
Swt, menjadi pribadi yang baik, selalu bersyukur, dan qanaah dengan apa yang telah

diberikan kepadanya. Ketujuh, Nafsu Mardiyah merupakan nafsu atau jiwa yang diridhai

oleh Allah Swt, ia senantiasa berdzikir kepada Allah, ikhlas, mempunyai karamah dan

kemuliaan. Kedelapan, Nafsu Kaamilah merupakan nafs atau jiwa yang sudah sempurna.

Jiwa yang telah mendapatkan pancaran Tuhan. Kebahagiaan yang hakiki baginya adalah

hanya berada di haribaan Tuhan dan berdialog dengan-Nya dengan ibadah yang ia

lakukan.

d. Ruh

Di dalam kajian atau ilmu filsafat ruh merupakan sebuah nyawa. Ruh adalah

nyawa yang bersumber di dalam hati manusia. Ruh ini memancarkan cahaya ke seluruh

tbuh melalui urat nadi dan pembuluh darah. Ruh juga merupakan sebuah bisikan rabbani

yang mengetahui segala hal. Namun dalam pengertian ini ruh tidak dapat diketahui

hakikatnya. Ruh adalah pusat yang mana di dalamnya manusia tertarik dan kembali

kepada sumbernya. Ruh berusaha menarik hati kepada Allah Swt, sementara jiwa

berupaya membersihkan hati. Dengan ruh manusia bisa hidup.dan hakikat dari Ruh hanya

Allah yang mengetahuinya.35

B. Pendidikan Akhlak

Dalam Islam pendidikan dikenal dengan istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.

Ketiganya mempunyai makna masing-masing. Makna yang mengartkannya tergantung dari

teks dan konteksnya. Tarbiyah diartikan oleh sebagian ahli sebagai tuan, pemilik,

memperbaiki, merawat, dan memperbagus. Menurut Muhammad Jamaluddin al-Qasimi

mengartikan bahwa tarbiyah berarti prose untuk menyampaikan sesuatu sampai kepada batas

35
Aliyah, “Konsep Tazkiyatun nafs Ibnu Taimiyah Dalam Perspektif Pendidikan Islam” (Universitas Islam
Negeri Raden Intan Lampung, 2019).

42
kesempurnaan yang disampaikan secara bertahap. Tarbiyah dapat juga dimaknai dengan

suatu proses untuk menanamkan akhlak atau etika dimulai dari jiwa manusia sejak dini

dengan memberikan petunjuk dan pelajaran serta nasihat yang baik. Sehingga kedepannya

jiwa tersebut akan mendapatkan potensi jiwa yang baik. Ta’lim adalah suatu proses untuk

memperoleh ilmu pengetahuan dan mengasah keterampilan berpikir. Ta’lim mengacu

kepada hal yang bersifat kognitif. Sedangkan tarbiyah tidak hanya tentang kognitif, akan

tetapi juga mengacu pada hal afektif dan psikomotorik. Kemudian Ta’dib berarti suatu

proses untuk memperkenalkan dan mengakui secara bertahap ditanamkan kepada manusia

untuk menempakan segala sesuatu sesuai pada tempatnya dan menjadikannya kebiaaan yang

baik untuk mendekatkan manusia pada Tuhannya.36

Menurut Paulo Freire pendidikan merupakan proses pembelajaran yang harus

dilakukan oleh semua manusia untuk memperjuangkan dirinya kembali kepada

sempurnanya manusia dengan pendidikannya. Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan

merupakan sebuah bimbingan dilakukan dengan sadar oleh seorang pendidik terhadap

perkembangan jamani dan rohani dari peserta didik menjadi pribadi yang utama. 37

Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan merupakan sebuah tuntunan dalam

pertumbuhan anak.38 Jadi pendidikan merupakan tuntunan untuk anak-anak untuk mencapai

kebahagiaan yang sesungguhnya di masa yang akan datang. Pendidikan merupakan suatu

proses untuk memanusiakan manusia dari masa kecilnya sampai akhir hayatnya dengan

menyampaikan ilmu pengetahuan dengan pengajaran secara bertahap. Manusia adalah

36
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”
37
Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1990),
76.
38
Ki Hajar Dewantara, Bagian I : Pendidikan, ke-4 (Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa, 2011),
11.

43
subyek dari pendidikan, sedangkan pendidikan adalah hal yang sangat penting bagi manusia.

Maka dari itu pendidikan menjadi sesuatu hal yang penting untuk diperhatikan.39

Kemudian selanjutnya adalah pembahasan tentang akhlak dalam Islam. Agama

Islam memandang persoalan akhlak menjadi hal yang penting dan sangat luas ruang yang

diberikan untuk membahas persoalan akhlak ini. Bahkan akhlak yang baik bisa menjadi

ukuran untuk menjadi seorang mukmin. Maka dari itu sangat penting bagi manusia untuk

mempelajari dan memahami pendidikan akhlak karena dengan itu dapat menjadi barometer

dalam kehidupan sehari-harinya. Akhlak merupakan fitrah dari Allah Swt yang

dianugerahkan kepada manusia dengan tujuan agar dalam kehidupannya manusia lebih

mengedepankan akhlak yang mulia dan nilai-nilai pendidikannya untuk membentuk

kehidupan yang mulia.40

Pendidikan akhlak dalam Islam pada hakikatnya adalah dengan memperbaiki

sikap setiap manusia agar menjadi lebih bagi secara moral, kemudian kehidupan yang

dijalani akan dipenuhi dengan kebaikan-kebaikan dan menutup segala macam keburukan.

Maka disinilah fungsi dari akal manusia untuk mampu membedakan mana yang baik dan

mana yang buruk. Pendidikan akhlak merupakan sebuah bentuk latihan untuk melatih

mental seseorang untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia dan senantiasa

melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam masyarakat dan juga kewajiban dan

tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Akhlak pada hakikatnya adalah sifat yang ada

39
Irpan Alimudin, Selamet, dan Udung Hari Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh
Ibnu‘Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam,” Bestari: jurnal studi pendidikan islam XV, no. 1 (2018),
115–34.
40
Zulkifli dan Jamaluddin, Akhlak Tasawuf, ed. oleh Madona Khairunisa, ke-1 (Yogyakarta: Kalimedia,
2018), 23.

44
dalam diri manusia yang tertanam dalam hati manusia, yang dari situlah akan memunculkan

berbagai macam perbuatan yang dilakukan secara spontan.41

C. Sumber Pendidikan Akhlak

Di dalam pendidikan akhlak ini mengacu kepada beberapa sumber yang tertera di

dalam Al-Qur’an dan Hadist. Beberapa sumbernya adalah sebagai berikut.42

a. Sumber dalam Al-Qur’an

1) Sumber dari akhlak yang mulia, Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat

83:

‫ق بَنِ ْٓي اِس َْر ۤا ِءي َْل اَل تَ ْعبُ ُدوْ نَ اِاَّل هّٰللا َ َوبِ ْال َوالِ َد ْي ِن اِحْ َسانًا َّو ِذى‬
َ ‫َواِ ْذ اَخ َْذنَا ِم ْيثَا‬
‫ الص َّٰلوةَ َو ٰاتُوا ال‬Z‫اس ُح ْسنًا َّواَقِ ْي ُموا‬ ِ َّ‫ لِلن‬Z‫ َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َوقُوْ لُوْ ا‬Z‫ْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى‬
ۗ
ِ ‫َّز ٰكوةَثُ َّم ت ََولَّ ْيتُ ْم اِاَّل قَلِ ْياًل ِّم ْن ُك ْم َواَ ْنتُ ْم ُّمع‬
َ‫ْرضُوْ ن‬
Artinya: (Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Bani Israil, “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuatbaiklah kepada kedua orang tua, kerabat,
anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Selain itu, bertutur katalah yang baik
kepada manusia, laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat.” Akan tetapi, kamu
berpaling (mengingkarinya), kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu (masih
menjadi) pembangkang.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ayat tersebut memberikan sebuah

pesan tentang cerita bani israil yang banyak mengingkari janji kepada Nabinya.

Kemudian dalam perjanjian itu ada beberapa yang harusnya dilaksanakan oleh bani

israil. Yaitu tidak menyekutukan Allah Swt, berbuat baik kepada kedua orang tua,

kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Sebagian kelompok manusia

tersebut mampu menunjukkan pentingnya berbuat baik kepada mereka semua,

sedangkan ada sebagaian besar manusia yang tidak berperilaku demikian.

41
Alimudin, Selamet, dan Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu‘Athaillah As-
Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam.”
42
Alimudin, Selamet, dan Darifah.

45
Dalam ayat di atas Allah juga memerintahkan untuk berkata dengan

perkataan yang baik kepada manusia lainnya. Baik kepada tetangga, antar umat

beragama, antar masyarakat sebagai warga negara, antar suku dan juga antar

golongan. Yang maknanya adalah Allah memerintahkan kita semua untuk berbuat

baik kepada siapapun tanpa ada tujuan dan maksud tertentu. Maka akan terwujudlah

suasana yang kondusif dengan semakin kokohnya solidaritas antar umat manusia.

2) Sumber dari akhlak terhadap Allah Swt, Allah berfirman dalam Q.S. al-Baqarah ayat

32:

‫ك اَ ْنتَ ْال َعلِ ْي ُم ْال َح ِك ْي ُم‬


َ َّ‫ك اَل ِع ْل َم لَنَٓا اِاَّل َما َعلَّ ْمتَنَا ۗاِن‬
َ َ‫قَالُوْ ا ُسب ْٰحن‬
Artinya: “Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami,
selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang
Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

3) Istiqamah. Dalam Q.S. Hud ayat 112, Allah Swt berfirman:

ِ َ‫َط َغوْ ۗا اِنَّهٗ بِ َما تَ ْع َملُوْ نَ ب‬


‫ص ْي ٌر‬ ْ ‫ك َواَل ت‬ َ ‫فَا ْستَقِ ْم َك َمٓا اُ ِمرْ تَ َو َم ْن ت‬
َ ‫َاب َم َع‬
Artinya: “Maka, tetaplah (di jalan yang benar), sebagaimana engkau (Nabi
Muhammad) telah diperintahkan. Begitu pula orang yang bertobat bersamamu.
Janganlah kamu melampaui batas! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.

4) Sumber akhlak kepada Rasulullah, Allah berfirman dalam Q.S. al-Ahzab ayat 56:

ۤ ‫هّٰللا‬
َ ‫صلُّوْ نَ َعلَى النَّبِ ۗ ِّي ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا‬
Z‫صلُّوْ ا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموْ ا‬ َ ُ‫اِ َّن َ َو َم ٰل ِٕى َكتَهٗ ي‬
‫تَ ْسلِ ْي ًما‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai
orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
dengan penuh penghormatan kepadanya. Selawat dari Allah Swt. berarti memberi
rahmat, dari malaikat berarti memohonkan ampunan, dan dari orang-orang mukmin
berarti berdoa agar diberi rahmat, seperti dengan perkataan Allahumma ṣalli ‘alā
Muhammad. Dengan mengucapkan perkataan seperti Assalamu ‘alaika ayyuhan-nabi
yang artinya semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi.

46
5) Sumber akhlak kepada orang tua, Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa’ ayat 36:

‫ْن اِحْ َسانًا َّوبِ ِذى ْالقُرْ ٰبى‬Zِ ‫ بِ ٖه َش ْيـًٔا َّوبِ ْال َوالِ َدي‬Z‫۞ َوا ْعبُدُوا هّٰللا َ َواَل تُ ْش ِر ُكوْ ا‬
ِ ‫ب بِ ْال َج ۢ ْن‬
‫ب‬ ِ ‫ب َوالصَّا ِح‬ ِ ُ‫ار ْال ُجن‬ِ ‫ار ِذى ْالقُرْ ٰبى َو ْال َج‬ ِ ‫َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِكي ِْن َو ْال َج‬
‫ًا‬Zۙ‫ت اَ ْي َمانُ ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْختَااًل فَ ُخوْ ر‬ ْ ‫َوا ْب ِن ال َّسبِ ْي ۙ ِل َو َما َملَ َك‬

Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan


sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak
ya tim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat,
ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.”

6) Sumber akhlak dalam bermasyarakat, Allah Swt berfirman dalam surat al-Hujurat

ayat 10 sebagai berikut:

ࣖ َ‫م َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬Zْ ‫اِنَّ َما ْال ُمْؤ ِمنُوْ نَ اِ ْخ َوةٌ فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَ اَ َخ َو ْي ُك‬
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu
damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar
kamu dirahmati.”

7) Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Allah Swt berfirman dalam surat Ali Imran ayat 104:

ِ ْ‫َو ْلتَ ُك ْن ِّم ْن ُك ْم ۤاُ َّمةٌ يَّ ْد ُعوْ نَ اِلَى ْالخَ ي ِْر َويَْأ ُمرُوْ نَ بِ ْال َم ْعرُو‬
‫ف َويَ ْنهَوْ نَ ع َِن‬
ٰ ُ‫ْال ُم ْن َكر ۗ َوا‬
َ‫ول ِٕىكَ هُ ُم ْال ُم ْفلِحُوْ ن‬ ِ
Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.
Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Makruf adalah segala kebaikan yang
diperintahkan oleh agama serta bermanfaat untuk kebaikan individu dan masyarakat.
Mungkar adalah setiap keburukan yang dilarang oleh agama serta merusak
kehidupan individu dan masyarakat.”

b. Hadist

1) Akhlak yang baik

47
“Tidak ada sesuatupun yang lebih berat timbangan seorang mukmin di hari

kiamat dari pada akhlak yang baik, dan Allah Swt membenci hambanya yang

berbicara kejelekan dan jeleknya pembicaraan”43

2) Taubat

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dia berkata, “saya mendengar Rasul Saw

bersabda”, “Demi Allah, sungguh saya memohon ampun (mengucap istighfar)

kepada-Nya dan bertaubat kepada-Nya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.44

3) Sabar

Dari Abi Yahya Shuhaib bin Sinan r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda:

“Sungguh mengagumkan perkara orang mukmin. Karena semua perkaranya baik

baginya dan tidak ada yang sebaik sebagaimana orang mukmin. Ketika memperoleh

nikmat maka ia bersyukur, dan ketika ditimpa musibah maka ia akan bersabar dan

itu baik baginya.”45

4) Tentang Kebaikan dan Keburukan

Dari Nawas bin Sam’an r.a. berkata: “saya bertanya kepada Rasulullah Saw

tentang kebaikan dan keburukan, Nabi menjawab: kebaikan itu akhlak yang baik,

dan kejelekan itu adalah sesuatu yang mengganjal di dalam dada, dan akan marah

dan malu jika dilihat oleh orang lain.”46

43
Hadits Riwayat Tirmidzi.
44
Hadits Riwayat Bukhari.
45
Hadits Riwayat Muslim.
46
Hadits Riwayat Muslim.

48
D. Tujuan Pendidikan Akhlak

Prinsip dan metode dari pendidikan Islam bahwa pendidikan adalah proses peserta

didik untuk menempa dirinya sendiri, yang mana akan membuat manusia menjadi tersadar

akan tujuan hidupnya. Jadi dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan adalah agar

menimbulkan kesadaran untuk merealisasikan dirinya sebagai manusia yang sebenarnya.

Menurut UU No. 02 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional dalam Bab II

tentang dasar, fungsi, dan tujuan pasal 3, yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk


watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.”47

Ibnu Sina menjelskan tentang tujuan dari pendidikan akhlak, menurut beliau tujuan

dari pendidikan akhlak adalah ketika sudah mendapatkan kebahagiaan yang dicapai sesuai

tingkatannya yakni tingkatan pendidikan yang dijelaskan, yaitu meliputi kebahagiaan

pribadi, kebahagiaan keluarga, kebahagiaan di lingkungan masyarakat, dan kebahagiaan

yang sempurna di akhirat nanti. Tujuan dari pendidikan ini harus mengarah kepada

perkembangan keseluruhan potensi yang ada dalam diri seseorang menjadi lebih sempurna

baik secara fisik, intelektual maupun secara moral. Ibnu sina juga menjelaskan bahwasanya

tujuan dari pendidikan ini untuk menjadikan manusia menjadi mandiri dalam hal menjalani

kehidupan ini dan senantiasa memberikan manfaat kepada manusia lainnya melalui

kebaikan-kebaikan yang terbiasa dilakukan.48

47
Undang-undang RI No 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 56.
48
Tuti Awaliyah dan Nurzaman, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sa’id Hawwa,” Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018), 23.

49
Ibnu miskawaih juga memberikan suatu rumusan tentang tujuan pendidikan,

menurut beliau dalam tahdhib al-akhlaq, bahwa rumusan dari tujuan pendidikan adalah

terwujudnya pribadi yang susila, memiliki watak yang luhur, atau memiliki budi pekerti

mulia. Dari budi yang baik akan melahirkan pekerti yang baik yang kemudian akan

mendapatkan kebahagiaan yang sempurna. Beliau juga menyampaikan bahwa kebahagiaan

yang sempurna tersebut diperoleh bukan dari kesendirian tetapi juga di dukung oleh adanya

masyarakat di sekitar.49

Kemudian Syekh Kholil Bangkalan juga menjelaskan tentang tujuan pendidikan

akhlak, menurut beliau tujuan dari pendidikan akhlak adalah untuk membentuk orang untuk

memiliki moral yang baik, memiliki optimisme yang kuat, bersikap sopan setiap berbicara

dan memiliki perangai serta tingkah laku yang mulia, kemudian mampu bersifat

bijaksana,beradab, jujur, ikhlas dan suci dengan senantiasa berlandaskan kepada Al-Qur’an

dan Hadist. Jadi bisa diartikan bahwa tujuan dari pendidikan akhlak ini bukan hanya soal

teori saja, bahkan separuh dari tujuan tersebut merupakan hal untuk mendorong agar kita

membentuk kehidupan yang suci dan mampu melahirkan kebaikan, kesempurnaan, dan

manfaat kepada manusia lainnya.50

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ada dua tujuan utama dalam pendidikan

akhlak, yaitu:

1) Membentuk manusia yang baik dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt.

2) Mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.51

49
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali,”
Ulumuna 18, no. 1 (2017), 21–40.
50
Krida Salsabila dan Anis Husni Firdaus, “Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil Bangkalan,” Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018), 39.
51
Alimudin, Selamet, dan Darifah, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Ibnu‘Athaillah As-
Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam.”

50
Dari apa yang disampaikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari

pendidikan akhlak adalah menyiapkan para peserta didik untuk mampu bersikap dan

berperilaku baik, baik itu dari segi norma agama maupun norma sosial, adat dan tata krama

di masyarakat. Jadi untuk menjadikan manusia berakhlak mulia adalah bertingkah laku

sesuai tabiat manusia dalam islam, memiliki perangai yang baik di masyarakat sesuai ajaran

Islam.

BAB IV

PEMIKIRAN IBNU ATHAILLAH TENTANG KONSEP TAZKIYATUN

NAFS SEBAGAI METODE DALAM PENDIDIKAN AKHLAK

A. Konsep Tazkiyatun nafs

1. Tazkiyatun nafs

Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa dalam hal penyucian jiwa yang dimana jiwa

tersebut telah dipenuhi dengan hawa nafsu serta kotoran-kotoran jiwa yang menyebabkan

seseorang terjerumus ke dalam dosa adalah dengan melakukan empat hal yaitu:

Pertama, Senantiasa membaca Al-Qur’an dan berdzikir kepada Allah. Membaca

Al-Qur’an merupakan sumber ketenangan bagi manusia dengan membaca Al-Qur’an

51
maka seseorang akan merasa tenang dan merasa tentram dalam hatinya, sejenak

melupakan permasalahan-permasalahan dan merasakan manisnya ketenangan dari bacaan

Al-Qur’an yang ia lantunkan. Kemudian penyucian jiwa selanjutnya selain membaca Al-

Qur’an adalah berdzikir kepada Allah, dari membaca Al-Qur’an tadi juga merupakan

sarana mengingat Allah dan berharap kepada Allah atas keresahan dalam hidupnya jadi

membaca Al-Qur’an bukan hanya sekedar membaca tetapi juga mengharap keridhaan

Allah. Kemudian berdzikir disini bisa dilakukan oleh setiap manusia dimanapun dan

kapanpun, dengan berdzikir manusia akan selalu mengendalikan tindakannya jika hendak

berbuat dosa dan akan mengurungkan niatnya untuk berbuat dosa dan tetap berada di

jalan yang lurus yaitu jalan yang senantiasa diridhai oleh Allah Swt. maka sangat penting

bagi setiap manusia untuk membaca Al-Qur’an dan berdzikir sebagai proses dalam

menyucikan jiwanya dari segala kotoran.

Kedua, Sedikit berbicara. Banyak bicara merupakan hal yang kurang baik

dilakukan oleh seseorang apalagi pembicaraan yang dilakukan adalah pembicaraan yang

tidak bermanfaat atau bahkan mencelakakan dirinya dan orang lain. Dalam sebuah

ungkapan Ali bin Abi Thalib berkata, “seseorang mati karena tersandung lidahnya dan

seseorang tidak mati karena tersandung kakinya, tersandung mulutnya akan menambah

(pening) kepalanya, sedang tersandung kakinya akan sembuh secara perlahan”. Di dalam

sebuah hadits sahabat Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda,

barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia hendaklah ia berkata baik

atau hendaklah diam”. Maka sangat penting bagi seseorang untuk senantiasa berpikir

terlebih dahulu sebelum berkata, jangan perkataan yang keluar dari mulutnya adalah

perkataan yang tidak baik dan merugikan dirinya sendiri, bahkan merugikan orang lain.

52
Maka beperilaku baik dengan berkata yang baik adalah salah satu cara seseorang

terhindar dari kotoran jiwa dan membersihkan jiwanya menjadi lebih baik.

Ketiga, Khalwah, bermunajat kepada Allah yang Maha Mengetahui. Seseorang

yang senantiasa berusaha untuk menyucikan jiwanya akan memperkuat dirinya dalam hal

ibadah kepada Tuhannya. Seorang yang menyucikan jiwanya akan senantiasa bermunajat

kepada Allah dengan penuh pengharapan dan dilakukan dengan cara yang benar

berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Seorang yang bermunajat akan menghadapkan

hatinya pada Allah dengan penuh kepasrahan sehingga akan membuang benih-benih

kesombongan dalam hatinya dan yakin bahwa segalanya adalah kehendak Allah dan

hanya kepada-Nya tempat bergantung segala sesuatu. Jadi dapat dipahami bahwa

seseorang yang menyucikan jiwanya akan senantiasa bermunajat kepada Tuhannya setiap

waktu tanpa henti.

Keempat, Sedikit makan dan minum. Dalam sebuah nasihat yang disampaikan

Imam Al-Ghazali tentang hikmah kelaparan, beliau berkata, ”kelaparan yang diikuti

dengan kesabaran dan kesadaran atas dosa-dosa. Maka akan mendatangkan keuntungan

yang sangat besar”. Lapar juga dapat menjernihkan hati dan pikiran kita, sebagaimana

dalam sabda Rasulullah Saw, “barangsiapa menjadikan perutnya lapar, maka pikiran dan

hatinya menjadi tajam”. Dengan terbiasa dengan lapar, maka justru akan merasa puas

dengan sedikit harta yang dimiliki. Akan melatih untuk selalu bersyukur dan juga

meningkatkan kesadaran sosial terhadap orang-orang yang ada di sekitar kita.

Penjelasan di atas adalah pemikiran Ibnu Atha’illah tentang cara menyucikan jiwa

yang sebelumnya sudah dikotori dengan kotoran-kotoran jiwa, namun pada prakteknya

diperlukan adanya semangat dan usaha yang kuat dalam keistiqamahan dalam

53
menjalankannya. Hal ini dikarenakan meniti sebuah jalan menuju Allah memerlukan

i’tiqat yang sangat kuat dan yakin dengan keyakinannya. Sehingga seseorang yang

manapaki jalan tasawuf dapat benar-benar sungguh-sungguh dalam upaya mendekatkan

diri kepada Tuhan dan benar-benar bergantung kepada-Nya.52

Hati yang bersih bisa sampai ke hadirat Allah dengan mudah dan selamat,

sebagaimana seorang raja yang diiringi bala tentaranya menuju tujuannya, yaitu

mengalahkan musuh. Sedangkan kegelapan yakni hati yang kotor merupakan tabiat

seorang hamba, dianggap sebagai bala bantuan dan prajurit nafsu yang mengiringi

seorang hamba sampai kepada tujuan, yaitu meraih keduniaan.

Perang antara hati dan nafsu akan terus berlangsung sepanjang zaman. Jika Allah

ingin membantu hamba-Nya mengalahkan nafsunya, Dia akan mengirimkan bala

bantuan-Nya berupa cahaya. Jika hamba itu mendapat bantuan Nya, ia akan menyadari

keburukan syahwat yang menghambatnya untuk sampai kepada Allah Swt yaitu:

“Seorang salik mencari kebenaran (himmat salik) hampir ingin terus, tidak ingin berhenti

ketika sebagian yang baik tersingkap baginya, melainkan suara hakikatnya (hawatif al-

haqiyah) hampir tidak tampak keindahan alam pada dirinya, melainkan diperingatkan

oleh hakekatnya, bahwa kami semata-mata adalah sebagian batu ujian, maka janganlah

engkau menjadi orang arif tidak kunjung hilang rasa kebutuhannya, dan tidak merasa

tenang, atau bersandar pada sesuatu selain Allah Swt.

Ujung dari semua tahapan spritual itu adalah perjumpaan dan penyatuan diri

dengan Tuhan. Lalu para sufi, dan mencintai Tuhan secara tidak termaknai. Menurut Ibn

Atha’illah, keinginan kuat seorang arif untuk selalu bersama Allah tidak pernah hilang,

52
Humaini, “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan pendidikan
islam” (Universitas Islam Negeri Malang, 2008).

54
dan bila ia bertumpu kepada selain-Nya tidak pernah tenang. Ibn Athaillah berkata,

”ghayyib nazhr al-khalq ilaika bi nazhr Allah ilaika, wa ghoban iqbalihim alaika bi

syuhudi iqbalihi alaika” (hilangkan pandangan manusia terhadapmu karena kau telah

puas dengan penglihatan Allah kepadamu, dan abaikan perhatian mereka terhadapmu

karena kau telah tahu bahwa Allah selalu memperhatikanmu. menyaksikan Allah pada

segala sesuatu. Siapa yang mencintai-Nya, maka ia akan mengutamakan Allah ketimbang

sesuatu yang lain.53

2. Metode Tazkiyatun nafs

a. Ilmu

Ilmu yang dimaksud disini adalah sebuah jalan yang akhirnya adalah surga

Allah Swt. Seorang salaf berkata: “setiap orang yang menuntut ilmu maka dia akan

ditolong”. Ungkapan yang disampaikan oleh seorang salaf tersebut memiliki makna

dari hakikat menuntut ilmu adalah meniti jalan menuju surga di akhirat kelak, yakni

dengan istilah shirat, yang di dalamnya termasuk segala hal yang terjadi pada waktu

sebelum dan yang sudah terjadi setelahnya. Ilmu itu bagaikan hakim yang mana

menentukan dan membedakan antara keyakinan dan keraguan, antara jalan yang lurus

dan jalan yang menyimpang, dan juga antara kesesatan dan hidayah. Ilmu ini

bagaikan penerang bagi yang memilikinya, karena dengan ilmu ini akan mampu

mengalahkan segala bentuk hawa nafsu yang kuat ketika kita menggunakan

penglihatan, pendengaran, dan juga dengan hati kita untuk merasakan sesuatu.

b. Tadzakkur

53
Hannan, “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah” (Univeersitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2016).

55
Tadzakkur berasal dari kata tafa’ul dari kata dzikr, kebalikan dari kata nisyan,

yaitu akan Memberikan sebuah gambaran dari sesuatu yang akan menjadikan

pengetahuan di dalam hati manusia. Dan kenapa dipilih bentuk tafa’ul dikarenakan ia

diperoleh didapatkan dengan sebuah usaha yang melalui tahapan-tahapan dan juga

pelan-pelan, sebagaimana kata tabshirah, tafahum, dan ta’alum.54

c. Riyadhah

Riyadhah dalam hal ini adalah wujud dari beberapa tingkatan atau kedudukan

seorang muslim yang beribadah hanya kepada Allah Swt. hal ini sesuai tafsir dari

Ibnu Qayim al Jauziyah dalam tafsirnya: “Riyadhah adalah melatih jiwa untuk

menerima kebenaran”.

Dari tafisr tersebut dapat diambil menjadi dua pengertian, yakni latihan untuk

melatih menerima sebuah kebenaran jika dipraktekkan dengan perkataan, keinginan,

dan perbuatan. Jika itu sebuah kebenaran maka jiwanya akan menerima, taat dan

patuh pada kebenaran tersebut. Pengertian yang kedua adalah menerima kebenaran

dari orang-orang yang menyampaikannya kepada kita..55

d. Muhasabatunnafs

Artinya adalah menginstropeksi diri sendiri. Jika terasa jiwa kita ini terkotori

oleh kotoran jiwa, maka segera dibersihkan dengan taubat yang sebenar-benarnya

serta dengan senantiasa istiqomah melakukan amalan-amalan kebaikan.

e. Taubat

Taubat adalah memperbaiki diri sendiri. Taubat adalah sebuah kelanjutan

daripada muhasabatunnafs. Ketika kita sudah melakukan koreksi dari diri kita, maka
54
Fathuddin dan Amir, “Konsep Tazkiyatun nafs Menurut Ibnu Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab
Madarijus Shalikin Serta Implikasinya Terhadap Pendidikan.”
55
Zamaksyari Hasballah, Rijal Sabri, dan Abu Nasir, “Konsep Tazkiyatun nafs (Studi Pendidikan Akhlak
Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams 7-10),” Sabilarrasyad III, no. 02 (2018): 38–52.

56
tentu saja kita akan mendapati diri kita banyak memiliki kekurangan dalam diri kita.

Jika kita mampu melakukan perbaikan kepada diri kita maka kita melakukan taubat.

f. Beramal Sholeh

Hidup akan menjadi berkah, tenang, dan senantiasa dalam lindungan Allah

serta jiwa menjadi bersih ketika kita mampu menghiasi jalan hidup kita dengan

amalan-amalan yang sholeh yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan dengan penuh

keistiqomahan dalam melakukan amal-amal keshalihan.

g. Bergaul dengan para orang shaleh

Sebagaimana dipahami bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri dan

membutuhkan orang lain di dalam lingkungan masyarakat, maka sebuah lingkungan

yang baik lingkungan yang memiliki jiwa-jiwa yang bersih, hendaklah kita mencari

dan bergaul dengan lingkungan yang di dalamya terisi dengan para orang sholeh yang

membiasakan kebaikan dalam lingkungan tersebut.

h. Menghadiri majlis ta’lim

Seseorang yang senantiasa rutin menuntut ilmu dan berangkat menuju majlis-

majlis ta’lim untuk belajar dari orang-orang sholeh, untuk mendapat ridha Allah,

untuk senantiasa mengingat Allah, yang kemudian akan mendapatkan rahmat dari

Allah dan akan membersihkan jiwanya.

i. Do’a.

57
Do’a yang dipanjatkan dengan penuh pengharapan dan dengan kerendahan

hati kita merupakan sebuah cerminan dari seorang hamba yang tunduk patuh kepada

Allah Swt. berpegang dan menyandarkan hidup kita hanya kepada Allah semata.56

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan di atas dapat kita ketahui

bahwa dalam membina akhlak dalam membentuk pribadi yang memiliki akhlak mulia

harus diawali dengan bersihnya jiwa terlebih dahulu dengan melakukan tazkiyatun

nafs dalam dirinya. Proses tazkiyatun nafs ini harus senantiasa dilakukan dengan niat

yang kuat serta dengan metode tazkiyatun nafs yang benar sesuai dengan tuntunan

yang ada dalam ajaran Islam, dan yang terpenting adalah keistiqamahan dalam

menjalaninya dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari agar supaya hari-

hari yang yang kita lalui ini terhias dengan kebiasaan-kebiasaan baik dari tazkiyatun

nafs yang kita lakukan dengan tertancapnya akhlak yang mulia dalam diri.

Proses tazkiyatun nafs ini kelanjutannya adalah membiasakan diri untuk

senantiasa berakhlak mulia dalam keseharian kita yang tujuan akhirnya adalah

memperoleh keridhaan Allah dalam setiap aktivitas yang kita lakukan dan menilainya

sebagai sebuah ibadah serta lebih mendekatkan diri kita kepada Allah untuk

menapaki jalan kebenaran dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Tazkiyatun nafs akan memunculkan kecintaan kita kepada Tuhan karena

dengan senantiasa berproses tazkiyatun nafs dengan melakukan setiap langkah-

langkah tazkiyatun nafs dari awal sampai ke dalam tingkatan yang paling tinggi maka

kita akan senantiasa tunduk kepada Allah dan mengharapkan kecintaan dari-Nya

56
Humaini, “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan pendidikan
islam.”

58
karena jika kita sudah mendapatkan cinta dari-Nya maka setiap langkah kita akan

senantiasa tertuntun dalam kebaikan-kebaikan.

3. Konsep Pendidikan Akhlak Dalam Kitab al-Hikam

Pembinaan Akhlak yang diingankan oleh Ibn ‘Atha illah di dalam kitab Al-

Hikam yaitu untuk menjadikan manusia menjadi seorang hamba Allah yang memiliki

akhlak yang mulia serta bertaqwa kepada Allah Swt. Ibnu Atha’illah menjelaskan tentang

karakter seorang hamba yang bertaqwa antara lain sebagai berikut:

1) Husnuzhan

Berprasangka baik kepada Allah atas segala yang Allah tetapkan baik itu

nikmat bagi kita maupun cobaan bagi kita. Kita harus senantiasa berusaha dengan

sungguh-sungguh untuk menghadapi segala urusan dan kepentingannya. Ibnu

Atha’illah mengatakan bahwa apabila kita tidak mampu untuk berbaik sangka kepada

Allah dengan kebaikan sifat-sifatnya, maka kita harus berbaik sangka dengan apa

yang dilakukan berupa hal-hal baik yang diperbuat olehnya padamu. Sebagaimana

Allah telah memberikan pembiasaan kepada kita dengan kebaikan. Jika seorang

hamba meyakini segala bentuk pemberian dari Allah maka dia akan menjadi seorang

hamba yang mampu berhusnuzhan kepada Allah. Dan kemudian dirinya akan selalu

menyandarkan hidupnya hanya kepada Allah.

2) Intropeksi diri

Mengoreksi diri kita dari segala perbuatan yang telah kita lakukan, kemudian

menarik sebuah kesimpulan hal apa yang telah kita dapatkan apakah keburukan atau

59
kebaikan. Apabila kita mendapati keburukan dalam diri kita maka kita diharuskan

untuk memperbaiki dengan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan. Sebagaimana

perkataan Ibnu Atha’illah “Meneliti segala bentuk aib yang ada dalam dirimu ialah

lebih baik daripada meneliti hal-hal yang ghaib yang dirimu tertutup darinya”. Pada

hakikatnya manusia ini adalah makhluk lemah dan juga memiliki keterbatasan

kekuatan dan juga kewenangan untuk selalu menjalankan perintah Allah dan

menjauhi larangan Allah, dan juga manusia ini mempunyai kekurangan yang ada

dalam diri manusia tersebut. Maka dari itu intropeksi diri diperlukan untuk senantiasa

berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya.

3) Istiqomah

Istiqomah merupakan sebuah amalan yang kita perbuat sebagai bentuk ibadah

yang kita lakukan secara berkelanjutan, istiqomah dalam hal ibadah adalah salah satu

hal yang amat sulit kita lakukan dalam kehidupan kita dikarenakan manusia adalah

makhluk yang tidak lepas dari salah dan lalai, akan tetapi manusia diharuskan untuk

senantiasa berusaha istiqomah daam beribadah dan tidak mudah berputus asa setelah

melakukan kesalahan dalam hidupnya. Ia harus yakin bahwa dengan usahanya akan

mampu mendatangkan rahmat dan ampunan dari Tuhannya sebagaimana perkataan

Ibnu Atha’illah “Jika terlanjur melakukan perbuatan dosa, maka janganlah

menjadikannya sebab dirimu putus asa untuk beristiqomah kepada Tuhanmu”.

Ibnu Atha’illah menjelasakan bahwa dirinya menganjurkan untuk mampu

memasrahkan diri kita kepada Allah, sehingga jika dilihat dari sudut pandang ilmu

kalam. Beliau termasuk pengikut dari aliran Jabariyah, yaitu suatu paham yang mana

dalam kepercayaan beliau adalah bahwa seluruh perbuatan yang dipebuat oleh

60
manusia merupakan kehendak Tuhan. Menurut Ibnu Atha’illah, memasrakan diri

sepenuhnya kepada Tuhan adalah kunci untuk perjalanan manusia dalam mencapai

kesuksesan mendekatkan diri kepada Tuhannya. Berserah diri kepada Allah menjadi

jalan yang paling utama agar bisa merasakan sepenuhnya karunia dari Allah yang

diberikan kepadanya.

Dalam kitab Al-Hikam terdapat nilai-nilai pendidikan akhlak sebagai berikut: 57

Pertama, Taubat Seseorang yang berada jalan menuju Allah menurut Ibnu Atha’illah

harus terlebih dahulu melakukan tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa dan pembersihan

jiwa dari dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Ibnu Atha’illah berkata, “diantara tanda

matinya hati adalah tidak adanya kesedihan dan kesempatan untuk melakukan ibadah

yang telah engkau lewatkan, dan tidak ada penyesalan atas sebuah kesalahan yang

engkau lakukan”. Kemudian beliau mempertegas jika perbuatan dosa yang telak

dilakukan oleh seorang manusia tidak boleh mengakibatkan manusia tersebut putus asa

dalam mengharap ampunan dari Allah Swt. Ibnu Atha’illah berkata,” dosa tidak boleh

menghalangimu untuk berbaik sangka kepada Allah. Sebab, barangsiapa yang mengenal

Tuhannya, akan mengetahui bahwasanya dosa yang diperbuat itu kecil jika dibandingkan

dengan kemurahan Allah”. Kemudian beliau berkata,” apabila engkau jatuh dalam dosa,

maka janganlah menjadikannya sebab putus asa dirimu dalam mendapatkan

keistiqomahan dengan Tuhanmu, sebab bisa jadi itulah dosa terakhir yang ditakdirkan

Allah kepadamu”. Walaupun begitu beliau juga tegas berpendapat bahwa dosa-dosa

kecilpun tidak boleh membuat manusia lalai dalam hidupnya. Beliau berkata,” tidak ada

57
Mustafa Bisri, Al-Hikam Rampai hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.

61
dosa kecil yang tidak diadili jika dihadapkan dengan keadilan Tuhan, dan juga tidak ada

dosa besar jika dihadapkan dengan karunia-Nya”. Dari pernyataan tersebut sekali lagi

menegaskan bahwa setiap manusia yang melakukan dosa berhak mendapatkan ampunan

Allah jika benar-benar melakukan tobat dan menyesali pebuatan dosa yang telah ia

perbuat karena Allah Swt Maha Pemurah kepada hamba-Nya yang ingin benar-benar

memperoleh ampunan dari-Nya.

Kedua, Zuhud. Pada umumnya istilah zuhud ini biasa dipahami dengan sebuah

jalan atau usaha dalam hidupnya untuk meninggalkan bermewah-mewahan dalam hal

dunia dan memilih jalan untuk hidup dengan cara yang sederhana. Seorang yang

melakukan perilaku zuhud ini dinamakan zahid. Seorang zahid dalam perjalanannya

cenderung akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhkan hatinya pada unsur

duniawi. Ibnu Atha’illah berkata,” Allah sengaja menciptakan dunia sebagai tempat yang

penuh dengan tipu daya dan merupakan sumber dari kekotoran dengan tujuan agar dunia

itu dirasa sebagai sesuatu yang menjemukan”. Dengan demikian maka seorang sufi akan

menjauhkan sanubarinya kepada kecenderungan pada duniawi, maka dari itu Ibnu

Atha’illah berkata,” kosongkanlah hatimu dengan segala sesuatu selain Allah, maka

Allah akan memenuhi dirimu dengan pengetahuan dan rahasia”. Begitupun sebaliknya,

orang yang dalam hidupnya mencintai sesuatu, maka ia akan menjadi sesuatu tersebut.

Ibnu Atha’illah berkata,” tidaklah engkau mencintai sesuatu kecuali jika engkau

akan menjadi budak dari sesuatu tersebut, sedangkan Dia (Allah) tidak berkenan

sekiranya engkau menjadi budak dari selain-Nya”. Beliau menegaskan pula bahwa awal

dari sebuah kehinaan adalah sebuah ketamakan. Tidak akan tumbuh dahan-dahan

kehinaan kecuali berawal dari benih-benih ketamakan. Maka dalam konsep zuhud ini,

62
seorang sufi harus benar-benar mampu mengendalikan dirinya agar tidak terjerumus ke

dalam persoalan-persoalan duniawi yang dipandang akan mengganggu proses menuju

Tuhan yang menjadi tujuan dari para sufi. Maka konsep zuhud ini menjadi penting untuk

memudahkan perjalanan spiritualnya.58

Ketiga, Sabar. Sabar dalam hal ini yang dimaksud adalah kesabaran tentang

bagaimana seseorang menjalankan setiap perintah-perintah dari Allah dan senantiasa

menjauhkan dirinya dari larangan-larangan Allah, kemudian dalam hal ini memiliki

kesabaran untuk senantiasa menerima segala bentuk ujian dan segala cobaan yang

ditakdirkan oleh Allah pada manusia.59 Akan tetapi pada kenyataannya banyak manusia

yang masih belum bisa sabar baik dalam hal sabar mentaati perintah Allah maupun sabar

dalam menghadapi segala bentuk ujian dan cobaan yang diberikan kepadanya. Ibnu

Atha’illah berkata,” pedihnya ujian bisa dirigankan dengan pengetahuanmu bahwa Allah

lah sang pemberi ujian, yang memberikan ujian dan takdir kepadamu adalah Allah yang

Dia jugalah yang memberikan anugerah berupa pilihan-pilihan yang baik terhadapmu”.

Ibnu Atha’illah menyampaikan bahwa dengan datangnya sebuah kesulitan atau

ujian dan cobaan dari Allah merupakan sebuah hal yang disenangi bagi orang-orang yang

berharap untuk berjumpa kepada Tuhannya. Sebab, bisa jadi seseorang yang telah

melaluinya akan mendapatkan sebuah pengalaman batin yang berharga dari setiap ujian

dan cobaan yang tela dilewati, pengalaman itulah yang tidak bisa diperoleh dengan

amalan-amalan ibadah wajib seperti saat melaksanakan puasa dan sholat.

58
Abdul Moqsith Ghazali, “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap Kitab Al-
Hikam Al-Atha iyah,” Tashwirul Afkar, no. 32 (2013).
59
Hasballah, Sabri, dan Nasir, “Konsep Tazkiyatun nafs (Studi Pendidikan Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat
Asy-Syams 7-10).”

63
Ibnu Atha’illah kembali menegaskan bahwa semua bentuk ujian yang diberikan

pada hakikatnya adalah sebuah hamparan pemberian atau bisa diartikan sebagai sebuah

ladang untuk memperoleh pengalaman batin spiritual yang sempurna jika bisa

melewatinya dengan tetap berpegang kepada keyakinannya sebagai seorang sufi. Maka

dari hal tersebut Ibnu Atha’illah berpendapat bahwa dengan datangnya setiap ujian dan

cobaan kepada setiap manusia tidak hanya menjadikannya manusia yang sabar, akan

tetapi juga akan meajadikan manusia tersebut menjadi manusia yang bersyukur kepada

Tuhannya, karena pada hakekatnya di balik setiap ujian yang diberikan ada sebuah

karunia dan hikmah yang diberikan. Dari pemikiran Ibnu Atha’illah ini bisa dipahami

dalam kehidupan manusia menuju Allah atau bagaimana manusia berjalan untuk

mendekatkan diri kepada Allah memiliki jalan yang tidak mudah untuk dilalui. Harus

membutuhkan kesabaran yang amat besar dalam melalui segala bentuk ujian dan cobaan

yang Allah berikan, dan jika manusia tersebut manusia tersebut berhasil melalui ujian

yang diberikan dengan tetap memegang keyakinannya kepada Tuhannya akan menjadi

manusia yang selamat dan akan dekat dengan Tuhannya sehingga selamatnya dirinya di

kehidupan dunia dan akhiratnya.

Keempat, Tawakal. Tawakal diartikan dengan berserah diri kepada Allah Swt.

dalam pemikirannya Ibnu Atha’illah berkata,” diantara tanda keberhasilan pada akhir

perjuangan adalah berserah diri kepada Allah semenjak permulaan”. Menurut Ibnu

Atha’illah, tidak ada pilihan lain bagi seorang hamba selain bertawakal kepada Allah.

Dikarenakan semua yang terjadi merupakan kehendak dari Allah. Ibnu Atha’illah

berkata,” segala sesuatu bertumpu pada kehendak Allah, dan kehendak Allah tak

bersandar pada apapun”. Menurut beliau tidak layak bagi seseorang hamba untuk

64
menggantungkan segala harapannya kepada selain Allah, karena pada hakekatnya tidak

harapan yang bisa tercapai melampaui Allah. Ibnu Atha’illah berkata,” janganlah cita-cita

atau harapanmu ditujukan kepada selain Allah, sebab harapan seseorang tidak akan dapat

melampaui Yang Maha Pemurah”. Dari pemikiran Ibnu Atha’illah di atas dengan konsep

tawakalnya mengajarkan kepada kita dalam setiap perbuatan kita, kita niatkan sebagai

ibadah dan nilai akhir dari usaha kita beribadah kepada Allah adalah bertawakal kepada-

Nya, dan mengajakan bahwa setiap keinginan yang kita harapkan tercapai harus melalui

Allah dulu dalam berpegang teguh bahwa Allah lah yang menghendaki semuanya dan

bahwa Allah lah yang mengabulkan segala harapan dari setiap manusia.60

Kelima, Ridha/kerelaan. Keridhaan atau kerelaan memiliki arti yaitu menerima

segala keputusan dan takdir yang Allah tetapkan dengan lapang dada. Dalam hal ini

setiap manusia harus mampu memiliki rasa ridha, rela menerima setiap peristiwa yang

telah ditakdirkan. Sebab semua yang terjadi itu adalah dari kehendak dan ketentuan

Allah, dan bagi seorang hamba sudah sepantasnya untuk memiliki keridhaan atau

kerelaan dalam menerimanya. Sebagaimana kita tahu ketika Tuhan telah berkehendak

maka tidak ada seorangpun yang mampu menghalanginya. Salah satu bukti sederhana

dari sifat rela atau ridha adalah bagaimana seseorang tidak memiliki sifat iri dengki

terhadap nikmat atau karunia yang diterima oleh orang lain. Seseorang yang memiliki

sifat ridha ini selalu mempunyai sifat yang senang dan gembira, ia akan senang dengan

musibah yang diterimanya karena ia yakin dengan musibah tersebut akan mendapatkan

anugerah dari Allah Swt, Ibnu Atha’illah berkata,” pemberian dari makhluk adalah

kerugian, dan penolakan dari Tuhan adalah kebaikan”. Beliau berpendapat bahwa

seseorang yang merasa sedih dengan penolakan Allah atas permintaan yang ia harapkan
60
Hasballah, Sabri, dan Nasir.

65
menunjukkan bahwa seseorang tersebut tidak paham atas kehendak Allah. Kemudian

Ibnu Atha’illah menegaskan bahwa ketika Allah memberi, maka Dia sesungguhnya

sedang memperlihatkan belas kasih-Nya kepada hambanya, dan jika Allah menolak

memberimu, maka Allah sedang menunjukkan kekuasaan-Nya kepadamu, dan di dalam

semua itu, ia sesungguhnya hendak memperlihatkan diri kepada seseorang dan ingin

menjumpainya dengan kelembutan-Nya.61

Keenam, beramal dan berserah diri serta mengenal dengan Tuhan, dalam hal ini

barangsiapa yang mengenal dengan Tuhannya maka akan mampu menyaksikan-Nya

dalam semua bentuk ciptaan-Nya. Barang siapa yang fana dengan Tuhan pasti akan

tertutup dari segala sesuatu, dan barangsiapa yang mencintai Tuhannya akan dicintai

oleh-Nya. Ibnu Atha’illah memiliki maksud bahwa amaliah yang kita lakukan tidak ada

artinya, karena pada hakikatnya semua itu merupakan kepatuhan kita kepada-Nya. Akan

tetapi terdapat hal yang lebih besar yang harus dimiliki oleh setiap orang yang meniti

jalan menuju Allah. Yaitu bertawa kepada Allah, menjunjung tinggi perintah-Nya dan

menjauhkan diri kita dari segala apa yang dilarang oleh Allah kepada kita, serta

melaksanakan segala bentuk aktivitas kita yang berdasarkan dengan syari’at, yang

kemudian dirinya akan memndapatkan kebaikan yang banyak. Begitu juga sebaliknya,

jika seseorang berpegang teguh kepada yang dilarang atau berlawanan dengan syari’at,

maka seseorang tersebut akan mendapatkan kesulitan dan akan teramat rugi.

Kitab Al-Hikam pasal 8 Ibnu Atha’illah mengatakan.”Ketika Dia membukakan

untukmu wajah pengenalan, maka janganlah dirimu menyandingkan hadirnya pengenalan

itu itu dengan sedikitnya amalanmu, sebab sesungguhnya Dia tidak membuka pengenalan
61
Hannan, “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah” (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya,
2016).

66
bagimu kecuali Dia semata-mata untuk mengenalkan diri-Nya padamu. Tidaklah dirimu

mengetahui bahwa sungguh pengenalan itu semata-mata Dia yang menginginkannya

atasmu, sedangkan amalan-amalan itu merupakan hadiah darimu kepada-Nya dengan

segala yang Dia inginkan bagimu. Ketika Allah membuka “wajah pengenalan”,maka Dia

hendak menganugerahkan pada seorang hamba-Nya dengan diri-Nya, eksistensi-Nya,

bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidak sebanding saat

Allah Swt menyerahkan diri-Nya untuk dikenal, sementara seorang hamba hanya

menyerahkan hanya amal perbuatnya saja, bukan dirinya seutuhnya.62

Ketujuh, bergantung dan memohon hanya kepada Allah Swt. jadi jangan sampai

permohonan kita pada Allah hanya kita jadikan alat untuk mendapatkan-Nya, sebab hal

demikian itu artinya dirimu tidak paham akan kedudukanmu sebagai seorang hamba,

maka mohonlah dengan sungguh-sungguh serta memposisikan dirimu sebagai seorang

hamba. Ibnu Atha’illah berkata dalam kitab Al-Hikam pasal enam “Janganlah

dikarenakan terlambatnya pemberian dari Allah kepadamu, di saat dirimu telah

bersungguh-sungguh memohon kepada-Nya menyebabkan dirimu berputus asa dari-Nya,

karena Dia telah memberikan jaminan bagimu suatu ijabah terkabulnya do’amu dalam

kehendak-Nya untukmu pada waktu yang tepat menurut-Nya, bukan pada waktu yang

dirimu kehendaki.

“Tanda dari seorang mukmin yang sejati ialah lebih meyakini dengan apa yang

telah Allah kehendaki daripada yang diri kita sendiri usahakan. Ketika pemohonan yang

kita panjatkan seakan-akan tidak dikabulkan oleh Allah, disitulah terdapat ruang kosong

pengetahuan yang harus diisi, do’a yang dimaksud disini bukan hanya soal duniawi saja,
62
Nurcahyono, “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh Ibnu Athaillah as-
Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017.”

67
melainkan juga termasuk dalam hal spiritual, misalnya saat kita memohon do’a agar

taubat kita diterima oleh Allah dan menjadikan diri kita bersih dari dosa yang kita

perbuat.

Hakikatnya permohonan yang kita panjatkan kepada Allah merupakan refleksi

dari objek yang Allah telah siapkan untuk kita. Jadi tidak serta merta apa yang kita

inginkan dalam do’a kita, kecuali telah disiapkan untuk kita dari Allah Swt. Jika

dipahami pada dasarnya semua orang tidak berkeinginan untuk berdo’a, seperti halnya

menginginkan makanan, karena baunya sudah tercium pada kita dari kejauhan. Do’a

membutuhkan sebuah pengenalan terhadap Allah dan dirinya sendiri. Allah lebih

mengerti apa yang menjadi kebutuhan terbaik untuk makhluk-Nya, melebihi seorang ibu

yang mengerti kebutuhan dari anaknya. Bersikap untuk merendahkan diri kita pada

dasarnya adalah untuk diakui, dikenal, terpandang, dikenal hebat, dan lain sebagainya. Di

dalam ilmu psikologi, manusia diatur oleh egonya yang tertanam dalam dirinya. Tidak

akan mampu seseorang untuk mengenali dirinya dan apa yang ia inginkan, sementara

Allah lah yang lebih tahu diri kita yang sesungguhnya.

Kitab al-Hikam pasal 11, Ibnu Atha’illah mengungkapkan kunci agar diri kita ini

mampu mendapatkan hasil buah dari ketaqwaan yang sempurna, yaitu dengan

menghilangkan eksistensi diri kita, ego yang kita miliki dalam ketiadaan. “Kuburlah

wujudmu (eksistensimu) di dalam bumi kerendahan (ketiadaan); maka segala yang

tumbuh namun tidak ditanam (dengan baik) tidak akan sempurna buahnya”.

Kedelapan, bersifat ikhlas, Ibnu Atha’illah berkata di dalam kitab Al-Hikam

pasal 10: “Amal-amal itu semata bentuk-bentuk yang tampil, adapun ruh-ruh yang

menghidupkan adalah hadirnya sinar ikhlas padanya”. Di dalam sebuah kisah disebutkan,

68
pada saat Rasulullah Saw sedang bersama dengan para sahabatnya, datang seorang

wanita kafir yang membawakan biji buah jeruk sebagai sebuah hadiah, kemudian

Rasulullah menerimanya dengan senyuman. Kemudian dimakanlah jeruk tersebut oleh

Beliau, hingga akhirnya habislah pemberian yang telah diberikan si wanita kafir tersebut.

Kemudian Rasulullah Saw berkata pada para sahabat: “tahukah kalian, sesungguhnya

buah jeruk yang diberikan tersebut memiliki rasa yang asam ketika aku merasakannya

pertama kali, jika kalian ikut untuk memakannya, aku takut di antara kalian ada yang

mengernyitkan dahi atau akan memarahi wanita tadi. Aku takut hatinya akan tersinggung

dengan perilaku kalian. Maka dari itu aku menghabiskan semuanya”. Dalam hal ini

Rasulullah mengajarkan kita tentang akhlak yang agung seperti yang dilakukan oleh

Beliau tidak dapat dipoles di permukaan, akan tetapi semata-mata karena ada cahaya

keikhlasan yang sudah tertaut dalam hati, karena sikap dan perilaku kita adalah cerminan

hati kita.

Kesembilan, memiliki rasa untuk selalu butuh kepada Allah Swt. sesuatu yang

menjadi kebutuhan seorang hamba merupakan suatu bentuk kebutuhan yang kaitannya

dengan menyempurnakan diri masing-masing. Penyempurnaan ini ialah saat seseorang

menjadi insan kamil, mampu mengetahui tujuan untuk apa dirinya diciptakan, dan juga

mampu menjalankan apa yang diamanahkan kepadanya. Maka apa yang dibutuhkan

seorang hamba berbeda dengan apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh seorang hamba

yang lainnya tergantung misi yang telah Allah Swt amanahkan kepada hambanya.63 Dari

semua proses tahap-tahap dalam perjalanan spiritual yang dialami di atas merupakan

suatu perumpamaan yang akan menyatukan dirinya dengan Tuhannya. Lalu pada
63
Achmad Beadie Busyroel Basyar, “Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang Pendidikan
Sufistik dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia (Telaah Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah)”
(Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016).

69
akhirnya dalam ilmu tasawuf jika sudah melalui tahapan-tahapan di atas akan mampu

mencapai maqam ma’rifat mengenal dan dekat dengan Tuhan, lebur, serta mencintai

Tuhannya secara tak terhingga nilainya. Ibnu Atha’illah dalam hal ini mengemukakan

bahwa seorang yang arif memiliki keinginan yang sangat kuat untuk senantiasa

mencintai dan dekat dengan Tuhannya, jika ia dekat dengan Tuhannya maka akan

membuat dirinya selalu tenang, akan tetapi jika ia tidak dekat dan bergantung pada

Tuhannya maka dalam dirinya tidak akan ada ketenangan. Dalam hal ini seperti yang

diidam-idamkan oleh para kalangan sufi adalah selalu bersama Allah. Ibnu Atha’illah

berkata,” hilangkan pandangan manusia terhadapmu karena kau telah puas dengan

penglihatan Allah kepadamu, dan hiraukan perhatian mereka kepadamu karena engkau

telah mengetahui bahwa Allah selalu memperhatikanmu”.

Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa seseorang yang sudah pada tingkat ma’rifat

akan menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Dalam hal ini Ibnu Atha’illah berkata,”

barangsiapa yang telah mengenal Allah, maka ia akan menyaksikan Allah pada segala

sesuatu, barangsiapa yang melebur dengan Allah, maka ia akan melupakan segala

sesuatu, dan barangsiapa yang mencintai-Nya, maka ia akan mengutamakan Allah

daripada sesuatu lainnya”.

Tingkatan ma’rifatullah orang yang telah menyaksikan Allah, maka orang

tersebut juga akan mencintai Allah. Dan jika seseorang telah cinta dengan kecintaan yang

sebenar-benarnya kepada Allah, maka seseorang tersebut tak lagi berharap imbalan dari

selain-Nya karena kecintaannya. Seseorang jatuh cinta bukanlah seseorang yang

mengharapkan imbalan dari Kekasihnya dan seseorang yang jatuh cinta bukan orang

yang menuntut dipenuhi segala kebutuhannya dari sang Kekasih. Seorang yang

70
mengalami jatuh cinta akan rela berkorban kepada yang dicintainya, bukan yang

dikorbankannya kepada si pecinta.64

Pendidikan akhlak yang dikehendaki oleh Ibnu Atha’illah bertujuan untuk

melahirkan pribadi yang mulia di sisi Allah Swt. dari apa yang beliau jelaskan tentang

tujuan pendidikan akhlak ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan tujuan pendidikan

nasional, yang membedakan ialah pendidikan nasioal cenderung mengarah kepada hal

yang horizontal saja, yaitu pada ranah sosial, kebangsaan, kemudian kepada ranah

ketuhanan. Akan tetapi Ibnu Atha’illah mengawalinya dengan unsur vertikal telebih

dahulu yakni jika seseorang diberikan pelajaran dan arahan untuk menjadi baik di sisi

Tuhannya, maka akibatnya seseorang yang memiliki kepribadian baik tersebut akan

berdampak juga kepada orang lain, lingkungan masyarakat, bangsa dan negaranya. Yang

dapat dipahami bahwa untuk menjadi pribadi yang mulia dan dekat dengan Tuhannya,

maka diharuskan juga untuk mampu beradaptasi dan memberikan kebaikan kepada

lingkungan yang ada di sekitarnya.65

Ibnu Athaillah memulainya dengan konsep dari arah vertikal lalu horizontal. Hal

itu berdasarkan bahwa jika seseorang diarahkan menjadi pribadi yang baik di sisi

Tuhannya, maka pribadi yang baik tersebut akan berdampak pula untuk menjadi pribadi

yang baik pada arah horizontalnya, yaitu orang lain, lingkungan, bangsa dan negara.

Artinya seseorang untuk menjadi pribadi yang baik di sisi Tuhannya, maka dia harus pula

memperbaiki keadaan sesuai dengan tempat dan waktu yang dia hadapi.66

64
Ibn Athaillah, Rahasia Asma Allah, ke-1 (Jakarta: Serambi, 2007).
65
Syekh Ibnu Athaillah As-Sakandari, Al-Hikam dan Penjelasannya, ed. oleh Pakih Sati, ke-1 (Yogyakarta:
Noktah, 2017), 65.
66
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”

71
B. Analisis Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan Akhlak

1. Konsep Tazkiyatun Nafs Sebagai Metode dalam Pendidikan Akhlak

Pendidikan akhlak ini haruslah dilaksanakan secara istiqomah dan berjalan secara

intensif, agar para peserta didik ini mampu melindungi dirinya dari perkembangan

jasmani dan rohaninya dengan menggunakan ilmu-ilmu agama yang para peserta didik

dapat dari proses pendidikan di sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakatnya.

Dalam hal ini pergaulan para peserta didik ini baik di lingkungan sekolah,keluarga,

maupun di lingkungan masyarakat haruslah mendapatkan sebuah perhatian dan juga

tuntunan. Sehingga para peserta didik ini mendapatkan pendidikan yang arahnya kepada

pembinaan akhlak mereka dan menjadikan mereka berakhlak mulia.

Strategi dari pendidikan akhlak menurut Ibnu Atha’illah terbagi menjadi dua

tahapan, yaitu tahap penanaman dan penyebaran. Keduanya sangat berkaitan dengan

strategi pendidikan akhlak nasional, yakni berkaitan tentang penanaman kepada para

peserta didik dan penanaman melalui lingkungan atau biasa dikenal dengan istilah

habituasi. Akan tetapi dalam hal ini, Ibnu Atha’illah lebih mengarah kepada para pelaku

pendidikan, yang berarti pendidikan akhlak yang diinginkan oleh beliau adalah tidak

menjabarkan tentang apa yang harus dilakukan oleh para pendidik, namun lebih ke apa

yang dilakukan para peserta didik.

Ibnu Atha’illah juga menjelaskan tentang pribadi yang harus dimiliki oleh para

pendidik,yaitu yang pertama, seorang pendidik diharuskan mampu menjadi pribadi yang

menginspirasi para peserta didiknya, baik dari ucapannya maupun dari perbuatannya,

serta menjadi contoh untuk membuat semangat para peserta didiknya untuk senantiasa

dekat dengan Allah Swt. dalam hal ini Ibnu Atha’illah mengatakan “Janganlah bersahabat

72
dengan orang yang kondisinya tidak membangkitkan semangatmu, dan perkataannya

tidak mengantarkanmu menuju Allah SWT”. Kedua, seorang guru dituntut untuk menjadi

pribadi yang cerdas dan kaya akan pengetahuan, karena seorang guru tidak akan mampu

memberikan nasehat dan wawasan kepada peserta didik kecuali pengetahuan dan

wawasan yang dimilikinya.

Ibnu Atha’illah memaparkan tentang tahapan dari pendidikan akhlak bahwasanya

para peserta didik diharuskan untuk menanamkan pada dirinya lima konsep yang utama,

yaitu hal buruk (al-illah), ketaqwaan (at-taqwa), pengetahuan (al-ma’rifah), keadaan (al-

hal), dan amalan (al-amal), yang mana kelima hal tersebut adalah sebagai konfigurasi

dalam pendidikan akhlak. Hal ini juga sangat berkaitan dengan konfigurasi dari

pendidikan nasional yang diklasifikasikan sebagai berikut: olah pikiran, olah hati,

olahraga, serta olah rasa dan juga karsa.67 Jika dimasukkan ke dalam konsep yang

disampaikan oleh Ibnu Atha’illah maka akan menjadi sebagai berikut:

a. Olah hati jika dikaitkan dengan konsep al-illah dan at-taqwa, maka seorang peserta

didik diharuskan untuk mampu terhindar dari segala keburukan dan mampu

melakukan dan membiasakan kebaikan.

b. Olah pikiran jika dikaitkan dengan konsep ma’rifah, maka para peserta didik

diharuskan untuk membekali dalam diri mereka ilmu pengetahuan, baik pengetahuan

agama maupun dunia.

c. Olah raga jika dikaitkan dengan konsep al-hal, maka para peserta didik diharuskan

mampu menjaga fisiknya.

67
As-Sakandari, Al-Hikam dan Penjelasannya, 70.

73
d. Olah rasa dan karsa jika dikaitkan dengan konse al-amal, maka para peserta didik

diharuskan mampu untuk melaksanakan dengan hasil yang sesuai dari konsep di atas.68

Ibnu Atha’illah memiliki corak pemikiran yang berbicara tentang pendidikan

karakter yang lebih menekankan pada nilai-nilai ketuhanan. Maka dari itu, hakikat dari

pendidikan akhlak yang diinginkan oleh beliau adalah sebuah tahapan dari proses

penanaman nilai yang pada akhirnya ialah mendekatkan diri pada Tuhan atau menjadi

seorang hamba yang memiliki nilai baik di sisi Tuhannya.

Nilai-nilai yang ditanamkan dalam pribadi seorang peserta didik atau pada diri

sendiri ialah nilai-nilai dari karakter yang orientasinya adalah menjadikannya pribadi

yang dekat dengan Tuhan. Proses penanaman dari nilai-nilai tersebut hanya nilai agama,

yang tidak terdapat di dalamnya nilai sosial kemasyarakatan dan nilai kebangsaan. Akan

tetapi, jika dilihat dari sudut isinya maka dapat dipahami bahwasanya seseorang mampu

menanamkan dalam dirinya nilai-nilai keagamaan dalam dirinya maka orientasinya akan

pada nilai-nilai kebangsaan dan sosial kemasyarakatannya. Maka dari itu, hakikat

daripada pendidikan akhlak yang beliau jabarkan ini tidak jauh berbeda dengan

pendidikan akhlak nasional kita. Hanya yang beliau sampaikan lebih mengarah pada hal

yang bersifat vertikal, yaitu berupa nilai ketuhaan, sedangkan pendidikan akhlak nasional

lebih pada hal yang bersifat horizontal.

Ibnu Atha’illah menjelaskan bahwa hakikat pendidikan merupakan perjalanan

yang panjang yang harus dilewati oleh seseorang dalam mencapai tujuan akhir, yang

mana hakikat pendidikan di dalam pendidikan akhlak dalam kitab Al-Hikam yang beliau

jabarkan tidak terbatas pada hal yang bersifat formal saja, seperti lembaga-lembaga

68
Ishari dan Fauzan, “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu
Atha’ilah As-Sakandari.”

74
sekolah, akan tetapi juga pendidikan yang bersifat non formal, hal demikian dikarenakan

beliau memang memandang hakikat pendidikan harus lebih condong kepada ranah

vertikal atau hubungan seorang hamba dengan Tuhannya.69

2. Metode Pendidikan Akhlak di Sekolah

Pendidikan akhlak untuk mengatasi degradasi moral saat ini dapat dilakukan

dengan membangun kualitas pendidikan terutama dalam menanamkan nilai-nilai akhlak

Islami dalam keluarga, sekolah, dan lingkungan. Untuk meningkatkan pendidikan akhlak,

menanamkan akhlak yang bersifat permanen, membangun kepribadian Muslim yang

kaffah.70 Pendidikan akhlak harus dilaksanakan secara terintegritas untuk pembentukan

watak peserta didik secara utuh yang termanifestasi dalam ucapan, perilaku, dan pikiran

serta karya yang baik.

Menurut Imam al-Zarnuji belajar adalah bernilai ibadah untuk mencapai

kebahagiaan dunia akhirat. Belajar bukan hanya menekankan pada dimensi duniawi

semata sebagai tujuannya, melainkan juga dimensi ukhrowi sebagai manifestasi rasa

syukur seorang hamba kepada Allah yang telah mengaruniakan akal kepadanya. Peserta

didik dituntun untuk memiliki niat yang baik dalam belajar dan menghilangkan

kebodohan dalam dirinya.71 Keluhuran nilai seseorang tidak terlihat pada fisiknya,

melainkan terletak pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa dekat dengan

Tuhannya. Sebagaimana pendekatan akhlak yang digunakan Imam al-Ghazali,

pendekatan akhlak yang digunakan Ibnu Athaillah dalam kitab al-Hikam adalah dengan

pendekatan tasawuf.72
69
Ishari dan Fauzan.
70
Ashari, “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali.”
71
Rika, Fahrudin, dan Elan Sumarna, “Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah,” Taklim: Jurnal Pendidikan Agama
Islam 18, no. 1 (2020): 23–36.
72
Mucharor, “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-Syukandari.”

75
Nilai-nilai dari akhlak yang mulia yang dibangun dengan konsep tasawuf perlu

didukung melalui proses pendidikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Adapun

metode pembinaan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

a. Metode keteladanan

Keteladanan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh para pendidik yang

dapat dijadikan model bagi para peserta didik. Keteladanan dalam hal ini harus

diperhatikan karena setiap perilaku yang dilakukan oleh para pendidik di sekolah

akan menjadi sumber atau contoh yang kemudian terinternalisasi kepada peserta

didik. Maka hal ini merupakan salah satu faktor keberhasilan pendidikan akhlak di

sekolah. Sekolah berfungsi sebagai penanggung jawab atas terwujudnya lingkungan

pendidikan yang kondusif dan mendukung proses pembinaan akhlak. Karena itu agar

bisa mencapai tujuan pendidikan akhlak yang telah ditentukan, maka pendidik

beserta orang-orang yang ada di lingkungan pendidikan harus memiliki akhlak yang

baik.

b. Metode Nasihat

Pemberian nasihat merupakan salah satu hal yang dianjurkan agar para peserta

didik melaksanakan ajakan, mendekatkan kepada kebaikan. Pemeberian nasihat bisa

dilakukan dengan lisan atau tulisan yang isinya adalah ajakan dan anjuran agar siswa

berperilaku baik. Dalam memberikan nasihat biasanya juga disertai dengan hadiah

atau hukuman dengan harapan nasihat yang diberikan dapat diindahkan kemudian

dilaksanakan. Sebagaimana terkandung dalam Q.S. an-Nahl (16): 125 “Serulah

76
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan

bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih

mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih

mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyuruh manusia (dalam hal ini guru)

untuk memberi nasihat dengan cara yang baik. Hal tersebut akan memberi kesan

positif pada si pemberi nasihat, sedangkan cara yang buruk cenderung akan

menimbulkan sikap penolakan yang mengakibatkan nasihat yang disampaikan tidak

akan memberi manfaat positif dan bahkan cenderung berdampak negatif. Karena itu

dalam menggunakan metode ini, guru harus lebih peka dan menekankan pada cara

yang digunakan daripada isi nasihat yang akan disampaikan.

Ibnu Athaillah berkata: “siapa yang memberi nasihat dengan memandang

dirinya baik, maka dia akan berdiam diri apabila berbuat kesalahan. Dan siapa yang

memberi nasihat, karena memandang (apa yang ia ucapkan) sebagai kebaikan dari

Allah untuk dirinya, maka dia tidak berdiam diri apabila berbuat kesalahan”. Dalam

memberikan nasihat pendidik juga harus memperhatikan cara dan kondisi pada saat

memberikan nasihat. Hal ini akan berpengaruh pada diterima atau tidaknya nasihat,

guru hendaknya mengemas sebuah nasihat dengan kata-kata yang baik dan dalam

kondisi yang tepat. Karena tidak semua nasihat baik akan menghasilkan kebaikan

jika tidak dibarengi dengan cara dan kondisi yang sesuai. Ibnu Atha’illah berkata:

“tutur kata itu ibarat hidangan bagi pendengar, dan kalian tidak mendapatkan

sesuatupun kecuali apa yang kalian makan”.

c. Metode Cerita

77
Cerita yang terkandung di dalamnya nilai pendidikan memiliki pengaruh kuat

dalam jiwa peserta didik, mudah dipahai sehingga cepat terserap ke dalam pikiran

peserta didik. Selain itu penggunaan metode ini memiliki daya tarik tersendiri bagi

para siswa sehingga siswa akan mendengarkan dengan baik. Metode ini digunakan

dengan cara menceritakan peristiwa bersejarah, cerita para Nabi, orang sholeh yang

memuat nilai-nilai pendidikan akhlak. Bisa juga dengan memanfaatkan perangkat

pendidikan berupa audio visual. Nabi Muhammad sebagai pendidik melalui Al-

Qur’an juga lebih banyak menggunakan metode cerita yang diambil dari Al-Qur’an.

Allah sebagai Yang menurukan wahyu juga lebih banyak menceritakan nabi-nabi

terdahulu dan orang-orang sholeh sebagai bentuk cara menyebarkan nilai-nilai

akhlak. Allah berfirman dalam Q.S Yusuf ayat 12: “Kami menceritakan kepadamu

kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran Ini kepadamu, dan

Sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang

yang belum Mengetahui”.

Salah satu hal penting dalam metode cerita ini adalah isi cerita itu sendiri,

apakah cerita tersebut mengandung nilai-nilai akhlak yang baik atau tidak. Karena

keberhasilan sebuah tujuan pembinaan akhlak tidak hanya dipengaruhi metode tetapi

materi yang diajarkan. Jika metode yang digunakan tepat tetapi isinya tidak tepat dari

tujuan pembinaan akhlak, maka tujuan pembinaan akhlak tidak akan tercapai. Dalam

hal ini guru harus pandai memilih materi cerita yang baik yang diharapkan

memberikan manfaat positif bagi perkembangan akhlak peserta didiknya.

d. Metode Perintah dan Larangan

78
Pola pendidikan akhlak pada anak, menggunakan metode perintah dan larangan

juga sangat penting. Metode ini dibutuhkan karena secara langsung akan tertuju

kepada tujuan yang ingin dicapai oleh guru terhadap peserta didiknya tanpa harus

menafsirkan lebih dalam apa pesan yang ingin dicapai. Siswa akan dapat langsung

memahami apa yang hendak diajarkan oleh guru. Namun perlu diketahui bahwa

dalam penggunaan metode inijuga harus memperhatikan kesesuaian antara siswa

dengan isi perintah, apakah siswa mampu melaksanakannya atau tidak. Seorang guru

juga hendaknya jangan terlalu sering menggunakan satu metode ini saja karena siswa

akan cenderung bersikap acuh dan kurang memperhatikan. Dalam pelaksanaanya

guru juga memperhatikan kondisi yang ada, sehingga tidak terkesan bahwa mendidik

akhlak anak adalah hanya dengan memerintah dan melarang saja. Akan tetapi harus

ada kombinasi dengan metode lainnya. Allah Swt dalam mendidik akhlak manusia

melalui Al-Qur’an juga menggunakan metode ini.

Metode ini digunakan jika tidak ada lagi cara yang mampu mengkondisikan

perilaku siswa atau adanya suatu hal yang penting untuk segera diketahui dan

dilaksanakan atau dijauhi oleh peserta didik. Allah Swt berfirman dalam Q.S.

Luqman (31): 17 “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia)

mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan

Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu

termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.

Penggalan ayat di atas menjelaskan bahwa perintah sholat, mengerjakan yang

baik, dan meninggalkan yang mungkar adalah hal penting untuk segera diketahui dan

dilaksanakan oleh peserta didik. Tiga hal tersebut juga merupakan hal yang mudah

79
dipahami dan tidak membutuhkan penafsiran yang dalam, sehingga langsung bisa

dilaksanakan oleh siswa.73

C. Relevansi Konsep Tazkiyatun Nafs Terhadap Pendidikan Akhlak di Sekolah

Pembinaan akhlak merupakan salah satu hal terpenting dalam dunia pendidikan,

karena akhlak merupakan ukuran untuk menjadi seorang mukmin. Maka dari itu sangat

penting bagi manusia untuk mempelajari dan memahami pendidikan akhlak karena dengan itu

dapat menjadi barometer dalam kehidupan sehari-harinya. Akhlak merupakan fitrah dari

Allah Swt yang dianugerahkan kepada manusia dengan tujuan agar dalam kehidupannya

manusia lebih mengedepankan akhlak yang mulia dan nilai-nilai pendidikannya untuk

membentuk kehidupan yang mulia. Pendidikan akhlak proses untuk melatih setiap individu

untuk memperbaiki moralnya dan akan membiasakan dirinya untuk berbuat kebaikan-

kebaikan.

Proses pembinaan akhlak oleh para peserta didik dalam membina akhlaknya

diperlukan proses Tazkiyatun nafs sehingga hati peserta didik siap untuk menerima manfaat

dan keutamaan ilmu yang dipelajarinya. Konsep Tazkiyatun nafs dan telaahnya dalam

pendidikan akhlak maka Ibnu Atha’illah merumuskannya dengan corak Tasawuf akhlaqi.

Dalam tasawuf khuluqi amali, pembahasan-pembahasan yang dipahami oleh Ibnu Atha’illah

berkaitan tentang tahap-tahap sufi atau biasa dikenal dengan istilah maqamat. Pembahasan

beliau mengenai maqam-maqam dalam ilmu tasawuf adalah tentang taubat, shabar, zuhud,

tawakal, dan ridha. Beliau juga membahas perihal ahwal yaitu khauf raja’, tawadhu’, ikhlas,

dan syukur.

73
Mucharor.

80
Peserta didik merupakan salah satu bagian dari pembelajaran. Maka dari itu peserta

didik harus dibimbing, karena peserta didik merupakan objek dan subjek yang memerlukan

bimbingan dari orang lain agar siap menjadi manusia yang kuat iman dan Islamnya serta

mempunyai akhlak yang baik kepada diri sendiri, guru dan yang lainnya. Pada saat ini

kurikulum yang ada juga mengatur bagaimana seharusnya akhlak seorang peserta didik

dengan pendidikan karakter yang dicanangkan oleh pemerintah.

Pelaksanaan kurikulum 2013, pendidikan akhlak dapat diitegrasikan dalam seluruh

pembelajaran setiap bidang studi yang terdapat dalam kuriulum. Materi pembelajaran yang

berkaitan dengan norma dan nilai-nilai pada setiap bidang studi perlu dikembangkan dan

dihubungkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Jadi dapat dipahami bahwasanya

kurikulum ini lebih menekankan pada pendidikan akhlak atau biasa disebut dengan

pendidikan karakter. Tujuan pendidikan akhlak adalah membentuk manusia yang

berkepribadian muslim yang bertakwa dalam rangka menjalankan tugas kekhalifahan dan

peribadatan kepada Allah mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dapat pahami

bahwasanya tujuan pendidikan akhlak adalah untuk memberikan pedoman atau penerangan

bagi manusia dan mengetahui perbuatan yang baik atau yang buruk.Pendidikan akhlak

merupakan terbentuknya seorang hamba Allah yang patuh dan tunduk melaksanakan segala

perintah-Nya dan menjauhi laranganNya serta memiliki sifat-sifat dan akhlak yang mulia.

Sehingga melalui pendidikan akhlak seorang anak akan menjadi cerdas intelegensinya dan

emosionalnya. Begitu pula tujuan dari Tazkiyatun nafs yaitu membimbing hati senantiasa

kepada perbuatan terpuji dan menghindari perbuatan tercela untuk menjadi insan kamil yang

dekat dengan Allah. Jika peneliti perhatikan, tampak ada relevansi secara teori antara

Tazkiyatun nafs dan pendidikan akhlak peserta didik kepada pendidik di sekolah. Demikian

81
halnya dengan pedidikan akhlak, dapat terlihat bahwasanya dalam pendidikan akhlak juga

mengandung unsur teori pengetahuan tentang sikap-sikap terpuji.

Teori Tazkiyatun nafs dengan teori pendidikan akhlak di Indonesia sangatlah

relevan. Akan tetapi dalam prakteknya pendidikan akhlak di Indonesia sangatlah kurang.

Terlihat jelas bahwa banyak kasus pada peserta didik yang terdapat di masyarakat, media

sosial, artikel, majalah, Koran dan sebagainya, dimana peserta didik melakukan perbuatan-

perbuatan yang tidak seharusnya ia lakukan sebagai peserta didik kepada pendidik. Peneliti

melihat bahwasanya banyak terdapat kasus peserta didik berani kepada guru, melawan kepada

guru, berkata-kata kasar, tidak menghargai guru seperti tidur saat guru menjelaskan dan

berjalan-jalan dikelas saat guru menjelaskan pelajaran dan sebagainya. Bahkan jika kita lihat

secara langsung kepada lingkungan sekeliling kita juga terdapat perbuatan-perbuatan peserta

didik yang tidak baik seperti tidak menyapa guru atau kurang memiliki adab kepada guru.

Hasil penelitian diatas menggambarkan bahwa banyak sekali perkembangan kasus

akhlak buruk peserta didik, disisi lainnya peserta didik pada saat sekarang ini hanya

mementingkan nilai kognitifnya saja dengan melakukan persaingan tanpa mementingkan

hubungannya dengan guru dan membersihkan hatinya dari sifat-sifat tercela agar

mendapatkan keberkahan dalam menuntut ilmu yang diperoleh dari guru tersebut. Pendidikan

akhlak seharusnya bukan sekedar untuk menghafal namun merupakan upaya proses

memahami, menghayati dan sekaligus mengamalkan nilai-nilai Islam. Dalam konsep

tazkiyatun nafs, Ibnu Atha’illah menjelaskan dalam kitab Al-Hikam bahwa nilai-nilai

pendidikan yang terkandung di dalamnya antara lain, taubat, zuhud, sabar, tawakal, ridha,

amal, memohon hanya kepada Allah Swt, menanamkan sifat ikhlas, dan memiliki rasa

membutuhkan Allah Swt. kemudian dalam penyucian jiwanya Ibnu Atha’illah

82
menerangkannya dengan empat hal yaitu: Pertama, Senantiasa membaca Al-Qur’an dan

berdzikir kepada Allah. Kedua, Sedikit berbicara. Ketiga, Khalwah, bermunajat kepada Allah

yang Maha Mengetahui. Keempat, Sedikit makan dan minum.

Demikian pemikiran dan penjelasan dari Ibnu Atha’illah tentang cara menyucikan

jiwa yang sebelumnya sudah dikotori dengan kotoran-kotoran jiwa, namun pada prakteknya

diperlukan adanya semangat dan usaha yang kuat dalam keistiqamahan dalam

menjalankannya. Hal ini dikarenakan meniti sebuah jalan menuju Allah memerlukan i’tiqat

yang sangat kuat dan yakin dengan keyakinannya. Sehingga seseorang yang manapaki jalan

tasawuf dapat benar-benar sungguh-sungguh dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan

dan benar-benar bergantung kepada-Nya.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari rangkaian pembahasan sebelumnya, maka penelitian ini dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Konsep pemikiran pendidikan akhlak dengan metode tazkiyatun nafs perspektif Ibnu

Atha’illah, faktor yang mempengaruhi keberhasilan terhadap pendidikan akhlak dalam

membina akhlak yang mulia yaitu dengan membersihkan atau menyucikan terlebih

83
dahulu hati dan jiwa manusia yang kemudian manusia tersebut akan menjadi bersih

kembali yang sebelumnya memiliki banyak dosa dan masih di jalan yang salah akan

kembali dengan taubat yang sebenar-benarnya kemudia kembali ke jalan yang benar

sehingga kedepannya membiasakan kebiasaan yang baik dengan akhlak yang telah

terbina dengan baik dan akan mencapai kebahagiaan yang sempurna. Dan akan mengerti

dengan adanya metode tazkiyatun nafs dalam pembinaan akhlak.

2. Relevansi konsep tazkiyatun nafs terhadap pendidikan akhlak di sekolah menurut Ibnu

Atha’illah saat ini tidak jauh berbeda yakni sama-sama berorientasi kepada akhirat dan

dunia, akan tetapi dalam pendidikan akhlak di sekolah yang terlihat hanya secara nilai

zahir saja seperti prestasi-prestasi pendidikan yang ada, belum terlihat baik secara

batinnya yaitu secara akhlak mulia yang bermuara kepada ketaatan kepada Allah Swt.

Maka dalam hal ini Ibnu Atha’illah menekankan pembinaan akhlak dengan metode

tazkiyatun nafs yang akan menjadikan manusia menjadi terbina secara akhlak dan

semakin dekat dengan Tuhan-Nya dengan terbiasa melakukan segala sesuatu dengan

dasar yang terkandung dalam agama Islam.

B. Saran

Penulis ingin menyarankan kepada segenap pihak yang berkaitan dengan pendidikan

di Indonesia khususnya dalam penguatan program Pendidikan Akhlak, untuk menjadikan Al-

Hikam ini sebagai salah satu rujukan dalam membentuk karakter bangsa. Sebab, kitab ini

sangat relevan dengan metode pendidikan akhlak saat ini. Selain itu, dimensi tasawuf yang

terdapat dalam kitab tersebut menjadikan nilai lebih dalam menanamkan nilai-nilai

pendidikan akhlak. Menurut hemat penulis, dalam membentuk sebuah karakter harus

84
ditanamkan dalam jiwanya sehingga karakter yang telah terbentuk tidak akan berubah.

Penanaman dalam jiwa ini bisa terjadi jikalau dimasukkan nilai tasawuf di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

2003, Undang-undang RI No 20 Tahun. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika,


2008.
Alimudin, Irpan, Selamet, dan Udung Hari Darifah. “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Syekh
Ibnu‘Athaillah As-Sakandari dalam Kitabnya Al-Hikam.” Bestari: jurnal studi pendidikan
islam XV, no. 1 (2018): 115–34.
Aliyah. “Konsep Tazkiyatun Nafs Ibnu Taimiyah Dalam Perspektif Pendidikan Islam.”
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2019.
As-Sakandari, Syekh Ibnu Athaillah. Al-Hikam dan Penjelasannya. Diedit oleh Pakih Sati. Ke-1.
Yogyakarta: Noktah, 2017.
Ashari, Hasyim. “Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghazali.” Orphanet Journal
of Rare Diseases. Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2020.
Asid Maududin, Iqbal, Abas Mansur Tamam, dan Wido Supraha. “Konsep Pendidikan
Tazkiyatun Nafs Ibnul Qayyim Dalam Menangani Kenakalan Peserta Didik.” Rayah Al-
Islam 5, no. 01 (2021): 140–56. https://doi.org/10.37274/rais.v5i1.393.
Aslami, Hayu A’la. “Konsep Tazkiyatun Nafs Dalam Kitab Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-
Ghazali,” 2016, 87.
Athaillah, Ibn. Rahasia Asma Allah. Ke-1. Jakarta: Serambi, 2007.
Awaliyah, Tuti, dan Nurzaman. “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Sa’id Hawwa.” Jurnal
Penelitian Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018): 23. https://doi.org/10.36667/jppi.v6i1.152.
Basyar, Achmad Beadie Busyroel. “Pemikiran Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari tentang

85
Pendidikan Sufistik dan Relevansinya dengan Pendidikan Karakter di Indonesia (Telaah
Kitab al-Ḥikam al-Aṭāiyah).” Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,
2016.
Dewantara, Ki Hajar. Bagian I : Pendidikan. Ke-4. Yogyakarta: Yayasan Persatuan Tamansiswa,
2011.
Djayadin, Chairunnisa, dan Fathurrahman Fathurrahman. “Teori Humanisme sebagai Dasar
Etika Religius (Perspektif Ibnu Athā’illah Al-Sakandarī).” Al-Izzah: Jurnal Hasil-Hasil
Penelitian 15 (2020): 28. https://doi.org/10.31332/ai.v0i0.1788.
Fahrudin. “Tasawuf Upaya Tazkiyatun Nafsi Sebagai Jalan Mendekatkan Diri Kepada Tuhan.”
Jurnal Pendidikan Agama Islam - Ta’lim 12, no. 2 (2014): 127–45.
Fathuddin, Muhammad Habib, dan Fachrur Razi Amir. “Konsep Tazkiyatun Nafs Menurut Ibnu
Qoyyim Al Jauziyah Dalam Kitab Madarijus Shalikin Serta Implikasinya Terhadap
Pendidikan.” Ta’dibi 5, no. 2 (2016): 117–27.
Ghazali, Abdul Moqsith. “Pemikiran Tasawuf Ibn Atha’illah al -Sakandari Kajian Terhadap
Kitab Al-Hikam Al-Atha iyah.” Tashwirul Afkar, no. 32 (2013).
Hamim, Nur. “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-
Ghazali.” Ulumuna 18, no. 1 (2017): 21–40. https://doi.org/10.20414/ujis.v18i1.151.
Hannan. “Konsep Ibn ’Atha’illah Tentang Mahabbah.” Univeersitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya, 2016.
Hasballah, Zamaksyari, Rijal Sabri, dan Abu Nasir. “Konsep Tazkiyatun Nafs (Studi Pendidikan
Akhlak Dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syams 7-10).” Sabilarrasyad III, no. 02 (2018): 38–52.
Humaini. “Konsep tazkiyatun nafs dalam al-quran dan implikasinya dalam pengembangan
pendidikan islam.” Universitas Islam Negeri Malang, 2008.
Hutami, Hoyyu Setia. “Konsep Tazkiyatun Nafs Perspektif Surat Al-Muzammil Dan Relevansi
Dalam Membentuk Kepribadian Muslim.” Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung,
2019.
Ishari, Nurhafid, dan Ahmad Fauzan. “Pendidikan Karakter Dalam Kitab Al-Hikam Al-
Atha’iyyah Karya Syeikh Ibnu Atha’ilah As-Sakandari.” Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1
(2017): 66–79.
Laili, Setianing Nur. “Nilai Tauhid yang Terkandung dalam Kitab Al-Hikam Karya Ibnu
Athaillah,” 2020.
Ma’zumi, Ma’zumi, Syihabudin Syihabudin, dan Najmudin Najmudin. “Pendidikan Dalam
Perspektif Al-Qur’an Dan Al-Sunnah : Kajian Atas Istilah Tarbiyah, Taklim, Tadris, Ta’dib
dan Tazkiyah.” TARBAWY : Indonesian Journal of Islamic Education 6, no. 2 (2019): 193–
209. https://doi.org/10.17509/t.v6i2.21273.
Madani, Mohamad Thoyyib. “Konsep Tazkiyat al-Nafs Dalam Pendidikan Islam Perspektif
Syaikh Ibnu ‘Athă Illah al-Sakandari Dalam Kitab al-Hikam,” 2012, 1–22.
Mucharor. “Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Al-Hikam Karangan Syaikh Ibnu Athaillah Al-
Syukandari,” 2014, 105.
Ni’mah, Ulin. “Konsep Tazkiyatun Nafs Dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Karakter Pada
86
Kurikulum 2013 (Telaah Buku Ihya’ ’Ulum Ad-Din Karya Imam Al-Ghazali),” 2018.
Nurcahyono, Yulianto. “Pendidikan Karakter Religius Dalam Kitab al- Hikam Karya Syaikh
Ibnu Athaillah as-Sakandari dan Relevansinya dengan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun
2017.” Institut Agama Islam Negeri Ponorogo, 2021.
Rika, Fahrudin, dan Elan Sumarna. “Pendidikan Akhlak dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah.” Taklim: Jurnal
Pendidikan Agama Islam 18, no. 1 (2020): 23–36.
Rozi, Fathur. “Ibnu Athaillah DanPenafsiran Esoteric: Urgensitas Pemikiran Ibnu Athai’illah As-
Sakandari dalam Nuansa Sufistik.” Syria Studies 7, no. 1 (2015), 37.
Salsabila, Krida, dan Anis Husni Firdaus. “Pendidikan Akhlak Menurut Syekh Kholil
Bangkalan.” Jurnal Penelitian Pendidikan Islam 6, no. 1 (2018): 39.
https://doi.org/10.36667/jppi.v6i1.153.
Samsu. Metode Penelitian Teori dan Aplikasi Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, Mixed Methods,
serta Research Development). Diedit oleh Rusmini. Jambi: Pustaka Jambi, 2017.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan. Ke-19. Bandung: Alfabeta,
2013.
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset,
1990.
Zulfatmi. “Al-Nafs dalam Al-Qur’an (Analisis Terma al-Nafs sebagai Dimensi Psikis Manusia).”
Mudarrisuna 10, no. 2 (2020): 40–57.
Zulkifli, dan Jamaluddin. Akhlak Tasawuf. Diedit oleh Madona Khairunisa. Ke-1. Yogyakarta:
Kalimedia, 2018.
Ismail Bin Katsir Al-Bashri, Tafsir Ibu Katsir, Vol. 6 (Maktabah Syamelah, V. 3.1), hal. 391.
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Bara Van Hoeve. 1994), 342.
Victor Danner, Mistisisme Ibnu Atha‟illah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999),1.
Mustafa Bisri, Al-hikam Rampai Hikmah Ibn Athaillah, (Jakarta:cet II, 2007), 9-11.
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D,
(Bandung : Alfabeta, 2015), hal. 308

87
CURRICULUM VITAE

Agung Prayogo, atau akrab disapa Agung, lahir di Magetan, 09 September 2000.

Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Salimin dan Ibu Tuminem. Menempuh

pendidikan di SDN 02 Temboro tahun 2006-2013, SMP 1 Muhammadiyah Magetan tahun 2013-

2015, MAN 2 Magetan tahun 2015-2018, dan melanjutkan pendidikannya di Universitas

Muhammadiyah Ponorogo Prodi Pendidikan Agama Islam (2018-2022).

Selain kuliah peneliti juga mengikuti organisasi seperti Ikatan Mahasiswa

Muhammadiyah Fakultas Agama Islam, serta akif di ortom Tapak Suci di Pimda Magetan .

Karena sejatinya kesempurnaan hanya milik Sang Maha Pencipta, maka penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran mengenai skripsi ini, yang dapat disampaikan kepada penulis di

alamat email agungprayogo0909@gmail.com.

88

Anda mungkin juga menyukai